Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara

Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara
Harga mulai 5rb an. Gratis ongkir DKI Jakarta

The Host-Bab 27



Bimbang


Aku meraba-raba jalanku untuk kembali ke lubang penjara. Sudah berminggu-minggu berlalu sejak aku menyusuri koridor yang satu ini. AKu belum pernah kembali sejak pagi setelah Jared pergi dan Jeb membebaskank. Bagiku sepertinya di sinilah tempat tinggalku, selama aku masih hidup dan Jared berada di dalam gua.
Kini tak ada cahaya suram menyambutku. Aku cukup yakin hampir tiba di sana--belokan-belokannya belum begitu kukenal. Kubiarkan tangan kiriku meraba-raba dinding serendah mungkin, mencari-cari lubang itu sambil merayap maju. Aku belum memutuskan untuk merangkak kembali ke dalam lubang sempit itu, tapi setidaknya lubang itu memberiku titik referensi, memberitahukan bahwa aku berada di tempatku seharusnya.
Ternyata aku tak bisa menghuni selku.
Tepat ketika jari-jariku mengusap pinggiran kasar di bagian atas lubang, kakiku menabrak penghalang dan aku tersandung, jatuh berlutut. Kuulurkan tangan untuk menopang tubuh, tapi keduanya mendarat dengan bunyi berderak dan berkeretak, memecahkan sesuatu yang bukan batu dan seharusnya tak ada di sini.
Suara itu mengejutkanku. Benda tak terduga itu membuatku takut. Mungkin aku salah belok dan sama sekali tidak berada di dekat lubang. Mungkin aku berada di tempat tinggal seseorang. Kuingat-ingat perjalanan terakhirku, bertanya-tanya bagaimana aku bisa begitu bingung. Sementara itu aku menunggu semacam reaksi atas jatuhku yang berisik. Aku diam tak bergerak di dalam kegelapan.
Tak ada apa-apa--tak ada reaksi, tak ada suara. Yang ada hanya kegelapan, kepengapan, dan kelembapan seperti biasa. Keadaan sangat hening, sehingga aku tahu aku pasti sendirian.
Dengan hati-hati, seraya berusaha mengeluarkan sesedikit mungkin suara, kuteliti keadaan sekelilingku.
Tanganku terperangkap di dalam sesuatu. Aku menarik agar benda itu terlepas, lalu meraba kontur yang terasa seperti kotak karton-kotak karton dengan lembaran plastik tipis berkeresak di atasnya yang telah ditembus kedua tanganku. Aku meraba-raba ke dalam kotak dan menemukan selapis plastik keresek lagi--bentuk-bentuk persegi empat kecil yang menciptakan banyak suara ketika kupegang. Cepat-cepat aku mundur, takut menarik perhatian.
Aku ingat tadi merasa telah menemukan bagian atas lubang. Aku meraba-raba sebelah kiriku, dan menemukan lebih banyak tumpukan kotak karton. Ak berusaha mencari bagian atas tumpukan, dan harus berdiri untuk bisa melakukannya. Tumpukannya setinggi kepala. Aku meraba-raba sampai menemukan dinding, lalu menemukan lubang, persis di tempat yang kuduga sebagai letaknya. Aku mencoba memanjat masuk, memastikan itu benar-benar tempat yang sama--sedetik saja berada di lantai melengkung itu, dan aku bakal tahu pasti--tapi aku tidak bisa masuk lebih jauh ke lubang. Bagian dalamnya juga disesaki kotak.
Karena terhalang aku menjelajah dengan dua tangan, bergerak kembali ke lorong. Kusadari aku tak bisa pergi lebih jauh menyusuri lorong. Bagian itu juga penuh kotak karton misterius.
Ketika aku meraba-raba sepanjang lantai, mencoba untuk mengerti, kutemukan sesuatu yang berbeda. Ada kain kasar seperti goni--karung berisi sesuatu yang berat, yang bergeser dengan suara berdesis pelan ketika kusikut. Kuremas-remas karung itu dengan dua tangan. Suara berdesis pelan itu lebih tidak membuatku takut dibandingkan keresek plastik. Suara ini sepertinya tak memungkinkan orang lain menyadari kehadiranku.
Mendadak semua jadi jelas. Baunyalah yang menjelaskan semua itu. Ketika materi mirip pasir di dalam karung itu kumain-mainkan, aku mencium bau yang kukenal. Mengingatkanku pada dapur kosongku di San Diego, pada lemari rendah di bagian kiri tempat cuci piring. Di dalam benak bisa kulihat dengan sangat jelas karung beras, cangkir pengukur plastik yang kugunakan untuk mengeluarkan beras, serta barisan-barisan makanan kaleng di belakangnya.
Setelah kusadari bahwa aku menyentuh sekarung beras, aku mengerti. Ternyata aku berada di tempat yang benar. Bukankah Jeb pernah bilang mereka menggunakan tempat ini sebagai gudang? Dan bukankah Jared baru saja kembali dari penjarahan panjangnya? Kini semua barang--yang dicuri para penjarah itu selama berminggu-minggu kepergian mereka--diletakkan di tempat terpencil ini sampai saatnya digunakan.
Banyak pikiran berkelebat serentak di benakku.
Pertama, kusadari aku dikelilingi makanan. Bukan hanya roti kasar dan sup bawang encer, melainkan makanan. Di suatu tempat di antara tumpukan ini mungkin ada selai kacang. Biskuit chocolate chip. Keripik ketnag. Cheetos.
Bahkan ketika aku membayangkan menemukan makanan-makanan itu, membayangkan mencicipinya lagi, merasa kenyang untuk pertama kali sejak meninggalkan peradaban, aku merasa bersalah karena memikirkannya. Jared tidak mempertaruhkan nyawa dan menghabiskan berminggu-minggu dengan bersembunyi dan mencuri untuk memberiku makan. Makanan ini untuk orang-orang lain.
Aku juga khawatir kemungkinan ini belum seluruh hasil curian. Bagaimana jika mereka punya lebih banyak kotak yang harus disimpan? Apakah orang yang membawa kotak-kotak itu nanti Jared dan Kyle? Sama sekali tidak diperlukan imajinasi untuk membayangkan adegan yang bakal terjadi seandainya mereka menemukanku di sini.
Tapi bukankah itu alasanku berada di sini? Bukankah itu alasan aku perlu sendirian untuk memikirkannya?
Aku bersandar di dinding. Karung beras itu menjadi bantal yang lumayan. Kupejamkan mata--walaupun itu tak diperlukan di dalam kegelapan sehitam tinta ini--dan siap berkonsultasi.
Oke, Mel. Sekarang bagaimana?
Aku senang mendapati Melanie masih terbangun dan siaga. Perlawanan mendatangkan kekuatannya. Ia hanya menghilang ketika segalanya berjalan baik.
Prioritas, ujar Melanie memutuskan. Apa yang terpenting bagi kita? Tetap hidup? Atau Jamie?
Ia tahu jawabannya. Jamie, jawabku menegaskan, seraya mendesah keras. Suara napasku berbisik kembali dari dinding-dinding hitam.
Setuju. Kita mungkin bisa bertahan untuk sementara waktu, seandainya kita membiarkan Jeb dan Ian melindungi kita. Akankah itu membantu Jamie?
Mungkin. Apakah ia lebih terluka kalau kita menyerah begitu saja? Atau kalau kita membiarkan hal ini berlarut-larut, hanya untuk berakhir dengan buruk, hal yang tampaknya tak terhindarkan?
Melanie tidak suka itu. Aku bisa merasakannya berpikir keras, mencari alternatif-alternatif.
Mencoba kabur, saranku.
Mustahil, Melanie memutuskan. Lagi pula, apa yang akan kita lakukan di luar sana? Apa yang bisa kita katakan kepada mereka?
Kami sama-sama membayangkannya--bagaimana aku bisa menjelaskan ketidakhadiranku selama berbulan-bulan? Aku bisa berbohong, mengarang semacam cerita alternatif, atau mengatakan tidak ingat. Tapi aku membayangkan wajah skeptis Pencari, dengan mata menonjolnya yang bekilat-kilat curiga, dan aku tahu usaha-usaha cerobohku untuk berdalih bakal gagal.
Mereka akan mengira aku mengambil alih, ujar Melani setuju. Lalu mereka akan mengeluarkanmu dan memasukkan Pencari.
Aku menggeliat, seakan posisi baru di lantai batu bisa menjauhkanku dari gagasan itu, dan aku bergidik. Lalu kuikuti pikiran itu sampai kepada kesimpulannya. Pencari akan memberitahu mereka tentang tempat ini, dan para Pencari akan datang.
Kengerian melanda kami.
Benar, lanjutku. Jadi, mustahil untuk kabur.
Benar, bisik Melanie. Emosi membuat pikirannya tidak stabil.
Jadi keputusannya adalah ... cepat atau lambat. Mana yang lebih tidak melukai Jamie?
Tampaknya selama memusatkan diri pada hal-hal praktis, setidaknya aku bisa menjaga pembahasan dari sisiku agar tetap resmi dan tanpa perasaan. Melanie mencoba meniru usahaku.
Aku tidak yakin. Di satu sisi semakin lama kita bertiga bersama-sama, secara logis akan semakin berat--perpisahan itu bagi Jamie. Tapi sekali lagi, kalau kita tidak melawan, seandainya kita menyerah begitu saja... Jamie tidak bakal senang. Ia akan merasa kita mengkhianatinya.
Jadi... cepat. Tapi kita harus berusaha sebaik mungkin agar tidak mati?
Melawan habis-habisan, tegas Melanie muram.
Melawan. Hebat. Aku mencoba membayangkannya--menghadapi kekerasan dengan kekerasan. Mengangkat tangan untuk memukul seseorang. Aku bisa membentuk kata-kata itu, tapi tidak bisa membayangkannya.
Kau bisa melakukannya, Melanie menguatkan. Aku akan membantumu.
Terima kasih, tapi tidak. Pasti ada cara lain.
Aku tidak memahamimu, Wanda. Kau telah meninggalkan spesiesmu, kau siap mati demi adikku, kau jatuh cinta kepada lelaki yang kucintai dan hendak membunuh kita, tapi kau tak mau melepaskan kebiasaan-kebiasaan yang sungguh tidak praktis di sini.
Aku adalah aku, Mel. Aku tidak bisa mengubahnya, walaupun segala hal lainnya mungkin berubah. Kau mempertahankan dirimu. Biarkan aku melakukan hal yang sama.
Tapi kalau kita mau--
Melanie hendak melanjutkan perdebatannya denganku, tapi kami terganggu. Suara langkah terseret, sepatu di atas batu, menggema dari suatu tempat di koridor.
Aku terpaku--segenap fungsi tubuhku berhenti, kecuali jantung yang bahkan berdenyut terputus-putus--dan mendengarkan. Aku tidak bisa berharap cukup lama bahwa suara itu hanya khayalanku. Dalam hitungan detik aku bisa mendengar lebih banyak langkah kaki yang perlahan-lahan menghampiriku.
Melanie tetap tenang, sedangkan aku menyerah pada kepanikan.
Berdirilah, perintah melanie.
Mengapa?
Kau tidak mau melawan, tapi kau bisa lari. Kau harus berusaha melakukan sesuatu--demi Jamie.
Aku bernapas lagi, menjaga napasku tetap pelan dan pendek. Perlahan-lahan aku bergerak maju, sampai bediri di atas tumit. Adrenalin mengalir melalui otot-ototku yang bergelenyar dan melentur dibuatnya. Aku bisa lari lebih cepat daripada sebagian besar orang yang mencoba menangkapku, tapi aku harus lari ke mana?
"Wanda?" terdengar bisikan pelan seseorang. "Wanda? Kau di sini? Ini aku."
Suaranya pecah, dan aku mengenalinya.
"Jamie!" seruku parau. "Apa yang kaulakukan? Sudah kubilang aku perlu sendirian."
Kelegaan jelas terdengar di dalam suaranya, yang kini lebih keras daripada bisikan. "Semua mencarimu. Well, kau tahulah. Trudy, Lily, dan Wess--semua orang yang itu. Tapi kami tak bisa membiarkan siapa pun tahu apa yang sedang kami lakukan. Tak seorang pun boleh tahu kau menghilang. Jeb kembali membawa senapannya. Ian bersama Doc. Jika Doc sudah punya waktu, dia akan bicara dengan Jared dan Kyle. Semua orang mendengarkan perkataan Doc. Jadi kau tidak perlu bersembunyi. Semua orang sibuk, dan mungkin kau lelah..."
Sambil menjelaskan, Jamie terus bergerak maju sampai jemarinya menemukan lenganku, lalu tanganku.
"Aku tidak benar-benar bersembunyi, Jamie. Sudah kubilang, aku harus berpikir."
"Kau bisa berpikir bersama Jeb di sana, bukan?"
"Kau mau aku pergi ke mana? Kembali ke kamar Jared? Inilah tempatku seharusnya."
"Tidak lagi." Nada keras kepala yang kukenal muncul di dalam suaranya.
"Mengapa semua orang begitu sibuk?" tanyaku, mengalihkan perhatiannya. "Doc sedang apa?"
Usahaku tidak berhasil; Jamie tidak menjawab.
Setelah semenit kebisuan, kusentuh pipinya. "Dengar, kau harus bersama Jeb. Katakan pada yang lain untuk berhenti mencariku. Aku akan tetap di sini untuk sementara waktu."
"Kau tidak boleh tidur di sini."
"Aku sudah pernah melakukannya."
Kurasakan kepala jamie menggeleng di tanganku.
"Setidaknya aku akan mengambil kasur-kasur dan bantal."
"Aku hanya perlu satu."
"Aku tidak akan tidur dengan Jared selama dia masih begitu menjengkelkan."
Aku menggeram di dalam hati. "Kalau begitu kau akan tidur bersama Jeb dan dengkurannya. Tempatmu adalah bersama mereka, bukan aku."
"Tempatku adalah di mana pun yang kuinginkan."
Ancaman Kyle akan menemukanku di sini sangat memberati benakku. Tapi membantah hanya akan membuat Jamie merasa bertanggung jawab untuk melindungiku.
"Baiklah, tapi kau harus minta izin kepada Jeb."
"Nanti. Aku tidak akan mengganggu Jeb malam ini."
"Apa yang dilakukan Jeb?"
Jamie tidak menjawab. Saat itulah kusadari ia tadi juga sengaja tidak menjawab pertanyaanku. Ada sesuatu yang tak ingn diceritakannya kepadaku. Mungkin yang lain juga sibuk berusaha menemukanku. Mungkin kepulangan Jared telah mengembalikan mereka pada pendapat mereka semula tentangku. Tampaknya memang seperti itu di dapur tadi, ketika mereka menunduk dan melirikku diam-diam dengan pandangan bersalah.
"Ada apa, Jamie?" desakku.
"Tidak boleh kukatakan kepadamu," gumamnya. "Dan aku memang takkan bilang." Jamie memeluk pinggangku erat-erat, wajahnya ditekankan ke bahuku. "Semua akan baik-baik saja," janjinya parau.
Aku menepuk-nepuk punggung Jamie dan menelusurkan jemariku pada rambut acak-acakannya. "Oke," ujarku, menyetujui kebisuannya. Bagaimanapun aku juga punya rahasia-rahasia, bukan? "Jangan khawatir, Jamie. Apa pun itu, segalanya akan selesai dengan sangat baik. Kau akan baik-baik saja." Ketika mengucapkannya, aku sangat berharap itu benar.
"Aku tidak tahu harus berharap apa," bisiknya.
Aku menatap kegelapan tanpa memandang apa pun--mencoba memahami apa yang tak ingin dikatakan Jamie--dan mataku menangkap kilau samar di ujung jauh lorong. Suram, tapi jelas terlihat di dalam gua hitam.
"Sst," desahku. "Ada orang. Cepat, sembunyilah di balik kotak."
Kepala Jamie langsung mendongak ke arah cahaya kuning yang semakin terang itu. Aku menunggu suara langkah yang menyertainya, tapi tidak mendengar apa-apa.
"Aku tidak akan bersembunyi," bisik Jamie. "Pergilah ke belakangku, Wanda."
"Tidak!"
"Jamie!" seru Jared. "Aku tahu kau di belakang sana!"
Kedua kakiku terasa hampa, membeku. Mengapa harus Jared? Akan jauh lebih mudah bagi Jamie, seandainya Kyle yang membunuhku.
"Pergi!" sahut Jamie lantang.
Cahaya kuning itu mendekat secepat kilat, dan berubah jadi lingkaran di dinding yang jauh.
Jared melangkah dari pojok, senter di tangannya bergerak-gerak menyapu lantai batu. Ia sudah bersih, mengenakan kemeja merah pudah yang kukenal--pakaian itu tergantung di kamar yang kutempati berminggu-minggu, sehingga sangat kukenal. Wajah Jared juga kukenal--ekspresinya sama persis dengan ketika aku pertama kali muncul di sini.
Cahaya senter menimpa wajahku dan membutakanku. Aku tahu cahaya itu memantul dengan cemerlang dari warna perak di balik mataku, karena kurasakan Jamie terlompat--hanya sedikit terkejut, lalu ia memelukku lebih erat daripada sebelumnya.
"Menyingkirlah darinya!" raung Jared.
"Diam!" sergah Jamie. "Kau tidak mengenalnya! Jangan ganggu dia!"
Jamie menggayutiku, sementara aku mencoba melepaskan kedua tangannya.
Jared menerjang seperti banteng mengamuk. Ia mencengkeram punggung kemeja Jamie dengan sebelah tangan dan menariknya dariku. Lalu diguncang-guncangnya Jamie seraya berteriak.
"Kau tolol! Tidakkah kaulihat bagaimana dia memanfaatkanmu?"
Secara insting kusorongkan tubuhku ke ruang sempit di antara mereka. Seperti kuharapkan, gerakanku membuat Jared melepaskan Jamie. Aku tidak menginginkan atau memerlukan terjadinya hal lain--betapa aroma Jared  yang kukenal menerpa seluruh indraku, betapa kontur dadanya terasa di kedua tanganku.
"Jangan ganggu Jamie," ujarku. Kali ini aku berharap bisa jadi lebih seperti yang diinginkan Melanie--kedua tanganku tampak keras dan suaraku lantang.
Jared menangkap kedua pergelangan tanganku dengan sebelah tangan, lalu melemparku ke dinding. Dampaknya mengejutkanku, membuatku tak bisa bernapas. Tubuhku memantul dari dinding batu ke lantai, lalu kembali mendarat di atas kotak-kotak itu, menciptakan suara berdebum gemersik ketika merobek lebih banyak cellophane.
Kepalaku berdenyut-denyut. Aku tergeletak dengan posisi tertekuk janggal di atas kotak-kotak itu, dan sejenak kulihat cahaya-cahaya aneh berseliweran di depan mataku.
"Pengecut!" teriak Jamie kepada Jared. "Dia tidak akan melukaimu, bahkan untuk menyelamatkan dirinya sendiri! Mengapa kau tidak bisa membiarkannya saja?"
Aku mendengar kotak-kotak bergeser, dan merasakan sepasang tangan Jamie di lenganku. "Wanda? Kau baik-baik saja, Wanda?"
"Ya." Aku mendesah, mengabaikan denyut-denyut di kepalaku. Aku bisa melihat wajah khawatir Jamie melayang-layang di atas tubuhku dalam kilau senter yang agaknya telah dijatuhkan Jared.
"Sekarang kau harus pergi, Jamie," bisikku. "Lari."
Jamie menggeleng kuat-kuat.
"Menjauhlah dari mahluk itu!" sergah Jared.
Aku menyaksikan ketika Jared mencengkeram bahu Jamie dan menarik anak itu dari posisi jongkoknya. Kotak-kotak yang tersenggol menjatuhiku seperti longsoran salju kecil. Aku berguling menjauh, menutupi kepala dengan kedua lengan. Sebuah kotak berat menimpa tubuhku, tepat di antara tulang belikatku, dan aku berteriak kesakitan.
"Berhentilah menyakitinya!" teriak Jamie.
Terdengar suara berderak keras, dan helaan napas terkejut seseorang.
Aku berjuang melepaskan diri dari bawah kotak berat, lalu bangkit dengan bertumpu pada kedua sikuku. Kepalaku pening.
Jared menutupi hidungnya dengan sebelah tangan, sesuatu yang gelap mengalir ke bibirnya. Matanya membelalak terkejut. Jamie berdiri di hadapannya dengan kedua tangan terkepal dan wajah menyeringai marah.
Ketika Jared menatapnya terkejut, ekspresi Jamie perlahan-lahan luruh, digantikan ekspresi terluka--perasaan terluka dan terkhianati yang begitu mendalam, mengalahkan ekspresi Jared ketika berada di dapur tadi.
"Kau bukan lelaki yang kukenal," bisik Jamie. Ia memandang Jared seakan Jared sangat jauh, seakan ada dinding di antara mereka dan Jamie benar-benar terisolasi di tempatnya.
Mata Jamie berkaca-kaca, dan ia berpaling, merasa malu menunjukkan kelemahannya di depan Jared. Dengan gerakan tersentak-sentak cepat, ia berjalan pergi.
Kita sudah berusaha, pikir Melanie sedih. Jantungnya nyeri memikirkan anak itu, walaupun ia sangat menginginkan tatapanku kembali kepada Jared. Kuberi Melanie apa yang ia inginkan.
Jared tidak memandangku. Ia menatap kegelapan tempat Jamie menghilang. Tangannya masih menutupi hidung.
"Aw, sialan!" serunya tiba-tiba. "Jamie!" kembalilah ke sini!"
Tak ada jawaban.
Jared melirikku dengan tatapan dingin--aku terenyak, walaupun sepertinya kemarahannya telah memudar. Lalu ia membungkuk mengambil senter dan bergegas mengejar Jamie, menendang kotak yang menghalangi jalannya.
"Maaf, oke? Jangan menangis, Nak!" Dengan marah Jared meneriakkan lebih banyak permintaan maaf. Ia berbelok dan meninggalkanku terbaring dalam kegelapan.
Untuk waku lama kau hanya bisa mencoba bernapas. Aku berkonsentrasi pada udara yang mengalir masuk, lalu keluar, lalu masuk. Setelah merasa telah menguasai gerakan itu, aku berusaha bangkit dari lantai. Perlu beberapa detik untuk mengingat bagaimana cara menggerakkan kakiku. Dan, bahkan setelah itu pun, sepasang kakiku masih gemetaran dan nyaris roboh, sehingga aku kembali duduk bersandar pada dinding, memerosotkan tubuh sampai menemukan bantal berasku. Aku duduk lunglai di sana, menilai keadaanku.
Tak ada yang patah--kecuali mungkin hidung Jared. Aku menggeleng pelan. Jamie dan Jared tak boleh berkelahi. Aku menyebabkan begitu banyak kekacauan dan ketidakbahagiaan bagi mereka. Aku mendesah dan kembali menilai keadaanku. Ada bagian sangat nyeri di tengah punggungku, dan satu sisi wajahku terasa kasar serta lembab di bagian yang menabrak dinding. Rasanya menyengat ketika kusentuh, dan meninggalkan cairan hangat di jari-jariku. Tapi itulah bagian terburuk. Semua memar dan lecet lainnya tidak parah.
Ketika menyadari hal itu, secara tak terduga diriku dikuasai kelegaan.
Aku masih hidup. Jared mendapat peluang untuk membunuhku, tapi belum melakukannya. Jadi, kerusakan apa pun yang kutimbulkan pada hubungan mereka, mungkin itu amsih bisa diperbaiki.
Hari yang panjang. Harinya sudah panjang, bahkan sebelum Jared dan yang lain muncul. Dan itu rasanya seperti sudah ribuan tahun yang lalu. Kupejamkan mata, dan aku terlelap di atas beras.

0 comments:

Post a Comment

Jual Nugget dan Sosis Sayur

Jual Nugget dan Sosis Sayur
Pemesanan via email : lwati111@gmail.com

The Host-Bab 27



Bimbang


Aku meraba-raba jalanku untuk kembali ke lubang penjara. Sudah berminggu-minggu berlalu sejak aku menyusuri koridor yang satu ini. AKu belum pernah kembali sejak pagi setelah Jared pergi dan Jeb membebaskank. Bagiku sepertinya di sinilah tempat tinggalku, selama aku masih hidup dan Jared berada di dalam gua.
Kini tak ada cahaya suram menyambutku. Aku cukup yakin hampir tiba di sana--belokan-belokannya belum begitu kukenal. Kubiarkan tangan kiriku meraba-raba dinding serendah mungkin, mencari-cari lubang itu sambil merayap maju. Aku belum memutuskan untuk merangkak kembali ke dalam lubang sempit itu, tapi setidaknya lubang itu memberiku titik referensi, memberitahukan bahwa aku berada di tempatku seharusnya.
Ternyata aku tak bisa menghuni selku.
Tepat ketika jari-jariku mengusap pinggiran kasar di bagian atas lubang, kakiku menabrak penghalang dan aku tersandung, jatuh berlutut. Kuulurkan tangan untuk menopang tubuh, tapi keduanya mendarat dengan bunyi berderak dan berkeretak, memecahkan sesuatu yang bukan batu dan seharusnya tak ada di sini.
Suara itu mengejutkanku. Benda tak terduga itu membuatku takut. Mungkin aku salah belok dan sama sekali tidak berada di dekat lubang. Mungkin aku berada di tempat tinggal seseorang. Kuingat-ingat perjalanan terakhirku, bertanya-tanya bagaimana aku bisa begitu bingung. Sementara itu aku menunggu semacam reaksi atas jatuhku yang berisik. Aku diam tak bergerak di dalam kegelapan.
Tak ada apa-apa--tak ada reaksi, tak ada suara. Yang ada hanya kegelapan, kepengapan, dan kelembapan seperti biasa. Keadaan sangat hening, sehingga aku tahu aku pasti sendirian.
Dengan hati-hati, seraya berusaha mengeluarkan sesedikit mungkin suara, kuteliti keadaan sekelilingku.
Tanganku terperangkap di dalam sesuatu. Aku menarik agar benda itu terlepas, lalu meraba kontur yang terasa seperti kotak karton-kotak karton dengan lembaran plastik tipis berkeresak di atasnya yang telah ditembus kedua tanganku. Aku meraba-raba ke dalam kotak dan menemukan selapis plastik keresek lagi--bentuk-bentuk persegi empat kecil yang menciptakan banyak suara ketika kupegang. Cepat-cepat aku mundur, takut menarik perhatian.
Aku ingat tadi merasa telah menemukan bagian atas lubang. Aku meraba-raba sebelah kiriku, dan menemukan lebih banyak tumpukan kotak karton. Ak berusaha mencari bagian atas tumpukan, dan harus berdiri untuk bisa melakukannya. Tumpukannya setinggi kepala. Aku meraba-raba sampai menemukan dinding, lalu menemukan lubang, persis di tempat yang kuduga sebagai letaknya. Aku mencoba memanjat masuk, memastikan itu benar-benar tempat yang sama--sedetik saja berada di lantai melengkung itu, dan aku bakal tahu pasti--tapi aku tidak bisa masuk lebih jauh ke lubang. Bagian dalamnya juga disesaki kotak.
Karena terhalang aku menjelajah dengan dua tangan, bergerak kembali ke lorong. Kusadari aku tak bisa pergi lebih jauh menyusuri lorong. Bagian itu juga penuh kotak karton misterius.
Ketika aku meraba-raba sepanjang lantai, mencoba untuk mengerti, kutemukan sesuatu yang berbeda. Ada kain kasar seperti goni--karung berisi sesuatu yang berat, yang bergeser dengan suara berdesis pelan ketika kusikut. Kuremas-remas karung itu dengan dua tangan. Suara berdesis pelan itu lebih tidak membuatku takut dibandingkan keresek plastik. Suara ini sepertinya tak memungkinkan orang lain menyadari kehadiranku.
Mendadak semua jadi jelas. Baunyalah yang menjelaskan semua itu. Ketika materi mirip pasir di dalam karung itu kumain-mainkan, aku mencium bau yang kukenal. Mengingatkanku pada dapur kosongku di San Diego, pada lemari rendah di bagian kiri tempat cuci piring. Di dalam benak bisa kulihat dengan sangat jelas karung beras, cangkir pengukur plastik yang kugunakan untuk mengeluarkan beras, serta barisan-barisan makanan kaleng di belakangnya.
Setelah kusadari bahwa aku menyentuh sekarung beras, aku mengerti. Ternyata aku berada di tempat yang benar. Bukankah Jeb pernah bilang mereka menggunakan tempat ini sebagai gudang? Dan bukankah Jared baru saja kembali dari penjarahan panjangnya? Kini semua barang--yang dicuri para penjarah itu selama berminggu-minggu kepergian mereka--diletakkan di tempat terpencil ini sampai saatnya digunakan.
Banyak pikiran berkelebat serentak di benakku.
Pertama, kusadari aku dikelilingi makanan. Bukan hanya roti kasar dan sup bawang encer, melainkan makanan. Di suatu tempat di antara tumpukan ini mungkin ada selai kacang. Biskuit chocolate chip. Keripik ketnag. Cheetos.
Bahkan ketika aku membayangkan menemukan makanan-makanan itu, membayangkan mencicipinya lagi, merasa kenyang untuk pertama kali sejak meninggalkan peradaban, aku merasa bersalah karena memikirkannya. Jared tidak mempertaruhkan nyawa dan menghabiskan berminggu-minggu dengan bersembunyi dan mencuri untuk memberiku makan. Makanan ini untuk orang-orang lain.
Aku juga khawatir kemungkinan ini belum seluruh hasil curian. Bagaimana jika mereka punya lebih banyak kotak yang harus disimpan? Apakah orang yang membawa kotak-kotak itu nanti Jared dan Kyle? Sama sekali tidak diperlukan imajinasi untuk membayangkan adegan yang bakal terjadi seandainya mereka menemukanku di sini.
Tapi bukankah itu alasanku berada di sini? Bukankah itu alasan aku perlu sendirian untuk memikirkannya?
Aku bersandar di dinding. Karung beras itu menjadi bantal yang lumayan. Kupejamkan mata--walaupun itu tak diperlukan di dalam kegelapan sehitam tinta ini--dan siap berkonsultasi.
Oke, Mel. Sekarang bagaimana?
Aku senang mendapati Melanie masih terbangun dan siaga. Perlawanan mendatangkan kekuatannya. Ia hanya menghilang ketika segalanya berjalan baik.
Prioritas, ujar Melanie memutuskan. Apa yang terpenting bagi kita? Tetap hidup? Atau Jamie?
Ia tahu jawabannya. Jamie, jawabku menegaskan, seraya mendesah keras. Suara napasku berbisik kembali dari dinding-dinding hitam.
Setuju. Kita mungkin bisa bertahan untuk sementara waktu, seandainya kita membiarkan Jeb dan Ian melindungi kita. Akankah itu membantu Jamie?
Mungkin. Apakah ia lebih terluka kalau kita menyerah begitu saja? Atau kalau kita membiarkan hal ini berlarut-larut, hanya untuk berakhir dengan buruk, hal yang tampaknya tak terhindarkan?
Melanie tidak suka itu. Aku bisa merasakannya berpikir keras, mencari alternatif-alternatif.
Mencoba kabur, saranku.
Mustahil, Melanie memutuskan. Lagi pula, apa yang akan kita lakukan di luar sana? Apa yang bisa kita katakan kepada mereka?
Kami sama-sama membayangkannya--bagaimana aku bisa menjelaskan ketidakhadiranku selama berbulan-bulan? Aku bisa berbohong, mengarang semacam cerita alternatif, atau mengatakan tidak ingat. Tapi aku membayangkan wajah skeptis Pencari, dengan mata menonjolnya yang bekilat-kilat curiga, dan aku tahu usaha-usaha cerobohku untuk berdalih bakal gagal.
Mereka akan mengira aku mengambil alih, ujar Melani setuju. Lalu mereka akan mengeluarkanmu dan memasukkan Pencari.
Aku menggeliat, seakan posisi baru di lantai batu bisa menjauhkanku dari gagasan itu, dan aku bergidik. Lalu kuikuti pikiran itu sampai kepada kesimpulannya. Pencari akan memberitahu mereka tentang tempat ini, dan para Pencari akan datang.
Kengerian melanda kami.
Benar, lanjutku. Jadi, mustahil untuk kabur.
Benar, bisik Melanie. Emosi membuat pikirannya tidak stabil.
Jadi keputusannya adalah ... cepat atau lambat. Mana yang lebih tidak melukai Jamie?
Tampaknya selama memusatkan diri pada hal-hal praktis, setidaknya aku bisa menjaga pembahasan dari sisiku agar tetap resmi dan tanpa perasaan. Melanie mencoba meniru usahaku.
Aku tidak yakin. Di satu sisi semakin lama kita bertiga bersama-sama, secara logis akan semakin berat--perpisahan itu bagi Jamie. Tapi sekali lagi, kalau kita tidak melawan, seandainya kita menyerah begitu saja... Jamie tidak bakal senang. Ia akan merasa kita mengkhianatinya.
Jadi... cepat. Tapi kita harus berusaha sebaik mungkin agar tidak mati?
Melawan habis-habisan, tegas Melanie muram.
Melawan. Hebat. Aku mencoba membayangkannya--menghadapi kekerasan dengan kekerasan. Mengangkat tangan untuk memukul seseorang. Aku bisa membentuk kata-kata itu, tapi tidak bisa membayangkannya.
Kau bisa melakukannya, Melanie menguatkan. Aku akan membantumu.
Terima kasih, tapi tidak. Pasti ada cara lain.
Aku tidak memahamimu, Wanda. Kau telah meninggalkan spesiesmu, kau siap mati demi adikku, kau jatuh cinta kepada lelaki yang kucintai dan hendak membunuh kita, tapi kau tak mau melepaskan kebiasaan-kebiasaan yang sungguh tidak praktis di sini.
Aku adalah aku, Mel. Aku tidak bisa mengubahnya, walaupun segala hal lainnya mungkin berubah. Kau mempertahankan dirimu. Biarkan aku melakukan hal yang sama.
Tapi kalau kita mau--
Melanie hendak melanjutkan perdebatannya denganku, tapi kami terganggu. Suara langkah terseret, sepatu di atas batu, menggema dari suatu tempat di koridor.
Aku terpaku--segenap fungsi tubuhku berhenti, kecuali jantung yang bahkan berdenyut terputus-putus--dan mendengarkan. Aku tidak bisa berharap cukup lama bahwa suara itu hanya khayalanku. Dalam hitungan detik aku bisa mendengar lebih banyak langkah kaki yang perlahan-lahan menghampiriku.
Melanie tetap tenang, sedangkan aku menyerah pada kepanikan.
Berdirilah, perintah melanie.
Mengapa?
Kau tidak mau melawan, tapi kau bisa lari. Kau harus berusaha melakukan sesuatu--demi Jamie.
Aku bernapas lagi, menjaga napasku tetap pelan dan pendek. Perlahan-lahan aku bergerak maju, sampai bediri di atas tumit. Adrenalin mengalir melalui otot-ototku yang bergelenyar dan melentur dibuatnya. Aku bisa lari lebih cepat daripada sebagian besar orang yang mencoba menangkapku, tapi aku harus lari ke mana?
"Wanda?" terdengar bisikan pelan seseorang. "Wanda? Kau di sini? Ini aku."
Suaranya pecah, dan aku mengenalinya.
"Jamie!" seruku parau. "Apa yang kaulakukan? Sudah kubilang aku perlu sendirian."
Kelegaan jelas terdengar di dalam suaranya, yang kini lebih keras daripada bisikan. "Semua mencarimu. Well, kau tahulah. Trudy, Lily, dan Wess--semua orang yang itu. Tapi kami tak bisa membiarkan siapa pun tahu apa yang sedang kami lakukan. Tak seorang pun boleh tahu kau menghilang. Jeb kembali membawa senapannya. Ian bersama Doc. Jika Doc sudah punya waktu, dia akan bicara dengan Jared dan Kyle. Semua orang mendengarkan perkataan Doc. Jadi kau tidak perlu bersembunyi. Semua orang sibuk, dan mungkin kau lelah..."
Sambil menjelaskan, Jamie terus bergerak maju sampai jemarinya menemukan lenganku, lalu tanganku.
"Aku tidak benar-benar bersembunyi, Jamie. Sudah kubilang, aku harus berpikir."
"Kau bisa berpikir bersama Jeb di sana, bukan?"
"Kau mau aku pergi ke mana? Kembali ke kamar Jared? Inilah tempatku seharusnya."
"Tidak lagi." Nada keras kepala yang kukenal muncul di dalam suaranya.
"Mengapa semua orang begitu sibuk?" tanyaku, mengalihkan perhatiannya. "Doc sedang apa?"
Usahaku tidak berhasil; Jamie tidak menjawab.
Setelah semenit kebisuan, kusentuh pipinya. "Dengar, kau harus bersama Jeb. Katakan pada yang lain untuk berhenti mencariku. Aku akan tetap di sini untuk sementara waktu."
"Kau tidak boleh tidur di sini."
"Aku sudah pernah melakukannya."
Kurasakan kepala jamie menggeleng di tanganku.
"Setidaknya aku akan mengambil kasur-kasur dan bantal."
"Aku hanya perlu satu."
"Aku tidak akan tidur dengan Jared selama dia masih begitu menjengkelkan."
Aku menggeram di dalam hati. "Kalau begitu kau akan tidur bersama Jeb dan dengkurannya. Tempatmu adalah bersama mereka, bukan aku."
"Tempatku adalah di mana pun yang kuinginkan."
Ancaman Kyle akan menemukanku di sini sangat memberati benakku. Tapi membantah hanya akan membuat Jamie merasa bertanggung jawab untuk melindungiku.
"Baiklah, tapi kau harus minta izin kepada Jeb."
"Nanti. Aku tidak akan mengganggu Jeb malam ini."
"Apa yang dilakukan Jeb?"
Jamie tidak menjawab. Saat itulah kusadari ia tadi juga sengaja tidak menjawab pertanyaanku. Ada sesuatu yang tak ingn diceritakannya kepadaku. Mungkin yang lain juga sibuk berusaha menemukanku. Mungkin kepulangan Jared telah mengembalikan mereka pada pendapat mereka semula tentangku. Tampaknya memang seperti itu di dapur tadi, ketika mereka menunduk dan melirikku diam-diam dengan pandangan bersalah.
"Ada apa, Jamie?" desakku.
"Tidak boleh kukatakan kepadamu," gumamnya. "Dan aku memang takkan bilang." Jamie memeluk pinggangku erat-erat, wajahnya ditekankan ke bahuku. "Semua akan baik-baik saja," janjinya parau.
Aku menepuk-nepuk punggung Jamie dan menelusurkan jemariku pada rambut acak-acakannya. "Oke," ujarku, menyetujui kebisuannya. Bagaimanapun aku juga punya rahasia-rahasia, bukan? "Jangan khawatir, Jamie. Apa pun itu, segalanya akan selesai dengan sangat baik. Kau akan baik-baik saja." Ketika mengucapkannya, aku sangat berharap itu benar.
"Aku tidak tahu harus berharap apa," bisiknya.
Aku menatap kegelapan tanpa memandang apa pun--mencoba memahami apa yang tak ingin dikatakan Jamie--dan mataku menangkap kilau samar di ujung jauh lorong. Suram, tapi jelas terlihat di dalam gua hitam.
"Sst," desahku. "Ada orang. Cepat, sembunyilah di balik kotak."
Kepala Jamie langsung mendongak ke arah cahaya kuning yang semakin terang itu. Aku menunggu suara langkah yang menyertainya, tapi tidak mendengar apa-apa.
"Aku tidak akan bersembunyi," bisik Jamie. "Pergilah ke belakangku, Wanda."
"Tidak!"
"Jamie!" seru Jared. "Aku tahu kau di belakang sana!"
Kedua kakiku terasa hampa, membeku. Mengapa harus Jared? Akan jauh lebih mudah bagi Jamie, seandainya Kyle yang membunuhku.
"Pergi!" sahut Jamie lantang.
Cahaya kuning itu mendekat secepat kilat, dan berubah jadi lingkaran di dinding yang jauh.
Jared melangkah dari pojok, senter di tangannya bergerak-gerak menyapu lantai batu. Ia sudah bersih, mengenakan kemeja merah pudah yang kukenal--pakaian itu tergantung di kamar yang kutempati berminggu-minggu, sehingga sangat kukenal. Wajah Jared juga kukenal--ekspresinya sama persis dengan ketika aku pertama kali muncul di sini.
Cahaya senter menimpa wajahku dan membutakanku. Aku tahu cahaya itu memantul dengan cemerlang dari warna perak di balik mataku, karena kurasakan Jamie terlompat--hanya sedikit terkejut, lalu ia memelukku lebih erat daripada sebelumnya.
"Menyingkirlah darinya!" raung Jared.
"Diam!" sergah Jamie. "Kau tidak mengenalnya! Jangan ganggu dia!"
Jamie menggayutiku, sementara aku mencoba melepaskan kedua tangannya.
Jared menerjang seperti banteng mengamuk. Ia mencengkeram punggung kemeja Jamie dengan sebelah tangan dan menariknya dariku. Lalu diguncang-guncangnya Jamie seraya berteriak.
"Kau tolol! Tidakkah kaulihat bagaimana dia memanfaatkanmu?"
Secara insting kusorongkan tubuhku ke ruang sempit di antara mereka. Seperti kuharapkan, gerakanku membuat Jared melepaskan Jamie. Aku tidak menginginkan atau memerlukan terjadinya hal lain--betapa aroma Jared  yang kukenal menerpa seluruh indraku, betapa kontur dadanya terasa di kedua tanganku.
"Jangan ganggu Jamie," ujarku. Kali ini aku berharap bisa jadi lebih seperti yang diinginkan Melanie--kedua tanganku tampak keras dan suaraku lantang.
Jared menangkap kedua pergelangan tanganku dengan sebelah tangan, lalu melemparku ke dinding. Dampaknya mengejutkanku, membuatku tak bisa bernapas. Tubuhku memantul dari dinding batu ke lantai, lalu kembali mendarat di atas kotak-kotak itu, menciptakan suara berdebum gemersik ketika merobek lebih banyak cellophane.
Kepalaku berdenyut-denyut. Aku tergeletak dengan posisi tertekuk janggal di atas kotak-kotak itu, dan sejenak kulihat cahaya-cahaya aneh berseliweran di depan mataku.
"Pengecut!" teriak Jamie kepada Jared. "Dia tidak akan melukaimu, bahkan untuk menyelamatkan dirinya sendiri! Mengapa kau tidak bisa membiarkannya saja?"
Aku mendengar kotak-kotak bergeser, dan merasakan sepasang tangan Jamie di lenganku. "Wanda? Kau baik-baik saja, Wanda?"
"Ya." Aku mendesah, mengabaikan denyut-denyut di kepalaku. Aku bisa melihat wajah khawatir Jamie melayang-layang di atas tubuhku dalam kilau senter yang agaknya telah dijatuhkan Jared.
"Sekarang kau harus pergi, Jamie," bisikku. "Lari."
Jamie menggeleng kuat-kuat.
"Menjauhlah dari mahluk itu!" sergah Jared.
Aku menyaksikan ketika Jared mencengkeram bahu Jamie dan menarik anak itu dari posisi jongkoknya. Kotak-kotak yang tersenggol menjatuhiku seperti longsoran salju kecil. Aku berguling menjauh, menutupi kepala dengan kedua lengan. Sebuah kotak berat menimpa tubuhku, tepat di antara tulang belikatku, dan aku berteriak kesakitan.
"Berhentilah menyakitinya!" teriak Jamie.
Terdengar suara berderak keras, dan helaan napas terkejut seseorang.
Aku berjuang melepaskan diri dari bawah kotak berat, lalu bangkit dengan bertumpu pada kedua sikuku. Kepalaku pening.
Jared menutupi hidungnya dengan sebelah tangan, sesuatu yang gelap mengalir ke bibirnya. Matanya membelalak terkejut. Jamie berdiri di hadapannya dengan kedua tangan terkepal dan wajah menyeringai marah.
Ketika Jared menatapnya terkejut, ekspresi Jamie perlahan-lahan luruh, digantikan ekspresi terluka--perasaan terluka dan terkhianati yang begitu mendalam, mengalahkan ekspresi Jared ketika berada di dapur tadi.
"Kau bukan lelaki yang kukenal," bisik Jamie. Ia memandang Jared seakan Jared sangat jauh, seakan ada dinding di antara mereka dan Jamie benar-benar terisolasi di tempatnya.
Mata Jamie berkaca-kaca, dan ia berpaling, merasa malu menunjukkan kelemahannya di depan Jared. Dengan gerakan tersentak-sentak cepat, ia berjalan pergi.
Kita sudah berusaha, pikir Melanie sedih. Jantungnya nyeri memikirkan anak itu, walaupun ia sangat menginginkan tatapanku kembali kepada Jared. Kuberi Melanie apa yang ia inginkan.
Jared tidak memandangku. Ia menatap kegelapan tempat Jamie menghilang. Tangannya masih menutupi hidung.
"Aw, sialan!" serunya tiba-tiba. "Jamie!" kembalilah ke sini!"
Tak ada jawaban.
Jared melirikku dengan tatapan dingin--aku terenyak, walaupun sepertinya kemarahannya telah memudar. Lalu ia membungkuk mengambil senter dan bergegas mengejar Jamie, menendang kotak yang menghalangi jalannya.
"Maaf, oke? Jangan menangis, Nak!" Dengan marah Jared meneriakkan lebih banyak permintaan maaf. Ia berbelok dan meninggalkanku terbaring dalam kegelapan.
Untuk waku lama kau hanya bisa mencoba bernapas. Aku berkonsentrasi pada udara yang mengalir masuk, lalu keluar, lalu masuk. Setelah merasa telah menguasai gerakan itu, aku berusaha bangkit dari lantai. Perlu beberapa detik untuk mengingat bagaimana cara menggerakkan kakiku. Dan, bahkan setelah itu pun, sepasang kakiku masih gemetaran dan nyaris roboh, sehingga aku kembali duduk bersandar pada dinding, memerosotkan tubuh sampai menemukan bantal berasku. Aku duduk lunglai di sana, menilai keadaanku.
Tak ada yang patah--kecuali mungkin hidung Jared. Aku menggeleng pelan. Jamie dan Jared tak boleh berkelahi. Aku menyebabkan begitu banyak kekacauan dan ketidakbahagiaan bagi mereka. Aku mendesah dan kembali menilai keadaanku. Ada bagian sangat nyeri di tengah punggungku, dan satu sisi wajahku terasa kasar serta lembab di bagian yang menabrak dinding. Rasanya menyengat ketika kusentuh, dan meninggalkan cairan hangat di jari-jariku. Tapi itulah bagian terburuk. Semua memar dan lecet lainnya tidak parah.
Ketika menyadari hal itu, secara tak terduga diriku dikuasai kelegaan.
Aku masih hidup. Jared mendapat peluang untuk membunuhku, tapi belum melakukannya. Jadi, kerusakan apa pun yang kutimbulkan pada hubungan mereka, mungkin itu amsih bisa diperbaiki.
Hari yang panjang. Harinya sudah panjang, bahkan sebelum Jared dan yang lain muncul. Dan itu rasanya seperti sudah ribuan tahun yang lalu. Kupejamkan mata, dan aku terlelap di atas beras.

0 comments on "The Host-Bab 27"

Post a Comment