Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara

Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara
Harga mulai 5rb an. Gratis ongkir DKI Jakarta

The Host - Bab 3


Melawan

"Dia tidak mengenali nama baru itu," gumam Penyembuh. Sensasi baru mengalihkan perhatianku. Sesuatu yang menyenangkan, perubahan di udara ketika Pencari berdiri di sampingku. Aroma, pikirku menyadari. Sesuatu yang berbeda dari ruangan steril tak berbau ini. Parfum, ujar benak baruku. Wangi bunga, memabukkan...
"Bisakah kau mendengarku?" tanya Pencari, menyela analisisku.
"Kau sudah sadar?"
"Jangan tergesa-gesa," desak Penyembuh, suaranya lebih lembut daripada sebelumnya.
Aku tidak membuka mata. Aku tak ingin perhatianku terganggu. Benakku memberiku kata - kata yang kuperlukan dan nada suara yang bisa mengungkapkan maksud yang tak bisa kuucapkan tanpa menggunakan banyak kata.
"Apakah aku ditempatkan dalam tubuh inang rusak untuk memperoleh informasi yang kauperlukan, Pencari?"
Terdengar suara helaan napas--gabungan antara terkejut dan marah--lalu sesuatu yang hangat menyentuh kulitku, menutup tanganku.
"Tentu saja tidak, Wanderer," ujar lelaki itu menenangkan. "Bahkan Pencari sekalipun memiliki batas - batas tertentu."
Pencari kembali menghela napas. Mendesis, ingatanku membetulkan.
"Lalu mengapa benak ini tidak berfungsi dengan benar!"
Sejenak hening.
"Seluruh pemindaiannya sempurna," jawab Pencari. Kata-katanya tidak menenangkan, tapi bersifat menyanggah. Apakah ia ingin bertengkar denganku?" Tubuh itu sudah sembuh sepenuhnya."
"Dari usaha bunuh diri yang nyaris berhasil." Nada suaraku kaku, masih marah. Aku tidak terbiasa dengan kemarahan. Sulit mengendalikannya.
"Semua sempurna--"
Penyembuh menyela perkataan Pencari. "Apanya yang kurang?" tanyanya."Jelas kau telah mengakses kemampuan bicara."

"Ingatan. Aku mencoba menemukan apa yang diinginkan Pencari"
Walaupun tak ada suara yang terdengar, terjadi perubahan. Suasana yang menegang akibat tuduhanku, berubah tenang. Aku bertanya-tanya bagaimana caraku mengetahuinya. Aku punya sensasi aneh bahwa, entah mengapa, yang kuterima melebihi yang diberikan kelima indraku--nyaris menyerupai perasaan bahwa ada indra lain, di tepian, yang belum banyak dimanfaatkan. Intuisi? Itu kata yang nyaris tepat. Seolah-olah ada makhluk yang memerlukan lebih dari lima indra.



Benak ini menggunakan lebih banyak kemampuan alamiku dibandingkan dengan inang apa pun sebelumnya, dan hanya meninggalkan 181 perlekatan cadangan. Mungkin banyaknya pengikatan adalah penyebab emosi - emosi benak ini begitu hidup.
Kuputuskan untuk membuka mata. aku merasa perlu mengecek ulang janji - janji Penyembuh  dan memastikan bagian lain diriku bekerja.
Cahaya. Terang, menyakitkan. Kupejamkan kembali mataku. Cahaya terakhir yang kulihat telah disaring melalui 180 meter kedalaman laut. Tapi mata ini pernah melihat cahaya yang lebih cemerlang dan mampu menanganinya. Aku membuka mata sedikit, menjaga bulu mataku tetap menutupi bukaan itu.
"Kau ingin aku mematikan semua lampu?"
"Tidak, Penyembuh. Mataku akan menyesuaikan diri."
"Bagus sekali," katanya. Dan aku mengerti pujian ini dimaksudkan untuk penggunaan kata kepemilikan yang kulakukan dengan mudahnya.
Keduanya menunggu dengan tenang sementara mataku melebar perlahan - lahan.

Benakku mengenali tempat ini sebagai ruangan biasa di sebuah fasilitas medis. Rumah sakit. Ubin langit-langitnya berwarna putih, berbintik-bintik agak gelap. Lampu-lampunya persegi panjang dan berukuran sama dengan ubinnya, menggantikan beberapa ubin dengan jarak teratur. Dinding-dindingnya hijau muda. Warna yang menenangkan, tapi juga warna penyakit. Pilihan buruk. Dengan cepat benakku membentuk opini.

Orang - orang yang sedang memandangiku lebih menarik daripada ruangannya. Kata dokter langsung terdengar dalam benakku ketika mataku tertambat pada Penyembuh. Ia mengenakan pakaian hijau kebiruan longgar yang memperlihatkan kedua lengannya. Jubah rumah sakit. Ada rambut di wajahnya, dengan warna aneh yang disebut ingatanku sebagai merah.
Merah! Sudah tiga dunia semenjak aku melihat warna itu atau warna-warna lain. Bahkan warna kuning keemasan ini pun memenuhiku dengan nostalgia.

Penyembuh berwajah seperti manusia umumnya bagiku, tapi pengetahuan di dalam ingatanku menyebut kata baik hati.
Napas tak sabar membetot perhatianku pada Pencari.
Tubuh perempuan itu sangat kecil. Seandainya ia tetap diam akan perlu waktu lebih lama bagiku untuk menyadari keberadaannya di sana, di samping Penyembuh. Ia tidak menarik, bagaikan kegelapan dalam ruangan terang. Ia mengenakan pakaian hitam dari dagu sampai pergelangan tangan--setelah konservatif dengan baju sutra turtleneck di baliknya. Rambutnya juga hitam, memanjang sampai dagu dan disingkirkan ke balik telinga. Kulitnya lebih gelap daripada warna kulit Penyembuh. Warna zaitun.

Perubahan kecil dalam ekspresi wajah manusia sangat minimal, sehingga sulit sekali dibaca. Tapi ingatanku mampu menyebutkan arti pandangan di wajah perempuan ini. Sepasang alis hitam, yang melengkung ke bawah di atas mata yang sedikit menonjol, menciptakan bentuk yang kukenal. Bukan kemarahan. Keseriuan. Kejengkelan.

"Seberapa sering ini terjadi?" tanyaku, kembali memandang Penyembuh.
"Tidak sering," Penyembuh mengakui. "Kami hanya punya sedikit sekali persediaan inang dewasa. Inang - inang yang belum dewasa sangat mudah dikendalikan. Tapi kau mengindikasikan bahwa kau lebih suka memulai sebagai mahluk dewasa..."
"Ya."

"Sebagian besar permintaan adalah kebalikannya. Masa hidup manusia jauh lebih pendek daripada yang biasa kaualami." 
"Aku sangat memahami semua faktanya, Penyembuh. Pernahkah kau menangani... perlawanan semacam ini?"
"Hanya sekali."
"Ceritakan fakta-fakta kasusnya." Aku diam sejenak. "Kumohon," imbuhku, karena merasa perintahku tidak sopan. 
Penyembuh mendesah.
Pencari mulai mengetuk-ngetukkan jemari. Tanda ketidaksabaran. Ia tak sabar menunggu hal yang ia inginkan. 
"Ini terjadi empat tahun yang lalu," Penyembuh memulai. "Jiwa itu meminta inang dewasa jantan. Yang pertama tersedia adalah manusia yang telah tinggal dalam kelompok perlawanan semenjak tahun-tahun awal pendudukan. Manusia itu... tahu apa yang akan terjadi seandainya dia tertangkap."
"Persis seperti inangku."
"Ehm, ya." Ia berdehem. "Ini baru kehidupan kedua jiwa itu. Dia datang dari Blind World--Dunia buta."
"Blind World?" tanyaku, refleks memiringkan kepala. 
"Oh, maaf, kau tak mungkin tahu sebutan yang kami berikan. Tapi ini salah satu duniamu, bukan?" Ia mengeluarkan alat dari saku. Komputer; lalu melakukan pemindaian dengan cepat. "Ya, planet ketujuhmu. Di sektor ke-81."
 "Blind World?" ujarku lagi, kini suaraku tidak setuju. 
"Ya. Well, sebagian yang pernah tinggal di sana lebih suka menyebutnya Singing World--Dunia Menyanti."
Aku mengangguk pelan. Aku lebih suka sebutan itu. 
"Dan sebagian yang belum pernah ke sana menyebutnya Planet of the Bats--Planet Kelelawar," gumam Pencari.
Aku mengalihkan pandangan kepadanya, dan merasakan kedua mataku menyipit ketika benakku menggali gambaran yang sesuai dengan hewan pengerat terbang jelek yang disebutkannya. 

"Kurasa kau salah satu yang belum pernah tinggal di sana, Pencari," ujar Penyembuh ringan. "Pertama-tama kami menyebut jiwa ini Racing song. Itu terjemahan bebas dari namanya di... Singing World. Tapi dia segera memilih menggunakan nama inangnya, Kevin. Walaupun berdasarkan latar belakangnnya jiwa ini mendapat Panggilan dalam Pertunjukan Musik, dia menyatakan lebih nyaman melanjutkan bidang pekerjaan inangnya, yaitu mekanik.
"Tanda-tanda ini, entah mengapa, mengkhawatirkan Penghibur yang ditugaskan mendampinginya, walaupun tanda-tanda ini masih dalam batas-batas normal.
"Lalu Kevin mulai mengeluh dirinya pingsan secara berkala. Mereka membawanya kembali kepadaku, dan kami melakukan banyak tes untuk memastikan tak ada cacat tersembunyi di dalam otak inang itu. Selama pengetesan, beberapa Penyembuh mengamati adanya perbedaan besar dalam perilaku dan kepribadian Kevin. Ketika kami menanyakan hal itu kepadanya, dia mengatakan tidak ingat beberapa pernyataan dan tindakan tertentu. Kami terus mengamatinya, bersama-sama dengan Penghibur-nya, dan akhirnya tahu si inang secara berkala menguasai tubuh Kevin."

"Menguasai?" Mataku membelalak. "Tanpa disadari jiwa itu? Si inang kembali mengambil alih tubuhnya?"
"Sayangnya, ya. Kevin tidak cukup kuat untuk menundukkan inang ini."
Tidak cukup kuat.
Apakah mereka juga akan menganggapku lemah? Apakah aku lemah, sehingga tak bisa memaksa benak ini menjawab pertanyaan-pertanyaanku? Bahkan lebih lemah, karena pikiran-pikiran hidup gadis ini berada di dalam kepalaku, padahal seharusnya tidak ada apa - apa di sana kecuali ingatan? Aku selalu menganggap diriku kuat. Gagasan mengenai kelemahan ini membuatku tersentak. Membuatku malu. 

Penyembuh melanjutkan, "Terjadi peristiwa-peristiwa  tertentu, lalu diputuskan--"
"Peristiwa-peristiwa apa?"
Penyembuh menunduk tanpa menjawab.
"Peristiwa-peristiwa apa?" desakku lagi. "Aku yakin aku berhak tahu."
Penyembuh mendesah. "Memang. Kevin... menyerang salah satu Penyembuh secara fisik ketika dia sedang tidak menjadi... dirinya sendiri." Ia mengernyit. "Dia memukul Penyembuh sampai pingsan dengan kepalan tangannya, lalu menemukan pisau bedah Penyembuh. Kami menemukan Kevin tak sadarkan diri. Si inang mencoba mengeluarkan jiwa itu dari tubuhnya."

Perlu sejenak sebelum aku mampu bicara. Bahkan setelah itu pun, suaraku hanya berupa embusan napas. "Apa yang terjadi pada mereka?"
"Untungnya si inang tak bisa mempertahankan kesadarannya cukup lama untuk menimbulkan kerusakan parah. Kevin direlokasi, kali ini ke dalam tubuh inang yang belum dewasa. Inang yang menyusahkan itu rusak parah, dan diputuskan bahwa tindakan menyelamatkannya takkan banyak berguna. 

"Kini Kevin berusia tujuh tahun manusia, dan dia benar-benar normal... walaupun tetap mempertahankan nama Kevin. Para penjaganya berusaha keras agar dia selalu terpapar pada musik, dan itu berjalan dengan baik..." Perkataan terakhir itu ditambahkan, seakan merupakan berita baik--berita yang, entah mengapa, bisa membatalkan semua perkataan lainnya.
"Mengapa?" Aku berdehem agar suaraku bisa lebih keras.  "Mengapa risiko-risiko ini tidak diberitahukan?"
"Sesungguhnya," Sela Pencari, "hal itu dinyatakan dengan sangat jelas di dalam semua propaganda perekrutan. Bahwa menyesuaikan diri di dalam tubuh inang manusayang masih tersisa akan jauh lebih menantang daripada menyesuaikan diri di dalam tubuh inang anak-anak. Inang yang belum dewasa sangat dianjurkan."

"Kata menantang tidak mencakup seluruh cerita Kevin," bisikku.
"Ya, well, kau memilih untuk mengabaikan anjuran itu." Pencari mengangkat kedua tangan, mengisyaratkan perdamaian, ketika tubuhku menegang hingga kain kaku di tempat tidur sempit itu berdesir pelan. "Bukannya aku menyalahkanmu. Masa kanak-kanak sangat membosankan. Dan kau jelas bukan sembarang jiwa. Aku sangat percaya kau mampu menangani hal ini. Ini hanya inang biasa. Aku yakin kau akan segera mendapat akses dan kendali penuh."

Berdasarkan pengamatanku terhadap Pencari sejauh ini, aku akan terkejut seandainya ia punya kesabaran untuk menunggu penundaan apa pun, bahkan penyesuaian diriku secara pribadi. Aku bisa merasakan kekecewaannya, karena tidak ada informasi yang bisa kuberikan, dan ini mendatangkan kembali sebagian perasaan marah yang tak kukenal.

"Terpikirkah olehmu bahwa kau bisa memperoleh jawaban yang kaucari jika dirimu sendiri disisipkan ke dalam tubuh ini?" tanyaku.
Tubuh Pencari menegang. "Aku bukan peloncat."
Kedua alisku otomatis naik.
"Itu sebutan lain," jelas Penyembuh, "bagi mereka yang tidak menyelesaikan satu masa kehidupan di dalam tubuh inang mereka."
Aku mengangguk paham. Kami punya nama untuk itu di dunia-duniaku yang lain. Di dunia mana pun, hal itu tidak disukai. Jadi aku berhenti menanyai Pencari dan memberinya informasi sebisa mungkin. 

"Namanya Melanie Stryder. Dia dilahirkan di Albuquerque, New Mexico. Dia berada di Los Angeles ketika mengetahui peristiwa pendudukan itu, dan dia bersembunyi di hutan belantara selama beberapa tahun, sebelum menemukan... Hmmm. Maaf. Akan kucoba lagi bagian itu nanti. Tubuhnya berusia dua puluh tahun. Dia menyetir ke Chicago dari..." Aku menggeleng. "Ada beberapa tahap perjalanan, dan tidak semuanya sendirian. Itu kendaraan curian. Dia sedang mencari sepupu bernama Sharon. Dia punya alasan untuk berharap Sharon masih manusia. Dia tidak menemui ataupun menghubungi siapa pun sebelum dirinya kepergok. Tapi..." Aku berjuang melawan dinding kosong lain. "Kurasa... aku ragu... kurasa dia meninggalkan catatan... di suatu tempat."
"Jadi dia berharap seseorang akan mencarinya?" tanya Pencari bersemangat. 
"Ya. Dia akan... dicari. Jika dia tidak bertemu dengan..." Aku mengertakkan gigi, kini aku benar-benar berjuang. Dinding itu hitam dan aku tak tahu seberapa tebal. Kupukul-pukul dinding itu. Butir-butir keringat muncul di kening. Pencari dan Penyembuh benar - benar diam, membiarkanku berkonsentrasi. 

Aku mencoba memikirkan sesuatu yang lain--suara - suara bising tak kukenal yang dikeluarkan mesin mobil, kegelisahan yang memacu adrenalin setiap kali lampu-lampu kendaraan lain mendekat di jalanan. Aku sudah memperoleh ingatan ini, dan tak ada yang melawanku. Aku membiarkan ingatan itu membawaku bersamanya, membiarkannya melompati perjalanan kaki dingin melewati kota di bawah naungan kegelapan malam, membiarkan ingatan itu bergulir ke bangunan tempat mereka menemukanku. 
Bukan menemukanku, tapi menemukan gadis ini. Tubuhku gemetar. 
"Jangan terlalu memaksa--" Penyembuh memulai.
Pencari menyuruhnya diam.

Aku membiarkan benakku tetap terpaku pada kengerian saat tepergok, kebencian membara para Pencari yang nyaris mengalahkan segalanya. Itu kebencian yang jahat; itu kebencian menyakitkan. Aku nyaris tak sanggup menanggungnya. Tapi aku membiarkan ingatan itu terus mengalir, dan berharap tindakanku bisa mengusik perlawanan itu, memperlemah pertahanan-pertahanannya. 

Kuamati dengan saksama ketika gadis ini mencoba bersembunyi, lalu tahu ia tidak bisa. Sebuah catatan, digoreskan di atas puing dengan pensil patah. Disorongkan cepat-cepat ke bawah pintu. Bukan sembarang pintu. 
"Patokannya adalah pintu kelima di lorong kelima di lantai lima. Catatan itu ada di sana."

Pencari memegang telepon kecil; ia bergumam cepat di telepon itu.
"Bangunan itu seharusnya aman," lanjutku. "Para Pencari tahu bangunan itu terlarang. Gadis ini tak tahu bagaimana dirinya bisa ketahuan. Apakah mereka menemukan Sharon?"
Perasaan ngeri membuat kedua tanganku merinding.
Pertanyaan itu bukan berasal dariku. 
Itu bukan pertanyaanku, tapi mengalir alami lewat bibirku, seolah-olah pertanyaanku. Pencari tidak memperhatikan ada yang aneh.

"Sepupunya? Tidak, mereka tidak menemukan manusia lain," jawabnya, dan tubuhku mengendur sebagai respons. "Inang ini dipergoki sedang memasuki bangunan. Karena bangunan itu terlarang, warga yang mengamatinya merasa khawatir. Dia menelepon kami, dan kami mengawasi bangunan itu untuk melihat apakah bisa menangkap lebih dari seorang manusia, lalu kami bergerak masuk ketika hal itu tampak mustahil. Bisakah kau menemukan tempat pertemuannya?"
Aku mencoba.

Banyak sekali ingatan, semua begitu tajam dan penuh warna, Aku melihat ratusan tempat yang belum pernah kukunjungi, dan mendengar nama-nama mereka untuk pertama kalinya. Sebuah rumah di Los Angeles, dibatasi pohon-pohon palem tinggi. Padang rumput di hutan, lengkap dengan tenda dan perapian, di luar Winslow, Arizona. Pantai berbatu karang yang sepi di Meksiko. Gua dengan pintu masuk dijaga tirai hujan, di suatu tempat di Oregon. Tenda, gubuk, tempat-tempat perlindungan sederhana. Dengan berjalannya waktu nama-nama itu semakin kabur. Gadis ini tak tahu dimana dirinya berada, dan juga tak peduli. 

Kini namaku Wanderer, tapi ingatan-ingatan gadis ini sangat cocok dengan namaku, walaupun aku berkelana berdasarkan pilihan sendiri. Kilas - kilas ingatan ini selalu diwarnai ketakutan seorang buronan. Ia tidak berkelana, tapi melarikan diri. 

Aku mencoba untuk tidak merasa iba, tapi berjuang memfokuskan ingatan-ingatan itu. Aku tidak perlu mellihat kemana saja gadis ini pernah pergi, tapi hanya ke mana ia akan pergi. Aku menyortir gambar - gambar yang berkaitan dengan kata Chicago, tapi tampaknya semua hanya gambaran acak. Kuperluas jaringku. Ada apa di luar Chicago? Dingin, pikirku. Udaranya dingin, dan ada semacam kekhawatiran soal itu. 
Di mana? Aku mendesak, dan dinding itu muncul kembali. 
Kuembuskan napas dengan muak. "Di luar kota--di hutan belantara... taman nasional, jauh dari pemukiman mana pun. Bukan tempat yang pernah dia kunjungi, tapi dia tahu cara kesana."
"Berapa lama?", tanya Pencari.
"Segera." Jawaban itu muncul otomatis. "Sudah berapa lama aku di sini?"
"Kami membiarkan si inang menyembuhkan diri selama sembilan hari, hanya untuk benar-benar memastikan kepulihannya," jelas Penyembuh. "Penyisipannya hari ini, pada hari kesepuluh."

Sepuluh hari. Tubuhku merasakan gelombang kelegaan yang mengejutkan.
"Terlambat," kataku. "Untuk tempat pertemuan itu... atau bahkan catatan itu." Aku bisa merasakan reaksi si inang terhadap perkataanku--bisa merasakannya jauh lebih kuat. Inang ini nyaris merasa... puas. Aku membiarkan kata - kata yang hendak diucapkan si inang, supaya aku bisa mempelajarinya. "Lelaki itu takkan berada di sana."
"Lelaki?" Pencari menyambar informasi jenis kelamin yang kuucapkan. "Siapa?"
Dinding hitam menghujam dengan kekuatan lebih besar daripada yang digunakan gadis ini sebelumnya. Tapi ia sedikit terlambat. 
Sekali lagi wajah itu memenuhi benakku. Wajah tampan dengan kulit cokelat keemasan dan mata berbintik - bintik terang. Wajah yang menggugah perasaan nikmat mendalam yang aneh di tubuhku ketika aku memandanginya dengan begitu jelas di benakku. 


Walaupun dinding itu menghujam pada tempatnya, diiringi sensasi kejengkelan luar biasa, tindakan itu tidak cukup cepat. 
"Jared," jawabku. Dengan sama cepat, seakan perkataan itu berasal dariku, pikiran yang bukan milikku mengikuti nama itu lewat bibirku. "Jared aman."


---

0 comments:

Post a Comment

Jual Nugget dan Sosis Sayur

Jual Nugget dan Sosis Sayur
Pemesanan via email : lwati111@gmail.com

The Host - Bab 3


Melawan

"Dia tidak mengenali nama baru itu," gumam Penyembuh. Sensasi baru mengalihkan perhatianku. Sesuatu yang menyenangkan, perubahan di udara ketika Pencari berdiri di sampingku. Aroma, pikirku menyadari. Sesuatu yang berbeda dari ruangan steril tak berbau ini. Parfum, ujar benak baruku. Wangi bunga, memabukkan...
"Bisakah kau mendengarku?" tanya Pencari, menyela analisisku.
"Kau sudah sadar?"
"Jangan tergesa-gesa," desak Penyembuh, suaranya lebih lembut daripada sebelumnya.
Aku tidak membuka mata. Aku tak ingin perhatianku terganggu. Benakku memberiku kata - kata yang kuperlukan dan nada suara yang bisa mengungkapkan maksud yang tak bisa kuucapkan tanpa menggunakan banyak kata.
"Apakah aku ditempatkan dalam tubuh inang rusak untuk memperoleh informasi yang kauperlukan, Pencari?"
Terdengar suara helaan napas--gabungan antara terkejut dan marah--lalu sesuatu yang hangat menyentuh kulitku, menutup tanganku.
"Tentu saja tidak, Wanderer," ujar lelaki itu menenangkan. "Bahkan Pencari sekalipun memiliki batas - batas tertentu."
Pencari kembali menghela napas. Mendesis, ingatanku membetulkan.
"Lalu mengapa benak ini tidak berfungsi dengan benar!"
Sejenak hening.
"Seluruh pemindaiannya sempurna," jawab Pencari. Kata-katanya tidak menenangkan, tapi bersifat menyanggah. Apakah ia ingin bertengkar denganku?" Tubuh itu sudah sembuh sepenuhnya."
"Dari usaha bunuh diri yang nyaris berhasil." Nada suaraku kaku, masih marah. Aku tidak terbiasa dengan kemarahan. Sulit mengendalikannya.
"Semua sempurna--"
Penyembuh menyela perkataan Pencari. "Apanya yang kurang?" tanyanya."Jelas kau telah mengakses kemampuan bicara."

"Ingatan. Aku mencoba menemukan apa yang diinginkan Pencari"
Walaupun tak ada suara yang terdengar, terjadi perubahan. Suasana yang menegang akibat tuduhanku, berubah tenang. Aku bertanya-tanya bagaimana caraku mengetahuinya. Aku punya sensasi aneh bahwa, entah mengapa, yang kuterima melebihi yang diberikan kelima indraku--nyaris menyerupai perasaan bahwa ada indra lain, di tepian, yang belum banyak dimanfaatkan. Intuisi? Itu kata yang nyaris tepat. Seolah-olah ada makhluk yang memerlukan lebih dari lima indra.



Benak ini menggunakan lebih banyak kemampuan alamiku dibandingkan dengan inang apa pun sebelumnya, dan hanya meninggalkan 181 perlekatan cadangan. Mungkin banyaknya pengikatan adalah penyebab emosi - emosi benak ini begitu hidup.
Kuputuskan untuk membuka mata. aku merasa perlu mengecek ulang janji - janji Penyembuh  dan memastikan bagian lain diriku bekerja.
Cahaya. Terang, menyakitkan. Kupejamkan kembali mataku. Cahaya terakhir yang kulihat telah disaring melalui 180 meter kedalaman laut. Tapi mata ini pernah melihat cahaya yang lebih cemerlang dan mampu menanganinya. Aku membuka mata sedikit, menjaga bulu mataku tetap menutupi bukaan itu.
"Kau ingin aku mematikan semua lampu?"
"Tidak, Penyembuh. Mataku akan menyesuaikan diri."
"Bagus sekali," katanya. Dan aku mengerti pujian ini dimaksudkan untuk penggunaan kata kepemilikan yang kulakukan dengan mudahnya.
Keduanya menunggu dengan tenang sementara mataku melebar perlahan - lahan.

Benakku mengenali tempat ini sebagai ruangan biasa di sebuah fasilitas medis. Rumah sakit. Ubin langit-langitnya berwarna putih, berbintik-bintik agak gelap. Lampu-lampunya persegi panjang dan berukuran sama dengan ubinnya, menggantikan beberapa ubin dengan jarak teratur. Dinding-dindingnya hijau muda. Warna yang menenangkan, tapi juga warna penyakit. Pilihan buruk. Dengan cepat benakku membentuk opini.

Orang - orang yang sedang memandangiku lebih menarik daripada ruangannya. Kata dokter langsung terdengar dalam benakku ketika mataku tertambat pada Penyembuh. Ia mengenakan pakaian hijau kebiruan longgar yang memperlihatkan kedua lengannya. Jubah rumah sakit. Ada rambut di wajahnya, dengan warna aneh yang disebut ingatanku sebagai merah.
Merah! Sudah tiga dunia semenjak aku melihat warna itu atau warna-warna lain. Bahkan warna kuning keemasan ini pun memenuhiku dengan nostalgia.

Penyembuh berwajah seperti manusia umumnya bagiku, tapi pengetahuan di dalam ingatanku menyebut kata baik hati.
Napas tak sabar membetot perhatianku pada Pencari.
Tubuh perempuan itu sangat kecil. Seandainya ia tetap diam akan perlu waktu lebih lama bagiku untuk menyadari keberadaannya di sana, di samping Penyembuh. Ia tidak menarik, bagaikan kegelapan dalam ruangan terang. Ia mengenakan pakaian hitam dari dagu sampai pergelangan tangan--setelah konservatif dengan baju sutra turtleneck di baliknya. Rambutnya juga hitam, memanjang sampai dagu dan disingkirkan ke balik telinga. Kulitnya lebih gelap daripada warna kulit Penyembuh. Warna zaitun.

Perubahan kecil dalam ekspresi wajah manusia sangat minimal, sehingga sulit sekali dibaca. Tapi ingatanku mampu menyebutkan arti pandangan di wajah perempuan ini. Sepasang alis hitam, yang melengkung ke bawah di atas mata yang sedikit menonjol, menciptakan bentuk yang kukenal. Bukan kemarahan. Keseriuan. Kejengkelan.

"Seberapa sering ini terjadi?" tanyaku, kembali memandang Penyembuh.
"Tidak sering," Penyembuh mengakui. "Kami hanya punya sedikit sekali persediaan inang dewasa. Inang - inang yang belum dewasa sangat mudah dikendalikan. Tapi kau mengindikasikan bahwa kau lebih suka memulai sebagai mahluk dewasa..."
"Ya."

"Sebagian besar permintaan adalah kebalikannya. Masa hidup manusia jauh lebih pendek daripada yang biasa kaualami." 
"Aku sangat memahami semua faktanya, Penyembuh. Pernahkah kau menangani... perlawanan semacam ini?"
"Hanya sekali."
"Ceritakan fakta-fakta kasusnya." Aku diam sejenak. "Kumohon," imbuhku, karena merasa perintahku tidak sopan. 
Penyembuh mendesah.
Pencari mulai mengetuk-ngetukkan jemari. Tanda ketidaksabaran. Ia tak sabar menunggu hal yang ia inginkan. 
"Ini terjadi empat tahun yang lalu," Penyembuh memulai. "Jiwa itu meminta inang dewasa jantan. Yang pertama tersedia adalah manusia yang telah tinggal dalam kelompok perlawanan semenjak tahun-tahun awal pendudukan. Manusia itu... tahu apa yang akan terjadi seandainya dia tertangkap."
"Persis seperti inangku."
"Ehm, ya." Ia berdehem. "Ini baru kehidupan kedua jiwa itu. Dia datang dari Blind World--Dunia buta."
"Blind World?" tanyaku, refleks memiringkan kepala. 
"Oh, maaf, kau tak mungkin tahu sebutan yang kami berikan. Tapi ini salah satu duniamu, bukan?" Ia mengeluarkan alat dari saku. Komputer; lalu melakukan pemindaian dengan cepat. "Ya, planet ketujuhmu. Di sektor ke-81."
 "Blind World?" ujarku lagi, kini suaraku tidak setuju. 
"Ya. Well, sebagian yang pernah tinggal di sana lebih suka menyebutnya Singing World--Dunia Menyanti."
Aku mengangguk pelan. Aku lebih suka sebutan itu. 
"Dan sebagian yang belum pernah ke sana menyebutnya Planet of the Bats--Planet Kelelawar," gumam Pencari.
Aku mengalihkan pandangan kepadanya, dan merasakan kedua mataku menyipit ketika benakku menggali gambaran yang sesuai dengan hewan pengerat terbang jelek yang disebutkannya. 

"Kurasa kau salah satu yang belum pernah tinggal di sana, Pencari," ujar Penyembuh ringan. "Pertama-tama kami menyebut jiwa ini Racing song. Itu terjemahan bebas dari namanya di... Singing World. Tapi dia segera memilih menggunakan nama inangnya, Kevin. Walaupun berdasarkan latar belakangnnya jiwa ini mendapat Panggilan dalam Pertunjukan Musik, dia menyatakan lebih nyaman melanjutkan bidang pekerjaan inangnya, yaitu mekanik.
"Tanda-tanda ini, entah mengapa, mengkhawatirkan Penghibur yang ditugaskan mendampinginya, walaupun tanda-tanda ini masih dalam batas-batas normal.
"Lalu Kevin mulai mengeluh dirinya pingsan secara berkala. Mereka membawanya kembali kepadaku, dan kami melakukan banyak tes untuk memastikan tak ada cacat tersembunyi di dalam otak inang itu. Selama pengetesan, beberapa Penyembuh mengamati adanya perbedaan besar dalam perilaku dan kepribadian Kevin. Ketika kami menanyakan hal itu kepadanya, dia mengatakan tidak ingat beberapa pernyataan dan tindakan tertentu. Kami terus mengamatinya, bersama-sama dengan Penghibur-nya, dan akhirnya tahu si inang secara berkala menguasai tubuh Kevin."

"Menguasai?" Mataku membelalak. "Tanpa disadari jiwa itu? Si inang kembali mengambil alih tubuhnya?"
"Sayangnya, ya. Kevin tidak cukup kuat untuk menundukkan inang ini."
Tidak cukup kuat.
Apakah mereka juga akan menganggapku lemah? Apakah aku lemah, sehingga tak bisa memaksa benak ini menjawab pertanyaan-pertanyaanku? Bahkan lebih lemah, karena pikiran-pikiran hidup gadis ini berada di dalam kepalaku, padahal seharusnya tidak ada apa - apa di sana kecuali ingatan? Aku selalu menganggap diriku kuat. Gagasan mengenai kelemahan ini membuatku tersentak. Membuatku malu. 

Penyembuh melanjutkan, "Terjadi peristiwa-peristiwa  tertentu, lalu diputuskan--"
"Peristiwa-peristiwa apa?"
Penyembuh menunduk tanpa menjawab.
"Peristiwa-peristiwa apa?" desakku lagi. "Aku yakin aku berhak tahu."
Penyembuh mendesah. "Memang. Kevin... menyerang salah satu Penyembuh secara fisik ketika dia sedang tidak menjadi... dirinya sendiri." Ia mengernyit. "Dia memukul Penyembuh sampai pingsan dengan kepalan tangannya, lalu menemukan pisau bedah Penyembuh. Kami menemukan Kevin tak sadarkan diri. Si inang mencoba mengeluarkan jiwa itu dari tubuhnya."

Perlu sejenak sebelum aku mampu bicara. Bahkan setelah itu pun, suaraku hanya berupa embusan napas. "Apa yang terjadi pada mereka?"
"Untungnya si inang tak bisa mempertahankan kesadarannya cukup lama untuk menimbulkan kerusakan parah. Kevin direlokasi, kali ini ke dalam tubuh inang yang belum dewasa. Inang yang menyusahkan itu rusak parah, dan diputuskan bahwa tindakan menyelamatkannya takkan banyak berguna. 

"Kini Kevin berusia tujuh tahun manusia, dan dia benar-benar normal... walaupun tetap mempertahankan nama Kevin. Para penjaganya berusaha keras agar dia selalu terpapar pada musik, dan itu berjalan dengan baik..." Perkataan terakhir itu ditambahkan, seakan merupakan berita baik--berita yang, entah mengapa, bisa membatalkan semua perkataan lainnya.
"Mengapa?" Aku berdehem agar suaraku bisa lebih keras.  "Mengapa risiko-risiko ini tidak diberitahukan?"
"Sesungguhnya," Sela Pencari, "hal itu dinyatakan dengan sangat jelas di dalam semua propaganda perekrutan. Bahwa menyesuaikan diri di dalam tubuh inang manusayang masih tersisa akan jauh lebih menantang daripada menyesuaikan diri di dalam tubuh inang anak-anak. Inang yang belum dewasa sangat dianjurkan."

"Kata menantang tidak mencakup seluruh cerita Kevin," bisikku.
"Ya, well, kau memilih untuk mengabaikan anjuran itu." Pencari mengangkat kedua tangan, mengisyaratkan perdamaian, ketika tubuhku menegang hingga kain kaku di tempat tidur sempit itu berdesir pelan. "Bukannya aku menyalahkanmu. Masa kanak-kanak sangat membosankan. Dan kau jelas bukan sembarang jiwa. Aku sangat percaya kau mampu menangani hal ini. Ini hanya inang biasa. Aku yakin kau akan segera mendapat akses dan kendali penuh."

Berdasarkan pengamatanku terhadap Pencari sejauh ini, aku akan terkejut seandainya ia punya kesabaran untuk menunggu penundaan apa pun, bahkan penyesuaian diriku secara pribadi. Aku bisa merasakan kekecewaannya, karena tidak ada informasi yang bisa kuberikan, dan ini mendatangkan kembali sebagian perasaan marah yang tak kukenal.

"Terpikirkah olehmu bahwa kau bisa memperoleh jawaban yang kaucari jika dirimu sendiri disisipkan ke dalam tubuh ini?" tanyaku.
Tubuh Pencari menegang. "Aku bukan peloncat."
Kedua alisku otomatis naik.
"Itu sebutan lain," jelas Penyembuh, "bagi mereka yang tidak menyelesaikan satu masa kehidupan di dalam tubuh inang mereka."
Aku mengangguk paham. Kami punya nama untuk itu di dunia-duniaku yang lain. Di dunia mana pun, hal itu tidak disukai. Jadi aku berhenti menanyai Pencari dan memberinya informasi sebisa mungkin. 

"Namanya Melanie Stryder. Dia dilahirkan di Albuquerque, New Mexico. Dia berada di Los Angeles ketika mengetahui peristiwa pendudukan itu, dan dia bersembunyi di hutan belantara selama beberapa tahun, sebelum menemukan... Hmmm. Maaf. Akan kucoba lagi bagian itu nanti. Tubuhnya berusia dua puluh tahun. Dia menyetir ke Chicago dari..." Aku menggeleng. "Ada beberapa tahap perjalanan, dan tidak semuanya sendirian. Itu kendaraan curian. Dia sedang mencari sepupu bernama Sharon. Dia punya alasan untuk berharap Sharon masih manusia. Dia tidak menemui ataupun menghubungi siapa pun sebelum dirinya kepergok. Tapi..." Aku berjuang melawan dinding kosong lain. "Kurasa... aku ragu... kurasa dia meninggalkan catatan... di suatu tempat."
"Jadi dia berharap seseorang akan mencarinya?" tanya Pencari bersemangat. 
"Ya. Dia akan... dicari. Jika dia tidak bertemu dengan..." Aku mengertakkan gigi, kini aku benar-benar berjuang. Dinding itu hitam dan aku tak tahu seberapa tebal. Kupukul-pukul dinding itu. Butir-butir keringat muncul di kening. Pencari dan Penyembuh benar - benar diam, membiarkanku berkonsentrasi. 

Aku mencoba memikirkan sesuatu yang lain--suara - suara bising tak kukenal yang dikeluarkan mesin mobil, kegelisahan yang memacu adrenalin setiap kali lampu-lampu kendaraan lain mendekat di jalanan. Aku sudah memperoleh ingatan ini, dan tak ada yang melawanku. Aku membiarkan ingatan itu membawaku bersamanya, membiarkannya melompati perjalanan kaki dingin melewati kota di bawah naungan kegelapan malam, membiarkan ingatan itu bergulir ke bangunan tempat mereka menemukanku. 
Bukan menemukanku, tapi menemukan gadis ini. Tubuhku gemetar. 
"Jangan terlalu memaksa--" Penyembuh memulai.
Pencari menyuruhnya diam.

Aku membiarkan benakku tetap terpaku pada kengerian saat tepergok, kebencian membara para Pencari yang nyaris mengalahkan segalanya. Itu kebencian yang jahat; itu kebencian menyakitkan. Aku nyaris tak sanggup menanggungnya. Tapi aku membiarkan ingatan itu terus mengalir, dan berharap tindakanku bisa mengusik perlawanan itu, memperlemah pertahanan-pertahanannya. 

Kuamati dengan saksama ketika gadis ini mencoba bersembunyi, lalu tahu ia tidak bisa. Sebuah catatan, digoreskan di atas puing dengan pensil patah. Disorongkan cepat-cepat ke bawah pintu. Bukan sembarang pintu. 
"Patokannya adalah pintu kelima di lorong kelima di lantai lima. Catatan itu ada di sana."

Pencari memegang telepon kecil; ia bergumam cepat di telepon itu.
"Bangunan itu seharusnya aman," lanjutku. "Para Pencari tahu bangunan itu terlarang. Gadis ini tak tahu bagaimana dirinya bisa ketahuan. Apakah mereka menemukan Sharon?"
Perasaan ngeri membuat kedua tanganku merinding.
Pertanyaan itu bukan berasal dariku. 
Itu bukan pertanyaanku, tapi mengalir alami lewat bibirku, seolah-olah pertanyaanku. Pencari tidak memperhatikan ada yang aneh.

"Sepupunya? Tidak, mereka tidak menemukan manusia lain," jawabnya, dan tubuhku mengendur sebagai respons. "Inang ini dipergoki sedang memasuki bangunan. Karena bangunan itu terlarang, warga yang mengamatinya merasa khawatir. Dia menelepon kami, dan kami mengawasi bangunan itu untuk melihat apakah bisa menangkap lebih dari seorang manusia, lalu kami bergerak masuk ketika hal itu tampak mustahil. Bisakah kau menemukan tempat pertemuannya?"
Aku mencoba.

Banyak sekali ingatan, semua begitu tajam dan penuh warna, Aku melihat ratusan tempat yang belum pernah kukunjungi, dan mendengar nama-nama mereka untuk pertama kalinya. Sebuah rumah di Los Angeles, dibatasi pohon-pohon palem tinggi. Padang rumput di hutan, lengkap dengan tenda dan perapian, di luar Winslow, Arizona. Pantai berbatu karang yang sepi di Meksiko. Gua dengan pintu masuk dijaga tirai hujan, di suatu tempat di Oregon. Tenda, gubuk, tempat-tempat perlindungan sederhana. Dengan berjalannya waktu nama-nama itu semakin kabur. Gadis ini tak tahu dimana dirinya berada, dan juga tak peduli. 

Kini namaku Wanderer, tapi ingatan-ingatan gadis ini sangat cocok dengan namaku, walaupun aku berkelana berdasarkan pilihan sendiri. Kilas - kilas ingatan ini selalu diwarnai ketakutan seorang buronan. Ia tidak berkelana, tapi melarikan diri. 

Aku mencoba untuk tidak merasa iba, tapi berjuang memfokuskan ingatan-ingatan itu. Aku tidak perlu mellihat kemana saja gadis ini pernah pergi, tapi hanya ke mana ia akan pergi. Aku menyortir gambar - gambar yang berkaitan dengan kata Chicago, tapi tampaknya semua hanya gambaran acak. Kuperluas jaringku. Ada apa di luar Chicago? Dingin, pikirku. Udaranya dingin, dan ada semacam kekhawatiran soal itu. 
Di mana? Aku mendesak, dan dinding itu muncul kembali. 
Kuembuskan napas dengan muak. "Di luar kota--di hutan belantara... taman nasional, jauh dari pemukiman mana pun. Bukan tempat yang pernah dia kunjungi, tapi dia tahu cara kesana."
"Berapa lama?", tanya Pencari.
"Segera." Jawaban itu muncul otomatis. "Sudah berapa lama aku di sini?"
"Kami membiarkan si inang menyembuhkan diri selama sembilan hari, hanya untuk benar-benar memastikan kepulihannya," jelas Penyembuh. "Penyisipannya hari ini, pada hari kesepuluh."

Sepuluh hari. Tubuhku merasakan gelombang kelegaan yang mengejutkan.
"Terlambat," kataku. "Untuk tempat pertemuan itu... atau bahkan catatan itu." Aku bisa merasakan reaksi si inang terhadap perkataanku--bisa merasakannya jauh lebih kuat. Inang ini nyaris merasa... puas. Aku membiarkan kata - kata yang hendak diucapkan si inang, supaya aku bisa mempelajarinya. "Lelaki itu takkan berada di sana."
"Lelaki?" Pencari menyambar informasi jenis kelamin yang kuucapkan. "Siapa?"
Dinding hitam menghujam dengan kekuatan lebih besar daripada yang digunakan gadis ini sebelumnya. Tapi ia sedikit terlambat. 
Sekali lagi wajah itu memenuhi benakku. Wajah tampan dengan kulit cokelat keemasan dan mata berbintik - bintik terang. Wajah yang menggugah perasaan nikmat mendalam yang aneh di tubuhku ketika aku memandanginya dengan begitu jelas di benakku. 


Walaupun dinding itu menghujam pada tempatnya, diiringi sensasi kejengkelan luar biasa, tindakan itu tidak cukup cepat. 
"Jared," jawabku. Dengan sama cepat, seakan perkataan itu berasal dariku, pikiran yang bukan milikku mengikuti nama itu lewat bibirku. "Jared aman."


---

0 comments on "The Host - Bab 3 "

Post a Comment