Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara

Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara
Harga mulai 5rb an. Gratis ongkir DKI Jakarta

The Host - Bab 21

Dinamai
Aku tetap merapat ke sisi Jeb, berada sedikit di depannya. Aku ingin berada sejauh mungkin dari kedua lelaki yang mengikuti kami. jamie berjalan agak di tengah, tak yakin di mana ia ingin berada.

Aku tak bisa berkonsentrasi pada kelanjutan acara tur Jeb. Perhatianku tidak terpusat pada serangkaian kebun kedua yang ditunjukkan Jeb kepadaku--dengan jagung yang tumbuh sepinggang di bawah panas melepuhkan dari cermin-cermin terang benderang--atau ruang gua lebar tapi berlangit-langit rendah yang disebutnya "ruang rekreasi". Ruangan terakhir itu gelap gulita dan letaknya jauh di dalam tanah, tapi menurut Jeb, mereka membawa lampu ketika ingin bermain. Kata bermain bagiku tak masuk akal. Bukan di tempat ini, di dalam kelompok orang-orang tegang dan pemarah yang bertahan hidup ini. Tapi aku tidak meminta Jeb untuk menjelaskan. Ada lebih banyak air di sini, mata air kecil mengandung sulfur yang sangat beracun, yang menurut Jeb terkadang mereka gunakan sebagai kakus kedua karena airnya tidak bisa diminum.

Perhatianku terbagi antara dua lelaki yang berjalan di belakang kami dan anak laki-laki di sampingku.
Ian dan Doc menjaga sikap mereka dengan sangat baik. Tak seorang pun menyerangku dari belakang, walaupun kurasa mataku mungkin bisa pindah ke belakang karena berusaha melihat apa yang hendak mereka lakukan. Mereka hanya mengikuti dengan tenang, dan terkadang saling bicara dengan suara rendah. Komentar-komentar mereka berkisar antara nama-nama yang tak kukenal dan singkatan untuk tempat-tempat dan halhal yang mungkin, atau mungkin tidak, berada di dalam gua-gua ini. Aku sama sekali tak bisa memahaminya.

Jamie diam saja, tapi ia sering memandangku. Ketika tidak sedang mencoba mengawasi yang lain, aku juga sering meliriknya. Semua ini hanya memberiku sedikit waktu untuk mengagumi hal-hal yang diperlihatkan Jeb. Tapi tampaknya ia tidak memperhatikan kesibukanku.

Beberapa lorong-lorong itu sangat panjang. Jarak-jarak yang tersembunyi di bawah tanah ini sangat membingungkan. Seringkali gelap gulita. Tapi Jeb dan yang lain tak pernah berhenti sejenak pun. Mereka sangat mengenal tempat tinggal mereka, dan sudah lama terbiasa bepergian dalam gelap. Lebih sulit bagiku daripada saat aku dan Jeb hanya sendirian. Di dalam kegelapan, semua suara terdengar seperti ancaman. Bahkan obrolan santai Ian dan Doc pun tampak seperti sandiwara untuk melakukan rencana kejam tertentu.

Paranoid, komentar Melanie.
Biarlah, jika memang itu yang diperlukan untuk mempertahankan hidup kita.
Kuharap kau bisa lebih memperhatikan Uncle Jeb. Ini mengagumkan.
Lakukan apa yang kau mau dengan waktumu.
Aku hanya bisa mendengar dan melihat apa yang kaudengar dan kaulihat, Wanderer, ujar Melanie. Lalu ia mengubah pokok pembicaraan. Jamie tampaknya baik-baik saja, bukan? Tidak terlalu sedih.
Ia tampak... waspada.
Kami baru saja memasuki semacam cahaya, setelah berjalan sangat jauh dalam kegelapan lembap.
"Ini tempat paling selatan dari sistem lorong," jelas Jeb sambil terus melangkah. "Tidak terlalu nyaman, tapi mendapat cahaya yang bagus sepanjang hari. Itulah sebabnya kami menjadikannya rumah sakit. Di sinilah Doc melakukan kegiatannya."


Ketika Jeb mengumumkan dimana kami berada, tubuhku langsung membeku dan sendi-sendiku terkunci. Seketika aku berhenti, kakiku terpaku di lantai batu. Mataku yang terbelalak ngeri berpindah-pindah antara wajah Jeb dan Doc.
Apakah semua ini hanya taktik? Menunggu Jared yang keras kepala itu pergi, lalu membujukku kemari? Aku tak percaya aku berjalan ke tempat ini dengan kekuatanku sendiri. Betapa tololnya!
Melanie sama terkejutnya. Ini sama saja dengan membungkus diri kita sendiri dengan kertas kado, lalu menyerahkannya kepada mereka!
Mereka menatapku. Jeb dengan wajah tanpa ekspresi, Doc dengan wajah yang sama terkejutnya sepertiku--walaupun tidak begitu ketakutan.
Aku pasti bakal menyentakkan tubuh, melepaskan diri dari sentuhan di lenganku, kalau saja tangan itu tidak terlalu familier.
"Tidak," ujar Jamie. Dengan ragu diletakkannya tangannya persis di bawah sikuku. "Tidak apa-apa. Sungguh. Benar, kan, Uncle Jeb?" Jamie memandang lelaki tua itu penuh kepercayaan. "Tidak apa-apa, kan?"
"Tentu saja." Mata biru pudar Jeb tenang dan jernih. "Aku hanya menunjukkan rumahku, Nak. Itu saja."
"Kalian bicara apa?" gerutu Ian dari belakang, Kedengarannya jengkel karena tidak mengerti.
"Kaupikir kami membawamu ke sini dengan sengaja, untuk diserahkan kepada Doc?" tanya Jamie kepadaku. Ia tidak menjawab pertanyaan Ian. "Kami tidak akan melakukannya. Kami sudah berjanji kepada Jared."
Aku menatap wajah tulusnya, mencoba percaya.
"Oh!" ujar Ian ketika mengerti, lalu tertawa." Itu bukan rencana buruk. Aku heran mengapa tidak memikirkannya."
Jamie merengut kepada lelaki bertubuh besar itu, menepuk - nepuk lenganku, lalu melepaskan tangannya. "Jangan takut," katanya.

Jeb meneruskan penjelasannya. "Jadi, ruangan besar di sini dilengkapi beberapa dipan, kalau-kalau ada yang sakit atau terluka. Kami sangat beruntung dalam hal ini. Doc tak punya banyak pekerjaan gawat darurat." Jeb nyengir kepadaku. "Bangsamu membuang semua obat-obatan kami ketika mereka mengambil alih segalanya. Sulit untuk mendapatkan barang-barang yang kami perlukan."
Aku mengangguk pelan; gerakan itu kulakukan tanpa sadar. Aku masih limbung, berusaha meyakinkan diri sendiri. Ruangan ini tampaknya cukup polos, seakan hanya digunakan untuk penyembuhan, tapi membuat perutku melilit dan berkontraksi.
"Apa yang kauketahui soal obat-obatan bangsamu?" tanya Doc mendadak, memiringkan kepala. Diamatinya wajahku dengan penasaran dan penuh harap.
Aku menatapnya tanpa berkata-kata.
"Oh, kau bisa bicara dengan Doc," ujar Jeb membesarkan hatiku. "Dia cukup sopan, mengingat situasinya."
Aku menggeleng. Aku bermaksud menjawab pertanyaan Doc, mengatakan aku tidak tahu apa-apa, tapi mereka salah mengerti.
"Dia tidak akan mengumbar rahasia apa pun," ujar Ian masam.
"Benar, kan, sayang?"
"Jaga sikap, Ian," bentak Jeb.
"Apakah itu rahasia?" tanya Jamie hati-hati. Tapi jelas ia penasaran.
Aku kembali menggeleng. Mereka menatapku bingung. Doc juga menggeleng, perlahan-lahan, sama sekali tidak mengerti.
Aku menghela napas panjang, lalu berbisik. "Aku bukan Penyembuh. Aku tidak tahu bagaimana cara kerja... obat-obatan itu. Yang kutahu hanyalah, obat-obatan itu memang mujarab--menyembuhkan, dan bukan hanya mengobati gejala-gejala penyakit.  Tak ada coba-coba. Tentu saja semua obat manusia dibuang."
Keempat orang itu menatapku dengan wajah kosong. Pertama-tama mereka terkejut ketika aku tidak menjawab, dan kini mereka terkejut ketika aku menjawab. Menyenangkan hati manusia memang mustahil.
"Bangsamu tidak banyak mengubah segala sesuatu yang kami tinggalkan," ujar Jeb serius. "Hanya obat-obatan, dan pesawat ruang angkasa sebagai pengganti pesawat biasa. Selain itu kehidupan tampaknya berjalan seperti biasa... di permukaan."
"Kami datang untuk mengalami, bukan mengubah," bisikku. "Tapi kesehatan lebih diutamakan daripada filosofi itu."
Aku seketika menutup mulut, dengan suara keras. Aku harus lebih berhati-hati. Manusia pasti tak ingin dikuliahi soal filosofi jiwa. Siapa yang tahu, apa yang bisa memicu kemarahan mereka? Atau apa yang akan menyentakkan kesabaran rapuh mereka?
Jeb mengangguk, masih berpikir serius, lalu menuntun kami ke depan. Ia tidak begitu antusias ketia melanjutkan acara tur itu melalui beberapa gua yang berhubungan di sini, di bagian pengobatan, tidak terlalu terlibat dalam penjelasannya. Ketika kami berbalik dan kembali ke koridor hitam itu, ia diam. Itu perjalanan yang panjang dan tenang. Aku memikirkan apa yang kukatakan, mencari sesuatu yang mungkin menyinggungnya. Jeb terlalu aneh bagiku untuk ditebak, seandainya aku memang sudah membuatnya tersinggung. Manusia-manusia lain, walaupun bersikap curiga dan bermusuhan, setidaknya masuk akal. Bagaimana mungkin aku berharap bisa memahami Jeb?
Tur berakhir cepat ketika kami kembali memasuki ruang gua besar dengan kebun--tempat wortel-wortel tumbuh dan menciptakan karpet hijau terang di seluruh lantai gelap.
"Pertunjukan berakhir," ujar Jeb parau, seraya memandang Ian dan Doc. "Pergi dan lakukan sesuatu yang berguna."
Ian memutar bola mata, memandang Doc, tapi mereka berbalik dengan patuh dan mulai berjalan ke lubang keluar terbesar--seingatku menuju dapur. Jamie bimbang, memandang mereka, tapi tidak bergerak.
"Kau ikut bersamaku," ujar Jeb kepada Jamie. Suaranya tidak begitu parau. "Aku punya tugas untukmu."
"Oke," jawab Jamie. Bisa kulihat kegembiraannya karena telah dipilih.
Jamie berjalan di sampingku lagi ketika kami kembali menuju bagian kamar tidur di dalam gua. Ketika kami memilih lorong ketiga dari kiri, aku terkejut karena sepertinya Jamie tahu persis ke mana kami hendak pergi. Jeb berada agak di belakang, tapi Jamie langsung berhenti ketika kami tiba di tirai hijau yang menutupi kamar ketujuh. Ia menyibakka tirai untukku, tapi tetap berada di lorong.
"Kau tidak apa-apa menunggu sebentar?" tanya Jeb kepadaku.
Aku mengangguk, bersyukur membayangkan akan kembali bersembunyi. Aku menunduk memasuki lubang pintu, lalu berdiri beberapa puluh sentimeter di dalamnya, tak yakin apa yang harus kulakukan dengan diriku sendiri. melanie ingat di sini ada buku-buku, tapi aku mengingatkannya akan janjiku untuk tidak menyentuh apa pun.
"Aku harus melakukan sesuatu, Nak," ujar Jeb kepada Jamie.
"Kau tahu, makanan tidak datang sendiri. Kau siap bertugas jaga?"
"Pasti," jawab Jamie dengan senyum cerah. Dadanya yang tipis menggembung oleh napas panjang.
Mataku membelalak tak percaya ketika melihat Jeb meletakkan senapan di kedua tangan jamie yang bersemangat.
"Apa kau sudah gila?" teriakku. Suaraku begitu lantang, sehingga mulanya aku sendiri tidak mengenalinya. Rasanya seakan aku selalu berbisik seumur hidupku.
Jeb dan Jamie mendongak, memandangku terkejut. Dalam hitungan detik aku sudah keluar, berada di lorong bersama mereka. Nyaris kuraih logam keras moncong senapan itu, nyaris kurenggut benda itu dari tangan Jamie. Yang menghentikanku bukanlah pengetahuan bahwa gerakan seperti itu pasti akan membuatku terbunuh. Yang menghentikanku adalah kenyataan bahwa, dengan cara seperti ini, aku tampak lebih lemah daripada manusia. Aku tak bisa membuat diriku menyentuh senjata itu.
Aku malah menoleh kepada Jeb.
"Apa yang kau pikirkan? Memberikan senjata kepada seorang anak? Dia bisa membunuh dirinya sendiri!"
"Kurasa Jamie sudah mengalami banyak hal, sehingga patut disebut sebagai lelaki. Dia tahu cara menangani dirinya sendiri ketika memegang senapan."
Dada Jamie membusung mendengar pujian Jeb, lalu mencengkeram senapan itu semakin erat di dadanya.
Aku terpana melihat ketololan Jeb. "Bagaimana kalau mereka mencariku ketika Jamie berada di sini? Sudahkah kaupikirkan apa yang mungkin terjadi? Ini bukan lelucon! Mereka akan melukai Jamie untuk mendapatkanku!"
Jeb tetap tenang. Wajahnya teduh. "Kurasa takkan ada masalah hari ini. Aku berani bertaruh."
"Well, aku tidak!" Kembali aku berteriak. Suaraku menggema di dinding-dinding terowongan. Seseorang pasti mendengarnya, tapi aku tak peduli. Lebih baik mereka datang ketika Jeb masih di sini. "Kalau kau begitu yakin, tinggalkan aku di sini sendirian. Biarlah terjadi apa yang harus terjadi. Tapi jangan biarkan Jamie berada dalam bahaya!"
"Kau mengkhawatirkan anak itu, atau kau hanya takut dia akan mengarahkan senapan itu kepadamu?" tanya Jeb. Suaranya agak lesu.
Aku mengerjap. Kemarahanku teralihkan. Itu bahkan tak terpikirkan olehku. Kupandang Jamie dengan tatapan kosong, dan kulihat pandangan terkejutnya, lalu kulihat gagasan itu ternyata mengejutkannya juga.
Perlu sejenak bagiku untuk menyanggah tuduhan itu. Dan, saat aku melakukannya, wajah Jeb berubah. Matanya serius, mulutnya mengerut--seakan hendak meletakkan potongan terakhir teka-teki yang membuatnya frustasi.
"Berikan senapan itu kepada Ian atau siapa pun. Aku tidak peduli," ujarku. Suaraku pelan dan datar. "Asal jangan kaulibatkan anak laki-laki itu."
Mendadak Jeb nyengir lebar. Dan, anehnya, itu mengingatkanku pada kucing yang sedang menerkam.
"Ini rumahku, Nak, dan aku akan melakukan apa yang kuinginkan. Selalu begitu."
Jeb berbalik, berjalan pergi menyusuri lorong sambil bersiul. Aku mengamatinya pergi dengan mulut ternganga. Ketika ia lenyap, aku berpaling kepada Jamie yang masih menatapku dengan raut muram.
"Aku bukan anak-anak," gumam Jamie, nadanya lebih dalam daripada biasa. Dagunya mendongak, menunjukkan permusuhan. "Nah, kau harus... kau harus masuk ke kamarmu."
Perintah itu sama sekali tidak keras, tapi memang tak ada hal lain yang bisa kulakukan. Aku kalah telak dalam perselisihan kali ini.
Aku duduk dengan punggung bersandar ke batu yang membentuk satu sisi ubang gua--sisi tempat aku bisa bersembungyi di balik tirai setengah terbuka, tapi masih bisa melihat Jamie. Kupeluk kakiku, dan aku mulai melakukan apa yang kutahu akan kulakukan selama situasi sinting ini berlanjut: merasa khawatir.
Aku juga menajamkan mata dan telinga untuk mengetahui apakah ada suara yang mendekat, untuk bersiaga. Tak peduli apa kata Jeb, aku akan mencegah siapa pun menantang Jamie. Aku akan menyerahkan diri sebelum mereka memintanya.
Ya. Melanie mengiyakan, singkat dan jelas.
Jamie berdiri di lorong selama beberapa menit dengan senapan tergenggam erat, tak yakin bagaimana cara melakukan tugasnya. Setelah itu ia mulai mondar-mandir di depan tirai, tapi tampaknya ia merasa tolol setelah bolak-balik beberapa kali. Lalu ia duduk di lantai, di samping ujung tirai yang terbuka. Akhirnya senapan diletakkan di atas kakinya yang terlipat, dan dagunya ditaruh di dalam kedua tangannya yang tertangkup. Setelah lama, ia mendesah. Tugas jaga tidak semenarik yang diharapkannya.
Tak jemu-jemunya aku memandangi Jamie.
Setelah kira-kira satu atau dua jam, Jamie mulai balas memandangku dengan lirikan-lirikan sekilas. Bibirnya membuka beberapa kali, lalu ia mengurungkan apa pun yang hendak dikatakannya.
Kuletakkan daguku di lutut, menunggu Jamie bergulat dengan dirinya sendiri. Kesabaranku membuahkan hasil.
"Planet asalmu sebelum berada di dalam melanie," ujar Jamie akhirnya. "Seperti apa di sana? Apakah seperti di sini?"
Arah pikirannya mengejutkanu. "Tidak," kataku. Karena hanya ada Jamie di sini, rasanya benar untuk bicara normal, bukannya berbisik. "Tidak, sangat berbeda."
"Maukah kauceritakan seperti apa?" tanyanya, memiringkan kepala ke satu sisi, seperti yang biasa ia lakukan ketika benar-benar tertarik pada salah satu cerita pengantar tidur Melanie.
Jadi, kuceritakan kepadanya.

 
Kuceritakan semua tentang planet See Weed yang terendam air. Kuceritakan kepadanya tentang dua matahari, orbit berbentuk elips, air abu-abu, akar yang tidak bisa bergerak, pemandangan menakjubkan dari ribuan mata, percakaan tanpa akhir ribuan suara yang tak terdengar tapi semuanya bisa saling mendengar.

 
Jamie mendengarkan dengan mata terbelalak dan senyum takjub.
"Itukah satu-satunya tempat lain?" tanyanya ketika aku diam, mencoba memikirkan sesuatu yang terlewat. "Apakah See Weed"--ia menertawakan permainan kata itu--"satu-satunya makhluk luar angkasa lain?"
Aku ikut tertawa. "Jelas tidak. Sama seperti aku bukan satu-satunya mahluk luar angkasa di dunia ini."
"Ceritakan."
Jadi aku bercerita tentang Kelelawar di Singing World--bagaimana rasanya hidup dalam kebutaan musikal, bagimana rasanya terbang. Kuceritakan tentang Mists Planet--bagaimana rasanya punya buu putih tebal dan empat jantung agar tetap hangat, bagaimana cara menghindari makhluk buas bercakar.
Aku mulai bercerita tentang Planet of the Flowers, tentang warna dan cahayanya, tapi Jamie menyelaku dengan pertanyaan baru.
"Bagaimana dengan lelaki-lelaki hijau kecil berkepala segitiga dan bermata hitam besar? Yang jatuh ke bumi dalam serial Roswell dan lain-lain? Apakah itu kalian?"
"Tidak, bukan kami."
"Jadi, semua itu bohong?"
"Aku tak tahu--mungkin ya, mungkin tidak. Jagad raya ini luas, ada banyak teman di luar sana."
"Lalu bagaimana caramu datang kemari? Jika bukan lelaki hijau kecil, siapakah kau? Kau harus punya tubuh untuk bergerak dan lain sebagainya, bukan?"
"Benar, jawabku mengiyakan. Aku terkejut atas pemahamannya berdasarkan fakta-fakta yang ada. Seharusnya aku tidak terkejut--aku tahu betapa cerdasnya Jamie. Benaknya seperti spons kehausan. "Mulanya kami menggunakan tubuh Laba-Laba kami, untuk memulai segalanya."
"Laba-Laba?"
Kuceritakan tentang Laba-Laba--spesies menakjubkan. Cerdas, benak paling luar biasa yang pernah kami temui. Dan semua Laba-Laba punya tiga benak. Tiga otak, satu dalam setiap bagian tubuh mereka yang tersegmentasi. Kami masih belum menemukan masalah yang tidak bisa mereka pecahkan untuk kami. Tapi mereka begitu analitis dan dingin, sehingga mereka jarang sekali penasaran ingin memecahkan suatu masalah. Dari semua inang kami, hanya Laba-Laba yang paling menyambut pendudukan kami. Mereka nyaris tidak memperhatikan perbedaannya. Dan ketika tersadar, tampaknya mereka menghargai pengarahan yang kami berikan. Beberapa jiwa, yang pernah berjalan di planet Laba-Laba sebelum penyisipan, mengatakan kepada kami keadaan di sana dingin dan kelabu--tak heran Laba-Laba hanya melihat warna hitam-putih dan punya indra suhu terbatas. Laba-Laba hidup singkat, tapi anak-anak mereka terlahir dengan mengetahui semua yang diketahui orangtua mereka, sehingga tidak ada pengetahuan yang hilang.
Aku pernah menjalani salah satu kehidupan singkat spesies ini, lalu pergi tanpa ingin kembali. Kejernihan pikiran yang mengagumkan, jawaban atas segala pertanyaan yang muncul nyaris tanpa upaya, barisan dan tarian angka di benak kami. Semua itu bukanlah pengganti untuk emosi dan warna, yang hanya bisa samar-samar kupahami ketika berada di dalam tubuh Laba-Laba. Aku bertanya-tanya, mengapa ada jiwa yang bisa puas berada di sana. Tapi planet itu telah berswasembada selama ribuan tahun Bumi. Tempat itu masih terbuka untuk didiami, karena Laba-Laba bereproduksi sangat cepat--dengan kantong-kantong telur yang besar.
Aku mulai bercerita tentang dimulainya penyerangan ke Bumi. Laba-Laba insinyur terbaik kami-kapal-kapal yang mereka buat untuk kami bergerak lincah tak terdeteksi melewati bintang-bintang. Tubuh Laba-Laba hampir sama bergunanya dengan benak mereka: empat kaki panjang untuk setiap segmen--dari situlah mereka memperoleh nama panggilan mereka di planet ini--dan tangan berjari dua belas pada setiap kaki. Jari-jari bersendi enam ini seramping dan sekuat benang baja, mampu melakukan prosedur-prosedur paling halus. Bermassa kira-kira sama dengan massa seekor sapi, tapi pendek dan kurus. Karena itulah Laba-Laba tidak menghadapi masalah saat penyisipan pertama. Mereka lebih kuat daripada manusia, lebih pintar daripada manusia, dan dalam keadaan siap, sedangkan manusia tidak...
 
Aku langsung berhenti di tengah kalimat, ketika melihat kilau kristal di pipi Jamie.
Ia menatap lurus, kosong, bibirnya terkatup rapat membentuk garis. Setetes air garam bergulir pelan di pipinya yang terdekat denganku.
Idiot. Melanie memarahiku. Tidakkah kaupikirkan  arti ceritamu baginya?
Tidakkah kaupikirkan untuk mengingatkanku lebih awal?
Melanie tak menjawab. Tak diragukan lagi, ia sama larutnya dalam kegiatan bercerita itu sepertiku.
"Jamie," gumamku. Suaraku parau. Air mata Jamie telah melakukan hal-hal aneh terhadap tenggorokanku. "Jamie. Aku sangat menyesal. Aku tidak berpikir."
Jamie menggeleng. "Tidak apa-apa. Aku yang bertanya. Aku ingin tahu bagaimana terjadinya." Suaranya parau, menboca menyembunyikan rasa sakit.
Keinginan untu mencondongkan tubuh dan mengusap air mata Jamie sepertinya berasal dari instingku. Pertama-tama aku mencoba mengabaikannya; aku bukan Melanie. Tapi air mata itu menggantung di sana, tak bergerak, seakan takkan pernah jatuh. Mata Jamie tetap terpaku pada dinding kosong, dan bibirnya bergetar.
Ia tidak jauh dariku. Kuulurkan lenganku kel luar kamar untuk mengusap pipinya dengan jemariku; air mata itu menyebar tipis di atas kulit Jamie, lalu lenyap. Dengan kembali bertindak berdasarkan insting, kubiarkan tanganku tetap di pipinya yang hangat, membuai wajahnya.
Sejenak Jamie berpura-pura mengabaikanku.
Lalu ia berguling ke arahku, matanya terpejam, tangannya menggapai. Ia meringkuk di sisiku, pipinya diletakkan pada lekuk bahuku, di tempat yang dulunya sangat pas, lalu ia menangis tersedu-sedu.
Ini bukan air mata kanak-kanak, dan pengetahuan itu membuat air mata ini terasa lebih dalam-terasa lebih sakral dan menyakitkan--karena Jamie menangis di hadapanku. Ini duka seorang lelaki saat seluruh keluarganya dimakamkan.
Kedua lenganku memeluknya, walaupun rasanya tidak pas seperti dulu, lalu aku menangis.
"Maaf," kataku berulang kali. Dengan satu kata itu, aku meminta maaf untuk segalanya. Karena kami menemukan planet ini. Karena kami memilihnya. Karena aku mengambil alih kakaknya. Karena aku membawa kakaknya ke sini sehingga kembali melukai perasaannya. Karena aku membuatnya menangis hari ini dengan cerita-ceritaku yang tidak sensitif.
Aku tidak menjatuhkan kedua lenganku ketika kesedihan Jamie mereda; aku tidak terburu-buru melepaskannya. Sepertinya seolah-olah tubuhku memang merindukan hal ini sejak semula, tapi sebelumnya aku tak mengerti bagaimana cara memuaskan kerinduan itu. Ikatan misterius antara ibu dan anak--yang sangat kuat di planet ini--tak lagi merupakan misteri bagiku. Tak ada ikatan yang lebih kuat daripada ikatan yang membuatmu bersedia menyerahkan hidup demi orang lain. Kenyataan ini sudah kupahami sebelumnya; yang belum kupahami adalah:  mengapa. Kini aku tahu mengapa seorang ibu bersedia menyerahkan hidup demi anaknya, dan pengetahuan ini akan membentuk cara pandangku terhadap jagad raya untuk selamanya.
"Aku tahu aku mengajarimu lebih baik daripada itu, Nak."
Kami terlompat dan memisahkan diri. Jamie bangkit berdiri, tapi aku meringkuk dan memungut senapan yang telah sama-sama kami lupakan itu dari lantai. "Kau harus menangani senapan lebih baik daripada ini, Jamie."  Nada suara Jeb sangat lembut--memperhalus kritiknya. Ia mengulurkan tangan untuk mengacak-acak rambut berantakan Jamie.
Jamie merunduk di bawah lengan Jeb, wajahnya memerah malu.
"Maaf," gumam Jamie, lalu ia berbalik seakan hendak lari. Ia berhenti setelah hanya satu langkah, lalu berbalik untuk memandangku. "Aku tidak tahu namamu," katanya.
"Mereka memanggilku Wanderer," bisikku.
"Wanderer?"
Aku mengangguk
Jamie ikut mengangguk, lalu bergegas pergi. Tengkuknya masih merah.
Ketika ia sudah pergi, Jeb bersandar pada batu dan meluncur duduk di tempat Jamie tadi duduk. Seperti Jamie, ia membuai senapan itu di pangkuannya.
"Kau punya nama yang sangat menarik," ujarnya. Tampaknya Jeb kembali pada suasana hatinya yang ceria." Mungkin suatu saat nanti kau akan menceritakan bagaimana kau bisa mendapatkan nama itu. Aku berani bertaruh, ceritanya menarik. Tapi agak kepanjangan, bukan? Wanderer?"
Aku menatapnya.
"Keberatan jika aku memanggilmu Wanda, untuk menyingkatnya? Lebih mudah diucapkan."
Kali ini Jeb menunggu jawaban. Akhirnya aku mengangkat bahu. Tak masalah bagiku apakah ia memanggilku "Nak" atau nama panggilan manusia yang aneh. Aku percaya maksudnya baik.
"Oke kalau begitu, Wanda." Jeb tersenyum, senang dengan penemuannya." Senang bisa mengenalmu. Membuatku merasa seakan kita teman lama."
Ia nyengir, dengan cengiran lebar yang meregangkan pipi itu, dan aku tak tahan untuk tidak membalas cengirannya, walaupun senyumku lebih tampak sedih daripada gembira. Mestinya ia musuhku. Mungkin ia sinting. Dan ia memang temanku. Bukannya ia tidak akan membunuhku seandainya segala sesuatu mengarah ke sana, tapi ia takkan melakukannya dengan senang hati. Apa lagi yang bisa kupinta dari teman yang adalah manusia.

0 comments:

Post a Comment

Jual Nugget dan Sosis Sayur

Jual Nugget dan Sosis Sayur
Pemesanan via email : lwati111@gmail.com

The Host - Bab 21

Dinamai
Aku tetap merapat ke sisi Jeb, berada sedikit di depannya. Aku ingin berada sejauh mungkin dari kedua lelaki yang mengikuti kami. jamie berjalan agak di tengah, tak yakin di mana ia ingin berada.

Aku tak bisa berkonsentrasi pada kelanjutan acara tur Jeb. Perhatianku tidak terpusat pada serangkaian kebun kedua yang ditunjukkan Jeb kepadaku--dengan jagung yang tumbuh sepinggang di bawah panas melepuhkan dari cermin-cermin terang benderang--atau ruang gua lebar tapi berlangit-langit rendah yang disebutnya "ruang rekreasi". Ruangan terakhir itu gelap gulita dan letaknya jauh di dalam tanah, tapi menurut Jeb, mereka membawa lampu ketika ingin bermain. Kata bermain bagiku tak masuk akal. Bukan di tempat ini, di dalam kelompok orang-orang tegang dan pemarah yang bertahan hidup ini. Tapi aku tidak meminta Jeb untuk menjelaskan. Ada lebih banyak air di sini, mata air kecil mengandung sulfur yang sangat beracun, yang menurut Jeb terkadang mereka gunakan sebagai kakus kedua karena airnya tidak bisa diminum.

Perhatianku terbagi antara dua lelaki yang berjalan di belakang kami dan anak laki-laki di sampingku.
Ian dan Doc menjaga sikap mereka dengan sangat baik. Tak seorang pun menyerangku dari belakang, walaupun kurasa mataku mungkin bisa pindah ke belakang karena berusaha melihat apa yang hendak mereka lakukan. Mereka hanya mengikuti dengan tenang, dan terkadang saling bicara dengan suara rendah. Komentar-komentar mereka berkisar antara nama-nama yang tak kukenal dan singkatan untuk tempat-tempat dan halhal yang mungkin, atau mungkin tidak, berada di dalam gua-gua ini. Aku sama sekali tak bisa memahaminya.

Jamie diam saja, tapi ia sering memandangku. Ketika tidak sedang mencoba mengawasi yang lain, aku juga sering meliriknya. Semua ini hanya memberiku sedikit waktu untuk mengagumi hal-hal yang diperlihatkan Jeb. Tapi tampaknya ia tidak memperhatikan kesibukanku.

Beberapa lorong-lorong itu sangat panjang. Jarak-jarak yang tersembunyi di bawah tanah ini sangat membingungkan. Seringkali gelap gulita. Tapi Jeb dan yang lain tak pernah berhenti sejenak pun. Mereka sangat mengenal tempat tinggal mereka, dan sudah lama terbiasa bepergian dalam gelap. Lebih sulit bagiku daripada saat aku dan Jeb hanya sendirian. Di dalam kegelapan, semua suara terdengar seperti ancaman. Bahkan obrolan santai Ian dan Doc pun tampak seperti sandiwara untuk melakukan rencana kejam tertentu.

Paranoid, komentar Melanie.
Biarlah, jika memang itu yang diperlukan untuk mempertahankan hidup kita.
Kuharap kau bisa lebih memperhatikan Uncle Jeb. Ini mengagumkan.
Lakukan apa yang kau mau dengan waktumu.
Aku hanya bisa mendengar dan melihat apa yang kaudengar dan kaulihat, Wanderer, ujar Melanie. Lalu ia mengubah pokok pembicaraan. Jamie tampaknya baik-baik saja, bukan? Tidak terlalu sedih.
Ia tampak... waspada.
Kami baru saja memasuki semacam cahaya, setelah berjalan sangat jauh dalam kegelapan lembap.
"Ini tempat paling selatan dari sistem lorong," jelas Jeb sambil terus melangkah. "Tidak terlalu nyaman, tapi mendapat cahaya yang bagus sepanjang hari. Itulah sebabnya kami menjadikannya rumah sakit. Di sinilah Doc melakukan kegiatannya."


Ketika Jeb mengumumkan dimana kami berada, tubuhku langsung membeku dan sendi-sendiku terkunci. Seketika aku berhenti, kakiku terpaku di lantai batu. Mataku yang terbelalak ngeri berpindah-pindah antara wajah Jeb dan Doc.
Apakah semua ini hanya taktik? Menunggu Jared yang keras kepala itu pergi, lalu membujukku kemari? Aku tak percaya aku berjalan ke tempat ini dengan kekuatanku sendiri. Betapa tololnya!
Melanie sama terkejutnya. Ini sama saja dengan membungkus diri kita sendiri dengan kertas kado, lalu menyerahkannya kepada mereka!
Mereka menatapku. Jeb dengan wajah tanpa ekspresi, Doc dengan wajah yang sama terkejutnya sepertiku--walaupun tidak begitu ketakutan.
Aku pasti bakal menyentakkan tubuh, melepaskan diri dari sentuhan di lenganku, kalau saja tangan itu tidak terlalu familier.
"Tidak," ujar Jamie. Dengan ragu diletakkannya tangannya persis di bawah sikuku. "Tidak apa-apa. Sungguh. Benar, kan, Uncle Jeb?" Jamie memandang lelaki tua itu penuh kepercayaan. "Tidak apa-apa, kan?"
"Tentu saja." Mata biru pudar Jeb tenang dan jernih. "Aku hanya menunjukkan rumahku, Nak. Itu saja."
"Kalian bicara apa?" gerutu Ian dari belakang, Kedengarannya jengkel karena tidak mengerti.
"Kaupikir kami membawamu ke sini dengan sengaja, untuk diserahkan kepada Doc?" tanya Jamie kepadaku. Ia tidak menjawab pertanyaan Ian. "Kami tidak akan melakukannya. Kami sudah berjanji kepada Jared."
Aku menatap wajah tulusnya, mencoba percaya.
"Oh!" ujar Ian ketika mengerti, lalu tertawa." Itu bukan rencana buruk. Aku heran mengapa tidak memikirkannya."
Jamie merengut kepada lelaki bertubuh besar itu, menepuk - nepuk lenganku, lalu melepaskan tangannya. "Jangan takut," katanya.

Jeb meneruskan penjelasannya. "Jadi, ruangan besar di sini dilengkapi beberapa dipan, kalau-kalau ada yang sakit atau terluka. Kami sangat beruntung dalam hal ini. Doc tak punya banyak pekerjaan gawat darurat." Jeb nyengir kepadaku. "Bangsamu membuang semua obat-obatan kami ketika mereka mengambil alih segalanya. Sulit untuk mendapatkan barang-barang yang kami perlukan."
Aku mengangguk pelan; gerakan itu kulakukan tanpa sadar. Aku masih limbung, berusaha meyakinkan diri sendiri. Ruangan ini tampaknya cukup polos, seakan hanya digunakan untuk penyembuhan, tapi membuat perutku melilit dan berkontraksi.
"Apa yang kauketahui soal obat-obatan bangsamu?" tanya Doc mendadak, memiringkan kepala. Diamatinya wajahku dengan penasaran dan penuh harap.
Aku menatapnya tanpa berkata-kata.
"Oh, kau bisa bicara dengan Doc," ujar Jeb membesarkan hatiku. "Dia cukup sopan, mengingat situasinya."
Aku menggeleng. Aku bermaksud menjawab pertanyaan Doc, mengatakan aku tidak tahu apa-apa, tapi mereka salah mengerti.
"Dia tidak akan mengumbar rahasia apa pun," ujar Ian masam.
"Benar, kan, sayang?"
"Jaga sikap, Ian," bentak Jeb.
"Apakah itu rahasia?" tanya Jamie hati-hati. Tapi jelas ia penasaran.
Aku kembali menggeleng. Mereka menatapku bingung. Doc juga menggeleng, perlahan-lahan, sama sekali tidak mengerti.
Aku menghela napas panjang, lalu berbisik. "Aku bukan Penyembuh. Aku tidak tahu bagaimana cara kerja... obat-obatan itu. Yang kutahu hanyalah, obat-obatan itu memang mujarab--menyembuhkan, dan bukan hanya mengobati gejala-gejala penyakit.  Tak ada coba-coba. Tentu saja semua obat manusia dibuang."
Keempat orang itu menatapku dengan wajah kosong. Pertama-tama mereka terkejut ketika aku tidak menjawab, dan kini mereka terkejut ketika aku menjawab. Menyenangkan hati manusia memang mustahil.
"Bangsamu tidak banyak mengubah segala sesuatu yang kami tinggalkan," ujar Jeb serius. "Hanya obat-obatan, dan pesawat ruang angkasa sebagai pengganti pesawat biasa. Selain itu kehidupan tampaknya berjalan seperti biasa... di permukaan."
"Kami datang untuk mengalami, bukan mengubah," bisikku. "Tapi kesehatan lebih diutamakan daripada filosofi itu."
Aku seketika menutup mulut, dengan suara keras. Aku harus lebih berhati-hati. Manusia pasti tak ingin dikuliahi soal filosofi jiwa. Siapa yang tahu, apa yang bisa memicu kemarahan mereka? Atau apa yang akan menyentakkan kesabaran rapuh mereka?
Jeb mengangguk, masih berpikir serius, lalu menuntun kami ke depan. Ia tidak begitu antusias ketia melanjutkan acara tur itu melalui beberapa gua yang berhubungan di sini, di bagian pengobatan, tidak terlalu terlibat dalam penjelasannya. Ketika kami berbalik dan kembali ke koridor hitam itu, ia diam. Itu perjalanan yang panjang dan tenang. Aku memikirkan apa yang kukatakan, mencari sesuatu yang mungkin menyinggungnya. Jeb terlalu aneh bagiku untuk ditebak, seandainya aku memang sudah membuatnya tersinggung. Manusia-manusia lain, walaupun bersikap curiga dan bermusuhan, setidaknya masuk akal. Bagaimana mungkin aku berharap bisa memahami Jeb?
Tur berakhir cepat ketika kami kembali memasuki ruang gua besar dengan kebun--tempat wortel-wortel tumbuh dan menciptakan karpet hijau terang di seluruh lantai gelap.
"Pertunjukan berakhir," ujar Jeb parau, seraya memandang Ian dan Doc. "Pergi dan lakukan sesuatu yang berguna."
Ian memutar bola mata, memandang Doc, tapi mereka berbalik dengan patuh dan mulai berjalan ke lubang keluar terbesar--seingatku menuju dapur. Jamie bimbang, memandang mereka, tapi tidak bergerak.
"Kau ikut bersamaku," ujar Jeb kepada Jamie. Suaranya tidak begitu parau. "Aku punya tugas untukmu."
"Oke," jawab Jamie. Bisa kulihat kegembiraannya karena telah dipilih.
Jamie berjalan di sampingku lagi ketika kami kembali menuju bagian kamar tidur di dalam gua. Ketika kami memilih lorong ketiga dari kiri, aku terkejut karena sepertinya Jamie tahu persis ke mana kami hendak pergi. Jeb berada agak di belakang, tapi Jamie langsung berhenti ketika kami tiba di tirai hijau yang menutupi kamar ketujuh. Ia menyibakka tirai untukku, tapi tetap berada di lorong.
"Kau tidak apa-apa menunggu sebentar?" tanya Jeb kepadaku.
Aku mengangguk, bersyukur membayangkan akan kembali bersembunyi. Aku menunduk memasuki lubang pintu, lalu berdiri beberapa puluh sentimeter di dalamnya, tak yakin apa yang harus kulakukan dengan diriku sendiri. melanie ingat di sini ada buku-buku, tapi aku mengingatkannya akan janjiku untuk tidak menyentuh apa pun.
"Aku harus melakukan sesuatu, Nak," ujar Jeb kepada Jamie.
"Kau tahu, makanan tidak datang sendiri. Kau siap bertugas jaga?"
"Pasti," jawab Jamie dengan senyum cerah. Dadanya yang tipis menggembung oleh napas panjang.
Mataku membelalak tak percaya ketika melihat Jeb meletakkan senapan di kedua tangan jamie yang bersemangat.
"Apa kau sudah gila?" teriakku. Suaraku begitu lantang, sehingga mulanya aku sendiri tidak mengenalinya. Rasanya seakan aku selalu berbisik seumur hidupku.
Jeb dan Jamie mendongak, memandangku terkejut. Dalam hitungan detik aku sudah keluar, berada di lorong bersama mereka. Nyaris kuraih logam keras moncong senapan itu, nyaris kurenggut benda itu dari tangan Jamie. Yang menghentikanku bukanlah pengetahuan bahwa gerakan seperti itu pasti akan membuatku terbunuh. Yang menghentikanku adalah kenyataan bahwa, dengan cara seperti ini, aku tampak lebih lemah daripada manusia. Aku tak bisa membuat diriku menyentuh senjata itu.
Aku malah menoleh kepada Jeb.
"Apa yang kau pikirkan? Memberikan senjata kepada seorang anak? Dia bisa membunuh dirinya sendiri!"
"Kurasa Jamie sudah mengalami banyak hal, sehingga patut disebut sebagai lelaki. Dia tahu cara menangani dirinya sendiri ketika memegang senapan."
Dada Jamie membusung mendengar pujian Jeb, lalu mencengkeram senapan itu semakin erat di dadanya.
Aku terpana melihat ketololan Jeb. "Bagaimana kalau mereka mencariku ketika Jamie berada di sini? Sudahkah kaupikirkan apa yang mungkin terjadi? Ini bukan lelucon! Mereka akan melukai Jamie untuk mendapatkanku!"
Jeb tetap tenang. Wajahnya teduh. "Kurasa takkan ada masalah hari ini. Aku berani bertaruh."
"Well, aku tidak!" Kembali aku berteriak. Suaraku menggema di dinding-dinding terowongan. Seseorang pasti mendengarnya, tapi aku tak peduli. Lebih baik mereka datang ketika Jeb masih di sini. "Kalau kau begitu yakin, tinggalkan aku di sini sendirian. Biarlah terjadi apa yang harus terjadi. Tapi jangan biarkan Jamie berada dalam bahaya!"
"Kau mengkhawatirkan anak itu, atau kau hanya takut dia akan mengarahkan senapan itu kepadamu?" tanya Jeb. Suaranya agak lesu.
Aku mengerjap. Kemarahanku teralihkan. Itu bahkan tak terpikirkan olehku. Kupandang Jamie dengan tatapan kosong, dan kulihat pandangan terkejutnya, lalu kulihat gagasan itu ternyata mengejutkannya juga.
Perlu sejenak bagiku untuk menyanggah tuduhan itu. Dan, saat aku melakukannya, wajah Jeb berubah. Matanya serius, mulutnya mengerut--seakan hendak meletakkan potongan terakhir teka-teki yang membuatnya frustasi.
"Berikan senapan itu kepada Ian atau siapa pun. Aku tidak peduli," ujarku. Suaraku pelan dan datar. "Asal jangan kaulibatkan anak laki-laki itu."
Mendadak Jeb nyengir lebar. Dan, anehnya, itu mengingatkanku pada kucing yang sedang menerkam.
"Ini rumahku, Nak, dan aku akan melakukan apa yang kuinginkan. Selalu begitu."
Jeb berbalik, berjalan pergi menyusuri lorong sambil bersiul. Aku mengamatinya pergi dengan mulut ternganga. Ketika ia lenyap, aku berpaling kepada Jamie yang masih menatapku dengan raut muram.
"Aku bukan anak-anak," gumam Jamie, nadanya lebih dalam daripada biasa. Dagunya mendongak, menunjukkan permusuhan. "Nah, kau harus... kau harus masuk ke kamarmu."
Perintah itu sama sekali tidak keras, tapi memang tak ada hal lain yang bisa kulakukan. Aku kalah telak dalam perselisihan kali ini.
Aku duduk dengan punggung bersandar ke batu yang membentuk satu sisi ubang gua--sisi tempat aku bisa bersembungyi di balik tirai setengah terbuka, tapi masih bisa melihat Jamie. Kupeluk kakiku, dan aku mulai melakukan apa yang kutahu akan kulakukan selama situasi sinting ini berlanjut: merasa khawatir.
Aku juga menajamkan mata dan telinga untuk mengetahui apakah ada suara yang mendekat, untuk bersiaga. Tak peduli apa kata Jeb, aku akan mencegah siapa pun menantang Jamie. Aku akan menyerahkan diri sebelum mereka memintanya.
Ya. Melanie mengiyakan, singkat dan jelas.
Jamie berdiri di lorong selama beberapa menit dengan senapan tergenggam erat, tak yakin bagaimana cara melakukan tugasnya. Setelah itu ia mulai mondar-mandir di depan tirai, tapi tampaknya ia merasa tolol setelah bolak-balik beberapa kali. Lalu ia duduk di lantai, di samping ujung tirai yang terbuka. Akhirnya senapan diletakkan di atas kakinya yang terlipat, dan dagunya ditaruh di dalam kedua tangannya yang tertangkup. Setelah lama, ia mendesah. Tugas jaga tidak semenarik yang diharapkannya.
Tak jemu-jemunya aku memandangi Jamie.
Setelah kira-kira satu atau dua jam, Jamie mulai balas memandangku dengan lirikan-lirikan sekilas. Bibirnya membuka beberapa kali, lalu ia mengurungkan apa pun yang hendak dikatakannya.
Kuletakkan daguku di lutut, menunggu Jamie bergulat dengan dirinya sendiri. Kesabaranku membuahkan hasil.
"Planet asalmu sebelum berada di dalam melanie," ujar Jamie akhirnya. "Seperti apa di sana? Apakah seperti di sini?"
Arah pikirannya mengejutkanu. "Tidak," kataku. Karena hanya ada Jamie di sini, rasanya benar untuk bicara normal, bukannya berbisik. "Tidak, sangat berbeda."
"Maukah kauceritakan seperti apa?" tanyanya, memiringkan kepala ke satu sisi, seperti yang biasa ia lakukan ketika benar-benar tertarik pada salah satu cerita pengantar tidur Melanie.
Jadi, kuceritakan kepadanya.

 
Kuceritakan semua tentang planet See Weed yang terendam air. Kuceritakan kepadanya tentang dua matahari, orbit berbentuk elips, air abu-abu, akar yang tidak bisa bergerak, pemandangan menakjubkan dari ribuan mata, percakaan tanpa akhir ribuan suara yang tak terdengar tapi semuanya bisa saling mendengar.

 
Jamie mendengarkan dengan mata terbelalak dan senyum takjub.
"Itukah satu-satunya tempat lain?" tanyanya ketika aku diam, mencoba memikirkan sesuatu yang terlewat. "Apakah See Weed"--ia menertawakan permainan kata itu--"satu-satunya makhluk luar angkasa lain?"
Aku ikut tertawa. "Jelas tidak. Sama seperti aku bukan satu-satunya mahluk luar angkasa di dunia ini."
"Ceritakan."
Jadi aku bercerita tentang Kelelawar di Singing World--bagaimana rasanya hidup dalam kebutaan musikal, bagimana rasanya terbang. Kuceritakan tentang Mists Planet--bagaimana rasanya punya buu putih tebal dan empat jantung agar tetap hangat, bagaimana cara menghindari makhluk buas bercakar.
Aku mulai bercerita tentang Planet of the Flowers, tentang warna dan cahayanya, tapi Jamie menyelaku dengan pertanyaan baru.
"Bagaimana dengan lelaki-lelaki hijau kecil berkepala segitiga dan bermata hitam besar? Yang jatuh ke bumi dalam serial Roswell dan lain-lain? Apakah itu kalian?"
"Tidak, bukan kami."
"Jadi, semua itu bohong?"
"Aku tak tahu--mungkin ya, mungkin tidak. Jagad raya ini luas, ada banyak teman di luar sana."
"Lalu bagaimana caramu datang kemari? Jika bukan lelaki hijau kecil, siapakah kau? Kau harus punya tubuh untuk bergerak dan lain sebagainya, bukan?"
"Benar, jawabku mengiyakan. Aku terkejut atas pemahamannya berdasarkan fakta-fakta yang ada. Seharusnya aku tidak terkejut--aku tahu betapa cerdasnya Jamie. Benaknya seperti spons kehausan. "Mulanya kami menggunakan tubuh Laba-Laba kami, untuk memulai segalanya."
"Laba-Laba?"
Kuceritakan tentang Laba-Laba--spesies menakjubkan. Cerdas, benak paling luar biasa yang pernah kami temui. Dan semua Laba-Laba punya tiga benak. Tiga otak, satu dalam setiap bagian tubuh mereka yang tersegmentasi. Kami masih belum menemukan masalah yang tidak bisa mereka pecahkan untuk kami. Tapi mereka begitu analitis dan dingin, sehingga mereka jarang sekali penasaran ingin memecahkan suatu masalah. Dari semua inang kami, hanya Laba-Laba yang paling menyambut pendudukan kami. Mereka nyaris tidak memperhatikan perbedaannya. Dan ketika tersadar, tampaknya mereka menghargai pengarahan yang kami berikan. Beberapa jiwa, yang pernah berjalan di planet Laba-Laba sebelum penyisipan, mengatakan kepada kami keadaan di sana dingin dan kelabu--tak heran Laba-Laba hanya melihat warna hitam-putih dan punya indra suhu terbatas. Laba-Laba hidup singkat, tapi anak-anak mereka terlahir dengan mengetahui semua yang diketahui orangtua mereka, sehingga tidak ada pengetahuan yang hilang.
Aku pernah menjalani salah satu kehidupan singkat spesies ini, lalu pergi tanpa ingin kembali. Kejernihan pikiran yang mengagumkan, jawaban atas segala pertanyaan yang muncul nyaris tanpa upaya, barisan dan tarian angka di benak kami. Semua itu bukanlah pengganti untuk emosi dan warna, yang hanya bisa samar-samar kupahami ketika berada di dalam tubuh Laba-Laba. Aku bertanya-tanya, mengapa ada jiwa yang bisa puas berada di sana. Tapi planet itu telah berswasembada selama ribuan tahun Bumi. Tempat itu masih terbuka untuk didiami, karena Laba-Laba bereproduksi sangat cepat--dengan kantong-kantong telur yang besar.
Aku mulai bercerita tentang dimulainya penyerangan ke Bumi. Laba-Laba insinyur terbaik kami-kapal-kapal yang mereka buat untuk kami bergerak lincah tak terdeteksi melewati bintang-bintang. Tubuh Laba-Laba hampir sama bergunanya dengan benak mereka: empat kaki panjang untuk setiap segmen--dari situlah mereka memperoleh nama panggilan mereka di planet ini--dan tangan berjari dua belas pada setiap kaki. Jari-jari bersendi enam ini seramping dan sekuat benang baja, mampu melakukan prosedur-prosedur paling halus. Bermassa kira-kira sama dengan massa seekor sapi, tapi pendek dan kurus. Karena itulah Laba-Laba tidak menghadapi masalah saat penyisipan pertama. Mereka lebih kuat daripada manusia, lebih pintar daripada manusia, dan dalam keadaan siap, sedangkan manusia tidak...
 
Aku langsung berhenti di tengah kalimat, ketika melihat kilau kristal di pipi Jamie.
Ia menatap lurus, kosong, bibirnya terkatup rapat membentuk garis. Setetes air garam bergulir pelan di pipinya yang terdekat denganku.
Idiot. Melanie memarahiku. Tidakkah kaupikirkan  arti ceritamu baginya?
Tidakkah kaupikirkan untuk mengingatkanku lebih awal?
Melanie tak menjawab. Tak diragukan lagi, ia sama larutnya dalam kegiatan bercerita itu sepertiku.
"Jamie," gumamku. Suaraku parau. Air mata Jamie telah melakukan hal-hal aneh terhadap tenggorokanku. "Jamie. Aku sangat menyesal. Aku tidak berpikir."
Jamie menggeleng. "Tidak apa-apa. Aku yang bertanya. Aku ingin tahu bagaimana terjadinya." Suaranya parau, menboca menyembunyikan rasa sakit.
Keinginan untu mencondongkan tubuh dan mengusap air mata Jamie sepertinya berasal dari instingku. Pertama-tama aku mencoba mengabaikannya; aku bukan Melanie. Tapi air mata itu menggantung di sana, tak bergerak, seakan takkan pernah jatuh. Mata Jamie tetap terpaku pada dinding kosong, dan bibirnya bergetar.
Ia tidak jauh dariku. Kuulurkan lenganku kel luar kamar untuk mengusap pipinya dengan jemariku; air mata itu menyebar tipis di atas kulit Jamie, lalu lenyap. Dengan kembali bertindak berdasarkan insting, kubiarkan tanganku tetap di pipinya yang hangat, membuai wajahnya.
Sejenak Jamie berpura-pura mengabaikanku.
Lalu ia berguling ke arahku, matanya terpejam, tangannya menggapai. Ia meringkuk di sisiku, pipinya diletakkan pada lekuk bahuku, di tempat yang dulunya sangat pas, lalu ia menangis tersedu-sedu.
Ini bukan air mata kanak-kanak, dan pengetahuan itu membuat air mata ini terasa lebih dalam-terasa lebih sakral dan menyakitkan--karena Jamie menangis di hadapanku. Ini duka seorang lelaki saat seluruh keluarganya dimakamkan.
Kedua lenganku memeluknya, walaupun rasanya tidak pas seperti dulu, lalu aku menangis.
"Maaf," kataku berulang kali. Dengan satu kata itu, aku meminta maaf untuk segalanya. Karena kami menemukan planet ini. Karena kami memilihnya. Karena aku mengambil alih kakaknya. Karena aku membawa kakaknya ke sini sehingga kembali melukai perasaannya. Karena aku membuatnya menangis hari ini dengan cerita-ceritaku yang tidak sensitif.
Aku tidak menjatuhkan kedua lenganku ketika kesedihan Jamie mereda; aku tidak terburu-buru melepaskannya. Sepertinya seolah-olah tubuhku memang merindukan hal ini sejak semula, tapi sebelumnya aku tak mengerti bagaimana cara memuaskan kerinduan itu. Ikatan misterius antara ibu dan anak--yang sangat kuat di planet ini--tak lagi merupakan misteri bagiku. Tak ada ikatan yang lebih kuat daripada ikatan yang membuatmu bersedia menyerahkan hidup demi orang lain. Kenyataan ini sudah kupahami sebelumnya; yang belum kupahami adalah:  mengapa. Kini aku tahu mengapa seorang ibu bersedia menyerahkan hidup demi anaknya, dan pengetahuan ini akan membentuk cara pandangku terhadap jagad raya untuk selamanya.
"Aku tahu aku mengajarimu lebih baik daripada itu, Nak."
Kami terlompat dan memisahkan diri. Jamie bangkit berdiri, tapi aku meringkuk dan memungut senapan yang telah sama-sama kami lupakan itu dari lantai. "Kau harus menangani senapan lebih baik daripada ini, Jamie."  Nada suara Jeb sangat lembut--memperhalus kritiknya. Ia mengulurkan tangan untuk mengacak-acak rambut berantakan Jamie.
Jamie merunduk di bawah lengan Jeb, wajahnya memerah malu.
"Maaf," gumam Jamie, lalu ia berbalik seakan hendak lari. Ia berhenti setelah hanya satu langkah, lalu berbalik untuk memandangku. "Aku tidak tahu namamu," katanya.
"Mereka memanggilku Wanderer," bisikku.
"Wanderer?"
Aku mengangguk
Jamie ikut mengangguk, lalu bergegas pergi. Tengkuknya masih merah.
Ketika ia sudah pergi, Jeb bersandar pada batu dan meluncur duduk di tempat Jamie tadi duduk. Seperti Jamie, ia membuai senapan itu di pangkuannya.
"Kau punya nama yang sangat menarik," ujarnya. Tampaknya Jeb kembali pada suasana hatinya yang ceria." Mungkin suatu saat nanti kau akan menceritakan bagaimana kau bisa mendapatkan nama itu. Aku berani bertaruh, ceritanya menarik. Tapi agak kepanjangan, bukan? Wanderer?"
Aku menatapnya.
"Keberatan jika aku memanggilmu Wanda, untuk menyingkatnya? Lebih mudah diucapkan."
Kali ini Jeb menunggu jawaban. Akhirnya aku mengangkat bahu. Tak masalah bagiku apakah ia memanggilku "Nak" atau nama panggilan manusia yang aneh. Aku percaya maksudnya baik.
"Oke kalau begitu, Wanda." Jeb tersenyum, senang dengan penemuannya." Senang bisa mengenalmu. Membuatku merasa seakan kita teman lama."
Ia nyengir, dengan cengiran lebar yang meregangkan pipi itu, dan aku tak tahan untuk tidak membalas cengirannya, walaupun senyumku lebih tampak sedih daripada gembira. Mestinya ia musuhku. Mungkin ia sinting. Dan ia memang temanku. Bukannya ia tidak akan membunuhku seandainya segala sesuatu mengarah ke sana, tapi ia takkan melakukannya dengan senang hati. Apa lagi yang bisa kupinta dari teman yang adalah manusia.

0 comments on "The Host - Bab 21"

Post a Comment