Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara

Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara
Harga mulai 5rb an. Gratis ongkir DKI Jakarta

The Cuckoo’s Calling – Prolog



Is demum miser est, cuius nobilitas miserias nobiitat.
Sungguh celaka orang yang cacat celanya menjadi ikut terkenal karena ketenarannya.
Lucius Accius, Telephus

Gaung di jalanan terdengar seperti dengung lalat. Para fotografer berdiri berkerumun di balik garis batas yang dijaga polisi, kamera mereka yang berbelalai panjang siap siaga, napas mereka mengepul seperti uap. Salju jatuh berderai di atas topi dan pundak; jari-jari yang terbungkus sarung tangan mengusap lensa kamera. Dari waktu ke waktu terdengar semburan bunyi klik-klik yang tak beraturan sementara para pengamat itu mengisi waktu dengan memotret tenda kanvas putih di tengah jalan, pintu masuk bangunan apartemen dari batu bata merah di belakangnya, serta balkon di lantai tertinggi dari mana mayat itu terjatuh.
Di belakang kerumunan padat paparazzi  itu berjajar mobil-mobil van putih dengan antena parabola besar di atap, dan para jurnalis berbicara, beberapa dengan bahasa asing, sementara para juru suara yang mengenakan headphone berkeliaran di sekitar mereka. Pada saat jeda pengambilan gambar, para reporter itu mengentak-entakkan kaki sambil menghangatkan tangan di dekat teko kopi panas di kafe yang dipadati pengunjung, di suatu jalan tak jauh dari sana. Untuk mengisi waktu, para juru kamera bertopi wol mengambil gambar punggung paparazzi, balkon dan tenda yang berisi mayat, lalu berganti posisi untuk mendapatkan sudut pandang lebar yang menjangkau seluruh kekacauan yang telah meledak di jalanan Mayfair yang tenang dan bersalju itu, dengan pintu-pintu bercat hitam dibingkai teras berdinding batu putih dan diapit tanaman yang dipangkas rapi. Pintu masuk nomor 18 dipagari pita polisi. Aparat polisi, sebagian para ahli forensik yang mengenakan seragam putih-putih, terlihat samar-samar di lorong masuk di dalamnya.
Stasiun-stasiun televisi sudah mengabarkan berita tersebut beberapa jam lalu. Anggota masyarakat menyemut di kedua ujung jalan, ditahan oleh lebih banyak petugas kepolisian; sebagian sengaja datang untuk menonton, sebagian lagi memperlambat langkah dalam perjalanan ke tempat kerja. Banyak yang mengacungkan telepon seluler tinggi-tinggi untuk mengambil gambar sebelum melanjutkan perjalanan. Seorang pria muda, yang tidak tahu balkon mana yang dimaksud, memotret semua balkon satu per satu, meskipun balkon yang di tengah dipadati deretan tanaman rendah, tiga pohon berdaun lebat yang berbentuk bulat rapi, yang nyaris tidak menyisakan tempat untuk manusia berdiri.
Sekelompok perempuan muda datang membawa bunga, direkam ketika sedang memberikan bunga-bunga itu kepada polisi. Para petugas yang menerimanya belum memutuskan tempat untuk meletakkannya, lalu dengan salah tingkah menyimpan bunga-bunga itu di belakang mobil van polisi, sadar betul bahwa kamera-kamera sedang menyorot setiap gerak-gerik mereka.
Koresponden dan kanal berita 24 jam terus-menerus menyampaikan komentar dan spekulasi di sekitar sedikit fakta yang mereka ketahui.
“… dari apartemen penthouse-nya pada sekitar pukul dua dini hari tadi. Polisi mendapat laporan dari petugas keamanan gedung…”
“…belum ada tanda-tanda polisi akan memindahkan jenazah tersebut, yang menimbulkan spekulasi…”
“… tidak ada keterangan apakah dia sedang sendiri ketika jatuh…”
“…polisi telah masuk ke gedung dan akan melakukan pencarian menyeluruh.”
###
Cahaya dingin menerangi bagian dalam tenda. Dua pria sedang berjongkok di dekat jenazah, akhirnya siap memindahkannya ke kantong mayat. Darah dari kepala mengalir di antara salju. Wajahnya hancur dan bengkak, sebelah matanya mengerut, yang sebelah lagi memperlihatkan seiris warna putih keruh di antara kelopak yang bengkak. Ketika payet-payet yang menghiasi baju atasannya berkerdap karena sedikit perubahan cahaya, ada kesan meresahkan saat seolah-olah wanita itu bernapas kembali, atau menegangkan otot-ototnya, siap untuk bangkit berdiri. Salju jatuh di kanvas tenda bagaikan bunyi jemari yang mengetuk-ngetuk.
“Mana ambulans sialan itu?”
Kemarahan Inspektur Polisi Roy Carver sudah menggunung. Dia adalah pria tambun dengan wajah sewarna daging kornet, di bagian ketiak kemejanya biasanya tedapat lingkaran keringat, dan persediaan kesabarannya yang tipis sudah habis berjam-jam yang lalu. Dia berada di sini nyaris sama lamanya dengan mayat itu; kakinya begitu kedinginan sampai-sampai tak lagi terasa, dan kepalanya pening karena dia kelaparan.
“Ambulans akan tiba dua menit lagi,” kata Sersan Polisi Eric Wardle, yang tidak sengaja menjawab pertanyaan  atasannya ketika dia memasuki tenda dengan ponsel menempel di telinga. “Sedang dicarikan tempat.”
Carver menggerutu. Sumbunya yang pendek semakin parah karena dia yakin Wardle justru senang dengan kehadiran para fotografer. Pria itu tampan dengan wajah bak remaja, rambutnya tebal bergelombang dan kini beku karena salju. Menurut Carver, Wardle sengaja berlama-lama pada kesempatan langka mereka harus keluar dari tenda.
“Paling tidak, gerombolan ini akan pergi begitu mayatnya dipindahkan,” kata Wardle, masih memandang ke luar kea rah para fotografer.
“Mereka tidak akan minggat selama kita masih memperlakukan tempat ini seperti TKP,” tukas Carver.
Wardle tidak menjawab tantangan yang tak terucapkan itu. Tetap saja Carver meledak.
“Anak malang ini terjun. Tidak ada orang lain di sana. Yang kau sebut saksi itu teller—“
“Ambulans datang,” potong Wardle, dan yang membuat Carver muak, bawahannya itu kembali menyusup keluar dari tenda untuk menunggu ambulans di hadapan kamera-kamera.
###
Liputan peristiwa itu telah menyisihkan berita-berita politik, perang, serta bencana, dan tiap versi dihiasi foto-foto wajah sempurna wanita yang telah mati itu, tubuhnya yang ramping dan indah. Dalam beberapa jam saja, sedikit fakta yang diketahui telah menyebar bagaikan virus ke jutaan orang; pertengkaran dengan sang pacar yang tersohor di depan banyak mata, perjalanan pulang seorang diri, teriakan yang terdengar, dan kejatuhannya yang final dan fatal…
Sang kekasih kabur ke fasilitas rehabilitasi, tapi langkah-langkah polisi tak terbaca; orang-orang yang pernah bersama korban pada malam sebelum kematiannya terus dibayang-bayangi; beritanya mengisi ribuan kolom berita cetak dan berjam-jam siaran televise, dan wanita yang bersumpah telah mendengar pertengkaran kedua tepat sebelum tubuh itu terjun sesaat menikmati ketenarannya, dan dianugerahi foto yang lebih kecil di sebelah gambar-gambar mendiang gadis yang cantik jelita itu.
Namun, disambut erangan kekecewaan yang nyaris terdengar, saksi itu dinyatakan telah berbohong, dan pada gilirannya dia pun dilarikan ke fasilitas rehabilitasi, yang disusul kemunculan tersangka utama—bagaikan boneka lelaki dan perempuan di dalam rumah mainan penunjuk cuaca yang tidak akan pernah keluar bersama-sama.
Jadi itu memang peristiwa bunuh diri, dan setelah jeda singkat yang mencengangkan, berita kembali meruap kendati tidak gegap gempita seperti sebelumnya. Mereka menulis bahwa gadis itu tidak seimbang, tidak stabil, tidak siap memasuki dunia gemerlap yang telah dia peroleh melalui keliaran dan kecantikannya; bahwa dia bergaul dengan kalangan berduit dan amoral yang telah menggerogotinya; bahwa dekadensi kehidupan barunya telah menjerumuskan kepribadian yang memang sudah rapuh sejak mula. Dia menjadi contoh kisah moralitas yang dibebani Schadenfreude—kesenangan di atas penderitaan orang lain—dan begitu banyak kolumnis yang membandingkannya dengan kisah Icarus, sampai –sampai majalah Private Eye membuat liputan khusus.
Kemudian, akhirnya, kegemparan itu mereda sendiri hingga menjadi basi, dan bahkan para jurnalis kehabisan bahan untuk diberitakan—namun itu pun sudah menjadi basi karena terlalu sering diucapkan.

0 comments:

Post a Comment

Jual Nugget dan Sosis Sayur

Jual Nugget dan Sosis Sayur
Pemesanan via email : lwati111@gmail.com

The Cuckoo’s Calling – Prolog



Is demum miser est, cuius nobilitas miserias nobiitat.
Sungguh celaka orang yang cacat celanya menjadi ikut terkenal karena ketenarannya.
Lucius Accius, Telephus

Gaung di jalanan terdengar seperti dengung lalat. Para fotografer berdiri berkerumun di balik garis batas yang dijaga polisi, kamera mereka yang berbelalai panjang siap siaga, napas mereka mengepul seperti uap. Salju jatuh berderai di atas topi dan pundak; jari-jari yang terbungkus sarung tangan mengusap lensa kamera. Dari waktu ke waktu terdengar semburan bunyi klik-klik yang tak beraturan sementara para pengamat itu mengisi waktu dengan memotret tenda kanvas putih di tengah jalan, pintu masuk bangunan apartemen dari batu bata merah di belakangnya, serta balkon di lantai tertinggi dari mana mayat itu terjatuh.
Di belakang kerumunan padat paparazzi  itu berjajar mobil-mobil van putih dengan antena parabola besar di atap, dan para jurnalis berbicara, beberapa dengan bahasa asing, sementara para juru suara yang mengenakan headphone berkeliaran di sekitar mereka. Pada saat jeda pengambilan gambar, para reporter itu mengentak-entakkan kaki sambil menghangatkan tangan di dekat teko kopi panas di kafe yang dipadati pengunjung, di suatu jalan tak jauh dari sana. Untuk mengisi waktu, para juru kamera bertopi wol mengambil gambar punggung paparazzi, balkon dan tenda yang berisi mayat, lalu berganti posisi untuk mendapatkan sudut pandang lebar yang menjangkau seluruh kekacauan yang telah meledak di jalanan Mayfair yang tenang dan bersalju itu, dengan pintu-pintu bercat hitam dibingkai teras berdinding batu putih dan diapit tanaman yang dipangkas rapi. Pintu masuk nomor 18 dipagari pita polisi. Aparat polisi, sebagian para ahli forensik yang mengenakan seragam putih-putih, terlihat samar-samar di lorong masuk di dalamnya.
Stasiun-stasiun televisi sudah mengabarkan berita tersebut beberapa jam lalu. Anggota masyarakat menyemut di kedua ujung jalan, ditahan oleh lebih banyak petugas kepolisian; sebagian sengaja datang untuk menonton, sebagian lagi memperlambat langkah dalam perjalanan ke tempat kerja. Banyak yang mengacungkan telepon seluler tinggi-tinggi untuk mengambil gambar sebelum melanjutkan perjalanan. Seorang pria muda, yang tidak tahu balkon mana yang dimaksud, memotret semua balkon satu per satu, meskipun balkon yang di tengah dipadati deretan tanaman rendah, tiga pohon berdaun lebat yang berbentuk bulat rapi, yang nyaris tidak menyisakan tempat untuk manusia berdiri.
Sekelompok perempuan muda datang membawa bunga, direkam ketika sedang memberikan bunga-bunga itu kepada polisi. Para petugas yang menerimanya belum memutuskan tempat untuk meletakkannya, lalu dengan salah tingkah menyimpan bunga-bunga itu di belakang mobil van polisi, sadar betul bahwa kamera-kamera sedang menyorot setiap gerak-gerik mereka.
Koresponden dan kanal berita 24 jam terus-menerus menyampaikan komentar dan spekulasi di sekitar sedikit fakta yang mereka ketahui.
“… dari apartemen penthouse-nya pada sekitar pukul dua dini hari tadi. Polisi mendapat laporan dari petugas keamanan gedung…”
“…belum ada tanda-tanda polisi akan memindahkan jenazah tersebut, yang menimbulkan spekulasi…”
“… tidak ada keterangan apakah dia sedang sendiri ketika jatuh…”
“…polisi telah masuk ke gedung dan akan melakukan pencarian menyeluruh.”
###
Cahaya dingin menerangi bagian dalam tenda. Dua pria sedang berjongkok di dekat jenazah, akhirnya siap memindahkannya ke kantong mayat. Darah dari kepala mengalir di antara salju. Wajahnya hancur dan bengkak, sebelah matanya mengerut, yang sebelah lagi memperlihatkan seiris warna putih keruh di antara kelopak yang bengkak. Ketika payet-payet yang menghiasi baju atasannya berkerdap karena sedikit perubahan cahaya, ada kesan meresahkan saat seolah-olah wanita itu bernapas kembali, atau menegangkan otot-ototnya, siap untuk bangkit berdiri. Salju jatuh di kanvas tenda bagaikan bunyi jemari yang mengetuk-ngetuk.
“Mana ambulans sialan itu?”
Kemarahan Inspektur Polisi Roy Carver sudah menggunung. Dia adalah pria tambun dengan wajah sewarna daging kornet, di bagian ketiak kemejanya biasanya tedapat lingkaran keringat, dan persediaan kesabarannya yang tipis sudah habis berjam-jam yang lalu. Dia berada di sini nyaris sama lamanya dengan mayat itu; kakinya begitu kedinginan sampai-sampai tak lagi terasa, dan kepalanya pening karena dia kelaparan.
“Ambulans akan tiba dua menit lagi,” kata Sersan Polisi Eric Wardle, yang tidak sengaja menjawab pertanyaan  atasannya ketika dia memasuki tenda dengan ponsel menempel di telinga. “Sedang dicarikan tempat.”
Carver menggerutu. Sumbunya yang pendek semakin parah karena dia yakin Wardle justru senang dengan kehadiran para fotografer. Pria itu tampan dengan wajah bak remaja, rambutnya tebal bergelombang dan kini beku karena salju. Menurut Carver, Wardle sengaja berlama-lama pada kesempatan langka mereka harus keluar dari tenda.
“Paling tidak, gerombolan ini akan pergi begitu mayatnya dipindahkan,” kata Wardle, masih memandang ke luar kea rah para fotografer.
“Mereka tidak akan minggat selama kita masih memperlakukan tempat ini seperti TKP,” tukas Carver.
Wardle tidak menjawab tantangan yang tak terucapkan itu. Tetap saja Carver meledak.
“Anak malang ini terjun. Tidak ada orang lain di sana. Yang kau sebut saksi itu teller—“
“Ambulans datang,” potong Wardle, dan yang membuat Carver muak, bawahannya itu kembali menyusup keluar dari tenda untuk menunggu ambulans di hadapan kamera-kamera.
###
Liputan peristiwa itu telah menyisihkan berita-berita politik, perang, serta bencana, dan tiap versi dihiasi foto-foto wajah sempurna wanita yang telah mati itu, tubuhnya yang ramping dan indah. Dalam beberapa jam saja, sedikit fakta yang diketahui telah menyebar bagaikan virus ke jutaan orang; pertengkaran dengan sang pacar yang tersohor di depan banyak mata, perjalanan pulang seorang diri, teriakan yang terdengar, dan kejatuhannya yang final dan fatal…
Sang kekasih kabur ke fasilitas rehabilitasi, tapi langkah-langkah polisi tak terbaca; orang-orang yang pernah bersama korban pada malam sebelum kematiannya terus dibayang-bayangi; beritanya mengisi ribuan kolom berita cetak dan berjam-jam siaran televise, dan wanita yang bersumpah telah mendengar pertengkaran kedua tepat sebelum tubuh itu terjun sesaat menikmati ketenarannya, dan dianugerahi foto yang lebih kecil di sebelah gambar-gambar mendiang gadis yang cantik jelita itu.
Namun, disambut erangan kekecewaan yang nyaris terdengar, saksi itu dinyatakan telah berbohong, dan pada gilirannya dia pun dilarikan ke fasilitas rehabilitasi, yang disusul kemunculan tersangka utama—bagaikan boneka lelaki dan perempuan di dalam rumah mainan penunjuk cuaca yang tidak akan pernah keluar bersama-sama.
Jadi itu memang peristiwa bunuh diri, dan setelah jeda singkat yang mencengangkan, berita kembali meruap kendati tidak gegap gempita seperti sebelumnya. Mereka menulis bahwa gadis itu tidak seimbang, tidak stabil, tidak siap memasuki dunia gemerlap yang telah dia peroleh melalui keliaran dan kecantikannya; bahwa dia bergaul dengan kalangan berduit dan amoral yang telah menggerogotinya; bahwa dekadensi kehidupan barunya telah menjerumuskan kepribadian yang memang sudah rapuh sejak mula. Dia menjadi contoh kisah moralitas yang dibebani Schadenfreude—kesenangan di atas penderitaan orang lain—dan begitu banyak kolumnis yang membandingkannya dengan kisah Icarus, sampai –sampai majalah Private Eye membuat liputan khusus.
Kemudian, akhirnya, kegemparan itu mereda sendiri hingga menjadi basi, dan bahkan para jurnalis kehabisan bahan untuk diberitakan—namun itu pun sudah menjadi basi karena terlalu sering diucapkan.

0 comments on "The Cuckoo’s Calling – Prolog"

Post a Comment