Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara

Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara
Harga mulai 5rb an. Gratis ongkir DKI Jakarta

The Host - Bab 3

0 comments

Melawan

"Dia tidak mengenali nama baru itu," gumam Penyembuh. Sensasi baru mengalihkan perhatianku. Sesuatu yang menyenangkan, perubahan di udara ketika Pencari berdiri di sampingku. Aroma, pikirku menyadari. Sesuatu yang berbeda dari ruangan steril tak berbau ini. Parfum, ujar benak baruku. Wangi bunga, memabukkan...
"Bisakah kau mendengarku?" tanya Pencari, menyela analisisku.
"Kau sudah sadar?"
"Jangan tergesa-gesa," desak Penyembuh, suaranya lebih lembut daripada sebelumnya.
Aku tidak membuka mata. Aku tak ingin perhatianku terganggu. Benakku memberiku kata - kata yang kuperlukan dan nada suara yang bisa mengungkapkan maksud yang tak bisa kuucapkan tanpa menggunakan banyak kata.
"Apakah aku ditempatkan dalam tubuh inang rusak untuk memperoleh informasi yang kauperlukan, Pencari?"
Terdengar suara helaan napas--gabungan antara terkejut dan marah--lalu sesuatu yang hangat menyentuh kulitku, menutup tanganku.
"Tentu saja tidak, Wanderer," ujar lelaki itu menenangkan. "Bahkan Pencari sekalipun memiliki batas - batas tertentu."
Pencari kembali menghela napas. Mendesis, ingatanku membetulkan.
"Lalu mengapa benak ini tidak berfungsi dengan benar!"
Sejenak hening.
"Seluruh pemindaiannya sempurna," jawab Pencari. Kata-katanya tidak menenangkan, tapi bersifat menyanggah. Apakah ia ingin bertengkar denganku?" Tubuh itu sudah sembuh sepenuhnya."
"Dari usaha bunuh diri yang nyaris berhasil." Nada suaraku kaku, masih marah. Aku tidak terbiasa dengan kemarahan. Sulit mengendalikannya.
"Semua sempurna--"
Penyembuh menyela perkataan Pencari. "Apanya yang kurang?" tanyanya."Jelas kau telah mengakses kemampuan bicara."

"Ingatan. Aku mencoba menemukan apa yang diinginkan Pencari"
Walaupun tak ada suara yang terdengar, terjadi perubahan. Suasana yang menegang akibat tuduhanku, berubah tenang. Aku bertanya-tanya bagaimana caraku mengetahuinya. Aku punya sensasi aneh bahwa, entah mengapa, yang kuterima melebihi yang diberikan kelima indraku--nyaris menyerupai perasaan bahwa ada indra lain, di tepian, yang belum banyak dimanfaatkan. Intuisi? Itu kata yang nyaris tepat. Seolah-olah ada makhluk yang memerlukan lebih dari lima indra.



Benak ini menggunakan lebih banyak kemampuan alamiku dibandingkan dengan inang apa pun sebelumnya, dan hanya meninggalkan 181 perlekatan cadangan. Mungkin banyaknya pengikatan adalah penyebab emosi - emosi benak ini begitu hidup.
Kuputuskan untuk membuka mata. aku merasa perlu mengecek ulang janji - janji Penyembuh  dan memastikan bagian lain diriku bekerja.
Cahaya. Terang, menyakitkan. Kupejamkan kembali mataku. Cahaya terakhir yang kulihat telah disaring melalui 180 meter kedalaman laut. Tapi mata ini pernah melihat cahaya yang lebih cemerlang dan mampu menanganinya. Aku membuka mata sedikit, menjaga bulu mataku tetap menutupi bukaan itu.
"Kau ingin aku mematikan semua lampu?"
"Tidak, Penyembuh. Mataku akan menyesuaikan diri."
"Bagus sekali," katanya. Dan aku mengerti pujian ini dimaksudkan untuk penggunaan kata kepemilikan yang kulakukan dengan mudahnya.
Keduanya menunggu dengan tenang sementara mataku melebar perlahan - lahan.

Benakku mengenali tempat ini sebagai ruangan biasa di sebuah fasilitas medis. Rumah sakit. Ubin langit-langitnya berwarna putih, berbintik-bintik agak gelap. Lampu-lampunya persegi panjang dan berukuran sama dengan ubinnya, menggantikan beberapa ubin dengan jarak teratur. Dinding-dindingnya hijau muda. Warna yang menenangkan, tapi juga warna penyakit. Pilihan buruk. Dengan cepat benakku membentuk opini.

Orang - orang yang sedang memandangiku lebih menarik daripada ruangannya. Kata dokter langsung terdengar dalam benakku ketika mataku tertambat pada Penyembuh. Ia mengenakan pakaian hijau kebiruan longgar yang memperlihatkan kedua lengannya. Jubah rumah sakit. Ada rambut di wajahnya, dengan warna aneh yang disebut ingatanku sebagai merah.
Merah! Sudah tiga dunia semenjak aku melihat warna itu atau warna-warna lain. Bahkan warna kuning keemasan ini pun memenuhiku dengan nostalgia.

Penyembuh berwajah seperti manusia umumnya bagiku, tapi pengetahuan di dalam ingatanku menyebut kata baik hati.
Napas tak sabar membetot perhatianku pada Pencari.
Tubuh perempuan itu sangat kecil. Seandainya ia tetap diam akan perlu waktu lebih lama bagiku untuk menyadari keberadaannya di sana, di samping Penyembuh. Ia tidak menarik, bagaikan kegelapan dalam ruangan terang. Ia mengenakan pakaian hitam dari dagu sampai pergelangan tangan--setelah konservatif dengan baju sutra turtleneck di baliknya. Rambutnya juga hitam, memanjang sampai dagu dan disingkirkan ke balik telinga. Kulitnya lebih gelap daripada warna kulit Penyembuh. Warna zaitun.

Perubahan kecil dalam ekspresi wajah manusia sangat minimal, sehingga sulit sekali dibaca. Tapi ingatanku mampu menyebutkan arti pandangan di wajah perempuan ini. Sepasang alis hitam, yang melengkung ke bawah di atas mata yang sedikit menonjol, menciptakan bentuk yang kukenal. Bukan kemarahan. Keseriuan. Kejengkelan.

"Seberapa sering ini terjadi?" tanyaku, kembali memandang Penyembuh.
"Tidak sering," Penyembuh mengakui. "Kami hanya punya sedikit sekali persediaan inang dewasa. Inang - inang yang belum dewasa sangat mudah dikendalikan. Tapi kau mengindikasikan bahwa kau lebih suka memulai sebagai mahluk dewasa..."
"Ya."

"Sebagian besar permintaan adalah kebalikannya. Masa hidup manusia jauh lebih pendek daripada yang biasa kaualami." 
"Aku sangat memahami semua faktanya, Penyembuh. Pernahkah kau menangani... perlawanan semacam ini?"
"Hanya sekali."
"Ceritakan fakta-fakta kasusnya." Aku diam sejenak. "Kumohon," imbuhku, karena merasa perintahku tidak sopan. 
Penyembuh mendesah.
Pencari mulai mengetuk-ngetukkan jemari. Tanda ketidaksabaran. Ia tak sabar menunggu hal yang ia inginkan. 
"Ini terjadi empat tahun yang lalu," Penyembuh memulai. "Jiwa itu meminta inang dewasa jantan. Yang pertama tersedia adalah manusia yang telah tinggal dalam kelompok perlawanan semenjak tahun-tahun awal pendudukan. Manusia itu... tahu apa yang akan terjadi seandainya dia tertangkap."
"Persis seperti inangku."
"Ehm, ya." Ia berdehem. "Ini baru kehidupan kedua jiwa itu. Dia datang dari Blind World--Dunia buta."
"Blind World?" tanyaku, refleks memiringkan kepala. 
"Oh, maaf, kau tak mungkin tahu sebutan yang kami berikan. Tapi ini salah satu duniamu, bukan?" Ia mengeluarkan alat dari saku. Komputer; lalu melakukan pemindaian dengan cepat. "Ya, planet ketujuhmu. Di sektor ke-81."
 "Blind World?" ujarku lagi, kini suaraku tidak setuju. 
"Ya. Well, sebagian yang pernah tinggal di sana lebih suka menyebutnya Singing World--Dunia Menyanti."
Aku mengangguk pelan. Aku lebih suka sebutan itu. 
"Dan sebagian yang belum pernah ke sana menyebutnya Planet of the Bats--Planet Kelelawar," gumam Pencari.
Aku mengalihkan pandangan kepadanya, dan merasakan kedua mataku menyipit ketika benakku menggali gambaran yang sesuai dengan hewan pengerat terbang jelek yang disebutkannya. 

"Kurasa kau salah satu yang belum pernah tinggal di sana, Pencari," ujar Penyembuh ringan. "Pertama-tama kami menyebut jiwa ini Racing song. Itu terjemahan bebas dari namanya di... Singing World. Tapi dia segera memilih menggunakan nama inangnya, Kevin. Walaupun berdasarkan latar belakangnnya jiwa ini mendapat Panggilan dalam Pertunjukan Musik, dia menyatakan lebih nyaman melanjutkan bidang pekerjaan inangnya, yaitu mekanik.
"Tanda-tanda ini, entah mengapa, mengkhawatirkan Penghibur yang ditugaskan mendampinginya, walaupun tanda-tanda ini masih dalam batas-batas normal.
"Lalu Kevin mulai mengeluh dirinya pingsan secara berkala. Mereka membawanya kembali kepadaku, dan kami melakukan banyak tes untuk memastikan tak ada cacat tersembunyi di dalam otak inang itu. Selama pengetesan, beberapa Penyembuh mengamati adanya perbedaan besar dalam perilaku dan kepribadian Kevin. Ketika kami menanyakan hal itu kepadanya, dia mengatakan tidak ingat beberapa pernyataan dan tindakan tertentu. Kami terus mengamatinya, bersama-sama dengan Penghibur-nya, dan akhirnya tahu si inang secara berkala menguasai tubuh Kevin."

"Menguasai?" Mataku membelalak. "Tanpa disadari jiwa itu? Si inang kembali mengambil alih tubuhnya?"
"Sayangnya, ya. Kevin tidak cukup kuat untuk menundukkan inang ini."
Tidak cukup kuat.
Apakah mereka juga akan menganggapku lemah? Apakah aku lemah, sehingga tak bisa memaksa benak ini menjawab pertanyaan-pertanyaanku? Bahkan lebih lemah, karena pikiran-pikiran hidup gadis ini berada di dalam kepalaku, padahal seharusnya tidak ada apa - apa di sana kecuali ingatan? Aku selalu menganggap diriku kuat. Gagasan mengenai kelemahan ini membuatku tersentak. Membuatku malu. 

Penyembuh melanjutkan, "Terjadi peristiwa-peristiwa  tertentu, lalu diputuskan--"
"Peristiwa-peristiwa apa?"
Penyembuh menunduk tanpa menjawab.
"Peristiwa-peristiwa apa?" desakku lagi. "Aku yakin aku berhak tahu."
Penyembuh mendesah. "Memang. Kevin... menyerang salah satu Penyembuh secara fisik ketika dia sedang tidak menjadi... dirinya sendiri." Ia mengernyit. "Dia memukul Penyembuh sampai pingsan dengan kepalan tangannya, lalu menemukan pisau bedah Penyembuh. Kami menemukan Kevin tak sadarkan diri. Si inang mencoba mengeluarkan jiwa itu dari tubuhnya."

Perlu sejenak sebelum aku mampu bicara. Bahkan setelah itu pun, suaraku hanya berupa embusan napas. "Apa yang terjadi pada mereka?"
"Untungnya si inang tak bisa mempertahankan kesadarannya cukup lama untuk menimbulkan kerusakan parah. Kevin direlokasi, kali ini ke dalam tubuh inang yang belum dewasa. Inang yang menyusahkan itu rusak parah, dan diputuskan bahwa tindakan menyelamatkannya takkan banyak berguna. 

"Kini Kevin berusia tujuh tahun manusia, dan dia benar-benar normal... walaupun tetap mempertahankan nama Kevin. Para penjaganya berusaha keras agar dia selalu terpapar pada musik, dan itu berjalan dengan baik..." Perkataan terakhir itu ditambahkan, seakan merupakan berita baik--berita yang, entah mengapa, bisa membatalkan semua perkataan lainnya.
"Mengapa?" Aku berdehem agar suaraku bisa lebih keras.  "Mengapa risiko-risiko ini tidak diberitahukan?"
"Sesungguhnya," Sela Pencari, "hal itu dinyatakan dengan sangat jelas di dalam semua propaganda perekrutan. Bahwa menyesuaikan diri di dalam tubuh inang manusayang masih tersisa akan jauh lebih menantang daripada menyesuaikan diri di dalam tubuh inang anak-anak. Inang yang belum dewasa sangat dianjurkan."

"Kata menantang tidak mencakup seluruh cerita Kevin," bisikku.
"Ya, well, kau memilih untuk mengabaikan anjuran itu." Pencari mengangkat kedua tangan, mengisyaratkan perdamaian, ketika tubuhku menegang hingga kain kaku di tempat tidur sempit itu berdesir pelan. "Bukannya aku menyalahkanmu. Masa kanak-kanak sangat membosankan. Dan kau jelas bukan sembarang jiwa. Aku sangat percaya kau mampu menangani hal ini. Ini hanya inang biasa. Aku yakin kau akan segera mendapat akses dan kendali penuh."

Berdasarkan pengamatanku terhadap Pencari sejauh ini, aku akan terkejut seandainya ia punya kesabaran untuk menunggu penundaan apa pun, bahkan penyesuaian diriku secara pribadi. Aku bisa merasakan kekecewaannya, karena tidak ada informasi yang bisa kuberikan, dan ini mendatangkan kembali sebagian perasaan marah yang tak kukenal.

"Terpikirkah olehmu bahwa kau bisa memperoleh jawaban yang kaucari jika dirimu sendiri disisipkan ke dalam tubuh ini?" tanyaku.
Tubuh Pencari menegang. "Aku bukan peloncat."
Kedua alisku otomatis naik.
"Itu sebutan lain," jelas Penyembuh, "bagi mereka yang tidak menyelesaikan satu masa kehidupan di dalam tubuh inang mereka."
Aku mengangguk paham. Kami punya nama untuk itu di dunia-duniaku yang lain. Di dunia mana pun, hal itu tidak disukai. Jadi aku berhenti menanyai Pencari dan memberinya informasi sebisa mungkin. 

"Namanya Melanie Stryder. Dia dilahirkan di Albuquerque, New Mexico. Dia berada di Los Angeles ketika mengetahui peristiwa pendudukan itu, dan dia bersembunyi di hutan belantara selama beberapa tahun, sebelum menemukan... Hmmm. Maaf. Akan kucoba lagi bagian itu nanti. Tubuhnya berusia dua puluh tahun. Dia menyetir ke Chicago dari..." Aku menggeleng. "Ada beberapa tahap perjalanan, dan tidak semuanya sendirian. Itu kendaraan curian. Dia sedang mencari sepupu bernama Sharon. Dia punya alasan untuk berharap Sharon masih manusia. Dia tidak menemui ataupun menghubungi siapa pun sebelum dirinya kepergok. Tapi..." Aku berjuang melawan dinding kosong lain. "Kurasa... aku ragu... kurasa dia meninggalkan catatan... di suatu tempat."
"Jadi dia berharap seseorang akan mencarinya?" tanya Pencari bersemangat. 
"Ya. Dia akan... dicari. Jika dia tidak bertemu dengan..." Aku mengertakkan gigi, kini aku benar-benar berjuang. Dinding itu hitam dan aku tak tahu seberapa tebal. Kupukul-pukul dinding itu. Butir-butir keringat muncul di kening. Pencari dan Penyembuh benar - benar diam, membiarkanku berkonsentrasi. 

Aku mencoba memikirkan sesuatu yang lain--suara - suara bising tak kukenal yang dikeluarkan mesin mobil, kegelisahan yang memacu adrenalin setiap kali lampu-lampu kendaraan lain mendekat di jalanan. Aku sudah memperoleh ingatan ini, dan tak ada yang melawanku. Aku membiarkan ingatan itu membawaku bersamanya, membiarkannya melompati perjalanan kaki dingin melewati kota di bawah naungan kegelapan malam, membiarkan ingatan itu bergulir ke bangunan tempat mereka menemukanku. 
Bukan menemukanku, tapi menemukan gadis ini. Tubuhku gemetar. 
"Jangan terlalu memaksa--" Penyembuh memulai.
Pencari menyuruhnya diam.

Aku membiarkan benakku tetap terpaku pada kengerian saat tepergok, kebencian membara para Pencari yang nyaris mengalahkan segalanya. Itu kebencian yang jahat; itu kebencian menyakitkan. Aku nyaris tak sanggup menanggungnya. Tapi aku membiarkan ingatan itu terus mengalir, dan berharap tindakanku bisa mengusik perlawanan itu, memperlemah pertahanan-pertahanannya. 

Kuamati dengan saksama ketika gadis ini mencoba bersembunyi, lalu tahu ia tidak bisa. Sebuah catatan, digoreskan di atas puing dengan pensil patah. Disorongkan cepat-cepat ke bawah pintu. Bukan sembarang pintu. 
"Patokannya adalah pintu kelima di lorong kelima di lantai lima. Catatan itu ada di sana."

Pencari memegang telepon kecil; ia bergumam cepat di telepon itu.
"Bangunan itu seharusnya aman," lanjutku. "Para Pencari tahu bangunan itu terlarang. Gadis ini tak tahu bagaimana dirinya bisa ketahuan. Apakah mereka menemukan Sharon?"
Perasaan ngeri membuat kedua tanganku merinding.
Pertanyaan itu bukan berasal dariku. 
Itu bukan pertanyaanku, tapi mengalir alami lewat bibirku, seolah-olah pertanyaanku. Pencari tidak memperhatikan ada yang aneh.

"Sepupunya? Tidak, mereka tidak menemukan manusia lain," jawabnya, dan tubuhku mengendur sebagai respons. "Inang ini dipergoki sedang memasuki bangunan. Karena bangunan itu terlarang, warga yang mengamatinya merasa khawatir. Dia menelepon kami, dan kami mengawasi bangunan itu untuk melihat apakah bisa menangkap lebih dari seorang manusia, lalu kami bergerak masuk ketika hal itu tampak mustahil. Bisakah kau menemukan tempat pertemuannya?"
Aku mencoba.

Banyak sekali ingatan, semua begitu tajam dan penuh warna, Aku melihat ratusan tempat yang belum pernah kukunjungi, dan mendengar nama-nama mereka untuk pertama kalinya. Sebuah rumah di Los Angeles, dibatasi pohon-pohon palem tinggi. Padang rumput di hutan, lengkap dengan tenda dan perapian, di luar Winslow, Arizona. Pantai berbatu karang yang sepi di Meksiko. Gua dengan pintu masuk dijaga tirai hujan, di suatu tempat di Oregon. Tenda, gubuk, tempat-tempat perlindungan sederhana. Dengan berjalannya waktu nama-nama itu semakin kabur. Gadis ini tak tahu dimana dirinya berada, dan juga tak peduli. 

Kini namaku Wanderer, tapi ingatan-ingatan gadis ini sangat cocok dengan namaku, walaupun aku berkelana berdasarkan pilihan sendiri. Kilas - kilas ingatan ini selalu diwarnai ketakutan seorang buronan. Ia tidak berkelana, tapi melarikan diri. 

Aku mencoba untuk tidak merasa iba, tapi berjuang memfokuskan ingatan-ingatan itu. Aku tidak perlu mellihat kemana saja gadis ini pernah pergi, tapi hanya ke mana ia akan pergi. Aku menyortir gambar - gambar yang berkaitan dengan kata Chicago, tapi tampaknya semua hanya gambaran acak. Kuperluas jaringku. Ada apa di luar Chicago? Dingin, pikirku. Udaranya dingin, dan ada semacam kekhawatiran soal itu. 
Di mana? Aku mendesak, dan dinding itu muncul kembali. 
Kuembuskan napas dengan muak. "Di luar kota--di hutan belantara... taman nasional, jauh dari pemukiman mana pun. Bukan tempat yang pernah dia kunjungi, tapi dia tahu cara kesana."
"Berapa lama?", tanya Pencari.
"Segera." Jawaban itu muncul otomatis. "Sudah berapa lama aku di sini?"
"Kami membiarkan si inang menyembuhkan diri selama sembilan hari, hanya untuk benar-benar memastikan kepulihannya," jelas Penyembuh. "Penyisipannya hari ini, pada hari kesepuluh."

Sepuluh hari. Tubuhku merasakan gelombang kelegaan yang mengejutkan.
"Terlambat," kataku. "Untuk tempat pertemuan itu... atau bahkan catatan itu." Aku bisa merasakan reaksi si inang terhadap perkataanku--bisa merasakannya jauh lebih kuat. Inang ini nyaris merasa... puas. Aku membiarkan kata - kata yang hendak diucapkan si inang, supaya aku bisa mempelajarinya. "Lelaki itu takkan berada di sana."
"Lelaki?" Pencari menyambar informasi jenis kelamin yang kuucapkan. "Siapa?"
Dinding hitam menghujam dengan kekuatan lebih besar daripada yang digunakan gadis ini sebelumnya. Tapi ia sedikit terlambat. 
Sekali lagi wajah itu memenuhi benakku. Wajah tampan dengan kulit cokelat keemasan dan mata berbintik - bintik terang. Wajah yang menggugah perasaan nikmat mendalam yang aneh di tubuhku ketika aku memandanginya dengan begitu jelas di benakku. 


Walaupun dinding itu menghujam pada tempatnya, diiringi sensasi kejengkelan luar biasa, tindakan itu tidak cukup cepat. 
"Jared," jawabku. Dengan sama cepat, seakan perkataan itu berasal dariku, pikiran yang bukan milikku mengikuti nama itu lewat bibirku. "Jared aman."


---

The Host - Bab 2 bagian 2

0 comments

Aku berada di fasilitas Penyembuhan, sedang memulihkan diri dari insersi yang luar biasa traumatis. Aku yakin sebelum diberikan kepadaku, tubuh yang menampungku telah sembuh sepenuhnya. Inang yang rusak bakal dibuang.
Kurenungkan perselisihan pendapat antara Penyembuh dan Pencari. Menurut informasi yang kuperoleh sebelum memutuskan datang kemari, pendapat Penyembuh-lah yang benar. Permusuhan dengan beberapa kelompok manusia yang tersisa sudah berakhir. Planet yang disebut Bumi tenang dan damai sebagaimana terlihat dari luar angkasa, hijau dan biru mengundang, diselubungi asap putihnya yang tak berbahaya. Sepertinya halnya kebiasaan hidup jiwa, kini keselarasan ada di mana-mana.

Pertikaian verbal antara Penyembuh dan Pencari bukanlah hal biasa. Cukup agresif bagi bangsa kami. Membuatku bertanya-tanya, mungkinkah itu benar, desas-desus yang berupa bisikan bergelombang bagai ombak melalui pikiran-pikiran...
Perhatianku teralihkan, mencoba mengingat nama spesies yang menjadi inang terakhirku dulu. Kami punya nama. Aku tahu itu. Tapi karena tak lagi berhubungan dengan inang itu, aku tak bisa mengingatnya. Kami menggunakan bahasa yang jauh lebih sederhana daripada bahasa ini. Bahasa bisu pikiran yang menghubungkan kami semua dalam satu kesatuan pikiran. Itu kenyamanan yang penting, karena tubuh kami tertanam selamanya di dalam tanah hitam basah.
Aku bisa menggambarkan spesies itu dalam bahasa manusiaku yang baru. Kami hidup di dasar lautan luas yang menutupi seluruh permukaan dunia kami; dunia yang mempunyai nama, tapi juga telah lenyap. Kami masing - masing memiliki seratus tangan, dan di setiap tangan ada seribu mata, sehingga--dengan pikiran kami yang terhubung--tak satu pun pemandangan di perairan luas itu terlewatkan. Suara tak diperlukan, jadi mustahil untuk mendengarnya. Kami mencicipi air dan, dengan penglihatan kami, air itu menceritakan semua yang perlu kami ketahui. Kami mencicipi matahari-matahari yang sangat jauh di atas permukaan air, dan mengubah rasa mereka menjadi makanan yang kami butuhkan. Aku bisa menggambarkan diri kami, tapi tak bisa mengingat nama kami. Aku mendesah karena pengetahuan yang hilang itu, lalu merenungkan kembali pembicaraan yang telah kucuri dengar.

Sebagai patokan, jiwa tak mengucapkan apa pun kecuali kebenaran. Tentu saja para Pencari memiliki persyaratan - persyaratan untuk memenuhi Panggilan mereka, tapi di antara para jiwa tak pernah ada alasan untuk berbohong. Dengan bahasa pikiran spesies terakhirku dulu, akan mustahil untuk berbohong, bahkan seandainya kami menginginkannya. Namun karena tubuh kami tertanam, kami bercerita kepada diri sendiri untuk meringankan kebosanan. Bercerita adalah talenta yang paling dihargai, karena bermanfaat bagi semua orang. Terkadang fakta bercampur dengan fiksi sedemikian rupa sehingga, walaupun tak ada kebohongan yang diceritakan, sulit untuk mengingat apa yang sungguh - sungguh benar. Ketika memikirkan planet baru itu--Bumi yang begitu kering, begitu beragam, serta dipenuhi penduduk keji dan perusak sehingga nyaris tak terbayangkan--kengerian kami terkadang dikalahkan kegembiraan kami. Cerita - cerita berputar sangat cepat mengelilingi subjek baru yang menggetarkan itu. Perang-perang itu--perang! Bangsa kami harus berperang!--pertama-tama dilaporkan dengan akurat, lalu ditambah-tambahi dan dikarang-karang. Ketika cerita - cerita itu bertentangan dengan informasi resmi yang kucari, tentu saja aku memercayai laporan-laporan pertama itu. Tapi kudengar bisik-bisik seperti ini: tentang inang-inang manusia yang begitu kuat sehingga para jiwa terpaksa meninggalkan mereka. Inang-inang dengan benak yang tak bisa ditundukkan sepenuhnya. Jiwa-jiwa yang mengambil kepribadian raga, bukan sebaliknya. Cerita-cerita. Desas-desus liar. Kegilaan. Tapi itu tampaknya nyaris seperti tuduhan Penyembuh...

 Kubuang pikiran itu. Kecaman yang dilontarkan Penyembuh kemungkinan besar berarti ketidaksukaan yang dirasakan sebagian besar dari kami terhadap Panggilan Pencari. Siapa yang bersedia memilih kehidupan penuh konflik dan pengejaran? Siapa yang akan tertarik dengan pekerjaan menelusuri jejak inang-inang yang melawan dan menangkapi mereka? Siapa yang sanggup menghadapi kekejaman spesies ini, manusia - manusia keji yang membunuh dengan begitu mudah, dengan begitu tak berperasaan? Di sini, di planet ini, para Pencari bisa dikatakan telah menjadi... militan--otak baruku memasok istilah untuk konsep yang tak kukenal ini. Sebagian besar jiwa percaya bahwa hanya jiwa yang paling tidak beradab, yang paling tivdak berevolusi, yang lebih rendah di antara kami, yang akan tertarik menjadi Pencari. Meski begitu para Pencari memperoleh status baru di Bumi. Tak pernah sebelumnya peristiwa pendudukan begitu kacau. Tak pernah sebelumnya kehidupan begitu banyak jiwa dikorbankan. Para Pencari bertindak sebagai tameng perkasa, dan jiwa - jiwa di dunia ini berutang tiga hal kepada mereka: atas keamanan yang diupayakan para Pencari dalam kekacauan itu, atas risiko kematian final yang dihadapi para Pencari dengan sukarela setiap hari, dan atas tubuh - tubuh baru yang terus disediakan para Pencari.
Kini, setelah bahaya bisa dibilang sudah berlalu, tampaknya rasa terima kasih itu memudar. Dan, setidaknya untuk Pencari yang satu ini, perubahan itu tidaklah menyenangkan.

Mudah membayangkan pertanyaan-pertanyaan apa yang akan diajukan Pencari kepadaku. Walaupun Penyembuh mencoba mengulur waktu agar aku bisa menyesuaikan diri dengan tubuh baruku, aku tahu aku akan berbuat sebaik mungkin untuk membantu Pencari. Menjadi warna negara yang baik penting bagi setiap jiwa. Jadi aku menarik napas panjang untuk menyiapkan diri. Monitor mencatat gerakan itu. Aku tahu aku sedikit mengulur waktu. Aku benci mengakuinya, tapi aku takut. Demi memperoleh informasi yang diperlukan Pencari, aku harus menjelajahi ingatan - ingatan keji yang telah membuatku menjerit ketakutan. Lebih dari itu, aku takut terhadap suara yang kudengar begitu lantang di dalam kepalaku. Tapi kini gadis ini diam, dan memang sudah sepatutnya. Ia juga hanya sebuah ingatan. Seharusnya aku tidak merasa takut. Bagaimanapun, sekarang namaku Wanderer. Dan aku layak mendapatkan nama itu. Dengan satu tarikan napas panjang lagi, aku menyusup ke dalam ingatan-ingatan yang menakutkanku itu, dan langsung menghadapi semuanya dengan gigi dikertakkan. Aku bisa melompati bagian akhirnya--kini ingatan itu tak lagi menguasaiku. Dengan memutar cepat ingatan itu, aku kembali berlari melewati kegelapan, mengernyit, mencoba tidak merasakan apa-apa. Ingatan itu berlalu dengan cepat. Setelah menembus penghalang tadi, tidak sulit bagiku untuk melayang melewati hal - hal dan tempat - tempat yang lebih tidak menakutkan, untuk mencari informasi yang kuinginkan.

Aku melihat bagaimana gadis ini datang ke kota dingin ini, malam - malam dengan mengendarai mobil curian yang ia pilih karena penampilannya yang tidak mencolok. Ia menyusuri jalan - jalan Chicago dalam kegelapan, menggigil di balik mantel. Gadis ini sedang melakukan pencariannya sendiri. Ada orang lain seperti dia di sini, atau begitulan harapannya. Seseorang yang khusus. Seorang teman... bukan, kerabat. Bukan saudara kandung... seorang sepupu. Kata-kata itu muncul semakin lambat dan semakin lambat, dan mulanya aku tidak mengerti mengapa. Apakah ingatan ini terlupakan? Hilang dalam trauma yang nyaris mematikan? Apakah aku masih lamban akibat ketidaksadaranku? Aku berjuang untuk berpikir jernih. Sensasi ini terasa asing. Apakah tubuhku masih terbius? Aku merasa cukup waspada, tapi benakku berjuang sia - sia dalam memperoleh jawaban - jawaban yang kuinginkan. Aku mencoba jalur pencarian lain, berharap memperoleh respons-respons lebih jelas. Apa tujuan gadis ini? Ia hendak mencari ... Sharon--aku menemukan nama itu--dan mereka hendak...
Aku menabrak dinding. Kekosongan. Tidak ada apa-apa. Kucoba mengitari dinding itu, tapi aku tak bisa menemukan tepian kekosongan itu. Seakan informasi yang kucari telah dihapus. Seakan otak ini telah rusak. Kemarahan menguasaiku, panas dan liar. Aku terperangah, terkejut atas reaksi yang tidak diharapkan itu. Aku pernah mendengar ketidakstabilan emosi tubuh manusia, tapi ini berada di luar kemampuanku untuk mengantisipasi. Dalam delapan masa kehidupan penuhku, tak pernah emosi menyentuhku dengan kekuatan sedemikian rupa. Kurasakan darah berdenyut - denyut di leherku, berdentam-dentam di belakang telinga. Kedua tanganku mengepal erat. Mesin-mesin di sampingku melaporkan percepatan detak jantungku. Muncul reaksi di dalam ruangan; ketukan tajam sepatu Pencari yang menghampiriku, berbaur dengan suara langkah terseret yang lebih pelan, yang agaknya suara sepatu Penyembuh.

"Selamat datang di Bumi, Wanderer," kata suara perempuan itu.
 ---

The Host - Bab 2 bagian 1

0 comments
Mencuri Dengar

Suara-suara itu lembut dan dekat. Dan walaupun aku baru saja merasakan kehadiran mereka, tampaknya suara-suara itu bergumam di tengah percakapan.
"Aku khawatir ini terlalu berat baginya," kata salah satu. Suara itu lembut, namun dalam. Suara laki-laki. "Terlalu berat bagi siapapun. Penuh kekerasan!" Nadanya, memperlihatkan rasa muak.
"Dia hanya menjerit satu kali," kata suara lain yang lebih tinggi dan melengking. Suara perempuan. Suara itu menunjukkan sedikit rasa senang, seakan baru memenangkan argumen.
"Aku tahu," lelaki itu mengakui. "Dia sangat kuat. Yang lain mengalami jauh lebih banyak trauma, walaupun penyebabnya lebih sedikit."
"Aku yakin dia akan baik-baik saja, persis yang kubilang."
"Mungkin kau melenceng dari Panggilan-mu." Ada nada tajam dalam suara lelaki itu. Ingatanku menyebutnya sindiran. "Mungkin kau ditakdirkan untuk menjadi Penyembuh, seperti aku."
Perempuan itu mengeluarkan suara senang. Tertawa. "Aku meragukannya. Kami, para Pencari, lebih menyukai jenis diagnosis berbeda."
Tubuhku memahami kata ini, sebutan ini: Pencari. Kata itu mengirimkan getar ketakutan ke sekujur tulang belakangku. Reaksi yang tersisa. Tentu saja aku tak punya alasan untuk takut terhadap para Pencari.


"Terkadang aku bertanya-tanya apakah pengaruh kemanusiaan bisa menyentuh mereka yang berprofesi sepertimu," ujar lelaki itu. Suaranya masih masam karena jengkel. "Kekerasan adalah bagian dari pilihan hidupmu. Masih banyakkah temperamen asli tubuhmu yang tersisa,  sehingga kau menikmati kengeriannya?"
Aku terkejut atas tuduhan lelaki itu, terkejut mendengar nada suaranya. Percakapan ini nyaris menyerupai... argumen. sesuatu yang dikenal inangku, tapi belum pernah kualami.

Perempuan ini bersikap defensif. "Kami tidak memilih kekerasan. Kami menghadapinya, jika perlu. Dan kalian semua beruntung karena sebagian kita cukup kuat untuk menghadapi keadaan yang tidak menyenangkan. Kedamaian kalian bakal hancur tanpa pekerjaan kami."
"Itu dulu. Kurasa pekerjaanmu akan segera jadi sejarah."
"Kesalahan pernyataan itu sedang berbaring di sana, di tempat tidur."
"Seorang gadis manusia, sendirian dan tidak bersenjata! Ya, cukup mengancam kedamaian kita."
Perempuan itu mengembuskan napas keras-keras. Mendesah.
"Tapi dari mana asalnya? Bagaimana dia bisa muncul di tengah Chicago, kota yang sudah lama beradab, ratusan kilometer dari jejak kegiatan pemberontakan apa pun? Apakah dia bertahan hidup sendirian?"
Tampaknya perempuan itu mengemukakan pertanyaan-pertanyaan tadi tanpa mengharapkan jawaban, seakan ia sudah sering menyuarkan semua pertanyaan itu.

"Itu masalahmu, bukan masalahku," ujar lelaki itu. "Tugasku adalah membantu jiwa ini menyesuaikan diri dengan inang barunya, tanpa mengalami rasa sakit atau trauma yang tidak perlu. Dan kau ada di sini untuk mengganggu tugasku."

Walaupun masih pelan - pelan memulihkan kesadaran, menyesuaikan diri dengan dunia indra-indra baru ini, sekarang aku sadar akulah yang jadi subjek percakapan itu. Akulah jiwa yang sedang mereka bicarakan. Ini konotasi baru bagi kata jiwa, kata yang dulunya memiliki banyak arti lain bagi inangku. Kami menggunakan nama yang berbeda di setiap planet. Jiwa. Kurasa itu penggambaran yang tepat. Kekuatan tak terlihat yang menuntun tubuh.


"Jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku sama pentingnya dengan semua tanggung jawabmu terhadap jiwa itu."
"Itu bisa diperdebatkan."
Terdengar suara gerakan, dan mendadak perkataan perempuan itu berubah jadi bisikan. "Kapan responnya kembali? Mestinya pengaruh obat bius itu sudah hampir hilang."
"Saat dia sudah siap. Biarkan saja. Dia berhak menangani situasinya, dengan cara yang paling nyaman untuknya. Bayangkan keterkejutan yang bakal dialaminya ketika terbangun--di dalam tubuh inang pemberontak yang cedera sampai nyaris mati ketika berusaha meloloskan diri! Seharusnya siapa pun tak perlu mengalami trauma semacam ini di saat-saat damai!" Suara lelaki itu meninggi seiring emosinya.
"Dia kuat." Nada suara perempuan itu kini meyakinkan. "Lihat betapa baiknya dia menangani ingatan pertama. Ingatan terburuk. Apa pun yang dia harapkan, dia berhasil menangani ingatan pertama itu."
"Kenapa dia harus menghadapinya?" gumam lelaki itu, tapi sepertinya ia tidak mengharapkan jawaban.
Perempuan itu toh menjawab juga. "Kalau kita ingin memperoleh informasi yang kita perlukan--"
"Perlu adalah perkataanmu. Aku akan memilih istilah ingin."
"Maka seseorang harus menghadapi ketidaknyamanan itu," perempuan itu melanjutkan, seakan-akan si lelaki tidak menyela perkataannya. "Dan kurasa, dari segala yang kuketahui tentang jiwa yang satu ini, dia akan menerima tantangan itu, seandainya ada cara untuk bertanya kepadanya. Nama apa yang kauberikan kepadanya tadi?"

Lelaki itu terdiam untuk waktu lama. Perempuan itu menanti.
"Wanderer--Pengelana," jawab lelaki itu enggan, pada akhirnya.
"Cocok," ujar perempuan itu. "Aku sama sekali tak punya statistik resmi, tapi agaknya dia termasuk salah satu dari sedikit sekali jiwa--jika bukan satu-satunya--yang telah berkelana sejauh ini. Ya. Wanderer akan cocok untuknya, sampai dia memilih sendiri nama barunya."
Lelaki itu diam saja.
"Tentu saja dia bisa memakai nama inangnya... Kami tidak menemukan kecocokan dalam catatan sidik jari atau pemindaian retina. Aku tidak bisa mengatakan kepadamu siapa namanya."
"Dia takkan menggunakan nama manusia," gumam lelaki itu.
Jawaban si perempuan menenangkan. "Setiap individu menemukan kenyamanan dengan caranya sendiri."
"Dibandingkan sebagian besar individu, Wanderer ini akan memerlukan lebih banyak kenyamanan. Berkat gaya Pencarian-mu."

Teerdengar suara-suara tajam--langkah terputus-putus di atas lantai keras. Ketika kembali berbicara, suara perempuan itu terdengar dari seberang ruangan tempat lelaki itu berada.
"Kau pasti bereaksi buruk terhadap hari - hari awal pendudukan planet ini," ujarnya.
"Mungkin kau yang bereaksi buruk terhadap perdamaian."
Perempuan itu tertawa, tapi suaranya palsu--tak terdengar nada gembira yang sejati. Tampaknya benakku sangat ahli menyimpulkan arti sesungguhnya, berdasarkan nada dan tinggi-rendah suara.

"Kau tidak punya persepsi yang jernih mengenai Panggilan-ku. Berjam-jam membungkuk di atas arsip dan peta. Sebagian besar pekerjaan administrasi.  Jarang terjadi konflik atau kekerasan seperti yang tampaknya kaubayangkan."
"Sepuluh hari lalu kau dilengkapi senjata pembunuh, ketika mengejar tubuh ini."
"Kuyakinkan kau, itu perkecualian, bukan peraturan. Jangan lupa, senjata - senjata yang bagimu menjijikan itu akan terarah pada bangsa kita seandainya kami, para Pencari, tidak cukup waspada. Manusia membunuh kita dengan senang hati kapan pun mereka mampu melakukannya. Jiwa yang kehidupannya pernah disentuh kekerasan akan menganggap kami pahlawan."
"Kau bicara seakan perang sedang berkecamuk."
"Memang, bagi umat manusia yang masih tersisa."
Perkataan ini terdengar lantang di telingaku. Tubuhku bereaksi terhadapnya; kurasakan napasku memburu, kudengar jantungku memompa lebih kencang daripada biasa. Di samping tempat tidur tempatku berbaring, sebuah mesin mencatat peningkatan-peningkatan itu dengan suara teredam. Penyembuh dan Pencari terlalu asyik dengan perselisihan mereka sehingga tidak memperhatikan.

"Tapi mereka pun seharusnya menyadari mereka telah lama kalah perang. Berapa banyak mereka kalah dalam jumlah? Sejuta berbanding satu? Kurasa kau tahu perbandingan tepatnya."
"Kemungkinan menang memang cukup tinggi di pihak kami," dengan enggan perempuan itu mengakui.
Penyembuh tampak puas, dan membiarkan perselisihan berakhir dengan informasi tadi. Sejenak suasana hening.
Kugunakan saat kosong ini untuk mengevaluasi situasiku, yang sebagian besar sudah jelas.

---

The Host - Bab 1

0 comments
Teringat 
  
Aku tahu semua akan dimulai dengan bagian akhir, dan bagian akhir akan tampak bagai kematian bagi mata ini. Aku sudah diingatkan.
Bukan mata ini. Mataku. Milikku. Ini adalah aku sekarang. 
Bahasa yang kugunakan aneh namun masuk akal. Terputus - putus, terkotak - kotak, buta, dan linear. Sangat timpang dibandingkan banyak bahasa yang pernah kugunakan, tapi masih bisa mengalir dan berekspresi. Terkadang indah. Ini bahasaku sekarang. Bahasa asliku.

Dengan insting paling sejati bangsaku, aku mengikatkan diri kuat - kuat ke dalam pusat pikiran tubuh itu, membelitkan diriku telak - telak ke dalam setiap napas dan refleksnya, sampai tubuh itu tak lagi jadi entitas terpisah. Itu aku.
Bukan tubuh itu, melainkan tubuhku.
Aku merasakan hilangnya pengaruh obat bius, digantikan kejernihan. Kukuatkan diri menghadapi serangan ingatan pertama, yang sesungguhnya adalah ingatan terakhir--yaitu saat - saat terakhir yang dialami tubuh ini, ingatan tentang akhir hayat. Aku sudah diingatkan mengenai apa yang akan terjadi sekarang. Semua emosi manusia ini bakal lebih kuat, lebih hidup daripada perasaan spesies manapun yang pernah kualami. Aku mencoba menyiapkan diri. 

Ingatan itu muncul. Dan, sebagaimana aku telah diingatkan, itu adalah sesuatu yang tak pernah bisa siap dihadapi. 
Ingatan itu menyayat dengan warna tajam dan suara berdenging. Kulit gadis ini dingin, rasa nyeri mencengkeram tungkai - tungkainya, membakar. Rasa di mulutnya sangat mirip besi. Lalu muncul indra baru, indra kelima yang belum pernah kumiliki, yang mengambil partikel-partikel dari udara dan mengubah mereka menjadi banyak pesan, kenikmatan, serta peringatan aneh dalam benak gadis ini--aroma - arom. Semua aroma itu mengganggu dan membingungkan bagiku, tapi tidak bagi ingatan gadis ini. Ingatan itu tak punya waktu bagi aroma - aroma baru ini. Ingatan itu hanya dipenuhi rasa takut. 
Ketakutan mengunci gadis ini dalam jepitannya, mendorong sekaligus menghalangi tungkai - tungkai kikuk tak berdaya itu. Untuk kabur, lari--hanya itu yang bisa ia lakukan.

Aku gagal.

 Ingatan yang bukan milikku ini sangat mengerikan kekuatan dan kejernihannya, hingga menerobos kendaliku dan mengaburkan pemisahan, yaitu pengetahuan bahwa ini hanya ingatan, dan bukan diriku. aku terisap ke dalam neraka yang merupakan menit terakhir hidup gadis ini. Aku adalah dia, dan kami sedang berlari.

Gelap sekali. Aku tak bisa melihat. Aku tak bisa melihat lantai. Aku tak bisa melihat tanganku terulur di hadapanku. Aku berlari tanpa melihat dan mencoba mendengar para pengejar yang keberadaannya kurasakan di belakangku. Tapi denyut itu begitu keras di belakang telingaku, mengalahkan segala hal lain. 

Dingin, Seharusya tak jadi masalah sekarang, tapi rasanya menyakitkan. Aku sangat kedinginan.

Udara di hidung gadis ini tak nyaman. Busuk. Baunya busuk. Selama sedetik ketidaknyamanan itu menarikku, membebaskanku dari ingatan ini. Tapi hanya sedetik, lalu aku kembali terseret masuk, dan mataku dipenuhi air mata kengerian. 

 Panas menyerbu urat - urat nadiku, dan kebencian yang luar biasa nyaris mencekikku. 
Aku belum pernah merasakan emosi semacam ini di dalam seluruh masa kehidupanku. Selama sedetik perasaan muak menarikku menjauhi ingatan itu. Raungan melengking menembus telinga dan berdenyut di kepalaku. Suaranya menggores jalan napasku. Tenggorokanku sedikit nyeri.

Menjerit, tubuhku menjelaskan. Kau sedang menjerit.
Aku terpaku syok, dan suara itu mendadak diam. 
Ini bukan ingatan. 
Tubuhku--gadis ini sedang berpikir! Sedang berbicara kepadaku!
Tapi ingatan itu lebih kuat, pada saat itu, sehingga mengalahkan rasa takjubku.  


"Jangan!" teriak mereka. "Ada bahaya di depan!"
Bahaya ada di belakang! aku balas berteriak dalam hati. Tapi aku melihat apa yang mereka maksud. Seberkas cahaya lemah, entah dari mana asalnya, menerangi ujung lorong. Jalan buntu yang kutakuti dan sekaligus kuharapkan itu ternyata bukan dinding rata atau pintu terkunci, melainkan lubang hitam.

Terowongan lift. Terlantar, kosong, dan terlarang, seperti bangunan ini. Dulunya tempat persembunyian, kini kuburan.
Perasaan lega membanjiriku ketika aku berlari ke depan. Ada jalan. Tak ada jalan untuk tetap hidup, tapi mungkin ada jalan untuk menang. 

Tidak, tidak, tidak! Segenap pikiran ini milikku, dan aku berjuang menarik diri dari gadis ini, tapi kami menyatu. Dan kami lari menuju tubir kematian. 

 



"Jangan!" Teriakan - teriakan itu semakin putus asa. 
Rasanya aku ingin tertawa ketika mengetahui diriku cukup cepat. aku membayangkan tangan mereka mencengkeram hanya beberapa senti di belakangku. Tapi aku secepat yang kuinginkan. Aku bahkan tidak berhenti di ujung lantai. Lubang itu menyambutku di tengah langkah. 
Kekosongan menelanku. Kakikku menggapai - gapai, sia - sia. Tanganku mencengkeram udara, mencakar - cakar, mencari sesuatu yang solid. Embusan dingin melesat melewatiku bagai tornado.

Aku mendengar suara gedebuk, sebelum merasakannya... Angin lenyap...
Lalu rasa sakit di mana - mana... Rasa sakit adalah segalanya. 
Hentikan.
Kurang tinggi, bisikku pada diri sendiri di antara rasa sakit. 
Kapan rasa sakitnya berakhir? Kapan...? 

Kegelapan menelan penderitaan itu, dan aku dipenuhi rasa syukur karena ingatan itu telah sampai pada kesimpulan terakhir ini.  Kegelapan merampas segalanya, dan aku bebas. Aku menghela napas untuk menenangkan diri, seperti kebiasaan tubuh ini. Tubuhku.
Tapi warnanya bergegas kembali, ingatan itu muncul dan menguasaiku lagi. 
Tidak! Aku panik, takut terhadap rasa dingin, rasa sakit, dan ketakutan itu sendiri. 
Tapi ini bukan ingatan yang sama. Ini ingatan dalam ingatan. Ini ingatan terakhir--bagai tarikan napas terakhir--tapi entah mengapa, lebih kuat daripada ingatan pertama.

Kegelapan  merampas segalanya kecuali ini: sebentuk wajah.
Wajah ini asing bagiku, seperti halnya sulur - sulur ular tak berwajah yang merupakan tubuh inang terakhirku akan terasa asing bagi tubuh baru ini. aku pernah melihat wajah seperti itu dalam gambar - gambar yang diberikan kepadaku sebagai persiapan untuk memasuki dunia ini. Sulit membedakan wajah - wajah itu, untuk melihat sedikit variasi dalam warna dan bentuk yang merupakan satu - satunya perbedaan mereka. Mereka memiliki begitu banyak kesamaan. Hidung dipusatkan di tengah, mata di atas dan mulut di bawah, telinga di samping. Sekumpulan indra, kecuali indra peraba, dipusatkan di satu tempat. Kulit menutupi tulang - tulang, rambut tumbuh di puncak kepala dan membentuk garis - garis berbulu aneh di atas mata. Beberapa punya lebih banyak bulu di bawah rahang, dan mereka selalu berjenis kelamin laki - laki. Warna kulit berkisar antara cokelat, krem pucat, sampai gelap, nyaris hitam. Selain itu, bagaimana cara membedakan wajah yang satu dengan lainnya?

Wajah ini pasti kukenali di antara jutaan wajah lainnya. 
Wajah ini berbentuk persegi tegas, bentuk tulang - tulangnya kuat di balik kulit. Warna kulitnya cokelat muda keemasan. Warna rambutnya hanya sedikit lebih gelap daripada warna kulitnya, tapi ada helai - helai rambut kuning muda yang mencerahkannya. Rambut itu hanya menutupi kepala serta membentuk garis - garis berbulu aneh di ats mata. Iris yang melingkar di dalam bola mata putihnya lebih gelap daripada warna rambutnya, tapi--seperti rambutnya--berbintik - bintik terang. Ada gurat-gurat kecil di sekeliling mata, dan ingatan gadis ini memberitahuku gurat-gurat itu terbentuk akibat tersenyum dan menyipitkan mata di terik matahari. 

Aku sama sekali tak tahu apa yang disebut tampan di antara orang - orang asing ini, namun aku tahu wajah ini tampan. Aku ingin terus memandanginya. Ketika ini kusadari, wajah itu langsung menghilang.
Milikku, ujar pikiran mahluk asing yang seharusnya tidak lagi eksis itu.
Sekali lagi aku terpaku, terpana. Seharusnya tak ada siapa-siapa di sini, kecuali diriku. Namun pikiran ini begitu kuat dan penuh kesadaran!
Mustahil. Bagaimana mungkin gadis ini masih di sini? Ini aku sekarang.

Milikku, bentakku kepadanya. Kekuatan dan otoritas yang hanya milikku mengalir melalui kata itu. Semua milikku
Lalu mengapa aku meladeni perkataannya? aku bertanya-tanya saat suara-suara mengusik pikiranku.

---

The Host - Prolog

0 comments

Disisipkan

Nama sang Penyembuh Fords Deep Waters --Mengarungi Perairan Dalam.
Karena ia sesosok jiwa, tentu saja ia serbabaik: penyayang, sabar, jujur, bijak dan penuh cinta. Kecemasan adalah emosi yang tak biasa bagi Fords Deep Waters.
Kejengkelan bahkan lebih langka. Namun karena Fords Deep Waters hidup di dalam tubuh manusia, kejengkelan kadang tak terhindarkan.
Ketika bisik - bisik para murid Penyembuh berdengung jauh di sudut ruang operasi, bibir Fords mengatup erat membentuk garis tipis. Ekspresinya serasa tidak pantas di bibir yang lebih sering membentuk senyuman itu.
Darren, asisten tetapnya, melihat seringai itu dan menepuk bahu Fords. 
"Mereka hanya penasaran, Fords," ujar Darren pelan.

Penyisipan nyaris tak bisa disebut prosedur yang menarik atau menantang. Jiwa di jalanan pun bisa melakukannya dalam keadaan darurat. "Tak ada yang bisa mereka pelajari melalui pengamatan hari ini". Fords terkejut mendengar nada tajam menodai suaranya yang biasanya menenangkan.
"Mereka belum pernah melihat manusia dewasa," kata Darren. 
Fords mengangkat sebelah alisnya. "Butakah mereka terhadap wajah mereka sendiri? Bukankah mereka punya cermin?"
"Kau tahu maksudku. Manusia itu liar. Belum berjiwa. Pemberontak."

Fords memandang tubuh tak sadar gadis itu, yang terbaring menelungkup di meja operasi. Rasa iba memenuhi hatinya ketika mendengar kondisi tubuh rusak malang itu saat para Pencari membawanya ke fasilitas Penyembuhan. Rasa sakit yang diderita gadis itu...


Tentu saja tubuh itu sekarang sempurna---sembuh seutuhnya. Fords telah memastikan hal itu.
"Dia kelihatan sama seperti kita semua," gumam Fords pada Darren. "Kita semua berwajah manusia. Dan saat terbangun dia juga akan jadi salah satu dari kita."
"Menakjubkan bagi mereka. Itu saja."
"Jiwa yang kita sisipkan hari ini patut dihormati, dan tubuh inangnya tidak boleh dipandangi dengan ternganga seperti itu. Banyak sekali yang harus dia hadapi nanti, ketika menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Tidak adil membuatnya mengalami ini." Saat mengatakan ini, maksud Fords bukanlah pandangan ternganga. Kembali Fords mendengar nada tajam dalam suaranya sendiri. 

Darren menepuknya lagi. "Semua akan baik - baik saja. Pencari memerlukan informasi dan--"
Ketika mendengar kata Pencari, Fords memberi Darren pandangan yang hanya bisa dijelaskan sebagai melotot. Darren mengerjap terkejut.
"Maaf." Fords langsung minta maaf. "Aku tidak bermaksud bereaksi senegatif itu. Aku hanya mengkhawatirkan jiwa ini." 
Matanya berpindah ke tangki krio di atas dudukannya di samping meja. Lampunya merah suram stabil, menandakan tangki itu berisi dan dalam mode hibernasi.
"Jiwa ini dipilih secara khusus untuk tugas ini," hibur Darren. 
"Dia luar biasa di antara bangsa kita--lebih berani daripada sebagian besar kita. Kehidupan-kehidupan yang pernah dijalaninya membuktikan hal itu. Kurasa dia akan menawarkan diri, seandainya kita bisa menanyainya."
"Siapa diantara kita yang tidak akan menawarkan diri jika diminta melakukan sesuatu demi kebaikan bersama? Tapi apakah memang seperti itu? Tercapaikah kebaikan bersama dengan ini? Yang jadi pertanyaan bukanlah kesediaan jiwa ini, melainkan permintaan apa yang pantas dibebankan kepada jiwa mana pun."

Murid - murid penyembuh juga sedang membahas jiwa yang berhibernasi itu. Fords bisa mendengar bisik - bisik itu dengan jelas; suara mereka kini membumbung, semakin lantang sejalan dengan kegairahan mereka.

"Harap tenang!" Sela Fords. "Kalau kalian tidak bisa mengamati dengan tenang dan profesional, aku harus mengusir kalian."
Dengan malu keenam murid diam dan beringsut menjauh. 
"Ayo kita lanjutkan, Darren."

Semua sudah disiapkan. Obat - obatan yang diperlukan diletakkan di sisi gadis manusia itu. Rambut hitam panjang gadis itu diamankan di balik topi bedah, memaparkan leher jenjangnya. 
Karena dibius total, ia menarik dan mengembuskan napas perlahan - lahan. Kullit cokelatnya yang terpanggang matahari nyaris tak memiliki tanda yang memperlihatkan... Kecelakaan itu.
"Silahkan memulai proses pencairan, Darren."
Asisten berambut kelabu itu sudah menanti di samping tangki krio; tangannya pada tombol. Ia menjentikkan kait pengaman dan memutar tombol. Lampu merah di atas silinder abu - abu kecil itu mulai berkedip - kedip, berkilat makin cepat ketika detik demi detik berlalu, lalu berubah warna. 
Fords berkonsentrasi pada tubuh tak sadar itu. Ia menggoreskan pisau bedah ke kulit di bagian bawah tengkorak subjek dengan gerakan - gerakan kecil dan tepat, menyemprotkan obat untuk menghentikan aliran darah berlebih, lalu melebarkan luka. Dengan lembut ia merogoh ke balik otot - oto leher subjek, berhati - hati agar tidak mencederai otot - otot itu, lalu menyingkapkan tulang - tulang pucat di bagian atas tulang belakang.

"Jiwanya sudah siap, Fords," Darren memberitahu.
"Aku juga. Bawa dia."

Fords merasakan kehadiran Darren di sikunya, dan tanpa melihat pun ia tahu asistennya akan siap, dengan tangan terulur dan menanti. Sudah bertahun - tahun mereka bekerja sama. Fords menahan luka itu agar tetap terbuka.
"Kirim dia pulang," bisiknya.
Gerakan tangan Darren tertangkap mata Fords, kilau perak jiwa yang bangkit berada dalam tangkupan tangannya. 
Fords selalu terpesona saat melihat jiwa yang terpapar. 
Jiwa itu berkilau di tengah lampu - lampu terang ruang operasi, lebih cemerlang daripada instrumen perak mengilat di tangan Fords. Seperti pita hidup, jiwa itu meliuk dan bergetar, menggelliat, merasa senang terbebas dari tangki krio. Kaki - kaki lurus berbulunya, yang nyaris seribu jumlahnya, bergelombang lembut bagai rambut perak pucat. Walaupun semua jiwa indah, jiwa yang satu ini tampak sangat anggun bagi Fords Deep Water.

Bukan hanya Fords yang terpesona. Ia mendengar desah pelan Darren dan gumam kagum para murid. 
Dengan lembut Darren meletakkan mahluk kecil berkilau itu ke celah yang dibuat Fords pada leher si manusia. Jiwa itu meluncur tenang ke dalam ruang yang ditawarkan, lalu menjalinkan diri ke dalam anatomi asing itu. Fords mengagumi keahlian jiwa itu dalam menguasai rumah barunya; kaki - kaki itu membelit kencang, menempatkan diri di sekeliling pusat - pusat saraf, beberapa di antaranya memanjang dan menjangkau lebih dalam, ke tempat yang tak bisa dilihat Fords, ke bawah dan ke atas, ke dalam otak, saraf - saraf penglihatan, kanal - kanal telinga. Gerakan jiwa itu sangat cepat dan mantap. Segera saja hanya satu segmen kecil tubuh berkilaunya yang masih terlihat. 


"Bagus sekali," bisik Fords pada jiwa itu, walaupun ia tahu bisikannya tak bisa didengar. Gadis manusia itulah yang bertelinga, dan ia masih tidur nyenyak.

Penyelesaian pekerjaannya hanya masalah rutin. Fords membersihkan dan menyembuhkan luka itu, mengoleskan salep untuk menutup goresan di belakang jiwa itu, lalu mengusapkan serbuk penghalus luka di atas garis yang tertinggal di leher si gadis.
"Sempurna, seperti biasa," ujar sang asisten. Untuk alasan tertentu di luar pemahaman Fords, asistennya itu tetap memakai nama inang manusianya; Darren.

Fords mendesah. "Aku menyesali  pekerjaan hari ini."
"Kau hanya melaksanakan kewajibanmu sebagai Penyembuh."
"Ini kejadian langka, karena Penyembuhan malah menciptakan luka."

Darren mulai membersihkan tempat kerja mereka. Tampaknya ia tidak tahu harus menjawab apa. Fords memenuhi Panggilannya. Itu cukup bagi Darren.
Tapi itu tidak cukup bagi Fords Deep Water. Ia Penyembuh sejati, sampai pada inti keberadaannya. Dengan gelisah dipandanginya tubuh manusia perempuan yang sedang tidur dengan damai itu, dan tahu kedamaian ini akan langsung hancur setelah tubuh itu terbangun. Semua kengerian akhir hayat perempuan muda ini akan ditanggungkan oleh jiwa tak berdosa yang baru saja ia tempatkan di dalamnya.
Ketika membungkuk di atas tubuh manusia itu dan berbisik di telinganya, Fords berharap setengah mati agar jiwa di dalamnya bisa mendengar perkataannya.
"Semoga beruntung, pengelana kecil, semoga beruntung. Betapa aku berharap kau tidak memerlukan ucapan itu."

---


Jual Nugget dan Sosis Sayur

Jual Nugget dan Sosis Sayur
Pemesanan via email : lwati111@gmail.com

The Host - Bab 3

0 comments

Melawan

"Dia tidak mengenali nama baru itu," gumam Penyembuh. Sensasi baru mengalihkan perhatianku. Sesuatu yang menyenangkan, perubahan di udara ketika Pencari berdiri di sampingku. Aroma, pikirku menyadari. Sesuatu yang berbeda dari ruangan steril tak berbau ini. Parfum, ujar benak baruku. Wangi bunga, memabukkan...
"Bisakah kau mendengarku?" tanya Pencari, menyela analisisku.
"Kau sudah sadar?"
"Jangan tergesa-gesa," desak Penyembuh, suaranya lebih lembut daripada sebelumnya.
Aku tidak membuka mata. Aku tak ingin perhatianku terganggu. Benakku memberiku kata - kata yang kuperlukan dan nada suara yang bisa mengungkapkan maksud yang tak bisa kuucapkan tanpa menggunakan banyak kata.
"Apakah aku ditempatkan dalam tubuh inang rusak untuk memperoleh informasi yang kauperlukan, Pencari?"
Terdengar suara helaan napas--gabungan antara terkejut dan marah--lalu sesuatu yang hangat menyentuh kulitku, menutup tanganku.
"Tentu saja tidak, Wanderer," ujar lelaki itu menenangkan. "Bahkan Pencari sekalipun memiliki batas - batas tertentu."
Pencari kembali menghela napas. Mendesis, ingatanku membetulkan.
"Lalu mengapa benak ini tidak berfungsi dengan benar!"
Sejenak hening.
"Seluruh pemindaiannya sempurna," jawab Pencari. Kata-katanya tidak menenangkan, tapi bersifat menyanggah. Apakah ia ingin bertengkar denganku?" Tubuh itu sudah sembuh sepenuhnya."
"Dari usaha bunuh diri yang nyaris berhasil." Nada suaraku kaku, masih marah. Aku tidak terbiasa dengan kemarahan. Sulit mengendalikannya.
"Semua sempurna--"
Penyembuh menyela perkataan Pencari. "Apanya yang kurang?" tanyanya."Jelas kau telah mengakses kemampuan bicara."

"Ingatan. Aku mencoba menemukan apa yang diinginkan Pencari"
Walaupun tak ada suara yang terdengar, terjadi perubahan. Suasana yang menegang akibat tuduhanku, berubah tenang. Aku bertanya-tanya bagaimana caraku mengetahuinya. Aku punya sensasi aneh bahwa, entah mengapa, yang kuterima melebihi yang diberikan kelima indraku--nyaris menyerupai perasaan bahwa ada indra lain, di tepian, yang belum banyak dimanfaatkan. Intuisi? Itu kata yang nyaris tepat. Seolah-olah ada makhluk yang memerlukan lebih dari lima indra.



Benak ini menggunakan lebih banyak kemampuan alamiku dibandingkan dengan inang apa pun sebelumnya, dan hanya meninggalkan 181 perlekatan cadangan. Mungkin banyaknya pengikatan adalah penyebab emosi - emosi benak ini begitu hidup.
Kuputuskan untuk membuka mata. aku merasa perlu mengecek ulang janji - janji Penyembuh  dan memastikan bagian lain diriku bekerja.
Cahaya. Terang, menyakitkan. Kupejamkan kembali mataku. Cahaya terakhir yang kulihat telah disaring melalui 180 meter kedalaman laut. Tapi mata ini pernah melihat cahaya yang lebih cemerlang dan mampu menanganinya. Aku membuka mata sedikit, menjaga bulu mataku tetap menutupi bukaan itu.
"Kau ingin aku mematikan semua lampu?"
"Tidak, Penyembuh. Mataku akan menyesuaikan diri."
"Bagus sekali," katanya. Dan aku mengerti pujian ini dimaksudkan untuk penggunaan kata kepemilikan yang kulakukan dengan mudahnya.
Keduanya menunggu dengan tenang sementara mataku melebar perlahan - lahan.

Benakku mengenali tempat ini sebagai ruangan biasa di sebuah fasilitas medis. Rumah sakit. Ubin langit-langitnya berwarna putih, berbintik-bintik agak gelap. Lampu-lampunya persegi panjang dan berukuran sama dengan ubinnya, menggantikan beberapa ubin dengan jarak teratur. Dinding-dindingnya hijau muda. Warna yang menenangkan, tapi juga warna penyakit. Pilihan buruk. Dengan cepat benakku membentuk opini.

Orang - orang yang sedang memandangiku lebih menarik daripada ruangannya. Kata dokter langsung terdengar dalam benakku ketika mataku tertambat pada Penyembuh. Ia mengenakan pakaian hijau kebiruan longgar yang memperlihatkan kedua lengannya. Jubah rumah sakit. Ada rambut di wajahnya, dengan warna aneh yang disebut ingatanku sebagai merah.
Merah! Sudah tiga dunia semenjak aku melihat warna itu atau warna-warna lain. Bahkan warna kuning keemasan ini pun memenuhiku dengan nostalgia.

Penyembuh berwajah seperti manusia umumnya bagiku, tapi pengetahuan di dalam ingatanku menyebut kata baik hati.
Napas tak sabar membetot perhatianku pada Pencari.
Tubuh perempuan itu sangat kecil. Seandainya ia tetap diam akan perlu waktu lebih lama bagiku untuk menyadari keberadaannya di sana, di samping Penyembuh. Ia tidak menarik, bagaikan kegelapan dalam ruangan terang. Ia mengenakan pakaian hitam dari dagu sampai pergelangan tangan--setelah konservatif dengan baju sutra turtleneck di baliknya. Rambutnya juga hitam, memanjang sampai dagu dan disingkirkan ke balik telinga. Kulitnya lebih gelap daripada warna kulit Penyembuh. Warna zaitun.

Perubahan kecil dalam ekspresi wajah manusia sangat minimal, sehingga sulit sekali dibaca. Tapi ingatanku mampu menyebutkan arti pandangan di wajah perempuan ini. Sepasang alis hitam, yang melengkung ke bawah di atas mata yang sedikit menonjol, menciptakan bentuk yang kukenal. Bukan kemarahan. Keseriuan. Kejengkelan.

"Seberapa sering ini terjadi?" tanyaku, kembali memandang Penyembuh.
"Tidak sering," Penyembuh mengakui. "Kami hanya punya sedikit sekali persediaan inang dewasa. Inang - inang yang belum dewasa sangat mudah dikendalikan. Tapi kau mengindikasikan bahwa kau lebih suka memulai sebagai mahluk dewasa..."
"Ya."

"Sebagian besar permintaan adalah kebalikannya. Masa hidup manusia jauh lebih pendek daripada yang biasa kaualami." 
"Aku sangat memahami semua faktanya, Penyembuh. Pernahkah kau menangani... perlawanan semacam ini?"
"Hanya sekali."
"Ceritakan fakta-fakta kasusnya." Aku diam sejenak. "Kumohon," imbuhku, karena merasa perintahku tidak sopan. 
Penyembuh mendesah.
Pencari mulai mengetuk-ngetukkan jemari. Tanda ketidaksabaran. Ia tak sabar menunggu hal yang ia inginkan. 
"Ini terjadi empat tahun yang lalu," Penyembuh memulai. "Jiwa itu meminta inang dewasa jantan. Yang pertama tersedia adalah manusia yang telah tinggal dalam kelompok perlawanan semenjak tahun-tahun awal pendudukan. Manusia itu... tahu apa yang akan terjadi seandainya dia tertangkap."
"Persis seperti inangku."
"Ehm, ya." Ia berdehem. "Ini baru kehidupan kedua jiwa itu. Dia datang dari Blind World--Dunia buta."
"Blind World?" tanyaku, refleks memiringkan kepala. 
"Oh, maaf, kau tak mungkin tahu sebutan yang kami berikan. Tapi ini salah satu duniamu, bukan?" Ia mengeluarkan alat dari saku. Komputer; lalu melakukan pemindaian dengan cepat. "Ya, planet ketujuhmu. Di sektor ke-81."
 "Blind World?" ujarku lagi, kini suaraku tidak setuju. 
"Ya. Well, sebagian yang pernah tinggal di sana lebih suka menyebutnya Singing World--Dunia Menyanti."
Aku mengangguk pelan. Aku lebih suka sebutan itu. 
"Dan sebagian yang belum pernah ke sana menyebutnya Planet of the Bats--Planet Kelelawar," gumam Pencari.
Aku mengalihkan pandangan kepadanya, dan merasakan kedua mataku menyipit ketika benakku menggali gambaran yang sesuai dengan hewan pengerat terbang jelek yang disebutkannya. 

"Kurasa kau salah satu yang belum pernah tinggal di sana, Pencari," ujar Penyembuh ringan. "Pertama-tama kami menyebut jiwa ini Racing song. Itu terjemahan bebas dari namanya di... Singing World. Tapi dia segera memilih menggunakan nama inangnya, Kevin. Walaupun berdasarkan latar belakangnnya jiwa ini mendapat Panggilan dalam Pertunjukan Musik, dia menyatakan lebih nyaman melanjutkan bidang pekerjaan inangnya, yaitu mekanik.
"Tanda-tanda ini, entah mengapa, mengkhawatirkan Penghibur yang ditugaskan mendampinginya, walaupun tanda-tanda ini masih dalam batas-batas normal.
"Lalu Kevin mulai mengeluh dirinya pingsan secara berkala. Mereka membawanya kembali kepadaku, dan kami melakukan banyak tes untuk memastikan tak ada cacat tersembunyi di dalam otak inang itu. Selama pengetesan, beberapa Penyembuh mengamati adanya perbedaan besar dalam perilaku dan kepribadian Kevin. Ketika kami menanyakan hal itu kepadanya, dia mengatakan tidak ingat beberapa pernyataan dan tindakan tertentu. Kami terus mengamatinya, bersama-sama dengan Penghibur-nya, dan akhirnya tahu si inang secara berkala menguasai tubuh Kevin."

"Menguasai?" Mataku membelalak. "Tanpa disadari jiwa itu? Si inang kembali mengambil alih tubuhnya?"
"Sayangnya, ya. Kevin tidak cukup kuat untuk menundukkan inang ini."
Tidak cukup kuat.
Apakah mereka juga akan menganggapku lemah? Apakah aku lemah, sehingga tak bisa memaksa benak ini menjawab pertanyaan-pertanyaanku? Bahkan lebih lemah, karena pikiran-pikiran hidup gadis ini berada di dalam kepalaku, padahal seharusnya tidak ada apa - apa di sana kecuali ingatan? Aku selalu menganggap diriku kuat. Gagasan mengenai kelemahan ini membuatku tersentak. Membuatku malu. 

Penyembuh melanjutkan, "Terjadi peristiwa-peristiwa  tertentu, lalu diputuskan--"
"Peristiwa-peristiwa apa?"
Penyembuh menunduk tanpa menjawab.
"Peristiwa-peristiwa apa?" desakku lagi. "Aku yakin aku berhak tahu."
Penyembuh mendesah. "Memang. Kevin... menyerang salah satu Penyembuh secara fisik ketika dia sedang tidak menjadi... dirinya sendiri." Ia mengernyit. "Dia memukul Penyembuh sampai pingsan dengan kepalan tangannya, lalu menemukan pisau bedah Penyembuh. Kami menemukan Kevin tak sadarkan diri. Si inang mencoba mengeluarkan jiwa itu dari tubuhnya."

Perlu sejenak sebelum aku mampu bicara. Bahkan setelah itu pun, suaraku hanya berupa embusan napas. "Apa yang terjadi pada mereka?"
"Untungnya si inang tak bisa mempertahankan kesadarannya cukup lama untuk menimbulkan kerusakan parah. Kevin direlokasi, kali ini ke dalam tubuh inang yang belum dewasa. Inang yang menyusahkan itu rusak parah, dan diputuskan bahwa tindakan menyelamatkannya takkan banyak berguna. 

"Kini Kevin berusia tujuh tahun manusia, dan dia benar-benar normal... walaupun tetap mempertahankan nama Kevin. Para penjaganya berusaha keras agar dia selalu terpapar pada musik, dan itu berjalan dengan baik..." Perkataan terakhir itu ditambahkan, seakan merupakan berita baik--berita yang, entah mengapa, bisa membatalkan semua perkataan lainnya.
"Mengapa?" Aku berdehem agar suaraku bisa lebih keras.  "Mengapa risiko-risiko ini tidak diberitahukan?"
"Sesungguhnya," Sela Pencari, "hal itu dinyatakan dengan sangat jelas di dalam semua propaganda perekrutan. Bahwa menyesuaikan diri di dalam tubuh inang manusayang masih tersisa akan jauh lebih menantang daripada menyesuaikan diri di dalam tubuh inang anak-anak. Inang yang belum dewasa sangat dianjurkan."

"Kata menantang tidak mencakup seluruh cerita Kevin," bisikku.
"Ya, well, kau memilih untuk mengabaikan anjuran itu." Pencari mengangkat kedua tangan, mengisyaratkan perdamaian, ketika tubuhku menegang hingga kain kaku di tempat tidur sempit itu berdesir pelan. "Bukannya aku menyalahkanmu. Masa kanak-kanak sangat membosankan. Dan kau jelas bukan sembarang jiwa. Aku sangat percaya kau mampu menangani hal ini. Ini hanya inang biasa. Aku yakin kau akan segera mendapat akses dan kendali penuh."

Berdasarkan pengamatanku terhadap Pencari sejauh ini, aku akan terkejut seandainya ia punya kesabaran untuk menunggu penundaan apa pun, bahkan penyesuaian diriku secara pribadi. Aku bisa merasakan kekecewaannya, karena tidak ada informasi yang bisa kuberikan, dan ini mendatangkan kembali sebagian perasaan marah yang tak kukenal.

"Terpikirkah olehmu bahwa kau bisa memperoleh jawaban yang kaucari jika dirimu sendiri disisipkan ke dalam tubuh ini?" tanyaku.
Tubuh Pencari menegang. "Aku bukan peloncat."
Kedua alisku otomatis naik.
"Itu sebutan lain," jelas Penyembuh, "bagi mereka yang tidak menyelesaikan satu masa kehidupan di dalam tubuh inang mereka."
Aku mengangguk paham. Kami punya nama untuk itu di dunia-duniaku yang lain. Di dunia mana pun, hal itu tidak disukai. Jadi aku berhenti menanyai Pencari dan memberinya informasi sebisa mungkin. 

"Namanya Melanie Stryder. Dia dilahirkan di Albuquerque, New Mexico. Dia berada di Los Angeles ketika mengetahui peristiwa pendudukan itu, dan dia bersembunyi di hutan belantara selama beberapa tahun, sebelum menemukan... Hmmm. Maaf. Akan kucoba lagi bagian itu nanti. Tubuhnya berusia dua puluh tahun. Dia menyetir ke Chicago dari..." Aku menggeleng. "Ada beberapa tahap perjalanan, dan tidak semuanya sendirian. Itu kendaraan curian. Dia sedang mencari sepupu bernama Sharon. Dia punya alasan untuk berharap Sharon masih manusia. Dia tidak menemui ataupun menghubungi siapa pun sebelum dirinya kepergok. Tapi..." Aku berjuang melawan dinding kosong lain. "Kurasa... aku ragu... kurasa dia meninggalkan catatan... di suatu tempat."
"Jadi dia berharap seseorang akan mencarinya?" tanya Pencari bersemangat. 
"Ya. Dia akan... dicari. Jika dia tidak bertemu dengan..." Aku mengertakkan gigi, kini aku benar-benar berjuang. Dinding itu hitam dan aku tak tahu seberapa tebal. Kupukul-pukul dinding itu. Butir-butir keringat muncul di kening. Pencari dan Penyembuh benar - benar diam, membiarkanku berkonsentrasi. 

Aku mencoba memikirkan sesuatu yang lain--suara - suara bising tak kukenal yang dikeluarkan mesin mobil, kegelisahan yang memacu adrenalin setiap kali lampu-lampu kendaraan lain mendekat di jalanan. Aku sudah memperoleh ingatan ini, dan tak ada yang melawanku. Aku membiarkan ingatan itu membawaku bersamanya, membiarkannya melompati perjalanan kaki dingin melewati kota di bawah naungan kegelapan malam, membiarkan ingatan itu bergulir ke bangunan tempat mereka menemukanku. 
Bukan menemukanku, tapi menemukan gadis ini. Tubuhku gemetar. 
"Jangan terlalu memaksa--" Penyembuh memulai.
Pencari menyuruhnya diam.

Aku membiarkan benakku tetap terpaku pada kengerian saat tepergok, kebencian membara para Pencari yang nyaris mengalahkan segalanya. Itu kebencian yang jahat; itu kebencian menyakitkan. Aku nyaris tak sanggup menanggungnya. Tapi aku membiarkan ingatan itu terus mengalir, dan berharap tindakanku bisa mengusik perlawanan itu, memperlemah pertahanan-pertahanannya. 

Kuamati dengan saksama ketika gadis ini mencoba bersembunyi, lalu tahu ia tidak bisa. Sebuah catatan, digoreskan di atas puing dengan pensil patah. Disorongkan cepat-cepat ke bawah pintu. Bukan sembarang pintu. 
"Patokannya adalah pintu kelima di lorong kelima di lantai lima. Catatan itu ada di sana."

Pencari memegang telepon kecil; ia bergumam cepat di telepon itu.
"Bangunan itu seharusnya aman," lanjutku. "Para Pencari tahu bangunan itu terlarang. Gadis ini tak tahu bagaimana dirinya bisa ketahuan. Apakah mereka menemukan Sharon?"
Perasaan ngeri membuat kedua tanganku merinding.
Pertanyaan itu bukan berasal dariku. 
Itu bukan pertanyaanku, tapi mengalir alami lewat bibirku, seolah-olah pertanyaanku. Pencari tidak memperhatikan ada yang aneh.

"Sepupunya? Tidak, mereka tidak menemukan manusia lain," jawabnya, dan tubuhku mengendur sebagai respons. "Inang ini dipergoki sedang memasuki bangunan. Karena bangunan itu terlarang, warga yang mengamatinya merasa khawatir. Dia menelepon kami, dan kami mengawasi bangunan itu untuk melihat apakah bisa menangkap lebih dari seorang manusia, lalu kami bergerak masuk ketika hal itu tampak mustahil. Bisakah kau menemukan tempat pertemuannya?"
Aku mencoba.

Banyak sekali ingatan, semua begitu tajam dan penuh warna, Aku melihat ratusan tempat yang belum pernah kukunjungi, dan mendengar nama-nama mereka untuk pertama kalinya. Sebuah rumah di Los Angeles, dibatasi pohon-pohon palem tinggi. Padang rumput di hutan, lengkap dengan tenda dan perapian, di luar Winslow, Arizona. Pantai berbatu karang yang sepi di Meksiko. Gua dengan pintu masuk dijaga tirai hujan, di suatu tempat di Oregon. Tenda, gubuk, tempat-tempat perlindungan sederhana. Dengan berjalannya waktu nama-nama itu semakin kabur. Gadis ini tak tahu dimana dirinya berada, dan juga tak peduli. 

Kini namaku Wanderer, tapi ingatan-ingatan gadis ini sangat cocok dengan namaku, walaupun aku berkelana berdasarkan pilihan sendiri. Kilas - kilas ingatan ini selalu diwarnai ketakutan seorang buronan. Ia tidak berkelana, tapi melarikan diri. 

Aku mencoba untuk tidak merasa iba, tapi berjuang memfokuskan ingatan-ingatan itu. Aku tidak perlu mellihat kemana saja gadis ini pernah pergi, tapi hanya ke mana ia akan pergi. Aku menyortir gambar - gambar yang berkaitan dengan kata Chicago, tapi tampaknya semua hanya gambaran acak. Kuperluas jaringku. Ada apa di luar Chicago? Dingin, pikirku. Udaranya dingin, dan ada semacam kekhawatiran soal itu. 
Di mana? Aku mendesak, dan dinding itu muncul kembali. 
Kuembuskan napas dengan muak. "Di luar kota--di hutan belantara... taman nasional, jauh dari pemukiman mana pun. Bukan tempat yang pernah dia kunjungi, tapi dia tahu cara kesana."
"Berapa lama?", tanya Pencari.
"Segera." Jawaban itu muncul otomatis. "Sudah berapa lama aku di sini?"
"Kami membiarkan si inang menyembuhkan diri selama sembilan hari, hanya untuk benar-benar memastikan kepulihannya," jelas Penyembuh. "Penyisipannya hari ini, pada hari kesepuluh."

Sepuluh hari. Tubuhku merasakan gelombang kelegaan yang mengejutkan.
"Terlambat," kataku. "Untuk tempat pertemuan itu... atau bahkan catatan itu." Aku bisa merasakan reaksi si inang terhadap perkataanku--bisa merasakannya jauh lebih kuat. Inang ini nyaris merasa... puas. Aku membiarkan kata - kata yang hendak diucapkan si inang, supaya aku bisa mempelajarinya. "Lelaki itu takkan berada di sana."
"Lelaki?" Pencari menyambar informasi jenis kelamin yang kuucapkan. "Siapa?"
Dinding hitam menghujam dengan kekuatan lebih besar daripada yang digunakan gadis ini sebelumnya. Tapi ia sedikit terlambat. 
Sekali lagi wajah itu memenuhi benakku. Wajah tampan dengan kulit cokelat keemasan dan mata berbintik - bintik terang. Wajah yang menggugah perasaan nikmat mendalam yang aneh di tubuhku ketika aku memandanginya dengan begitu jelas di benakku. 


Walaupun dinding itu menghujam pada tempatnya, diiringi sensasi kejengkelan luar biasa, tindakan itu tidak cukup cepat. 
"Jared," jawabku. Dengan sama cepat, seakan perkataan itu berasal dariku, pikiran yang bukan milikku mengikuti nama itu lewat bibirku. "Jared aman."


---

The Host - Bab 2 bagian 2

0 comments

Aku berada di fasilitas Penyembuhan, sedang memulihkan diri dari insersi yang luar biasa traumatis. Aku yakin sebelum diberikan kepadaku, tubuh yang menampungku telah sembuh sepenuhnya. Inang yang rusak bakal dibuang.
Kurenungkan perselisihan pendapat antara Penyembuh dan Pencari. Menurut informasi yang kuperoleh sebelum memutuskan datang kemari, pendapat Penyembuh-lah yang benar. Permusuhan dengan beberapa kelompok manusia yang tersisa sudah berakhir. Planet yang disebut Bumi tenang dan damai sebagaimana terlihat dari luar angkasa, hijau dan biru mengundang, diselubungi asap putihnya yang tak berbahaya. Sepertinya halnya kebiasaan hidup jiwa, kini keselarasan ada di mana-mana.

Pertikaian verbal antara Penyembuh dan Pencari bukanlah hal biasa. Cukup agresif bagi bangsa kami. Membuatku bertanya-tanya, mungkinkah itu benar, desas-desus yang berupa bisikan bergelombang bagai ombak melalui pikiran-pikiran...
Perhatianku teralihkan, mencoba mengingat nama spesies yang menjadi inang terakhirku dulu. Kami punya nama. Aku tahu itu. Tapi karena tak lagi berhubungan dengan inang itu, aku tak bisa mengingatnya. Kami menggunakan bahasa yang jauh lebih sederhana daripada bahasa ini. Bahasa bisu pikiran yang menghubungkan kami semua dalam satu kesatuan pikiran. Itu kenyamanan yang penting, karena tubuh kami tertanam selamanya di dalam tanah hitam basah.
Aku bisa menggambarkan spesies itu dalam bahasa manusiaku yang baru. Kami hidup di dasar lautan luas yang menutupi seluruh permukaan dunia kami; dunia yang mempunyai nama, tapi juga telah lenyap. Kami masing - masing memiliki seratus tangan, dan di setiap tangan ada seribu mata, sehingga--dengan pikiran kami yang terhubung--tak satu pun pemandangan di perairan luas itu terlewatkan. Suara tak diperlukan, jadi mustahil untuk mendengarnya. Kami mencicipi air dan, dengan penglihatan kami, air itu menceritakan semua yang perlu kami ketahui. Kami mencicipi matahari-matahari yang sangat jauh di atas permukaan air, dan mengubah rasa mereka menjadi makanan yang kami butuhkan. Aku bisa menggambarkan diri kami, tapi tak bisa mengingat nama kami. Aku mendesah karena pengetahuan yang hilang itu, lalu merenungkan kembali pembicaraan yang telah kucuri dengar.

Sebagai patokan, jiwa tak mengucapkan apa pun kecuali kebenaran. Tentu saja para Pencari memiliki persyaratan - persyaratan untuk memenuhi Panggilan mereka, tapi di antara para jiwa tak pernah ada alasan untuk berbohong. Dengan bahasa pikiran spesies terakhirku dulu, akan mustahil untuk berbohong, bahkan seandainya kami menginginkannya. Namun karena tubuh kami tertanam, kami bercerita kepada diri sendiri untuk meringankan kebosanan. Bercerita adalah talenta yang paling dihargai, karena bermanfaat bagi semua orang. Terkadang fakta bercampur dengan fiksi sedemikian rupa sehingga, walaupun tak ada kebohongan yang diceritakan, sulit untuk mengingat apa yang sungguh - sungguh benar. Ketika memikirkan planet baru itu--Bumi yang begitu kering, begitu beragam, serta dipenuhi penduduk keji dan perusak sehingga nyaris tak terbayangkan--kengerian kami terkadang dikalahkan kegembiraan kami. Cerita - cerita berputar sangat cepat mengelilingi subjek baru yang menggetarkan itu. Perang-perang itu--perang! Bangsa kami harus berperang!--pertama-tama dilaporkan dengan akurat, lalu ditambah-tambahi dan dikarang-karang. Ketika cerita - cerita itu bertentangan dengan informasi resmi yang kucari, tentu saja aku memercayai laporan-laporan pertama itu. Tapi kudengar bisik-bisik seperti ini: tentang inang-inang manusia yang begitu kuat sehingga para jiwa terpaksa meninggalkan mereka. Inang-inang dengan benak yang tak bisa ditundukkan sepenuhnya. Jiwa-jiwa yang mengambil kepribadian raga, bukan sebaliknya. Cerita-cerita. Desas-desus liar. Kegilaan. Tapi itu tampaknya nyaris seperti tuduhan Penyembuh...

 Kubuang pikiran itu. Kecaman yang dilontarkan Penyembuh kemungkinan besar berarti ketidaksukaan yang dirasakan sebagian besar dari kami terhadap Panggilan Pencari. Siapa yang bersedia memilih kehidupan penuh konflik dan pengejaran? Siapa yang akan tertarik dengan pekerjaan menelusuri jejak inang-inang yang melawan dan menangkapi mereka? Siapa yang sanggup menghadapi kekejaman spesies ini, manusia - manusia keji yang membunuh dengan begitu mudah, dengan begitu tak berperasaan? Di sini, di planet ini, para Pencari bisa dikatakan telah menjadi... militan--otak baruku memasok istilah untuk konsep yang tak kukenal ini. Sebagian besar jiwa percaya bahwa hanya jiwa yang paling tidak beradab, yang paling tivdak berevolusi, yang lebih rendah di antara kami, yang akan tertarik menjadi Pencari. Meski begitu para Pencari memperoleh status baru di Bumi. Tak pernah sebelumnya peristiwa pendudukan begitu kacau. Tak pernah sebelumnya kehidupan begitu banyak jiwa dikorbankan. Para Pencari bertindak sebagai tameng perkasa, dan jiwa - jiwa di dunia ini berutang tiga hal kepada mereka: atas keamanan yang diupayakan para Pencari dalam kekacauan itu, atas risiko kematian final yang dihadapi para Pencari dengan sukarela setiap hari, dan atas tubuh - tubuh baru yang terus disediakan para Pencari.
Kini, setelah bahaya bisa dibilang sudah berlalu, tampaknya rasa terima kasih itu memudar. Dan, setidaknya untuk Pencari yang satu ini, perubahan itu tidaklah menyenangkan.

Mudah membayangkan pertanyaan-pertanyaan apa yang akan diajukan Pencari kepadaku. Walaupun Penyembuh mencoba mengulur waktu agar aku bisa menyesuaikan diri dengan tubuh baruku, aku tahu aku akan berbuat sebaik mungkin untuk membantu Pencari. Menjadi warna negara yang baik penting bagi setiap jiwa. Jadi aku menarik napas panjang untuk menyiapkan diri. Monitor mencatat gerakan itu. Aku tahu aku sedikit mengulur waktu. Aku benci mengakuinya, tapi aku takut. Demi memperoleh informasi yang diperlukan Pencari, aku harus menjelajahi ingatan - ingatan keji yang telah membuatku menjerit ketakutan. Lebih dari itu, aku takut terhadap suara yang kudengar begitu lantang di dalam kepalaku. Tapi kini gadis ini diam, dan memang sudah sepatutnya. Ia juga hanya sebuah ingatan. Seharusnya aku tidak merasa takut. Bagaimanapun, sekarang namaku Wanderer. Dan aku layak mendapatkan nama itu. Dengan satu tarikan napas panjang lagi, aku menyusup ke dalam ingatan-ingatan yang menakutkanku itu, dan langsung menghadapi semuanya dengan gigi dikertakkan. Aku bisa melompati bagian akhirnya--kini ingatan itu tak lagi menguasaiku. Dengan memutar cepat ingatan itu, aku kembali berlari melewati kegelapan, mengernyit, mencoba tidak merasakan apa-apa. Ingatan itu berlalu dengan cepat. Setelah menembus penghalang tadi, tidak sulit bagiku untuk melayang melewati hal - hal dan tempat - tempat yang lebih tidak menakutkan, untuk mencari informasi yang kuinginkan.

Aku melihat bagaimana gadis ini datang ke kota dingin ini, malam - malam dengan mengendarai mobil curian yang ia pilih karena penampilannya yang tidak mencolok. Ia menyusuri jalan - jalan Chicago dalam kegelapan, menggigil di balik mantel. Gadis ini sedang melakukan pencariannya sendiri. Ada orang lain seperti dia di sini, atau begitulan harapannya. Seseorang yang khusus. Seorang teman... bukan, kerabat. Bukan saudara kandung... seorang sepupu. Kata-kata itu muncul semakin lambat dan semakin lambat, dan mulanya aku tidak mengerti mengapa. Apakah ingatan ini terlupakan? Hilang dalam trauma yang nyaris mematikan? Apakah aku masih lamban akibat ketidaksadaranku? Aku berjuang untuk berpikir jernih. Sensasi ini terasa asing. Apakah tubuhku masih terbius? Aku merasa cukup waspada, tapi benakku berjuang sia - sia dalam memperoleh jawaban - jawaban yang kuinginkan. Aku mencoba jalur pencarian lain, berharap memperoleh respons-respons lebih jelas. Apa tujuan gadis ini? Ia hendak mencari ... Sharon--aku menemukan nama itu--dan mereka hendak...
Aku menabrak dinding. Kekosongan. Tidak ada apa-apa. Kucoba mengitari dinding itu, tapi aku tak bisa menemukan tepian kekosongan itu. Seakan informasi yang kucari telah dihapus. Seakan otak ini telah rusak. Kemarahan menguasaiku, panas dan liar. Aku terperangah, terkejut atas reaksi yang tidak diharapkan itu. Aku pernah mendengar ketidakstabilan emosi tubuh manusia, tapi ini berada di luar kemampuanku untuk mengantisipasi. Dalam delapan masa kehidupan penuhku, tak pernah emosi menyentuhku dengan kekuatan sedemikian rupa. Kurasakan darah berdenyut - denyut di leherku, berdentam-dentam di belakang telinga. Kedua tanganku mengepal erat. Mesin-mesin di sampingku melaporkan percepatan detak jantungku. Muncul reaksi di dalam ruangan; ketukan tajam sepatu Pencari yang menghampiriku, berbaur dengan suara langkah terseret yang lebih pelan, yang agaknya suara sepatu Penyembuh.

"Selamat datang di Bumi, Wanderer," kata suara perempuan itu.
 ---

The Host - Bab 2 bagian 1

0 comments
Mencuri Dengar

Suara-suara itu lembut dan dekat. Dan walaupun aku baru saja merasakan kehadiran mereka, tampaknya suara-suara itu bergumam di tengah percakapan.
"Aku khawatir ini terlalu berat baginya," kata salah satu. Suara itu lembut, namun dalam. Suara laki-laki. "Terlalu berat bagi siapapun. Penuh kekerasan!" Nadanya, memperlihatkan rasa muak.
"Dia hanya menjerit satu kali," kata suara lain yang lebih tinggi dan melengking. Suara perempuan. Suara itu menunjukkan sedikit rasa senang, seakan baru memenangkan argumen.
"Aku tahu," lelaki itu mengakui. "Dia sangat kuat. Yang lain mengalami jauh lebih banyak trauma, walaupun penyebabnya lebih sedikit."
"Aku yakin dia akan baik-baik saja, persis yang kubilang."
"Mungkin kau melenceng dari Panggilan-mu." Ada nada tajam dalam suara lelaki itu. Ingatanku menyebutnya sindiran. "Mungkin kau ditakdirkan untuk menjadi Penyembuh, seperti aku."
Perempuan itu mengeluarkan suara senang. Tertawa. "Aku meragukannya. Kami, para Pencari, lebih menyukai jenis diagnosis berbeda."
Tubuhku memahami kata ini, sebutan ini: Pencari. Kata itu mengirimkan getar ketakutan ke sekujur tulang belakangku. Reaksi yang tersisa. Tentu saja aku tak punya alasan untuk takut terhadap para Pencari.


"Terkadang aku bertanya-tanya apakah pengaruh kemanusiaan bisa menyentuh mereka yang berprofesi sepertimu," ujar lelaki itu. Suaranya masih masam karena jengkel. "Kekerasan adalah bagian dari pilihan hidupmu. Masih banyakkah temperamen asli tubuhmu yang tersisa,  sehingga kau menikmati kengeriannya?"
Aku terkejut atas tuduhan lelaki itu, terkejut mendengar nada suaranya. Percakapan ini nyaris menyerupai... argumen. sesuatu yang dikenal inangku, tapi belum pernah kualami.

Perempuan ini bersikap defensif. "Kami tidak memilih kekerasan. Kami menghadapinya, jika perlu. Dan kalian semua beruntung karena sebagian kita cukup kuat untuk menghadapi keadaan yang tidak menyenangkan. Kedamaian kalian bakal hancur tanpa pekerjaan kami."
"Itu dulu. Kurasa pekerjaanmu akan segera jadi sejarah."
"Kesalahan pernyataan itu sedang berbaring di sana, di tempat tidur."
"Seorang gadis manusia, sendirian dan tidak bersenjata! Ya, cukup mengancam kedamaian kita."
Perempuan itu mengembuskan napas keras-keras. Mendesah.
"Tapi dari mana asalnya? Bagaimana dia bisa muncul di tengah Chicago, kota yang sudah lama beradab, ratusan kilometer dari jejak kegiatan pemberontakan apa pun? Apakah dia bertahan hidup sendirian?"
Tampaknya perempuan itu mengemukakan pertanyaan-pertanyaan tadi tanpa mengharapkan jawaban, seakan ia sudah sering menyuarkan semua pertanyaan itu.

"Itu masalahmu, bukan masalahku," ujar lelaki itu. "Tugasku adalah membantu jiwa ini menyesuaikan diri dengan inang barunya, tanpa mengalami rasa sakit atau trauma yang tidak perlu. Dan kau ada di sini untuk mengganggu tugasku."

Walaupun masih pelan - pelan memulihkan kesadaran, menyesuaikan diri dengan dunia indra-indra baru ini, sekarang aku sadar akulah yang jadi subjek percakapan itu. Akulah jiwa yang sedang mereka bicarakan. Ini konotasi baru bagi kata jiwa, kata yang dulunya memiliki banyak arti lain bagi inangku. Kami menggunakan nama yang berbeda di setiap planet. Jiwa. Kurasa itu penggambaran yang tepat. Kekuatan tak terlihat yang menuntun tubuh.


"Jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku sama pentingnya dengan semua tanggung jawabmu terhadap jiwa itu."
"Itu bisa diperdebatkan."
Terdengar suara gerakan, dan mendadak perkataan perempuan itu berubah jadi bisikan. "Kapan responnya kembali? Mestinya pengaruh obat bius itu sudah hampir hilang."
"Saat dia sudah siap. Biarkan saja. Dia berhak menangani situasinya, dengan cara yang paling nyaman untuknya. Bayangkan keterkejutan yang bakal dialaminya ketika terbangun--di dalam tubuh inang pemberontak yang cedera sampai nyaris mati ketika berusaha meloloskan diri! Seharusnya siapa pun tak perlu mengalami trauma semacam ini di saat-saat damai!" Suara lelaki itu meninggi seiring emosinya.
"Dia kuat." Nada suara perempuan itu kini meyakinkan. "Lihat betapa baiknya dia menangani ingatan pertama. Ingatan terburuk. Apa pun yang dia harapkan, dia berhasil menangani ingatan pertama itu."
"Kenapa dia harus menghadapinya?" gumam lelaki itu, tapi sepertinya ia tidak mengharapkan jawaban.
Perempuan itu toh menjawab juga. "Kalau kita ingin memperoleh informasi yang kita perlukan--"
"Perlu adalah perkataanmu. Aku akan memilih istilah ingin."
"Maka seseorang harus menghadapi ketidaknyamanan itu," perempuan itu melanjutkan, seakan-akan si lelaki tidak menyela perkataannya. "Dan kurasa, dari segala yang kuketahui tentang jiwa yang satu ini, dia akan menerima tantangan itu, seandainya ada cara untuk bertanya kepadanya. Nama apa yang kauberikan kepadanya tadi?"

Lelaki itu terdiam untuk waktu lama. Perempuan itu menanti.
"Wanderer--Pengelana," jawab lelaki itu enggan, pada akhirnya.
"Cocok," ujar perempuan itu. "Aku sama sekali tak punya statistik resmi, tapi agaknya dia termasuk salah satu dari sedikit sekali jiwa--jika bukan satu-satunya--yang telah berkelana sejauh ini. Ya. Wanderer akan cocok untuknya, sampai dia memilih sendiri nama barunya."
Lelaki itu diam saja.
"Tentu saja dia bisa memakai nama inangnya... Kami tidak menemukan kecocokan dalam catatan sidik jari atau pemindaian retina. Aku tidak bisa mengatakan kepadamu siapa namanya."
"Dia takkan menggunakan nama manusia," gumam lelaki itu.
Jawaban si perempuan menenangkan. "Setiap individu menemukan kenyamanan dengan caranya sendiri."
"Dibandingkan sebagian besar individu, Wanderer ini akan memerlukan lebih banyak kenyamanan. Berkat gaya Pencarian-mu."

Teerdengar suara-suara tajam--langkah terputus-putus di atas lantai keras. Ketika kembali berbicara, suara perempuan itu terdengar dari seberang ruangan tempat lelaki itu berada.
"Kau pasti bereaksi buruk terhadap hari - hari awal pendudukan planet ini," ujarnya.
"Mungkin kau yang bereaksi buruk terhadap perdamaian."
Perempuan itu tertawa, tapi suaranya palsu--tak terdengar nada gembira yang sejati. Tampaknya benakku sangat ahli menyimpulkan arti sesungguhnya, berdasarkan nada dan tinggi-rendah suara.

"Kau tidak punya persepsi yang jernih mengenai Panggilan-ku. Berjam-jam membungkuk di atas arsip dan peta. Sebagian besar pekerjaan administrasi.  Jarang terjadi konflik atau kekerasan seperti yang tampaknya kaubayangkan."
"Sepuluh hari lalu kau dilengkapi senjata pembunuh, ketika mengejar tubuh ini."
"Kuyakinkan kau, itu perkecualian, bukan peraturan. Jangan lupa, senjata - senjata yang bagimu menjijikan itu akan terarah pada bangsa kita seandainya kami, para Pencari, tidak cukup waspada. Manusia membunuh kita dengan senang hati kapan pun mereka mampu melakukannya. Jiwa yang kehidupannya pernah disentuh kekerasan akan menganggap kami pahlawan."
"Kau bicara seakan perang sedang berkecamuk."
"Memang, bagi umat manusia yang masih tersisa."
Perkataan ini terdengar lantang di telingaku. Tubuhku bereaksi terhadapnya; kurasakan napasku memburu, kudengar jantungku memompa lebih kencang daripada biasa. Di samping tempat tidur tempatku berbaring, sebuah mesin mencatat peningkatan-peningkatan itu dengan suara teredam. Penyembuh dan Pencari terlalu asyik dengan perselisihan mereka sehingga tidak memperhatikan.

"Tapi mereka pun seharusnya menyadari mereka telah lama kalah perang. Berapa banyak mereka kalah dalam jumlah? Sejuta berbanding satu? Kurasa kau tahu perbandingan tepatnya."
"Kemungkinan menang memang cukup tinggi di pihak kami," dengan enggan perempuan itu mengakui.
Penyembuh tampak puas, dan membiarkan perselisihan berakhir dengan informasi tadi. Sejenak suasana hening.
Kugunakan saat kosong ini untuk mengevaluasi situasiku, yang sebagian besar sudah jelas.

---

The Host - Bab 1

0 comments
Teringat 
  
Aku tahu semua akan dimulai dengan bagian akhir, dan bagian akhir akan tampak bagai kematian bagi mata ini. Aku sudah diingatkan.
Bukan mata ini. Mataku. Milikku. Ini adalah aku sekarang. 
Bahasa yang kugunakan aneh namun masuk akal. Terputus - putus, terkotak - kotak, buta, dan linear. Sangat timpang dibandingkan banyak bahasa yang pernah kugunakan, tapi masih bisa mengalir dan berekspresi. Terkadang indah. Ini bahasaku sekarang. Bahasa asliku.

Dengan insting paling sejati bangsaku, aku mengikatkan diri kuat - kuat ke dalam pusat pikiran tubuh itu, membelitkan diriku telak - telak ke dalam setiap napas dan refleksnya, sampai tubuh itu tak lagi jadi entitas terpisah. Itu aku.
Bukan tubuh itu, melainkan tubuhku.
Aku merasakan hilangnya pengaruh obat bius, digantikan kejernihan. Kukuatkan diri menghadapi serangan ingatan pertama, yang sesungguhnya adalah ingatan terakhir--yaitu saat - saat terakhir yang dialami tubuh ini, ingatan tentang akhir hayat. Aku sudah diingatkan mengenai apa yang akan terjadi sekarang. Semua emosi manusia ini bakal lebih kuat, lebih hidup daripada perasaan spesies manapun yang pernah kualami. Aku mencoba menyiapkan diri. 

Ingatan itu muncul. Dan, sebagaimana aku telah diingatkan, itu adalah sesuatu yang tak pernah bisa siap dihadapi. 
Ingatan itu menyayat dengan warna tajam dan suara berdenging. Kulit gadis ini dingin, rasa nyeri mencengkeram tungkai - tungkainya, membakar. Rasa di mulutnya sangat mirip besi. Lalu muncul indra baru, indra kelima yang belum pernah kumiliki, yang mengambil partikel-partikel dari udara dan mengubah mereka menjadi banyak pesan, kenikmatan, serta peringatan aneh dalam benak gadis ini--aroma - arom. Semua aroma itu mengganggu dan membingungkan bagiku, tapi tidak bagi ingatan gadis ini. Ingatan itu tak punya waktu bagi aroma - aroma baru ini. Ingatan itu hanya dipenuhi rasa takut. 
Ketakutan mengunci gadis ini dalam jepitannya, mendorong sekaligus menghalangi tungkai - tungkai kikuk tak berdaya itu. Untuk kabur, lari--hanya itu yang bisa ia lakukan.

Aku gagal.

 Ingatan yang bukan milikku ini sangat mengerikan kekuatan dan kejernihannya, hingga menerobos kendaliku dan mengaburkan pemisahan, yaitu pengetahuan bahwa ini hanya ingatan, dan bukan diriku. aku terisap ke dalam neraka yang merupakan menit terakhir hidup gadis ini. Aku adalah dia, dan kami sedang berlari.

Gelap sekali. Aku tak bisa melihat. Aku tak bisa melihat lantai. Aku tak bisa melihat tanganku terulur di hadapanku. Aku berlari tanpa melihat dan mencoba mendengar para pengejar yang keberadaannya kurasakan di belakangku. Tapi denyut itu begitu keras di belakang telingaku, mengalahkan segala hal lain. 

Dingin, Seharusya tak jadi masalah sekarang, tapi rasanya menyakitkan. Aku sangat kedinginan.

Udara di hidung gadis ini tak nyaman. Busuk. Baunya busuk. Selama sedetik ketidaknyamanan itu menarikku, membebaskanku dari ingatan ini. Tapi hanya sedetik, lalu aku kembali terseret masuk, dan mataku dipenuhi air mata kengerian. 

 Panas menyerbu urat - urat nadiku, dan kebencian yang luar biasa nyaris mencekikku. 
Aku belum pernah merasakan emosi semacam ini di dalam seluruh masa kehidupanku. Selama sedetik perasaan muak menarikku menjauhi ingatan itu. Raungan melengking menembus telinga dan berdenyut di kepalaku. Suaranya menggores jalan napasku. Tenggorokanku sedikit nyeri.

Menjerit, tubuhku menjelaskan. Kau sedang menjerit.
Aku terpaku syok, dan suara itu mendadak diam. 
Ini bukan ingatan. 
Tubuhku--gadis ini sedang berpikir! Sedang berbicara kepadaku!
Tapi ingatan itu lebih kuat, pada saat itu, sehingga mengalahkan rasa takjubku.  


"Jangan!" teriak mereka. "Ada bahaya di depan!"
Bahaya ada di belakang! aku balas berteriak dalam hati. Tapi aku melihat apa yang mereka maksud. Seberkas cahaya lemah, entah dari mana asalnya, menerangi ujung lorong. Jalan buntu yang kutakuti dan sekaligus kuharapkan itu ternyata bukan dinding rata atau pintu terkunci, melainkan lubang hitam.

Terowongan lift. Terlantar, kosong, dan terlarang, seperti bangunan ini. Dulunya tempat persembunyian, kini kuburan.
Perasaan lega membanjiriku ketika aku berlari ke depan. Ada jalan. Tak ada jalan untuk tetap hidup, tapi mungkin ada jalan untuk menang. 

Tidak, tidak, tidak! Segenap pikiran ini milikku, dan aku berjuang menarik diri dari gadis ini, tapi kami menyatu. Dan kami lari menuju tubir kematian. 

 



"Jangan!" Teriakan - teriakan itu semakin putus asa. 
Rasanya aku ingin tertawa ketika mengetahui diriku cukup cepat. aku membayangkan tangan mereka mencengkeram hanya beberapa senti di belakangku. Tapi aku secepat yang kuinginkan. Aku bahkan tidak berhenti di ujung lantai. Lubang itu menyambutku di tengah langkah. 
Kekosongan menelanku. Kakikku menggapai - gapai, sia - sia. Tanganku mencengkeram udara, mencakar - cakar, mencari sesuatu yang solid. Embusan dingin melesat melewatiku bagai tornado.

Aku mendengar suara gedebuk, sebelum merasakannya... Angin lenyap...
Lalu rasa sakit di mana - mana... Rasa sakit adalah segalanya. 
Hentikan.
Kurang tinggi, bisikku pada diri sendiri di antara rasa sakit. 
Kapan rasa sakitnya berakhir? Kapan...? 

Kegelapan menelan penderitaan itu, dan aku dipenuhi rasa syukur karena ingatan itu telah sampai pada kesimpulan terakhir ini.  Kegelapan merampas segalanya, dan aku bebas. Aku menghela napas untuk menenangkan diri, seperti kebiasaan tubuh ini. Tubuhku.
Tapi warnanya bergegas kembali, ingatan itu muncul dan menguasaiku lagi. 
Tidak! Aku panik, takut terhadap rasa dingin, rasa sakit, dan ketakutan itu sendiri. 
Tapi ini bukan ingatan yang sama. Ini ingatan dalam ingatan. Ini ingatan terakhir--bagai tarikan napas terakhir--tapi entah mengapa, lebih kuat daripada ingatan pertama.

Kegelapan  merampas segalanya kecuali ini: sebentuk wajah.
Wajah ini asing bagiku, seperti halnya sulur - sulur ular tak berwajah yang merupakan tubuh inang terakhirku akan terasa asing bagi tubuh baru ini. aku pernah melihat wajah seperti itu dalam gambar - gambar yang diberikan kepadaku sebagai persiapan untuk memasuki dunia ini. Sulit membedakan wajah - wajah itu, untuk melihat sedikit variasi dalam warna dan bentuk yang merupakan satu - satunya perbedaan mereka. Mereka memiliki begitu banyak kesamaan. Hidung dipusatkan di tengah, mata di atas dan mulut di bawah, telinga di samping. Sekumpulan indra, kecuali indra peraba, dipusatkan di satu tempat. Kulit menutupi tulang - tulang, rambut tumbuh di puncak kepala dan membentuk garis - garis berbulu aneh di atas mata. Beberapa punya lebih banyak bulu di bawah rahang, dan mereka selalu berjenis kelamin laki - laki. Warna kulit berkisar antara cokelat, krem pucat, sampai gelap, nyaris hitam. Selain itu, bagaimana cara membedakan wajah yang satu dengan lainnya?

Wajah ini pasti kukenali di antara jutaan wajah lainnya. 
Wajah ini berbentuk persegi tegas, bentuk tulang - tulangnya kuat di balik kulit. Warna kulitnya cokelat muda keemasan. Warna rambutnya hanya sedikit lebih gelap daripada warna kulitnya, tapi ada helai - helai rambut kuning muda yang mencerahkannya. Rambut itu hanya menutupi kepala serta membentuk garis - garis berbulu aneh di ats mata. Iris yang melingkar di dalam bola mata putihnya lebih gelap daripada warna rambutnya, tapi--seperti rambutnya--berbintik - bintik terang. Ada gurat-gurat kecil di sekeliling mata, dan ingatan gadis ini memberitahuku gurat-gurat itu terbentuk akibat tersenyum dan menyipitkan mata di terik matahari. 

Aku sama sekali tak tahu apa yang disebut tampan di antara orang - orang asing ini, namun aku tahu wajah ini tampan. Aku ingin terus memandanginya. Ketika ini kusadari, wajah itu langsung menghilang.
Milikku, ujar pikiran mahluk asing yang seharusnya tidak lagi eksis itu.
Sekali lagi aku terpaku, terpana. Seharusnya tak ada siapa-siapa di sini, kecuali diriku. Namun pikiran ini begitu kuat dan penuh kesadaran!
Mustahil. Bagaimana mungkin gadis ini masih di sini? Ini aku sekarang.

Milikku, bentakku kepadanya. Kekuatan dan otoritas yang hanya milikku mengalir melalui kata itu. Semua milikku
Lalu mengapa aku meladeni perkataannya? aku bertanya-tanya saat suara-suara mengusik pikiranku.

---

The Host - Prolog

0 comments

Disisipkan

Nama sang Penyembuh Fords Deep Waters --Mengarungi Perairan Dalam.
Karena ia sesosok jiwa, tentu saja ia serbabaik: penyayang, sabar, jujur, bijak dan penuh cinta. Kecemasan adalah emosi yang tak biasa bagi Fords Deep Waters.
Kejengkelan bahkan lebih langka. Namun karena Fords Deep Waters hidup di dalam tubuh manusia, kejengkelan kadang tak terhindarkan.
Ketika bisik - bisik para murid Penyembuh berdengung jauh di sudut ruang operasi, bibir Fords mengatup erat membentuk garis tipis. Ekspresinya serasa tidak pantas di bibir yang lebih sering membentuk senyuman itu.
Darren, asisten tetapnya, melihat seringai itu dan menepuk bahu Fords. 
"Mereka hanya penasaran, Fords," ujar Darren pelan.

Penyisipan nyaris tak bisa disebut prosedur yang menarik atau menantang. Jiwa di jalanan pun bisa melakukannya dalam keadaan darurat. "Tak ada yang bisa mereka pelajari melalui pengamatan hari ini". Fords terkejut mendengar nada tajam menodai suaranya yang biasanya menenangkan.
"Mereka belum pernah melihat manusia dewasa," kata Darren. 
Fords mengangkat sebelah alisnya. "Butakah mereka terhadap wajah mereka sendiri? Bukankah mereka punya cermin?"
"Kau tahu maksudku. Manusia itu liar. Belum berjiwa. Pemberontak."

Fords memandang tubuh tak sadar gadis itu, yang terbaring menelungkup di meja operasi. Rasa iba memenuhi hatinya ketika mendengar kondisi tubuh rusak malang itu saat para Pencari membawanya ke fasilitas Penyembuhan. Rasa sakit yang diderita gadis itu...


Tentu saja tubuh itu sekarang sempurna---sembuh seutuhnya. Fords telah memastikan hal itu.
"Dia kelihatan sama seperti kita semua," gumam Fords pada Darren. "Kita semua berwajah manusia. Dan saat terbangun dia juga akan jadi salah satu dari kita."
"Menakjubkan bagi mereka. Itu saja."
"Jiwa yang kita sisipkan hari ini patut dihormati, dan tubuh inangnya tidak boleh dipandangi dengan ternganga seperti itu. Banyak sekali yang harus dia hadapi nanti, ketika menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Tidak adil membuatnya mengalami ini." Saat mengatakan ini, maksud Fords bukanlah pandangan ternganga. Kembali Fords mendengar nada tajam dalam suaranya sendiri. 

Darren menepuknya lagi. "Semua akan baik - baik saja. Pencari memerlukan informasi dan--"
Ketika mendengar kata Pencari, Fords memberi Darren pandangan yang hanya bisa dijelaskan sebagai melotot. Darren mengerjap terkejut.
"Maaf." Fords langsung minta maaf. "Aku tidak bermaksud bereaksi senegatif itu. Aku hanya mengkhawatirkan jiwa ini." 
Matanya berpindah ke tangki krio di atas dudukannya di samping meja. Lampunya merah suram stabil, menandakan tangki itu berisi dan dalam mode hibernasi.
"Jiwa ini dipilih secara khusus untuk tugas ini," hibur Darren. 
"Dia luar biasa di antara bangsa kita--lebih berani daripada sebagian besar kita. Kehidupan-kehidupan yang pernah dijalaninya membuktikan hal itu. Kurasa dia akan menawarkan diri, seandainya kita bisa menanyainya."
"Siapa diantara kita yang tidak akan menawarkan diri jika diminta melakukan sesuatu demi kebaikan bersama? Tapi apakah memang seperti itu? Tercapaikah kebaikan bersama dengan ini? Yang jadi pertanyaan bukanlah kesediaan jiwa ini, melainkan permintaan apa yang pantas dibebankan kepada jiwa mana pun."

Murid - murid penyembuh juga sedang membahas jiwa yang berhibernasi itu. Fords bisa mendengar bisik - bisik itu dengan jelas; suara mereka kini membumbung, semakin lantang sejalan dengan kegairahan mereka.

"Harap tenang!" Sela Fords. "Kalau kalian tidak bisa mengamati dengan tenang dan profesional, aku harus mengusir kalian."
Dengan malu keenam murid diam dan beringsut menjauh. 
"Ayo kita lanjutkan, Darren."

Semua sudah disiapkan. Obat - obatan yang diperlukan diletakkan di sisi gadis manusia itu. Rambut hitam panjang gadis itu diamankan di balik topi bedah, memaparkan leher jenjangnya. 
Karena dibius total, ia menarik dan mengembuskan napas perlahan - lahan. Kullit cokelatnya yang terpanggang matahari nyaris tak memiliki tanda yang memperlihatkan... Kecelakaan itu.
"Silahkan memulai proses pencairan, Darren."
Asisten berambut kelabu itu sudah menanti di samping tangki krio; tangannya pada tombol. Ia menjentikkan kait pengaman dan memutar tombol. Lampu merah di atas silinder abu - abu kecil itu mulai berkedip - kedip, berkilat makin cepat ketika detik demi detik berlalu, lalu berubah warna. 
Fords berkonsentrasi pada tubuh tak sadar itu. Ia menggoreskan pisau bedah ke kulit di bagian bawah tengkorak subjek dengan gerakan - gerakan kecil dan tepat, menyemprotkan obat untuk menghentikan aliran darah berlebih, lalu melebarkan luka. Dengan lembut ia merogoh ke balik otot - oto leher subjek, berhati - hati agar tidak mencederai otot - otot itu, lalu menyingkapkan tulang - tulang pucat di bagian atas tulang belakang.

"Jiwanya sudah siap, Fords," Darren memberitahu.
"Aku juga. Bawa dia."

Fords merasakan kehadiran Darren di sikunya, dan tanpa melihat pun ia tahu asistennya akan siap, dengan tangan terulur dan menanti. Sudah bertahun - tahun mereka bekerja sama. Fords menahan luka itu agar tetap terbuka.
"Kirim dia pulang," bisiknya.
Gerakan tangan Darren tertangkap mata Fords, kilau perak jiwa yang bangkit berada dalam tangkupan tangannya. 
Fords selalu terpesona saat melihat jiwa yang terpapar. 
Jiwa itu berkilau di tengah lampu - lampu terang ruang operasi, lebih cemerlang daripada instrumen perak mengilat di tangan Fords. Seperti pita hidup, jiwa itu meliuk dan bergetar, menggelliat, merasa senang terbebas dari tangki krio. Kaki - kaki lurus berbulunya, yang nyaris seribu jumlahnya, bergelombang lembut bagai rambut perak pucat. Walaupun semua jiwa indah, jiwa yang satu ini tampak sangat anggun bagi Fords Deep Water.

Bukan hanya Fords yang terpesona. Ia mendengar desah pelan Darren dan gumam kagum para murid. 
Dengan lembut Darren meletakkan mahluk kecil berkilau itu ke celah yang dibuat Fords pada leher si manusia. Jiwa itu meluncur tenang ke dalam ruang yang ditawarkan, lalu menjalinkan diri ke dalam anatomi asing itu. Fords mengagumi keahlian jiwa itu dalam menguasai rumah barunya; kaki - kaki itu membelit kencang, menempatkan diri di sekeliling pusat - pusat saraf, beberapa di antaranya memanjang dan menjangkau lebih dalam, ke tempat yang tak bisa dilihat Fords, ke bawah dan ke atas, ke dalam otak, saraf - saraf penglihatan, kanal - kanal telinga. Gerakan jiwa itu sangat cepat dan mantap. Segera saja hanya satu segmen kecil tubuh berkilaunya yang masih terlihat. 


"Bagus sekali," bisik Fords pada jiwa itu, walaupun ia tahu bisikannya tak bisa didengar. Gadis manusia itulah yang bertelinga, dan ia masih tidur nyenyak.

Penyelesaian pekerjaannya hanya masalah rutin. Fords membersihkan dan menyembuhkan luka itu, mengoleskan salep untuk menutup goresan di belakang jiwa itu, lalu mengusapkan serbuk penghalus luka di atas garis yang tertinggal di leher si gadis.
"Sempurna, seperti biasa," ujar sang asisten. Untuk alasan tertentu di luar pemahaman Fords, asistennya itu tetap memakai nama inang manusianya; Darren.

Fords mendesah. "Aku menyesali  pekerjaan hari ini."
"Kau hanya melaksanakan kewajibanmu sebagai Penyembuh."
"Ini kejadian langka, karena Penyembuhan malah menciptakan luka."

Darren mulai membersihkan tempat kerja mereka. Tampaknya ia tidak tahu harus menjawab apa. Fords memenuhi Panggilannya. Itu cukup bagi Darren.
Tapi itu tidak cukup bagi Fords Deep Water. Ia Penyembuh sejati, sampai pada inti keberadaannya. Dengan gelisah dipandanginya tubuh manusia perempuan yang sedang tidur dengan damai itu, dan tahu kedamaian ini akan langsung hancur setelah tubuh itu terbangun. Semua kengerian akhir hayat perempuan muda ini akan ditanggungkan oleh jiwa tak berdosa yang baru saja ia tempatkan di dalamnya.
Ketika membungkuk di atas tubuh manusia itu dan berbisik di telinganya, Fords berharap setengah mati agar jiwa di dalamnya bisa mendengar perkataannya.
"Semoga beruntung, pengelana kecil, semoga beruntung. Betapa aku berharap kau tidak memerlukan ucapan itu."

---