Toleransi
Memang benar, bauku tidak sedap.
Tak bisa kuhitung lagi berapa hari yang sudah kuhabiskan di sini. Apakah
sekarang sudah lebih dari satu minggu? Lebih dari dua minggu? Dan aku masih
berkeringat dalam pakaian sama yang kukenakan dalam petualangan padang gurun
naasku. Begitu banyak garam yang telah mengering ke dalam kemeja katunku,
sehingga kemeja itu berkerut-kerut membentuk lipatan-lipatan akordion kaku.
Dulu warnanya kuning pucat; kini kemeja itu berbercak-bercak seperti penyakit,
dengan warna ungu tua yang sama seperti lantai gua. Rambut pendekku kering dan
berpasir; aku bisa merasakan rambutku mencuat liar acak-acakan di seluruh
kepala, dengan puncak kaku di bagian atasnya seperti burung kakatua. Belakangan
aku belum melihat wajahku, tapi kubayangkan ada dua warna di sana: ungu tanah gua
dan ungu bekas memar.
Aku bisa memahami maksud Jeb--ya, aku perlu mandi. Juga berganti pakaian,
agar mandinya tidak sia-sia. Jeb menawariku mengenakan pakaian Jamie saat
menunggu pakaianku kering nanti, tapi aku tidak ingin merusak sedikit benda
milik Jamie dengan membuatnya melar. Syukurlah Jeb tidak mencoba menawarkan
pakaian milik Jared. Akhirnya aku menyetujui kemeja flanel tua tapi bersih
milik Jeb, dengan lengan baju dirobek, dan celana panjang kaus kusam berlubang
yang dipotong pendek dan sudah berbulan-bulan tidak diambil pemiliknya. Pakaian
ini tersampir di lenganku ketika aku mengikuti Jeb ke ruang dengan dua sungai.
Di tanganku aku membawa gundukan tak rata berupa bongkahan cetakan dan berbau
busuk--yang disebut Jeb sabun kaktus buatan sendiri.
Sekali lagi kami tidak sendirian, dan sekali lagi aku teramat sangat kecewa
karenanya. Tiga lelaki dan seorang perempuan--berambut kepang hitam
keabu-abuan--sedang mengisi ember-ember dengan air dari sungai yang lebih
kecil. Suara cipratan dan tawa keras menggema dari kamar mandi.
"Kita menunggu giliran saja," ujar Jeb kepadaku.
Ia bersandar di dinding. Aku berdiri kaku di sampingnya, teramat sangat
menyadari kehadiran empat pasang mata yang menatapku, walaupun aku tetap
mengarahkan pandangan ke mata air panas gelap yang mengalir cepat di bawah
lantai berpori.
Setelah menunggu sebentar, tiga perempuan keluar dari kamar mandi dengan
rambut basah yang meneteskan air ke punggung kemeja mereka. Perempuan atletis
berkulit cokelat karamel, gadis pirang yang seingatku belum pernah kulihat
sebelumnya, dan sepupu Melanie, Sharon. Tawa mereka langsung terhenti ketika
melihat kami.
"Siang, ladies," sapa Jeb seraya menyentuh kening, seakan-akan
itu pinggiran topi.
"Jeb," jawab perempuan berkulit cokelat karamel dengan masam.
Sharon dan gadis satunya mengabaikan kami.
"Oke, Wanda," ujar Jeb ketika mereka lewat.
"Giliranmu."
Aku memandang Jeb murung, lalu berjalan hati-hati memasuki ruang gelap itu.
Aku mencoba mengingat-ingat susunan lantainya. Aku yakin ada jarak beberapa
puluh sentimeter sebelum tepian air. Pertama-tama aku melepaskan sepatu,
sehingga bisa merasakan air dengan jari-jari kakiku.
Gelap sekali. Aku ingat kolamnya seperti tinta--sarat dengan gagasan
mengenai apa yang kemungkinan bersembunyi di bawah permukaan hitamnya--dan aku
bergidik. Tapi semakin lama aku menunggu, semakin lama aku harus berada di
sini. Jadi kuletakkan pakaian bersih itu di samping sepatuku. Lalu dengan
membawa sabun berbau busuk itu, aku bergeser maju dengan hati-hati sampai
menemukan bibir kolam.
Airnya sejuk dibandingkan udara beruap di luar ruang gua. Rasanya
menyenangkan. Itu tidak melenyapkan ketakutanku, tapi aku masih bisa menghargai
sensasinya. Sudah lama sekali aku tidak menjumpai sesuatu yang sejuk. Dengan
masih mengenakan pakaian lengkap aku berjalan di dalam air setinggi pinggang.
Bisa kurasakan arus sungai berpusar-pusar di sekeliling pergelangan kakiku,
seakan arusnya memeluk batu. Aku senang airnya tidak diam. Seandainya begitu,
sayang sekali menodainya dengan tubuhku yang sangat kotor.
Aku berjongkok di dalam air segelap tinta hingga terbenam sampai ke bahu.
Kugosokkan sabun kasar itu pada pakaianku, karena menurutku ini cara termudah
untuk memastikan kebersihannya. Ketika sabun menyentuh kulit, rasanya sedikit
membakar.
Kulepaskan pakaianku yang bersabun, lalu kugosok-gosok di bawah air. Lalu
aku membilasnya berulang kali, sehingga mustahil bagi keringat atau air mata
untuk tetap bertahan di sana. Kuperas pakaian itu, lalu kuletakkan di lantai,
di tempat yang kuperkirakan berada di sebelah sepatuku.
Sabunnya menyengat kulit telanjangku, tapi sengatan itu bisa kutahan,
karena itu berarti aku kembali menjadi bersih. Selesai bersabun sekujur kulitku
serasa ditusuk-tusuk dan kulit kepalaku serasa terbakar.
Sepertinya tempat - tempat yang dihiasi memar jadi lebih sensitif
dibandingkan bagian-bagian tubuhku yang lain. Agaknya memarnya belum hilang.
Aku gembira ketika meletakkan sabun mengandung asam itu di lantai batu dan
membilas tubuh berulang kali, seperti yang tadi kulakukan dengan pakaianku.
Dengan perasaan aneh antara lega dan menyesal, aku keluar dari kolam.
Airnya nyaman, begitu juga perasaan bersihnya, walaupun kulitku terasa
ditusuk-tusuk. Tapi aku jemu dengan kebutaan sampai menemukan pakaian kering,
lalu cepat-cepat kukenakan, dan kumasukkan kakiku yang keriput oleh air ke
dalam sepatu. Kubawa pakaian basahku, dengan sebelah tangan, sedangkan sabun
kupegang hati-hati dengan dua jari tanganku yang satunya lagi.
Jeb tertawa ketika aku muncul; matanya memandang sabun yang aku pegang
dengan hati-hati.
“Agak menyakitkan, bukan? Kami sedang mencoba memperbaikinya.” Jeb
mengulurkan tangannya yang terlindung ujung kemeja, dan kuletakkan sabun itu di
sana.
Aku tidak menjawab pertanyaan Jeb karena kami tidak sendirian. Ada antrean
yang menunggu dalam keheningan di belakangnya. Lima orang. Semua dari ladang.
Ian yang terdepan.
“Kau tampak lebih baik,” kata Ian kepadaku. Tapi dari nada suaranya aku tak
tahu apakah ia terkejut atau jengkel melihatku seperti itu.
Ia mengangkat sebelah tangan, lalu mengulurkan jari-jari panjang pucatnya
ke leherku. Aku terkesiap menjauh, dan ia cepat-cepat menjatuhkan tangannya.
“Maaf soal itu,” gumamnya.
Apakah Ian bermaksud meminta maaf karena baru saja menakut-nakutiku, atau
karena telah membuat leherku memar? Aku tak bisa membayangkan ia meminta maaf
karena mencoba membunuhku. Pasti ia masih menginginkan kematianku. Tapi aku tidak
akan bertanya. Aku mulai berjalan, dan Jeb mengikuti di belakang.
“Jadi, hari ini tidak begitu buruk,” ujar Jeb, ketika kami berjalan
melewati koridor gelap.
“Tidak begitu buruk,” gumamku. Bagaimanapun aku belum terbunuh. Itu selalu
merupakan nilai tambah.
“Besok akan lebih baik lagi,” janjinya. “Aku selalu menikmati kegiatan
menanam—melihat keajaiban benih kecil yang tampak mati berubah jadi begitu
penuh kehidupan. Membuatku merasa masih memiliki semacam potensi, walaupun
sudah tua dan keriput. Walaupun seandainya hanya akan menjadi pupuk.” Jeb
menertawakan leluconnya sendiri.
Ketika kami tiba di ruang gua besar yang memiliki kebun, Jeb menggamit
sikuku lalu menuntunku ke timur, bukannya ke barat.
“Jangan coba-coba mengatakan kau tidak lapar setelah semua kesibukan menggali
itu,” kata Jeb. “Bukan tugasku untuk memberikan layanan kamar. Kau harus makan
di tempat semua orang makan.”
Aku mengernyit memandang lantai, tapi membiarkan Jeb menuntunku ke dapur.
Untunglah makanannya persis sama seperti biasa. Karena jika secara ajaib
muncul sepotong daging atau sekantong Cheetos, aku takkan mampu merasakan
apa-apa. Perlu segenap konsentrasi untuk membuatku bisa menelan. Aku benci
menciptakan suara untuk membuatku bisa menelan. Aku benci menciptakan suara
sekecil apa pun di dalam keheningan total yang mengikuti kemunculanku. Dapurnya
tidak penuh, hanya ada sepuluh orang yang sedang bersantai di meja-meja,
menyantap roti keras dan minum sup encer. Tapi aku kembali menghentikan semua
percakapan. Aku ingin tahu berapa lama hal seperti ini akan berlangsung.
Jawabannya adalah empat hari penuh.k
Waktu selama itu juga yang kuperlukan untuk memahami tujuan Jeb, apa
motivasi di balik perubahannya dari tuan rumah sopan menjadi mandor pemarah.
Setelah membalik tanah, hari berikutnya kuhabiskan dengan menyebar benih
dan mengairi ladang yang sama. Kelompok orang yang bekerja berbeda dengan
kelompok kemarin. Kurasa ada semacam rotasi tugas di sini. Maggie berada di
kelompok ini, begitu pula perempuan berkulit cokelat karamel yang tidak kuketahui
namanya. Hampir semua orang bekerja dalam diam. Keheningan itu tidak alami—semacam
protes atas kehadiranku.
Ian bekerja bersama kami, walaupun jelas itu bukan gilirannya, dan hal ini
menggangguku.
Aku harus makan di dapur lagi. Jamie ada di sana, dan ia menghindarkan
ruangan itu dari keheningan total. Aku tahu ia kelewat sensitif untuk tidak
memperhatikan kebisuan canggung itu, tapi ia sengaja mengabaikannya.
Kelihatannya ia berpura-pura hanya ada aku, Jeb, dan dirinya di sana. Ia
menceritakan harinya di kelas Sharon, sedikit menyombongkan masalah yang ia
dapatkan karena bicara saat bukan gilirannya, dan mengeluhkan tugas-tugas yang
diberikan Sharon sebagai hukuman. Jeb memarahinya setengah hati. Mereka sangat
ahli bertingkah normal. Aku tak bisa bersandiwara. Ketika Jamie menanyakan
hariku, yang bisa kulakukan hanya menatap serius makananku dan menggumamkan
jawaban satu kata. Perbuatanku sepertinya membuat Jamie sedih, tapi ia tidak
mendesakku.
Situasinya sangat berbeda di malam hari. Jamie tak mau membiarkanku
berhenti bicara, sampai aku memohon diperbolehkan tidur. Jamie telah merebut
kembali kamarnya. Ia memakai tempat tidur Jared, dan bersikeras aku memakai
tempat tidurnya. Ini persis dengan hal-hal yang diingat Melanie, sehingga ia
menyetujui pengaturan itu.j
Begitu juga Jeb. “Aku jadi tidak perlu mencari orang untuk menjaga. Jaga
agar senapannya tetap di dekatmu, dan jangan lupakan keberadaannya di sana,”
katanya kepada Jamie.
Aku kembali memprotes, tapi mereka menolak mendengarkan. Jadi Jamie tidur
dengan senapan di sisi tubuh, sedangkan aku di sisi lain tubuhnya, dan aku
merasa jengkel serta bermimpi buruk soal itu.
Pada hari ketiga bertugas, aku bekerja di dapur. Jeb mengajariku cara
mengulani adonan roti kasar, menyiapkannya menjadi gumpalan-gumpalan bulat dan
membiarkannya mengembang, lal cara menyalakan api di bawah oven batu besar
ketika hari sudah cukup gelap sehingga asap diperbolehkan keluar.
Di tengah hari, Jeb pergi.
“Aku akan mengambil tepung lagi,” gumam Jeb, memainkan tali yang menahan
senapannya di pinggang.
Ketiga perempuan yang membisu dan sedang menguleni adonan bersama kami
tidak mendongak. Adonan lengket ini menempel sampai ke siku, tapi aku mulai
mengelupasinya sehingga bisa mengikuti Jeb.
Jeb nyengir, melirik sekilas perempuan-perempuan yang sedang tidak
mengamati itu, lalu menggeleng kepadaku. Ia berbalik dan melesat keluar sebelum
aku bisa membebaskan diri.
Aku terpaku di sana, berhenti bernapas. Kutatap ketiga perempuan itu—gadis pirang
di kamar mandi, si kepang hitam keabu-abuan, dan ibu bermata mengantuk. Aku
menunggu mereka menyadari bahwa kini mereka bisa membunuhku. Tak ada Jeb, tak
ada senapan, kedua tanganku terperangkap dalam adonan lengket—tak akan ada yang
menghentikan mereka.
Tapi perempuan-perempuan itu tetap menguleni dan membentuk adonan, seakan
tidak menyadari kebenaran mencolok ini. Setelah lama menahan napas aku mulai
menguleni adonan lagi. Mungkin kebisuanku akan membuat mereka lebih cepat
mewaspadai situasi, sehingga sebaiknya aku terus bekerja.
Jeb pergi sangat lama. Mungkin maksudnya ia perlu menggiling tepung lagi.
Tampaknya itulah satu-satunya penjelasan atas ketidakhadirannya yang bukan main
lamanya.
“Lama sekali,” ujar perempuan berkepang hitam keabu-abuan itu ketika Jeb
kembali, sehingga aku tahu itu bukan imajinasiku.
Jeb menjatuhkan karung goni berat ke lantai dengan bunyi gedebuk keras. “Tepungnya
banyak sekali. Coba saja kauangkat, Trudy.”
Trudy mendengus. “Kubayangkan kau perlu banyak berhenti untuk beristirahat,
hingga bisa membawanya sejauh ini.”
Jeb nyengir. “Pasti.”
Jantungku yang berdentam-dentam keras kini lebih tenang.
Keesokan harinya kami membersihkan cermin-cermin di ruang ladang jagung.
Menurut Jeb pekerjaan ini harus rutin mereka lakukan, karena gabungan antara
debu dan kelembapan mengotori cermin-cermin itu, sehingga cahaya yang
dihasilkan akan terlalu suram untuk memberi makan semua tanaman. Ian kembali
bekerja bersama kami. Ia memanjat tangga kayu ringkih, sedangkan aku dan Jeb
berusaha menjaga keseimbangan bagian bawah tangga. Tugas yang sulit, mengingat
bobot Ian dan keseimbangan buruk tangga buatan sendiri itu. Pada akhir hari
kedua lenganku lemas dan nyeri.
Ketika kami sudah selesai dan sedang menuju dapur, barulah kuperhatikan
sarung senapan yang selalu dikenakan Jeb kososng.
Aku menghela napas keras-keras, lututku terkunci, seperti kuda yang
terkejut. Aku terhuyung-huyung berhenti.
“Ada apa, Wanda?” tanya Jeb, nadanya terlalu polos.
Aku akan mejawab, seandainya Ian tidak tepat di sampingnya dan mengamat
perilaku anehku dengan perasaan takjub pada mata biru cemerlangnya.
Jadi aku hanya membelalak kepada Jeb dengan gabungan antara tidak percaya
dan marah, lalu perlahan-lahan berjalan kembali di sampingnya seraya
menggeleng-gelengkan kepala. Jeb tergelak.
“Ada apa itu?” gumam Ian kepada Jeb, seakan aku tuli.
“Entahlah,” jawab Jeb. Ia berbohong dengan lancar dan tanpa rasa bersalah;
sesuatu yang hanya bisa dilakukan manusia.
Jeb pembohong yang baik, dan aku mulai bertanya-tanya apakah meninggalkan
senapan hari ini, dan meninggalkanku sendirian kemarin, dan semua usahanya
untuk memaksaku berada di antara manusia, adalah caranya untuk membuatku
terbunuh tanpa harus melakukannya sendiri. Apakah persahabatan hanya
khayalanku? Kebohongan lain?
Ini hari keempatku makan di dapur.
Aku, Jeb, dan Ian berjalan ke dalam ruang panjang dan panas itu—ke antara
kerumunan manusia yang sedang mengobrol dengan suara rendah mengenai
kejadian-kejadian hari itu. Dan tidak terjadi apa-apa.
Tidak terjadi apa-apa.
Tak ada keheningan mendadak. Tak seorang pun berhenti untuk menatap tajam
ke arahku. Sepertinya tak seorang pun memperhatikan kami.
Jeb menuntunku ke meja kosong, lalu mengambil roti untuk kami bertiga. Ian
duduk di sampingku, dengan santai ia menoleh kepada gadis di sampingnya yang
lain. Gadis pirang itu—Ian memanggilnya Paige.
“Apa kabar? Bagaimana keadaanmu setelah Andy pergi?” tanya Ian.
“Aku baik-baik saja, seandainya tidak merasa begitu khawatir,” jawab gadis
itu seraya menggigit bibir.
“Dia akan segera pulang,” ujar Ian meyakinkannya. “Jared selalu membawa
semua orang pulang. Dia sangat berbakat. Kami tak pernah mengalami kecelakaan,
tak pernah mengalami masalah sejak kedatangannya. Andy akan baik-baik saja.”
Minatku bangkit ketika Ian menyebut Jared. Melanie, yang belakangan sangat
lesu, bergerak. Tapi Ian tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya
menepuk-menepuk punggung Paige dan menoleh untuk menerima makanan yang
dibawakan Jeb.
Jeb duduk di sampingku dan mengamati ruangan. Wajahnya jelas memperlihatkan
kepuasan mendalam. Aku juga memandangnya ke sekeliling ruangan, mencoba melihat
apa yang dilihatnya. Agaknya seperti inilah biasanya keadaan di sini ketika aku
tidak ada. Hari ini sepertinya aku tidak mengganggu mereka. Agaknya mereka
lelah membiarkanku mengganggu kehidupan mereka.
“Semua sudah kembali tenang,” komentar Ian kepada Jeb.
“Aku tahu itu. Kita semua orang bijak di sini.”
Aku mengernyit sendiri.
“Saat ini, hal itu benar,” ujar Ian, tertawa. “Kakakku sedang tidak ada.”
“Tepat sekali,” kata Jeb setuju.
Ini menarik bagiku. Ian menganggap dirinya termasuk di antara orang bijak.
Sudahkan ia memperhatikan bahwa Jeb tak bersenjata? Aku sangat penasaran, tapi
tak bisa mengambil risiko dengan menunjukkannya kepada Ian, kalau-kalau ia
belum tahu.
Acara makan berlanjut seperti biasa. Tampaknya mereka sudah tidak
menganggapku orang baru.
Ketika makan berakhir, Jeb mengatakan aku layak beristirahat. Ia kembali
menjadi lelaki sejati, mengantarkanku sampai ke pintu.
“Siang, Wanda,” ujarnya, seraya memegangi ujung topi khayalan.
Aku menghela napas panjang untuk mengumpulkan keberanian. “Jeb, tunggu.”
“Ya?”
“Jeb...” Aku bimbang, mencoba mencari cara yang sopan untuk mengatakannya. “Aku...
well, mungkin aku tolol, tapi menurutku kita berteman.”
Kuteliti wajahnya, kucari perubahan apa pun yang bisa menunjukkan ia akan
berbohong kepadaku. Ia hanya kelihatan baik hati, tapi tahu apa aku soal
pembohong?
“Tentu saja, Wanda.”
“Lalu mengapa kau berusaha agar aku terbunuh?”
Sepasang alis tebalnya bertaut, terkejut. “Nah, mengapa kau berpikir
begitu, Sayang?”
Kusebutkan bukti-buktinya. “Hari ini kau tidak membawa senapan. Dan kemarin
kau meninggalkanku sendirian.”
Jeb nyengir. “Kupikir kau membenci senapan itu.”
Aku menunggu jawaban.
“Wanda, kalau aku menginginkan kematianmu, kau takkan bertahan di hari
pertama itu.”
“Aku tahu,” gumamku. Aku mulai merasa malu, tanpa mengetahui penyebabnya. “Itulah
sebabnya semua ini begitu membingungkan.”
Jeb tertawa ceria. “Tidak. Aku tidak menginginkan kematianmu! Hanya satu
tujuanku, Nak. Aku membuat mereka menerima situasi ini tanpa menyadarinya.
Seperti merebus katak.”
Keningku berkerut ketika mendengar perbandingan eksentrik itu.
Jeb menjelaskan, “Jika kau melempar katak ke dalam sepanci air mendidih,
hewan itu akan langsung melompat keluar. Tapi jika kau meletakkan katak itu ke
dalam sepanci air hangat lalu perlahan-lahan memanaskannya, katak itu tidak
tahu apa yang terjadi sampai segalanya terlambat. Katak rebus. Itu hanya
masalah bekerja perlahan-lahan.”
Sejenak aku merenungkannya—mengingat bagaimana manusia-manusia itu
mengabaikanku saat makan siang hari ini. Jeb telah membuat mereka terbiasa
denganku. Anehnya, kesadaran itu membuatku penuh harap. Harapan adalah hal
konyol dalam situasiku. Tapi bagaimanapun juga harapan itu merembes ke dalam
tubuhku, mewarnai persepsiku sehingga jadi lebih cerah daripada sebelumnya.
“Jeb?”
“Ya?”
“Aku kataknya atau airnya?”
Ia tertawa. “Akan kubiarkan kau merenungkan soal yang satu itu. Pengamatan
terhadap diri sendiri baik untuk jiwa.” Ia kembali tertawa, kali ini lebih
keras, lalu berbalik untuk pergi. “Bukannya aku hendak bermain kata.”
“Tunggu—bisa tanya lagi?”
“Tentu saja. Bagaimanapun ini giliranmu, setelah semua pertanyaan yang
kuajukan.”
“Mengapa kau menjadi temanku, Jeb?”
Ia mengerutkan bibir sejenak, memikirkan jawabannya.
“Kau tahu, aku orang yang selalu penasaran,” kata Jeb memulai, dan aku
mengangguk. “Well, aku sudah banyak mengamati jiwa, tapi tak pernah bicara
dengan mereka. Aku punya begitu banyak pertanyaan, yang menumpuk semakin tinggi
dan semakin tinggi... Tambahan lagi, aku selalu menganggap kita bisa bergaul
dengan siapa saja jika memang benar-benar menginginkannya. Aku gemar menguji
teoriku. Dan lihatlah, di sinilah kau, gadis termanis yang pernah kujumpai.
Sangat menarik memiliki jiwa sebagai teman. Membuatku merasa sangat istimewa
karena berhasil melakukannya.”
Ia mengedipkan sebelah mata kepadaku, membungkuk dalam – dalam, lalu
berjalan pergi.
http://ceritanovelonline.blogspot.com
Hanya karena aku sudah memahami rencana Jeb, bukan berarti segalanya akan
lebih mudah ketika ia meneruskan rencana itu.
Jeb tak pernah membawa senapan lagi. Aku tak tahu di mana benda itu berada,
tapi merasa bersyukur karena setidaknya Jamie tidak tidur bersama benda itu.
Aku merasa sedikit gelisah karena Jamie ada bersamaku tanpa perlindungan, tapi
kuputuskan ia lebih aman tanpa senapan itu. Tak seorang pun merasa perlu
melukainya, karena ia bukan ancaman. Lagi pula tak ada lagi yang mencariku.
Jeb mulai mengutusku untuk tugas-tugas kecil. Kembali ke dapur untuk
mengambil roti karena ia masih lapar. Pergi mengambil seember air, karena sudut
ladang kering. Menarik Jamie keluar dari kelas, karena Jeb perlu bicara
dengannya. Apakah bayamnya sudah tumbuh? Pergilah mengeceknya. Apakah aku ingat
jalanku melalui gua-gua selatan? Jeb punya pesan untuk Doc.
Setiap kali harus melaksanakan salah satu tugas sederhana ini, aku sangat
ketakutan. Aku berkonsentrasi agar diriku tak terlihat, dan berjalan secepat mungkin
tanpa berlari melewati ruang-ruang besar dan koridor-koridor gelap. Aku cenderung
merapat ke dinding dan terus menunduk. Terkadang aku menghentikan percakapan,
seperti yang biasa terjadi dulu, tapi kebanyakan aku diabaikan. Satu-satunya
saat aku merasakan bahaya kematian secara langsung adalah ketika mengganggu
kelas Sharon untuk memanggil Jamie. Tatapan Sharon kepadaku sepertinya
dirancang untuk diikuti tindakan jahat. Tapi setelah aku terbata-bata
mengucapkan permohonan berbisikku, ia membiarkan tanganku yang gemetaran dan
mengatakan Sharon selalu seperti itu kepada siapa pun yang mengganggu kelasnya.
Yang terburuk ketika aku harus mencari Doc, karena Ian berkeras ingin
menunjukkan jalan. Kurasa aku bisa menolak, tapi Jeb tidak keberatan dengan
pengaturan seperti itu. Dan itu berarti Jeb percaya Ian takkan membunuhku. Aku
merasa sangat tidak nyaman dengan pengujian teori itu, tapi tampaknya pengujian
tak terhindarkan. Seandainya Jeb salah karena memercayai Ian, maka Ian akan
segera mendapat kesempatan. Jadi aku pergi bersama Ian melewati terowongan
selatan yang panjang dan gelap, seakan itu api percobaan.
Aku tetap hidup setelah setengah perjalanan. Doc menerima pesannya.
Tampaknya ia tidak terkejut melihat Ian ikut di sampingku. Mungkin itu hanya
imajinasiku, tapi kurasa mereka saling menatap pernuh arti. Saat itu aku
setengah berharap mereka akan mengikatku ke dipan. Kamar-kamar ini membuatku
mual.
Tapi Doc hanya berterima kasih dan menyuruhku pergi, seakan ia sedang
sibuk. Aku tak tahu pasti apa yang dikerjakannya. Ada beberapa buku yang
terbuka, juga bertumpuk-tumpuk kertas yang tampaknya tak ada isinya kecuali
sketsa-sketsa.
Dalam perjalanan kembali rasa penasaran mengalahkan ketakutanku.
“Ian?” tanyaku. Agak sulit bagiku untuk mengucapkan nama itu untuk pertama
kali.
“Ya?” Ian terkejut karena aku memanggilnya.
Mengapa kau belum membunuhku juga?”
Ia mendengus. “Blakblakan sekali.”
“Kau tahu kau bisa. Jeb mungkin bakal jengkel, tapi kurasa dia tidak akan
menembakmu.” Apa yang kukatakan? Kedengarannya seakan aku mencoba menyakinkan
Ian. Kugigit lidahku.
“Aku tahu,” ujar Ian puas.
Sejenak hening, hanya suara langkah kami yang menggema pelan dari
dinding-dinding terowongan.
“Tampaknya tidak adil,” ujar Ian akhirnya. “Aku banyak memikirkannya, dan
tidak kulihat alasan mengapa membunuhmu akan membuat segalanya jadi baik. Itu
sama saja dengan mengeksekusi serdadu untuk kejahatan-kejahatan perang seorang
jenderal. Nah, aku tidak percaya semua teori gila Jeb. Memang akan menyenangkan
untuk percaya. Tapi hanya karena kau menginginkan kebenaran, tidak berarti kau
akan memperolehnya. Tapi tak peduli ia benar atau salah, kau tampaknya tidak
bermaksud jahat terhadap kami. Harus kuakui, kelihatannya kau benar-benar
menyukai anak laki-laki itu. Sangat aneh menyaksikannya. Bagaimanapun, selama
kau tidak menjerumuskan kami ke dalam bahaya, sepertinya... kejam untuk
membunuhmu. Apakah arti satu orang aneh lagi di tempat ini?”
Sejenak aku merenungkan kata orang aneh. Mungkin itu penjelasan paling
jujur mengenai diriku yang pernah kudengar. Dimanakah aku pernah merasa cocok?
Anehnya, dari semua manusia itu ternyata Ian-lah yang memiliki kelembutan
di dalam dirinya. Tak kusadari kata kekejaman bakal berarti negatif baginya.
Ian menunggu diam saat aku merenungkan semua ini.
“Jika tidak ingin membunuhku, mengapa kau ikut bersamaku hari ini?”
tanyaku.
Ian kembali berhenti sebelum menjawb.
“Aku tidak yakin kalau...” Ian bimbang. “Jeb mengira semua sudah kembali
tenang, tapi aku tidak benar-benar yakin. Masih ada beberapa orang...
Bagaimanapun, aku dan Doc mencoba mengawasimu sebisa kami. Untuk berjaga-jaga. Mengutusmu
ke terowongan selatan tampaknya terlalu memaksakan keberuntungan.”
“Kau... kau dan Doc mencoba melindungiku?”
“Dunia yang aneh, bukan?”
Perlu beberapa detik sebelum aku bisa menjawab.
“Yang paling aneh.” Akhirnya aku mengiyakan.
0 comments:
Post a Comment