Terpaksa
Seminggu lagi berlalu, mungkin dua minggu—kelihatannya tak
ada gunanya menghitung waktu di sini, di tempat waktu sangat tidak relevan—dan segalanya
hanya jadi semakin aneh bagiku.
Aku bekerja bersama para manusia setiap hari, tapi tidak
selalu bersama Jeb. Kadang aku ditemani Ian, kadang ditemani Doc, lalu kadang hanya ditemani Jamie. Aku
menyiangi alang-alang, menguleni roti, dan menggosok meja. Aku mengambil air,
merebus sup bawang, mencuci pakaian di ujung kolam hitam, dan melepuhkan tangan
dengan membuat sabun asam itu. Semua orang melakukan bagian mereka. Dan karena
merasa tidak berhak berada di sini, aku berusaha bekerja dua kali lebih keras
daripada yang lain. Aku tak layak memperoleh tempat di sini, aku tahu itu, tapi
aku berusaha sebisa mungkin agar kehadiranku tidak jadi beban.
Aku mulai sedikit mengenal manusia-manusia di sekitarku,
sebagian besar dengan hanya mendengarkan mereka. Setidaknya aku mempelajari
nama mereka. Perempuan berkulit cokelat caramel itu bernama Lily, dan ia
berasal dari Philadelphia. Selera humornya datar, dan ia bisa bergaul baik
dengan semua orang karena tidak pernah marah. Pemuda berambut hitam
runcing-runcing, Wes, sering menatap Lily, walaupun perempuan itu tampaknya tak
pernah memperhatikan. Usia Wes baru Sembilan belas, dan ia melarikan diri dari
Eureka, Montana. Ibu bermata mengantuk itu bernama Lucina, dan kedua anak laki-lakinya bernama Isaiah
serta Freedom. Freedom dilahirkan di sini, di dalam gua. Kelahirannya dibantu
Doc. Aku jarang bertemu ketiganya. Tampaknya si ibu memisahkan anak-anak mereka
dariku sebisa mungkin di dalam ruangan terbatas ini. Lelaki agak botak berpipi
kemerahan itu suami Trudy; namanya Geoffrey. Mereka sering kali bersama lelaki
tua lain, heath, sahabat Geoffrey semenjak kanak-kanak; ketiganya meloloskan
diri bersama-sama dari penyerangan. Lelaki pucat berambut putih itu bernama
Walter. Ia sakit, tapi Doc tidak tahu apa yang salah dengannya. Mustahil untuk
tahu, tanpa laboratorium dan pengetesan. Dan kalaupun Doc bisa mendiagnosa
masalahnya, ia tak punya obat-obatan untuk mengobatinya. Ketika gejala-gejala penyakit Walter memburuk, Doc
mulai mengira itu semacam kanker. Ini membuatku sangat sedih—menyaksikan seseorang
benar-benar sekarat akibat penyakit yang sebenarnya bisa dengan mudah
disembuhkan. Walter mudah merasa lelah, tapi selalu ceria. Perempuan berambut
pirang keputihan dengan mata gelap yang sangat kontras—yang membawakan air
untuk manusia-manusia lain pada hari pertamaku di ladang—adalah Heidi. Travis,
John, Stanley, Reid, Carol, Violetta, Ruth Ann… Setidaknya aku mengenal semua
nama itu. Ada 35 manusia dalam kelompok ini, enam sedang pergi menjarah, termasuk
Jared. Kini ada 29 manusa di dalam gua, serta satu mahluk asing yang paling
tidak diterima.
Aku juga belajar lebih banyak mengenai tetangga-tetanggaku.
Ian dan Kyle menempati gua yang sama di lorongku, dua pintu asli disandarkan di
lubang masuk kamar mereka. Sebelumnya Ian tidur bersama Wes di koridor lain,
sebagai protes atas kehadiranku di sini. Tapi ia pindah kembali hanya setelah
dua malam. Menurut Jeb, para penghuni gua takut padaku, dan ini membuatku
tertawa. Apakah 29 ular derik merasa takut terhadap seekor tikus kesepian?
Kini Paige sudah kembali ke ruang sebelah, di gua yang
ditempatinya bersama partnernya, Andy. Ketidakhadiran lelaki itu membuatnya
sedih. Lily bersama Heidi menempati gua pertama yang bertirai bunga-bunga;
Heath menempati gua kedua, pintunya berupa lembaran karton yang disatukan
dengan selotip; Trudy dan Geoffrey berada di gua ketiga, yang ditutupi selimut
garis-garis. Reid dan Violetta satu gua lebih jauh dariku di koridor, privasi
mereka dilindungi karpet oriental gundul dan bernoda.
Gua keempat di koridor adalah milik Doc dan Sharon,
sedangkan gua kelima milik Maggie, tapi tak satu pun dari ketiganya sudah
kembali.
Doc dan Sharon adalah pasangan. Pada saat-saat langka ketika
Maggie mengucapkan humor sarkastisnya, ia menggoda anak perempuannya dengan
mengatakan diperlukan kiamat umat manusia bagi Sharon untuk menemukan lelaki
sempurna: semua ibu menginginkan anak perempuan mereka punya pasangan seorang
dokter.
Sharon bukanlah gadis yang kulihat di dalam ingatan-ingatan
Melanie. Apakah bertahun-tahun tinggal bersama Maggie yang masam telah
mengubahnya jadi seperti ibunya, hanya dengan warna kulit yang lebih cerah?
Walaupun hubungan Sharon dan Doc lebih baru daripada kedatanganku ke tempat
ini, Sharon tidak menunjukkan efek cinta baru yang bisa melembutkan seseorang.
Aku tahu lamanya hubungan itu dari Jamie. Sharon dan Maggie
jarang melupakan kehadiranku ketika aku berada seruangan dengan mereka, dan
percakapan mereka langsung berhati-hati. Mereka masih sangat menentangku; hanya
mereka yang mengabaikanku dan membuat tindakan itu terasa sangat bermusuhan.
Aku bertanya kepada Jamie bagaimana cara Sharon dan Maggie
datang kemari. Merekakah yang menemukan Jeb? Lebih dulu daripada Jared dan
Jamie? Kelihatannya Jamie memahami pertanyaanku sesungguhnya: apakah usaha
terakhir Melanie menemukan mereka benar-benar sia-sia?
Menurut Jamie tidak. Jared memperlihatkan catatan terakhir Melanie
kepada Jamie, dan menjelaskan kakak perempuannya sudah tiada. Perlu sejenak
bagi Jamie untuk bisa bicara lagi setelah kata itu terucap, dan di wajahnya
bisa kulihat akibat peristiwa itu bagi mereka berdua. Setelah itu mereka pergi
mencari Sharon. Maggie menodongkan pedang antic ketika Jared mencoba
menjelaskan. Benar-benar nyaris.
Dengan Maggie dan Jared bekerja sana, tak perlu waktu lama
untuk memecahkan teka-teki Jeb. Keempatnya sudah sampai di gua sebelum aku
pindah dari Chicago ke San Diego.
Ketika aku dan Jamie membicarakan Melanie, ternyata rasanya
tak sesulit yang kubayangkan. Melanie selalu menjadi bagian percakapan-percakapan
ini. Ia meredakan rasa sakit Jamie, mengurangi kecanggunganku walaupun tak
banyak omong. Ia jarang bicara kepadaku lagi. Dan ketika melakukannya,
bicaranya tidak terdengar. Kadang-kadang aku tak yakin apakah benar-benar
mendengarnya, atau apakah yang dipikirkannya sebenarnya gagasanku sendiri. Tapi
Melanie berusaha, demi Jamie. Ketika aku mendengarnya, itu selalu pada saat aku
bersama Jamie. Ketika Melanie tidak bicara, kami merasakan kehadirannya di
sana.
“Mengapa Melanie jadi sangat pendiam sekarang?” Tanya Jamie
pada suatu malam yang larut. Sekali itu ia tidak mencecarku tentang Laba-laba
dan Fire-Taster. Kami sama-sama lelah, setelah seharian mencabut wortel.
Punggungku terasa pegal.
“Sulit baginya untuk bicara. Diperlukan jauh lebih banyak
usaha daripada yang diperlukan olehku dan olehmu. Tidak ada yang ingin sekali
dikatakannya.”
“Apa yang dia lakukan sepanjang waktu?”
“Kurasa dia mendengarkan. Kurasa aku tidak tahu.”
“Bisakah kau mendengarnya sekarang?”
“Tidak.”
Aku menguap, Jamie terdiam. Kupikir ia tertidur. Aku juga
hendak menirunya.
“Menurutmu Melanie akan pergi? Benar-benar menghilang?”
bisik Jamie tiba-tiba. Suaranya tersangkut pada kata terakhir.
Aku bukan pembohong, dan kurasa aku tidak akan bisa
berbohong kepada Jamie, kalaupun aku pembohong. Kucoba untuk tidak memikirkan
dampak perasaanku terhadapnya. Karena sesungguhnya, apakah artinya jika cinta
terbesar yang pernah kurasakan di dalam Sembilan kehidupanku, perasaan
kekeluargaan sejati, insting keibuanku, kupersembahkan kepada bentuk kehidupan
yang asing? Kusingkirkan pikiran itu.
“Aku tak tahu,” kataku. Lalu, karena itu memang benar,
kutambahkan, “Kuharap tidak.”
“Apakah kau menyukai Melanie seperti kau menyukaiku? Apakah
dulu kau membencinya, seperti dia membencimu?”
“Berbeda dengan caraku menyukaimu. Dan aku tak pernah
benar-benar membenci Melanie, bahkan sejak awal. Aku takut sekali kepadanya,
dan aku marah karena dia membuatku tidak bisa menjadi seperti jiwa yang lainnya. Tapi aku selalu, selalu
mengagumi kekuatannya. Dan Melanie orang terkuat yang pernah kukenal.”
Jamie tertawa. “Kau takut kepadanya?”
“Kau tidak mengira kakakmu bisa menakutkan? Ingatkah kau
saat mendaki ngarai terlalu tinggi, lalu Melanie ‘naik pitam’—menurut istilah
Jared—ketika kau terlambat pulang?”
Jamie tergelak mengingatnya. Aku gembira bisa mengalihkan
perhatiannya dari pertanyaan yang menyakitkan itu.
Aku ingin sekali terus berdamai dengan semua teman baruku,
dengan cara apa pun. Kurasa aku bersedia melakukan apa saja, tak peduli betapa
itu rasanya membuat punggungku patah atau berbau busuk. Tapi ternyata aku
keliru.
“Jadi, kupikir,” ujar Jeb kepadaku suatu hari, mungkin dua
minggu setelah semuanya “kembali tenang”.
Aku benci jika Jeb mengucapkan kata-kata itu.
“Kau ingat apa yang kukatakan mengenai kemungkinan kau mengajar sedikit di sini?”
“Kau ingat apa yang kukatakan mengenai kemungkinan kau mengajar sedikit di sini?”
Jawabanku singkat, “Ya.”
“Well, lalu bagaimana?”
Aku tidak perlu memikirkannya lebih jauh. “Tidak.”
Penolakanku menimbulkan sengatan rasa bersalah di dalam
diriku. Aku belum pernah menolak suatu Panggilan. Rasanya seakan aku
mementingkan diri sendiri. Meski begitu, ini jelas berbeda. Jiwa takkan pernah
memintaku melakukan tindakan yang bersifat bunuh diri.
Jeb mengernyit memandangku, menyatukan alis tebal
berbulunya. “Kenapa tidak?”
“Apakah menurutmu Sharon akan suka?” tanyaku datar. Itu hanya
satu contoh, tapi mungkin yang paling berpengaruh.
Jeb mengangguk, masih mengernyit, memahami maksudku.
“Itu demi kebaikan bersama,” gerutunya.
Aku mendengus. “Kebaikan bersama? Bukankah itu berarti
menembakku?”
“Wanda, itu pikiran picik,” sergahnya, seakan jawabanku
adalah usaha seriusku untuk membujuknya. “Sekarang ini kami punya kesempatan
belajar yang sangat tidak biasa. Sayang sekali kalau disia-siakan.”
“Menurutku tak seorang pun ingin belajar dariku. Aku tidak
keberatan bicara denganmu atau Jamie—“
“Tidak masalah apa yang mereka inginkan,” desak Jeb. “Yang
penting apa yang baik bagi mereka. Seperti cokelat versus brokoli. Mereka harus
tahu lebih banyak tentang jagad raya—juga tentang para penyewa baru planet
kami.”
“Bagaimana hal itu bisa membantu mereka, Jeb? Apakah
menurutmu aku mengetahui sesuatu yang bisa menghancurkan para jiwa? Membalikkan
air pasang? Jeb, semua sudah berakhir.”
“Belum berakhir jika kami masih di sini,” katanya, nyengir,
sehingga aku tahu ia sedang menggodaku lagi. “Aku tidak mengharapkan kau
menjadi pengkhianat dan member kami semacam senjata super. Aku hanya berpikir,
kami harus tahu lebih banyak mengenai dunia tempat kami tinggal.”
Aku terkesiap mendengar kata pengkhianat. “Kalaupun ingin, aku
tidak bisa memberimu senjata, Jeb. Kami tidak punya kelemahan utama, semacam
tumit Achilles. Tidak ada musuh bebuyutan di luar angkasa sana yang bisa datang
membantu kalian, tidak ada virus yang bisa membasmi kami dan membiarkan kalian
hidup. Maaf.”
“Jangan khawatir,” Jeb mengepalkan tangan dan
mengetuk-ngetukkannya secara bergurau ke lenganku. “Tapi kau mungkin bakal
terkejut. Sudah kubilang, di sini membosankan. Orang mungkin lebih kepingin
mendengarkan cerita-ceritamu daripada yang kausangka.”
Aku tahu Jeb takkan menyerah. Apakah Jeb mampu mengakui
kekalahan? Aku ragu itu.
Pada saat-saat makan biasanya aku duduk bersama Jeb dan
Jamie—kalau ia tidak berada di sekolah atau sibuk di tempat lain. Ian selalu
duduk di dekat kami, walaupun tidak benar-benar bersama kami. Gagasannya
mengangkat diri sendiri sebagai pengawal pribadiku tak bisa kuterima
sepenuhnya. Tampaknya terlalu hebat untuk menjadi kenyataan. Dan, karenanya,
berdasarkan filosofi manusia, itu jelas keliru.
Beberapa hari setelah aku menolak permintaan Jeb untuk
mengajar manusia “demi kebaikan mereka sendiri”, Doc duduk di sampingku selama
makan malam.
Sharon tetap di tempatnya, di pojok terjauh dari tempatku
yang biasa. Hari ini ia sendirian, tanpa ditemani ibunya. Ia tidak menoleh
untuk melihat Doc berjalan ke arahku. Rambut cemerlang Sharon digulung
membentuk sanggul tinggi, sehingga aku bisa melihat lehernya tegang dan bahunya
terangkat. Tegang dan tidak senang. Membuatku ingin langsung pergi sebelum Doc
bisa mengatakan apa pun yang hendak dikatakannya kepadaku, sehingga aku tidak
bisa dianggap bersekongkol dengannya.
Tapi Jamie sedang bersamaku, dan ia meraih tanganku ketika
melihat tatapan panic yang dikenalnya muncul di mataku. Ia mengembangkan
kemampuan luar biasa untuk merasakan kapan aku berubah ketakutan. Aku mendesah
dan tetap di tempat. Mungkin seharusnya aku merasa lebih terganggu dengan
kenyataan bahwa diriku menjadi semacam budak bagi keinginan-keinginan anak ini.
“Apa kabar?” Tanya Doc santai, seraya meluncur ke meja di
sampingku.
Ian, yang berada beberapa puluh sentimeter dari kami,
berbalik sehingga seolah-olah ia jadi bagian kelompok kami.
Aku mengangkat bahu.
“Hari ini kami merebus sup,” Jamie mengumumkan. “Mataku masih
pedih.”
Doc mengangkat tangannya yang merah membara. “Sabun.”
Jamie tertawa. “Kau menang.”
Doc pura-pura mengejek dengan membungkuk dalam-dalam, lalu
berbalik kepadaku. “Wanda, aku punya pertanyaan untukmu…” Ia membiarkan
kata-katanya berhenti.
Aku mengangkat alis.
“Well, aku ingin tahu… Dari semua planet yang kaukenal,
spesies mana yang secara fisik paling mendekati umat manusia?”
Aku mengejap-ngerjapkan mata. “Mengapa?”
“Hanya rasa penasaran biologis kuno yang baik. Kurasa aku
memikirkan para Penyembuh-mu… Dari mana mereka memperoleh pengetahuan untuk
menyembuhkan—dan bukan hanya mengobati gejala-gejala penyakit—seperti yang
kaubilang?” Doc bicara lebih keras daripada yang diperlukan, suara lembutnya
merambat ke bagian lain ruangan, lebih daripada biasa. Beberapa orang mendongak—Trudy
dan Geoffrey, Lily, Walter…
Kubelitkan kedua lenganku erat-erat di tubuh, mencoba
memperkecil tubuhku sendiri. “Itu dua pertanyaan berbeda,” gumamku.
Doc tersenyum, memberi isyarat dengan sebelah tangannya agar
aku melanjutkan.
Jamie meremas tanganku.
Aku mendesah. “Mungkin beruang di Mists Planet.”
“Sama dengan mahluk buas bercakar itu?” bisik Jamie.
Aku mengangguk.
“Di mana kemiripannya?” desak Doc.
Aku memutar bola mata, merasakan pengarahan Jeb dalam hal
ini, tapi melanjutkan. “Dalam banyak hal mereka menyerupai mamalia. Berbulu,
berdarah panas. Darah mereka tidak persis seperti darah kalian, tapi pada
dasarnya melakukan tugas yang sama. Mereka memiliki emosi serupa, dan punya
kebutuhan yang sama untuk berinteraksi secara social serta menyalurkan
kreativitas—“
“Kreativitas?” Doc mencondongkan tubuh, takjub—atau berpura-pura
takjub. “Kok bisa?”
Aku memandang Jamie. “Kau tahu. Mengapa tidak kauceritakan
kepada Doc?”
“Aku bisa keliru.”
“Tidak.”
Jamie memandang Doc yang mengangguk.
“Well, kau tahu, mereka punya sepasang tangan yang
menakjubkan,” ujar Jamie segera, antusias. “Semacam persendian ganda—bisa menekuk
ke dua arah.” Ia membengkokkan jemarinya, seakan mencoba menekuknya ke
belakang. “Satu sisinya lembut, seperti telapak tanganku, tapi sisi yang lain
setajam silet! Mereka memotong es—memahatnya. Mereka membangun kota-kota,
semuanya kastil Kristal yang tak pernah meleleh! Sangat indah, kan, Wanda!” Ia
berbalik kepadaku, meminta dukungan.
Aku mengangguk. “Mereka melihat spectrum warna berbeda—esnya
penuh pelangi. Kota-kota itu adalah puncak kebanggaan mereka. Dan mereka selalu
berusaha menjadikan kota-kota itu lebih indah. Aku mengenal beruang bernama…
well, Glitter Weaver—walaupun nama itu terdengar lebih indah dalam bahasa
mereka. Ia mendapatkan nama itu karena sepertinya es bisa mengetahui apa yang
ia inginkan, dan membentuk sendiri menurut mimpi-mimpinya. Aku pernah berjumpa
dengannya dan melihat hasil-hasil kreasinya. Itu salah satu kenangan
terindahku.”
“Mereka bisa bermimpi?” Tanya Ian pelan.
Aku tersenyum masam. “Tidak sejelas mimpi manusia.”
“Bagaimana cara penyembuh-penyembuhmu memperoleh pengetahuan
tentang fisiologi spesies baru? Mereka sudah siap saat datang ke planet ini. Aku
menyaksikan awal mulanya—menyaksikan pasien-pasien sekarat berjalan keluar dari
rumah sakit…” Kening sempit Doc mengernyit, berkerut-kerut membentuk huruf V. Seperti yang lain, ia membenci para penyerang
asing itu. Tapi tidak seperti yang lain, ia juga iri pada mereka.
Aku tak ingin menjawab. Semua orang mendengarkan, dan ini
bukan dongeng manis mengenai Beruang
pemahat es. Ini kisah tentang kekalahan mereka.
Doc menunggu, mengernyit.
“Mereka… mereka mengambil sampel-sampel,” gumamku.
Ian menyeringai paham. “Penculikan oleh mahluk luar angkasa.”
Aku mengabaikannya.
Doc mengerutkan bibir. “Masuk akal.”
Keheningan di dalam ruangan itu mengingatkanku pada saat aku
pertama kali berada di sini.
“Dari mana asal bangsamu?” Tanya Doc. “Kau ingat? Maksudku,
sebagai spesies, tahukah kau bagaimana bangsamu berevolusi?”
“The Origin,” jawabku, mengangguk. “Kami masih tinggal di
sana. Itu tempatku… dilahirkan.”
“Dan itu cukup istimewa,” imbuh Jamie. “Jarang-jarang bisa
menemui jiwa dari The Origin, ya kan? Sebagian besar jiwa berusaha untuk tetap
tinggal di sana, kan, Wanda?” Ia tidak menunggu jawabanku. Aku mulai menyesal
telah menjawab pertanyaan-pertanyaan
Jamie dengan begitu mendetail setiap malam. “Jadi, ketika seseorang berpindah
planet, itu membuatnya hampir menjadi… semacam selebriti? Atau seperti anggota
keluarga kerajaan.”
Kurasakan pipiku menghangat.
“Tempat itu keren,” Jamie melanjutkan. “Banyak awan, dengan
serangkaian lapisan berbeda warna. Satu-satunya planet tempat jiwa bisa hidup
di luar inang untuk waktu lama. Inang-inang di The Origin juga sangat cantik,
dengan semacam sayap, banyak tentakel, dan mata perak besar.”
Doc mencondongkan tubuh, kedua tangannya menyangga wajah. “Ingatkah
mereka bagaimana hubungan inang-parasit itu terbentuk? Bagaimana kolonisasi
dimulai?”
Jamie memandangku, mengangkat bahu.
“Kami selalu seperti itu,” jawabku pelan, masih enggan. “Setidaknya
sejak kami cukup cerdas untuk mengenal diri sendiri. Kami ditemukan spesies
lain—di sini kami menyebut mereka Burung Hering, walaupun itu bukan karena
penampilan mereka, tapi lebih pada kepribadian mereka. Mereka… jahat. Lalu kami
tahu kami bisa mengikatkan diri pada mereka, persis yang kami lakukan dengan
inang asli kami. Setelah mengendalikan Burung Hering, kami memanfaatkan
teknologi mereka. Pertama-tama kami merebut planet mereka, lalu kami mengikuti
mereka ke Dragon Planet dan Summer world—tempat-tempat indah, walaupun di sana
Burung Hering juga jahat. Kami mulai membentuk koloni; inang-inang kami
bereproduksi jauh lebih lambat daripada kecepatan reproduksi kami, dan masa
hidup mereka singkat. Kami mulai menjelajah lebih jauh ke jagad raya…”
Aku berhenti, menyadari banyaknya mata yang menatap wajahku.
Hanya Sharon yang tetap memalingkan wajah.
“Kau bicara seakan mengalaminya sendiri,” ujar Ian.
Diam-diam ia mengamati. “Kapan itu terjadi?”
“Setelah dinosaurus tinggal di sini, tapi sebelum kalian
ada. Aku tidak mengalaminya sendiri, tapi mengingat beberapa ingatan ibu dari
ibu dari ibuku.”
“Berapa usiamu?” Tanya Ian, seraya mencondongkan tubuh ke
arahku. Mata biru cemerlangnya seakan menembusku.
“Aku tak thau dalam tahun Bumi.”
“Kira-kira?” desaknya.
“Ribuan tahun, mungkin.” Aku mengangkat bahu. “Aku tidak
bisa menghitung tahun-tahun yang kuhabiskan dalam hibernasi.”
Ian menyandarkan tubuhnya, terpana.
“Wow, tua sekali,” ujar Jamie.
“Tapi dalam pengertian yang sebenar-benarnya, aku lebih muda
darimu,” gumamku kepadanya. “Bahkan usiaku belum setahun. Aku merasa seperti
kanak-kanak sepanjang waktu.”
Sudut-sudut bibir Jamie sedikit tertarik ke atas. Ia menyukai
gagasan dirinya lebih dewasa dariku.
“Bagaimana proses penuaan bangsamu?” Tanya Doc. “Masa hidup
alaminya?”
“Kami tidak punya itu,” jawabku. “Selama inang kami sehat,
kami bisa hidup selamanya.”
Suara gumaman rendah—marah? Takut? Jijik? Aku tidak tahu—berpusar-pusar
di sekitar tepi gua. Kusadari jawabanku tidak bijak. Aku memahami arti
kata-kata ini bagi mereka.
“Hebat.” Nada rendah penuh kemarahan itu berasal dari
Sharon, tapi ia tidak menoleh.
Jamie meremas tanganku, kembali melihat keinginan untuk
kabur di mataku. Kali ini perlahan-lahan kulepaskan tanganku.
“Aku sudah tidak lapar lagi,” bisikku, walaupun rotiku
bertengger nyaris tak tersentuh di meja di sampingku. Aku melompat turun dan,
seraya merapat ke dinding, meloloskan diri.
Jamie mengikuti persis di belakangku. Ia berhasil menyusulku
di plaza kebun yang besar, lalu menyerahkan sisa rotiku.
“Itu sangat menarik. Sungguh,” ujar Jamie. “Kurasa tak ada
yang benar-benar marah.”
“Jeb yang menyuruh Doc melakukan ini, bukan?”
“Kau menceritakan kisah-kisah bagus. Setelah semua orang
tahu, mereka pasti ingin mendengar semuanya. Persis seperti aku dan Jeb.”
“Bagaimana kalau aku tidak ingin menceritakannya kepada
mereka?”
Jamie mengernyit. “Well, kala begitu, kurasa… kau tidak usah
menceritakannya. Tapi sepertinya kau tidak keberatan menceritakannya kepadaku.”
“Itu lain. Kau menyukaiku.” Aku bisa saja mengatakan, kau
tidak ingin membunuhku, tapi itu akan membuat Jamie sedih.
“Setelah mengenalmu, mereka semua akan menyukaimu. Ian dan
Doc begitu.”
“Ian dan Doc tidak menyukaiku, Jamie. Mereka hanya merasa
sangat penasaran.”
“Mereka menyukaimu.”
“Ugh,” geramku. Kami sudah tiba di kamar. Kusibak tirai dan
kulempar tubuhku ke kasur. Jamie duduk agak lesu di sampingku melingkarkan
kedua lengannya di lutut.
“Jangan marah,” katanya memohon. “Jeb bermaksud baik.”
Aku kembali menggeram.
“Takkan seburuk itu.”
“Doc akan melakukan hal ini setiap kali aku masuk ke dapur,
bukan?”
Jamie mengangguk malu. “Atau Ian. Atau Jeb.”
“Atau kau.”
“Kami semua ingin tahu.”
Aku mendesah, lalu berguling menelungkup. “Apakah Jeb harus
selalu memperoleh apa yang dia inginkan?”
Jamie memikirkannya sejenak, lalu mengangguk. “Bisa dibilang
begitu. Ya.”
Kugigit rotiku banyak-banyak. Selesai mengunyah aku berkata,
“Kurasa mulai saat ini aku akan makan di sini.”
“Ian akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepadamu besok,
ketika kau sedang menyiangi bayam. Bukan Jeb yang menyuruh—itu keinginan Ian
sendiri.”
“Well, itu hebat.”
“Kau sangat pintar menyindir. Kupikir parasit—maksudku jiwa—tidak
menyukai humor negative. Hanya menyukai hal-hal menyenangkan.”
“Mereka belajar dengan cepat di sini, Nak.”
Jamie tertawa, lalu meraih tanganku. “Kau tidak benci di
sini, kan? Kau tidak menderita, kan?”
Mata cokelat besarnya tampak khawatir.
Kutekankan tangan Jamie di wajahku. “Aku baik-baik saja,”
ujarku. Dan pada saat itu perkataanku benar seluruhnya.
0 comments:
Post a Comment