Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara

Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara
Harga mulai 5rb an. Gratis ongkir DKI Jakarta

The Host- Bab 36

0 comments

 




DIPERCAYA

Kelompok manusia itu berubah tenang, dan gumaman lebih antusias terdengar dari seluruh tempat mereka duduk membentuk setengah lingkaran.
Aku memandang Jamie, yang mengerutkan bibir dan mengangkat bahu. “Jeb hanya mencoba mengembalikan segala sesuatunya agar normal lagi. Beberapa hari ini keadaan sangat buruk. Pemakaman Walter…”
Aku meringis.
Kulihat Jeb nyengir pada Jared. Setelah sejenak menolak, Jared menghela napas dan memutar bola mata pada lelaki tua aneh itu. Ia berbalik dan berjalan cepat meninggalkan gua.
“Jared punya bola baru?” tanya seseorang.
“Asyik,” ujar Wes di sampingku.
“Bermain,” gumam Trudy, seraya menggeleng.
“Jika itu bisa meredakan ketegangan,” jawab Lily pelan. Lalu mengangkat bahu.
Suara mereka pelan, di dekatku, tapi aku juga bisa mendengar suara-suara lain yang lebih keras.
“Kali ini berhati-hatilah dengan bolanya,” ujar Aaron kepada Kyle. Ia berdiri di samping Kyle, menawarkan tangannya.
Kyle meraih tangan yang ditawarkan dan perlahan-lahan bangkit berdiri. Setelah berdiri, kepalanya nyaris menyundul lentera-lentera yang bergantungan.
“Bola terakhir kurangg bagus,” ujar Kyle. Ia nyengir pada lelaki yang lebih tua itu. “Secara structural cacat.”
“Aku menominasikan Andy sebagai kapten,” teriak seseorang.
“Aku menominasikan Lily,” seru Wes. Ia berdiri, lalu meregangkan tubuh.
“Andy dan Lily.”
“Ya, Andy dan Lily.”
“Aku mau Kyle,” ujar Andy cepat.
“Kalau begitu aku mau Ian,” jawab Lily.
“Jared.”
“Brandt.”
Jamie bangkit, lalu berdiri berjingkat, berusaha tampak lebih tinggi.
“Paige.”
“Heidi.”
“Aaron.”
“Wes.”
Pemanggilan nama-nama berlanjut. Jamie berseri-seri ketika Lily memilihnya sebelum setengah jumlah orang dewasa terpilih.
Bahkan Maggie dan Jeb dipilih untuk memperkuat tim. Jumlahnya genap, sampai Lucina kembali bersama Jared, dengan kedua anak laki-lakinya melompat-lompat gembira. Jared memegang bola sepak baru yang mengilat di tangannya; ia mengulurkan bola itu, dan Isaiah, anak yang lebih tua, melompat-lompat mencoba menjatuhkan bola itu dari tangan Jared.
“Wanda?” tanya Lily.
Aku menggelengg dan menunjuk kakiku.
“Benar. Maaf.”
Aku jago main sepak bola, gerutu Mel. Well, dulu aku seperti itu.
Aku hampir tak sanggup berjalan, ujarku mengingatkan.
“Kurasa kali iini aku tidak ikut main,” kata Ian.
“Oh, tidak,” keluh Wes. “Mereka punya Kyle dan Jared. Kami mati tanpamu.”
“Mainlah,” ujarku kepada Ian. “Aku… aku akan menghitung angkanya.”
Ian memandangku, bibirnya terkatup membentuk garis tipis kaku. “Aku sedang tidak terlalu ingin bermain.”
“Mereka memerlukanmu.”
Ian mendengus.
“Ayolah, Ian,” desak Jamie.
“Aku ingin menonton,” kataku. “Tapi akan… membosankan jika timnya berat sebelah.”
“Wanda,” desah Ian. “Kau benar-benar pembohong paling payah yang pernah kujumpai.”
Tapi Ian berdiri dan mulai meregangkan tubuh bersama Wes.
Paige menyusun tiang gawang menggunakan empat lentera.
Aku mencoba bangkit berdiri—aku berada tepat di tengah lapangan. Tak seorang pun memperhatikanku dalam cahaya suram itu. Kini atmosfer di sekeliling ruangan berubah positif, penuh antisipasi. Jeb benar. Ini yang mereka perlukan, walaupun tampak ganjil bagiku.
Aku bisa merangkak, lalu kutarik kakiku yang tidak cedera ke muka, sehingga aku berlutut menggunakan kakiku yang  cedera. Rasanya menyakitkan. Lalu aku mencoba melompat dengan kakiku yang tidak cedera. Keseimbanganku sangat buruk, berkat bobot kakiku yang cedera.
Sepasang tangan kokoh menangkapku sebelum aku jatuh terjerembap. Aku mendongak, dengan sedikit perasaan malu, untuk berterima kasih kepada Ian.
Kata-kataku tersangkut di tenggorokan ketika melihat tangan Jared-lah yang menahanku.
“Kau seharusnya bisa minta tolong,” ujarnya ramah.                                                                                                                                                                                                                             
“AKu—“ aku berdehem. “Memang seharusnya aku minta tolong. Aku tak ingin…”
“Diperhatikan?” Jared mengucapkan kata-kata itu seakan benar-benar penasaran. Taka da nada menuduh di dalamnya. Ia membantuku yang terpincang-pincang menuju  lubang masuk gua.
Aku menggeleng. “Aku tak ingin… membuat seseorang melakukan sesuatu hanya demi kesopanan, padahal mereka tak ingin melakukannya.” Penjelasanku tidak terlalu tepat, tapi sepertinya Jared memahami maksudku.
“Kurasa Jamie atau Ian takkan keberatan membantumu.”
Jared meneliti wajahku. KUsadari aku sedang tersenyum penuh sayang.
“Kau sangat peduli terhadap anak itu,” katanya.
“Ya.”
Jared mengangguk. “Dan lelaki itu?”
“Ian… Ian memercayaiku. Dia menjagaku. Dia teramat sangat baik… untuk ukuran manusia.” Hampir seperti jiwa, itulah yang ingin kukatakan. Tapi perkataan itu tidak akan terdengar seperti pujian bagi pendengar yang satu ini.
Jared mendengus. “Untuk ukuran manusia. Pembedaan itu lebih penting daripada yang kusadari.”
Ia mendudukkanku di bibir lubang masuk. Tempat itu menyerupai bangku rendah, sehingga lebih nyaman daripada lantai datar.
“Terima kasih,” ujarku. “Kau tahu, Jeb melakukan hal yang benar.”
“Aku tidak setuju dengan perkataan itu.” Nada suara Jared lebih lunak daripada kata-katanya.
“Juga terima kasih—untuk yang tadi. Kau tidak perlu membelaku.”
“Setiap kata adalah kebenaran.”
AKu menunduk memandang lantai. “Memang benar, aku takkan pernah melakukan sesuatu untuk mencederai siapa pun di sini. Secara sengaja. Maaf karena aku melukaimu ketika dating kemari. Dan Jamie. Maaf sekali.”
Jared duduk di sampingku, wajahnya serius. “Sejujurnya…” Ia bimbang. “Anak itu jadi lebih baik sejak kedatanganmu. Aku sedikit lupa bagaimana suara tawanya.”
Kini kami mendengarkan tawa itu menggema di atas tawa orang dewasa yang bernada lebih rendah.
“Terima kasih telah memberitahuku. Itu adalah… kekhawatiran terbesarku. Kuharap taka da yang kurusak secara permanen.”
“Mengapa?”                                          
Aku mendongak memandang Jared, bingung.
“Mengapa kau mencintainya?” tanya Jared. Suaranya masih penasaran, tapi tidak mendesak.
Aku menggigit bibir.
“Kau bisa mengatakannya kepadaku. AKu… aku…” Jared tak bisa menemukan kata-kata untuk menjelaskan. “Kau bisa mengatakannya kepadaku,” ulangnya.
Kupandangi kakiku ketika menjawab. “Sebagian besar karena Melanie mencintainya.” Aku tidak melirik untuk melihat apakah nama itu tidak mengejutkan Jared. “Mengingat Jamie seperti yang diingat Melanie… itu sesuatu yang sangat berpengaruh. Lalu ketika kulihat sendiri anak laki-laki itu…” Aku mengangkat bahu. “Mustahil bagiku untuk tidak mencintainya. Mencintainya adalah bagian dari susunan sel-sel ini. Sebelumnya tak kusadari betapa banyak pengaruh seorang inang terhadapku. Mungkin itu hanya karena tubuh manusia. Mungkin itu hanya karena Melanie.”
“Melanie bicara padamu?” Jared tetap menjaga ketenangan suaranya, tapi kini aku bisa mendengar  ketegangan di dalamnya.
“Ya.”
“Seberapa sering?”
“Ketika dia menginginkannya. Ketika dia tertarik.”
“Bagaimana dengan hari ini?”
“Tak banyak. Dia… sedikit marah kepadaku.”
Jared mengeluarkan tawa terkejut. “Dia marah? Mengapa?”
“Karena…” Apakah aku kembali diadili di sini? “Tak apa-apa.”
Jared mendengar kebohongan itu lagi, dan ia menghubungkannya.
“Oh, Kyle. Mel ingin Kyle dibantai.” Jared kembali tertawa. “Memang.”
“Melani bisa jadi… kejam,” ujarku setuju. Aku tersenyum, untuk memperlunak penghinaan itu.
Tapi itu bukan penghinaan bagi Jared. “Benarkah? Kok bisa?”
“Dia ingin aku melawan. Tapi aku… aku tak bisa melakukannya.  Aku bukan petarung.”
“Itu bisa kupahami.” Jared menyentuh wajahku yang berantakan dengan ujung jari. “Maaf.”
“Tidak. Siapa pun akan melakukan hal yang sama. Aku tahu bagaimana perasaanmu.”
“Kau tidak akan—“
“Seandainya aku manusia, aku akan melakukannya. Lagi pula, bukan itu yang sedang kupikirkan… Aku teringat pada Pencari.”
Jared mengejang.
Aku tersenyum, dan ia sedikit lebih tenang. “Mel ingin aku mencekiknya. Dia benar-benar membenci Pencari itu. Dan aku tidak bisa… menyalahkan Mel.”
“Pencari itu masih mencarimu. Setidaknya dia tampak seakan hendak kembali menggunakan helicopter itu.”
Aku memejamkan mata, mengepalkan tangan, dan berkonsentrasi untuk bernapas selama beberapa detik.
“Dulu aku tidak takut kepadanya,” bisikku. “AKu tidak tahu mengapa dia kini begittu menakutkan bagiku. Di mana dia?”
“Jangan khawatir. Kemarin dia hanya mondar-mandir menyusuri jalan raya. Dia tidak akan menemukanmu.”
Aku mengangguk, memaksa diriku percaya.
“Bisakah kau… bisakah kau mendengar Mel sekarang?” gumam Jared.
Aku tetap memejamkan mata. “Aku… menyadari keberadaannya. Dia mendengarkan dengan saksama.”
“Apa yang dipikirkannya?” Suara Jared hanya berupa bisikan.
Ini peluangmu, kataku kepada Melanie. Apa yang ingin kaukatakan kepada Jared?
Sekali ini  Melanie berhati-hati. Undangan ini menggelisahkannya. Mengapa? Mengapa sekarang ia memercayaimu?
Aku membuka mata, dan mendapati Jared menatap wajahku seraya menahan napas.                                                      
“Dia ingin tahu apa yang terjadi sehingga kau… sekarang berbeda. Mengapa kau memercayai kami?”
Jared berpikir sejenak. “Akumulasi dari banyak hal. Kau begitu… baik terhadap Walter. Aku tak pernah melihat orang lain, kecuali Doc, yang berbuat sebaik itu. Dan kau menyelamatkan nyawa Kyle, padahal sebagian besar kami akan membiarkannya jatuh untuk melindungi diri kami sendiri, tanpa memedulikan pembunuhan terencana. Lalu kau pembohong yang payah.” Ia tertawa sejenak. “Aku terus mencoba memandang hal-hal ini sebagai bukti adanya rencana besar. MUngkin besok aku akan terbangun dan kembali berpikir seperti itu.”
Aku dan Mel sama-sama terkesiap.
“Tapi ketika mereka mulai menyerangmu hari ini… well, kesabaranku habis. Aku bisa melihat, pada diri mereka semua, segala hal yang seharusnya taka da pada diriku. Kusadari aku sudah percaya, aku hanya bersikap keras kepala. Kejam. Kurasa aku sudah percaya sejak… well, sedikit percaya sejak malam pertama, ketika kau mengempaskan dirimu di depanku untuk menyelamatkanku dari Kyle.” Ia  tertawa, seakan tidak menganggap Kyle berbahaya. “Tapi aku lebih pintar berbohong daripada kau. Aku bahkan bisa membohongi diriku sendiri.”
“Melanie berharap kau takkan berubah pikiran. Dia khawatir kau akan melakukannya.”
Jared memejamkan mata. “Mel.”
Jantungku berdetak lebih cepat. Kegembiraan Melanie-lah yang memicunya, bukan kegembiraanku. Agaknya Jared sudah menebak betapa aku mencintainya. Setelah pertanyaan-pertanyaannya mengenai Jamie, mestinya ia mengerti.
“Katakan kepadanya… itu tidak akan terjadi.”
“Dia mendengarmu.”
“Seberapa… langsungnyakah hubungan itu?”
“Dia mendengar apa yang kudengar, melihat apa yang kulihat.”
“Merasakan apa yang kau rasakan?”
“Ya.”
Hidung Jared mengerut. Kembali ia menyentuh wajahku dengan lembut, membelainya. “Kau tidak tahu betapa menyesalnya diriku.”
Kulitku lebih panas di tempat ia menyentuhnya; panas yang bagus. Tapi kata-kata Jared membakar lebih panas daripada sentuhannya. Tentu saja penyesalannya bertambah karena ia telah melukai Melanie. Tentu saja. Itu seharusnya tidak menggangguku.
“Ayo, Jared! Ayo, main!”
Kami mendongak. Kyle memanggil Jared. Tampaknya ia benar-benar santai, seakan hidupnya tak pernah dipertaruhkan dalam pengadilan hari ini. Mungkin ia sudah tahu hasilnya akan seperti ini. Mungkin ia cepat melupakan apa saja. Tampaknya ia tidak memperhatikanku di sana, di samping Jared.   
Kusadari, untuk pertama kali, bahwa yang lain memperhatikan.
Jamie mengamati kami dengan senyum puas. Ini mungkin tampak baik baginya. Benarkah?
Apa maksudmu?
Apa yang dilihat Jamie ketika memandang kita? Keluarganya bersatu kembali?
Benarkah? Semacam itukah?
Dengan satu tambahan yang tidak dikehendaki.
Tapi ini lebih baik daripada kemarin.
Kurasa begitu…
Aku tahu, Melanie mengakui. Aku gembira Jared tahu aku ada di sini… tapi aku masih tidak suka jika ia menyentuhmu.
Dan aku sangat suka. Wajahku bergelenyar di tempat jemari Jared mengusapnya tadi. Maaf soal itu.
Aku tidak menyalahkanmu. Atau, setidaknya, aku tahu aku tidak boleh menyalahkanmu.
Terima kasih.
Jamie bukanlah satu-satunya yang mengamati.
Jeb penasaran. Senyum kecil itu berkumpul di sudut janggutnya.
Sharon dan Maggie mengamati dengan api di mata mereka. Ekspresi mereka begitu mirip, sehingga kulit muda dan rambut warna mencolok sama sekali tidak membuat Sharon tampak lebih muda dibandingkan ibunya yang beruban.
Ian waswas. Matanya tegang, dan sepertinya ia nyaris menghampiriku untuk kembali melindungiku. Untuk memastikan Jared tidak menggangguku. Aku tersenyum meyakinkannya. Ian tidak membalas senyumku, tapi menghela napas panjang.
Kurasa bukan itu penyebab kekhawatiran Ian, ujar Melanie.
“Apakah kau sedang mendengarkan, Mel?” Jared bangkit berdiri, masih mengamati wajahku.
Pertanyaannya mengalihkan perhatianku, sebelum aku bisa bertanya kepada Mel apa maksud perkataannya. “Ya.”
“Dia bilang apa?”
“Kami sedang mengamati bagaimana pendapat yang lain mengenai… perubahan pikiranmu.” Aku mengangguk kea rah bibi dan sepupu Melanie. Mereka serentak memunggungiku.
“Keras kepala,” Jared mengakui.
“Baiklah, kalau begitu,” teriak Kyle, seraya berbalik kea rah bola yang tergeletak di bawah tempat yang paling diterangi cahaya. “Kami akan memenangkan pertandingan ini tanpamu.”
“Tunggu!” Sekali lagi Jared melirik sedih kepadaku—kepada kami—lalu lari untuk mengikuti permainan.
Aku bukan pencatat angka terbaik. Terlalu gelap untuk melihat bolanya dari tempat dudukku. Bahkan terlalu gelap untuk melihat para pemain dengan baik saat mereka tidak berada di bawah cahaya. Aku mulai menghitung berdasarkan reaksi Jamie. Teriakan kemenangannya ketika timnya mencetak angka, erangannya ketika tim lawan mencetak angka. Jumlah erangannya lebih banyak daripada teriakan kemenangannya.
Semua ikut bermain. Maggie menjadi penjaga gawang untuk tim Andy, dan Jeb jadi penjaga gawang untuk tim Lily. Mereka sama-sama hebat. Aku bisa melihat siluet mereka dalam cahaya lampu-lampu tiang gawang, bergerak lincah seakan usia mereka puluhan tahun lebih muda. Jeb tidak takut menjatuhkan diri ke lantai untuk menggagalkan gol, tapi Maggie lebih efektif tanpa harus melakukan tindakan-tindakan ekstrem semacam itu. Perempuan tua itu seperti magnet bagi bola yang tak terlihat. Setiap kali Ian atau Wes melayangkan tendangan… duk! Bola mendarat di tangan Maggie.
Trudy dan Paige berhenti bermain setelah sekitar setengah jam. Mereka melewatiku waktu berjalan keluar, seraya mengobrol gembira. Tampaknya mustahil kami memulai pagi ini dengan pengadilan, tapi aku lega karena semua tidak berubah drastis.
Kedua perempuan itu tidak pergi lama. Mereka kembali dengan tangan penuh kotak. Granola-granola batangan—yang berisi buah. Permainan berhenti. Jeb meneriakkan istirahat setengah permainan, dan semua bergegas menyantap sarapan.
Makanan itu dibagikan di garis tengah. Mulanya semua berkerumun dan saling berebut.
“Ini, Wanda,” ujar Jamie, seraya merunduk keluar dari kerumunan. Tangannya penuh granola batangan, dan botol-botol air minum terseip di bawah kedua lengannya.
“Terima kasih. Kau bersenang-senang?”
“Ya! Kalau saja kau bisa ikut bermain.”
“Lain kali,” ujarku.
“Ini…” Ian berada di sana, kedua tangannya penuh granola batangan.
“Aku duluan,” kata Jamie kepadanya.
“Oh,” ujar Jared, yang muncul di sisi lain Jamie. Ia juga membawa terlalu banyak granola batangan untuk satu orang.
Ian dan Jared berpandangan untuk waktu lama.
“Mana makanannya?” desak Kyle. Ia berdiri di samping kotak kosong, kepalanya berputar berkeliling, mencari tersangka pencurinya.
“Tangkap,” ujar Jared. Ia melemparkan granola-granola batangan itu satu per satu, kuat-kuat, seakan melempar pisau.
Kyle menangkap semuanya dengan mudah, lalu lari mendekat untuk melihat apakah Jared masih menyembunyikan beberapa.
“Ini,” ujar Ian. Ia menyorongkan setengah bawaannya kepada kakaknya tanpa memandang Kyle. “Sekarang pergilah.”
Kyle mengabaikannya. Untuk pertama kali hari ini ia memandangku, menunduk menatapku di tempat dudukku. Selaput pelangi matanya berwarna hitam diterangi cahaya di belakangnya. Aku tak bisa membaca ekspresi wajahnya.
Aku menciut, dan menahan napas ketika tulang-tulang rusukku memprotes.
Jared dan Ian berdiri berdampingan di hadapanku seperti tirai panggung pertunjukan.
“Dengarkan kata-kata Ian,” ujar Jared.
“Bisakah aku mengucapkan sesuatu lebih dulu?” tanya Kyle. Ia mengintip lewat celah di antara Jared dan Ian.
Keduanya tidak menjawab.
“Aku tidak menyesal,” ujar Kyle kepadaku. “Aku masih merasa perbuatanku benar.”
Ian mendorong kakaknya. Kyle sempoyongan mundur, tapi kembali melangkah maju.
“Tunggu, aku belum selesai.”
“Ya, kau sudah selesai,” ujar Jared. Tangannya terkepal, kulit di buku-buku jarinya memutih.
Kini semua orang memperhatikan. RUangan hening, semua kegembiraan bermain lenyap.
“Tidak, belum selesai.” Kyle mengangkat kedua tangannya sebagai isyarat menyerah, lalu kembali bicara kepadaku. “Menurutku aku tidak bersalah, tapi kau memang menyelamatkan nyawaku. Aku tidak tahu mengapa, tapi kau melakukannya. Jadi, kupikir, nyawa dibalas dengan nyawa. Aku tidak akan membunuhmu. Kubayar utangku dengan cara itu.”
“Kau bajingan tolol,” ujar Ian.
“Siapa  yang naksir cacing, DIk?” Kau hendak menyebutku tolol?”
Ian mengangkat tinjunya, lalu mencondongkan tubuh ke depan.
“Akan kukatakan mengapa,” kataku. Kubuat suaraku lebih keras daripada yang kuinginkan. Itu menghasilkan dampak yang kuinginkan. Ian, Jared, dan Kyle berbalik menatapku. Sejenak mereka melupakan perkelahian.
Aku jadi gugup. Aku berdehem. “Aku tidak membiarkanmu jatuh karena… karena aku tidak sepertimu. Aku tidak mengatakan aku tidak… seperti manusia. Karena ada orang-orang lain di sini yang akan melakukan hal yang sama. Ada orang-orang baik dan bijak di sini. Orang-orang seperti adikmu, dan Jeb, dan Doc… aku mengatakan bahwa aku tidak seperti dirimu secara pribadi.”
Kyle menatapku sejenak, lalu tergelak. “Aduh,” katanya, masih tertawa. Lalu ia berbalik pergi. Pesannya sudah tersampaikan, dan ia pergi untuk mengambil air minum. “Nyawa dibalas dengan nyawa,” teriaknya, seraya menoleh ke belakang.
Aku tak yakin apakah aku mempercayainya. Sama sekali tak yakin. Manusia adalah pembohong yang baik.










The Host- Bab 35

0 comments
DIADILI



Aku mengerang. Kepalaku serasa berputar-putar dan mau lepas. Perutku bergolak memualkan.
“Akhirnya.” Seseorang bergumam lega. Ian. Tentu saja. “Lapar?”
Kurenungkan perkataannya, lalu tanpa kuinginkan aku bersendawa.
“Oh. Lupakan saja. Maaf. Lagi. Kami harus melakukannya. Orang-orang berubah… paranoid ketika kami membawamu keluar.”
“Tidak apa-apa,” desahku.
“Mau minum?”
“Tidak.”
Aku membuka mata, mencoba memusatkan pandangan dalam gelap. Aku bisa melihat dua bintang lewat celah-celah di atas kepala. Masih malam. Atau sudah malam lagi, siapa yang tahu?
“Aku di mana?” tanyaku. Bentuk celah-celah itu tak kukenal.
Aku bersumpah tak pernah menatap langit-langit ini sebelumnya.
“Kamarmu,” jawab Ian.
Kuteliti wajahnya dalam gelap, tapi aku hanya bisa melihat bentuk hitam kepalanya. Dengan jemari kuraba permukaan tempatku berbaring; benar-benar Kasur. Ada bantal di bawah kepala. Tanganku yang meraba-raba menemukan tangan Ian, dan ia menangkap jemariku sebelum aku bisa menariknya.
“Sebenarnya kamar siapa ini?”
“Kamarmu.”
“Ian…”
“Dulunya kamar kami—kamarku bersama Kyle. Kyle… ditahan di rumah sakit sampai segalanya diputuskan. Aku bisa pindah ke kamar Wes.”
“Aku takkan mengambil kamarmu. Dan apa maksudmu dengan sampai segalanya diputuskan?”
“Sudah kubilang, akan ada pengadilan.”
“Kapan?”
“Mengapa kau ingin tahu?”
“Karena, jika kalian hendak menyelenggarakannya, aku harus ada di sana. Untuk menjelaskan.”
“Untuk berbohong?”
“Kapan?” tanyaku lagi.
“Cahaya pertama. Aku tidak akan membawamu ke sana.”
“Kalau begitu aku akan ke sana sendiri. Aku bisa berjalan setelah kepalaku berhenti berputar-putar.”
“Kau bersungguh-sungguh, bukan?”
“Ya. Tidak adil jika kalian tidak membiarkanku bicara.”
Ian mendesah. Ia menjatuhkan tangannya dan perlahan-lahan bangkit berdiri. Aku bisa mendengar sendi-sendinya berkeretak ketika ia bangkit. Berapa lama ia duduk di dalam gelap, menungguku terbangun? “Aku akan segera kembali. Kau mungkin tidak lapar, tapi aku kelaparan.”
“Kau mengalami malam yang panjang.”
“Ya.”
“Jika hari sudah terang, aku takkan duduk di sini menunggumu.”
Ian tergelak tanpa menunjukkan rasa geli. Aku yakin itu benar. Jadi aku akan kembali sebelum itu, dan aku akan membantu membawamu ke tempat yang kautuju.”
Ian menyingkirkan salah satu pintu yang menutupi lubang masuk ke guanya. Ia melangkah ke luar, lalu meletakkan pintu itu ke tempatnya lagi. Aku memberengut. Akan sulit menggeser pintu itu dengan satu kaki. Kuharap Ian benar-benar kembali.
Sementara menunggu Ian, aku menatap dua bintang yang bisa kulihat, dan kubiarkan kepalaku perlahan-lahan berubah tenang. Aku benar-benar tidak menyukai obat-obatan manusia. Ugh. Tubuhku sakit, tapi guncangan-guncangan di kepalaku lebih menyakitkan lagi.
Waktu bergeser lalmbat, tapi aku tidak tertidur. Aku sudah tidur lebih dari 24 jam. Mungkin aku juga lapar. Aku harus menunggu sampai perutku tenang, sebelum bisa memastikan.
Ian kembali sebelum hari terang, persis seperti janjinya.
“Merasa lebih enak?” tanyanya, ketika melangkah melewati pintu.
“Kurasa begitu. Aku belum menggerakkan kepala.”
“Menurutmu, siapa yang bereaksi terhadap morfin itu? Kau atau tubuh Melanie?”
“Mel. Dia bereaksi buruk terhadap sebagian besar obat penghilang nyeri. Dia tahu itu ketika pergelangan tangannya patah sepuluh tahun yang lalu.”
Sejenak Ian merenungkan perkataanku. “Rasanya… aneh. Menghadapi dua orang sekaligus.”
“Aneh,” ujarku setuju.
“Kau sudah lapar?”
Aku tersenyum. “Kurasa aku mencium bau roti. Ya, kurasa perutku sudah melewati saat terburuknya.”
“Aku memang berharap kau akan berkata seperti itu.”
Bayang-bayang Ian duduk di sampingku. Ia mencari tanganku, lalu membuka jemariku dan meletakkan bentuk yang sudah kukenal itu di sana.
“Bantu aku duduk?” pintaku.
Ian merangkulkan lengannya dengan hati-hati di bahuku, lalu mendudukkanku dengan gerak kaku untuk meminimalkan rasa sakit di sisi tubuhku. Aku bisa merasakan sesuatu yang asing di sana, di kulitku. Kaku dan ketat.
“Terima kasih,” ujarku, sedikit terengah. Kepalaku berputar pelan. Kusentuh sisi tubuhku dengan tanganku yang bebas. Sesuatu melekat di kulitku, di balik kemejaku. “Apakah rusukku patah?”
“Doc tidak yakin. Dia melakukan yang terbaik.”
“Dia berusaha begitu keras.”
“Memang.”
“Aku merasa tidak enak… karena pernah tidak menyukainya,” ujarku mengakui.
Ian tertawa. “Tentu saja kau tidak menyukainya. Aku heran jika kau bisa menyukai salah seorang dari kami.”
“Perkataanmu terbalik,” gumamku, lalu kubenamkan gigiku ke roti yang keras. Aku mengunyah secara mekanis, lalu menelan. Kuletakkan roti itu ketika menunggunya menerpa perutku.
“Tidak terlalu mengundang selera. Aku tahu,” ujar Ian.
Aku mengangkat bahu. “Hanya menguji—untuk mengetahui apakah mualnya sudah benar-benar hilang.”
“Mungkin sesuatu yang lebih mengundang selera…”
Aku memandang Ian, penasaran, tapi tak bisa melihat wajahnya. Aku mendengar suara gemersik tajam dan suara robekan… lalu bisa mencium baunya, dan aku mengerti.
“Cheetos!” teriakku. “Benarkah? Untukku?”
Sesuatu menyentuh bibirku, dan kukunyah camilan yang tawarkan Ian kepadaku.
“Aku memimpi-mimpikannya,” desahku, seraya mengunyah.
Perkataanku membuat Ian tertawa. Diletakkannya kemasan itu di tanganku.
Kuhabiskan isi kemasan kecil itu dengan cepat, lalu kuhabiskan rotiku, dibumbui rasa keju yang masih tertinggal di mulutku. Ian memberiku sebotol air sebelum aku memintanya.
“Terima kasih. Kau tahu, bukan hanya untuk Cheetos-nya. Tapi untuk begitu banyak hal.”
“Sama-sama, Wanda.”
Kutatap mata biru gelap Ian, mencoba memahami semua yang dikatakannya lewat kalimat itu. Sepertinya ada sesuatu yang lebih dari sekedar kesopanan dalam kata-katanya. Lalu kusadari aku bisa melihat warna mata Ian. Cepat-cepat aku melirik ke celah-celah di atasku. Bintang – bintang sudah menghilang, dan langit berubah kelabu pucat. Fajar menjelang. Cahaya pertama.
“Kau yakin harus melakukannya?” tanya Ian. Tangannya setengah terulur, seakan hendak mengangkatku.
Aku mengangguk. “Kau tak perlu membopongku. Kakiku sudah lebih baik.”
“Akan kita lihat.”
Ian membantuku berdiri, membiarkan lengannya memeluk pinggangku, lalu merangkulkan lenganku di lehernya.
“Sekarang hati-hati. Bagaimana rasanya?”Aku melompat maju satu langkah. Rasanya sakit, tapi aku bisa melakukannya. “Hebat. Ayo pergi.”
Kurasa Ian terlalu menyukaimu.
Terlalu? Aku terkejut mendengar suara Melanie begitu jelas. Belakangan ia hanya bicara seperti itu ketika Jared berada di sini.
AKu juga ada di sini. Apakah ia bahkan peduli?
Tentu saja ia peduli. Ian memercayai kita, melebihi siapa pun, selain Jamie dan Jeb.
Bukan itu maksudku.
Apa maksudmu?
Tapi Melanie sudah pergi.
Perlu waktu lama bagi kami. Aku terkejut menyadari betapa jauh kami harus pergi. Kupikir kami akan pergi ke plaza utama atau dapur—tempat-tempat berkumpul yang biasa. Tapi kami berjalan melewati ladang timur, sampai akhirnya tiba di gua gelap gulita besar yang disebut Jeb ruang bermain. Aku belum pernah ke sana sejak tur pertamaku. Bau menyengat mata air sulfur menyambutku.
Tidak seperti sebagian besar ruang gua di sini, ruang bermain jauh lebih luas jika dibandingkan tingginya. Kini aku bisa melihat ruangan itu, karena lampu-lampu biru suram tergantung di langit-langit, dan bukannya tergeletak di lantai. Langit-langitnya hanya beberapa puluh sentimeter di atas kepalaku; tinggi langit-langit normal sebuah rumah. Tapi aku bahkan tak bisa melihat dinding-dindingnya, yang sangat jauh dari lampu-lampu itu. Aku tak bisa melihat mata air berbau busuk itu, yang tersembunyi di pojok yang jauh, tapi aku bisa mendengarnya menetes dan berdeguk.
Kyle duduk di tempat yang paling diterangi cahaya. Lengannya memeluk kaki. Wajahnya seperti topeng kaku. Ia tidak mendongak ketika Ian membantuku berjalan masuk.
Kyle diapit Jared dan Doc yang berdiri dengan lengan bebas dan siaga di sisi tubuh mereka. Seakan mereka… pengawal.
Jeb duduk di samping Jared, dengan senapan tersampir di bahu. Ia tampak santai, tapi aku tahu betapa cepat hal itu bisa berubah. Jamie meletakkan tangannya yang bebas… Tidak, Jeb memegangi pergelangan tangan anak itu, dan Jamie sepertinya tidak merasa senang. Tapi ketika melihatku masuk, Jamie tersenyum dan melambai. Ia menghela napas panjang dan memandang Jeb tajam.
Jeb melepaskan tangan Jamie.
Sharon berdiri diapit Doc dan BIbi Maggie.
Ian menarikku ke tepi kegelapan yang mengeliingi adegan itu. Kami tidak sendirian. Aku bisa melihat sosok-sosok lain, tapi tak bisa melihat wajah mereka.
Rasanya aneh. Sepanjang jalan Ian menopang sebagian besar bobotku dengan mudah.  Tapi kini tampaknya ia kelelahan. Lengan yang memeluk pinggangku mengendur. Aku terhuyung dan melompat maju sebisa mungkin, sampai Ian menemukan tempat yang ia inginkan. Ia mendudukkanku di lantai, lalu duduk di sampingku.
“Aduh,” kudengar seseorang berbisik.
Aku menoleh, dan samar-samar melihat Trudy. Ia beringsut mendekati kami, lalu Geoffrey dan Heath mengikuti..
“Kau tampak payah,” ujarnya kepadaku. “Seberapa parah lukamu?”
Aku mengangkat bahu. “Aku baik-baik saja.” Aku mulai bertanya-tanya, apakah tadi Ian sengaja membiarkanku berjuang, untuk menunjukkan luka-lukaku—untuk membuatku bersaksi tanpa kata-kata melawan Kyle. Aku memberengut melihat wajah polosnya.
Lalu Wes dan Lily tiba, dan duduk bersama kelompok sekutu kecilku. Brandt masuk beberapa detik kemudian, lalu Heidi, Andy, dan Paige. Aaron yang terakhir.
“Sudah lengkap,” ujarnya. “Lucina menemani anak-anaknya. Dia tak ingin mereka berada di sini—dia meminta kita melanjutkan tanpanya.”
Aaron duduk di samping Andy. Sejenak suasana hening.
“Oke kalau begitu,” ujar Jeb dengan suara keras, agar didengar semua orang. “Begini prosedurnya: pemungutan suara secara langsung berdasarkan mayoritas. Seperti biasa, aku akan membuat keputusanku sendiri jika mendapat masalah dengan mayoritas, karena ini—“
“Adalah rumahku,” sela beberapa suara serentak. Seseorang tergelak, tapi langsung berhenti. Ini tidak lucu. Seorang manusia sedang diadili karena mencoba membunuh mahluk asing. Seharusnya ini hari yang mengerikan bagi mereka semua.
“Siapa yang ingin bicara menentang Kyle?” tanya Jeb.
Ian hendak berdiri.                                                                                
“Tidak!” bisikku, menarik sikunya.
Ian menyingkirkan tanganku dan bangkit berdiri.
“Ini cukup sederhana,” ujar Ian. Aku ingin melompat dan membungkam mulutnya dengan tanganku, tapi kurasa aku tidak bisa bangkit tanpa bantuan. “Kakakku sudah mendapat peringatan. Dia benar-benar sudah memahami peraturan Jeb soal ini. Wanda anggota komunitas kita—peraturan dan perlindungan yang sama berlaku baginya, seperti juga bagi kita semua. Jeb mengatakan dengan jelas kepada Kyle bahwa, kalau dia tidak bisa tinggal bersama Wanda di sini, dia harus pergi. Kyle memutuskan untuk tetap tinggal. Sejak dulu dia sudah tahu hukuman atas pembunuhan di tempat ini.”
“Makhluk itu masih hidup,” gerutu Kyle.
“Itulah sebabnya aku tidak menuntut kematianmu,” bentak Ian.
“Tapi kau tidak bisa lagi tinggal di sini. Tidak bisa, jika pada dasarnya kau pembunuh.”
Sejenak Ian menatap kakaknya, lalu duduk kembali di tanah di sampingku.
“Tapi Kyle bisa tertangkap, sedangkan kita sama sekali tak tahu,” protes Brandt, seraya bangkit berdiri. “Dia akan menuntun mereka kemari, dan kita tidak akan menerima peringatan apa pun.”
Terdengar gumaman di seluruh ruangan.
Kyle melirik Brandt. “Mereka takkan pernah menangkapku hidup-hidup.”
“Kalau begitu hukuman mati saja,” gumam seseorang, serentak dengan perkataan Andy, “Kau tidak bisa menjamin hal itu.”
“Satu per satu,” Jeb mengingatkan.
“Aku pernah bertahan hidup di luar,” ujar Kyle marah.
Suara lain terdengar dari gelap. “Beresiko.” Aku tidak bisa mengenali pemilik suara yang hanya mengeluarkan bisikan mendesis itu.
Lalu terdengar suara lain. “Apa salah Kyle? Tak ada.”
Jeb maju menghampiri suara itu, matanya melotot. “Peraturanku.”
“Makhluk itu bukan salah satu dari kita,” protes orang lain.
Ian hendak bangkit berdiri lagi.
“Hei!” tukas Jared. Suaranya begitu keras sampai semua terlompat. “Wanda tidak sedang diadili di sini! Adakah yang punya keluhan konkret terhadapnya—terhadap Wanda sendiri? Kalau begitu, mintalah diadakan pengadilan lain. Tapi kita semua tahu, dia belum pernah mencelakai satu orang pun di sini. Sebenarnya dia malah menyelamatkan nyawa Kyle.” Jared mengarahkan jarinya ke punggung Kyle. Bahu Kyle merosot, seakan merasakan tusukan itu. “Hanya beberapa detik setelah Kyle mencoba melempar Wanda ke sungai, Wanda mempertaruhkan nyawa untuk menghindarkannya dari kematian menyakitkan yang sama. Wanda pasti tahu seandainya Kyle dibiarkan jatuh, dia akan lebih aman di sini. Tapi toh dia menyelamatkan Kyle juga. Adakah di antara kalian yang bersedia melakukan hal yang sama—menyelamatkan musuh kalian? Kyle mencoba membunuh Wanda, tapi apakah Wanda bicara menentangnya?”
Aku merasakan semua mata di ruang gelap itu memandangku ketika Jared memberiku isyarat untuk maju.
“Maukah kau bicara menentangnya, Wanda?”
Dengan terbelalak aku menatap Jared. Aku terpaku karena ia bicara mewakiliku, karena ia bicara kepadaku, karena ia menggunakan namaku. Melanie juga terkejut, ia terbagi dua. Ia sangat senang melihat kebaikan di wajah Jared ketika memandang kami, melihat kelembutan di mata Jared yang telah begitu lama hilang. Tapi namakulah yang diucapkan lelaki itu…
Perlu beberapa detik sebelum aku menemukan suaraku.
“Ini semua salah paham,” bisikku. “Kami sama-sama terjatuh ketika lantainya runtuh. Hanya itu yang terjadi.” Aku berharap bisikan itu semakin menyulitkan mereka mendeteksi kebohongan di dalam suaraku. Tapi begitu aku selesai bicara, Ian tergelak. Aku menyikutnya, tapi itu tidak menghentikannya.
Jared benar-benar tersenyum kepadaku. “Kalian lihat sendiri. DIa bahkan mencoba berbohong untuk membela Kyle.”
“Mencoba adalah kata yang perlu ditekankan disini,” imbuh Ian.
“Siapa yang bilang makhluk itu berbohong? Siapa yang bisa membuktikannya?” tanya Maggie kasar. Ia melangkah maju ke tempat kosong di samping Kyle. “Siapa yang bisa membuktikan itu adalah kebenaran yang terdengar sangat palsu di bibirnya?”
“Mag—“ Jeb memulai.
“Tutup mulutmu, Jebediah—aku sedang bicara. Taka da alasan bagi kita untuk berada di sini. Tak ada manusia yang diserang. Taka da yang mengeluhkan pelanggaran membahayakan. Ini membuang-buang waktu kita semua.”
“Aku setuju itu,” imbuh Sharon, suaranya bening dan lantang. Doc melontarkan pandangan terluka.
Trudy melompat berdiri. “Kita tidak bisa menampung pembunuh—dan menunggunya memperoleh kesuksesan!”
“Pembunuh adalah istilah subjektif,” desis Maggie. “Aku hanya menganggapnya pembunuh jika ada manusia yang terbunuh.”
Kurasakan lengan Ian memeluk bahuku. Tak kusadari tubuhku gemetar, hingga Ian yang tidak bergerak merapat pada tubuhku.
“Manusia juga istilah subjektif, Magnolia,” ujar Jared, memelototi Maggie. “Kurasa definisi itu mencakup semacam kasih sayang, mencakup sedikit belas kasih.”
“Ayo, kita adakah pemungutan suara,” ujar Sharon, sebelum ibunya bisa menjawab Jared. “Angkat tanganmu jika kau menganggap Kyle harus diizinkan tinggal di sini, tanpa dijatuhi hukuman atas… kesalahpahaman itu.” Ia tidak melirikku, tapi melirik Ian di sampingku, ketika memakai kata yang kugunakan.
Tangan-tangan teracung. Kuamati wajah Jared ketika ekspresinya berubah marah.
Aku berjuang mengangkat tangan, tapi Ian mempererah pegangannya di kedua lenganku, dan mengeluarkan suara jengkel lewat hidungnya. Kuangkat telapak tanganku setinggi mungkin untuk melakukannya. Tapi akhirnya suaraku tidak diperlukan.
Jeb menghitung keras-keras. “Sepuluh… lima belas… dua puluh… dua puluh tiga. Oke, itu jelas mayoritas.”
Aku tidak memandang sekeliling untuk melihat siapa yang memilih siapa. Cukuplah bahwa, di pojok mungilku, semua lengan tersilang erat di dada dan semua mata menatap Jeb dengan ekspresi penuh harap.
Jamie berjalan meninggalkan Jeb untuk menjejalkan diri di antara aku dan Trudy. Ia memelukku, di bawah lengan Ian.
“Mungkin jiwa-jiwa kalian benar tentang kami,” ujar Jamie, cukup keras bagi sebagian besar orang untuk mendengar suara lantangnya yang bernada tinggi. “Sebagian besar manusia tidak lebih baik daripada—“
“Hus!” desisku kepadanya.
“Oke,” ujar Jeb. Semua terdiam. Jeb menundukk memandang Kyle, lalu memandangku, lalu memandang Jared. “Oke, aku cenderung setuju dengan mayoritas dalam hal ini.”
“Jeb—“ ujar Jared dan Ian serentak.
“Rumahku, peraturanku,” Jeb mengingatkan. “Jangan pernah lupakan itu. Jadi, dengarkan aku, Kyle. Dan kurasa kau sebaiknya juga mendengarkan, Magnolia. Siapa pun yang mencoba mencederai Wanda lagi, dia tidak akan diadili. Dia akan dimakamkan.” Jeb menepuk gagang senapannya sebagai penegasan.
Aku terkesiap.
Magnolia melotot penuh kebencian pada saudara laki-lakinya. Kyle mengangguk, seakan menerima persyaratan itu.
Jeb memandang ke penonton yang terbagi secara tidak merata, menatap mata setiap anggota, kecuali mata anggota kelompok kecil di sampingku.
“Pengadilan selesai,” ujarnya mengumumkan. “Siapa yang mau main?”



Jual Nugget dan Sosis Sayur

Jual Nugget dan Sosis Sayur
Pemesanan via email : lwati111@gmail.com

The Host- Bab 36

0 comments

 




DIPERCAYA

Kelompok manusia itu berubah tenang, dan gumaman lebih antusias terdengar dari seluruh tempat mereka duduk membentuk setengah lingkaran.
Aku memandang Jamie, yang mengerutkan bibir dan mengangkat bahu. “Jeb hanya mencoba mengembalikan segala sesuatunya agar normal lagi. Beberapa hari ini keadaan sangat buruk. Pemakaman Walter…”
Aku meringis.
Kulihat Jeb nyengir pada Jared. Setelah sejenak menolak, Jared menghela napas dan memutar bola mata pada lelaki tua aneh itu. Ia berbalik dan berjalan cepat meninggalkan gua.
“Jared punya bola baru?” tanya seseorang.
“Asyik,” ujar Wes di sampingku.
“Bermain,” gumam Trudy, seraya menggeleng.
“Jika itu bisa meredakan ketegangan,” jawab Lily pelan. Lalu mengangkat bahu.
Suara mereka pelan, di dekatku, tapi aku juga bisa mendengar suara-suara lain yang lebih keras.
“Kali ini berhati-hatilah dengan bolanya,” ujar Aaron kepada Kyle. Ia berdiri di samping Kyle, menawarkan tangannya.
Kyle meraih tangan yang ditawarkan dan perlahan-lahan bangkit berdiri. Setelah berdiri, kepalanya nyaris menyundul lentera-lentera yang bergantungan.
“Bola terakhir kurangg bagus,” ujar Kyle. Ia nyengir pada lelaki yang lebih tua itu. “Secara structural cacat.”
“Aku menominasikan Andy sebagai kapten,” teriak seseorang.
“Aku menominasikan Lily,” seru Wes. Ia berdiri, lalu meregangkan tubuh.
“Andy dan Lily.”
“Ya, Andy dan Lily.”
“Aku mau Kyle,” ujar Andy cepat.
“Kalau begitu aku mau Ian,” jawab Lily.
“Jared.”
“Brandt.”
Jamie bangkit, lalu berdiri berjingkat, berusaha tampak lebih tinggi.
“Paige.”
“Heidi.”
“Aaron.”
“Wes.”
Pemanggilan nama-nama berlanjut. Jamie berseri-seri ketika Lily memilihnya sebelum setengah jumlah orang dewasa terpilih.
Bahkan Maggie dan Jeb dipilih untuk memperkuat tim. Jumlahnya genap, sampai Lucina kembali bersama Jared, dengan kedua anak laki-lakinya melompat-lompat gembira. Jared memegang bola sepak baru yang mengilat di tangannya; ia mengulurkan bola itu, dan Isaiah, anak yang lebih tua, melompat-lompat mencoba menjatuhkan bola itu dari tangan Jared.
“Wanda?” tanya Lily.
Aku menggelengg dan menunjuk kakiku.
“Benar. Maaf.”
Aku jago main sepak bola, gerutu Mel. Well, dulu aku seperti itu.
Aku hampir tak sanggup berjalan, ujarku mengingatkan.
“Kurasa kali iini aku tidak ikut main,” kata Ian.
“Oh, tidak,” keluh Wes. “Mereka punya Kyle dan Jared. Kami mati tanpamu.”
“Mainlah,” ujarku kepada Ian. “Aku… aku akan menghitung angkanya.”
Ian memandangku, bibirnya terkatup membentuk garis tipis kaku. “Aku sedang tidak terlalu ingin bermain.”
“Mereka memerlukanmu.”
Ian mendengus.
“Ayolah, Ian,” desak Jamie.
“Aku ingin menonton,” kataku. “Tapi akan… membosankan jika timnya berat sebelah.”
“Wanda,” desah Ian. “Kau benar-benar pembohong paling payah yang pernah kujumpai.”
Tapi Ian berdiri dan mulai meregangkan tubuh bersama Wes.
Paige menyusun tiang gawang menggunakan empat lentera.
Aku mencoba bangkit berdiri—aku berada tepat di tengah lapangan. Tak seorang pun memperhatikanku dalam cahaya suram itu. Kini atmosfer di sekeliling ruangan berubah positif, penuh antisipasi. Jeb benar. Ini yang mereka perlukan, walaupun tampak ganjil bagiku.
Aku bisa merangkak, lalu kutarik kakiku yang tidak cedera ke muka, sehingga aku berlutut menggunakan kakiku yang  cedera. Rasanya menyakitkan. Lalu aku mencoba melompat dengan kakiku yang tidak cedera. Keseimbanganku sangat buruk, berkat bobot kakiku yang cedera.
Sepasang tangan kokoh menangkapku sebelum aku jatuh terjerembap. Aku mendongak, dengan sedikit perasaan malu, untuk berterima kasih kepada Ian.
Kata-kataku tersangkut di tenggorokan ketika melihat tangan Jared-lah yang menahanku.
“Kau seharusnya bisa minta tolong,” ujarnya ramah.                                                                                                                                                                                                                             
“AKu—“ aku berdehem. “Memang seharusnya aku minta tolong. Aku tak ingin…”
“Diperhatikan?” Jared mengucapkan kata-kata itu seakan benar-benar penasaran. Taka da nada menuduh di dalamnya. Ia membantuku yang terpincang-pincang menuju  lubang masuk gua.
Aku menggeleng. “Aku tak ingin… membuat seseorang melakukan sesuatu hanya demi kesopanan, padahal mereka tak ingin melakukannya.” Penjelasanku tidak terlalu tepat, tapi sepertinya Jared memahami maksudku.
“Kurasa Jamie atau Ian takkan keberatan membantumu.”
Jared meneliti wajahku. KUsadari aku sedang tersenyum penuh sayang.
“Kau sangat peduli terhadap anak itu,” katanya.
“Ya.”
Jared mengangguk. “Dan lelaki itu?”
“Ian… Ian memercayaiku. Dia menjagaku. Dia teramat sangat baik… untuk ukuran manusia.” Hampir seperti jiwa, itulah yang ingin kukatakan. Tapi perkataan itu tidak akan terdengar seperti pujian bagi pendengar yang satu ini.
Jared mendengus. “Untuk ukuran manusia. Pembedaan itu lebih penting daripada yang kusadari.”
Ia mendudukkanku di bibir lubang masuk. Tempat itu menyerupai bangku rendah, sehingga lebih nyaman daripada lantai datar.
“Terima kasih,” ujarku. “Kau tahu, Jeb melakukan hal yang benar.”
“Aku tidak setuju dengan perkataan itu.” Nada suara Jared lebih lunak daripada kata-katanya.
“Juga terima kasih—untuk yang tadi. Kau tidak perlu membelaku.”
“Setiap kata adalah kebenaran.”
AKu menunduk memandang lantai. “Memang benar, aku takkan pernah melakukan sesuatu untuk mencederai siapa pun di sini. Secara sengaja. Maaf karena aku melukaimu ketika dating kemari. Dan Jamie. Maaf sekali.”
Jared duduk di sampingku, wajahnya serius. “Sejujurnya…” Ia bimbang. “Anak itu jadi lebih baik sejak kedatanganmu. Aku sedikit lupa bagaimana suara tawanya.”
Kini kami mendengarkan tawa itu menggema di atas tawa orang dewasa yang bernada lebih rendah.
“Terima kasih telah memberitahuku. Itu adalah… kekhawatiran terbesarku. Kuharap taka da yang kurusak secara permanen.”
“Mengapa?”                                          
Aku mendongak memandang Jared, bingung.
“Mengapa kau mencintainya?” tanya Jared. Suaranya masih penasaran, tapi tidak mendesak.
Aku menggigit bibir.
“Kau bisa mengatakannya kepadaku. AKu… aku…” Jared tak bisa menemukan kata-kata untuk menjelaskan. “Kau bisa mengatakannya kepadaku,” ulangnya.
Kupandangi kakiku ketika menjawab. “Sebagian besar karena Melanie mencintainya.” Aku tidak melirik untuk melihat apakah nama itu tidak mengejutkan Jared. “Mengingat Jamie seperti yang diingat Melanie… itu sesuatu yang sangat berpengaruh. Lalu ketika kulihat sendiri anak laki-laki itu…” Aku mengangkat bahu. “Mustahil bagiku untuk tidak mencintainya. Mencintainya adalah bagian dari susunan sel-sel ini. Sebelumnya tak kusadari betapa banyak pengaruh seorang inang terhadapku. Mungkin itu hanya karena tubuh manusia. Mungkin itu hanya karena Melanie.”
“Melanie bicara padamu?” Jared tetap menjaga ketenangan suaranya, tapi kini aku bisa mendengar  ketegangan di dalamnya.
“Ya.”
“Seberapa sering?”
“Ketika dia menginginkannya. Ketika dia tertarik.”
“Bagaimana dengan hari ini?”
“Tak banyak. Dia… sedikit marah kepadaku.”
Jared mengeluarkan tawa terkejut. “Dia marah? Mengapa?”
“Karena…” Apakah aku kembali diadili di sini? “Tak apa-apa.”
Jared mendengar kebohongan itu lagi, dan ia menghubungkannya.
“Oh, Kyle. Mel ingin Kyle dibantai.” Jared kembali tertawa. “Memang.”
“Melani bisa jadi… kejam,” ujarku setuju. Aku tersenyum, untuk memperlunak penghinaan itu.
Tapi itu bukan penghinaan bagi Jared. “Benarkah? Kok bisa?”
“Dia ingin aku melawan. Tapi aku… aku tak bisa melakukannya.  Aku bukan petarung.”
“Itu bisa kupahami.” Jared menyentuh wajahku yang berantakan dengan ujung jari. “Maaf.”
“Tidak. Siapa pun akan melakukan hal yang sama. Aku tahu bagaimana perasaanmu.”
“Kau tidak akan—“
“Seandainya aku manusia, aku akan melakukannya. Lagi pula, bukan itu yang sedang kupikirkan… Aku teringat pada Pencari.”
Jared mengejang.
Aku tersenyum, dan ia sedikit lebih tenang. “Mel ingin aku mencekiknya. Dia benar-benar membenci Pencari itu. Dan aku tidak bisa… menyalahkan Mel.”
“Pencari itu masih mencarimu. Setidaknya dia tampak seakan hendak kembali menggunakan helicopter itu.”
Aku memejamkan mata, mengepalkan tangan, dan berkonsentrasi untuk bernapas selama beberapa detik.
“Dulu aku tidak takut kepadanya,” bisikku. “AKu tidak tahu mengapa dia kini begittu menakutkan bagiku. Di mana dia?”
“Jangan khawatir. Kemarin dia hanya mondar-mandir menyusuri jalan raya. Dia tidak akan menemukanmu.”
Aku mengangguk, memaksa diriku percaya.
“Bisakah kau… bisakah kau mendengar Mel sekarang?” gumam Jared.
Aku tetap memejamkan mata. “Aku… menyadari keberadaannya. Dia mendengarkan dengan saksama.”
“Apa yang dipikirkannya?” Suara Jared hanya berupa bisikan.
Ini peluangmu, kataku kepada Melanie. Apa yang ingin kaukatakan kepada Jared?
Sekali ini  Melanie berhati-hati. Undangan ini menggelisahkannya. Mengapa? Mengapa sekarang ia memercayaimu?
Aku membuka mata, dan mendapati Jared menatap wajahku seraya menahan napas.                                                      
“Dia ingin tahu apa yang terjadi sehingga kau… sekarang berbeda. Mengapa kau memercayai kami?”
Jared berpikir sejenak. “Akumulasi dari banyak hal. Kau begitu… baik terhadap Walter. Aku tak pernah melihat orang lain, kecuali Doc, yang berbuat sebaik itu. Dan kau menyelamatkan nyawa Kyle, padahal sebagian besar kami akan membiarkannya jatuh untuk melindungi diri kami sendiri, tanpa memedulikan pembunuhan terencana. Lalu kau pembohong yang payah.” Ia tertawa sejenak. “Aku terus mencoba memandang hal-hal ini sebagai bukti adanya rencana besar. MUngkin besok aku akan terbangun dan kembali berpikir seperti itu.”
Aku dan Mel sama-sama terkesiap.
“Tapi ketika mereka mulai menyerangmu hari ini… well, kesabaranku habis. Aku bisa melihat, pada diri mereka semua, segala hal yang seharusnya taka da pada diriku. Kusadari aku sudah percaya, aku hanya bersikap keras kepala. Kejam. Kurasa aku sudah percaya sejak… well, sedikit percaya sejak malam pertama, ketika kau mengempaskan dirimu di depanku untuk menyelamatkanku dari Kyle.” Ia  tertawa, seakan tidak menganggap Kyle berbahaya. “Tapi aku lebih pintar berbohong daripada kau. Aku bahkan bisa membohongi diriku sendiri.”
“Melanie berharap kau takkan berubah pikiran. Dia khawatir kau akan melakukannya.”
Jared memejamkan mata. “Mel.”
Jantungku berdetak lebih cepat. Kegembiraan Melanie-lah yang memicunya, bukan kegembiraanku. Agaknya Jared sudah menebak betapa aku mencintainya. Setelah pertanyaan-pertanyaannya mengenai Jamie, mestinya ia mengerti.
“Katakan kepadanya… itu tidak akan terjadi.”
“Dia mendengarmu.”
“Seberapa… langsungnyakah hubungan itu?”
“Dia mendengar apa yang kudengar, melihat apa yang kulihat.”
“Merasakan apa yang kau rasakan?”
“Ya.”
Hidung Jared mengerut. Kembali ia menyentuh wajahku dengan lembut, membelainya. “Kau tidak tahu betapa menyesalnya diriku.”
Kulitku lebih panas di tempat ia menyentuhnya; panas yang bagus. Tapi kata-kata Jared membakar lebih panas daripada sentuhannya. Tentu saja penyesalannya bertambah karena ia telah melukai Melanie. Tentu saja. Itu seharusnya tidak menggangguku.
“Ayo, Jared! Ayo, main!”
Kami mendongak. Kyle memanggil Jared. Tampaknya ia benar-benar santai, seakan hidupnya tak pernah dipertaruhkan dalam pengadilan hari ini. Mungkin ia sudah tahu hasilnya akan seperti ini. Mungkin ia cepat melupakan apa saja. Tampaknya ia tidak memperhatikanku di sana, di samping Jared.   
Kusadari, untuk pertama kali, bahwa yang lain memperhatikan.
Jamie mengamati kami dengan senyum puas. Ini mungkin tampak baik baginya. Benarkah?
Apa maksudmu?
Apa yang dilihat Jamie ketika memandang kita? Keluarganya bersatu kembali?
Benarkah? Semacam itukah?
Dengan satu tambahan yang tidak dikehendaki.
Tapi ini lebih baik daripada kemarin.
Kurasa begitu…
Aku tahu, Melanie mengakui. Aku gembira Jared tahu aku ada di sini… tapi aku masih tidak suka jika ia menyentuhmu.
Dan aku sangat suka. Wajahku bergelenyar di tempat jemari Jared mengusapnya tadi. Maaf soal itu.
Aku tidak menyalahkanmu. Atau, setidaknya, aku tahu aku tidak boleh menyalahkanmu.
Terima kasih.
Jamie bukanlah satu-satunya yang mengamati.
Jeb penasaran. Senyum kecil itu berkumpul di sudut janggutnya.
Sharon dan Maggie mengamati dengan api di mata mereka. Ekspresi mereka begitu mirip, sehingga kulit muda dan rambut warna mencolok sama sekali tidak membuat Sharon tampak lebih muda dibandingkan ibunya yang beruban.
Ian waswas. Matanya tegang, dan sepertinya ia nyaris menghampiriku untuk kembali melindungiku. Untuk memastikan Jared tidak menggangguku. Aku tersenyum meyakinkannya. Ian tidak membalas senyumku, tapi menghela napas panjang.
Kurasa bukan itu penyebab kekhawatiran Ian, ujar Melanie.
“Apakah kau sedang mendengarkan, Mel?” Jared bangkit berdiri, masih mengamati wajahku.
Pertanyaannya mengalihkan perhatianku, sebelum aku bisa bertanya kepada Mel apa maksud perkataannya. “Ya.”
“Dia bilang apa?”
“Kami sedang mengamati bagaimana pendapat yang lain mengenai… perubahan pikiranmu.” Aku mengangguk kea rah bibi dan sepupu Melanie. Mereka serentak memunggungiku.
“Keras kepala,” Jared mengakui.
“Baiklah, kalau begitu,” teriak Kyle, seraya berbalik kea rah bola yang tergeletak di bawah tempat yang paling diterangi cahaya. “Kami akan memenangkan pertandingan ini tanpamu.”
“Tunggu!” Sekali lagi Jared melirik sedih kepadaku—kepada kami—lalu lari untuk mengikuti permainan.
Aku bukan pencatat angka terbaik. Terlalu gelap untuk melihat bolanya dari tempat dudukku. Bahkan terlalu gelap untuk melihat para pemain dengan baik saat mereka tidak berada di bawah cahaya. Aku mulai menghitung berdasarkan reaksi Jamie. Teriakan kemenangannya ketika timnya mencetak angka, erangannya ketika tim lawan mencetak angka. Jumlah erangannya lebih banyak daripada teriakan kemenangannya.
Semua ikut bermain. Maggie menjadi penjaga gawang untuk tim Andy, dan Jeb jadi penjaga gawang untuk tim Lily. Mereka sama-sama hebat. Aku bisa melihat siluet mereka dalam cahaya lampu-lampu tiang gawang, bergerak lincah seakan usia mereka puluhan tahun lebih muda. Jeb tidak takut menjatuhkan diri ke lantai untuk menggagalkan gol, tapi Maggie lebih efektif tanpa harus melakukan tindakan-tindakan ekstrem semacam itu. Perempuan tua itu seperti magnet bagi bola yang tak terlihat. Setiap kali Ian atau Wes melayangkan tendangan… duk! Bola mendarat di tangan Maggie.
Trudy dan Paige berhenti bermain setelah sekitar setengah jam. Mereka melewatiku waktu berjalan keluar, seraya mengobrol gembira. Tampaknya mustahil kami memulai pagi ini dengan pengadilan, tapi aku lega karena semua tidak berubah drastis.
Kedua perempuan itu tidak pergi lama. Mereka kembali dengan tangan penuh kotak. Granola-granola batangan—yang berisi buah. Permainan berhenti. Jeb meneriakkan istirahat setengah permainan, dan semua bergegas menyantap sarapan.
Makanan itu dibagikan di garis tengah. Mulanya semua berkerumun dan saling berebut.
“Ini, Wanda,” ujar Jamie, seraya merunduk keluar dari kerumunan. Tangannya penuh granola batangan, dan botol-botol air minum terseip di bawah kedua lengannya.
“Terima kasih. Kau bersenang-senang?”
“Ya! Kalau saja kau bisa ikut bermain.”
“Lain kali,” ujarku.
“Ini…” Ian berada di sana, kedua tangannya penuh granola batangan.
“Aku duluan,” kata Jamie kepadanya.
“Oh,” ujar Jared, yang muncul di sisi lain Jamie. Ia juga membawa terlalu banyak granola batangan untuk satu orang.
Ian dan Jared berpandangan untuk waktu lama.
“Mana makanannya?” desak Kyle. Ia berdiri di samping kotak kosong, kepalanya berputar berkeliling, mencari tersangka pencurinya.
“Tangkap,” ujar Jared. Ia melemparkan granola-granola batangan itu satu per satu, kuat-kuat, seakan melempar pisau.
Kyle menangkap semuanya dengan mudah, lalu lari mendekat untuk melihat apakah Jared masih menyembunyikan beberapa.
“Ini,” ujar Ian. Ia menyorongkan setengah bawaannya kepada kakaknya tanpa memandang Kyle. “Sekarang pergilah.”
Kyle mengabaikannya. Untuk pertama kali hari ini ia memandangku, menunduk menatapku di tempat dudukku. Selaput pelangi matanya berwarna hitam diterangi cahaya di belakangnya. Aku tak bisa membaca ekspresi wajahnya.
Aku menciut, dan menahan napas ketika tulang-tulang rusukku memprotes.
Jared dan Ian berdiri berdampingan di hadapanku seperti tirai panggung pertunjukan.
“Dengarkan kata-kata Ian,” ujar Jared.
“Bisakah aku mengucapkan sesuatu lebih dulu?” tanya Kyle. Ia mengintip lewat celah di antara Jared dan Ian.
Keduanya tidak menjawab.
“Aku tidak menyesal,” ujar Kyle kepadaku. “Aku masih merasa perbuatanku benar.”
Ian mendorong kakaknya. Kyle sempoyongan mundur, tapi kembali melangkah maju.
“Tunggu, aku belum selesai.”
“Ya, kau sudah selesai,” ujar Jared. Tangannya terkepal, kulit di buku-buku jarinya memutih.
Kini semua orang memperhatikan. RUangan hening, semua kegembiraan bermain lenyap.
“Tidak, belum selesai.” Kyle mengangkat kedua tangannya sebagai isyarat menyerah, lalu kembali bicara kepadaku. “Menurutku aku tidak bersalah, tapi kau memang menyelamatkan nyawaku. Aku tidak tahu mengapa, tapi kau melakukannya. Jadi, kupikir, nyawa dibalas dengan nyawa. Aku tidak akan membunuhmu. Kubayar utangku dengan cara itu.”
“Kau bajingan tolol,” ujar Ian.
“Siapa  yang naksir cacing, DIk?” Kau hendak menyebutku tolol?”
Ian mengangkat tinjunya, lalu mencondongkan tubuh ke depan.
“Akan kukatakan mengapa,” kataku. Kubuat suaraku lebih keras daripada yang kuinginkan. Itu menghasilkan dampak yang kuinginkan. Ian, Jared, dan Kyle berbalik menatapku. Sejenak mereka melupakan perkelahian.
Aku jadi gugup. Aku berdehem. “Aku tidak membiarkanmu jatuh karena… karena aku tidak sepertimu. Aku tidak mengatakan aku tidak… seperti manusia. Karena ada orang-orang lain di sini yang akan melakukan hal yang sama. Ada orang-orang baik dan bijak di sini. Orang-orang seperti adikmu, dan Jeb, dan Doc… aku mengatakan bahwa aku tidak seperti dirimu secara pribadi.”
Kyle menatapku sejenak, lalu tergelak. “Aduh,” katanya, masih tertawa. Lalu ia berbalik pergi. Pesannya sudah tersampaikan, dan ia pergi untuk mengambil air minum. “Nyawa dibalas dengan nyawa,” teriaknya, seraya menoleh ke belakang.
Aku tak yakin apakah aku mempercayainya. Sama sekali tak yakin. Manusia adalah pembohong yang baik.










The Host- Bab 35

0 comments
DIADILI



Aku mengerang. Kepalaku serasa berputar-putar dan mau lepas. Perutku bergolak memualkan.
“Akhirnya.” Seseorang bergumam lega. Ian. Tentu saja. “Lapar?”
Kurenungkan perkataannya, lalu tanpa kuinginkan aku bersendawa.
“Oh. Lupakan saja. Maaf. Lagi. Kami harus melakukannya. Orang-orang berubah… paranoid ketika kami membawamu keluar.”
“Tidak apa-apa,” desahku.
“Mau minum?”
“Tidak.”
Aku membuka mata, mencoba memusatkan pandangan dalam gelap. Aku bisa melihat dua bintang lewat celah-celah di atas kepala. Masih malam. Atau sudah malam lagi, siapa yang tahu?
“Aku di mana?” tanyaku. Bentuk celah-celah itu tak kukenal.
Aku bersumpah tak pernah menatap langit-langit ini sebelumnya.
“Kamarmu,” jawab Ian.
Kuteliti wajahnya dalam gelap, tapi aku hanya bisa melihat bentuk hitam kepalanya. Dengan jemari kuraba permukaan tempatku berbaring; benar-benar Kasur. Ada bantal di bawah kepala. Tanganku yang meraba-raba menemukan tangan Ian, dan ia menangkap jemariku sebelum aku bisa menariknya.
“Sebenarnya kamar siapa ini?”
“Kamarmu.”
“Ian…”
“Dulunya kamar kami—kamarku bersama Kyle. Kyle… ditahan di rumah sakit sampai segalanya diputuskan. Aku bisa pindah ke kamar Wes.”
“Aku takkan mengambil kamarmu. Dan apa maksudmu dengan sampai segalanya diputuskan?”
“Sudah kubilang, akan ada pengadilan.”
“Kapan?”
“Mengapa kau ingin tahu?”
“Karena, jika kalian hendak menyelenggarakannya, aku harus ada di sana. Untuk menjelaskan.”
“Untuk berbohong?”
“Kapan?” tanyaku lagi.
“Cahaya pertama. Aku tidak akan membawamu ke sana.”
“Kalau begitu aku akan ke sana sendiri. Aku bisa berjalan setelah kepalaku berhenti berputar-putar.”
“Kau bersungguh-sungguh, bukan?”
“Ya. Tidak adil jika kalian tidak membiarkanku bicara.”
Ian mendesah. Ia menjatuhkan tangannya dan perlahan-lahan bangkit berdiri. Aku bisa mendengar sendi-sendinya berkeretak ketika ia bangkit. Berapa lama ia duduk di dalam gelap, menungguku terbangun? “Aku akan segera kembali. Kau mungkin tidak lapar, tapi aku kelaparan.”
“Kau mengalami malam yang panjang.”
“Ya.”
“Jika hari sudah terang, aku takkan duduk di sini menunggumu.”
Ian tergelak tanpa menunjukkan rasa geli. Aku yakin itu benar. Jadi aku akan kembali sebelum itu, dan aku akan membantu membawamu ke tempat yang kautuju.”
Ian menyingkirkan salah satu pintu yang menutupi lubang masuk ke guanya. Ia melangkah ke luar, lalu meletakkan pintu itu ke tempatnya lagi. Aku memberengut. Akan sulit menggeser pintu itu dengan satu kaki. Kuharap Ian benar-benar kembali.
Sementara menunggu Ian, aku menatap dua bintang yang bisa kulihat, dan kubiarkan kepalaku perlahan-lahan berubah tenang. Aku benar-benar tidak menyukai obat-obatan manusia. Ugh. Tubuhku sakit, tapi guncangan-guncangan di kepalaku lebih menyakitkan lagi.
Waktu bergeser lalmbat, tapi aku tidak tertidur. Aku sudah tidur lebih dari 24 jam. Mungkin aku juga lapar. Aku harus menunggu sampai perutku tenang, sebelum bisa memastikan.
Ian kembali sebelum hari terang, persis seperti janjinya.
“Merasa lebih enak?” tanyanya, ketika melangkah melewati pintu.
“Kurasa begitu. Aku belum menggerakkan kepala.”
“Menurutmu, siapa yang bereaksi terhadap morfin itu? Kau atau tubuh Melanie?”
“Mel. Dia bereaksi buruk terhadap sebagian besar obat penghilang nyeri. Dia tahu itu ketika pergelangan tangannya patah sepuluh tahun yang lalu.”
Sejenak Ian merenungkan perkataanku. “Rasanya… aneh. Menghadapi dua orang sekaligus.”
“Aneh,” ujarku setuju.
“Kau sudah lapar?”
Aku tersenyum. “Kurasa aku mencium bau roti. Ya, kurasa perutku sudah melewati saat terburuknya.”
“Aku memang berharap kau akan berkata seperti itu.”
Bayang-bayang Ian duduk di sampingku. Ia mencari tanganku, lalu membuka jemariku dan meletakkan bentuk yang sudah kukenal itu di sana.
“Bantu aku duduk?” pintaku.
Ian merangkulkan lengannya dengan hati-hati di bahuku, lalu mendudukkanku dengan gerak kaku untuk meminimalkan rasa sakit di sisi tubuhku. Aku bisa merasakan sesuatu yang asing di sana, di kulitku. Kaku dan ketat.
“Terima kasih,” ujarku, sedikit terengah. Kepalaku berputar pelan. Kusentuh sisi tubuhku dengan tanganku yang bebas. Sesuatu melekat di kulitku, di balik kemejaku. “Apakah rusukku patah?”
“Doc tidak yakin. Dia melakukan yang terbaik.”
“Dia berusaha begitu keras.”
“Memang.”
“Aku merasa tidak enak… karena pernah tidak menyukainya,” ujarku mengakui.
Ian tertawa. “Tentu saja kau tidak menyukainya. Aku heran jika kau bisa menyukai salah seorang dari kami.”
“Perkataanmu terbalik,” gumamku, lalu kubenamkan gigiku ke roti yang keras. Aku mengunyah secara mekanis, lalu menelan. Kuletakkan roti itu ketika menunggunya menerpa perutku.
“Tidak terlalu mengundang selera. Aku tahu,” ujar Ian.
Aku mengangkat bahu. “Hanya menguji—untuk mengetahui apakah mualnya sudah benar-benar hilang.”
“Mungkin sesuatu yang lebih mengundang selera…”
Aku memandang Ian, penasaran, tapi tak bisa melihat wajahnya. Aku mendengar suara gemersik tajam dan suara robekan… lalu bisa mencium baunya, dan aku mengerti.
“Cheetos!” teriakku. “Benarkah? Untukku?”
Sesuatu menyentuh bibirku, dan kukunyah camilan yang tawarkan Ian kepadaku.
“Aku memimpi-mimpikannya,” desahku, seraya mengunyah.
Perkataanku membuat Ian tertawa. Diletakkannya kemasan itu di tanganku.
Kuhabiskan isi kemasan kecil itu dengan cepat, lalu kuhabiskan rotiku, dibumbui rasa keju yang masih tertinggal di mulutku. Ian memberiku sebotol air sebelum aku memintanya.
“Terima kasih. Kau tahu, bukan hanya untuk Cheetos-nya. Tapi untuk begitu banyak hal.”
“Sama-sama, Wanda.”
Kutatap mata biru gelap Ian, mencoba memahami semua yang dikatakannya lewat kalimat itu. Sepertinya ada sesuatu yang lebih dari sekedar kesopanan dalam kata-katanya. Lalu kusadari aku bisa melihat warna mata Ian. Cepat-cepat aku melirik ke celah-celah di atasku. Bintang – bintang sudah menghilang, dan langit berubah kelabu pucat. Fajar menjelang. Cahaya pertama.
“Kau yakin harus melakukannya?” tanya Ian. Tangannya setengah terulur, seakan hendak mengangkatku.
Aku mengangguk. “Kau tak perlu membopongku. Kakiku sudah lebih baik.”
“Akan kita lihat.”
Ian membantuku berdiri, membiarkan lengannya memeluk pinggangku, lalu merangkulkan lenganku di lehernya.
“Sekarang hati-hati. Bagaimana rasanya?”Aku melompat maju satu langkah. Rasanya sakit, tapi aku bisa melakukannya. “Hebat. Ayo pergi.”
Kurasa Ian terlalu menyukaimu.
Terlalu? Aku terkejut mendengar suara Melanie begitu jelas. Belakangan ia hanya bicara seperti itu ketika Jared berada di sini.
AKu juga ada di sini. Apakah ia bahkan peduli?
Tentu saja ia peduli. Ian memercayai kita, melebihi siapa pun, selain Jamie dan Jeb.
Bukan itu maksudku.
Apa maksudmu?
Tapi Melanie sudah pergi.
Perlu waktu lama bagi kami. Aku terkejut menyadari betapa jauh kami harus pergi. Kupikir kami akan pergi ke plaza utama atau dapur—tempat-tempat berkumpul yang biasa. Tapi kami berjalan melewati ladang timur, sampai akhirnya tiba di gua gelap gulita besar yang disebut Jeb ruang bermain. Aku belum pernah ke sana sejak tur pertamaku. Bau menyengat mata air sulfur menyambutku.
Tidak seperti sebagian besar ruang gua di sini, ruang bermain jauh lebih luas jika dibandingkan tingginya. Kini aku bisa melihat ruangan itu, karena lampu-lampu biru suram tergantung di langit-langit, dan bukannya tergeletak di lantai. Langit-langitnya hanya beberapa puluh sentimeter di atas kepalaku; tinggi langit-langit normal sebuah rumah. Tapi aku bahkan tak bisa melihat dinding-dindingnya, yang sangat jauh dari lampu-lampu itu. Aku tak bisa melihat mata air berbau busuk itu, yang tersembunyi di pojok yang jauh, tapi aku bisa mendengarnya menetes dan berdeguk.
Kyle duduk di tempat yang paling diterangi cahaya. Lengannya memeluk kaki. Wajahnya seperti topeng kaku. Ia tidak mendongak ketika Ian membantuku berjalan masuk.
Kyle diapit Jared dan Doc yang berdiri dengan lengan bebas dan siaga di sisi tubuh mereka. Seakan mereka… pengawal.
Jeb duduk di samping Jared, dengan senapan tersampir di bahu. Ia tampak santai, tapi aku tahu betapa cepat hal itu bisa berubah. Jamie meletakkan tangannya yang bebas… Tidak, Jeb memegangi pergelangan tangan anak itu, dan Jamie sepertinya tidak merasa senang. Tapi ketika melihatku masuk, Jamie tersenyum dan melambai. Ia menghela napas panjang dan memandang Jeb tajam.
Jeb melepaskan tangan Jamie.
Sharon berdiri diapit Doc dan BIbi Maggie.
Ian menarikku ke tepi kegelapan yang mengeliingi adegan itu. Kami tidak sendirian. Aku bisa melihat sosok-sosok lain, tapi tak bisa melihat wajah mereka.
Rasanya aneh. Sepanjang jalan Ian menopang sebagian besar bobotku dengan mudah.  Tapi kini tampaknya ia kelelahan. Lengan yang memeluk pinggangku mengendur. Aku terhuyung dan melompat maju sebisa mungkin, sampai Ian menemukan tempat yang ia inginkan. Ia mendudukkanku di lantai, lalu duduk di sampingku.
“Aduh,” kudengar seseorang berbisik.
Aku menoleh, dan samar-samar melihat Trudy. Ia beringsut mendekati kami, lalu Geoffrey dan Heath mengikuti..
“Kau tampak payah,” ujarnya kepadaku. “Seberapa parah lukamu?”
Aku mengangkat bahu. “Aku baik-baik saja.” Aku mulai bertanya-tanya, apakah tadi Ian sengaja membiarkanku berjuang, untuk menunjukkan luka-lukaku—untuk membuatku bersaksi tanpa kata-kata melawan Kyle. Aku memberengut melihat wajah polosnya.
Lalu Wes dan Lily tiba, dan duduk bersama kelompok sekutu kecilku. Brandt masuk beberapa detik kemudian, lalu Heidi, Andy, dan Paige. Aaron yang terakhir.
“Sudah lengkap,” ujarnya. “Lucina menemani anak-anaknya. Dia tak ingin mereka berada di sini—dia meminta kita melanjutkan tanpanya.”
Aaron duduk di samping Andy. Sejenak suasana hening.
“Oke kalau begitu,” ujar Jeb dengan suara keras, agar didengar semua orang. “Begini prosedurnya: pemungutan suara secara langsung berdasarkan mayoritas. Seperti biasa, aku akan membuat keputusanku sendiri jika mendapat masalah dengan mayoritas, karena ini—“
“Adalah rumahku,” sela beberapa suara serentak. Seseorang tergelak, tapi langsung berhenti. Ini tidak lucu. Seorang manusia sedang diadili karena mencoba membunuh mahluk asing. Seharusnya ini hari yang mengerikan bagi mereka semua.
“Siapa yang ingin bicara menentang Kyle?” tanya Jeb.
Ian hendak berdiri.                                                                                
“Tidak!” bisikku, menarik sikunya.
Ian menyingkirkan tanganku dan bangkit berdiri.
“Ini cukup sederhana,” ujar Ian. Aku ingin melompat dan membungkam mulutnya dengan tanganku, tapi kurasa aku tidak bisa bangkit tanpa bantuan. “Kakakku sudah mendapat peringatan. Dia benar-benar sudah memahami peraturan Jeb soal ini. Wanda anggota komunitas kita—peraturan dan perlindungan yang sama berlaku baginya, seperti juga bagi kita semua. Jeb mengatakan dengan jelas kepada Kyle bahwa, kalau dia tidak bisa tinggal bersama Wanda di sini, dia harus pergi. Kyle memutuskan untuk tetap tinggal. Sejak dulu dia sudah tahu hukuman atas pembunuhan di tempat ini.”
“Makhluk itu masih hidup,” gerutu Kyle.
“Itulah sebabnya aku tidak menuntut kematianmu,” bentak Ian.
“Tapi kau tidak bisa lagi tinggal di sini. Tidak bisa, jika pada dasarnya kau pembunuh.”
Sejenak Ian menatap kakaknya, lalu duduk kembali di tanah di sampingku.
“Tapi Kyle bisa tertangkap, sedangkan kita sama sekali tak tahu,” protes Brandt, seraya bangkit berdiri. “Dia akan menuntun mereka kemari, dan kita tidak akan menerima peringatan apa pun.”
Terdengar gumaman di seluruh ruangan.
Kyle melirik Brandt. “Mereka takkan pernah menangkapku hidup-hidup.”
“Kalau begitu hukuman mati saja,” gumam seseorang, serentak dengan perkataan Andy, “Kau tidak bisa menjamin hal itu.”
“Satu per satu,” Jeb mengingatkan.
“Aku pernah bertahan hidup di luar,” ujar Kyle marah.
Suara lain terdengar dari gelap. “Beresiko.” Aku tidak bisa mengenali pemilik suara yang hanya mengeluarkan bisikan mendesis itu.
Lalu terdengar suara lain. “Apa salah Kyle? Tak ada.”
Jeb maju menghampiri suara itu, matanya melotot. “Peraturanku.”
“Makhluk itu bukan salah satu dari kita,” protes orang lain.
Ian hendak bangkit berdiri lagi.
“Hei!” tukas Jared. Suaranya begitu keras sampai semua terlompat. “Wanda tidak sedang diadili di sini! Adakah yang punya keluhan konkret terhadapnya—terhadap Wanda sendiri? Kalau begitu, mintalah diadakan pengadilan lain. Tapi kita semua tahu, dia belum pernah mencelakai satu orang pun di sini. Sebenarnya dia malah menyelamatkan nyawa Kyle.” Jared mengarahkan jarinya ke punggung Kyle. Bahu Kyle merosot, seakan merasakan tusukan itu. “Hanya beberapa detik setelah Kyle mencoba melempar Wanda ke sungai, Wanda mempertaruhkan nyawa untuk menghindarkannya dari kematian menyakitkan yang sama. Wanda pasti tahu seandainya Kyle dibiarkan jatuh, dia akan lebih aman di sini. Tapi toh dia menyelamatkan Kyle juga. Adakah di antara kalian yang bersedia melakukan hal yang sama—menyelamatkan musuh kalian? Kyle mencoba membunuh Wanda, tapi apakah Wanda bicara menentangnya?”
Aku merasakan semua mata di ruang gelap itu memandangku ketika Jared memberiku isyarat untuk maju.
“Maukah kau bicara menentangnya, Wanda?”
Dengan terbelalak aku menatap Jared. Aku terpaku karena ia bicara mewakiliku, karena ia bicara kepadaku, karena ia menggunakan namaku. Melanie juga terkejut, ia terbagi dua. Ia sangat senang melihat kebaikan di wajah Jared ketika memandang kami, melihat kelembutan di mata Jared yang telah begitu lama hilang. Tapi namakulah yang diucapkan lelaki itu…
Perlu beberapa detik sebelum aku menemukan suaraku.
“Ini semua salah paham,” bisikku. “Kami sama-sama terjatuh ketika lantainya runtuh. Hanya itu yang terjadi.” Aku berharap bisikan itu semakin menyulitkan mereka mendeteksi kebohongan di dalam suaraku. Tapi begitu aku selesai bicara, Ian tergelak. Aku menyikutnya, tapi itu tidak menghentikannya.
Jared benar-benar tersenyum kepadaku. “Kalian lihat sendiri. DIa bahkan mencoba berbohong untuk membela Kyle.”
“Mencoba adalah kata yang perlu ditekankan disini,” imbuh Ian.
“Siapa yang bilang makhluk itu berbohong? Siapa yang bisa membuktikannya?” tanya Maggie kasar. Ia melangkah maju ke tempat kosong di samping Kyle. “Siapa yang bisa membuktikan itu adalah kebenaran yang terdengar sangat palsu di bibirnya?”
“Mag—“ Jeb memulai.
“Tutup mulutmu, Jebediah—aku sedang bicara. Taka da alasan bagi kita untuk berada di sini. Tak ada manusia yang diserang. Taka da yang mengeluhkan pelanggaran membahayakan. Ini membuang-buang waktu kita semua.”
“Aku setuju itu,” imbuh Sharon, suaranya bening dan lantang. Doc melontarkan pandangan terluka.
Trudy melompat berdiri. “Kita tidak bisa menampung pembunuh—dan menunggunya memperoleh kesuksesan!”
“Pembunuh adalah istilah subjektif,” desis Maggie. “Aku hanya menganggapnya pembunuh jika ada manusia yang terbunuh.”
Kurasakan lengan Ian memeluk bahuku. Tak kusadari tubuhku gemetar, hingga Ian yang tidak bergerak merapat pada tubuhku.
“Manusia juga istilah subjektif, Magnolia,” ujar Jared, memelototi Maggie. “Kurasa definisi itu mencakup semacam kasih sayang, mencakup sedikit belas kasih.”
“Ayo, kita adakah pemungutan suara,” ujar Sharon, sebelum ibunya bisa menjawab Jared. “Angkat tanganmu jika kau menganggap Kyle harus diizinkan tinggal di sini, tanpa dijatuhi hukuman atas… kesalahpahaman itu.” Ia tidak melirikku, tapi melirik Ian di sampingku, ketika memakai kata yang kugunakan.
Tangan-tangan teracung. Kuamati wajah Jared ketika ekspresinya berubah marah.
Aku berjuang mengangkat tangan, tapi Ian mempererah pegangannya di kedua lenganku, dan mengeluarkan suara jengkel lewat hidungnya. Kuangkat telapak tanganku setinggi mungkin untuk melakukannya. Tapi akhirnya suaraku tidak diperlukan.
Jeb menghitung keras-keras. “Sepuluh… lima belas… dua puluh… dua puluh tiga. Oke, itu jelas mayoritas.”
Aku tidak memandang sekeliling untuk melihat siapa yang memilih siapa. Cukuplah bahwa, di pojok mungilku, semua lengan tersilang erat di dada dan semua mata menatap Jeb dengan ekspresi penuh harap.
Jamie berjalan meninggalkan Jeb untuk menjejalkan diri di antara aku dan Trudy. Ia memelukku, di bawah lengan Ian.
“Mungkin jiwa-jiwa kalian benar tentang kami,” ujar Jamie, cukup keras bagi sebagian besar orang untuk mendengar suara lantangnya yang bernada tinggi. “Sebagian besar manusia tidak lebih baik daripada—“
“Hus!” desisku kepadanya.
“Oke,” ujar Jeb. Semua terdiam. Jeb menundukk memandang Kyle, lalu memandangku, lalu memandang Jared. “Oke, aku cenderung setuju dengan mayoritas dalam hal ini.”
“Jeb—“ ujar Jared dan Ian serentak.
“Rumahku, peraturanku,” Jeb mengingatkan. “Jangan pernah lupakan itu. Jadi, dengarkan aku, Kyle. Dan kurasa kau sebaiknya juga mendengarkan, Magnolia. Siapa pun yang mencoba mencederai Wanda lagi, dia tidak akan diadili. Dia akan dimakamkan.” Jeb menepuk gagang senapannya sebagai penegasan.
Aku terkesiap.
Magnolia melotot penuh kebencian pada saudara laki-lakinya. Kyle mengangguk, seakan menerima persyaratan itu.
Jeb memandang ke penonton yang terbagi secara tidak merata, menatap mata setiap anggota, kecuali mata anggota kelompok kecil di sampingku.
“Pengadilan selesai,” ujarnya mengumumkan. “Siapa yang mau main?”