Dibutuhkan
Aku terpaku, lalu cepat-cepat mengengok ke belakang untuk
melihat apakah ada orang di belakangku.
“Gladys mendiang istrinya,” bisik Jamie pelan. “Dia tidak
berhasil lolos.”
“Gladys,” ujar Walter kepadaku, tanpa menyadari reaksiku.
“Percayakah kau, aku lolos dan malah mengidap kanker? Apa gunanya? Aku tak
pernah sakit sepanjang hidupku…” Suaranya menghilang sampai aku tak bisa
mendengarnya, tapi bibirnya terus bergerak. Ia terlalu lemah untuk mengangkat
tangan; jemarinya merayap sendiri ke pinggir dipan, ke arahku.
Ian menyikutku agar maju.
“Aku harus apa?” bisikku. Keringat yang membasahi keningku
tak ada hubungannya dengan udara panas yang lembap itu.
“…Granpa hidup sampai seratus satu tahun.” Walter
tersengal-sengal, suaranya kembali terdengar. “Tak seorang pun pernah mengidap
kanker dalam keluargaku, bahkan juga sepupu-sepupuku. Tapi Aunt Regan-mu
mengidap kanker kulit, kan?”
Walter memandangku dengan penuh kepercayaan, menanti
jawaban. Ian mendorong punggungku.
“Um…,” gumamku.
“Mungkin itu bibi Bill,” sela Walter.
Dengan panic aku melirik Ian yang mengangkat bahu. “Tolong,”
bisikku kepadanya.
Ian member isyarat padaku untuk meraih jemari Walter yang
masih mencari-cari.
Kulit Walter seputih kapur dan tembus pandang. Bisa kulihat
denyut lemah darah di dalam pembuluh biru di punggung tangannya. Aku mengangkat
tangannya dengan hati-hati, mencemaskan tulang-tulang kurus yang kata Jamie
sangat raputh. Terasa sangat ringan, seakan berongga.
“Ah, Gladdie, berat sekali hidup tanpamu. Ini tempat
menyenangkan, kau akan suka, bahkan setelah kepergianku. Banyak orang untuk
diajak bicara—aku tahu betapa kau perlu bercakap-cakap…” Volume suara Walter
merendah sampai aku tak bisa memahami kata-katanya lagi, tapi bibirnya masih
membentuk kata-kata yang ingin ia ucapkan kepada istrinya. Bibirnya terus
bergerak, walaupun matanya terpejam dan kepalanya terkulai ke samping.
Ian menemukan lagi lap basah dan mulai mengusap wajah
mengilat Walter.
“Aku tidak pintar dalam… dalam berbohong,” bisikku. Kuamati
bibir Walter yang bergumam, untuk memastikan ia tidak sedang mendengarkanku.
“Aku tidak ingin mengecewakannya.”
“Kau tak perlu mengatakan apa pun,” ujar Ian meyakinkanku.
“Dia tidak cukup sadar untuk peduli.”
“Apakah aku mirip istrinya?”
“Sama sekali tidak—aku pernah melihat fotonya. Gemuk pendek
dan berambut merah.”
“Sini, biar aku saja yang melakukannya.”
Ian menyerahkan lap itu kepadaku, dan aku mengusap keringat dari
leher Walter. Tangan yang sibuk selalu membuatku merasa lebih nyaman. Walter terus
bergumam, Kurasa aku mendengarnya berkata, “Terima kasih, Gladdie, enak
sekali.”
Aku tidak memperhatikan dengkur Doc sudah berhenti. Suaranya
yang kukenal tiba-tiba terdengar di belakangku. Nadanya sangat lembut hingga
tidak mengejutkanku.
“Bagaimana keadaannya?”
“Mengigau,” bisik Ian. “Karena brendi atau karena rasa
sakit?”
“Kurasa lebih dikarenakan rasa sakitnya. Aku bersedia
menukar lengan kananku untuk mendapatkan morfin.”
“Mungkin Jared akan kembali membawa keajaiban,” saran Ian.
“Mungkin,” desah Doc.
Aku mengusap wajah pucat Walter sambil melamun, dan kini aku
mendengarkan dengan lebih saksama, tapi mereka tidak membicarakan Jared lagi.
Tidak ada di sini, bisik Melanie.
Sedang mencari pertolongan untuk Walter, ujarku mengiyakan.
Sendirian, imbuhnya.
Kuingat saat terakhir aku bertemu Jared—ciuman itu,
keyakinan itu… Mungkin ia perlu menyendiri beberapa waktu.
Kuharap ia tidak berada di luar sana, dan kembali meyakinkan
dirinya kau aktris yang sangat berbakat-sekaligus-Pencari…
Itu mungkin saja.
Melanie menggeram dalam kebisuan.
Ian dan Doc bergumam dengan suara rendah, membicarakan
hal-hal remeh. Yang terutama, Ian menceritakan kepada Doc mengenai apa yang
terjadi di ruang-ruang gua.
“Ada apa dengan wajah Wanda?” bisik Doc, walaupun aku masih bisa dengan mudah mendengarnya.
“Kurang-lebih sama,” jawab Ian dengan nada kesal.
Doc menghembuskan napas dengan tidak senang, lalu berdecak.
Ian sedikit bercerita mengenai kelasku yang canggung malam
ini, mengenai pertanyaan-pertanyaan Geoffrey.
“Akan menyenangkan seandainya Melanie dikuasai Penyembuh,”
renung Doc.
Aku mengernyit, tapi mereka berada di belakangku dan mungkin
tidak memperhatikan.
“Kita beruntung Wanda yang menguasainya,” gumam Ian
membelaku. “Tak ada—“
“Aku tahu,” sela Doc, yang selalu berbaik hati. “Kurasa yang
seharusnya kukatakan adalah, sayang sekali Wanda tidak terlalu tertarik pada
pengobatan.”
“Maaf,” gumamku. Aku memang ceroboh, memetik manfaat
kesehatan yang sempurna tanpa pernah penasaran mengenai penyebabnya.
Sebuah tangan menyentuh bahuku. “Kau tak perlu meminta maaf
untuk apa pun,” ujar Ian.
Jamie diam saja. Aku menoleh dan melihatnya meringkuk di
dipan yang tadi ditiduri Doc.
“Sudah malam,” ujar Doc. “Walter tidak akan ke mana-mana
mala mini. Kalian harus tidur.”
“Kami akan kembali,” janji Ian. “Katakan saja, apa yang bisa
kami bawa untuk kalian berdua.”
Kuletakkan tangan Walter, lalu kutepuk dengan hati-hati.
Mata Walter langsung terbuka, lalu ia memusatkan pandangan dengan lebih banyak
kesadaran daripada sebelumnya.
“Kau mau pergi?” Tanya Walter tersengal. “Apakah kau harus
pergi secepat ini?”
Cepat-cepat kuraih lagi tangannya. “Tidak. Aku tidak perlu
pergi.”
Walter tersenyum dan kembali memejamkan mata. Jemarinya
mencengeram jemariku dengan tenaganya yang rapuh.
Ian mendesah.
“Kau bisa pergi,” kataku kepadanya. “Aku tidak keberatan.
Bawa Jamie kembali ke tempat tidurnya.”
Ian melirik ke sekeliling ruangan. “Tunggu sebentar,”
ujarnya. Lalu ia meraih dipan yang terdekat dengannya. Tidak berat—ia
mengangkatnya dengan mudah dan meletakkannya di samping dipan Walter.
Kurentangkan tanganku sejauh mungkin, berusaha untuk tidak mengejutkan Walter,
sehingga Ian bisa mengatur dipan itu dibawah lenganku. Lalu Ian mengangkat
tubuhku dengan sama mudahnya, dan meletakkanku di dipan di samping Walter. Mata
Walter tetap terpejam. Diam-diam aku menghela napas dengan terkejut,
terperangah melihat betapa Ian bisa meletakkan kedua tangannya dengan santai di
tubuhku—seakan aku manusia.
Ian mengarahkan dagunya ke tnagan Walter yang mencengkeram
erat tanganku. “Kau bisa tidur dengan tangan seperti itu?”
“Ya, aku yakin bisa.”
“Kalau begitu, selamat tidur.” Ia tersenyum kepadaku, lalu
berbalik dan mengangkat Jamie dari dipan lain. “Ayo pergi, Nak,” gumamnya. Ia
menggendong anak itu tanpa susah payah, seolah Jamie masih bayi. Langkah pelan
Ian terdengar sayup-sayup di kejauhan, lalu aku tak bisa mendengarnya lagi.
Doc menguap, lalu duduk di belakang meja yang disusunnya
dari peti-peti kayu dan pintu alumunium. DIbawanya lampu suram itu bersamanya.
Wajah Walter terlalu gelap untuk dilihat, dan itu membuatku gelisah. Rasanya
seakan ia sudah pergi. Aku menghibur diri dengan jemarinya yang masih
menggenggam erat jemariku.
Doc mulai membongkar-bongkar kertas, bersenandung dengan
suara nyaris tak terdengar. Aku tertidur mendengar suara gemersik lembut itu.
Walter mengenaliku keesokan paginya.
Ia terbangun ketika Ian muncul untuk menemaniku kembali.
Ladang jagung harus dibersihkan dari batang-batang jagung tua. Aku berjanji
kepada Doc untuk membawakannya sarapan sebelum mulai bekerja. Hal terakhir yang
kulakukan adalah melepaskan dengan hati-hati jemariku yang mati rasa,
membebaskannya dari cengkeraman Walter.
Mata Walter terbuka. “Wanda,” bisiknya.
“Walter?” Aku tak yakin berapa lama ia akan mengenaliku,
atau apakah ia akan ingat kejadian semalam. Tangannya mencengkeram udara
kosong, jadi kuserahkan tangan kiriku, tangan yang tidak mati rasa.
“Kau datang menengokku. Baik sekali. Aku tahu… dengan
kepulangan mereka… pasti berat… bagimu… Wajahmu…”
Tampaknya Walter mengalami kesulitan untuk memerintahkan
bibirnya membentuk kata-kata, dan matanya berubah-ubah antara terfokus dan
tidak. Betapa baik hatinya; kata-kata pertamanya untukku penuh dengan
kekhawatirkan.
“Semuanya baik-baik saja, Walter. Bagaimana denganmu?”
“Ah—“ Ia mengerang pelan. “Tidak begitu… Doc?”
“Aku di sini,” gumam Doc, persis di belakangku.
“Punya minuman keras lagi?” Tanya Walter terengah-engah.
“Tentu saja.”
Doc sudah siap. Ia mendekatkan mulut sebuah botol kaca tebal
ke bibir Walter yang terbuka, lalu dengan hati-hati menuangkan cairan cokelat
gelap itu dalam bentuk tetesan pelan ke dalam mulutnya. Walter mengernyit
ketika setiap tegukan membakar tenggorokannya. Sebagian cairan menetes dari
sudut mulutnya ke atas bantal. Baunya menusuk hidungku.
“Sudah lebih baik?” Tanya Doc, setelah menuang cairan itu
perlahan-lahan untuk waktu lama.
Walter mengerang. Kedengarannya ia tidak setuju. Matanya
terpejam.
“Lagi?” Tanya Doc.
Walter menyeringai, lalu mengerang.
Doc memaki dengan suara berbisik. “Mana Jared?” gumamnya.
Aku mengejang mendengar nama itu. Melanie bergerak, lalu
kembali melamun.
Wajah Walter mengendur. Kepalanya mendongak ke belakang.
“Walter?” bisikku.
“Dia terlalu kesakitan untuk tetap tersadar. Biarkan saja,”
ujar Doc.
Tenggorokanku tercekat. “Apa yang bisa kulakukan?”
Suara Doc terdengar putus asa. “Sama seperti yang bisa
kulakukan. Tak ada. Aku tak berguna.”
“Jangan begitu, Doc,” gumam Ian. “Ini bukan salahmu. Dunia
tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tak seorang pun berharap lebih darimu.”
Bahuku merosot. Tidak, dunia mereka memang tak lagi berjalan
sebagaimana mestinya.
Satu jari mengetuk lenganku. “Ayo, pergi,” bisik Ian.
Aku mengangguk dan mulai menarik tanganku untuk
membebaskannya.
Mata Walter berputar, lalu terbuka, tanpa melihat apa-apa.
“Gladdie? Kau di sini?” tanyanya.
“Um… aku di sini,” jawabku bimbang, membiarkan jemari Walter
mencengkeram jemariku.
Ian mengangkat bahu. “Akan kubawakan makanan untuk kalian,”
bisikknya, lalu pergi.
Dengan cemas aku menunggu Ian kembali. Kesadaran Walter yang
lemah membuatku takut. Ia menggumamkan nama Gladys berulang kali, tapi
tampaknya tidak memerlukan apa-apa dariku, dan aku bersyukur karenanya. Setelah
beberapa saat, mungkin setengah jam, aku mulai menantikan langkah Ian di
terowongan, bertanya-tanya apa yang membuatnya begitu lama.
Setelah tadi Doc berdiri di samping meja, menatap kekosongan
dengan bahu merosot. Mudah untuk melihat betapa ia merasa dirinya tak berguna.
Lalu aku benar-benar mendengar sesuatu, tapi bukan langkah
kaki.
“Apa itu?” tanyaku kepada Doc dengan suara berbisik; Walter
sudah kembali tenang, mungkin tak sadarkan diri. Aku tidak ingin mengganggunya.
Doc berbalik memandangku, memiringkan kepala untuk
mendengarkan.
Suara itu seperti nada monoton aneh, bagaikan ketukan pelan
cepat. Kupikir suara itu terdengar sedikit lebih keras, tapi kemudian berubah
pelan lagi.
“Aneh,” ujar Doc. “Kedengarannya hampir seperti…” Ia
terdiam, keningnya mengernyit berkonsentrasi ketika suara tak dikenal itu
menghilang.
Kami mendengarkan dengan saksama, terdengar suara langkah
yang masih di kejauhan. Suaranya tidak sesuai dengan harapan kami, yaitu
langkah teratur kedatangan Ian. Langkah ini lari—tidak, lari cepat.
Doc langsung bereaksi terhadap suara mencemaskan itu. Ia
cepat-cepat lari keluar menjumpai Ian. Aku juga berharap bisa mengetahui
masalahnya, tapi tak ingin mencemaskan Walter dengan mencoba membebaskan
tanganku lagi. Jadi aku mendengarkan baik-baik.
“Brandt?” Kudengar Doc berkata terkejut.
“Mana mahluk itu? Mana mahluk itu?” desak Brandt
terengah-engah. Suara langkah berlari itu hanya berhenti sedetik, lalu kembali
terdengar, walaupun larinya tidak secepat sebelumnya.
“Kau ngomong apa?” Tanya Doc.
“Parasit itu!” desis Brandt tidak sabar, dengan cemas,
ketika memasuki lubang masuk melengkung.
Brandt bukan lelaki bertubuh besar seperti Kyle atau Ian.
Mungkin ia hanya beberapa senti lebih tinggi dariku, tapi tubuhnya kekar dan
padat seperti badak. Matanya menyapu ruangan; pandangannya yang menusuk
terpusat ke wajahku selama setengah detik, lalu beralih ke sosok Walter yang
tak sadarkan diri, lalu melesat mengelilingi ruangan, dan berakhir kembali di
wajahku.
Doc berhasil menyusul Brandt. Jemari Doc yang panjang
mencengkeram bahu Brandt, tepat ketika lelaki yang lebih kekar itu maju satu
langkah ke arahku.
“Kau mau apa?” Tanya Doc. Suaranya mirip geraman.
Sebelum Brandt menjawab, suara aneh itu kembali terdengar,
awalnya pelan lalu sangat keras, kemudian mendadak berubah pelan kembali,
sampai kami terpaku. Ketukan-ketukan itu berkesinambungan, mengguncang udara
ketika suaranya terdengar paling keras.
“Apakah itu—apakah itu helicopter?” Tanya Doc berbisik.
“Ya,” bisik Brandt menjawab. “Itu Pencari—Pencari yang sama
dengan sebelumnya. Sedang mencari mahluk itu.” Ia mneyentakkan dagunya ke
arahku.
Tenggorokanku tiba-tiba tercekat—aliran napas yang bergerak
melewatinya berubah pendek dan lemah, tidak mencukupi. Aku merasa pening.
Jangan. Jangan sekarang. Kumohon.
Ada apa dengan Pencari itu? Mel menggeram di dalam kepalaku.
Mengapa ia terus mengganggu kita?
Kita tidak bisa membiarkannya melukai mereka!
Tapi bagaimana cara kita menghentikannya?
Aku tak tahu. Ini semua salahku!
Salahku juga, Wanda. Salah kita.
“Kau yakin?” Tanya Doc.
“Ketika Pencari itu berkeliaran, Kyle bisa melihatnya dengan
jelas lewat binocular. Pencari yang sama dengan yang pernah dilihatnya
sebelumnya.”
“Apakah dia mencari di sini?” Suara Doc tiba-tiba terdengar
ketakutan. Ia setengah berputar, matanya melirik lubang keluar. “Mana Sharon?”
Brandt menggeleng. “Pencari itu hanya menyapu wilayah. Di
mulai dari Picacho, lalu menyebar ke mana-mana. Sepertinya tidak memusatkan
perhatian pada sesuatu di dekat sini. DIa berputar-putar beberapa kali di
tempat kita membuang mobil itu.”
“Sharon?” Tanya Doc lagi.
“Dia bersama anak-anak dan Lucina. Mereka baik-baik saja.
Kaum lelaki sedang mengemasi barang-barang, kalau-kalau kita harus bergerak
malam ini. Tapi menurut Jeb itu tak mungkin.”
Doc menghembuskan napas, lalu berjalan ke mejanya. Ia bersandar
di sana, seakan baru saja lari jarak jauh. “Jadi sebenarnya tak ada sesuatu
yang baru,” gumamnya.
“Tidak. Kita hanya harus bersembunyi selama beberapa hari,”
ujar Brandt meyakinkan Doc. Matanya kembali melirik sekeliling ruangan, dan
setiap detiknya beralih kepadaku. “Punya tali?” tanyanya kepada Doc. Ia menarik
ujung seprai salah satu dipan yang kosong, lalu menelitinya.
“Tali?” Tanya Doc datar.
“Untuk parasit itu. Kyle mengirimku ke sini untuk
mengamankannya.”
Tanpa sadar otot-ototku berkontraksi; tanganku mencengkeram
jemari Walter terlalu erat, dan ia mengerang. Aku mencoba memaksakan tanganku
agar tetap santai, seraya tetap mengarahkan pandangan pada wajah keras Brandt.
Ia sedang menunggu Doc, penuh harap.
“Kau di sini untuk mengamankan Wanda?” Tanya Doc. Suaranya
kembali mengeras. “Dan apa yang membuatmu berpikir tindakan itu diperlukan?”
“Ayolah, Doc. Jangan tolol. Kau punya beberapa lubang
ventilasi besar di sini, dan banyak logam reflektif.” Brandt menunjuk lemari
arsip di dinding yang jauh. “Jika kau membiarkan perhatianmu berkelana selama
setengah menit, dia akan mengirimkan sinyal kepada Pencari itu.”
Aku menghela napas dengan terkejut; suaranya terdengar keras
di dalam ruang yang hening itu.
“Benar, kan?” ujar Brandt. “Kurasa itu salah satu
rencananya.”
Aku ingin membenamkan diri ke bawah batu, bersembunyi dari
mata menonjol kejam Pencari-ku, tapi Brandt malah membayangkan aku ingin
menuntun Pencari masuk. Membawanya kemari untuk membunuh Jared, Jeb, Ian…
Rasanya aku kepingin muntah.
“Kau bisa pergi, Brandt,” ujar Doc dingin. “Aku akan
mengawasi Wanda.”
Brandt mengangkat sebelah alisnya. “Ada apa dengan kalian?
Denganmu, Ian, Trudy, dan yang lainnya? Seolah kalian semua terhipnotis. Seolah
mata kalian reflektif, aku terpaksa bertanya-tanya…”
“Silahkan bertanya-tanya sesukamu, Brandt. Tapi keluarlah
dari sini.”k
Brandt menggeleng. “Aku harus melakukan sesuatu.”
Doc menghampiri Brandt, lalu berhenti ketika sudah berada di
antara aku dan Brandt. Ia bersedekap.
“Kau tidak akan menyentuhnya.”
Baling-baling helicopter yang berdentam-dentam terdengar di
kejauhan. Kami diam tak bergerak, menahan napas, sampai suara itu menghilang.
Brandt menggeleng ketika keadaan kembali hening. Ia tidak
bicara; hanya berjalan menuju meja dan mengangkat kursi Doc. Ia membawanya ke
dinding di samping lemari arsip, menghujamkannya ke tanah, lalu duduk dengan
mengempaskan tubuh, membuat kaki-kaki logam kursi itu berderit di batu. Ia
membungkuk, kedua tangan di lutut, menatapku. Hering sedang menunggu kelinci
sekarat berhenti bergerak.
Rahang Doc menegang, menciptakan suara letupan kecil.
“Gladys,” gumam Walter, tersadar dari ketidaksadarannya.
“Kau di sini.”
Terlalu menggelisahkan bagiku untuk bicara, dengan brandt
mengawasi, jadi aku hanya menepuk-nepuk tangan Walter. Mata berkabutnya
meneliti wajahku, melihat raut wajah yang tak hadir di sana.
“Sakit, Gladdie. Sakit sekali.”
“Aku tahu,” bisikku. “Doc?”
Doc sudah ada di sana, dengan brendi di tangan. “Buka
mulutmu, Walter.”
Suara helicopter berdentam
pelan; jauh, tapi masih terlalu dekat. Doc tersentak, dan beberapa tetes brendi
menciprati tanganku.
Hari yang mengerikan. Yang
terburuk dalam kehidupanku di planet ini, bahkan bila hari pertamaku di gua dan
hari terakhirku di padang gurun—hanya beberapa jam dari kematian masuk
hitungan.
Helikopter itu berputar dan berputar. Terkadang setelah
lebih dari satu jam berlalu dan aku mengira helicopter itu sudah pergi, suara
itu kembali terdengar, dan aku melihat wajah keras kepala Pencari dalam
benakku, matanya yang menonjol meneliti padang gurun kosong, mencari semacam
tanda keberadaan manusia. Aku berusaha membuatnya pergi, berkonsentrasi penuh
pada ingatan-ingatanku mengenai dataran padang gurun yang tak berwarna dan tak menarik,
seakan aku bisa memastikan Pencari tidak melihat apa-apa, seakan aku bisa
memaksanya pergi.
Brandt tak pernah mengalihkan pandangan curiganya dariku.
Aku bisa terus merasakannya, walaupun jarang memandangnya. Suasana sedikit
membaik ketika Ian kembali dengan sarapan sekaligus makan siang. Tubuhnya
sangat kotor, akibat berkemas-kemas untuk menghadapi evakuasi—apa pun arti kata
itu. Apakah mereka tahu hendak pergi ke mana? Ian memberengut marah, sampai
terlihat seperti Kyle, ketika Brandt menjelaskan dengan singkat mengapa ia
berada di sana. Lalu Ian menyeret dipan kosong lain ke sampingku, sehingga ia
bisa duduk di hadapan Brandt dan menghalangi pandangannya.
Helikopter dan sikap Brandt yang penuh curiga—keduanya tidak
begitu buruk. Pada hari biasa—seandainya hari semacam itu benar-benar masih
ada—salah satunya mungkin kelihatan menyiksa. Hari ini semuanya tak berarti.
Siangnya Doc sudah memberikan Walter brendi terakhir.
Tampaknya baru beberapa menit berlalu ketika Walter menggeliat-geliat,
mengerang, dan terengah-engah. Jemarinya membuat jemariku memar dan luka. Tapi
kalau aku menariknya, erangan Walter berubah jadi jeritan melengking. Sekali
aku keluar untuk ke kamar mandi. Brandt mengikutiku, dan itu membuat Ian merasa
harus ikut juga. Saat kami kembali—setelah nyaris berlari sepanjang
jalan—jeritan Walter tak lagi terdengar seperti jeritan manusia. Wajah Doc
cekung penuh penderitaan. Walter berubah tenang setelah aku bicara dengannya
sejenak, membiarkannya mengira istrinya ada di dekatnya. Itu kebohongan yang
mudah, kebohongan yang baik. Brandt mengeluarkan sedikit suara-suara jengkel,
tapi aku tahu kemarahannya keliru. Tak ada yang penting selain rasa sakit
Walter.
Tapi erangan dan geliatan itu berlanjut, dan Brandt
mondar-mandir di salah satu ujung ruangan, berusaha menyingkir sejauh mungkin
dari suara itu.
Jamie datang mencariku, membawakan makanan cukup untuk empat
orang, ketika cahaya di atas kepala berubah mendekati jingga. Aku tidak
membiarkan Jamie tetap tinggal; aku meminta Ian membawanya kembali ke dapur
untuk makan, dan meminta Ian berjanji untuk mengawasinya semalaman agar ia
tidak menyelinap lagi kemari. Walter menjerit ketika geliatan tubuhnya
menggerakkan kakinya yang patah, dan suaranya nyaris tak tertahankan. Jamie tak
boleh memasukkan malam ini ke dalam ingatannya, seperti yang pasti terjadi
denganku dan Doc. Mungkin juga Brandt, walaupun ia berusaha keras mengabaikan
Walter. Ia menutup telinga dan menyenandungkan nada-nada sumbang.
Doc tidak berusaha menjauhkan diri dari penderitaan Walter
yang mengerikan. Ia malah menderita bersamanya. Teriakan Walter menggoreskan
guratan-guratan mendalam di wajah Doc, seperti cakar yang menggaruk kulit.
Rasanya aneh melhat kedalaman kasih sayang seperti itu di
dalam diri seorang manusia, terutama Doc. Pandanganku terhadapnya takkan bisa
sama lagi, setelah menyaksikannya menghadapi rasa sakit Walter. Begitu besar
kasih sayang Doc sehingga tampaknya ia mengalami pendarahan di dalam. Ketika
kuamati, mustahil bagiku untuk percaya Doc jahat. Mustahil lelaki itu penyiksa.
Kucoba mengingat-ingat, perkataan apa yang mendukung dugaanku—adakah seseorang
yang menegaskan tuduhanku? Kurasa tidak. Agaknya aku telah salah menyimpulkan
dalam ketakutanku.
Aku ragu apakah bisa kembali mencurigai Doc setelah hari
penuh mimpi buruk ini. Namun aku selalu menganggap rumah sakit ini tempat
mengerikan.
Ketika cahaya matahari terakhir menghilang, begitu juga
helikopternya. Kami duduk dalam gelap, tak berani menyalakan apa pun, bahkan
lampu biru suram itu. Perlu beberapa jam sebelum salah satu dari kami percaya
perburuan itu telah berakhir. Brandt orang pertama yang menerimanya; ia juga
sudah muak dengan rumah sakit itu.
“Masuk akal jika Pencari itu menyerah,” gumam Brandt, seraya
beringsut ke lubang luar. “Tak ada yang bisa dilihat di malam hari. Aku akan
pergi membawa lampumu, Doc, sehingga parasit peliharaan Jeb tak bisa
merencanakan apa-apa.”
Doc tidak menjawab, bahkan tidak memandangi kepergian lelaki
pemarah itu.
“Hentikanlah, Gladdie, hentikanlah!” Walter memohon kepadaku.
Aku mengusap keringat dari wajahnya, sementara ia meremukkan tanganku.
Waktu tampaknya melambat, lalu berhenti. Malam kelam itu
rasanya takkan pernah berakhir. Jeritan Walter semakin lama semakin sering,
semakin lama semakin menyiksa.
Melanie berada sangat jauh. Ia tahu dirinya tak bisa
melakukan apa pun yang berguna. Aku pasti juga akan bersembunyi, kalau saja
Walter tidak membutuhkanku. Aku sendirian di dalam kepalaku—persis seperti yang
pernah kuinginkan. Membuatku merasa tersesat.
Akhirnya cahaya abu-abu suram mulai merayap masuk lewat
lubang-lubang ventilasi jauh di atas kepala. Aku melayang-layang di ambang
tidur, erangan dan jeritan Walter membuatku terjaga. Aku bisa mendengar
dengkuran Doc di belakangku. Aku gembira karena ia bisa melarikan diri sejenak.
Aku tidak menengar Jared masuk. Aku sedang menggumamkan
penghiburan lemah yang nyaris tak terdengar, mencoba menenangkan Walter.
“Aku di sini, aku di sini,” gumamku, ketika Walter
meneriakkan nama istrinya. “Sst, tidak apa-apa.” Kata-kata itu tak berarti.
Tapi setidaknya aku mengatakan sesuatu, dan sepertinya suaraku benar-benar
menenangkan jeritan-jeritan terburuk Walter.
Aku tak tahu sudah berapa lama Jared mengamatiku dan Walter,
sebelum aku menyadari kehadirannya. Mestinya sudah agak lama. Aku yakin reaksi
pertamanya adalah marah. Tapi ketika aku mendengarnya bisara, suaranya tenang.
“Doc,” kata Jared, dan aku mendengar dipan di belakangku
berguncang. “Doc, bangun.”
Kutarik tanganku, lalu aku berputar bingung, untuk melihat
wajah yang sesuai dengan suara yang tak mungkin keliru itu.
Mata Jared memandangku ketika mengguncang-guncang bahu Doc
yang sedang tidur. Mustahil untuk membaca mata itu dalam cahaya suram. Wajahnya
tak menunjukkan ekspresi apa pun.
Melanie melompat ke dalam kesadaran. Ia meneliti wajah
Jared, mencoba membaca pikiran-pikiran di balik topeng itu.
“Gladdie! Jangan pergi! Jangan!” teriakan Walter membuat Doc
langsung melompat berdiri, nyaris menggulingkan dipan.
Aku kembali berputar menghadap Walter, lalu menyorongkan
tanganku yang sakit ke dalam jemarinya yang mencari-cari.
“Ssst, ssst! Walter, aku di sini. Aku tidak akan pergi. Aku
tak akan pergi, aku berjanji.”
Walter berubah tenang, merengek-rengek seperti anak kecil.
Kuusapkan lap basah di keningnya; tangisnya berhenti, berubah jadi desahan.
“Ada apa ini?” gumam Jared di belakangku.
“Wanda adalah penghilang nyeri terbaik yang bisa kutemukan,”
ujar Doc lelah.
“Well, aku menemukan yang lebih baik daripada Pencari
jinak.”
Perutku mengejang, dan Melanie mendesis di dalam kepalaku.
Tolol sekali, benar-benar keras kepala, geramnya. Ia takkan percaya, kalaupun
kau mengatakan matahari terbenam di barat.
Tapi Doc tak memedulikan sindiran Jared tadi. “Kau menemukan
sesuatu!”
“Morfin—tak banyak. Aku bisa pulang lebih cepat seandainya
Pencari tidak menghalangiku di luar sana.”
Doc langsung beraksi. Aku mendengarnya menggeledah sesuatu
yang seperti kertas, lalu berteriak gembira. “Jared, kau pembawa mukjizat!”
“Doc, tunggu seben…”
Tapi Doc sudah berada di sampingku, wajah kuyunya berseri-seri
oleh harapan. Kedua tangannya sibuk dengan jarum suntik kecil. Ia menyuntikkan
jarum mungil itu ke lipatan di siku Walter, di lengan yang terhubung dengan
tanganku. Aku berpaling. Betapa ngeri rasanya menusukkan sesuatu ke kulit
Walter.
Tapi aku tak bisa membantah hasilnya. Dalam setengah menit
sekujur tubuh Walter berubah santai, melebur jadi tumpukan daging kendur di
atas kasur tipis. Napasnya berubah dari keras dan tersengal menjadi pelan dan
teratur. Tangannya mengendur, membebaskan tanganku.
Aku memijat-mijat tangan kiriku dengan tangan kanan, mencoba
mengalirkan darah ke ujung jari-jariku lagi. Sedikit rasa tertusuk-tusuk
mengikuti aliran darah di bawah kulitku.
“Uh, Doc, tidak cukup untuk itu,” gumam Jared.
Aku mendongak dari wajah Walter yang akhirnya damai. Jared
memunggungiku, tapi bisa kulihat keterkejutan di raut wajah Doc.
“Cukup untuk apa? Aku takkan menyimpan ini untuk
berjaga-jaga, Jared. Aku yakin kita berharap bisa memilikinya lagi, dan dengan
segera, tapi aku takkan membiarkan Walter berteriak kesakitan sementara aku
punya cara untuk menolongnya!”
“Bukan itu maksudku, “ ujar Jared. Ia selalu bicara seperti
itu ketika sudah memikirkan sesuatu masak-masak. Pelan dan teratur, seperti
napas Walter.
“Cukup untuk menghentikan rasa sakit selama kira-kira tiga
atau empat hari. Itu saja,” ujar Jared. “Kalau kau memberinya dalam dosis
teratur.”
Aku tidak memahami ucapan Jared, tapi Doc paham.
“Ah,” desah Doc. Ia berpaling dan memandang Walter, kulihat
lingkaran baru air mata mulai menggenang di kelopak bawah matanya. Ia membuka
mulut untuk bicara, tapi tak ada yang keluar.
Aku ingin tahu apa yang sedang mereka bicarakan, tapi
kehadiran Jared membuatku diam, mengembalikan keengganan bicara yang sudah
jarang kurasakan.
“Kau tak bisa menyelamatkannya. Kau hanya bisa
menyelamatkannya dari rasa sakit, Doc.”
“Aku tahu,” ujar Doc. Suaranya parau, seakan menahan tangis.
“Kau benar.”k
Apa yang terjadi? Tanyaku. Mumpung Melanie masih
berkeliaran, sebaiknya aku memanfaatkannya.
Mereka hendak membunuh Walter, ujarnya tanpa emosi. Ada
cukup banyak morfin untuk membuatnya overdosis.
Helaan napas terkejutku terdengar keras di dalam ruangan
hening itu, tapi sebenarnya aku hanya menarik napas. Aku tidak mendongak untuk
melihat reaksi kedua lelaki sehat itu. Air mataku sendiri menggenang ketika aku
membungkuk di atas bantal Walter.
Tidak, pikirku, tidak. Belum saatnya. Tidak.
Kau lebih suka Walter mati dengan berteriak?
Aku hanya… aku tidak tahan terhadap… bagian akhirnya. Begitu
telak. Aku takkan pernah berjumpa dengan temanku lagi.
Berapa banyak temanmu yang lain yang pernah kau kunjungi
kembali, Wanderer?
Aku belum pernah punya teman-teman seperti ini.
Semua temanku di planet-planet lain mengabur jadi satu di
dalam benakku. Semua jiwa begitu serupa, nyaris bisa saling ditukar dengan cara
tertentu. Walter jelas adalah dirinya sendiri. Ketika ia pergi tak seorang pun
bisa mengisi tempatnya.
Aku membuai kepala Walter dengan kedua lenganku,membiarkan
air mataku jatuh ke atas kulitnya. Aku mencoba menahan tangis, tapi tangisan
itu tetap saja keluar—lebih berupa ratapan daripada isakan.
Aku tahu. Pengalaman pertama lagi, bisik Melanie. Dan
terdengar iba dalam suaranya. Iba terhadapku—itu juga pengalaman pertama.
“Wanda?” panggil Doc.
Aku hanya menggeleng, tak mampu menjawab.
“Kurasa kau sudah terlalu lama di sini,” ujarnya. Kurasakan
tangan Doc, ringan dan hangat, di bahuku. “Kau harus istirahat.”
Kembali aku menggeleng, masih meratap pelan.
“Kau lelah,” kata Doc. “Pergilah mandi, regangkan kakimu.
Makanlah sesuatu.”
Aku melotot pada Doc. “Apakah Walter aka nada di sini ketika
aku kembali?” gumamku di antara air mata.
Mata Doc menegang penuh kecemasan. “Kau menginginkan itu?”
“Aku menginginkan kesempatan untuk mengucapkan selamat
tinggal. Dia temanku.”
Doc menepuk-nepuk lenganku. “Aku tahu, Wanda. Aku tahu. Dia
temanku juga. Aku tidak terburu-buru. Pergilah mencari udara segar, lalu
kembalilah. Walter akan tidur sejenak.”
Kubaca wajah lelah Doc, dan aku memercayai ketulusan yang
terpampang di sana.
Aku mengangguk, lalu perlahan-lahan meletakkan kembali
kepala Walter ke atas bantal. Kalau aku pergi sebentar dari tempat ini, mungkin
aku akan menemukan cara untuk menghadapi peristiwa ini. Aku tak yakin
bagaimana—aku tak punya pengalaman mengucapkan selamat tinggal yang sesungguhnya.
Karena sedang jatuh cinta kepada Jared, maka tak peduli
betapa enggannya, aku harus memandang wajah Jared sebelum pergi. Mel juga
menginginkan hal ini. Tapi entah bagaimana aku berharap ia bisa mengecualikan
diriku dari prosesnya.
Jared sedang menatapku. Aku punya perasaan matanya telah
terarah kepadaku untuk waktu lama. Wajahnya cukup tenang, tapi kembali tampak
terkejut dan curiga di sana. Itu membuatku lelah. Apa gunanya berpura-pura
sekarang, kalaupun aku pembohong yang begitu berbakat? Walter takkan pernah
membelaku lagi. Aku tak bisa memengaruhinya lagi.
Kubalas tatapan Jared selama satu detik yang terasa lama,
lalu berbalik untuk bergegas menyusuri koridor gelap gulita yang tampak lebih
cerah daripada ekspresi Jared.
0 comments:
Post a Comment