Dikhianati
Mungkin
seharusnya aku lari ke arah berlawanan. Tapi kini tak seorang pun menahanku.
Dan walaupun suaranya dingin serta marah, Jared memanggilku. Melanie bahkan
lebih bersemangat daripadaku, ketika aku berbelok hati-hati dan memasuki cahaya
biru,. Aku bimbang.
Ian berdiri
hanya beberapa puluh sentimeter di depanku, waspada, siap menghadapi apa pun
yang mungkin dilakukan Jared kepadaku.
Jared duduk di
tanah, di atas salah satu kasur yang ditinggalkan olehku dan Jamie di sana. Ia
tampak sama lelahnya dengan Ian, walaupun matanya lebih waspada dibandingkan bagian tubuhnya yang
lain.
“Tenang,”
ujar Jared kepada Ian. “Aku hanya ingin bicara dengan mahluk itu. Aku sudah
berjanji kepada Jamie, dan aku akan memenuhi janjiku.”
“Mana Kyle?”
desak Ian.
“Mendengkur.
Guamu bisa roboh akibat getarannya.”
Ian tidak
bergerak.
“Aku tidak
berbohong, Ian. Dan aku tidak akan membunuh mahluk ini. Jeb benar. Tak peduli betapa
kacaunya situasi konyol ini, Jamie punya hak yang sama denganku. Dan dia telah
ditipu habis-habisan, jadi aku ragu apakah dia akan memberiku izin untuk
membunuh mahluk itu dalam waktu dekat.”
“Tak seorang
pun tertipu,” gerutu Ian.
Jared
melambaikan tangan, mengakhiri perselisihan mengenai terminologi itu. “Takkan
ada bahaya dariku. Itu maksudku.” Untuk pertama kali Jared memandangku, menilai
caraku merapat ke dinding, mengamati tanganku yang gemetar. “Aku tidak akan
melukaimu lagi,” ujarnya.
Aku maju
sedikit
“Kau tak
perlu bicara dengannya kalau tidak mau, Wanda,” ujar Ian cepat. “Ini bukan
kewajiban atau tugas yang harus dipenuhi. Bukan keharusan. Kau punya pilihan.”
Sepasang
alis Jared bertaut di atas matanya. Kata-kata Ian membuatnya bingung.
“Tidak.”
Bisikku. “Aku akan bicara dengannya.” Aku maju selangkah lagi. Dengan tangannya
Jared memberiku isyarat untuk maju.
Aku beralan
perlahan-lahan, selangkah setiap kali, bukan gerakan maju yang mantap. Aku
berhenti satu meter dari Jared. Ian membayangi setiap langkahku dan tetap di
sisiku.
“Aku ingin
bicara dengan mahluk itu sendirian, kalau kau tidak keberatan,” ujar Jared.
Ian tetap
berdiri di tempatnya. “Aku keberatan.”
“Tidak, Ian,
tidak apa-apa. Pergilah tidur. Aku akan baik-baik saja.” Kusikut pelan
tangannya.
Ian meneliti
wajahku, ekspresinya bimbang. “Ini bukan semacam keinginan terakhir? Supaya
tidak menyakiti Jamie?” desaknya.
“Tidak.
Jared takkan berbohong kepada Jamie soal ini.”
Jared
memandang marah kepadaku ketika aku mengucapkan namanya dengan penuh percaya
diri.
“Ayolah,
Ian,” ujarku memohon. “Aku ingin bicara dengannya.”
Ian
memandangku sejenak, lalu berbalik dan memandang marah kepada Jared. Ia
mengucapkan setiap katanya seperti perintah.
“Namanya
Wanda, bukan mahluk itu. Kau tidak boleh menyentuhnya. Bekas apa pun yang
kautinggalkan padanya, aku akan menggandakannya pada kulit tak berhargamu.”
Aku
terhenyak mendengar ancaman itu.
Ian berbalik
cepat, lalu melangkah memasuki kegelapan.
Sejenak
hening ketika kami memandang ruang kosong tempat Ian menghilang. Aku menatap
wajah Jared lebh dulu, ia masih menatap kepergian Ian. Saat ia menoleh untuk
membalas tatapanku, aku menunduk.
“Wow. Dia
tidak bergurau, bukan?” ujar Jared.
Aku
menganggap ini pertanyaan yang tak perlu dijawab.
“Mengapa kau
tidak duduk?” Tanya Jared, menepuk kasur di sampingnya.
Sejenak aku
mempertimbangkan tawarannya, lalu duduk bersandar di dinding yang sama, tapi di
dekat lubang. Kubiarkan kasur menjadi jarak di antara kami. Melanie tidak
menyukainya. Ia ingin berada di dekat Jared, ingin aku membaui aroma lelaki itu
dan merasakan kehangatan tubuhnya di sampingku.
Aku tidak
menginginkan semua itu—dan ini bukan karena aku takut Jared akan melukaiku. Ia
tidak tampak marah, hanya lelah dan khawatir. Tapi aku tak ingin berada lebih
dekat dengannya. Sesuatu di dalam dadaku terasa nyeri ketika ia berada begitu
dekat—ketika ia membenciku dari jarak sedekat itu.
Jared
mengamatiku dengan kepala dimiringkan. Aku hanya bisa membalas pandangannya
sejenak, lalu berpaling.
“Maaf soal
semalam—soal wajahmu. Seharusnya itu tidak kulakukan.”
Kutatap
kedua tanganku yang terkepal di pangkuan
“Kau tidak
perlu takut kepadaku.”
Aku
mengangguk, tanpa memandang.
Ia
menggerutu. “Kurasa kau tadi bilang ingin bicara denganku?”
Aku
mengangkat bahu. Kebenciannya padaku membuatku gagal menemukan suaraku.
Aku
mendengar Jared bergerak. Ia beringsut
pelan hingga duduk tepat di sampingku—seperti yang diharapkan Melanie. Terlalu
dekat—sulit untuk berpikir dengan benar, sulit untuk bernapas dengan benar—tapi
aku tak bisa menyuruh diriku beringsut menjauh. Anehnya, walaupun ini yang
diinginkan Melanie sejak awal, tiba-tiba ia merasa jengkel.
Apa?
Tanyaku, terkejut oleh intensitas emosi Melanie.
Aku tidak
suka Jared berada di sampingmu. Rasanya keliru. Aku tidak suka caramu
menginginkannya di sana. Untuk pertama kali sejak kami meninggalkan peradaban
bersama-sama, kurasakan gelombang-gelombang permusuhan memancar dari Melanie.
Aku terkejut. Itu hampir tak bisa disebut adil.
“Aku hanya
punya satu pertanyaan,” ujar Jared, menyela pembicaraanku dengan Melanie.
Kubalas
tatapannya, lalu aku berpaling—tersentak oleh tatapan dingin Jared dan
kebencian Melanie.
“Mungkin kau
bisa menebak pertanyaan itu. Jeb dan Jamie menghabiskan sepanjang malam untuk
menguliahiku…”
Kutunggu
pertanyaan Jared. Mataku menatap lurus menembus koridor yang gelap, menatap
karung beras—bantalku semalam. Dari sudut mata aku melihat sebelah tangan Jared
terangkat, dan aku merapat ke dinding.
“Aku tidak
akan melukaimu,” kata Jared lagi, tidak sabar. Ia memegang daguku dengan
tangannya yang kasar, menolehkan wajahku sehingga aku terpaksa memandangnya.
Jantungku
tergeragap ketika Jared menyentuhku, dan mendadak air mataku merebak. Aku
mengerjap-ngerjap, mencoba menjernihkan mata.
“Wanda,”
Jared mengucapkan namaku perlahan-lahan—dengan enggan, aku tahu itu, walaupun
suaranya datar dan tak bernada.
“Apakah
Melanie masih hidup—masih menjadi bagian dari dirimu? Katakan yang sebenarnya.”
Melanie
menyerangku dengan kekuatan luar biasa seperti banteng mengamuk. Rasanya
menyakitkan secara fisik, seperti tusukan mendadak migren, di tempat ia mencoba
menerobos keluar.
Hentikan!
Tak bisakah kau melihatnya?
Hal itu
sangat jelas terlihat dari bibir Jared ang terkatup erat, dan dari garis-garis
tegang di bawah matanya. Tak peduli apa yang aku atau Melanie katakana.
Jared sudah
menganggapku pembohong, ujarku kepada Melanie. Ia tidak menginginkan
kebenaran—ia hanya mencari bukti, mencari semacam cara untuk membuktikan aku
pembohong, bahwa aku Pencari, kepada Jeb dan Jamie, sehingga ia mendapat izin
untuk membunuhku.
Melanie
menolak untuk menjawab atau mempercayaiku. Aku harus berjuang agar ia tetap
diam.
Jared
mengamati bulir keringat di keningku dan getaran aneh yang mengguncang tulang
punggungku, lalu matanya menyipit. Jared tetap memegang daguku, tak mau
membiarkanku menyembunyikan wajah.
Jared, aku
mencintaimu, Melanie mencoba berteriak. Aku ada di sini.
Bibirku
tidak bergetar, tapi aku terkejut karena Jared tak bisa membaca kata-kata yang
terlontar jelas di mataku.
Waktu
berlalu dengan lambat ketika Jared menunggu jawabanku. Menyakitkan rasanya
menatap ke dalam matanya, melihat tatapan jijik di sana. Seolah-olah itu belum cukup, kemarahan Melanie terus
mengiris-irisku dari dalam. Kecemburuannya membengkak menjadi banjir kesedihan
yang melanda tubuhku dan mencemarinya.
Waktu
berlalu, air mataku tak dapat ditahan lagi. Air mataku mengalir ke pipi dan
bergulir pelan ke telapak tangan Jared. Ekspresinya tidak berubah.
Akhirnya aku
tak sanggup lagi. Aku memejamkan mata dan menunduk. Jared tidak melukaiku. Ia
menjatuhkan tangannya.
Ia mendesah,
frustasi.
Kusangka dia
bakal pergi. Kutatap lagi kedua tanganku, menunggu. Detak jantungku menandai
berlalunya waktu. Jared tidak bergerak. Aku tidak bergerak. Ia seakan terpahat
dari batu di sampingku. Ketenangan seperti batu ini sangat cocok untuknya.
Cocok dengan ekspresi barunya yang keras, dengan batu api di matanya.
Melanie
merenungkan Jared yang ini, lalu membandingkannya dengan lelaki yang dulu
dikenalnya. Melanie ingat suatu hari dalam pelarian mereka, suatu hari yang
biasa…
“Argh!”
Jared dan Jamie mengerang bersama-sama.
Jared
bersantai di sofa kulit dan Jamie tergeletak di karpet di depannya. Mereka
sedang menonton pertandingan basket di TV layar lebar. Parasit-parasit yang
tinggal di rumah ini sedang pergi bekerja, dan kami sudah mengisi jip dengan
semua yang bisa ditampung di dalamnya. Kami punya waktu berjam-jam untuk
istirahat, sebelum harus kembali menghilang.
Di TV, dua
pemain sedang berselisih dengan sopan di luar garis. Juru kamera ada di dekat
mereka, sehingga kami bisa mendengar apa yang mereka katakana.
“Kurasa aku
orang terakhir yang menyentuhnya. Ini bolamu.”
“Aku tidak
yakin soal itu. Aku tidak ingin mengambil kesempatan tidak adil. Sebaiknya kita
meminta wasit melihat rekamannya.”
Kedua pemain
berjabat tangan dan saling menepuk bahu lawan.
“Itu
konyol,” gerutu Jared.
“Aku tidak
tahan,” ujar Jamie setuju. Ia menirukan nada suara Jared dengan sempurna.
Semakin hari ia semakin kedengaran seperti Jared. Itu salah satu dari banyak
bentuk pemujaan Jamie terhadap Jared. “Ada acara yang lain?”
Jared
mengganti beberapa saluran, sampai menemukan pertandingan atletik. Saat itu
parasit-parasit sedang menggelar Olimpiade di Haiti. Dari yang bisa kami lihat,
para mahluk luar angkasa itu sangat bersemangat mengikutinya. Banyak di antara
mereka memasang bendera Olimpiade di luar rumah. Tapi Olimpiade ini tidak sama.
Kini semua yang berpartisipasi dalam Olimpiade mendapat medali. Menyedihkan.
Tapi parasit
– parasit itu tidak terlalu bisa mengacaukan pertandingan lari seratus meter.
Olahraga yang dilakukan parasit secara individual jauh lebih menarik daripada
jika mereka berkompetisi langsung. Performa mereka lebih baik jika berada di
jalur terpisah.
“Mel, ayo
bersantai,” panggil Jared.
Aku berdiri
di samping pintu belakang. Ini diluar kebiasaanku, dan bukan karena aku siap
lari. Bukan karena aku ketakutan. Ini hanya kebiasaan. Itu saja.
Kuhampiri
Jared. Ia menarikku ke pangkuannya dan meletakkan kepalaku di bawah dagunya.
“Nyaman?”
tanyanya.
“Ya,”
jawabku, karena aku benar-benar, sungguh-sungguh, merasa sangat nyaman. Di
sini, di rumah mahluk luar angkasa.
Dad dulu
suka mengatakan banyak hal lucu—misalnya ia terkadang menciptakan bahasanya
sendiri. Dua puluh tiga keminggatan, hari selada, pemarkir berisik, bersih
segar, kursi panas, poci cokelat, dan sesuatu mengenai Grandma mengisap telur.
Salah satu kesukaannya adalah seaman rumah.
Ketika
mengajariku naik sepeda, dengan ibuku yang khawatir di ambang pintu, Dad
mengatakan, “Tenang, Linda, jalanan ini seaman rumah.” Ketika meyakinkan Jamie
untuk tidur dengan lampu dimatikan, Dad mengatakan, “Di sini seaman rumah, Nak,
tak ada monster sejauh berkilo-kilometer.”
Lalu suatu
malam dunia berubah jadi mimpi buruk mengerikan, dan frasa itu menjadi lelucon
pahit bagiku dan Jamie. Rumah-rumah adalah tempat paling berbahaya yang kami
kenal.
Ketika
bersembunyi di petak pepohonan pinus pendek seraya menyaksikan mobil keluar
dari garasi sebuah rumah terpencil, lalu memutuskan apakah hendak mencuri
makanan, atau apakah terlalu berisiko, kami mengatakan, “Menurutmu
parasit-parasit itu akan pergi lama?” “Tak mungkin—tempat itu seaman rumah.
Ayo, pergi dari sini.”
Dan kini aku
duduk di sini sambil menonton TV, seperti lima tahun yang lalu, ketika Mom dan
Dad berada di ruang lain, dan kami tak pernah menghabiskan malam dengan
bersembunyi di pipa saluran air bersama Jamie dan sekelompok tikus, sementara
para perampas tubuh bersenjatakan senter
mencari pencuri yang kabur dengan sekantong kacang kering dan semangkuk spageti
dingin.
Aku tahu
bahwa, seandainya aku dan Jamie bisa bertahan selama dua puluh tahun, kami
takkan pernah menemukan perasaan ini. Perasaan aman. Bahkan lebih dari
aman—bahagia. Aman dan bahagia. Dua hal yang kupikir takkan pernah kurasakan
lagi.
Jared
membuat kami merasa seperti itu tanpa berbuat apa-apa—hanya dengan menjadi
Jared.
Kucium aroma
kulitnya dan kurasakan hangat tubuhnya di bawahku.
Jared
membuat semuanya aman, semuanya membahagiakan. Bahkan rumah sekalipun.
Ia masih membuatku
merasa aman, ujar Melanie tersadar. Ia merasakan kehangatan di tempat tangan
Jared berada, hanya satu senti dari tanganku. Walaupun seandainya ia tidak tahu
aku ada di sini.
Aku tidak
merasa aman. Mencintai Jared membuatku merasa lebih tidak aman dibandingkan
segala hal lain yang bisa kupikirkan.
Aku
bertanya-tanya, apakah aku dan Melanie akan mencintai Jared seandainya sejak
dulu lelaki ini memang seperti saat ini, dan bukan Jared yang tersenym dalam
ingatan-ingatan kami, orang yang datang kepada Melanie dengan tangan penuh
harapan dan mukjizat. Akankah Melanie mengikuti Jared, seandainya sejak dulu ia
bersikap sangat keras dan sinis? Seandainya perasaan kehilangan yang dirasakan
Jared terhadap ayahnya yang suka tertawa dan kakak-kakaknya yang urakan telah
membekukannya, seperti yang dialaminya ketika kehilangan Melanie?
Tentu saja,
ujar Mel yakin. Aku akan mencintai Jared dalam bentuk apa pun. Bahkan dalam
keadaan seperti ini. Ia milikku.
Aku ingin
tahu apakah hal yang sama berlaku untukku. Akankah aku mencintai Jared,
seandainya ia seperti ini dalam ingatan Melanie?
Lamunanku
terusik. Mendadak Jared bicara, walaupun aku tak menerima isyarat apa pun. Ia
bicara seakan kami sedang di tengah percakapan.
“Lalu,
berkat kau, Jeb dan Jamie percaya adanya kemungkinan untuk melanjutkan semacam
kesadaran setelah… tertangkap. Mereka yakin Mel masih hidup di dalam sana.”
Jared
mengetuk pelan kepalaku dengan kepalan tangannya, dan aku menjauhkan diri. Ia
bersedekap.
“Jamie
mengira Mel bicara dengannya.” Jared memutar bola mata. “Tak adil
mempermainkannya seperti itu—tapi kurasa etika semacam it jelas tidak berlaku.”
Kubelitkan
kedua tanganku pada tubuhku sendiri.
“Tapi Jeb
ada benarnya—dan itulah yang membuatk penasaran! Kau mau apa? Pencarian para
Pencari tidak terarah dengan baik, ata bahkan… mencurigakan. Tampaknya mereka
hanya mencarimu—bukan mencari kami. Jadi, mungkin mereka tak tahu kau mau apa.
Mungkin kau pekerja lepas? Semacam penyamaran Atau…”
Lebih mudah
mengabaikan Jared ketika ia sedang berspekulasi dengan begitu tololnya. Aku
memusatkan perhatian pada kedua lututku yang kotor, yang seperti biasa,
berwarna ungu dan hitam.
“Mungkin
mereka benar. Setidaknya soal membunuhmu.”
Tanpa
terduga jemari Jared mengusap ringan lenganku yang merinding mendengar kata-katanya.
Suaranya lebih lembut ketika ia kembali bicara. “Kini tak seorang pun akan
melukaimu. Selama kau tidak menimbulkan
masalah apa pun…” Ia mengangkat bahu. “AKu sedikit memahami maksud mereka.
Dengan cara yang sinting mungkin itu perbuatan keliru, seperti kata mereka.
Mungkin tak ada alas an yang bisa dibenarkan ntuk… kecuali Jamie…”
Kepalaku
langsung mendongak—mata Jared tajam, meneliti reaksiku. Aku menyesal telah
memperlihatkan ketertarikan, sehingga kembali mengamati lututku.
“Aku ngeri
melihat betapa semakin lengketnya Jamie kepadamu,” gumam Jared. “Seharusnya aku
tidak meninggalkannya. Aku tak pernah membayangkan… dan aku tak tahu apa yang
harus kulakukan sekarang. Dia mengira Mel masih hidup di dalam sana. Apa
akibatnya bagi Jamie ketika…?”
Kuperhatikan
bahwa Jared mengatakan ketika, dan bukan jika. Tak peduli janji-janji apa yang
telah dibuatnya, ia tidak menganggapkan bisa bertahan hidup cukup lama.
“Aku
terkejut kau bisa memengaruhi Jeb,” renung Jared, mengubah pokok pembicaraan.
“Dia lelaki tua yang cerdik. Dia bisa dengan mudah mengenali tipuan. Sampai
saat ini.”
Sejenak
Jared merenungkan perkataannya.
“Kau tidak terlalu suka bicara, ya?”
“Kau tidak terlalu suka bicara, ya?”
Muncul
keheningan panjang lagi.
Kata-kata
Jared mendadak berhamburan. “Bagian yang terus menggangguku adalah, bagaimana
seandainya mereka benar? Bagaimana mungkin aku tahu? Aku benci betapa logika
mereka masuk akal bagiku. Pasti ada penjelasan lain.”
Melanie
kembali berjuang untuk bicara, walaupun tak seganas sebelumnya. Kali ini tanpa
harapan untuk bisa menembus keluar. Aku tetap mengunci kedua lengan dan
bibirku.
Jared
bergerak, bergeser menjauhi dinding sehingga tubuhnya menghadapku. Kuamati
gerakan itu dari sudut mata.
“Mengapa kau
di sini?” bisiknya.
Kuintip
wajah Jared. Lembut, baik hati, nyaris seperti dalam ingatan Melanie. Aku
merasakan luruhnya pengendalian diriku; bibirku gemetar. Perlu segenap kekuatan
untuk menjaga agar lenganku tetap terkunci. Aku ingin menyentuh wajah Jared.
Akulah yang menginginkannya. Melanie tidak suka ini.
Jika kau tidak
membolehkanku bicara, setidaknya jaga tanganmu, desis Mel.
Aku
usahakan. Maaf. Aku menyesal. Keinginanku telah melukai Melanie. Kami sama-sama
terluka, tapi luka kami berbeda. Sulit untuk mengetahui siapa yang lebih
terluka saat ini.
Jared
mengamatiku penuh curiga ketika mataku kembali berkaca-kaca.
“Mengapa?”
tanyanya pelan. “Kau tahu, Jeb punya gagasan sinting bahwa ka berada di sini
demi aku dan Jamie. Bukankah itu gila?”
Mulutku
setengah terbuka; cepat-cepat aku menggigit bibir.
Jared
mencondongkan tubuh perlahan-lahan dan memegang wajahku dengan kedua tangannya.
Mataku terpejam.
“Maukah kau
mengatakannya kepadaku?”
Kepalaku
menggeleng, dengan cepat. Aku tak yakin siapa yang melakukannya. Apakah aku
yang mengatakan tidak mau, atau Melanie yang mengatakan tidak bisa?
Kedua tangan
Jared semakin erat di bawah rahangku. Aku membuka mata, wajahnya hanya beberapa
senti dari wajahku. Jantungku berdebar-debar, perutku mulas. Aku mencoba untuk
bernapas, tapi paru-paruku menolak.
Kukenali
hasrat itu di mata Jared; aku tahu bagaimana ia akan bergerak, tahu dengan
tepat rasa bibirnya. Namun ini sangat baru bagiku—pengalaman pertama lebih
mengejutkan daripada pengalaman lainnya—ketika bibir Jared menekan bibirku.
Kupikir ia
hanya bermaksud mengusapkan bibirnya ke bibirku, hanya ingin bersikap lembut,
tapi semua berubah ketika kulit kami bersentuhan. Dengan cepat bibir Jared
berubah keras dan kasar, tangannya memerangkap wajahku pada wajahnya, sementara
bibirnya menggerakkan bibirku dengan gerakan mendesak yang tak kukenal. Berbeda
sekali dengan yang ada dalam ingatanku. Jauh lebih kuat. Kepalaku melayang
kacau.
Tubuhku
memberontak. Aku tak lagi mengendalikannya—tubuhku yang mengendalikanku. Itu
bukan Melanie—kini tubuh ini lebih kuat daripada kami berdua. Napas kami
menggema keras; napasku liar dan terengah-engah, napas Jared garang, nyaris
menggeram.
Lenganku
melepaskan diri dari kendaliku. Tangan kiriku meraih wajah Jared, meraih
rambutnya, membenamkan jemariku di sana.
Tangan
kananku lebih cepat. Itu bukan tanganku.
Kepalan
Melanie menghantam rahang Jared, menyingkirkan wajahnya dari wajahku dengan
suara gedebuk pelan. Daging menimpa daging, keras dan marah.
Kekuatan
pukulan itu tak cukup untuk menyingkirkan Jared jauh-jauh, tapi ia menjauh
dariku begitu bibir kami terpisah. Ia terperangah, matanya terbelalak ngeri,
menatap ekspresiku yang ketakutan.
Aku menunduk
memandang tanganku yang masih terkepal, dan merasa sama jijiknya seperti
menemukan kalajengking tumbuh di ujung lenganku. Helaan napas muak keluar dari
tenggorokanku. Kuraih pergelangan tangan kananku dengan tangan kiri, berjuang
mati-matian agar Melanie tidak menggunakan tubuhku lagi untuk kekerasan.
Aku melirik
Jared. Ia juga sedang menatap kepalan tangan yang kutahan. Ketakutannya memudar,
digantikan keterkejutan. Saat itu ekspresinya benar-benar tak berdaya. Aku bisa
dengan mudah membaca pikiran-pikiran yang melintas di wajahnya yang tak
terkunci.
Bukan ini
yang diharapkan Jared. Tadinya ia memiliki harapan-harapan; itu jelas terlihat.
Ini ujian. Dan ia mengira dirinya siap untuk menilai ujian itu. Ujian yang
hasilnya telah ia antisipasi dengan penuh keyakinan. Tapi ia terkejut.
Apakah itu
berarti aku lulus atau gagal?
Rasa nyeri
di dadaku tidak mengejutkan. Aku sudah tahu ungkapan patah hati tidaklah
dilebih-lebihkan.
Dalam
situasi antara melawan atau lari, aku tak pernah punya pilihan. Aku selalu
memilih untuk lari. Karena Jared berada di antara diriku dan kegelapan lubang
keluar terowongan, aku berguling dan melemparkan diri ke lubang penuh kotak.
Kotak-kotaknya
tergencet, bergemeretak, dan hancur ketika bobotku mendorong semuanya ke
dinding, ke lantai. Kudesakkan jalanku ke ruang kosong yang mustahil, meliuk
menghindari kotak-kotak yang lebih berat dan menghancurkan kotak-kotak lainnya.
Kurasakan jemari Jared menggores kakiku ketika ia meraih pergelangan kakiku,
dan kutendak kotak yang isinya lebih padat ke ruang di antara kami. Jared
menggeram, dan perasaan putus asa mencekik leherku. Aku tak bermaksud
melukainya; aku tak bermaksud memukulnya. Aku hanya mencoba melarikan diri.
Aku tidak
mendengar isak tangisku sendiri, yang begitu keras sampai, sampai aku tak bisa
masuk lebih jauh lagi ke lubang sesak itu, dan kegaduhan yang kuciptakan
berhenti. Ketika aku mendengarnya sendiri, mendengar isak tangis kesedihan yang
menyayat dan mencabik-cabik itu, aku merasa
malu.
Begitu malu,
begitu terhina. Aku takut terhadap diriku sendiri, takut terhadap tindak
kekerasan yang kubiarkan mengalir lewat tubuhku, tak peduli kusadari atau
tidak. Tapi bukan itu penyebab tangisku. Aku menangis karena itu hanya ujian.
Dan karena aku mahluk emosional yang sangat, sangat, sangat tolol, aku
menginginkan itu ciuman sesungguhnya.
Melanie
menggeliat penuh kesedihan di dalam tubuhku, dan sulit bagiku untuk memahami rasa
nyeri ganda ini. Aku merasa sekarat, karena itu bukan ciuman sesungguhnya;
Melanie merasa sekarat, karena baginya ciuman itu terasa cukup nyata. Di dalam
segalanya yang hilang dari Melanie sejak akhir dunianya, dulu sekali, ia belum
pernah merasa dikhianati. Ketika ayahnya membawa para Pencari untuk memburu
anak-anaknya sendiri, Melanie tahu itu bukan ayahnya. Tak ada pengkhianatan,
yang ada hanya kesedihan. Ayahnya sudah mati. Tapi Jared masih hidup dan
menjadi dirinya sendiri.
Tolol. Tak
seorang pun mengkhianatimu, ujarku menegur Melanie. Aku ingin rasa sakit itu
lenyap darinya. Beban tambahan berupa penderitaannya tak tertahankan bagiku.
Penderitaanku sendiri sudah cukup.
Teganya
Jared? Teganya Jared? Melanie mengucapkan kata-kata itu berulang kali,
mengabaikanku.
Kami
menangis, tak terkendali.
Satu kata
memulihkan kami dari keadaan nyaris histeris.
Dari mulut
lubang, suara Jared yang rendah dan kasar—terdengar parau, dan anehnya, seperti
kanak-kanak—bertanya, “Mel?”
0 comments:
Post a Comment