Aku berada di fasilitas Penyembuhan, sedang memulihkan diri dari insersi yang luar biasa traumatis. Aku yakin sebelum diberikan kepadaku, tubuh yang menampungku telah sembuh sepenuhnya. Inang yang rusak bakal dibuang.
Kurenungkan perselisihan pendapat antara Penyembuh dan Pencari. Menurut informasi yang kuperoleh sebelum memutuskan datang
kemari, pendapat Penyembuh-lah yang benar. Permusuhan dengan beberapa kelompok manusia yang tersisa sudah berakhir. Planet
yang disebut Bumi tenang dan damai sebagaimana terlihat dari luar angkasa, hijau dan biru mengundang, diselubungi asap
putihnya yang tak berbahaya. Sepertinya halnya kebiasaan hidup jiwa, kini keselarasan ada di mana-mana.
Pertikaian verbal antara Penyembuh dan Pencari bukanlah hal biasa. Cukup agresif bagi bangsa kami. Membuatku bertanya-tanya,
mungkinkah itu benar, desas-desus yang berupa bisikan bergelombang bagai ombak melalui pikiran-pikiran...
Perhatianku teralihkan, mencoba mengingat nama spesies yang menjadi inang terakhirku dulu. Kami punya nama. Aku tahu itu.
Tapi karena tak lagi berhubungan dengan inang itu, aku tak bisa mengingatnya. Kami menggunakan bahasa yang jauh lebih
sederhana daripada bahasa ini. Bahasa bisu pikiran yang menghubungkan kami semua dalam satu kesatuan pikiran. Itu kenyamanan
yang penting, karena tubuh kami tertanam selamanya di dalam tanah hitam basah.
Aku bisa menggambarkan spesies itu dalam bahasa manusiaku yang baru. Kami hidup di dasar lautan luas yang menutupi seluruh
permukaan dunia kami; dunia yang mempunyai nama, tapi juga telah lenyap. Kami masing - masing memiliki seratus tangan, dan di
setiap tangan ada seribu mata, sehingga--dengan pikiran kami yang terhubung--tak satu pun pemandangan di perairan luas itu
terlewatkan. Suara tak diperlukan, jadi mustahil untuk mendengarnya. Kami mencicipi air dan, dengan penglihatan kami, air itu
menceritakan semua yang perlu kami ketahui. Kami mencicipi matahari-matahari yang sangat jauh di atas permukaan air, dan
mengubah rasa mereka menjadi makanan yang kami butuhkan.
Aku bisa menggambarkan diri kami, tapi tak bisa mengingat nama kami. Aku mendesah karena pengetahuan yang hilang itu, lalu
merenungkan kembali pembicaraan yang telah kucuri dengar.
Sebagai patokan, jiwa tak mengucapkan apa pun kecuali kebenaran. Tentu saja para Pencari memiliki persyaratan - persyaratan
untuk memenuhi Panggilan mereka, tapi di antara para jiwa tak pernah ada alasan untuk berbohong. Dengan bahasa pikiran
spesies terakhirku dulu, akan mustahil untuk berbohong, bahkan seandainya kami menginginkannya. Namun karena tubuh kami
tertanam, kami bercerita kepada diri sendiri untuk meringankan kebosanan. Bercerita adalah talenta yang paling dihargai,
karena bermanfaat bagi semua orang.
Terkadang fakta bercampur dengan fiksi sedemikian rupa sehingga, walaupun tak ada kebohongan yang diceritakan, sulit untuk
mengingat apa yang sungguh - sungguh benar.
Ketika memikirkan planet baru itu--Bumi yang begitu kering, begitu beragam, serta dipenuhi penduduk keji dan perusak sehingga
nyaris tak terbayangkan--kengerian kami terkadang dikalahkan kegembiraan kami. Cerita - cerita berputar sangat cepat
mengelilingi subjek baru yang menggetarkan itu. Perang-perang itu--perang! Bangsa kami harus berperang!--pertama-tama
dilaporkan dengan akurat, lalu ditambah-tambahi dan dikarang-karang. Ketika cerita - cerita itu bertentangan dengan informasi
resmi yang kucari, tentu saja aku memercayai laporan-laporan pertama itu.
Tapi kudengar bisik-bisik seperti ini: tentang inang-inang manusia yang begitu kuat sehingga para jiwa terpaksa meninggalkan
mereka. Inang-inang dengan benak yang tak bisa ditundukkan sepenuhnya. Jiwa-jiwa yang mengambil kepribadian raga, bukan
sebaliknya. Cerita-cerita. Desas-desus liar. Kegilaan.
Tapi itu tampaknya nyaris seperti tuduhan Penyembuh...
Kubuang pikiran itu. Kecaman yang dilontarkan Penyembuh kemungkinan besar berarti ketidaksukaan yang dirasakan sebagian besar
dari kami terhadap Panggilan Pencari. Siapa yang bersedia memilih kehidupan penuh konflik dan pengejaran? Siapa yang akan
tertarik dengan pekerjaan menelusuri jejak inang-inang yang melawan dan menangkapi mereka? Siapa yang sanggup menghadapi
kekejaman spesies ini, manusia - manusia keji yang membunuh dengan begitu mudah, dengan begitu tak berperasaan? Di sini, di
planet ini, para Pencari bisa dikatakan telah menjadi... militan--otak baruku memasok istilah untuk konsep yang tak kukenal
ini. Sebagian besar jiwa percaya bahwa hanya jiwa yang paling tidak beradab, yang paling tivdak berevolusi, yang lebih rendah
di antara kami, yang akan tertarik menjadi Pencari.
Meski begitu para Pencari memperoleh status baru di Bumi. Tak pernah sebelumnya peristiwa pendudukan begitu kacau. Tak pernah
sebelumnya kehidupan begitu banyak jiwa dikorbankan. Para Pencari bertindak sebagai tameng perkasa, dan jiwa - jiwa di dunia
ini berutang tiga hal kepada mereka: atas keamanan yang diupayakan para Pencari dalam kekacauan itu, atas risiko kematian
final yang dihadapi para Pencari dengan sukarela setiap hari, dan atas tubuh - tubuh baru yang terus disediakan para Pencari.
Kini, setelah bahaya bisa dibilang sudah berlalu, tampaknya rasa terima kasih itu memudar. Dan, setidaknya untuk Pencari yang
satu ini, perubahan itu tidaklah menyenangkan.
Mudah membayangkan pertanyaan-pertanyaan apa yang akan diajukan Pencari kepadaku. Walaupun Penyembuh mencoba mengulur waktu
agar aku bisa menyesuaikan diri dengan tubuh baruku, aku tahu aku akan berbuat sebaik mungkin untuk membantu Pencari. Menjadi
warna negara yang baik penting bagi setiap jiwa.
Jadi aku menarik napas panjang untuk menyiapkan diri. Monitor mencatat gerakan itu. Aku tahu aku sedikit mengulur waktu. Aku
benci mengakuinya, tapi aku takut. Demi memperoleh informasi yang diperlukan Pencari, aku harus menjelajahi ingatan - ingatan
keji yang telah membuatku menjerit ketakutan. Lebih dari itu, aku takut terhadap suara yang kudengar begitu lantang di dalam
kepalaku. Tapi kini gadis ini diam, dan memang sudah sepatutnya. Ia juga hanya sebuah ingatan.
Seharusnya aku tidak merasa takut. Bagaimanapun, sekarang namaku Wanderer. Dan aku layak mendapatkan nama itu.
Dengan satu tarikan napas panjang lagi, aku menyusup ke dalam ingatan-ingatan yang menakutkanku itu, dan langsung menghadapi
semuanya dengan gigi dikertakkan.
Aku bisa melompati bagian akhirnya--kini ingatan itu tak lagi menguasaiku. Dengan memutar cepat ingatan itu, aku kembali
berlari melewati kegelapan, mengernyit, mencoba tidak merasakan apa-apa. Ingatan itu berlalu dengan cepat.
Setelah menembus penghalang tadi, tidak sulit bagiku untuk melayang melewati hal - hal dan tempat - tempat yang lebih tidak
menakutkan, untuk mencari informasi yang kuinginkan.
Aku melihat bagaimana gadis ini datang ke kota dingin ini, malam - malam
dengan mengendarai mobil curian yang ia pilih karena penampilannya yang tidak mencolok. Ia menyusuri jalan - jalan Chicago
dalam kegelapan, menggigil di balik mantel.
Gadis ini sedang melakukan pencariannya sendiri. Ada orang lain seperti dia di sini, atau begitulan harapannya. Seseorang
yang khusus. Seorang teman... bukan, kerabat. Bukan saudara kandung... seorang sepupu.
Kata-kata itu muncul semakin lambat dan semakin lambat, dan mulanya aku tidak mengerti mengapa. Apakah ingatan ini
terlupakan? Hilang dalam trauma yang nyaris mematikan? Apakah aku masih lamban akibat ketidaksadaranku? Aku berjuang untuk
berpikir jernih. Sensasi ini terasa asing. Apakah tubuhku masih terbius? Aku merasa cukup waspada, tapi benakku berjuang sia
- sia dalam memperoleh jawaban - jawaban yang kuinginkan.
Aku mencoba jalur pencarian lain, berharap memperoleh respons-respons lebih jelas. Apa tujuan gadis ini? Ia hendak mencari ... Sharon--aku menemukan nama itu--dan mereka hendak...
Aku menabrak dinding.
Kekosongan. Tidak ada apa-apa. Kucoba mengitari dinding itu, tapi aku tak bisa menemukan tepian kekosongan itu. Seakan informasi yang kucari telah dihapus.
Seakan otak ini telah rusak.
Kemarahan menguasaiku, panas dan liar. Aku terperangah, terkejut atas reaksi yang tidak diharapkan itu. Aku pernah mendengar ketidakstabilan emosi tubuh manusia, tapi ini berada di luar kemampuanku untuk mengantisipasi. Dalam delapan masa kehidupan penuhku, tak pernah emosi menyentuhku dengan kekuatan sedemikian rupa.
Kurasakan darah berdenyut - denyut di leherku, berdentam-dentam di belakang telinga. Kedua tanganku mengepal erat.
Mesin-mesin di sampingku melaporkan percepatan detak jantungku. Muncul reaksi di dalam ruangan; ketukan tajam sepatu Pencari yang menghampiriku, berbaur dengan suara langkah terseret yang lebih pelan, yang agaknya suara sepatu Penyembuh.
"Selamat datang di Bumi, Wanderer," kata suara perempuan itu.
---
0 comments:
Post a Comment