Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara

Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara
Harga mulai 5rb an. Gratis ongkir DKI Jakarta

The Host - Bab 26

0 comments
Pulang


Tanpa pernah benar-benar setuju melakukannya, aku menjadi guru yang diinginkan Jeb.
"Kelas"-ku tidak formal. Aku menjawab pertanyaan-pertanyaan setiap malam, sehabis makan. Kusadari bahwa, selama aku bersedia melakukan ini, Ian, Doc, dan Jeb akan membiarkanku sendirian seharian, sehingga aku bisa berkonsentrasi pada tugas-tugasku. Kami selalu berkumpul di dapur. Aku suka membantu memasak sambil bicara. Memberiku alasan untuk diam sejenak sebelum menjawab pertanyaan yang sulit, dan memberiku sesuatu untuk dilihat ketika aku tak ingin memandang mata seseorang. Di benakku tampaknya itu pengaturan yang tepat. Kata-kataku terkadang menyedihkan, tapi tindakan-tindakanku selalu demi kebaikan mereka.
Aku tak ingin mengakui Jamie benar. Jelas orang-orang itu tidak menyukaiku. Mereka tak mungkin menyukaiku; aku bukan salah satu dari mereka. Jamie menyukaiku, tapi itu hanya semacam reaksi kimia aneh yang jauh dari rasional. Jeb menyukaiku, tapi ia memang sinting. Yang lain tidak memiliki kedua alasan itu.
Tidak. Mereka tidak menyukaiku. Tapi semua berubah ketika aku mulai bicara.

Hal itu pertama kali kuamati di pagi hari, setelah malam sebelumnya aku menjawab pertanyaan-pertanyaan Doc saat makan. Aku sedang berada di kamar mandi gelap, mencuci pakaian bersama Trudy, Lily, dan Jamie.
"Bisa tolong ambilkan sabun itu, Wanda?" tanya Trudy dari kiriku.
Arus listrik seakan menjalari tubuhku ketika aku mendengar namaku diucapkan suara perempuan. Dengan kaku kuserahkan sabun itu, lalu kubilas rasa menyengat dari tanganku.
"Terima kasih," sahut Trudy.
"Sama-sama," gumamku. Suaraku parau ketika mengucapkan suku kata terakhir.
Sehari kemudian aku berpapasan dengan Lily di lorong dalam perjalananku mencari Jamie sebelum makan malam.
"Wanda," ujarnya, seraya mengangguk.
"Lily," jawabku, tenggorokanku kering.
Bukan hanya Doc dan Ian yang mengajukan pertanyaan-pertanyaannya di malam hari. Aku terkejut mengetahui orang-orang yang paling berani bertanya: Walter yang tampak lelah, dengan wajah kelabu mengkhawatirkan, tak henti-hentinya tertarik dengan kelelawar dari singing World. Heath, yang biasanya pendiam dan membiarkan Trudy atau Geoffrey bicara mewakilinya, banyak bicara di malam-malam seperti ini. Ia takjub dengan Fire World. Dan walaupun itu salah satu kisah yang paling tidak kusukai, ia memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan, sampai ia mengetahui setiap detail yang kuketahui. Lily berminat pada mekanika segala sesuatu--ia ingin tahu tentang pesawat-pesawat yang membawa kami dari planet ke planet, pilotnya, bahan bakarnya. Kepada Lily-lah aku menjelaskan tangki krio--sesuatu yang pernah mereka lihat, tapi hanya sedikit mereka pahami kegunaannya. Wes yang pemalu, yang biasanya duduk di dekat Lily, tidak bertanya tentang planet-planet lain, tapi tentang planet ini. Bagaimana cara kerjanya? Tanpa uang, tanpa upah kerja--mengapa masyarakat jiwa tidak runtuh? Kucoba untuk menjelaskan bahwa itu tak jauh berbeda dengan kehidupan di dalam gua. Bukankah kami semua bekerja tanpa uang dan saling berbagi produk kerja kami secara merata?
"Ya," sela Wes, seraya menggeleng. "Tapi di sini lain--Jeb punya senapan untuk para pemalas."
Semua memandang Jeb yang mengedipkan sebelah mata, lalu mereka semua tertawa.
Hampir setiap malam Jeb selalu hadir. Ia tidak berpartisipasi, hanya duduk serius di belakang ruangan, terkadang nyengir.
Ia benar soal faktor hiburannya. Anehnya, walaupun kami semua punya kaki, situasi ini mengingatkanku kepada See Weed. Ada julukan khusus bagi para penghibur di sana, seperti julukan Penghibur atau Penyembuh atau Pencari. Aku adalah salah satu Pendongeng. Jadi transisi menjadi guru di sini, di Bumi, tidak jauh berbeda. Setidaknya dari segi profesi. Setelah hari gelap situasi di dapur hampir sama, dengan bau asap dan roti panggang memenuhi ruangan. Semua terpaku di sini, seakan tubuh emreka tertanam. Kisah-kisahku adalah hal yang baru, hal untuk direnungkan, selain hal-hal yang sudah biasa--tugas-tugas melelahkan tanpa akhir yang sama; 35 wajah yang sama; ingatan-ingatan yang sama mengenai wajah-wajah lain yang mendatangkan duka yang sama bagi mereka; ketakutan dan keputusasaan sama yang telah lama menemani mereka. Dan dengan demikian dapur selalu penuh untuk pelajaran-pelajaran santaiku. Hanya Sharon dan Maggie yang secara mencurigakan dan konsisten tidak hadir.
Aku sudah menjadi guru tidak formal selama hampir empat minggu ketika kehidupan di dalam gua kembali berubah.
Dapur penuh seperti biasa. Hanya Jeb dan Doc yang tidak hadir, selain dua orang yang normalnya memang tak pernah hadir itu. Di meja di sampingku ada nampan logam berisi bulatan-bulatan adonan roti warna gelap yang sudah mengembang dua kali lipat dari ukuran semula. Mereka siap dimasukkan ke oven, segera setelah roti-roti di atas nampan di dalamnya sudah matang. Trudy memeriksa setiap beberapa menit, memastikan tak ada yang gosong.
Aku sering mencoba menyuruh Jamie bicara, jika ia sudah mengetahui kisahnya dengan baik. Aku suka menyaksikan antusiasme yang mencerahkan wajahnya, dan caranya menggunakan tangan untuk menggambar di udara. Malam ini Heidi ingin tahu lebih banyak mengenai Lumba-Lumba, jadi aku meminta Jamie menjawab pertanyaan-pertanyaan sebaik mungkin.
Manusia-manusia itu selalu bicara dengan penuh kesedihan ketika bertanya tentang akuisisi terbaru bangsaku. Mereka meihat Lumba-Lumba sebagai cerminan diri mereka sendiri pada tahun pertama pendudukan mahluk asing. Mata gelap Heidi, yang tampak bingung di balik poni pirang keputihan itu, menegang penuh simpati ketika ia mengajukan pertanyaan-pertanyaannya.
"Mereka lebih mirip capung besar daripada ikan, bukan, Wanda?" Jamie nyaris selalu bertanya sebagai penegasan, walaupun ia tak pernah menunggu jawabanku. "Tapi kulit mereka keras, dengan tiga, empat, atau lima pasang sayap, tergantung umur mereka, bukan? Jadi mereka terbang di atas air--yang lebih ringan dan lebih tidak padat daripada air di sini. Mereka punya lima, tujuh, atau sembilan kaki, tergantung jenis kelamin mereka, ya kan, Wanda? Mereka punya tiga jenis kelamin berbeda. Mereka punya tangan-tangan yang sangat panjang, dengan jari-jari liat dan kuat yang bisa menyusun segala jenis benda. Mereka membuat kota-kota di bawah air dari tanam-tanaman keras yang tumbuh di sana. Itu semacam pohon, tapi bukan benar-benar pohon. Mereka tidak semaju kami, kan, Wanda? Karena mereka tidak membangun pesawat ruang angkasa atau, misalnya, telepon untuk berkomunikasi. Manusia lebih maju."
Trudy mengeluarkan nampan berisi roti panggang, dan aku membungkuk untuk memasukkan nampan adonan mengembang berikutnya ke lubang panas berasap itu. Aku perlu sedikit mendorong dan mengaturnya agar nampan bisa masuk dengan benar.
Ketika sedang berkeringat di depan api, kudengar semacam keributan di luar dapur. Keributan itu menggema melewati lorong dari suatu tempat di gua. Dengan semua gema acak dan akustik aneh itu, sulit untuk memperkirakan jarak di sini.
"Hei!" teriak Jamie dari belakang, dan ketika menoleh aku melihat bagian belakang kepala jamie ketika ia berlari keluar.
Aku menegakkan tubuh dan mengejarnya, mengikuti instingku.
"Tunggu," panggil Ian. "Dia akan kembali. Berceritalah lebih banyak tentang Lumba-Lumba."
Ian duduk di meja di samping oven--kursi panas yang tidak bakal kupilih--sehingga cukup dekat baginya untuk mengulurkan tangan dan menyentuh pergelangan tanganku. Lenganku menyentakkan sentuhan tak terduga itu, tapi aku tidak beranjak dari tempatku.
"Ada apa di luar sana?" tanyaku. Aku masih bisa mendengar semacam percakapan. Kurasa aku mendengar suara gembira Jamie membaur di dalamnya.
Ian mengangkat bahu. "Siapa yang tahu?" Mungkin Jeb..." ia mengangkat bahu lagi, seakan tak cukup tertarik sehingga tidak ingin mencari tahu. Ia tidak peduli. Tapi aku melihat ketegangan di matanya yang tidak kupahami.
Aku yakin akan segera tahu, jadi aku juga mengangkat bahu dan mulai menjelaskan kerumitan luar biasa di dalam hubungan keluarga Lumba-Lumba, seraya membantu Trudy menumpuk roti hangat ke dalam wadah-wadah plastik.
"Enam dari sembilan... kakek-nenek, mungkin itu sebutan tradisionalnya, tinggal bersama larva-larva di sepanjang tahap perkembangan pertama, sementara ketiga orangtua bekerja bersama enam kakek-nenek mereka untuk membangun sayap baru di rumah keluarga, untuk didiami anak-anak ketika mereka sudah bisa bergerak," jelasku. Seperti biasa mataku memandangi roti-roti di kedua tanganku, bukannya memandangi para pendengar. Lalu kudengar helaan napas tertahan dari bagian belakang ruangan. Aku melanjutkan bicara secara otomatis, seraya memandang kerumunan itu untuk melihat siapa yang telah kubuat marah. "Ketiga kakek-nenek lainnya biasanya terlibat..."
Tak seorang pun marah kepadaku. Semua kepala menoleh ke arah yang sama dengan arah pandanganku. Pandanganku melintasi bagian kepala mereka, melihat ke lubang keluar gelap itu.
Hal pertama yang kulihat adalah sosok ramping Jamie menggayuti lengan seseorang. Seseorang yang begitu kotor dari kepala sampai ujung kaki sehingga kelihatannya hampir menyatu dengan dinding gua. Seseorang yang terlalu jangkung untuk disebut sebagai Jeb. Lagi pula Jeb berada persis di belakang bahu Jamie. Dari jarak sejauh ini sekalipun bisa kulihat mata Jeb menyipit dan hidungnya mengerut, seakan merasa gelisah. Itu emosi yang langka bagi Jeb. Dan aku juga bisa melihat wajah Jamie yang ceria penuh kebahagiaan.
"Ini dia," gumam Ian di sampingku. Suaranya nyaris tak terdengar di antara keretak api.
Lelaki kotor yang masih digayuti Jamie maju selangkah. Sebelah tangannya perlahan-lahan terangkat, seperti refleks di luar kehendak, lalu membentuk kepalan.
Dari sosok kotor itu keluarlah suara Jared--datar, sama sekali tidak terdengar tinggi-rendahnya nada. "Apa arti semua ini, Jeb?"
Tenggorokanku tercekat. Aku mencoba menelan ludah, dan mendapati jalannya terhalang. Aku mencoba bernapas, dan tidak berhasil. Jantungku berdentam-dentam tak keruan.
Jared! Suara gembira Melanie terdengar lantang. Teriakan bisu kebahagiaan. Ia langsung hidup dan bersemangat di dalam kepalaku. Jared pulang!

"Wanda sedang mengajari kami semua tentang jagad raya," celoteh jamie bersemangat. Entah mengapa, ia tidak menangkap kemarahan Jared. Mungkin ia terlalu gembira, sehingga tidak memperhatikan.
"Wanda?" ulang Jared, suaranya rendah, nyaris berupa geraman.
Muncul lebih banyak sosok kotor di lorong di belakangnya.
Aku hanya memperhatikan ketika mereka menggemakan geraman Jared dengan bergumam marah.
Sebuah kepala berambut pirang menyembul dari penonton yang terpaku. Paige terhuyung-huyung berdiri. "Andy!" serunya, lalu tertatih - tatih melewati sosok-sosok yang duduk di sekitarnya. Salah seorang lelaki kotor itu melangkah ke samping Jared dan menangkap Paige yang nyaris menjatuhi Wes. "Oh, Andy!" isak Paige. Nada suaranya mengingatkanku pada nada suara Melanie.
Sejenak luapan perasaan Paige mengubah suasana. Kerumunan bisu itu mulai bergumam, sebagian besar bangkit berdiri. Ketika mayoritas penonton menyambut kembalinya para petualang, suara yang terdengar bernada ramah. Aku mencoba membaca ekspresi aneh di wajah mereka, ketika mereka memaksakan diri untuk tersenyum seraya diam-diam kembali melirikku. Setelah satu detik yang terasa lama dan lambat--waktu tampaknya menggumpal di sekelilingku, membekukanku di tempat--kusadari mereka menunjukkan ekspresi bersalah.
"Tidak apa-apa, Wanda," bisik Ian.
Aku meliriknya panik, mencari ekspresi bersalah yang sama di wajahnya. Tidak kutemukan. Yang ada hanya ketegangan defensif di sekeliling mata cemerlangnya ketika ia menatap para pendatang baru itu.
"Ada apa ini?" terdengar seruan suara baru.
Kyle--yang mudah diidentifikasi berdasarkan ukuran tubuhnya, walaupun kotor--menyeruak melewati jared dan menuju ke arah...ku.

"Kalian membiarkan mahluk itu menceritakan kebohongan - kebohongannya? Apakah kalian semua sudah sinting? Atau apakah dia sudah menuntun para Pencari kemari? Apakah kalian semua sudah menjadi parasit?"
Kulihat banyak kepala tertunduk malu. Hanya beberapa yang mempertahankan dagu mereka terdongak kaku dengan bahu tegak: Lily, Trudy, Heath, Wes... bahkan Walter yang rapuh.
"Sabar, Kyle," ujar Walter dengan suara lemah.
Kyle mengabaikannya. Ia berjalan mantap ke arahku. Matanya, yang berwarna biru cemerlang seperti mata adiknya, bersinar penuh kemarahan. Tapi aku tak bisa terus memandangnya--mataku terus-menerus beralih pada sosok gelap Jared, mencoba membaca raut wajahnya yang tersamar.
Cinta Melanie mengalir melalui tubuhku, seperti danau yang meluap dari bendungan, dan semakin mengalihkan perhatianku dari lelaki barbar murka yang menghampiriku dengan cepat itu.
Ian menyelinap ke dalam ruang pandangku, pindah untuk menempatkan diri di depanku. Aku menjulurkan leher ke samping agar pandanganku ke arah Jared tetap jelas.
"Segalanya berubah ketika kau pergi."
Kyle berhenti, wajahnya tidak percaya. "Lalu, apakah para Pencari datang, Ian?"
"Dia tidak berbahaya bagi kita."
Kyle menggertakkan gigi, dan dari sudut mata aku melihatnya meraih sesuatu di sakunya.
Gerakan ini akhirnya mencuri perhatianku. Aku menciut, mengira itu senjata. Kata-kata berhamburan dari bibirku dalam bisikan tercekik. "Jangan menghalanginya, Ian."
Ian tidak menjawab. Aku terkejut menyadari betapa gelisahnya aku, dan betapa aku tidak ingin Ian terluka. Ini bukan naluri untuk melindungi--kebutuhan mendalam untuk melindungi--yang kurasakan terhadap Jamie, atau bahkan Jared. Yang kuketahui hanyalah, Ian tidak boleh terluka ketika mencoba melindungiku.
Tangan Kyle kembali terangkat, dan senter bersinar dari sana. Ia mengarahkannya ke wajah Ian, menahannya di sana sejenak. Ian tidak berpaling.
"Jadi, apa yang berubah?" desak Kyle, mengembalikan senter ke saku. "Kau bukan parasit. Bagaimana mungkin mahluk itu bisa memengaruhimu?"
"Tenanglah, akan kami ceritakan semuanya."


"Tidak."
Perlawanan itu bukan berasal dari Kyle, tapi dari belakangnya. Aku menyaksikan Jared berjalan perlahan-lahan menghampiri kami, melewati para penonton yang membisu. Ketika ia semakin dekat, diiringi Jamie yang masih menggayuti tangannya dengan raut bingung, aku bisa membaca raut wajahnya dengan lebih jelas di balik topeng kotoran itu. Bahkan Melanie sekalipun, yang kegembiraannya meluap-luap karena Jared pulang dengan selamat, tak mungkin salah mengartikan ekspresi jijik yang terpampang di sana.
Jeb telah menyia-nyiakan usahanya untuk orang-orang yang keliru. Tak peduli Trudy atau Lily bicara denganku, tak peduli Ian meletakkan dirinya di antara kakaknya dan aku, tak peduli Sharon dan Maggie tidak berbuat jahat kepadaku. Satu-satunya orang yang perlu diyakinkan akhirnya membuat keputusan.
"Kurasa tak ada yang perlu menenangkan diri," ujar Jared lewat sela-sela gigi. "Jeb," lanjutnya, tanpa melihat apakah lelaki tua itu mengikutinya ke depan. "Berikan senapannya."
Keheningan yang mengikuti kata-katanya begitu menegangkan, sampai-sampai bisa kurasakan tekanannya di dalam telingaku.
Sejak bisa melihat wajah Jared dengan jelas, aku tahu semuanya sudah berakhir. Aku tahu apa yang kini harus kulakukan; Melanie juga setuju. Setenang mungkin aku melangkah ke samping dan agak mundur, sehingga tidak terhalang Ian. Lalu aku memejamkan mata.
"Kebetulan tidak kubawa," ujar Jeb pelan.
Aku mengintip lewat mata yang kusipitkan ketika Jared berputar untuk menilai kebenaran ucapan Jeb.
Napas Jared berembus marah lewat lubang hidungnya. "Baiklah," gumamnya. Ia maju selangkah lagi ke arahku. "Tapi akan lebih lambat dengan cara ini. Akan lebih manusiawi jika kau cepat-cepat mencari senapan itu."
 "Ayolah, Jared, ayo bicara dulu," ujar Ian. Ia menjejakkan kaki kuat-kuat, tahu seperti apa jawaban Jared.
"Kurasa sudah ada terlalu banyak pembicaraan," geram Jared. "Jeb menyerahkan mahluk ini kepadaku, dan aku sudah membuat keputusan."
Jeb berdehem keras-keras. Jared berputar dan kembali memandangnya.
"Apa?" desak Jared. "Kau yang membuat peraturan itu, Jeb."
"Well, itu benar."
Jared berbalik lagi kepadaku. "Ian, jangan menghalangi."
"Well, well, tunggu sebentar," lanjut Jeb. "Seandainya kau ingat-ingat lagi, peraturannya adalah, siapa pun yang memiliki tubuh itu yang harus membuat keputusan."
Pembuluh darah di kening Jared jelas berdenyut-denyut. "Dan?"
"Bagiku tampaknya ada seseorang di sini yang sama berhaknya sepertimu. Mungkin bahkan lebih berhak."
Jared menatap lurus ke depan, mencerna perkataan ini. Sejenak kemudian alisnya mengernyit paham. Ia memandang anak laki-laki yang masih menggayuti lengannya.
Seluruh kegembiraan lenyap dari wajah Jamie, meninggalkan kepucatan dan kengerian yang teramat sangat.

"Tidak boleh, Jared," ujar Jamie tersendat-sendat. "Kau tidak boleh melakukannya. Wanda baik. Dia temanku! Dan Mel! Kumohon! Kau harus--" Ia berhenti, raut wajahnya tampak sangat menderita.
Aku kembali memejamkan mata, mencoba memblokir gambaran anak laki-laki yang menderita itu dari benakku. Nyaris mustahil untuk tidak menghampiri Jamie. Kukunci otot-ototku, meyakinkan diri sendiri aku takkan membantunya jika beranjak.
"Jadi," kata Jeb, nadanya terlalu santai untuk saat ini, "bisa kaulihat Jamie tidak setuju. Kurasa dia sama berhaknya denganmu."
Tak ada jawaban untuk waktu sangat lama, sehingga aku harus kembali membuka mata.
Jared sedang menatap wajah Jamie yang sedih dan ketakutan dengan ekspresi kengeriannya sendiri.
"Bagaimana kau bisa membiarkan ini terjadi, Jeb?" bisik Jared.
"Kita benar-benar perlu bicara," jawab Jeb. "Tapi mengapa kau tidak istirahat dulu? Mungkin kau akan merasa lebih siap bercakap-cakap setelah mandi."
Jared melotot marah kepada lelaki tua itu, tatapannya penuh rasa terkejut dan sakit akibat dikhianati. Aku hanya punya perbandingan-perbandingan manusia untuk pandangan semacam itu. Yulius Caesar dan Brutus, Yesus dan Yudas.
Ketegangan tak tertahankan itu hanya bertahan selama semenit yang terasa lama, lalu Jared menyingkirkan jemari Jamie dari lengannya.
"Kyle," seru Jared, berbalik dan berjalan ke luar ruangan.
Kyle nyengir pada adiknya, lalu mengikuti Jared.
Para anggota ekspedisi yang kotor lainnya mengikuti tanpa bicara. Paige menyelip aman di bawah lengan Andy.
Sebagian besar manusia lainnya, mereka yang menunduk malu karena telah memasukkanku ke tengah pergaulan mereka, berjalan keluar dengan menyeret kaki. Hanya ada Jamie, Jeb, dan Ian di sampingku, serta Trudy, Geoffrey, Heath, Lily, Wes, dan Walter yang tetap tinggal.
Tak seorang pun bicara sampai gema langkah mereka menghilang dalam gelap.
"Fiuh!" ian menghembuskan napas. "Nyaris sekali. Pemikiran yang bagus, Jeb."
"Inspirasi dalam kegentingan. Tapi kita belum lepas dari bahaya," jawab Jeb.
"Tentu saja! Kau tidak meninggalkan senapan itu di tempat yang mudah ditemukan, bukan?"
"Tidak. Sudah kubayangkan ini akan segera terjadi."
"Baguslah."
Jamie berdiri gemetaran, sendirian di ruang yang ditinggalkan orang-orang tadi. Dikelilingi mereka yang tentu saja kuanggap teman, aku merasa sanggup berjalan ke samping Jamie. Ia memeluk pinggangku, dan aku menepuk-nepuk punggungnya dengan sepasang tanganku yang gemetaran.
"Tidak apa-apa," bisikku berbohong. "Tidak apa-apa." Aku tahu, bahkan orang tolol pun akan mendengar nada palsu dalam suaraku. Dan Jamie tidak tolol.
"Dia tidak akan melukaimu," ujar Jamie parau, berjuang menahan air mata yang bisa kulihat di matanya. "Takkan kubiarkan."
"Sst," gumamku.
Aku terkejut--kurasakan wajahku membentuk garis-garis ketakutan. Jared benar--bagaimana Jeb bisa membiarkan ini terjadi? Kalau saja mereka membunuhku di hari pertamaku di sini, bahkan sebelum Jamie melihatku... Atau di minggu pertama itu, ketika Jared mengasingkanku dari semua orang, sebelum aku dan Jamie berteman... Atau seandainya aku terus menutup mulut soal Melanie... Sudah terlambat untuk semua itu. Kedua lenganku memeluk anak itu erat-erat.
Melanie sama terkejutnya. Adikku yang malang.
Sudah kubilang, menceritakan semuanya kepada Jamie adalah ide buruk, ujarku mengingatkan.
Sekarang apa akibatnya bagi Jamie, seandainya kita mati?
Pasti mengerikan. Ia akan mengalami trauma, terluka, dan hancur--
Melanie menyelaku. Cukup. Aku tahu. Aku tahu. Tapi apa yang bisa kita perbuat?
Tidak mati, kurasa.
Aku dan Melanie memikirkan kemungkinan kami bisa bertahan hidup, dan merasa putus asa.
Ian menepuk punggung Jamie--bisa kurasakan gerakan itu menggetarkan tubuh kami berdua.
"Jangan sedih, Nak," kata Ian. "Kau tidak sendirian dalam hal ini."
"Mereka hanya terkejut. Itu saja." Kukenali suara alto Trudy di belakangku. :Setelah kita punya kesempatan untuk menjelaskan, mereka akan memahami alasannya."
"Memahami alasannya? Kyle?" desis seseorang, nyaris tak terdengar.
"Kita tahu ini akan terjadi," gumam Jeb. "Hanya perlu sedikit waktu. Badai akan berlalu."
"Mungkin kau harus mengambil senapan itu," saran Lily tenang. "Mungkin ini akan jadi malam yang panjang. Wanda bisa tinggal bersamaku dan Heidi--"
"Kurasa kita lebih kita menempatkannya di tempat lain," ujar Ian tidak setuju. "Mungkin di terowongan-terowongan selatan? Aku akan mengawasinya. Jeb, mau membantu?"
"Mereka tidak akan mencarinya jika dia bersamaku." Tawaran Walter hanya berupa bisikan.
Wes mengabaikan perkataan Walter. "Aku akan menemanimu, Ian. Mereka berenam."
"Tidak." Akhirnya aku berhasil bicara. "Tidak. Itu tidak benar. Kalian tidak boleh berkelahi. Kalian semua bersama-sama di sini. Kalian bersatu. Tidak ada perkelahian. Tidak ada perkelahian karena diriku."
Kutarik lengan Jamie dari pinggangku, dan kupegangi pergelangan tangannya ketika ia mencoba menghentikanku.
"Aku hanya perlu waktu sendirian," kataku kepadanya, mengabaikan semua tatapan yang kurasakan di wajahku. "Aku perlu menyendiri." Aku berpaling mencari Jeb. "Dan kau harus punya kesempatan untuk membahas hal ini tanpa bisa kudengarkan. Tidak adil--membahas strategi di hadapan musuh."
"Ayolah, jangan begitu," ujar Jeb.
"Beri aku waktu untuk berpikir, Jeb."
Aku melangkah meninggalkan Jamie, menjatuhkan kedua tangannya. Satu tangan memegangi bahuku, dan aku berjengit.
Ternyata Ian. "Bukan ide yang bagus untuk berkeliaran sendiri."
Aku mencondongkan tubuh ke arahnya, mencoba memelankan suaraku sehingga Jamie takkan bisa mendengar dengan jelas. "Mengapa mengulur-ulur sesuatu yang tak terhindarkan? Bakal lebih mudah atau lebih sulitkah bagi Jamie?"
Kupikir aku tahu jawaban untuk pertanyaan terakhirku. Aku merunduk di bawah tangan Ian, lalu bergegas lari menuju lubang keluar.
"Wanda!" panggil Jamie.
Seseorang menyuruhnya diam. Tak ada langkah kaki di belakangku. Agaknya mereka memahami kebijakan membiarkan aku pergi.
Lorong gelap dan sepi. Kalau beruntung aku bisa memotong jalan melewati pinggiran plaza kebun yang besar itu dalam kegelapan.
Sepanjang waktuku di sini, satu hal yang tak pernah kuketahui adalah jalan keluar. Sepertinya aku telah menyusuri setiap terowongan berulang kali, tapi tak penah melihat lubang yang belum pernah kujelajahi ketika mencari satu atau lain hal. Kini aku merenungkannya, ketika merayap melewati pojok-pojok dengan bayangan tergelap di dalam gua besar itu. Di manakah jalan keluarnya? Dan ini yang kupikirkan: seandainya bisa memecahkan teka-teki itu, bisakah aku pergi?
Aku tak bisa memikirkan apa pun yang kuinginkan hingga aku bersedia pergi dari sini--yang pasti bukan padang gurun yang menanti di luar sana; tapi juga bukan Pencari, atau Penyembuh, atau Penghibur-ku; juga bukan kehidupanku sebelumnya, yang hanya meninggalkan kesan dangkal bagiku. Semua yang benar-benar berarti ada bersamaku di sini. Jamie, Jared, walaupun ia hendak membunuhku. Tak bisa kubayangkan aku meninggalkan mereka berdua.
Dan Jeb. Ian. Kini aku punya teman-teman. Doc, Trudy, Lily, Wes, Walter, Heath. Manusia-manusia aneh yang bisa mengabaikan siapa diriku dan melihat sosok lain yang tak perlu mereka bunuh. Mungkin mereka hanya merasa penasaran. Tapi di luar itu, mereka bersedia membelaku melawan ikatan kekeluargaan yang erat di antara mereka yang masih bertahan hidup. Aku menggeleng takjub ketika meraba-raba batu kasar dengan sepasang tanganku.
Aku bisa mendengar yang lain berada di ruang gua, di sisi yang jauh dariku. Aku tidak berhenti; mereka tak bisa melihatku di sini, dan aku baru saja menemukan celah yang kucari.
Bagaimanapun, sebenarnya hanya ada satu tempat bagiku untuk pergi. Seandainya pun aku bisa menebak jalan untuk kabur, aku toh akan mengambil jalan ini juga. Aku merangkak ke dalam kegelapan terhitam yang bisa kubayangkan, dan bergegas menyusuri jalanku.

The Cuckoo’s Calling – Prolog

0 comments


Is demum miser est, cuius nobilitas miserias nobiitat.
Sungguh celaka orang yang cacat celanya menjadi ikut terkenal karena ketenarannya.
Lucius Accius, Telephus

Gaung di jalanan terdengar seperti dengung lalat. Para fotografer berdiri berkerumun di balik garis batas yang dijaga polisi, kamera mereka yang berbelalai panjang siap siaga, napas mereka mengepul seperti uap. Salju jatuh berderai di atas topi dan pundak; jari-jari yang terbungkus sarung tangan mengusap lensa kamera. Dari waktu ke waktu terdengar semburan bunyi klik-klik yang tak beraturan sementara para pengamat itu mengisi waktu dengan memotret tenda kanvas putih di tengah jalan, pintu masuk bangunan apartemen dari batu bata merah di belakangnya, serta balkon di lantai tertinggi dari mana mayat itu terjatuh.
Di belakang kerumunan padat paparazzi  itu berjajar mobil-mobil van putih dengan antena parabola besar di atap, dan para jurnalis berbicara, beberapa dengan bahasa asing, sementara para juru suara yang mengenakan headphone berkeliaran di sekitar mereka. Pada saat jeda pengambilan gambar, para reporter itu mengentak-entakkan kaki sambil menghangatkan tangan di dekat teko kopi panas di kafe yang dipadati pengunjung, di suatu jalan tak jauh dari sana. Untuk mengisi waktu, para juru kamera bertopi wol mengambil gambar punggung paparazzi, balkon dan tenda yang berisi mayat, lalu berganti posisi untuk mendapatkan sudut pandang lebar yang menjangkau seluruh kekacauan yang telah meledak di jalanan Mayfair yang tenang dan bersalju itu, dengan pintu-pintu bercat hitam dibingkai teras berdinding batu putih dan diapit tanaman yang dipangkas rapi. Pintu masuk nomor 18 dipagari pita polisi. Aparat polisi, sebagian para ahli forensik yang mengenakan seragam putih-putih, terlihat samar-samar di lorong masuk di dalamnya.
Stasiun-stasiun televisi sudah mengabarkan berita tersebut beberapa jam lalu. Anggota masyarakat menyemut di kedua ujung jalan, ditahan oleh lebih banyak petugas kepolisian; sebagian sengaja datang untuk menonton, sebagian lagi memperlambat langkah dalam perjalanan ke tempat kerja. Banyak yang mengacungkan telepon seluler tinggi-tinggi untuk mengambil gambar sebelum melanjutkan perjalanan. Seorang pria muda, yang tidak tahu balkon mana yang dimaksud, memotret semua balkon satu per satu, meskipun balkon yang di tengah dipadati deretan tanaman rendah, tiga pohon berdaun lebat yang berbentuk bulat rapi, yang nyaris tidak menyisakan tempat untuk manusia berdiri.
Sekelompok perempuan muda datang membawa bunga, direkam ketika sedang memberikan bunga-bunga itu kepada polisi. Para petugas yang menerimanya belum memutuskan tempat untuk meletakkannya, lalu dengan salah tingkah menyimpan bunga-bunga itu di belakang mobil van polisi, sadar betul bahwa kamera-kamera sedang menyorot setiap gerak-gerik mereka.
Koresponden dan kanal berita 24 jam terus-menerus menyampaikan komentar dan spekulasi di sekitar sedikit fakta yang mereka ketahui.
“… dari apartemen penthouse-nya pada sekitar pukul dua dini hari tadi. Polisi mendapat laporan dari petugas keamanan gedung…”
“…belum ada tanda-tanda polisi akan memindahkan jenazah tersebut, yang menimbulkan spekulasi…”
“… tidak ada keterangan apakah dia sedang sendiri ketika jatuh…”
“…polisi telah masuk ke gedung dan akan melakukan pencarian menyeluruh.”
###
Cahaya dingin menerangi bagian dalam tenda. Dua pria sedang berjongkok di dekat jenazah, akhirnya siap memindahkannya ke kantong mayat. Darah dari kepala mengalir di antara salju. Wajahnya hancur dan bengkak, sebelah matanya mengerut, yang sebelah lagi memperlihatkan seiris warna putih keruh di antara kelopak yang bengkak. Ketika payet-payet yang menghiasi baju atasannya berkerdap karena sedikit perubahan cahaya, ada kesan meresahkan saat seolah-olah wanita itu bernapas kembali, atau menegangkan otot-ototnya, siap untuk bangkit berdiri. Salju jatuh di kanvas tenda bagaikan bunyi jemari yang mengetuk-ngetuk.
“Mana ambulans sialan itu?”
Kemarahan Inspektur Polisi Roy Carver sudah menggunung. Dia adalah pria tambun dengan wajah sewarna daging kornet, di bagian ketiak kemejanya biasanya tedapat lingkaran keringat, dan persediaan kesabarannya yang tipis sudah habis berjam-jam yang lalu. Dia berada di sini nyaris sama lamanya dengan mayat itu; kakinya begitu kedinginan sampai-sampai tak lagi terasa, dan kepalanya pening karena dia kelaparan.
“Ambulans akan tiba dua menit lagi,” kata Sersan Polisi Eric Wardle, yang tidak sengaja menjawab pertanyaan  atasannya ketika dia memasuki tenda dengan ponsel menempel di telinga. “Sedang dicarikan tempat.”
Carver menggerutu. Sumbunya yang pendek semakin parah karena dia yakin Wardle justru senang dengan kehadiran para fotografer. Pria itu tampan dengan wajah bak remaja, rambutnya tebal bergelombang dan kini beku karena salju. Menurut Carver, Wardle sengaja berlama-lama pada kesempatan langka mereka harus keluar dari tenda.
“Paling tidak, gerombolan ini akan pergi begitu mayatnya dipindahkan,” kata Wardle, masih memandang ke luar kea rah para fotografer.
“Mereka tidak akan minggat selama kita masih memperlakukan tempat ini seperti TKP,” tukas Carver.
Wardle tidak menjawab tantangan yang tak terucapkan itu. Tetap saja Carver meledak.
“Anak malang ini terjun. Tidak ada orang lain di sana. Yang kau sebut saksi itu teller—“
“Ambulans datang,” potong Wardle, dan yang membuat Carver muak, bawahannya itu kembali menyusup keluar dari tenda untuk menunggu ambulans di hadapan kamera-kamera.
###
Liputan peristiwa itu telah menyisihkan berita-berita politik, perang, serta bencana, dan tiap versi dihiasi foto-foto wajah sempurna wanita yang telah mati itu, tubuhnya yang ramping dan indah. Dalam beberapa jam saja, sedikit fakta yang diketahui telah menyebar bagaikan virus ke jutaan orang; pertengkaran dengan sang pacar yang tersohor di depan banyak mata, perjalanan pulang seorang diri, teriakan yang terdengar, dan kejatuhannya yang final dan fatal…
Sang kekasih kabur ke fasilitas rehabilitasi, tapi langkah-langkah polisi tak terbaca; orang-orang yang pernah bersama korban pada malam sebelum kematiannya terus dibayang-bayangi; beritanya mengisi ribuan kolom berita cetak dan berjam-jam siaran televise, dan wanita yang bersumpah telah mendengar pertengkaran kedua tepat sebelum tubuh itu terjun sesaat menikmati ketenarannya, dan dianugerahi foto yang lebih kecil di sebelah gambar-gambar mendiang gadis yang cantik jelita itu.
Namun, disambut erangan kekecewaan yang nyaris terdengar, saksi itu dinyatakan telah berbohong, dan pada gilirannya dia pun dilarikan ke fasilitas rehabilitasi, yang disusul kemunculan tersangka utama—bagaikan boneka lelaki dan perempuan di dalam rumah mainan penunjuk cuaca yang tidak akan pernah keluar bersama-sama.
Jadi itu memang peristiwa bunuh diri, dan setelah jeda singkat yang mencengangkan, berita kembali meruap kendati tidak gegap gempita seperti sebelumnya. Mereka menulis bahwa gadis itu tidak seimbang, tidak stabil, tidak siap memasuki dunia gemerlap yang telah dia peroleh melalui keliaran dan kecantikannya; bahwa dia bergaul dengan kalangan berduit dan amoral yang telah menggerogotinya; bahwa dekadensi kehidupan barunya telah menjerumuskan kepribadian yang memang sudah rapuh sejak mula. Dia menjadi contoh kisah moralitas yang dibebani Schadenfreude—kesenangan di atas penderitaan orang lain—dan begitu banyak kolumnis yang membandingkannya dengan kisah Icarus, sampai –sampai majalah Private Eye membuat liputan khusus.
Kemudian, akhirnya, kegemparan itu mereda sendiri hingga menjadi basi, dan bahkan para jurnalis kehabisan bahan untuk diberitakan—namun itu pun sudah menjadi basi karena terlalu sering diucapkan.

Saya dan novel pertama

0 comments
Sejak membaca novel pertama Harry Potter, dan Twillight, saya jatuh hati dengan dua penulis beda benua ini... JK Rowling dan Stephenie Meyer. Meskipun saya hanya dapat membaca novel-novel mereka di internet (karena belum mampu membeli novel-novel tersebut :D ) tapi sampai saat ini, saya belum juga bosan membaca ulang novel-novel tersebut. Dan setiap kali membaca ulang, selalu ada hal-hal yang membuat saya semakin mengerti detail dari keseluruhan jalan cerita, membuat saya manggut-manggut sendiri, membuat saya cekikikan, menangis, berdebar-debar... selalu seperti itu. Tak terkecuali dengan 2 novel terkini mereka, yaitu The Host dan The Cuckoo's Calling. Terakhir kali suami saya menganggap saya "aneh" karena masih bisa tertawa setelah membaca novel "THE HOST" di kali yang ke delapan.

Pertama kali membaca The Host... lembar-lembar pertama tidaklah terlalu menarik... dan cenderung membingungkan... tapi begitu saya sampai di halaman-halaman berikutnya, saya seolah tidak bisa berhenti membaca, tidak dapat menahan rasa penasaran, meski untuk sekedar buang air... hehehe.. The Host sungguh memikat saya hingga ke lembar terakhir. Tidak jauh berbeda dengan The Cuckoo's Calling. Awalnya, saya mencari beberapa novel fantasi yang sudah saya baca sinospisnya di internet dan direkomendasikan oleh beberapa rekan sesama blogger. Tapi begitu sampai di toko buku (Yes... The Host adalah novel pertama yang akhirnya bisa saya beli dan selanjutnya saya selalu senang merencanakan novel apa lagi yang akan saya beli 3 bulan ke depan :D) mata saya tertambat pada sampul The Cuckoo yang bagus, terutama judulnya yang berkerlip - kerlip kalau terkena cahaya.. sayang, pengarangnya tidak saya kenal. Tapi tak urung, saya baca juga sinopsisnya... dan keluarlah jeritan kecil dari mulut saya (yang semoga saja tidak terlalu dipedulikan oleh beberapa pengunjung di sekitar saya saat itu... hehehe...) ketika membaca di bagian akhir sinopsis... bahwa penulis novel tersebut ternyata adalah J.K. Rowling. Sempat juga agak kecewa... kenapa beliau menulis kisah kriminal, bukan kisah fantasi seperti harry potter lagi... Tapi, ya akhirnya saya putuskan untuk membeli The Cuckoo dan 99 Cahaya di Langit Eropa (kalau novel satu ini suami saya yang merekomendasikan, karena katanya film bioskopnya bagus - psst, dia juga dapet bocoran dari temen-temen kantor nya loh ya, bukan karena dia udah nonton... hihihi...) The Cuckoo sempat saya abaikan selama seminggu... karena masih belum tertarik untuk membacanya, bahkan kemudian tertunda lagi seminggu sampai saya selesai membaca 99 cahaya di langit eropa.. baru beberapa hari lalu, saya putuskan untuk mulai membacanya. Dan, ternyataaaaa......  baru membaca prolognya saja, saya langsung ngga bisa menahan rasa penasaran. Akhirnya... yep... seperti anak gadis saya yang tidak bisa berhenti ketika makan silverqueen di gigitan pertama, langsung habis satu batang sekali makan... XD begitu pulalah saya membaca The Cuckoo... tidak bisa berhenti sebelum selesai. Walaupun ini kisah kriminal (detektif) tapi beda dengan beberapa kisah detektif yang sebelumnya pernah saya baca (sherlock holmes, dll) karena yang satu ini bahasanya enaaakkk... mudah dimengerti, tidak banyak kata-kata "susah" nya... dan itu semua tidak mengurangi ketegangan dan kemisteriusannya sama sekali... Akhir kata, kalau kalian suka dengan harry potter dan twillight, kalian juga pasti akan sukaaaa bgt dengan the host dan the cuckoo's calling.

The Host - Bab 25

0 comments


Terpaksa

Seminggu lagi berlalu, mungkin dua minggu—kelihatannya tak ada gunanya menghitung waktu di sini, di tempat waktu sangat tidak relevan—dan segalanya hanya jadi semakin aneh bagiku.
Aku bekerja bersama para manusia setiap hari, tapi tidak selalu bersama Jeb. Kadang aku ditemani Ian, kadang ditemani  Doc, lalu kadang hanya ditemani Jamie. Aku menyiangi alang-alang, menguleni roti, dan menggosok meja. Aku mengambil air, merebus sup bawang, mencuci pakaian di ujung kolam hitam, dan melepuhkan tangan dengan membuat sabun asam itu. Semua orang melakukan bagian mereka. Dan karena merasa tidak berhak berada di sini, aku berusaha bekerja dua kali lebih keras daripada yang lain. Aku tak layak memperoleh tempat di sini, aku tahu itu, tapi aku berusaha sebisa mungkin agar kehadiranku tidak jadi beban.
Aku mulai sedikit mengenal manusia-manusia di sekitarku, sebagian besar dengan hanya mendengarkan mereka. Setidaknya aku mempelajari nama mereka. Perempuan berkulit cokelat caramel itu bernama Lily, dan ia berasal dari Philadelphia. Selera humornya datar, dan ia bisa bergaul baik dengan semua orang karena tidak pernah marah. Pemuda berambut hitam runcing-runcing, Wes, sering menatap Lily, walaupun perempuan itu tampaknya tak pernah memperhatikan. Usia Wes baru Sembilan belas, dan ia melarikan diri dari Eureka, Montana. Ibu bermata mengantuk itu bernama Lucina,  dan kedua anak laki-lakinya bernama Isaiah serta Freedom. Freedom dilahirkan di sini, di dalam gua. Kelahirannya dibantu Doc. Aku jarang bertemu ketiganya. Tampaknya si ibu memisahkan anak-anak mereka dariku sebisa mungkin di dalam ruangan terbatas ini. Lelaki agak botak berpipi kemerahan itu suami Trudy; namanya Geoffrey. Mereka sering kali bersama lelaki tua lain, heath, sahabat Geoffrey semenjak kanak-kanak; ketiganya meloloskan diri bersama-sama dari penyerangan. Lelaki pucat berambut putih itu bernama Walter. Ia sakit, tapi Doc tidak tahu apa yang salah dengannya. Mustahil untuk tahu, tanpa laboratorium dan pengetesan. Dan kalaupun Doc bisa mendiagnosa masalahnya, ia tak punya obat-obatan untuk mengobatinya. Ketika  gejala-gejala penyakit Walter memburuk, Doc mulai mengira itu semacam kanker. Ini membuatku sangat sedih—menyaksikan seseorang benar-benar sekarat akibat penyakit yang sebenarnya bisa dengan mudah disembuhkan. Walter mudah merasa lelah, tapi selalu ceria. Perempuan berambut pirang keputihan dengan mata gelap yang sangat kontras—yang membawakan air untuk manusia-manusia lain pada hari pertamaku di ladang—adalah Heidi. Travis, John, Stanley, Reid, Carol, Violetta, Ruth Ann… Setidaknya aku mengenal semua nama itu. Ada 35 manusia dalam kelompok ini, enam sedang pergi menjarah, termasuk Jared. Kini ada 29 manusa di dalam gua, serta satu mahluk asing yang paling tidak diterima.
Aku juga belajar lebih banyak mengenai tetangga-tetanggaku. Ian dan Kyle menempati gua yang sama di lorongku, dua pintu asli disandarkan di lubang masuk kamar mereka. Sebelumnya Ian tidur bersama Wes di koridor lain, sebagai protes atas kehadiranku di sini. Tapi ia pindah kembali hanya setelah dua malam. Menurut Jeb, para penghuni gua takut padaku, dan ini membuatku tertawa. Apakah 29 ular derik merasa takut terhadap seekor tikus kesepian?
Kini Paige sudah kembali ke ruang sebelah, di gua yang ditempatinya bersama partnernya, Andy. Ketidakhadiran lelaki itu membuatnya sedih. Lily bersama Heidi menempati gua pertama yang bertirai bunga-bunga; Heath menempati gua kedua, pintunya berupa lembaran karton yang disatukan dengan selotip; Trudy dan Geoffrey berada di gua ketiga, yang ditutupi selimut garis-garis. Reid dan Violetta satu gua lebih jauh dariku di koridor, privasi mereka dilindungi karpet oriental gundul dan bernoda.
Gua keempat di koridor adalah milik Doc dan Sharon, sedangkan gua kelima milik Maggie, tapi tak satu pun dari ketiganya sudah kembali.
Doc dan Sharon adalah pasangan. Pada saat-saat langka ketika Maggie mengucapkan humor sarkastisnya, ia menggoda anak perempuannya dengan mengatakan diperlukan kiamat umat manusia bagi Sharon untuk menemukan lelaki sempurna: semua ibu menginginkan anak perempuan mereka punya pasangan seorang dokter.
Sharon bukanlah gadis yang kulihat di dalam ingatan-ingatan Melanie. Apakah bertahun-tahun tinggal bersama Maggie yang masam telah mengubahnya jadi seperti ibunya, hanya dengan warna kulit yang lebih cerah? Walaupun hubungan Sharon dan Doc lebih baru daripada kedatanganku ke tempat ini, Sharon tidak menunjukkan efek cinta baru yang bisa melembutkan seseorang.
Aku tahu lamanya hubungan itu dari Jamie. Sharon dan Maggie jarang melupakan kehadiranku ketika aku berada seruangan dengan mereka, dan percakapan mereka langsung berhati-hati. Mereka masih sangat menentangku; hanya mereka yang mengabaikanku dan membuat tindakan itu terasa sangat bermusuhan.
Aku bertanya kepada Jamie bagaimana cara Sharon dan Maggie datang kemari. Merekakah yang menemukan Jeb? Lebih dulu daripada Jared dan Jamie? Kelihatannya Jamie memahami pertanyaanku sesungguhnya: apakah usaha terakhir Melanie menemukan mereka benar-benar sia-sia?
Menurut Jamie tidak. Jared memperlihatkan catatan terakhir Melanie kepada Jamie, dan menjelaskan kakak perempuannya sudah tiada. Perlu sejenak bagi Jamie untuk bisa bicara lagi setelah kata itu terucap, dan di wajahnya bisa kulihat akibat peristiwa itu bagi mereka berdua. Setelah itu mereka pergi mencari Sharon. Maggie menodongkan pedang antic ketika Jared mencoba menjelaskan. Benar-benar nyaris.
Dengan Maggie dan Jared bekerja sana, tak perlu waktu lama untuk memecahkan teka-teki Jeb. Keempatnya sudah sampai di gua sebelum aku pindah dari Chicago ke San Diego.
Ketika aku dan Jamie membicarakan Melanie, ternyata rasanya tak sesulit yang kubayangkan. Melanie selalu menjadi bagian percakapan-percakapan ini. Ia meredakan rasa sakit Jamie, mengurangi kecanggunganku walaupun tak banyak omong. Ia jarang bicara kepadaku lagi. Dan ketika melakukannya, bicaranya tidak terdengar. Kadang-kadang aku tak yakin apakah benar-benar mendengarnya, atau apakah yang dipikirkannya sebenarnya gagasanku sendiri. Tapi Melanie berusaha, demi Jamie. Ketika aku mendengarnya, itu selalu pada saat aku bersama Jamie. Ketika Melanie tidak bicara, kami merasakan kehadirannya di sana.
“Mengapa Melanie jadi sangat pendiam sekarang?” Tanya Jamie pada suatu malam yang larut. Sekali itu ia tidak mencecarku tentang Laba-laba dan Fire-Taster. Kami sama-sama lelah, setelah seharian mencabut wortel. Punggungku terasa pegal.
“Sulit baginya untuk bicara. Diperlukan jauh lebih banyak usaha daripada yang diperlukan olehku dan olehmu. Tidak ada yang ingin sekali dikatakannya.”
“Apa yang dia lakukan sepanjang waktu?”
“Kurasa dia mendengarkan. Kurasa aku tidak tahu.”
“Bisakah kau mendengarnya sekarang?”
“Tidak.”
Aku menguap, Jamie terdiam. Kupikir ia tertidur. Aku juga hendak menirunya.
“Menurutmu Melanie akan pergi? Benar-benar menghilang?” bisik Jamie tiba-tiba. Suaranya tersangkut pada kata terakhir.
Aku bukan pembohong, dan kurasa aku tidak akan bisa berbohong kepada Jamie, kalaupun aku pembohong. Kucoba untuk tidak memikirkan dampak perasaanku terhadapnya. Karena sesungguhnya, apakah artinya jika cinta terbesar yang pernah kurasakan di dalam Sembilan kehidupanku, perasaan kekeluargaan sejati, insting keibuanku, kupersembahkan kepada bentuk kehidupan yang asing? Kusingkirkan pikiran itu.
“Aku tak tahu,” kataku. Lalu, karena itu memang benar, kutambahkan, “Kuharap tidak.”
“Apakah kau menyukai Melanie seperti kau menyukaiku? Apakah dulu kau membencinya, seperti dia membencimu?”
“Berbeda dengan caraku menyukaimu. Dan aku tak pernah benar-benar membenci Melanie, bahkan sejak awal. Aku takut sekali kepadanya, dan aku marah karena dia membuatku tidak bisa menjadi seperti  jiwa yang lainnya. Tapi aku selalu, selalu mengagumi kekuatannya. Dan Melanie orang terkuat yang pernah kukenal.”
Jamie tertawa. “Kau takut kepadanya?”
“Kau tidak mengira kakakmu bisa menakutkan? Ingatkah kau saat mendaki ngarai terlalu tinggi, lalu Melanie ‘naik pitam’—menurut istilah Jared—ketika kau terlambat pulang?”
Jamie tergelak mengingatnya. Aku gembira bisa mengalihkan perhatiannya dari pertanyaan yang menyakitkan itu.
Aku ingin sekali terus berdamai dengan semua teman baruku, dengan cara apa pun. Kurasa aku bersedia melakukan apa saja, tak peduli betapa itu rasanya membuat punggungku patah atau berbau busuk. Tapi ternyata aku keliru.
“Jadi, kupikir,” ujar Jeb kepadaku suatu hari, mungkin dua minggu setelah semuanya “kembali tenang”.
Aku benci jika Jeb mengucapkan kata-kata itu.
“Kau ingat apa yang kukatakan mengenai kemungkinan kau mengajar sedikit di sini?”
Jawabanku singkat, “Ya.”
“Well, lalu bagaimana?”
Aku tidak perlu memikirkannya lebih jauh. “Tidak.”
Penolakanku menimbulkan sengatan rasa bersalah di dalam diriku. Aku belum pernah menolak suatu Panggilan. Rasanya seakan aku mementingkan diri sendiri. Meski begitu, ini jelas berbeda. Jiwa takkan pernah memintaku melakukan tindakan yang bersifat bunuh diri.
Jeb mengernyit memandangku, menyatukan alis tebal berbulunya. “Kenapa tidak?”
“Apakah menurutmu Sharon akan suka?” tanyaku datar. Itu hanya satu contoh, tapi mungkin yang paling berpengaruh.
Jeb mengangguk, masih mengernyit, memahami maksudku.
“Itu demi kebaikan bersama,” gerutunya.
Aku mendengus. “Kebaikan bersama? Bukankah itu berarti menembakku?”
“Wanda, itu pikiran picik,” sergahnya, seakan jawabanku adalah usaha seriusku untuk membujuknya. “Sekarang ini kami punya kesempatan belajar yang sangat tidak biasa. Sayang sekali kalau disia-siakan.”
“Menurutku tak seorang pun ingin belajar dariku. Aku tidak keberatan bicara denganmu atau Jamie—“
“Tidak masalah apa yang mereka inginkan,” desak Jeb. “Yang penting apa yang baik bagi mereka. Seperti cokelat versus brokoli. Mereka harus tahu lebih banyak tentang jagad raya—juga tentang para penyewa baru planet kami.”
“Bagaimana hal itu bisa membantu mereka, Jeb? Apakah menurutmu aku mengetahui sesuatu yang bisa menghancurkan para jiwa? Membalikkan air pasang? Jeb, semua sudah berakhir.”
“Belum berakhir jika kami masih di sini,” katanya, nyengir, sehingga aku tahu ia sedang menggodaku lagi. “Aku tidak mengharapkan kau menjadi pengkhianat dan member kami semacam senjata super. Aku hanya berpikir, kami harus tahu lebih banyak mengenai dunia tempat kami tinggal.”
Aku terkesiap mendengar kata pengkhianat. “Kalaupun ingin, aku tidak bisa memberimu senjata, Jeb. Kami tidak punya kelemahan utama, semacam tumit Achilles. Tidak ada musuh bebuyutan di luar angkasa sana yang bisa datang membantu kalian, tidak ada virus yang bisa membasmi kami dan membiarkan kalian hidup. Maaf.”
“Jangan khawatir,” Jeb mengepalkan tangan dan mengetuk-ngetukkannya secara bergurau ke lenganku. “Tapi kau mungkin bakal terkejut. Sudah kubilang, di sini membosankan. Orang mungkin lebih kepingin mendengarkan cerita-ceritamu daripada yang kausangka.”
Aku tahu Jeb takkan menyerah. Apakah Jeb mampu mengakui kekalahan? Aku ragu itu.
Pada saat-saat makan biasanya aku duduk bersama Jeb dan Jamie—kalau ia tidak berada di sekolah atau sibuk di tempat lain. Ian selalu duduk di dekat kami, walaupun tidak benar-benar bersama kami. Gagasannya mengangkat diri sendiri sebagai pengawal pribadiku tak bisa kuterima sepenuhnya. Tampaknya terlalu hebat untuk menjadi kenyataan. Dan, karenanya, berdasarkan filosofi manusia, itu jelas keliru.
Beberapa hari setelah aku menolak permintaan Jeb untuk mengajar manusia “demi kebaikan mereka sendiri”, Doc duduk di sampingku selama makan malam.
Sharon tetap di tempatnya, di pojok terjauh dari tempatku yang biasa. Hari ini ia sendirian, tanpa ditemani ibunya. Ia tidak menoleh untuk melihat Doc berjalan ke arahku. Rambut cemerlang Sharon digulung membentuk sanggul tinggi, sehingga aku bisa melihat lehernya tegang dan bahunya terangkat. Tegang dan tidak senang. Membuatku ingin langsung pergi sebelum Doc bisa mengatakan apa pun yang hendak dikatakannya kepadaku, sehingga aku tidak bisa dianggap bersekongkol dengannya.
Tapi Jamie sedang bersamaku, dan ia meraih tanganku ketika melihat tatapan panic yang dikenalnya muncul di mataku. Ia mengembangkan kemampuan luar biasa untuk merasakan kapan aku berubah ketakutan. Aku mendesah dan tetap di tempat. Mungkin seharusnya aku merasa lebih terganggu dengan kenyataan bahwa diriku menjadi semacam budak bagi keinginan-keinginan anak ini.
“Apa kabar?” Tanya Doc santai, seraya meluncur ke meja di sampingku.
Ian, yang berada beberapa puluh sentimeter dari kami, berbalik sehingga seolah-olah ia jadi bagian kelompok kami.
Aku mengangkat bahu.
“Hari ini kami merebus sup,” Jamie mengumumkan. “Mataku masih pedih.”
Doc mengangkat tangannya yang merah membara. “Sabun.”
Jamie tertawa. “Kau menang.”
Doc pura-pura mengejek dengan membungkuk dalam-dalam, lalu berbalik kepadaku. “Wanda, aku punya pertanyaan untukmu…” Ia membiarkan kata-katanya berhenti.

Aku mengangkat alis.
“Well, aku ingin tahu… Dari semua planet yang kaukenal, spesies mana yang secara fisik paling mendekati umat manusia?”
Aku mengejap-ngerjapkan mata. “Mengapa?”
“Hanya rasa penasaran biologis kuno yang baik. Kurasa aku memikirkan para Penyembuh-mu… Dari mana mereka memperoleh pengetahuan untuk menyembuhkan—dan bukan hanya mengobati gejala-gejala penyakit—seperti yang kaubilang?” Doc bicara lebih keras daripada yang diperlukan, suara lembutnya merambat ke bagian lain ruangan, lebih daripada biasa. Beberapa orang mendongak—Trudy dan Geoffrey, Lily, Walter…

Kubelitkan kedua lenganku erat-erat di tubuh, mencoba memperkecil tubuhku sendiri. “Itu dua pertanyaan berbeda,” gumamku.
Doc tersenyum, memberi isyarat dengan sebelah tangannya agar aku melanjutkan.
Jamie meremas tanganku.
Aku mendesah. “Mungkin beruang di Mists Planet.”
“Sama dengan mahluk buas bercakar itu?” bisik Jamie.
Aku mengangguk.
“Di mana kemiripannya?” desak Doc.
Aku memutar bola mata, merasakan pengarahan Jeb dalam hal ini, tapi melanjutkan. “Dalam banyak hal mereka menyerupai mamalia. Berbulu, berdarah panas. Darah mereka tidak persis seperti darah kalian, tapi pada dasarnya melakukan tugas yang sama. Mereka memiliki emosi serupa, dan punya kebutuhan yang sama untuk berinteraksi secara social serta menyalurkan kreativitas—“
“Kreativitas?” Doc mencondongkan tubuh, takjub—atau berpura-pura takjub. “Kok bisa?”
Aku memandang Jamie. “Kau tahu. Mengapa tidak kauceritakan kepada Doc?”
“Aku bisa keliru.”
“Tidak.”
Jamie memandang Doc yang mengangguk.
“Well, kau tahu, mereka punya sepasang tangan yang menakjubkan,” ujar Jamie segera, antusias. “Semacam persendian ganda—bisa menekuk ke dua arah.” Ia membengkokkan jemarinya, seakan mencoba menekuknya ke belakang. “Satu sisinya lembut, seperti telapak tanganku, tapi sisi yang lain setajam silet! Mereka memotong es—memahatnya. Mereka membangun kota-kota, semuanya kastil Kristal yang tak pernah meleleh! Sangat indah, kan, Wanda!” Ia berbalik kepadaku, meminta dukungan.
Aku mengangguk. “Mereka melihat spectrum warna berbeda—esnya penuh pelangi. Kota-kota itu adalah puncak kebanggaan mereka. Dan mereka selalu berusaha menjadikan kota-kota itu lebih indah. Aku mengenal beruang bernama… well, Glitter Weaver—walaupun nama itu terdengar lebih indah dalam bahasa mereka. Ia mendapatkan nama itu karena sepertinya es bisa mengetahui apa yang ia inginkan, dan membentuk sendiri menurut mimpi-mimpinya. Aku pernah berjumpa dengannya dan melihat hasil-hasil kreasinya. Itu salah satu kenangan terindahku.”

“Mereka bisa bermimpi?” Tanya Ian pelan.
Aku tersenyum masam. “Tidak sejelas mimpi manusia.”
“Bagaimana cara penyembuh-penyembuhmu memperoleh pengetahuan tentang fisiologi spesies baru? Mereka sudah siap saat datang ke planet ini. Aku menyaksikan awal mulanya—menyaksikan pasien-pasien sekarat berjalan keluar dari rumah sakit…” Kening sempit Doc mengernyit, berkerut-kerut membentuk huruf V.  Seperti yang lain, ia membenci para penyerang asing itu. Tapi tidak seperti yang lain, ia juga iri pada mereka.
Aku tak ingin menjawab. Semua orang mendengarkan, dan ini bukan dongeng manis mengenai  Beruang pemahat es. Ini kisah tentang kekalahan mereka.
Doc menunggu, mengernyit.
“Mereka… mereka mengambil sampel-sampel,” gumamku.
Ian menyeringai paham. “Penculikan oleh mahluk luar angkasa.”
Aku mengabaikannya.
Doc mengerutkan bibir. “Masuk akal.”
Keheningan di dalam ruangan itu mengingatkanku pada saat aku pertama kali berada di sini.
“Dari mana asal bangsamu?” Tanya Doc. “Kau ingat? Maksudku, sebagai spesies, tahukah kau bagaimana bangsamu berevolusi?”
“The Origin,” jawabku, mengangguk. “Kami masih tinggal di sana. Itu tempatku… dilahirkan.”
“Dan itu cukup istimewa,” imbuh Jamie. “Jarang-jarang bisa menemui jiwa dari The Origin, ya kan? Sebagian besar jiwa berusaha untuk tetap tinggal di sana, kan, Wanda?” Ia tidak menunggu jawabanku. Aku mulai menyesal telah menjawab  pertanyaan-pertanyaan Jamie dengan begitu mendetail setiap malam. “Jadi, ketika seseorang berpindah planet, itu membuatnya hampir menjadi… semacam selebriti? Atau seperti anggota keluarga kerajaan.”
Kurasakan pipiku menghangat.
“Tempat itu keren,” Jamie melanjutkan. “Banyak awan, dengan serangkaian lapisan berbeda warna. Satu-satunya planet tempat jiwa bisa hidup di luar inang untuk waktu lama. Inang-inang di The Origin juga sangat cantik, dengan semacam sayap, banyak tentakel, dan mata perak besar.”
Doc mencondongkan tubuh, kedua tangannya menyangga wajah. “Ingatkah mereka bagaimana hubungan inang-parasit itu terbentuk? Bagaimana kolonisasi dimulai?”
Jamie memandangku, mengangkat bahu.
“Kami selalu seperti itu,” jawabku pelan, masih enggan. “Setidaknya sejak kami cukup cerdas untuk mengenal diri sendiri. Kami ditemukan spesies lain—di sini kami menyebut mereka Burung Hering, walaupun itu bukan karena penampilan mereka, tapi lebih pada kepribadian mereka. Mereka… jahat. Lalu kami tahu kami bisa mengikatkan diri pada mereka, persis yang kami lakukan dengan inang asli kami. Setelah mengendalikan Burung Hering, kami memanfaatkan teknologi mereka. Pertama-tama kami merebut planet mereka, lalu kami mengikuti mereka ke Dragon Planet dan Summer world—tempat-tempat indah, walaupun di sana Burung Hering juga jahat. Kami mulai membentuk koloni; inang-inang kami bereproduksi jauh lebih lambat daripada kecepatan reproduksi kami, dan masa hidup mereka singkat. Kami mulai menjelajah lebih jauh ke jagad raya…”
Aku berhenti, menyadari banyaknya mata yang menatap wajahku. Hanya Sharon yang tetap memalingkan wajah.
“Kau bicara seakan mengalaminya sendiri,” ujar Ian. Diam-diam ia mengamati. “Kapan itu terjadi?”
“Setelah dinosaurus tinggal di sini, tapi sebelum kalian ada. Aku tidak mengalaminya sendiri, tapi mengingat beberapa ingatan ibu dari ibu dari ibuku.”
“Berapa usiamu?” Tanya Ian, seraya mencondongkan tubuh ke arahku. Mata biru cemerlangnya seakan menembusku.
“Aku tak thau dalam tahun Bumi.”
“Kira-kira?” desaknya.
“Ribuan tahun, mungkin.” Aku mengangkat bahu. “Aku tidak bisa menghitung tahun-tahun yang kuhabiskan dalam hibernasi.”
Ian menyandarkan tubuhnya, terpana.
“Wow, tua sekali,” ujar Jamie.
“Tapi dalam pengertian yang sebenar-benarnya, aku lebih muda darimu,” gumamku kepadanya. “Bahkan usiaku belum setahun. Aku merasa seperti kanak-kanak sepanjang waktu.”
Sudut-sudut bibir Jamie sedikit tertarik ke atas. Ia menyukai gagasan dirinya lebih dewasa dariku.
“Bagaimana proses penuaan bangsamu?” Tanya Doc. “Masa hidup alaminya?”
“Kami tidak punya itu,” jawabku. “Selama inang kami sehat, kami bisa hidup selamanya.”
Suara gumaman rendah—marah? Takut? Jijik? Aku tidak tahu—berpusar-pusar di sekitar tepi gua. Kusadari jawabanku tidak bijak. Aku memahami arti kata-kata ini bagi mereka.
“Hebat.” Nada rendah penuh kemarahan itu berasal dari Sharon, tapi ia tidak menoleh.
Jamie meremas tanganku, kembali melihat keinginan untuk kabur di mataku. Kali ini perlahan-lahan kulepaskan tanganku.
“Aku sudah tidak lapar lagi,” bisikku, walaupun rotiku bertengger nyaris tak tersentuh di meja di sampingku. Aku melompat turun dan, seraya merapat ke dinding, meloloskan diri.
Jamie mengikuti persis di belakangku. Ia berhasil menyusulku di plaza kebun yang besar, lalu menyerahkan sisa rotiku.
“Itu sangat menarik. Sungguh,” ujar Jamie. “Kurasa tak ada yang benar-benar marah.”
“Jeb yang menyuruh Doc melakukan ini, bukan?”
“Kau menceritakan kisah-kisah bagus. Setelah semua orang tahu, mereka pasti ingin mendengar semuanya. Persis seperti aku dan Jeb.”
“Bagaimana kalau aku tidak ingin menceritakannya kepada mereka?”
Jamie mengernyit. “Well, kala begitu, kurasa… kau tidak usah menceritakannya. Tapi sepertinya kau tidak keberatan menceritakannya kepadaku.”
“Itu lain. Kau menyukaiku.” Aku bisa saja mengatakan, kau tidak ingin membunuhku, tapi itu akan membuat Jamie sedih.
“Setelah mengenalmu, mereka semua akan menyukaimu. Ian dan Doc begitu.”
“Ian dan Doc tidak menyukaiku, Jamie. Mereka hanya merasa sangat penasaran.”
“Mereka menyukaimu.”
“Ugh,” geramku. Kami sudah tiba di kamar. Kusibak tirai dan kulempar tubuhku ke kasur. Jamie duduk agak lesu di sampingku melingkarkan kedua lengannya di lutut.
“Jangan marah,” katanya memohon. “Jeb bermaksud baik.”
Aku kembali menggeram.
“Takkan seburuk itu.”
“Doc akan melakukan hal ini setiap kali aku masuk ke dapur, bukan?”
Jamie mengangguk malu. “Atau Ian. Atau Jeb.”
“Atau kau.”
“Kami semua ingin tahu.”
Aku mendesah, lalu berguling menelungkup. “Apakah Jeb harus selalu memperoleh apa yang dia inginkan?”
Jamie memikirkannya sejenak, lalu mengangguk. “Bisa dibilang begitu. Ya.”
Kugigit rotiku banyak-banyak. Selesai mengunyah aku berkata, “Kurasa mulai saat ini aku akan makan di sini.”
“Ian akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepadamu besok, ketika kau sedang menyiangi bayam. Bukan Jeb yang menyuruh—itu keinginan Ian sendiri.”
“Well, itu hebat.”
“Kau sangat pintar menyindir. Kupikir parasit—maksudku jiwa—tidak menyukai humor negative. Hanya menyukai hal-hal menyenangkan.”
“Mereka belajar dengan cepat di sini, Nak.”
Jamie tertawa, lalu meraih tanganku. “Kau tidak benci di sini, kan? Kau tidak menderita, kan?”
Mata cokelat besarnya tampak khawatir.
Kutekankan tangan Jamie di wajahku. “Aku baik-baik saja,” ujarku. Dan pada saat itu perkataanku benar seluruhnya.

Jual Nugget dan Sosis Sayur

Jual Nugget dan Sosis Sayur
Pemesanan via email : lwati111@gmail.com

The Host - Bab 26

0 comments
Pulang


Tanpa pernah benar-benar setuju melakukannya, aku menjadi guru yang diinginkan Jeb.
"Kelas"-ku tidak formal. Aku menjawab pertanyaan-pertanyaan setiap malam, sehabis makan. Kusadari bahwa, selama aku bersedia melakukan ini, Ian, Doc, dan Jeb akan membiarkanku sendirian seharian, sehingga aku bisa berkonsentrasi pada tugas-tugasku. Kami selalu berkumpul di dapur. Aku suka membantu memasak sambil bicara. Memberiku alasan untuk diam sejenak sebelum menjawab pertanyaan yang sulit, dan memberiku sesuatu untuk dilihat ketika aku tak ingin memandang mata seseorang. Di benakku tampaknya itu pengaturan yang tepat. Kata-kataku terkadang menyedihkan, tapi tindakan-tindakanku selalu demi kebaikan mereka.
Aku tak ingin mengakui Jamie benar. Jelas orang-orang itu tidak menyukaiku. Mereka tak mungkin menyukaiku; aku bukan salah satu dari mereka. Jamie menyukaiku, tapi itu hanya semacam reaksi kimia aneh yang jauh dari rasional. Jeb menyukaiku, tapi ia memang sinting. Yang lain tidak memiliki kedua alasan itu.
Tidak. Mereka tidak menyukaiku. Tapi semua berubah ketika aku mulai bicara.

Hal itu pertama kali kuamati di pagi hari, setelah malam sebelumnya aku menjawab pertanyaan-pertanyaan Doc saat makan. Aku sedang berada di kamar mandi gelap, mencuci pakaian bersama Trudy, Lily, dan Jamie.
"Bisa tolong ambilkan sabun itu, Wanda?" tanya Trudy dari kiriku.
Arus listrik seakan menjalari tubuhku ketika aku mendengar namaku diucapkan suara perempuan. Dengan kaku kuserahkan sabun itu, lalu kubilas rasa menyengat dari tanganku.
"Terima kasih," sahut Trudy.
"Sama-sama," gumamku. Suaraku parau ketika mengucapkan suku kata terakhir.
Sehari kemudian aku berpapasan dengan Lily di lorong dalam perjalananku mencari Jamie sebelum makan malam.
"Wanda," ujarnya, seraya mengangguk.
"Lily," jawabku, tenggorokanku kering.
Bukan hanya Doc dan Ian yang mengajukan pertanyaan-pertanyaannya di malam hari. Aku terkejut mengetahui orang-orang yang paling berani bertanya: Walter yang tampak lelah, dengan wajah kelabu mengkhawatirkan, tak henti-hentinya tertarik dengan kelelawar dari singing World. Heath, yang biasanya pendiam dan membiarkan Trudy atau Geoffrey bicara mewakilinya, banyak bicara di malam-malam seperti ini. Ia takjub dengan Fire World. Dan walaupun itu salah satu kisah yang paling tidak kusukai, ia memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan, sampai ia mengetahui setiap detail yang kuketahui. Lily berminat pada mekanika segala sesuatu--ia ingin tahu tentang pesawat-pesawat yang membawa kami dari planet ke planet, pilotnya, bahan bakarnya. Kepada Lily-lah aku menjelaskan tangki krio--sesuatu yang pernah mereka lihat, tapi hanya sedikit mereka pahami kegunaannya. Wes yang pemalu, yang biasanya duduk di dekat Lily, tidak bertanya tentang planet-planet lain, tapi tentang planet ini. Bagaimana cara kerjanya? Tanpa uang, tanpa upah kerja--mengapa masyarakat jiwa tidak runtuh? Kucoba untuk menjelaskan bahwa itu tak jauh berbeda dengan kehidupan di dalam gua. Bukankah kami semua bekerja tanpa uang dan saling berbagi produk kerja kami secara merata?
"Ya," sela Wes, seraya menggeleng. "Tapi di sini lain--Jeb punya senapan untuk para pemalas."
Semua memandang Jeb yang mengedipkan sebelah mata, lalu mereka semua tertawa.
Hampir setiap malam Jeb selalu hadir. Ia tidak berpartisipasi, hanya duduk serius di belakang ruangan, terkadang nyengir.
Ia benar soal faktor hiburannya. Anehnya, walaupun kami semua punya kaki, situasi ini mengingatkanku kepada See Weed. Ada julukan khusus bagi para penghibur di sana, seperti julukan Penghibur atau Penyembuh atau Pencari. Aku adalah salah satu Pendongeng. Jadi transisi menjadi guru di sini, di Bumi, tidak jauh berbeda. Setidaknya dari segi profesi. Setelah hari gelap situasi di dapur hampir sama, dengan bau asap dan roti panggang memenuhi ruangan. Semua terpaku di sini, seakan tubuh emreka tertanam. Kisah-kisahku adalah hal yang baru, hal untuk direnungkan, selain hal-hal yang sudah biasa--tugas-tugas melelahkan tanpa akhir yang sama; 35 wajah yang sama; ingatan-ingatan yang sama mengenai wajah-wajah lain yang mendatangkan duka yang sama bagi mereka; ketakutan dan keputusasaan sama yang telah lama menemani mereka. Dan dengan demikian dapur selalu penuh untuk pelajaran-pelajaran santaiku. Hanya Sharon dan Maggie yang secara mencurigakan dan konsisten tidak hadir.
Aku sudah menjadi guru tidak formal selama hampir empat minggu ketika kehidupan di dalam gua kembali berubah.
Dapur penuh seperti biasa. Hanya Jeb dan Doc yang tidak hadir, selain dua orang yang normalnya memang tak pernah hadir itu. Di meja di sampingku ada nampan logam berisi bulatan-bulatan adonan roti warna gelap yang sudah mengembang dua kali lipat dari ukuran semula. Mereka siap dimasukkan ke oven, segera setelah roti-roti di atas nampan di dalamnya sudah matang. Trudy memeriksa setiap beberapa menit, memastikan tak ada yang gosong.
Aku sering mencoba menyuruh Jamie bicara, jika ia sudah mengetahui kisahnya dengan baik. Aku suka menyaksikan antusiasme yang mencerahkan wajahnya, dan caranya menggunakan tangan untuk menggambar di udara. Malam ini Heidi ingin tahu lebih banyak mengenai Lumba-Lumba, jadi aku meminta Jamie menjawab pertanyaan-pertanyaan sebaik mungkin.
Manusia-manusia itu selalu bicara dengan penuh kesedihan ketika bertanya tentang akuisisi terbaru bangsaku. Mereka meihat Lumba-Lumba sebagai cerminan diri mereka sendiri pada tahun pertama pendudukan mahluk asing. Mata gelap Heidi, yang tampak bingung di balik poni pirang keputihan itu, menegang penuh simpati ketika ia mengajukan pertanyaan-pertanyaannya.
"Mereka lebih mirip capung besar daripada ikan, bukan, Wanda?" Jamie nyaris selalu bertanya sebagai penegasan, walaupun ia tak pernah menunggu jawabanku. "Tapi kulit mereka keras, dengan tiga, empat, atau lima pasang sayap, tergantung umur mereka, bukan? Jadi mereka terbang di atas air--yang lebih ringan dan lebih tidak padat daripada air di sini. Mereka punya lima, tujuh, atau sembilan kaki, tergantung jenis kelamin mereka, ya kan, Wanda? Mereka punya tiga jenis kelamin berbeda. Mereka punya tangan-tangan yang sangat panjang, dengan jari-jari liat dan kuat yang bisa menyusun segala jenis benda. Mereka membuat kota-kota di bawah air dari tanam-tanaman keras yang tumbuh di sana. Itu semacam pohon, tapi bukan benar-benar pohon. Mereka tidak semaju kami, kan, Wanda? Karena mereka tidak membangun pesawat ruang angkasa atau, misalnya, telepon untuk berkomunikasi. Manusia lebih maju."
Trudy mengeluarkan nampan berisi roti panggang, dan aku membungkuk untuk memasukkan nampan adonan mengembang berikutnya ke lubang panas berasap itu. Aku perlu sedikit mendorong dan mengaturnya agar nampan bisa masuk dengan benar.
Ketika sedang berkeringat di depan api, kudengar semacam keributan di luar dapur. Keributan itu menggema melewati lorong dari suatu tempat di gua. Dengan semua gema acak dan akustik aneh itu, sulit untuk memperkirakan jarak di sini.
"Hei!" teriak Jamie dari belakang, dan ketika menoleh aku melihat bagian belakang kepala jamie ketika ia berlari keluar.
Aku menegakkan tubuh dan mengejarnya, mengikuti instingku.
"Tunggu," panggil Ian. "Dia akan kembali. Berceritalah lebih banyak tentang Lumba-Lumba."
Ian duduk di meja di samping oven--kursi panas yang tidak bakal kupilih--sehingga cukup dekat baginya untuk mengulurkan tangan dan menyentuh pergelangan tanganku. Lenganku menyentakkan sentuhan tak terduga itu, tapi aku tidak beranjak dari tempatku.
"Ada apa di luar sana?" tanyaku. Aku masih bisa mendengar semacam percakapan. Kurasa aku mendengar suara gembira Jamie membaur di dalamnya.
Ian mengangkat bahu. "Siapa yang tahu?" Mungkin Jeb..." ia mengangkat bahu lagi, seakan tak cukup tertarik sehingga tidak ingin mencari tahu. Ia tidak peduli. Tapi aku melihat ketegangan di matanya yang tidak kupahami.
Aku yakin akan segera tahu, jadi aku juga mengangkat bahu dan mulai menjelaskan kerumitan luar biasa di dalam hubungan keluarga Lumba-Lumba, seraya membantu Trudy menumpuk roti hangat ke dalam wadah-wadah plastik.
"Enam dari sembilan... kakek-nenek, mungkin itu sebutan tradisionalnya, tinggal bersama larva-larva di sepanjang tahap perkembangan pertama, sementara ketiga orangtua bekerja bersama enam kakek-nenek mereka untuk membangun sayap baru di rumah keluarga, untuk didiami anak-anak ketika mereka sudah bisa bergerak," jelasku. Seperti biasa mataku memandangi roti-roti di kedua tanganku, bukannya memandangi para pendengar. Lalu kudengar helaan napas tertahan dari bagian belakang ruangan. Aku melanjutkan bicara secara otomatis, seraya memandang kerumunan itu untuk melihat siapa yang telah kubuat marah. "Ketiga kakek-nenek lainnya biasanya terlibat..."
Tak seorang pun marah kepadaku. Semua kepala menoleh ke arah yang sama dengan arah pandanganku. Pandanganku melintasi bagian kepala mereka, melihat ke lubang keluar gelap itu.
Hal pertama yang kulihat adalah sosok ramping Jamie menggayuti lengan seseorang. Seseorang yang begitu kotor dari kepala sampai ujung kaki sehingga kelihatannya hampir menyatu dengan dinding gua. Seseorang yang terlalu jangkung untuk disebut sebagai Jeb. Lagi pula Jeb berada persis di belakang bahu Jamie. Dari jarak sejauh ini sekalipun bisa kulihat mata Jeb menyipit dan hidungnya mengerut, seakan merasa gelisah. Itu emosi yang langka bagi Jeb. Dan aku juga bisa melihat wajah Jamie yang ceria penuh kebahagiaan.
"Ini dia," gumam Ian di sampingku. Suaranya nyaris tak terdengar di antara keretak api.
Lelaki kotor yang masih digayuti Jamie maju selangkah. Sebelah tangannya perlahan-lahan terangkat, seperti refleks di luar kehendak, lalu membentuk kepalan.
Dari sosok kotor itu keluarlah suara Jared--datar, sama sekali tidak terdengar tinggi-rendahnya nada. "Apa arti semua ini, Jeb?"
Tenggorokanku tercekat. Aku mencoba menelan ludah, dan mendapati jalannya terhalang. Aku mencoba bernapas, dan tidak berhasil. Jantungku berdentam-dentam tak keruan.
Jared! Suara gembira Melanie terdengar lantang. Teriakan bisu kebahagiaan. Ia langsung hidup dan bersemangat di dalam kepalaku. Jared pulang!

"Wanda sedang mengajari kami semua tentang jagad raya," celoteh jamie bersemangat. Entah mengapa, ia tidak menangkap kemarahan Jared. Mungkin ia terlalu gembira, sehingga tidak memperhatikan.
"Wanda?" ulang Jared, suaranya rendah, nyaris berupa geraman.
Muncul lebih banyak sosok kotor di lorong di belakangnya.
Aku hanya memperhatikan ketika mereka menggemakan geraman Jared dengan bergumam marah.
Sebuah kepala berambut pirang menyembul dari penonton yang terpaku. Paige terhuyung-huyung berdiri. "Andy!" serunya, lalu tertatih - tatih melewati sosok-sosok yang duduk di sekitarnya. Salah seorang lelaki kotor itu melangkah ke samping Jared dan menangkap Paige yang nyaris menjatuhi Wes. "Oh, Andy!" isak Paige. Nada suaranya mengingatkanku pada nada suara Melanie.
Sejenak luapan perasaan Paige mengubah suasana. Kerumunan bisu itu mulai bergumam, sebagian besar bangkit berdiri. Ketika mayoritas penonton menyambut kembalinya para petualang, suara yang terdengar bernada ramah. Aku mencoba membaca ekspresi aneh di wajah mereka, ketika mereka memaksakan diri untuk tersenyum seraya diam-diam kembali melirikku. Setelah satu detik yang terasa lama dan lambat--waktu tampaknya menggumpal di sekelilingku, membekukanku di tempat--kusadari mereka menunjukkan ekspresi bersalah.
"Tidak apa-apa, Wanda," bisik Ian.
Aku meliriknya panik, mencari ekspresi bersalah yang sama di wajahnya. Tidak kutemukan. Yang ada hanya ketegangan defensif di sekeliling mata cemerlangnya ketika ia menatap para pendatang baru itu.
"Ada apa ini?" terdengar seruan suara baru.
Kyle--yang mudah diidentifikasi berdasarkan ukuran tubuhnya, walaupun kotor--menyeruak melewati jared dan menuju ke arah...ku.

"Kalian membiarkan mahluk itu menceritakan kebohongan - kebohongannya? Apakah kalian semua sudah sinting? Atau apakah dia sudah menuntun para Pencari kemari? Apakah kalian semua sudah menjadi parasit?"
Kulihat banyak kepala tertunduk malu. Hanya beberapa yang mempertahankan dagu mereka terdongak kaku dengan bahu tegak: Lily, Trudy, Heath, Wes... bahkan Walter yang rapuh.
"Sabar, Kyle," ujar Walter dengan suara lemah.
Kyle mengabaikannya. Ia berjalan mantap ke arahku. Matanya, yang berwarna biru cemerlang seperti mata adiknya, bersinar penuh kemarahan. Tapi aku tak bisa terus memandangnya--mataku terus-menerus beralih pada sosok gelap Jared, mencoba membaca raut wajahnya yang tersamar.
Cinta Melanie mengalir melalui tubuhku, seperti danau yang meluap dari bendungan, dan semakin mengalihkan perhatianku dari lelaki barbar murka yang menghampiriku dengan cepat itu.
Ian menyelinap ke dalam ruang pandangku, pindah untuk menempatkan diri di depanku. Aku menjulurkan leher ke samping agar pandanganku ke arah Jared tetap jelas.
"Segalanya berubah ketika kau pergi."
Kyle berhenti, wajahnya tidak percaya. "Lalu, apakah para Pencari datang, Ian?"
"Dia tidak berbahaya bagi kita."
Kyle menggertakkan gigi, dan dari sudut mata aku melihatnya meraih sesuatu di sakunya.
Gerakan ini akhirnya mencuri perhatianku. Aku menciut, mengira itu senjata. Kata-kata berhamburan dari bibirku dalam bisikan tercekik. "Jangan menghalanginya, Ian."
Ian tidak menjawab. Aku terkejut menyadari betapa gelisahnya aku, dan betapa aku tidak ingin Ian terluka. Ini bukan naluri untuk melindungi--kebutuhan mendalam untuk melindungi--yang kurasakan terhadap Jamie, atau bahkan Jared. Yang kuketahui hanyalah, Ian tidak boleh terluka ketika mencoba melindungiku.
Tangan Kyle kembali terangkat, dan senter bersinar dari sana. Ia mengarahkannya ke wajah Ian, menahannya di sana sejenak. Ian tidak berpaling.
"Jadi, apa yang berubah?" desak Kyle, mengembalikan senter ke saku. "Kau bukan parasit. Bagaimana mungkin mahluk itu bisa memengaruhimu?"
"Tenanglah, akan kami ceritakan semuanya."


"Tidak."
Perlawanan itu bukan berasal dari Kyle, tapi dari belakangnya. Aku menyaksikan Jared berjalan perlahan-lahan menghampiri kami, melewati para penonton yang membisu. Ketika ia semakin dekat, diiringi Jamie yang masih menggayuti tangannya dengan raut bingung, aku bisa membaca raut wajahnya dengan lebih jelas di balik topeng kotoran itu. Bahkan Melanie sekalipun, yang kegembiraannya meluap-luap karena Jared pulang dengan selamat, tak mungkin salah mengartikan ekspresi jijik yang terpampang di sana.
Jeb telah menyia-nyiakan usahanya untuk orang-orang yang keliru. Tak peduli Trudy atau Lily bicara denganku, tak peduli Ian meletakkan dirinya di antara kakaknya dan aku, tak peduli Sharon dan Maggie tidak berbuat jahat kepadaku. Satu-satunya orang yang perlu diyakinkan akhirnya membuat keputusan.
"Kurasa tak ada yang perlu menenangkan diri," ujar Jared lewat sela-sela gigi. "Jeb," lanjutnya, tanpa melihat apakah lelaki tua itu mengikutinya ke depan. "Berikan senapannya."
Keheningan yang mengikuti kata-katanya begitu menegangkan, sampai-sampai bisa kurasakan tekanannya di dalam telingaku.
Sejak bisa melihat wajah Jared dengan jelas, aku tahu semuanya sudah berakhir. Aku tahu apa yang kini harus kulakukan; Melanie juga setuju. Setenang mungkin aku melangkah ke samping dan agak mundur, sehingga tidak terhalang Ian. Lalu aku memejamkan mata.
"Kebetulan tidak kubawa," ujar Jeb pelan.
Aku mengintip lewat mata yang kusipitkan ketika Jared berputar untuk menilai kebenaran ucapan Jeb.
Napas Jared berembus marah lewat lubang hidungnya. "Baiklah," gumamnya. Ia maju selangkah lagi ke arahku. "Tapi akan lebih lambat dengan cara ini. Akan lebih manusiawi jika kau cepat-cepat mencari senapan itu."
 "Ayolah, Jared, ayo bicara dulu," ujar Ian. Ia menjejakkan kaki kuat-kuat, tahu seperti apa jawaban Jared.
"Kurasa sudah ada terlalu banyak pembicaraan," geram Jared. "Jeb menyerahkan mahluk ini kepadaku, dan aku sudah membuat keputusan."
Jeb berdehem keras-keras. Jared berputar dan kembali memandangnya.
"Apa?" desak Jared. "Kau yang membuat peraturan itu, Jeb."
"Well, itu benar."
Jared berbalik lagi kepadaku. "Ian, jangan menghalangi."
"Well, well, tunggu sebentar," lanjut Jeb. "Seandainya kau ingat-ingat lagi, peraturannya adalah, siapa pun yang memiliki tubuh itu yang harus membuat keputusan."
Pembuluh darah di kening Jared jelas berdenyut-denyut. "Dan?"
"Bagiku tampaknya ada seseorang di sini yang sama berhaknya sepertimu. Mungkin bahkan lebih berhak."
Jared menatap lurus ke depan, mencerna perkataan ini. Sejenak kemudian alisnya mengernyit paham. Ia memandang anak laki-laki yang masih menggayuti lengannya.
Seluruh kegembiraan lenyap dari wajah Jamie, meninggalkan kepucatan dan kengerian yang teramat sangat.

"Tidak boleh, Jared," ujar Jamie tersendat-sendat. "Kau tidak boleh melakukannya. Wanda baik. Dia temanku! Dan Mel! Kumohon! Kau harus--" Ia berhenti, raut wajahnya tampak sangat menderita.
Aku kembali memejamkan mata, mencoba memblokir gambaran anak laki-laki yang menderita itu dari benakku. Nyaris mustahil untuk tidak menghampiri Jamie. Kukunci otot-ototku, meyakinkan diri sendiri aku takkan membantunya jika beranjak.
"Jadi," kata Jeb, nadanya terlalu santai untuk saat ini, "bisa kaulihat Jamie tidak setuju. Kurasa dia sama berhaknya denganmu."
Tak ada jawaban untuk waktu sangat lama, sehingga aku harus kembali membuka mata.
Jared sedang menatap wajah Jamie yang sedih dan ketakutan dengan ekspresi kengeriannya sendiri.
"Bagaimana kau bisa membiarkan ini terjadi, Jeb?" bisik Jared.
"Kita benar-benar perlu bicara," jawab Jeb. "Tapi mengapa kau tidak istirahat dulu? Mungkin kau akan merasa lebih siap bercakap-cakap setelah mandi."
Jared melotot marah kepada lelaki tua itu, tatapannya penuh rasa terkejut dan sakit akibat dikhianati. Aku hanya punya perbandingan-perbandingan manusia untuk pandangan semacam itu. Yulius Caesar dan Brutus, Yesus dan Yudas.
Ketegangan tak tertahankan itu hanya bertahan selama semenit yang terasa lama, lalu Jared menyingkirkan jemari Jamie dari lengannya.
"Kyle," seru Jared, berbalik dan berjalan ke luar ruangan.
Kyle nyengir pada adiknya, lalu mengikuti Jared.
Para anggota ekspedisi yang kotor lainnya mengikuti tanpa bicara. Paige menyelip aman di bawah lengan Andy.
Sebagian besar manusia lainnya, mereka yang menunduk malu karena telah memasukkanku ke tengah pergaulan mereka, berjalan keluar dengan menyeret kaki. Hanya ada Jamie, Jeb, dan Ian di sampingku, serta Trudy, Geoffrey, Heath, Lily, Wes, dan Walter yang tetap tinggal.
Tak seorang pun bicara sampai gema langkah mereka menghilang dalam gelap.
"Fiuh!" ian menghembuskan napas. "Nyaris sekali. Pemikiran yang bagus, Jeb."
"Inspirasi dalam kegentingan. Tapi kita belum lepas dari bahaya," jawab Jeb.
"Tentu saja! Kau tidak meninggalkan senapan itu di tempat yang mudah ditemukan, bukan?"
"Tidak. Sudah kubayangkan ini akan segera terjadi."
"Baguslah."
Jamie berdiri gemetaran, sendirian di ruang yang ditinggalkan orang-orang tadi. Dikelilingi mereka yang tentu saja kuanggap teman, aku merasa sanggup berjalan ke samping Jamie. Ia memeluk pinggangku, dan aku menepuk-nepuk punggungnya dengan sepasang tanganku yang gemetaran.
"Tidak apa-apa," bisikku berbohong. "Tidak apa-apa." Aku tahu, bahkan orang tolol pun akan mendengar nada palsu dalam suaraku. Dan Jamie tidak tolol.
"Dia tidak akan melukaimu," ujar Jamie parau, berjuang menahan air mata yang bisa kulihat di matanya. "Takkan kubiarkan."
"Sst," gumamku.
Aku terkejut--kurasakan wajahku membentuk garis-garis ketakutan. Jared benar--bagaimana Jeb bisa membiarkan ini terjadi? Kalau saja mereka membunuhku di hari pertamaku di sini, bahkan sebelum Jamie melihatku... Atau di minggu pertama itu, ketika Jared mengasingkanku dari semua orang, sebelum aku dan Jamie berteman... Atau seandainya aku terus menutup mulut soal Melanie... Sudah terlambat untuk semua itu. Kedua lenganku memeluk anak itu erat-erat.
Melanie sama terkejutnya. Adikku yang malang.
Sudah kubilang, menceritakan semuanya kepada Jamie adalah ide buruk, ujarku mengingatkan.
Sekarang apa akibatnya bagi Jamie, seandainya kita mati?
Pasti mengerikan. Ia akan mengalami trauma, terluka, dan hancur--
Melanie menyelaku. Cukup. Aku tahu. Aku tahu. Tapi apa yang bisa kita perbuat?
Tidak mati, kurasa.
Aku dan Melanie memikirkan kemungkinan kami bisa bertahan hidup, dan merasa putus asa.
Ian menepuk punggung Jamie--bisa kurasakan gerakan itu menggetarkan tubuh kami berdua.
"Jangan sedih, Nak," kata Ian. "Kau tidak sendirian dalam hal ini."
"Mereka hanya terkejut. Itu saja." Kukenali suara alto Trudy di belakangku. :Setelah kita punya kesempatan untuk menjelaskan, mereka akan memahami alasannya."
"Memahami alasannya? Kyle?" desis seseorang, nyaris tak terdengar.
"Kita tahu ini akan terjadi," gumam Jeb. "Hanya perlu sedikit waktu. Badai akan berlalu."
"Mungkin kau harus mengambil senapan itu," saran Lily tenang. "Mungkin ini akan jadi malam yang panjang. Wanda bisa tinggal bersamaku dan Heidi--"
"Kurasa kita lebih kita menempatkannya di tempat lain," ujar Ian tidak setuju. "Mungkin di terowongan-terowongan selatan? Aku akan mengawasinya. Jeb, mau membantu?"
"Mereka tidak akan mencarinya jika dia bersamaku." Tawaran Walter hanya berupa bisikan.
Wes mengabaikan perkataan Walter. "Aku akan menemanimu, Ian. Mereka berenam."
"Tidak." Akhirnya aku berhasil bicara. "Tidak. Itu tidak benar. Kalian tidak boleh berkelahi. Kalian semua bersama-sama di sini. Kalian bersatu. Tidak ada perkelahian. Tidak ada perkelahian karena diriku."
Kutarik lengan Jamie dari pinggangku, dan kupegangi pergelangan tangannya ketika ia mencoba menghentikanku.
"Aku hanya perlu waktu sendirian," kataku kepadanya, mengabaikan semua tatapan yang kurasakan di wajahku. "Aku perlu menyendiri." Aku berpaling mencari Jeb. "Dan kau harus punya kesempatan untuk membahas hal ini tanpa bisa kudengarkan. Tidak adil--membahas strategi di hadapan musuh."
"Ayolah, jangan begitu," ujar Jeb.
"Beri aku waktu untuk berpikir, Jeb."
Aku melangkah meninggalkan Jamie, menjatuhkan kedua tangannya. Satu tangan memegangi bahuku, dan aku berjengit.
Ternyata Ian. "Bukan ide yang bagus untuk berkeliaran sendiri."
Aku mencondongkan tubuh ke arahnya, mencoba memelankan suaraku sehingga Jamie takkan bisa mendengar dengan jelas. "Mengapa mengulur-ulur sesuatu yang tak terhindarkan? Bakal lebih mudah atau lebih sulitkah bagi Jamie?"
Kupikir aku tahu jawaban untuk pertanyaan terakhirku. Aku merunduk di bawah tangan Ian, lalu bergegas lari menuju lubang keluar.
"Wanda!" panggil Jamie.
Seseorang menyuruhnya diam. Tak ada langkah kaki di belakangku. Agaknya mereka memahami kebijakan membiarkan aku pergi.
Lorong gelap dan sepi. Kalau beruntung aku bisa memotong jalan melewati pinggiran plaza kebun yang besar itu dalam kegelapan.
Sepanjang waktuku di sini, satu hal yang tak pernah kuketahui adalah jalan keluar. Sepertinya aku telah menyusuri setiap terowongan berulang kali, tapi tak penah melihat lubang yang belum pernah kujelajahi ketika mencari satu atau lain hal. Kini aku merenungkannya, ketika merayap melewati pojok-pojok dengan bayangan tergelap di dalam gua besar itu. Di manakah jalan keluarnya? Dan ini yang kupikirkan: seandainya bisa memecahkan teka-teki itu, bisakah aku pergi?
Aku tak bisa memikirkan apa pun yang kuinginkan hingga aku bersedia pergi dari sini--yang pasti bukan padang gurun yang menanti di luar sana; tapi juga bukan Pencari, atau Penyembuh, atau Penghibur-ku; juga bukan kehidupanku sebelumnya, yang hanya meninggalkan kesan dangkal bagiku. Semua yang benar-benar berarti ada bersamaku di sini. Jamie, Jared, walaupun ia hendak membunuhku. Tak bisa kubayangkan aku meninggalkan mereka berdua.
Dan Jeb. Ian. Kini aku punya teman-teman. Doc, Trudy, Lily, Wes, Walter, Heath. Manusia-manusia aneh yang bisa mengabaikan siapa diriku dan melihat sosok lain yang tak perlu mereka bunuh. Mungkin mereka hanya merasa penasaran. Tapi di luar itu, mereka bersedia membelaku melawan ikatan kekeluargaan yang erat di antara mereka yang masih bertahan hidup. Aku menggeleng takjub ketika meraba-raba batu kasar dengan sepasang tanganku.
Aku bisa mendengar yang lain berada di ruang gua, di sisi yang jauh dariku. Aku tidak berhenti; mereka tak bisa melihatku di sini, dan aku baru saja menemukan celah yang kucari.
Bagaimanapun, sebenarnya hanya ada satu tempat bagiku untuk pergi. Seandainya pun aku bisa menebak jalan untuk kabur, aku toh akan mengambil jalan ini juga. Aku merangkak ke dalam kegelapan terhitam yang bisa kubayangkan, dan bergegas menyusuri jalanku.

The Cuckoo’s Calling – Prolog

0 comments


Is demum miser est, cuius nobilitas miserias nobiitat.
Sungguh celaka orang yang cacat celanya menjadi ikut terkenal karena ketenarannya.
Lucius Accius, Telephus

Gaung di jalanan terdengar seperti dengung lalat. Para fotografer berdiri berkerumun di balik garis batas yang dijaga polisi, kamera mereka yang berbelalai panjang siap siaga, napas mereka mengepul seperti uap. Salju jatuh berderai di atas topi dan pundak; jari-jari yang terbungkus sarung tangan mengusap lensa kamera. Dari waktu ke waktu terdengar semburan bunyi klik-klik yang tak beraturan sementara para pengamat itu mengisi waktu dengan memotret tenda kanvas putih di tengah jalan, pintu masuk bangunan apartemen dari batu bata merah di belakangnya, serta balkon di lantai tertinggi dari mana mayat itu terjatuh.
Di belakang kerumunan padat paparazzi  itu berjajar mobil-mobil van putih dengan antena parabola besar di atap, dan para jurnalis berbicara, beberapa dengan bahasa asing, sementara para juru suara yang mengenakan headphone berkeliaran di sekitar mereka. Pada saat jeda pengambilan gambar, para reporter itu mengentak-entakkan kaki sambil menghangatkan tangan di dekat teko kopi panas di kafe yang dipadati pengunjung, di suatu jalan tak jauh dari sana. Untuk mengisi waktu, para juru kamera bertopi wol mengambil gambar punggung paparazzi, balkon dan tenda yang berisi mayat, lalu berganti posisi untuk mendapatkan sudut pandang lebar yang menjangkau seluruh kekacauan yang telah meledak di jalanan Mayfair yang tenang dan bersalju itu, dengan pintu-pintu bercat hitam dibingkai teras berdinding batu putih dan diapit tanaman yang dipangkas rapi. Pintu masuk nomor 18 dipagari pita polisi. Aparat polisi, sebagian para ahli forensik yang mengenakan seragam putih-putih, terlihat samar-samar di lorong masuk di dalamnya.
Stasiun-stasiun televisi sudah mengabarkan berita tersebut beberapa jam lalu. Anggota masyarakat menyemut di kedua ujung jalan, ditahan oleh lebih banyak petugas kepolisian; sebagian sengaja datang untuk menonton, sebagian lagi memperlambat langkah dalam perjalanan ke tempat kerja. Banyak yang mengacungkan telepon seluler tinggi-tinggi untuk mengambil gambar sebelum melanjutkan perjalanan. Seorang pria muda, yang tidak tahu balkon mana yang dimaksud, memotret semua balkon satu per satu, meskipun balkon yang di tengah dipadati deretan tanaman rendah, tiga pohon berdaun lebat yang berbentuk bulat rapi, yang nyaris tidak menyisakan tempat untuk manusia berdiri.
Sekelompok perempuan muda datang membawa bunga, direkam ketika sedang memberikan bunga-bunga itu kepada polisi. Para petugas yang menerimanya belum memutuskan tempat untuk meletakkannya, lalu dengan salah tingkah menyimpan bunga-bunga itu di belakang mobil van polisi, sadar betul bahwa kamera-kamera sedang menyorot setiap gerak-gerik mereka.
Koresponden dan kanal berita 24 jam terus-menerus menyampaikan komentar dan spekulasi di sekitar sedikit fakta yang mereka ketahui.
“… dari apartemen penthouse-nya pada sekitar pukul dua dini hari tadi. Polisi mendapat laporan dari petugas keamanan gedung…”
“…belum ada tanda-tanda polisi akan memindahkan jenazah tersebut, yang menimbulkan spekulasi…”
“… tidak ada keterangan apakah dia sedang sendiri ketika jatuh…”
“…polisi telah masuk ke gedung dan akan melakukan pencarian menyeluruh.”
###
Cahaya dingin menerangi bagian dalam tenda. Dua pria sedang berjongkok di dekat jenazah, akhirnya siap memindahkannya ke kantong mayat. Darah dari kepala mengalir di antara salju. Wajahnya hancur dan bengkak, sebelah matanya mengerut, yang sebelah lagi memperlihatkan seiris warna putih keruh di antara kelopak yang bengkak. Ketika payet-payet yang menghiasi baju atasannya berkerdap karena sedikit perubahan cahaya, ada kesan meresahkan saat seolah-olah wanita itu bernapas kembali, atau menegangkan otot-ototnya, siap untuk bangkit berdiri. Salju jatuh di kanvas tenda bagaikan bunyi jemari yang mengetuk-ngetuk.
“Mana ambulans sialan itu?”
Kemarahan Inspektur Polisi Roy Carver sudah menggunung. Dia adalah pria tambun dengan wajah sewarna daging kornet, di bagian ketiak kemejanya biasanya tedapat lingkaran keringat, dan persediaan kesabarannya yang tipis sudah habis berjam-jam yang lalu. Dia berada di sini nyaris sama lamanya dengan mayat itu; kakinya begitu kedinginan sampai-sampai tak lagi terasa, dan kepalanya pening karena dia kelaparan.
“Ambulans akan tiba dua menit lagi,” kata Sersan Polisi Eric Wardle, yang tidak sengaja menjawab pertanyaan  atasannya ketika dia memasuki tenda dengan ponsel menempel di telinga. “Sedang dicarikan tempat.”
Carver menggerutu. Sumbunya yang pendek semakin parah karena dia yakin Wardle justru senang dengan kehadiran para fotografer. Pria itu tampan dengan wajah bak remaja, rambutnya tebal bergelombang dan kini beku karena salju. Menurut Carver, Wardle sengaja berlama-lama pada kesempatan langka mereka harus keluar dari tenda.
“Paling tidak, gerombolan ini akan pergi begitu mayatnya dipindahkan,” kata Wardle, masih memandang ke luar kea rah para fotografer.
“Mereka tidak akan minggat selama kita masih memperlakukan tempat ini seperti TKP,” tukas Carver.
Wardle tidak menjawab tantangan yang tak terucapkan itu. Tetap saja Carver meledak.
“Anak malang ini terjun. Tidak ada orang lain di sana. Yang kau sebut saksi itu teller—“
“Ambulans datang,” potong Wardle, dan yang membuat Carver muak, bawahannya itu kembali menyusup keluar dari tenda untuk menunggu ambulans di hadapan kamera-kamera.
###
Liputan peristiwa itu telah menyisihkan berita-berita politik, perang, serta bencana, dan tiap versi dihiasi foto-foto wajah sempurna wanita yang telah mati itu, tubuhnya yang ramping dan indah. Dalam beberapa jam saja, sedikit fakta yang diketahui telah menyebar bagaikan virus ke jutaan orang; pertengkaran dengan sang pacar yang tersohor di depan banyak mata, perjalanan pulang seorang diri, teriakan yang terdengar, dan kejatuhannya yang final dan fatal…
Sang kekasih kabur ke fasilitas rehabilitasi, tapi langkah-langkah polisi tak terbaca; orang-orang yang pernah bersama korban pada malam sebelum kematiannya terus dibayang-bayangi; beritanya mengisi ribuan kolom berita cetak dan berjam-jam siaran televise, dan wanita yang bersumpah telah mendengar pertengkaran kedua tepat sebelum tubuh itu terjun sesaat menikmati ketenarannya, dan dianugerahi foto yang lebih kecil di sebelah gambar-gambar mendiang gadis yang cantik jelita itu.
Namun, disambut erangan kekecewaan yang nyaris terdengar, saksi itu dinyatakan telah berbohong, dan pada gilirannya dia pun dilarikan ke fasilitas rehabilitasi, yang disusul kemunculan tersangka utama—bagaikan boneka lelaki dan perempuan di dalam rumah mainan penunjuk cuaca yang tidak akan pernah keluar bersama-sama.
Jadi itu memang peristiwa bunuh diri, dan setelah jeda singkat yang mencengangkan, berita kembali meruap kendati tidak gegap gempita seperti sebelumnya. Mereka menulis bahwa gadis itu tidak seimbang, tidak stabil, tidak siap memasuki dunia gemerlap yang telah dia peroleh melalui keliaran dan kecantikannya; bahwa dia bergaul dengan kalangan berduit dan amoral yang telah menggerogotinya; bahwa dekadensi kehidupan barunya telah menjerumuskan kepribadian yang memang sudah rapuh sejak mula. Dia menjadi contoh kisah moralitas yang dibebani Schadenfreude—kesenangan di atas penderitaan orang lain—dan begitu banyak kolumnis yang membandingkannya dengan kisah Icarus, sampai –sampai majalah Private Eye membuat liputan khusus.
Kemudian, akhirnya, kegemparan itu mereda sendiri hingga menjadi basi, dan bahkan para jurnalis kehabisan bahan untuk diberitakan—namun itu pun sudah menjadi basi karena terlalu sering diucapkan.

Saya dan novel pertama

0 comments
Sejak membaca novel pertama Harry Potter, dan Twillight, saya jatuh hati dengan dua penulis beda benua ini... JK Rowling dan Stephenie Meyer. Meskipun saya hanya dapat membaca novel-novel mereka di internet (karena belum mampu membeli novel-novel tersebut :D ) tapi sampai saat ini, saya belum juga bosan membaca ulang novel-novel tersebut. Dan setiap kali membaca ulang, selalu ada hal-hal yang membuat saya semakin mengerti detail dari keseluruhan jalan cerita, membuat saya manggut-manggut sendiri, membuat saya cekikikan, menangis, berdebar-debar... selalu seperti itu. Tak terkecuali dengan 2 novel terkini mereka, yaitu The Host dan The Cuckoo's Calling. Terakhir kali suami saya menganggap saya "aneh" karena masih bisa tertawa setelah membaca novel "THE HOST" di kali yang ke delapan.

Pertama kali membaca The Host... lembar-lembar pertama tidaklah terlalu menarik... dan cenderung membingungkan... tapi begitu saya sampai di halaman-halaman berikutnya, saya seolah tidak bisa berhenti membaca, tidak dapat menahan rasa penasaran, meski untuk sekedar buang air... hehehe.. The Host sungguh memikat saya hingga ke lembar terakhir. Tidak jauh berbeda dengan The Cuckoo's Calling. Awalnya, saya mencari beberapa novel fantasi yang sudah saya baca sinospisnya di internet dan direkomendasikan oleh beberapa rekan sesama blogger. Tapi begitu sampai di toko buku (Yes... The Host adalah novel pertama yang akhirnya bisa saya beli dan selanjutnya saya selalu senang merencanakan novel apa lagi yang akan saya beli 3 bulan ke depan :D) mata saya tertambat pada sampul The Cuckoo yang bagus, terutama judulnya yang berkerlip - kerlip kalau terkena cahaya.. sayang, pengarangnya tidak saya kenal. Tapi tak urung, saya baca juga sinopsisnya... dan keluarlah jeritan kecil dari mulut saya (yang semoga saja tidak terlalu dipedulikan oleh beberapa pengunjung di sekitar saya saat itu... hehehe...) ketika membaca di bagian akhir sinopsis... bahwa penulis novel tersebut ternyata adalah J.K. Rowling. Sempat juga agak kecewa... kenapa beliau menulis kisah kriminal, bukan kisah fantasi seperti harry potter lagi... Tapi, ya akhirnya saya putuskan untuk membeli The Cuckoo dan 99 Cahaya di Langit Eropa (kalau novel satu ini suami saya yang merekomendasikan, karena katanya film bioskopnya bagus - psst, dia juga dapet bocoran dari temen-temen kantor nya loh ya, bukan karena dia udah nonton... hihihi...) The Cuckoo sempat saya abaikan selama seminggu... karena masih belum tertarik untuk membacanya, bahkan kemudian tertunda lagi seminggu sampai saya selesai membaca 99 cahaya di langit eropa.. baru beberapa hari lalu, saya putuskan untuk mulai membacanya. Dan, ternyataaaaa......  baru membaca prolognya saja, saya langsung ngga bisa menahan rasa penasaran. Akhirnya... yep... seperti anak gadis saya yang tidak bisa berhenti ketika makan silverqueen di gigitan pertama, langsung habis satu batang sekali makan... XD begitu pulalah saya membaca The Cuckoo... tidak bisa berhenti sebelum selesai. Walaupun ini kisah kriminal (detektif) tapi beda dengan beberapa kisah detektif yang sebelumnya pernah saya baca (sherlock holmes, dll) karena yang satu ini bahasanya enaaakkk... mudah dimengerti, tidak banyak kata-kata "susah" nya... dan itu semua tidak mengurangi ketegangan dan kemisteriusannya sama sekali... Akhir kata, kalau kalian suka dengan harry potter dan twillight, kalian juga pasti akan sukaaaa bgt dengan the host dan the cuckoo's calling.

The Host - Bab 25

0 comments


Terpaksa

Seminggu lagi berlalu, mungkin dua minggu—kelihatannya tak ada gunanya menghitung waktu di sini, di tempat waktu sangat tidak relevan—dan segalanya hanya jadi semakin aneh bagiku.
Aku bekerja bersama para manusia setiap hari, tapi tidak selalu bersama Jeb. Kadang aku ditemani Ian, kadang ditemani  Doc, lalu kadang hanya ditemani Jamie. Aku menyiangi alang-alang, menguleni roti, dan menggosok meja. Aku mengambil air, merebus sup bawang, mencuci pakaian di ujung kolam hitam, dan melepuhkan tangan dengan membuat sabun asam itu. Semua orang melakukan bagian mereka. Dan karena merasa tidak berhak berada di sini, aku berusaha bekerja dua kali lebih keras daripada yang lain. Aku tak layak memperoleh tempat di sini, aku tahu itu, tapi aku berusaha sebisa mungkin agar kehadiranku tidak jadi beban.
Aku mulai sedikit mengenal manusia-manusia di sekitarku, sebagian besar dengan hanya mendengarkan mereka. Setidaknya aku mempelajari nama mereka. Perempuan berkulit cokelat caramel itu bernama Lily, dan ia berasal dari Philadelphia. Selera humornya datar, dan ia bisa bergaul baik dengan semua orang karena tidak pernah marah. Pemuda berambut hitam runcing-runcing, Wes, sering menatap Lily, walaupun perempuan itu tampaknya tak pernah memperhatikan. Usia Wes baru Sembilan belas, dan ia melarikan diri dari Eureka, Montana. Ibu bermata mengantuk itu bernama Lucina,  dan kedua anak laki-lakinya bernama Isaiah serta Freedom. Freedom dilahirkan di sini, di dalam gua. Kelahirannya dibantu Doc. Aku jarang bertemu ketiganya. Tampaknya si ibu memisahkan anak-anak mereka dariku sebisa mungkin di dalam ruangan terbatas ini. Lelaki agak botak berpipi kemerahan itu suami Trudy; namanya Geoffrey. Mereka sering kali bersama lelaki tua lain, heath, sahabat Geoffrey semenjak kanak-kanak; ketiganya meloloskan diri bersama-sama dari penyerangan. Lelaki pucat berambut putih itu bernama Walter. Ia sakit, tapi Doc tidak tahu apa yang salah dengannya. Mustahil untuk tahu, tanpa laboratorium dan pengetesan. Dan kalaupun Doc bisa mendiagnosa masalahnya, ia tak punya obat-obatan untuk mengobatinya. Ketika  gejala-gejala penyakit Walter memburuk, Doc mulai mengira itu semacam kanker. Ini membuatku sangat sedih—menyaksikan seseorang benar-benar sekarat akibat penyakit yang sebenarnya bisa dengan mudah disembuhkan. Walter mudah merasa lelah, tapi selalu ceria. Perempuan berambut pirang keputihan dengan mata gelap yang sangat kontras—yang membawakan air untuk manusia-manusia lain pada hari pertamaku di ladang—adalah Heidi. Travis, John, Stanley, Reid, Carol, Violetta, Ruth Ann… Setidaknya aku mengenal semua nama itu. Ada 35 manusia dalam kelompok ini, enam sedang pergi menjarah, termasuk Jared. Kini ada 29 manusa di dalam gua, serta satu mahluk asing yang paling tidak diterima.
Aku juga belajar lebih banyak mengenai tetangga-tetanggaku. Ian dan Kyle menempati gua yang sama di lorongku, dua pintu asli disandarkan di lubang masuk kamar mereka. Sebelumnya Ian tidur bersama Wes di koridor lain, sebagai protes atas kehadiranku di sini. Tapi ia pindah kembali hanya setelah dua malam. Menurut Jeb, para penghuni gua takut padaku, dan ini membuatku tertawa. Apakah 29 ular derik merasa takut terhadap seekor tikus kesepian?
Kini Paige sudah kembali ke ruang sebelah, di gua yang ditempatinya bersama partnernya, Andy. Ketidakhadiran lelaki itu membuatnya sedih. Lily bersama Heidi menempati gua pertama yang bertirai bunga-bunga; Heath menempati gua kedua, pintunya berupa lembaran karton yang disatukan dengan selotip; Trudy dan Geoffrey berada di gua ketiga, yang ditutupi selimut garis-garis. Reid dan Violetta satu gua lebih jauh dariku di koridor, privasi mereka dilindungi karpet oriental gundul dan bernoda.
Gua keempat di koridor adalah milik Doc dan Sharon, sedangkan gua kelima milik Maggie, tapi tak satu pun dari ketiganya sudah kembali.
Doc dan Sharon adalah pasangan. Pada saat-saat langka ketika Maggie mengucapkan humor sarkastisnya, ia menggoda anak perempuannya dengan mengatakan diperlukan kiamat umat manusia bagi Sharon untuk menemukan lelaki sempurna: semua ibu menginginkan anak perempuan mereka punya pasangan seorang dokter.
Sharon bukanlah gadis yang kulihat di dalam ingatan-ingatan Melanie. Apakah bertahun-tahun tinggal bersama Maggie yang masam telah mengubahnya jadi seperti ibunya, hanya dengan warna kulit yang lebih cerah? Walaupun hubungan Sharon dan Doc lebih baru daripada kedatanganku ke tempat ini, Sharon tidak menunjukkan efek cinta baru yang bisa melembutkan seseorang.
Aku tahu lamanya hubungan itu dari Jamie. Sharon dan Maggie jarang melupakan kehadiranku ketika aku berada seruangan dengan mereka, dan percakapan mereka langsung berhati-hati. Mereka masih sangat menentangku; hanya mereka yang mengabaikanku dan membuat tindakan itu terasa sangat bermusuhan.
Aku bertanya kepada Jamie bagaimana cara Sharon dan Maggie datang kemari. Merekakah yang menemukan Jeb? Lebih dulu daripada Jared dan Jamie? Kelihatannya Jamie memahami pertanyaanku sesungguhnya: apakah usaha terakhir Melanie menemukan mereka benar-benar sia-sia?
Menurut Jamie tidak. Jared memperlihatkan catatan terakhir Melanie kepada Jamie, dan menjelaskan kakak perempuannya sudah tiada. Perlu sejenak bagi Jamie untuk bisa bicara lagi setelah kata itu terucap, dan di wajahnya bisa kulihat akibat peristiwa itu bagi mereka berdua. Setelah itu mereka pergi mencari Sharon. Maggie menodongkan pedang antic ketika Jared mencoba menjelaskan. Benar-benar nyaris.
Dengan Maggie dan Jared bekerja sana, tak perlu waktu lama untuk memecahkan teka-teki Jeb. Keempatnya sudah sampai di gua sebelum aku pindah dari Chicago ke San Diego.
Ketika aku dan Jamie membicarakan Melanie, ternyata rasanya tak sesulit yang kubayangkan. Melanie selalu menjadi bagian percakapan-percakapan ini. Ia meredakan rasa sakit Jamie, mengurangi kecanggunganku walaupun tak banyak omong. Ia jarang bicara kepadaku lagi. Dan ketika melakukannya, bicaranya tidak terdengar. Kadang-kadang aku tak yakin apakah benar-benar mendengarnya, atau apakah yang dipikirkannya sebenarnya gagasanku sendiri. Tapi Melanie berusaha, demi Jamie. Ketika aku mendengarnya, itu selalu pada saat aku bersama Jamie. Ketika Melanie tidak bicara, kami merasakan kehadirannya di sana.
“Mengapa Melanie jadi sangat pendiam sekarang?” Tanya Jamie pada suatu malam yang larut. Sekali itu ia tidak mencecarku tentang Laba-laba dan Fire-Taster. Kami sama-sama lelah, setelah seharian mencabut wortel. Punggungku terasa pegal.
“Sulit baginya untuk bicara. Diperlukan jauh lebih banyak usaha daripada yang diperlukan olehku dan olehmu. Tidak ada yang ingin sekali dikatakannya.”
“Apa yang dia lakukan sepanjang waktu?”
“Kurasa dia mendengarkan. Kurasa aku tidak tahu.”
“Bisakah kau mendengarnya sekarang?”
“Tidak.”
Aku menguap, Jamie terdiam. Kupikir ia tertidur. Aku juga hendak menirunya.
“Menurutmu Melanie akan pergi? Benar-benar menghilang?” bisik Jamie tiba-tiba. Suaranya tersangkut pada kata terakhir.
Aku bukan pembohong, dan kurasa aku tidak akan bisa berbohong kepada Jamie, kalaupun aku pembohong. Kucoba untuk tidak memikirkan dampak perasaanku terhadapnya. Karena sesungguhnya, apakah artinya jika cinta terbesar yang pernah kurasakan di dalam Sembilan kehidupanku, perasaan kekeluargaan sejati, insting keibuanku, kupersembahkan kepada bentuk kehidupan yang asing? Kusingkirkan pikiran itu.
“Aku tak tahu,” kataku. Lalu, karena itu memang benar, kutambahkan, “Kuharap tidak.”
“Apakah kau menyukai Melanie seperti kau menyukaiku? Apakah dulu kau membencinya, seperti dia membencimu?”
“Berbeda dengan caraku menyukaimu. Dan aku tak pernah benar-benar membenci Melanie, bahkan sejak awal. Aku takut sekali kepadanya, dan aku marah karena dia membuatku tidak bisa menjadi seperti  jiwa yang lainnya. Tapi aku selalu, selalu mengagumi kekuatannya. Dan Melanie orang terkuat yang pernah kukenal.”
Jamie tertawa. “Kau takut kepadanya?”
“Kau tidak mengira kakakmu bisa menakutkan? Ingatkah kau saat mendaki ngarai terlalu tinggi, lalu Melanie ‘naik pitam’—menurut istilah Jared—ketika kau terlambat pulang?”
Jamie tergelak mengingatnya. Aku gembira bisa mengalihkan perhatiannya dari pertanyaan yang menyakitkan itu.
Aku ingin sekali terus berdamai dengan semua teman baruku, dengan cara apa pun. Kurasa aku bersedia melakukan apa saja, tak peduli betapa itu rasanya membuat punggungku patah atau berbau busuk. Tapi ternyata aku keliru.
“Jadi, kupikir,” ujar Jeb kepadaku suatu hari, mungkin dua minggu setelah semuanya “kembali tenang”.
Aku benci jika Jeb mengucapkan kata-kata itu.
“Kau ingat apa yang kukatakan mengenai kemungkinan kau mengajar sedikit di sini?”
Jawabanku singkat, “Ya.”
“Well, lalu bagaimana?”
Aku tidak perlu memikirkannya lebih jauh. “Tidak.”
Penolakanku menimbulkan sengatan rasa bersalah di dalam diriku. Aku belum pernah menolak suatu Panggilan. Rasanya seakan aku mementingkan diri sendiri. Meski begitu, ini jelas berbeda. Jiwa takkan pernah memintaku melakukan tindakan yang bersifat bunuh diri.
Jeb mengernyit memandangku, menyatukan alis tebal berbulunya. “Kenapa tidak?”
“Apakah menurutmu Sharon akan suka?” tanyaku datar. Itu hanya satu contoh, tapi mungkin yang paling berpengaruh.
Jeb mengangguk, masih mengernyit, memahami maksudku.
“Itu demi kebaikan bersama,” gerutunya.
Aku mendengus. “Kebaikan bersama? Bukankah itu berarti menembakku?”
“Wanda, itu pikiran picik,” sergahnya, seakan jawabanku adalah usaha seriusku untuk membujuknya. “Sekarang ini kami punya kesempatan belajar yang sangat tidak biasa. Sayang sekali kalau disia-siakan.”
“Menurutku tak seorang pun ingin belajar dariku. Aku tidak keberatan bicara denganmu atau Jamie—“
“Tidak masalah apa yang mereka inginkan,” desak Jeb. “Yang penting apa yang baik bagi mereka. Seperti cokelat versus brokoli. Mereka harus tahu lebih banyak tentang jagad raya—juga tentang para penyewa baru planet kami.”
“Bagaimana hal itu bisa membantu mereka, Jeb? Apakah menurutmu aku mengetahui sesuatu yang bisa menghancurkan para jiwa? Membalikkan air pasang? Jeb, semua sudah berakhir.”
“Belum berakhir jika kami masih di sini,” katanya, nyengir, sehingga aku tahu ia sedang menggodaku lagi. “Aku tidak mengharapkan kau menjadi pengkhianat dan member kami semacam senjata super. Aku hanya berpikir, kami harus tahu lebih banyak mengenai dunia tempat kami tinggal.”
Aku terkesiap mendengar kata pengkhianat. “Kalaupun ingin, aku tidak bisa memberimu senjata, Jeb. Kami tidak punya kelemahan utama, semacam tumit Achilles. Tidak ada musuh bebuyutan di luar angkasa sana yang bisa datang membantu kalian, tidak ada virus yang bisa membasmi kami dan membiarkan kalian hidup. Maaf.”
“Jangan khawatir,” Jeb mengepalkan tangan dan mengetuk-ngetukkannya secara bergurau ke lenganku. “Tapi kau mungkin bakal terkejut. Sudah kubilang, di sini membosankan. Orang mungkin lebih kepingin mendengarkan cerita-ceritamu daripada yang kausangka.”
Aku tahu Jeb takkan menyerah. Apakah Jeb mampu mengakui kekalahan? Aku ragu itu.
Pada saat-saat makan biasanya aku duduk bersama Jeb dan Jamie—kalau ia tidak berada di sekolah atau sibuk di tempat lain. Ian selalu duduk di dekat kami, walaupun tidak benar-benar bersama kami. Gagasannya mengangkat diri sendiri sebagai pengawal pribadiku tak bisa kuterima sepenuhnya. Tampaknya terlalu hebat untuk menjadi kenyataan. Dan, karenanya, berdasarkan filosofi manusia, itu jelas keliru.
Beberapa hari setelah aku menolak permintaan Jeb untuk mengajar manusia “demi kebaikan mereka sendiri”, Doc duduk di sampingku selama makan malam.
Sharon tetap di tempatnya, di pojok terjauh dari tempatku yang biasa. Hari ini ia sendirian, tanpa ditemani ibunya. Ia tidak menoleh untuk melihat Doc berjalan ke arahku. Rambut cemerlang Sharon digulung membentuk sanggul tinggi, sehingga aku bisa melihat lehernya tegang dan bahunya terangkat. Tegang dan tidak senang. Membuatku ingin langsung pergi sebelum Doc bisa mengatakan apa pun yang hendak dikatakannya kepadaku, sehingga aku tidak bisa dianggap bersekongkol dengannya.
Tapi Jamie sedang bersamaku, dan ia meraih tanganku ketika melihat tatapan panic yang dikenalnya muncul di mataku. Ia mengembangkan kemampuan luar biasa untuk merasakan kapan aku berubah ketakutan. Aku mendesah dan tetap di tempat. Mungkin seharusnya aku merasa lebih terganggu dengan kenyataan bahwa diriku menjadi semacam budak bagi keinginan-keinginan anak ini.
“Apa kabar?” Tanya Doc santai, seraya meluncur ke meja di sampingku.
Ian, yang berada beberapa puluh sentimeter dari kami, berbalik sehingga seolah-olah ia jadi bagian kelompok kami.
Aku mengangkat bahu.
“Hari ini kami merebus sup,” Jamie mengumumkan. “Mataku masih pedih.”
Doc mengangkat tangannya yang merah membara. “Sabun.”
Jamie tertawa. “Kau menang.”
Doc pura-pura mengejek dengan membungkuk dalam-dalam, lalu berbalik kepadaku. “Wanda, aku punya pertanyaan untukmu…” Ia membiarkan kata-katanya berhenti.

Aku mengangkat alis.
“Well, aku ingin tahu… Dari semua planet yang kaukenal, spesies mana yang secara fisik paling mendekati umat manusia?”
Aku mengejap-ngerjapkan mata. “Mengapa?”
“Hanya rasa penasaran biologis kuno yang baik. Kurasa aku memikirkan para Penyembuh-mu… Dari mana mereka memperoleh pengetahuan untuk menyembuhkan—dan bukan hanya mengobati gejala-gejala penyakit—seperti yang kaubilang?” Doc bicara lebih keras daripada yang diperlukan, suara lembutnya merambat ke bagian lain ruangan, lebih daripada biasa. Beberapa orang mendongak—Trudy dan Geoffrey, Lily, Walter…

Kubelitkan kedua lenganku erat-erat di tubuh, mencoba memperkecil tubuhku sendiri. “Itu dua pertanyaan berbeda,” gumamku.
Doc tersenyum, memberi isyarat dengan sebelah tangannya agar aku melanjutkan.
Jamie meremas tanganku.
Aku mendesah. “Mungkin beruang di Mists Planet.”
“Sama dengan mahluk buas bercakar itu?” bisik Jamie.
Aku mengangguk.
“Di mana kemiripannya?” desak Doc.
Aku memutar bola mata, merasakan pengarahan Jeb dalam hal ini, tapi melanjutkan. “Dalam banyak hal mereka menyerupai mamalia. Berbulu, berdarah panas. Darah mereka tidak persis seperti darah kalian, tapi pada dasarnya melakukan tugas yang sama. Mereka memiliki emosi serupa, dan punya kebutuhan yang sama untuk berinteraksi secara social serta menyalurkan kreativitas—“
“Kreativitas?” Doc mencondongkan tubuh, takjub—atau berpura-pura takjub. “Kok bisa?”
Aku memandang Jamie. “Kau tahu. Mengapa tidak kauceritakan kepada Doc?”
“Aku bisa keliru.”
“Tidak.”
Jamie memandang Doc yang mengangguk.
“Well, kau tahu, mereka punya sepasang tangan yang menakjubkan,” ujar Jamie segera, antusias. “Semacam persendian ganda—bisa menekuk ke dua arah.” Ia membengkokkan jemarinya, seakan mencoba menekuknya ke belakang. “Satu sisinya lembut, seperti telapak tanganku, tapi sisi yang lain setajam silet! Mereka memotong es—memahatnya. Mereka membangun kota-kota, semuanya kastil Kristal yang tak pernah meleleh! Sangat indah, kan, Wanda!” Ia berbalik kepadaku, meminta dukungan.
Aku mengangguk. “Mereka melihat spectrum warna berbeda—esnya penuh pelangi. Kota-kota itu adalah puncak kebanggaan mereka. Dan mereka selalu berusaha menjadikan kota-kota itu lebih indah. Aku mengenal beruang bernama… well, Glitter Weaver—walaupun nama itu terdengar lebih indah dalam bahasa mereka. Ia mendapatkan nama itu karena sepertinya es bisa mengetahui apa yang ia inginkan, dan membentuk sendiri menurut mimpi-mimpinya. Aku pernah berjumpa dengannya dan melihat hasil-hasil kreasinya. Itu salah satu kenangan terindahku.”

“Mereka bisa bermimpi?” Tanya Ian pelan.
Aku tersenyum masam. “Tidak sejelas mimpi manusia.”
“Bagaimana cara penyembuh-penyembuhmu memperoleh pengetahuan tentang fisiologi spesies baru? Mereka sudah siap saat datang ke planet ini. Aku menyaksikan awal mulanya—menyaksikan pasien-pasien sekarat berjalan keluar dari rumah sakit…” Kening sempit Doc mengernyit, berkerut-kerut membentuk huruf V.  Seperti yang lain, ia membenci para penyerang asing itu. Tapi tidak seperti yang lain, ia juga iri pada mereka.
Aku tak ingin menjawab. Semua orang mendengarkan, dan ini bukan dongeng manis mengenai  Beruang pemahat es. Ini kisah tentang kekalahan mereka.
Doc menunggu, mengernyit.
“Mereka… mereka mengambil sampel-sampel,” gumamku.
Ian menyeringai paham. “Penculikan oleh mahluk luar angkasa.”
Aku mengabaikannya.
Doc mengerutkan bibir. “Masuk akal.”
Keheningan di dalam ruangan itu mengingatkanku pada saat aku pertama kali berada di sini.
“Dari mana asal bangsamu?” Tanya Doc. “Kau ingat? Maksudku, sebagai spesies, tahukah kau bagaimana bangsamu berevolusi?”
“The Origin,” jawabku, mengangguk. “Kami masih tinggal di sana. Itu tempatku… dilahirkan.”
“Dan itu cukup istimewa,” imbuh Jamie. “Jarang-jarang bisa menemui jiwa dari The Origin, ya kan? Sebagian besar jiwa berusaha untuk tetap tinggal di sana, kan, Wanda?” Ia tidak menunggu jawabanku. Aku mulai menyesal telah menjawab  pertanyaan-pertanyaan Jamie dengan begitu mendetail setiap malam. “Jadi, ketika seseorang berpindah planet, itu membuatnya hampir menjadi… semacam selebriti? Atau seperti anggota keluarga kerajaan.”
Kurasakan pipiku menghangat.
“Tempat itu keren,” Jamie melanjutkan. “Banyak awan, dengan serangkaian lapisan berbeda warna. Satu-satunya planet tempat jiwa bisa hidup di luar inang untuk waktu lama. Inang-inang di The Origin juga sangat cantik, dengan semacam sayap, banyak tentakel, dan mata perak besar.”
Doc mencondongkan tubuh, kedua tangannya menyangga wajah. “Ingatkah mereka bagaimana hubungan inang-parasit itu terbentuk? Bagaimana kolonisasi dimulai?”
Jamie memandangku, mengangkat bahu.
“Kami selalu seperti itu,” jawabku pelan, masih enggan. “Setidaknya sejak kami cukup cerdas untuk mengenal diri sendiri. Kami ditemukan spesies lain—di sini kami menyebut mereka Burung Hering, walaupun itu bukan karena penampilan mereka, tapi lebih pada kepribadian mereka. Mereka… jahat. Lalu kami tahu kami bisa mengikatkan diri pada mereka, persis yang kami lakukan dengan inang asli kami. Setelah mengendalikan Burung Hering, kami memanfaatkan teknologi mereka. Pertama-tama kami merebut planet mereka, lalu kami mengikuti mereka ke Dragon Planet dan Summer world—tempat-tempat indah, walaupun di sana Burung Hering juga jahat. Kami mulai membentuk koloni; inang-inang kami bereproduksi jauh lebih lambat daripada kecepatan reproduksi kami, dan masa hidup mereka singkat. Kami mulai menjelajah lebih jauh ke jagad raya…”
Aku berhenti, menyadari banyaknya mata yang menatap wajahku. Hanya Sharon yang tetap memalingkan wajah.
“Kau bicara seakan mengalaminya sendiri,” ujar Ian. Diam-diam ia mengamati. “Kapan itu terjadi?”
“Setelah dinosaurus tinggal di sini, tapi sebelum kalian ada. Aku tidak mengalaminya sendiri, tapi mengingat beberapa ingatan ibu dari ibu dari ibuku.”
“Berapa usiamu?” Tanya Ian, seraya mencondongkan tubuh ke arahku. Mata biru cemerlangnya seakan menembusku.
“Aku tak thau dalam tahun Bumi.”
“Kira-kira?” desaknya.
“Ribuan tahun, mungkin.” Aku mengangkat bahu. “Aku tidak bisa menghitung tahun-tahun yang kuhabiskan dalam hibernasi.”
Ian menyandarkan tubuhnya, terpana.
“Wow, tua sekali,” ujar Jamie.
“Tapi dalam pengertian yang sebenar-benarnya, aku lebih muda darimu,” gumamku kepadanya. “Bahkan usiaku belum setahun. Aku merasa seperti kanak-kanak sepanjang waktu.”
Sudut-sudut bibir Jamie sedikit tertarik ke atas. Ia menyukai gagasan dirinya lebih dewasa dariku.
“Bagaimana proses penuaan bangsamu?” Tanya Doc. “Masa hidup alaminya?”
“Kami tidak punya itu,” jawabku. “Selama inang kami sehat, kami bisa hidup selamanya.”
Suara gumaman rendah—marah? Takut? Jijik? Aku tidak tahu—berpusar-pusar di sekitar tepi gua. Kusadari jawabanku tidak bijak. Aku memahami arti kata-kata ini bagi mereka.
“Hebat.” Nada rendah penuh kemarahan itu berasal dari Sharon, tapi ia tidak menoleh.
Jamie meremas tanganku, kembali melihat keinginan untuk kabur di mataku. Kali ini perlahan-lahan kulepaskan tanganku.
“Aku sudah tidak lapar lagi,” bisikku, walaupun rotiku bertengger nyaris tak tersentuh di meja di sampingku. Aku melompat turun dan, seraya merapat ke dinding, meloloskan diri.
Jamie mengikuti persis di belakangku. Ia berhasil menyusulku di plaza kebun yang besar, lalu menyerahkan sisa rotiku.
“Itu sangat menarik. Sungguh,” ujar Jamie. “Kurasa tak ada yang benar-benar marah.”
“Jeb yang menyuruh Doc melakukan ini, bukan?”
“Kau menceritakan kisah-kisah bagus. Setelah semua orang tahu, mereka pasti ingin mendengar semuanya. Persis seperti aku dan Jeb.”
“Bagaimana kalau aku tidak ingin menceritakannya kepada mereka?”
Jamie mengernyit. “Well, kala begitu, kurasa… kau tidak usah menceritakannya. Tapi sepertinya kau tidak keberatan menceritakannya kepadaku.”
“Itu lain. Kau menyukaiku.” Aku bisa saja mengatakan, kau tidak ingin membunuhku, tapi itu akan membuat Jamie sedih.
“Setelah mengenalmu, mereka semua akan menyukaimu. Ian dan Doc begitu.”
“Ian dan Doc tidak menyukaiku, Jamie. Mereka hanya merasa sangat penasaran.”
“Mereka menyukaimu.”
“Ugh,” geramku. Kami sudah tiba di kamar. Kusibak tirai dan kulempar tubuhku ke kasur. Jamie duduk agak lesu di sampingku melingkarkan kedua lengannya di lutut.
“Jangan marah,” katanya memohon. “Jeb bermaksud baik.”
Aku kembali menggeram.
“Takkan seburuk itu.”
“Doc akan melakukan hal ini setiap kali aku masuk ke dapur, bukan?”
Jamie mengangguk malu. “Atau Ian. Atau Jeb.”
“Atau kau.”
“Kami semua ingin tahu.”
Aku mendesah, lalu berguling menelungkup. “Apakah Jeb harus selalu memperoleh apa yang dia inginkan?”
Jamie memikirkannya sejenak, lalu mengangguk. “Bisa dibilang begitu. Ya.”
Kugigit rotiku banyak-banyak. Selesai mengunyah aku berkata, “Kurasa mulai saat ini aku akan makan di sini.”
“Ian akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepadamu besok, ketika kau sedang menyiangi bayam. Bukan Jeb yang menyuruh—itu keinginan Ian sendiri.”
“Well, itu hebat.”
“Kau sangat pintar menyindir. Kupikir parasit—maksudku jiwa—tidak menyukai humor negative. Hanya menyukai hal-hal menyenangkan.”
“Mereka belajar dengan cepat di sini, Nak.”
Jamie tertawa, lalu meraih tanganku. “Kau tidak benci di sini, kan? Kau tidak menderita, kan?”
Mata cokelat besarnya tampak khawatir.
Kutekankan tangan Jamie di wajahku. “Aku baik-baik saja,” ujarku. Dan pada saat itu perkataanku benar seluruhnya.