Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara

Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara
Harga mulai 5rb an. Gratis ongkir DKI Jakarta

The Host - Bab 26

Pulang


Tanpa pernah benar-benar setuju melakukannya, aku menjadi guru yang diinginkan Jeb.
"Kelas"-ku tidak formal. Aku menjawab pertanyaan-pertanyaan setiap malam, sehabis makan. Kusadari bahwa, selama aku bersedia melakukan ini, Ian, Doc, dan Jeb akan membiarkanku sendirian seharian, sehingga aku bisa berkonsentrasi pada tugas-tugasku. Kami selalu berkumpul di dapur. Aku suka membantu memasak sambil bicara. Memberiku alasan untuk diam sejenak sebelum menjawab pertanyaan yang sulit, dan memberiku sesuatu untuk dilihat ketika aku tak ingin memandang mata seseorang. Di benakku tampaknya itu pengaturan yang tepat. Kata-kataku terkadang menyedihkan, tapi tindakan-tindakanku selalu demi kebaikan mereka.
Aku tak ingin mengakui Jamie benar. Jelas orang-orang itu tidak menyukaiku. Mereka tak mungkin menyukaiku; aku bukan salah satu dari mereka. Jamie menyukaiku, tapi itu hanya semacam reaksi kimia aneh yang jauh dari rasional. Jeb menyukaiku, tapi ia memang sinting. Yang lain tidak memiliki kedua alasan itu.
Tidak. Mereka tidak menyukaiku. Tapi semua berubah ketika aku mulai bicara.

Hal itu pertama kali kuamati di pagi hari, setelah malam sebelumnya aku menjawab pertanyaan-pertanyaan Doc saat makan. Aku sedang berada di kamar mandi gelap, mencuci pakaian bersama Trudy, Lily, dan Jamie.
"Bisa tolong ambilkan sabun itu, Wanda?" tanya Trudy dari kiriku.
Arus listrik seakan menjalari tubuhku ketika aku mendengar namaku diucapkan suara perempuan. Dengan kaku kuserahkan sabun itu, lalu kubilas rasa menyengat dari tanganku.
"Terima kasih," sahut Trudy.
"Sama-sama," gumamku. Suaraku parau ketika mengucapkan suku kata terakhir.
Sehari kemudian aku berpapasan dengan Lily di lorong dalam perjalananku mencari Jamie sebelum makan malam.
"Wanda," ujarnya, seraya mengangguk.
"Lily," jawabku, tenggorokanku kering.
Bukan hanya Doc dan Ian yang mengajukan pertanyaan-pertanyaannya di malam hari. Aku terkejut mengetahui orang-orang yang paling berani bertanya: Walter yang tampak lelah, dengan wajah kelabu mengkhawatirkan, tak henti-hentinya tertarik dengan kelelawar dari singing World. Heath, yang biasanya pendiam dan membiarkan Trudy atau Geoffrey bicara mewakilinya, banyak bicara di malam-malam seperti ini. Ia takjub dengan Fire World. Dan walaupun itu salah satu kisah yang paling tidak kusukai, ia memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan, sampai ia mengetahui setiap detail yang kuketahui. Lily berminat pada mekanika segala sesuatu--ia ingin tahu tentang pesawat-pesawat yang membawa kami dari planet ke planet, pilotnya, bahan bakarnya. Kepada Lily-lah aku menjelaskan tangki krio--sesuatu yang pernah mereka lihat, tapi hanya sedikit mereka pahami kegunaannya. Wes yang pemalu, yang biasanya duduk di dekat Lily, tidak bertanya tentang planet-planet lain, tapi tentang planet ini. Bagaimana cara kerjanya? Tanpa uang, tanpa upah kerja--mengapa masyarakat jiwa tidak runtuh? Kucoba untuk menjelaskan bahwa itu tak jauh berbeda dengan kehidupan di dalam gua. Bukankah kami semua bekerja tanpa uang dan saling berbagi produk kerja kami secara merata?
"Ya," sela Wes, seraya menggeleng. "Tapi di sini lain--Jeb punya senapan untuk para pemalas."
Semua memandang Jeb yang mengedipkan sebelah mata, lalu mereka semua tertawa.
Hampir setiap malam Jeb selalu hadir. Ia tidak berpartisipasi, hanya duduk serius di belakang ruangan, terkadang nyengir.
Ia benar soal faktor hiburannya. Anehnya, walaupun kami semua punya kaki, situasi ini mengingatkanku kepada See Weed. Ada julukan khusus bagi para penghibur di sana, seperti julukan Penghibur atau Penyembuh atau Pencari. Aku adalah salah satu Pendongeng. Jadi transisi menjadi guru di sini, di Bumi, tidak jauh berbeda. Setidaknya dari segi profesi. Setelah hari gelap situasi di dapur hampir sama, dengan bau asap dan roti panggang memenuhi ruangan. Semua terpaku di sini, seakan tubuh emreka tertanam. Kisah-kisahku adalah hal yang baru, hal untuk direnungkan, selain hal-hal yang sudah biasa--tugas-tugas melelahkan tanpa akhir yang sama; 35 wajah yang sama; ingatan-ingatan yang sama mengenai wajah-wajah lain yang mendatangkan duka yang sama bagi mereka; ketakutan dan keputusasaan sama yang telah lama menemani mereka. Dan dengan demikian dapur selalu penuh untuk pelajaran-pelajaran santaiku. Hanya Sharon dan Maggie yang secara mencurigakan dan konsisten tidak hadir.
Aku sudah menjadi guru tidak formal selama hampir empat minggu ketika kehidupan di dalam gua kembali berubah.
Dapur penuh seperti biasa. Hanya Jeb dan Doc yang tidak hadir, selain dua orang yang normalnya memang tak pernah hadir itu. Di meja di sampingku ada nampan logam berisi bulatan-bulatan adonan roti warna gelap yang sudah mengembang dua kali lipat dari ukuran semula. Mereka siap dimasukkan ke oven, segera setelah roti-roti di atas nampan di dalamnya sudah matang. Trudy memeriksa setiap beberapa menit, memastikan tak ada yang gosong.
Aku sering mencoba menyuruh Jamie bicara, jika ia sudah mengetahui kisahnya dengan baik. Aku suka menyaksikan antusiasme yang mencerahkan wajahnya, dan caranya menggunakan tangan untuk menggambar di udara. Malam ini Heidi ingin tahu lebih banyak mengenai Lumba-Lumba, jadi aku meminta Jamie menjawab pertanyaan-pertanyaan sebaik mungkin.
Manusia-manusia itu selalu bicara dengan penuh kesedihan ketika bertanya tentang akuisisi terbaru bangsaku. Mereka meihat Lumba-Lumba sebagai cerminan diri mereka sendiri pada tahun pertama pendudukan mahluk asing. Mata gelap Heidi, yang tampak bingung di balik poni pirang keputihan itu, menegang penuh simpati ketika ia mengajukan pertanyaan-pertanyaannya.
"Mereka lebih mirip capung besar daripada ikan, bukan, Wanda?" Jamie nyaris selalu bertanya sebagai penegasan, walaupun ia tak pernah menunggu jawabanku. "Tapi kulit mereka keras, dengan tiga, empat, atau lima pasang sayap, tergantung umur mereka, bukan? Jadi mereka terbang di atas air--yang lebih ringan dan lebih tidak padat daripada air di sini. Mereka punya lima, tujuh, atau sembilan kaki, tergantung jenis kelamin mereka, ya kan, Wanda? Mereka punya tiga jenis kelamin berbeda. Mereka punya tangan-tangan yang sangat panjang, dengan jari-jari liat dan kuat yang bisa menyusun segala jenis benda. Mereka membuat kota-kota di bawah air dari tanam-tanaman keras yang tumbuh di sana. Itu semacam pohon, tapi bukan benar-benar pohon. Mereka tidak semaju kami, kan, Wanda? Karena mereka tidak membangun pesawat ruang angkasa atau, misalnya, telepon untuk berkomunikasi. Manusia lebih maju."
Trudy mengeluarkan nampan berisi roti panggang, dan aku membungkuk untuk memasukkan nampan adonan mengembang berikutnya ke lubang panas berasap itu. Aku perlu sedikit mendorong dan mengaturnya agar nampan bisa masuk dengan benar.
Ketika sedang berkeringat di depan api, kudengar semacam keributan di luar dapur. Keributan itu menggema melewati lorong dari suatu tempat di gua. Dengan semua gema acak dan akustik aneh itu, sulit untuk memperkirakan jarak di sini.
"Hei!" teriak Jamie dari belakang, dan ketika menoleh aku melihat bagian belakang kepala jamie ketika ia berlari keluar.
Aku menegakkan tubuh dan mengejarnya, mengikuti instingku.
"Tunggu," panggil Ian. "Dia akan kembali. Berceritalah lebih banyak tentang Lumba-Lumba."
Ian duduk di meja di samping oven--kursi panas yang tidak bakal kupilih--sehingga cukup dekat baginya untuk mengulurkan tangan dan menyentuh pergelangan tanganku. Lenganku menyentakkan sentuhan tak terduga itu, tapi aku tidak beranjak dari tempatku.
"Ada apa di luar sana?" tanyaku. Aku masih bisa mendengar semacam percakapan. Kurasa aku mendengar suara gembira Jamie membaur di dalamnya.
Ian mengangkat bahu. "Siapa yang tahu?" Mungkin Jeb..." ia mengangkat bahu lagi, seakan tak cukup tertarik sehingga tidak ingin mencari tahu. Ia tidak peduli. Tapi aku melihat ketegangan di matanya yang tidak kupahami.
Aku yakin akan segera tahu, jadi aku juga mengangkat bahu dan mulai menjelaskan kerumitan luar biasa di dalam hubungan keluarga Lumba-Lumba, seraya membantu Trudy menumpuk roti hangat ke dalam wadah-wadah plastik.
"Enam dari sembilan... kakek-nenek, mungkin itu sebutan tradisionalnya, tinggal bersama larva-larva di sepanjang tahap perkembangan pertama, sementara ketiga orangtua bekerja bersama enam kakek-nenek mereka untuk membangun sayap baru di rumah keluarga, untuk didiami anak-anak ketika mereka sudah bisa bergerak," jelasku. Seperti biasa mataku memandangi roti-roti di kedua tanganku, bukannya memandangi para pendengar. Lalu kudengar helaan napas tertahan dari bagian belakang ruangan. Aku melanjutkan bicara secara otomatis, seraya memandang kerumunan itu untuk melihat siapa yang telah kubuat marah. "Ketiga kakek-nenek lainnya biasanya terlibat..."
Tak seorang pun marah kepadaku. Semua kepala menoleh ke arah yang sama dengan arah pandanganku. Pandanganku melintasi bagian kepala mereka, melihat ke lubang keluar gelap itu.
Hal pertama yang kulihat adalah sosok ramping Jamie menggayuti lengan seseorang. Seseorang yang begitu kotor dari kepala sampai ujung kaki sehingga kelihatannya hampir menyatu dengan dinding gua. Seseorang yang terlalu jangkung untuk disebut sebagai Jeb. Lagi pula Jeb berada persis di belakang bahu Jamie. Dari jarak sejauh ini sekalipun bisa kulihat mata Jeb menyipit dan hidungnya mengerut, seakan merasa gelisah. Itu emosi yang langka bagi Jeb. Dan aku juga bisa melihat wajah Jamie yang ceria penuh kebahagiaan.
"Ini dia," gumam Ian di sampingku. Suaranya nyaris tak terdengar di antara keretak api.
Lelaki kotor yang masih digayuti Jamie maju selangkah. Sebelah tangannya perlahan-lahan terangkat, seperti refleks di luar kehendak, lalu membentuk kepalan.
Dari sosok kotor itu keluarlah suara Jared--datar, sama sekali tidak terdengar tinggi-rendahnya nada. "Apa arti semua ini, Jeb?"
Tenggorokanku tercekat. Aku mencoba menelan ludah, dan mendapati jalannya terhalang. Aku mencoba bernapas, dan tidak berhasil. Jantungku berdentam-dentam tak keruan.
Jared! Suara gembira Melanie terdengar lantang. Teriakan bisu kebahagiaan. Ia langsung hidup dan bersemangat di dalam kepalaku. Jared pulang!

"Wanda sedang mengajari kami semua tentang jagad raya," celoteh jamie bersemangat. Entah mengapa, ia tidak menangkap kemarahan Jared. Mungkin ia terlalu gembira, sehingga tidak memperhatikan.
"Wanda?" ulang Jared, suaranya rendah, nyaris berupa geraman.
Muncul lebih banyak sosok kotor di lorong di belakangnya.
Aku hanya memperhatikan ketika mereka menggemakan geraman Jared dengan bergumam marah.
Sebuah kepala berambut pirang menyembul dari penonton yang terpaku. Paige terhuyung-huyung berdiri. "Andy!" serunya, lalu tertatih - tatih melewati sosok-sosok yang duduk di sekitarnya. Salah seorang lelaki kotor itu melangkah ke samping Jared dan menangkap Paige yang nyaris menjatuhi Wes. "Oh, Andy!" isak Paige. Nada suaranya mengingatkanku pada nada suara Melanie.
Sejenak luapan perasaan Paige mengubah suasana. Kerumunan bisu itu mulai bergumam, sebagian besar bangkit berdiri. Ketika mayoritas penonton menyambut kembalinya para petualang, suara yang terdengar bernada ramah. Aku mencoba membaca ekspresi aneh di wajah mereka, ketika mereka memaksakan diri untuk tersenyum seraya diam-diam kembali melirikku. Setelah satu detik yang terasa lama dan lambat--waktu tampaknya menggumpal di sekelilingku, membekukanku di tempat--kusadari mereka menunjukkan ekspresi bersalah.
"Tidak apa-apa, Wanda," bisik Ian.
Aku meliriknya panik, mencari ekspresi bersalah yang sama di wajahnya. Tidak kutemukan. Yang ada hanya ketegangan defensif di sekeliling mata cemerlangnya ketika ia menatap para pendatang baru itu.
"Ada apa ini?" terdengar seruan suara baru.
Kyle--yang mudah diidentifikasi berdasarkan ukuran tubuhnya, walaupun kotor--menyeruak melewati jared dan menuju ke arah...ku.

"Kalian membiarkan mahluk itu menceritakan kebohongan - kebohongannya? Apakah kalian semua sudah sinting? Atau apakah dia sudah menuntun para Pencari kemari? Apakah kalian semua sudah menjadi parasit?"
Kulihat banyak kepala tertunduk malu. Hanya beberapa yang mempertahankan dagu mereka terdongak kaku dengan bahu tegak: Lily, Trudy, Heath, Wes... bahkan Walter yang rapuh.
"Sabar, Kyle," ujar Walter dengan suara lemah.
Kyle mengabaikannya. Ia berjalan mantap ke arahku. Matanya, yang berwarna biru cemerlang seperti mata adiknya, bersinar penuh kemarahan. Tapi aku tak bisa terus memandangnya--mataku terus-menerus beralih pada sosok gelap Jared, mencoba membaca raut wajahnya yang tersamar.
Cinta Melanie mengalir melalui tubuhku, seperti danau yang meluap dari bendungan, dan semakin mengalihkan perhatianku dari lelaki barbar murka yang menghampiriku dengan cepat itu.
Ian menyelinap ke dalam ruang pandangku, pindah untuk menempatkan diri di depanku. Aku menjulurkan leher ke samping agar pandanganku ke arah Jared tetap jelas.
"Segalanya berubah ketika kau pergi."
Kyle berhenti, wajahnya tidak percaya. "Lalu, apakah para Pencari datang, Ian?"
"Dia tidak berbahaya bagi kita."
Kyle menggertakkan gigi, dan dari sudut mata aku melihatnya meraih sesuatu di sakunya.
Gerakan ini akhirnya mencuri perhatianku. Aku menciut, mengira itu senjata. Kata-kata berhamburan dari bibirku dalam bisikan tercekik. "Jangan menghalanginya, Ian."
Ian tidak menjawab. Aku terkejut menyadari betapa gelisahnya aku, dan betapa aku tidak ingin Ian terluka. Ini bukan naluri untuk melindungi--kebutuhan mendalam untuk melindungi--yang kurasakan terhadap Jamie, atau bahkan Jared. Yang kuketahui hanyalah, Ian tidak boleh terluka ketika mencoba melindungiku.
Tangan Kyle kembali terangkat, dan senter bersinar dari sana. Ia mengarahkannya ke wajah Ian, menahannya di sana sejenak. Ian tidak berpaling.
"Jadi, apa yang berubah?" desak Kyle, mengembalikan senter ke saku. "Kau bukan parasit. Bagaimana mungkin mahluk itu bisa memengaruhimu?"
"Tenanglah, akan kami ceritakan semuanya."


"Tidak."
Perlawanan itu bukan berasal dari Kyle, tapi dari belakangnya. Aku menyaksikan Jared berjalan perlahan-lahan menghampiri kami, melewati para penonton yang membisu. Ketika ia semakin dekat, diiringi Jamie yang masih menggayuti tangannya dengan raut bingung, aku bisa membaca raut wajahnya dengan lebih jelas di balik topeng kotoran itu. Bahkan Melanie sekalipun, yang kegembiraannya meluap-luap karena Jared pulang dengan selamat, tak mungkin salah mengartikan ekspresi jijik yang terpampang di sana.
Jeb telah menyia-nyiakan usahanya untuk orang-orang yang keliru. Tak peduli Trudy atau Lily bicara denganku, tak peduli Ian meletakkan dirinya di antara kakaknya dan aku, tak peduli Sharon dan Maggie tidak berbuat jahat kepadaku. Satu-satunya orang yang perlu diyakinkan akhirnya membuat keputusan.
"Kurasa tak ada yang perlu menenangkan diri," ujar Jared lewat sela-sela gigi. "Jeb," lanjutnya, tanpa melihat apakah lelaki tua itu mengikutinya ke depan. "Berikan senapannya."
Keheningan yang mengikuti kata-katanya begitu menegangkan, sampai-sampai bisa kurasakan tekanannya di dalam telingaku.
Sejak bisa melihat wajah Jared dengan jelas, aku tahu semuanya sudah berakhir. Aku tahu apa yang kini harus kulakukan; Melanie juga setuju. Setenang mungkin aku melangkah ke samping dan agak mundur, sehingga tidak terhalang Ian. Lalu aku memejamkan mata.
"Kebetulan tidak kubawa," ujar Jeb pelan.
Aku mengintip lewat mata yang kusipitkan ketika Jared berputar untuk menilai kebenaran ucapan Jeb.
Napas Jared berembus marah lewat lubang hidungnya. "Baiklah," gumamnya. Ia maju selangkah lagi ke arahku. "Tapi akan lebih lambat dengan cara ini. Akan lebih manusiawi jika kau cepat-cepat mencari senapan itu."
 "Ayolah, Jared, ayo bicara dulu," ujar Ian. Ia menjejakkan kaki kuat-kuat, tahu seperti apa jawaban Jared.
"Kurasa sudah ada terlalu banyak pembicaraan," geram Jared. "Jeb menyerahkan mahluk ini kepadaku, dan aku sudah membuat keputusan."
Jeb berdehem keras-keras. Jared berputar dan kembali memandangnya.
"Apa?" desak Jared. "Kau yang membuat peraturan itu, Jeb."
"Well, itu benar."
Jared berbalik lagi kepadaku. "Ian, jangan menghalangi."
"Well, well, tunggu sebentar," lanjut Jeb. "Seandainya kau ingat-ingat lagi, peraturannya adalah, siapa pun yang memiliki tubuh itu yang harus membuat keputusan."
Pembuluh darah di kening Jared jelas berdenyut-denyut. "Dan?"
"Bagiku tampaknya ada seseorang di sini yang sama berhaknya sepertimu. Mungkin bahkan lebih berhak."
Jared menatap lurus ke depan, mencerna perkataan ini. Sejenak kemudian alisnya mengernyit paham. Ia memandang anak laki-laki yang masih menggayuti lengannya.
Seluruh kegembiraan lenyap dari wajah Jamie, meninggalkan kepucatan dan kengerian yang teramat sangat.

"Tidak boleh, Jared," ujar Jamie tersendat-sendat. "Kau tidak boleh melakukannya. Wanda baik. Dia temanku! Dan Mel! Kumohon! Kau harus--" Ia berhenti, raut wajahnya tampak sangat menderita.
Aku kembali memejamkan mata, mencoba memblokir gambaran anak laki-laki yang menderita itu dari benakku. Nyaris mustahil untuk tidak menghampiri Jamie. Kukunci otot-ototku, meyakinkan diri sendiri aku takkan membantunya jika beranjak.
"Jadi," kata Jeb, nadanya terlalu santai untuk saat ini, "bisa kaulihat Jamie tidak setuju. Kurasa dia sama berhaknya denganmu."
Tak ada jawaban untuk waktu sangat lama, sehingga aku harus kembali membuka mata.
Jared sedang menatap wajah Jamie yang sedih dan ketakutan dengan ekspresi kengeriannya sendiri.
"Bagaimana kau bisa membiarkan ini terjadi, Jeb?" bisik Jared.
"Kita benar-benar perlu bicara," jawab Jeb. "Tapi mengapa kau tidak istirahat dulu? Mungkin kau akan merasa lebih siap bercakap-cakap setelah mandi."
Jared melotot marah kepada lelaki tua itu, tatapannya penuh rasa terkejut dan sakit akibat dikhianati. Aku hanya punya perbandingan-perbandingan manusia untuk pandangan semacam itu. Yulius Caesar dan Brutus, Yesus dan Yudas.
Ketegangan tak tertahankan itu hanya bertahan selama semenit yang terasa lama, lalu Jared menyingkirkan jemari Jamie dari lengannya.
"Kyle," seru Jared, berbalik dan berjalan ke luar ruangan.
Kyle nyengir pada adiknya, lalu mengikuti Jared.
Para anggota ekspedisi yang kotor lainnya mengikuti tanpa bicara. Paige menyelip aman di bawah lengan Andy.
Sebagian besar manusia lainnya, mereka yang menunduk malu karena telah memasukkanku ke tengah pergaulan mereka, berjalan keluar dengan menyeret kaki. Hanya ada Jamie, Jeb, dan Ian di sampingku, serta Trudy, Geoffrey, Heath, Lily, Wes, dan Walter yang tetap tinggal.
Tak seorang pun bicara sampai gema langkah mereka menghilang dalam gelap.
"Fiuh!" ian menghembuskan napas. "Nyaris sekali. Pemikiran yang bagus, Jeb."
"Inspirasi dalam kegentingan. Tapi kita belum lepas dari bahaya," jawab Jeb.
"Tentu saja! Kau tidak meninggalkan senapan itu di tempat yang mudah ditemukan, bukan?"
"Tidak. Sudah kubayangkan ini akan segera terjadi."
"Baguslah."
Jamie berdiri gemetaran, sendirian di ruang yang ditinggalkan orang-orang tadi. Dikelilingi mereka yang tentu saja kuanggap teman, aku merasa sanggup berjalan ke samping Jamie. Ia memeluk pinggangku, dan aku menepuk-nepuk punggungnya dengan sepasang tanganku yang gemetaran.
"Tidak apa-apa," bisikku berbohong. "Tidak apa-apa." Aku tahu, bahkan orang tolol pun akan mendengar nada palsu dalam suaraku. Dan Jamie tidak tolol.
"Dia tidak akan melukaimu," ujar Jamie parau, berjuang menahan air mata yang bisa kulihat di matanya. "Takkan kubiarkan."
"Sst," gumamku.
Aku terkejut--kurasakan wajahku membentuk garis-garis ketakutan. Jared benar--bagaimana Jeb bisa membiarkan ini terjadi? Kalau saja mereka membunuhku di hari pertamaku di sini, bahkan sebelum Jamie melihatku... Atau di minggu pertama itu, ketika Jared mengasingkanku dari semua orang, sebelum aku dan Jamie berteman... Atau seandainya aku terus menutup mulut soal Melanie... Sudah terlambat untuk semua itu. Kedua lenganku memeluk anak itu erat-erat.
Melanie sama terkejutnya. Adikku yang malang.
Sudah kubilang, menceritakan semuanya kepada Jamie adalah ide buruk, ujarku mengingatkan.
Sekarang apa akibatnya bagi Jamie, seandainya kita mati?
Pasti mengerikan. Ia akan mengalami trauma, terluka, dan hancur--
Melanie menyelaku. Cukup. Aku tahu. Aku tahu. Tapi apa yang bisa kita perbuat?
Tidak mati, kurasa.
Aku dan Melanie memikirkan kemungkinan kami bisa bertahan hidup, dan merasa putus asa.
Ian menepuk punggung Jamie--bisa kurasakan gerakan itu menggetarkan tubuh kami berdua.
"Jangan sedih, Nak," kata Ian. "Kau tidak sendirian dalam hal ini."
"Mereka hanya terkejut. Itu saja." Kukenali suara alto Trudy di belakangku. :Setelah kita punya kesempatan untuk menjelaskan, mereka akan memahami alasannya."
"Memahami alasannya? Kyle?" desis seseorang, nyaris tak terdengar.
"Kita tahu ini akan terjadi," gumam Jeb. "Hanya perlu sedikit waktu. Badai akan berlalu."
"Mungkin kau harus mengambil senapan itu," saran Lily tenang. "Mungkin ini akan jadi malam yang panjang. Wanda bisa tinggal bersamaku dan Heidi--"
"Kurasa kita lebih kita menempatkannya di tempat lain," ujar Ian tidak setuju. "Mungkin di terowongan-terowongan selatan? Aku akan mengawasinya. Jeb, mau membantu?"
"Mereka tidak akan mencarinya jika dia bersamaku." Tawaran Walter hanya berupa bisikan.
Wes mengabaikan perkataan Walter. "Aku akan menemanimu, Ian. Mereka berenam."
"Tidak." Akhirnya aku berhasil bicara. "Tidak. Itu tidak benar. Kalian tidak boleh berkelahi. Kalian semua bersama-sama di sini. Kalian bersatu. Tidak ada perkelahian. Tidak ada perkelahian karena diriku."
Kutarik lengan Jamie dari pinggangku, dan kupegangi pergelangan tangannya ketika ia mencoba menghentikanku.
"Aku hanya perlu waktu sendirian," kataku kepadanya, mengabaikan semua tatapan yang kurasakan di wajahku. "Aku perlu menyendiri." Aku berpaling mencari Jeb. "Dan kau harus punya kesempatan untuk membahas hal ini tanpa bisa kudengarkan. Tidak adil--membahas strategi di hadapan musuh."
"Ayolah, jangan begitu," ujar Jeb.
"Beri aku waktu untuk berpikir, Jeb."
Aku melangkah meninggalkan Jamie, menjatuhkan kedua tangannya. Satu tangan memegangi bahuku, dan aku berjengit.
Ternyata Ian. "Bukan ide yang bagus untuk berkeliaran sendiri."
Aku mencondongkan tubuh ke arahnya, mencoba memelankan suaraku sehingga Jamie takkan bisa mendengar dengan jelas. "Mengapa mengulur-ulur sesuatu yang tak terhindarkan? Bakal lebih mudah atau lebih sulitkah bagi Jamie?"
Kupikir aku tahu jawaban untuk pertanyaan terakhirku. Aku merunduk di bawah tangan Ian, lalu bergegas lari menuju lubang keluar.
"Wanda!" panggil Jamie.
Seseorang menyuruhnya diam. Tak ada langkah kaki di belakangku. Agaknya mereka memahami kebijakan membiarkan aku pergi.
Lorong gelap dan sepi. Kalau beruntung aku bisa memotong jalan melewati pinggiran plaza kebun yang besar itu dalam kegelapan.
Sepanjang waktuku di sini, satu hal yang tak pernah kuketahui adalah jalan keluar. Sepertinya aku telah menyusuri setiap terowongan berulang kali, tapi tak penah melihat lubang yang belum pernah kujelajahi ketika mencari satu atau lain hal. Kini aku merenungkannya, ketika merayap melewati pojok-pojok dengan bayangan tergelap di dalam gua besar itu. Di manakah jalan keluarnya? Dan ini yang kupikirkan: seandainya bisa memecahkan teka-teki itu, bisakah aku pergi?
Aku tak bisa memikirkan apa pun yang kuinginkan hingga aku bersedia pergi dari sini--yang pasti bukan padang gurun yang menanti di luar sana; tapi juga bukan Pencari, atau Penyembuh, atau Penghibur-ku; juga bukan kehidupanku sebelumnya, yang hanya meninggalkan kesan dangkal bagiku. Semua yang benar-benar berarti ada bersamaku di sini. Jamie, Jared, walaupun ia hendak membunuhku. Tak bisa kubayangkan aku meninggalkan mereka berdua.
Dan Jeb. Ian. Kini aku punya teman-teman. Doc, Trudy, Lily, Wes, Walter, Heath. Manusia-manusia aneh yang bisa mengabaikan siapa diriku dan melihat sosok lain yang tak perlu mereka bunuh. Mungkin mereka hanya merasa penasaran. Tapi di luar itu, mereka bersedia membelaku melawan ikatan kekeluargaan yang erat di antara mereka yang masih bertahan hidup. Aku menggeleng takjub ketika meraba-raba batu kasar dengan sepasang tanganku.
Aku bisa mendengar yang lain berada di ruang gua, di sisi yang jauh dariku. Aku tidak berhenti; mereka tak bisa melihatku di sini, dan aku baru saja menemukan celah yang kucari.
Bagaimanapun, sebenarnya hanya ada satu tempat bagiku untuk pergi. Seandainya pun aku bisa menebak jalan untuk kabur, aku toh akan mengambil jalan ini juga. Aku merangkak ke dalam kegelapan terhitam yang bisa kubayangkan, dan bergegas menyusuri jalanku.

0 comments:

Post a Comment

Jual Nugget dan Sosis Sayur

Jual Nugget dan Sosis Sayur
Pemesanan via email : lwati111@gmail.com

The Host - Bab 26

Pulang


Tanpa pernah benar-benar setuju melakukannya, aku menjadi guru yang diinginkan Jeb.
"Kelas"-ku tidak formal. Aku menjawab pertanyaan-pertanyaan setiap malam, sehabis makan. Kusadari bahwa, selama aku bersedia melakukan ini, Ian, Doc, dan Jeb akan membiarkanku sendirian seharian, sehingga aku bisa berkonsentrasi pada tugas-tugasku. Kami selalu berkumpul di dapur. Aku suka membantu memasak sambil bicara. Memberiku alasan untuk diam sejenak sebelum menjawab pertanyaan yang sulit, dan memberiku sesuatu untuk dilihat ketika aku tak ingin memandang mata seseorang. Di benakku tampaknya itu pengaturan yang tepat. Kata-kataku terkadang menyedihkan, tapi tindakan-tindakanku selalu demi kebaikan mereka.
Aku tak ingin mengakui Jamie benar. Jelas orang-orang itu tidak menyukaiku. Mereka tak mungkin menyukaiku; aku bukan salah satu dari mereka. Jamie menyukaiku, tapi itu hanya semacam reaksi kimia aneh yang jauh dari rasional. Jeb menyukaiku, tapi ia memang sinting. Yang lain tidak memiliki kedua alasan itu.
Tidak. Mereka tidak menyukaiku. Tapi semua berubah ketika aku mulai bicara.

Hal itu pertama kali kuamati di pagi hari, setelah malam sebelumnya aku menjawab pertanyaan-pertanyaan Doc saat makan. Aku sedang berada di kamar mandi gelap, mencuci pakaian bersama Trudy, Lily, dan Jamie.
"Bisa tolong ambilkan sabun itu, Wanda?" tanya Trudy dari kiriku.
Arus listrik seakan menjalari tubuhku ketika aku mendengar namaku diucapkan suara perempuan. Dengan kaku kuserahkan sabun itu, lalu kubilas rasa menyengat dari tanganku.
"Terima kasih," sahut Trudy.
"Sama-sama," gumamku. Suaraku parau ketika mengucapkan suku kata terakhir.
Sehari kemudian aku berpapasan dengan Lily di lorong dalam perjalananku mencari Jamie sebelum makan malam.
"Wanda," ujarnya, seraya mengangguk.
"Lily," jawabku, tenggorokanku kering.
Bukan hanya Doc dan Ian yang mengajukan pertanyaan-pertanyaannya di malam hari. Aku terkejut mengetahui orang-orang yang paling berani bertanya: Walter yang tampak lelah, dengan wajah kelabu mengkhawatirkan, tak henti-hentinya tertarik dengan kelelawar dari singing World. Heath, yang biasanya pendiam dan membiarkan Trudy atau Geoffrey bicara mewakilinya, banyak bicara di malam-malam seperti ini. Ia takjub dengan Fire World. Dan walaupun itu salah satu kisah yang paling tidak kusukai, ia memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan, sampai ia mengetahui setiap detail yang kuketahui. Lily berminat pada mekanika segala sesuatu--ia ingin tahu tentang pesawat-pesawat yang membawa kami dari planet ke planet, pilotnya, bahan bakarnya. Kepada Lily-lah aku menjelaskan tangki krio--sesuatu yang pernah mereka lihat, tapi hanya sedikit mereka pahami kegunaannya. Wes yang pemalu, yang biasanya duduk di dekat Lily, tidak bertanya tentang planet-planet lain, tapi tentang planet ini. Bagaimana cara kerjanya? Tanpa uang, tanpa upah kerja--mengapa masyarakat jiwa tidak runtuh? Kucoba untuk menjelaskan bahwa itu tak jauh berbeda dengan kehidupan di dalam gua. Bukankah kami semua bekerja tanpa uang dan saling berbagi produk kerja kami secara merata?
"Ya," sela Wes, seraya menggeleng. "Tapi di sini lain--Jeb punya senapan untuk para pemalas."
Semua memandang Jeb yang mengedipkan sebelah mata, lalu mereka semua tertawa.
Hampir setiap malam Jeb selalu hadir. Ia tidak berpartisipasi, hanya duduk serius di belakang ruangan, terkadang nyengir.
Ia benar soal faktor hiburannya. Anehnya, walaupun kami semua punya kaki, situasi ini mengingatkanku kepada See Weed. Ada julukan khusus bagi para penghibur di sana, seperti julukan Penghibur atau Penyembuh atau Pencari. Aku adalah salah satu Pendongeng. Jadi transisi menjadi guru di sini, di Bumi, tidak jauh berbeda. Setidaknya dari segi profesi. Setelah hari gelap situasi di dapur hampir sama, dengan bau asap dan roti panggang memenuhi ruangan. Semua terpaku di sini, seakan tubuh emreka tertanam. Kisah-kisahku adalah hal yang baru, hal untuk direnungkan, selain hal-hal yang sudah biasa--tugas-tugas melelahkan tanpa akhir yang sama; 35 wajah yang sama; ingatan-ingatan yang sama mengenai wajah-wajah lain yang mendatangkan duka yang sama bagi mereka; ketakutan dan keputusasaan sama yang telah lama menemani mereka. Dan dengan demikian dapur selalu penuh untuk pelajaran-pelajaran santaiku. Hanya Sharon dan Maggie yang secara mencurigakan dan konsisten tidak hadir.
Aku sudah menjadi guru tidak formal selama hampir empat minggu ketika kehidupan di dalam gua kembali berubah.
Dapur penuh seperti biasa. Hanya Jeb dan Doc yang tidak hadir, selain dua orang yang normalnya memang tak pernah hadir itu. Di meja di sampingku ada nampan logam berisi bulatan-bulatan adonan roti warna gelap yang sudah mengembang dua kali lipat dari ukuran semula. Mereka siap dimasukkan ke oven, segera setelah roti-roti di atas nampan di dalamnya sudah matang. Trudy memeriksa setiap beberapa menit, memastikan tak ada yang gosong.
Aku sering mencoba menyuruh Jamie bicara, jika ia sudah mengetahui kisahnya dengan baik. Aku suka menyaksikan antusiasme yang mencerahkan wajahnya, dan caranya menggunakan tangan untuk menggambar di udara. Malam ini Heidi ingin tahu lebih banyak mengenai Lumba-Lumba, jadi aku meminta Jamie menjawab pertanyaan-pertanyaan sebaik mungkin.
Manusia-manusia itu selalu bicara dengan penuh kesedihan ketika bertanya tentang akuisisi terbaru bangsaku. Mereka meihat Lumba-Lumba sebagai cerminan diri mereka sendiri pada tahun pertama pendudukan mahluk asing. Mata gelap Heidi, yang tampak bingung di balik poni pirang keputihan itu, menegang penuh simpati ketika ia mengajukan pertanyaan-pertanyaannya.
"Mereka lebih mirip capung besar daripada ikan, bukan, Wanda?" Jamie nyaris selalu bertanya sebagai penegasan, walaupun ia tak pernah menunggu jawabanku. "Tapi kulit mereka keras, dengan tiga, empat, atau lima pasang sayap, tergantung umur mereka, bukan? Jadi mereka terbang di atas air--yang lebih ringan dan lebih tidak padat daripada air di sini. Mereka punya lima, tujuh, atau sembilan kaki, tergantung jenis kelamin mereka, ya kan, Wanda? Mereka punya tiga jenis kelamin berbeda. Mereka punya tangan-tangan yang sangat panjang, dengan jari-jari liat dan kuat yang bisa menyusun segala jenis benda. Mereka membuat kota-kota di bawah air dari tanam-tanaman keras yang tumbuh di sana. Itu semacam pohon, tapi bukan benar-benar pohon. Mereka tidak semaju kami, kan, Wanda? Karena mereka tidak membangun pesawat ruang angkasa atau, misalnya, telepon untuk berkomunikasi. Manusia lebih maju."
Trudy mengeluarkan nampan berisi roti panggang, dan aku membungkuk untuk memasukkan nampan adonan mengembang berikutnya ke lubang panas berasap itu. Aku perlu sedikit mendorong dan mengaturnya agar nampan bisa masuk dengan benar.
Ketika sedang berkeringat di depan api, kudengar semacam keributan di luar dapur. Keributan itu menggema melewati lorong dari suatu tempat di gua. Dengan semua gema acak dan akustik aneh itu, sulit untuk memperkirakan jarak di sini.
"Hei!" teriak Jamie dari belakang, dan ketika menoleh aku melihat bagian belakang kepala jamie ketika ia berlari keluar.
Aku menegakkan tubuh dan mengejarnya, mengikuti instingku.
"Tunggu," panggil Ian. "Dia akan kembali. Berceritalah lebih banyak tentang Lumba-Lumba."
Ian duduk di meja di samping oven--kursi panas yang tidak bakal kupilih--sehingga cukup dekat baginya untuk mengulurkan tangan dan menyentuh pergelangan tanganku. Lenganku menyentakkan sentuhan tak terduga itu, tapi aku tidak beranjak dari tempatku.
"Ada apa di luar sana?" tanyaku. Aku masih bisa mendengar semacam percakapan. Kurasa aku mendengar suara gembira Jamie membaur di dalamnya.
Ian mengangkat bahu. "Siapa yang tahu?" Mungkin Jeb..." ia mengangkat bahu lagi, seakan tak cukup tertarik sehingga tidak ingin mencari tahu. Ia tidak peduli. Tapi aku melihat ketegangan di matanya yang tidak kupahami.
Aku yakin akan segera tahu, jadi aku juga mengangkat bahu dan mulai menjelaskan kerumitan luar biasa di dalam hubungan keluarga Lumba-Lumba, seraya membantu Trudy menumpuk roti hangat ke dalam wadah-wadah plastik.
"Enam dari sembilan... kakek-nenek, mungkin itu sebutan tradisionalnya, tinggal bersama larva-larva di sepanjang tahap perkembangan pertama, sementara ketiga orangtua bekerja bersama enam kakek-nenek mereka untuk membangun sayap baru di rumah keluarga, untuk didiami anak-anak ketika mereka sudah bisa bergerak," jelasku. Seperti biasa mataku memandangi roti-roti di kedua tanganku, bukannya memandangi para pendengar. Lalu kudengar helaan napas tertahan dari bagian belakang ruangan. Aku melanjutkan bicara secara otomatis, seraya memandang kerumunan itu untuk melihat siapa yang telah kubuat marah. "Ketiga kakek-nenek lainnya biasanya terlibat..."
Tak seorang pun marah kepadaku. Semua kepala menoleh ke arah yang sama dengan arah pandanganku. Pandanganku melintasi bagian kepala mereka, melihat ke lubang keluar gelap itu.
Hal pertama yang kulihat adalah sosok ramping Jamie menggayuti lengan seseorang. Seseorang yang begitu kotor dari kepala sampai ujung kaki sehingga kelihatannya hampir menyatu dengan dinding gua. Seseorang yang terlalu jangkung untuk disebut sebagai Jeb. Lagi pula Jeb berada persis di belakang bahu Jamie. Dari jarak sejauh ini sekalipun bisa kulihat mata Jeb menyipit dan hidungnya mengerut, seakan merasa gelisah. Itu emosi yang langka bagi Jeb. Dan aku juga bisa melihat wajah Jamie yang ceria penuh kebahagiaan.
"Ini dia," gumam Ian di sampingku. Suaranya nyaris tak terdengar di antara keretak api.
Lelaki kotor yang masih digayuti Jamie maju selangkah. Sebelah tangannya perlahan-lahan terangkat, seperti refleks di luar kehendak, lalu membentuk kepalan.
Dari sosok kotor itu keluarlah suara Jared--datar, sama sekali tidak terdengar tinggi-rendahnya nada. "Apa arti semua ini, Jeb?"
Tenggorokanku tercekat. Aku mencoba menelan ludah, dan mendapati jalannya terhalang. Aku mencoba bernapas, dan tidak berhasil. Jantungku berdentam-dentam tak keruan.
Jared! Suara gembira Melanie terdengar lantang. Teriakan bisu kebahagiaan. Ia langsung hidup dan bersemangat di dalam kepalaku. Jared pulang!

"Wanda sedang mengajari kami semua tentang jagad raya," celoteh jamie bersemangat. Entah mengapa, ia tidak menangkap kemarahan Jared. Mungkin ia terlalu gembira, sehingga tidak memperhatikan.
"Wanda?" ulang Jared, suaranya rendah, nyaris berupa geraman.
Muncul lebih banyak sosok kotor di lorong di belakangnya.
Aku hanya memperhatikan ketika mereka menggemakan geraman Jared dengan bergumam marah.
Sebuah kepala berambut pirang menyembul dari penonton yang terpaku. Paige terhuyung-huyung berdiri. "Andy!" serunya, lalu tertatih - tatih melewati sosok-sosok yang duduk di sekitarnya. Salah seorang lelaki kotor itu melangkah ke samping Jared dan menangkap Paige yang nyaris menjatuhi Wes. "Oh, Andy!" isak Paige. Nada suaranya mengingatkanku pada nada suara Melanie.
Sejenak luapan perasaan Paige mengubah suasana. Kerumunan bisu itu mulai bergumam, sebagian besar bangkit berdiri. Ketika mayoritas penonton menyambut kembalinya para petualang, suara yang terdengar bernada ramah. Aku mencoba membaca ekspresi aneh di wajah mereka, ketika mereka memaksakan diri untuk tersenyum seraya diam-diam kembali melirikku. Setelah satu detik yang terasa lama dan lambat--waktu tampaknya menggumpal di sekelilingku, membekukanku di tempat--kusadari mereka menunjukkan ekspresi bersalah.
"Tidak apa-apa, Wanda," bisik Ian.
Aku meliriknya panik, mencari ekspresi bersalah yang sama di wajahnya. Tidak kutemukan. Yang ada hanya ketegangan defensif di sekeliling mata cemerlangnya ketika ia menatap para pendatang baru itu.
"Ada apa ini?" terdengar seruan suara baru.
Kyle--yang mudah diidentifikasi berdasarkan ukuran tubuhnya, walaupun kotor--menyeruak melewati jared dan menuju ke arah...ku.

"Kalian membiarkan mahluk itu menceritakan kebohongan - kebohongannya? Apakah kalian semua sudah sinting? Atau apakah dia sudah menuntun para Pencari kemari? Apakah kalian semua sudah menjadi parasit?"
Kulihat banyak kepala tertunduk malu. Hanya beberapa yang mempertahankan dagu mereka terdongak kaku dengan bahu tegak: Lily, Trudy, Heath, Wes... bahkan Walter yang rapuh.
"Sabar, Kyle," ujar Walter dengan suara lemah.
Kyle mengabaikannya. Ia berjalan mantap ke arahku. Matanya, yang berwarna biru cemerlang seperti mata adiknya, bersinar penuh kemarahan. Tapi aku tak bisa terus memandangnya--mataku terus-menerus beralih pada sosok gelap Jared, mencoba membaca raut wajahnya yang tersamar.
Cinta Melanie mengalir melalui tubuhku, seperti danau yang meluap dari bendungan, dan semakin mengalihkan perhatianku dari lelaki barbar murka yang menghampiriku dengan cepat itu.
Ian menyelinap ke dalam ruang pandangku, pindah untuk menempatkan diri di depanku. Aku menjulurkan leher ke samping agar pandanganku ke arah Jared tetap jelas.
"Segalanya berubah ketika kau pergi."
Kyle berhenti, wajahnya tidak percaya. "Lalu, apakah para Pencari datang, Ian?"
"Dia tidak berbahaya bagi kita."
Kyle menggertakkan gigi, dan dari sudut mata aku melihatnya meraih sesuatu di sakunya.
Gerakan ini akhirnya mencuri perhatianku. Aku menciut, mengira itu senjata. Kata-kata berhamburan dari bibirku dalam bisikan tercekik. "Jangan menghalanginya, Ian."
Ian tidak menjawab. Aku terkejut menyadari betapa gelisahnya aku, dan betapa aku tidak ingin Ian terluka. Ini bukan naluri untuk melindungi--kebutuhan mendalam untuk melindungi--yang kurasakan terhadap Jamie, atau bahkan Jared. Yang kuketahui hanyalah, Ian tidak boleh terluka ketika mencoba melindungiku.
Tangan Kyle kembali terangkat, dan senter bersinar dari sana. Ia mengarahkannya ke wajah Ian, menahannya di sana sejenak. Ian tidak berpaling.
"Jadi, apa yang berubah?" desak Kyle, mengembalikan senter ke saku. "Kau bukan parasit. Bagaimana mungkin mahluk itu bisa memengaruhimu?"
"Tenanglah, akan kami ceritakan semuanya."


"Tidak."
Perlawanan itu bukan berasal dari Kyle, tapi dari belakangnya. Aku menyaksikan Jared berjalan perlahan-lahan menghampiri kami, melewati para penonton yang membisu. Ketika ia semakin dekat, diiringi Jamie yang masih menggayuti tangannya dengan raut bingung, aku bisa membaca raut wajahnya dengan lebih jelas di balik topeng kotoran itu. Bahkan Melanie sekalipun, yang kegembiraannya meluap-luap karena Jared pulang dengan selamat, tak mungkin salah mengartikan ekspresi jijik yang terpampang di sana.
Jeb telah menyia-nyiakan usahanya untuk orang-orang yang keliru. Tak peduli Trudy atau Lily bicara denganku, tak peduli Ian meletakkan dirinya di antara kakaknya dan aku, tak peduli Sharon dan Maggie tidak berbuat jahat kepadaku. Satu-satunya orang yang perlu diyakinkan akhirnya membuat keputusan.
"Kurasa tak ada yang perlu menenangkan diri," ujar Jared lewat sela-sela gigi. "Jeb," lanjutnya, tanpa melihat apakah lelaki tua itu mengikutinya ke depan. "Berikan senapannya."
Keheningan yang mengikuti kata-katanya begitu menegangkan, sampai-sampai bisa kurasakan tekanannya di dalam telingaku.
Sejak bisa melihat wajah Jared dengan jelas, aku tahu semuanya sudah berakhir. Aku tahu apa yang kini harus kulakukan; Melanie juga setuju. Setenang mungkin aku melangkah ke samping dan agak mundur, sehingga tidak terhalang Ian. Lalu aku memejamkan mata.
"Kebetulan tidak kubawa," ujar Jeb pelan.
Aku mengintip lewat mata yang kusipitkan ketika Jared berputar untuk menilai kebenaran ucapan Jeb.
Napas Jared berembus marah lewat lubang hidungnya. "Baiklah," gumamnya. Ia maju selangkah lagi ke arahku. "Tapi akan lebih lambat dengan cara ini. Akan lebih manusiawi jika kau cepat-cepat mencari senapan itu."
 "Ayolah, Jared, ayo bicara dulu," ujar Ian. Ia menjejakkan kaki kuat-kuat, tahu seperti apa jawaban Jared.
"Kurasa sudah ada terlalu banyak pembicaraan," geram Jared. "Jeb menyerahkan mahluk ini kepadaku, dan aku sudah membuat keputusan."
Jeb berdehem keras-keras. Jared berputar dan kembali memandangnya.
"Apa?" desak Jared. "Kau yang membuat peraturan itu, Jeb."
"Well, itu benar."
Jared berbalik lagi kepadaku. "Ian, jangan menghalangi."
"Well, well, tunggu sebentar," lanjut Jeb. "Seandainya kau ingat-ingat lagi, peraturannya adalah, siapa pun yang memiliki tubuh itu yang harus membuat keputusan."
Pembuluh darah di kening Jared jelas berdenyut-denyut. "Dan?"
"Bagiku tampaknya ada seseorang di sini yang sama berhaknya sepertimu. Mungkin bahkan lebih berhak."
Jared menatap lurus ke depan, mencerna perkataan ini. Sejenak kemudian alisnya mengernyit paham. Ia memandang anak laki-laki yang masih menggayuti lengannya.
Seluruh kegembiraan lenyap dari wajah Jamie, meninggalkan kepucatan dan kengerian yang teramat sangat.

"Tidak boleh, Jared," ujar Jamie tersendat-sendat. "Kau tidak boleh melakukannya. Wanda baik. Dia temanku! Dan Mel! Kumohon! Kau harus--" Ia berhenti, raut wajahnya tampak sangat menderita.
Aku kembali memejamkan mata, mencoba memblokir gambaran anak laki-laki yang menderita itu dari benakku. Nyaris mustahil untuk tidak menghampiri Jamie. Kukunci otot-ototku, meyakinkan diri sendiri aku takkan membantunya jika beranjak.
"Jadi," kata Jeb, nadanya terlalu santai untuk saat ini, "bisa kaulihat Jamie tidak setuju. Kurasa dia sama berhaknya denganmu."
Tak ada jawaban untuk waktu sangat lama, sehingga aku harus kembali membuka mata.
Jared sedang menatap wajah Jamie yang sedih dan ketakutan dengan ekspresi kengeriannya sendiri.
"Bagaimana kau bisa membiarkan ini terjadi, Jeb?" bisik Jared.
"Kita benar-benar perlu bicara," jawab Jeb. "Tapi mengapa kau tidak istirahat dulu? Mungkin kau akan merasa lebih siap bercakap-cakap setelah mandi."
Jared melotot marah kepada lelaki tua itu, tatapannya penuh rasa terkejut dan sakit akibat dikhianati. Aku hanya punya perbandingan-perbandingan manusia untuk pandangan semacam itu. Yulius Caesar dan Brutus, Yesus dan Yudas.
Ketegangan tak tertahankan itu hanya bertahan selama semenit yang terasa lama, lalu Jared menyingkirkan jemari Jamie dari lengannya.
"Kyle," seru Jared, berbalik dan berjalan ke luar ruangan.
Kyle nyengir pada adiknya, lalu mengikuti Jared.
Para anggota ekspedisi yang kotor lainnya mengikuti tanpa bicara. Paige menyelip aman di bawah lengan Andy.
Sebagian besar manusia lainnya, mereka yang menunduk malu karena telah memasukkanku ke tengah pergaulan mereka, berjalan keluar dengan menyeret kaki. Hanya ada Jamie, Jeb, dan Ian di sampingku, serta Trudy, Geoffrey, Heath, Lily, Wes, dan Walter yang tetap tinggal.
Tak seorang pun bicara sampai gema langkah mereka menghilang dalam gelap.
"Fiuh!" ian menghembuskan napas. "Nyaris sekali. Pemikiran yang bagus, Jeb."
"Inspirasi dalam kegentingan. Tapi kita belum lepas dari bahaya," jawab Jeb.
"Tentu saja! Kau tidak meninggalkan senapan itu di tempat yang mudah ditemukan, bukan?"
"Tidak. Sudah kubayangkan ini akan segera terjadi."
"Baguslah."
Jamie berdiri gemetaran, sendirian di ruang yang ditinggalkan orang-orang tadi. Dikelilingi mereka yang tentu saja kuanggap teman, aku merasa sanggup berjalan ke samping Jamie. Ia memeluk pinggangku, dan aku menepuk-nepuk punggungnya dengan sepasang tanganku yang gemetaran.
"Tidak apa-apa," bisikku berbohong. "Tidak apa-apa." Aku tahu, bahkan orang tolol pun akan mendengar nada palsu dalam suaraku. Dan Jamie tidak tolol.
"Dia tidak akan melukaimu," ujar Jamie parau, berjuang menahan air mata yang bisa kulihat di matanya. "Takkan kubiarkan."
"Sst," gumamku.
Aku terkejut--kurasakan wajahku membentuk garis-garis ketakutan. Jared benar--bagaimana Jeb bisa membiarkan ini terjadi? Kalau saja mereka membunuhku di hari pertamaku di sini, bahkan sebelum Jamie melihatku... Atau di minggu pertama itu, ketika Jared mengasingkanku dari semua orang, sebelum aku dan Jamie berteman... Atau seandainya aku terus menutup mulut soal Melanie... Sudah terlambat untuk semua itu. Kedua lenganku memeluk anak itu erat-erat.
Melanie sama terkejutnya. Adikku yang malang.
Sudah kubilang, menceritakan semuanya kepada Jamie adalah ide buruk, ujarku mengingatkan.
Sekarang apa akibatnya bagi Jamie, seandainya kita mati?
Pasti mengerikan. Ia akan mengalami trauma, terluka, dan hancur--
Melanie menyelaku. Cukup. Aku tahu. Aku tahu. Tapi apa yang bisa kita perbuat?
Tidak mati, kurasa.
Aku dan Melanie memikirkan kemungkinan kami bisa bertahan hidup, dan merasa putus asa.
Ian menepuk punggung Jamie--bisa kurasakan gerakan itu menggetarkan tubuh kami berdua.
"Jangan sedih, Nak," kata Ian. "Kau tidak sendirian dalam hal ini."
"Mereka hanya terkejut. Itu saja." Kukenali suara alto Trudy di belakangku. :Setelah kita punya kesempatan untuk menjelaskan, mereka akan memahami alasannya."
"Memahami alasannya? Kyle?" desis seseorang, nyaris tak terdengar.
"Kita tahu ini akan terjadi," gumam Jeb. "Hanya perlu sedikit waktu. Badai akan berlalu."
"Mungkin kau harus mengambil senapan itu," saran Lily tenang. "Mungkin ini akan jadi malam yang panjang. Wanda bisa tinggal bersamaku dan Heidi--"
"Kurasa kita lebih kita menempatkannya di tempat lain," ujar Ian tidak setuju. "Mungkin di terowongan-terowongan selatan? Aku akan mengawasinya. Jeb, mau membantu?"
"Mereka tidak akan mencarinya jika dia bersamaku." Tawaran Walter hanya berupa bisikan.
Wes mengabaikan perkataan Walter. "Aku akan menemanimu, Ian. Mereka berenam."
"Tidak." Akhirnya aku berhasil bicara. "Tidak. Itu tidak benar. Kalian tidak boleh berkelahi. Kalian semua bersama-sama di sini. Kalian bersatu. Tidak ada perkelahian. Tidak ada perkelahian karena diriku."
Kutarik lengan Jamie dari pinggangku, dan kupegangi pergelangan tangannya ketika ia mencoba menghentikanku.
"Aku hanya perlu waktu sendirian," kataku kepadanya, mengabaikan semua tatapan yang kurasakan di wajahku. "Aku perlu menyendiri." Aku berpaling mencari Jeb. "Dan kau harus punya kesempatan untuk membahas hal ini tanpa bisa kudengarkan. Tidak adil--membahas strategi di hadapan musuh."
"Ayolah, jangan begitu," ujar Jeb.
"Beri aku waktu untuk berpikir, Jeb."
Aku melangkah meninggalkan Jamie, menjatuhkan kedua tangannya. Satu tangan memegangi bahuku, dan aku berjengit.
Ternyata Ian. "Bukan ide yang bagus untuk berkeliaran sendiri."
Aku mencondongkan tubuh ke arahnya, mencoba memelankan suaraku sehingga Jamie takkan bisa mendengar dengan jelas. "Mengapa mengulur-ulur sesuatu yang tak terhindarkan? Bakal lebih mudah atau lebih sulitkah bagi Jamie?"
Kupikir aku tahu jawaban untuk pertanyaan terakhirku. Aku merunduk di bawah tangan Ian, lalu bergegas lari menuju lubang keluar.
"Wanda!" panggil Jamie.
Seseorang menyuruhnya diam. Tak ada langkah kaki di belakangku. Agaknya mereka memahami kebijakan membiarkan aku pergi.
Lorong gelap dan sepi. Kalau beruntung aku bisa memotong jalan melewati pinggiran plaza kebun yang besar itu dalam kegelapan.
Sepanjang waktuku di sini, satu hal yang tak pernah kuketahui adalah jalan keluar. Sepertinya aku telah menyusuri setiap terowongan berulang kali, tapi tak penah melihat lubang yang belum pernah kujelajahi ketika mencari satu atau lain hal. Kini aku merenungkannya, ketika merayap melewati pojok-pojok dengan bayangan tergelap di dalam gua besar itu. Di manakah jalan keluarnya? Dan ini yang kupikirkan: seandainya bisa memecahkan teka-teki itu, bisakah aku pergi?
Aku tak bisa memikirkan apa pun yang kuinginkan hingga aku bersedia pergi dari sini--yang pasti bukan padang gurun yang menanti di luar sana; tapi juga bukan Pencari, atau Penyembuh, atau Penghibur-ku; juga bukan kehidupanku sebelumnya, yang hanya meninggalkan kesan dangkal bagiku. Semua yang benar-benar berarti ada bersamaku di sini. Jamie, Jared, walaupun ia hendak membunuhku. Tak bisa kubayangkan aku meninggalkan mereka berdua.
Dan Jeb. Ian. Kini aku punya teman-teman. Doc, Trudy, Lily, Wes, Walter, Heath. Manusia-manusia aneh yang bisa mengabaikan siapa diriku dan melihat sosok lain yang tak perlu mereka bunuh. Mungkin mereka hanya merasa penasaran. Tapi di luar itu, mereka bersedia membelaku melawan ikatan kekeluargaan yang erat di antara mereka yang masih bertahan hidup. Aku menggeleng takjub ketika meraba-raba batu kasar dengan sepasang tanganku.
Aku bisa mendengar yang lain berada di ruang gua, di sisi yang jauh dariku. Aku tidak berhenti; mereka tak bisa melihatku di sini, dan aku baru saja menemukan celah yang kucari.
Bagaimanapun, sebenarnya hanya ada satu tempat bagiku untuk pergi. Seandainya pun aku bisa menebak jalan untuk kabur, aku toh akan mengambil jalan ini juga. Aku merangkak ke dalam kegelapan terhitam yang bisa kubayangkan, dan bergegas menyusuri jalanku.

0 comments on "The Host - Bab 26"

Post a Comment