Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara

Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara
Harga mulai 5rb an. Gratis ongkir DKI Jakarta

The Host - 29



Dikhianati

Mungkin seharusnya aku lari ke arah berlawanan. Tapi kini tak seorang pun menahanku. Dan walaupun suaranya dingin serta marah, Jared memanggilku. Melanie bahkan lebih bersemangat daripadaku, ketika aku berbelok hati-hati dan memasuki cahaya biru,. Aku bimbang.
Ian berdiri hanya beberapa puluh sentimeter di depanku, waspada, siap menghadapi apa pun yang mungkin dilakukan Jared kepadaku.
Jared duduk di tanah, di atas salah satu kasur yang ditinggalkan olehku dan Jamie di sana. Ia tampak sama lelahnya dengan Ian, walaupun matanya lebih  waspada dibandingkan bagian tubuhnya yang lain.
“Tenang,” ujar Jared kepada Ian. “Aku hanya ingin bicara dengan mahluk itu. Aku sudah berjanji kepada Jamie, dan aku akan memenuhi janjiku.”
“Mana Kyle?” desak Ian.
“Mendengkur. Guamu bisa roboh akibat getarannya.”
Ian tidak bergerak.
“Aku tidak berbohong, Ian. Dan aku tidak akan membunuh mahluk ini. Jeb benar. Tak peduli betapa kacaunya situasi konyol ini, Jamie punya hak yang sama denganku. Dan dia telah ditipu habis-habisan, jadi aku ragu apakah dia akan memberiku izin untuk membunuh mahluk itu dalam waktu dekat.”
“Tak seorang pun tertipu,” gerutu Ian.
Jared melambaikan tangan, mengakhiri perselisihan mengenai terminologi itu. “Takkan ada bahaya dariku. Itu maksudku.” Untuk pertama kali Jared memandangku, menilai caraku merapat ke dinding, mengamati tanganku yang gemetar. “Aku tidak akan melukaimu lagi,” ujarnya.
Aku maju sedikit
“Kau tak perlu bicara dengannya kalau tidak mau, Wanda,” ujar Ian cepat. “Ini bukan kewajiban atau tugas yang harus dipenuhi. Bukan keharusan. Kau punya pilihan.”
Sepasang alis Jared bertaut di atas matanya. Kata-kata Ian membuatnya bingung.
“Tidak.” Bisikku. “Aku akan bicara dengannya.” Aku maju selangkah lagi. Dengan tangannya Jared memberiku isyarat untuk maju.
Aku beralan perlahan-lahan, selangkah setiap kali, bukan gerakan maju yang mantap. Aku berhenti satu meter dari Jared. Ian membayangi setiap langkahku dan tetap di sisiku.
“Aku ingin bicara dengan mahluk itu sendirian, kalau kau tidak keberatan,” ujar Jared.
Ian tetap berdiri di tempatnya. “Aku keberatan.”
“Tidak, Ian, tidak apa-apa. Pergilah tidur. Aku akan baik-baik saja.” Kusikut pelan tangannya.
Ian meneliti wajahku, ekspresinya bimbang. “Ini bukan semacam keinginan terakhir? Supaya tidak menyakiti Jamie?” desaknya.
“Tidak. Jared takkan berbohong kepada Jamie soal ini.”
Jared memandang marah kepadaku ketika aku mengucapkan namanya dengan penuh percaya diri.
“Ayolah, Ian,” ujarku memohon. “Aku ingin bicara dengannya.”
Ian memandangku sejenak, lalu berbalik dan memandang marah kepada Jared. Ia mengucapkan setiap katanya seperti perintah.
“Namanya Wanda, bukan mahluk itu. Kau tidak boleh menyentuhnya. Bekas apa pun yang kautinggalkan padanya, aku akan menggandakannya pada kulit tak berhargamu.”
Aku terhenyak mendengar ancaman itu.
Ian berbalik cepat, lalu melangkah memasuki kegelapan.
Sejenak hening ketika kami memandang ruang kosong tempat Ian menghilang. Aku menatap wajah Jared lebh dulu, ia masih menatap kepergian Ian. Saat ia menoleh untuk membalas tatapanku, aku menunduk.
“Wow. Dia tidak bergurau, bukan?” ujar Jared.
Aku menganggap ini pertanyaan yang tak perlu dijawab.


“Mengapa kau tidak duduk?” Tanya Jared, menepuk kasur di sampingnya.
Sejenak aku mempertimbangkan tawarannya, lalu duduk bersandar di dinding yang sama, tapi di dekat lubang. Kubiarkan kasur menjadi jarak di antara kami. Melanie tidak menyukainya. Ia ingin berada di dekat Jared, ingin aku membaui aroma lelaki itu dan merasakan kehangatan tubuhnya di sampingku.
Aku tidak menginginkan semua itu—dan ini bukan karena aku takut Jared akan melukaiku. Ia tidak tampak marah, hanya lelah dan khawatir. Tapi aku tak ingin berada lebih dekat dengannya. Sesuatu di dalam dadaku terasa nyeri ketika ia berada begitu dekat—ketika ia membenciku dari jarak sedekat itu.
Jared mengamatiku dengan kepala dimiringkan. Aku hanya bisa membalas pandangannya sejenak, lalu berpaling.
“Maaf soal semalam—soal wajahmu. Seharusnya itu tidak kulakukan.”
Kutatap kedua tanganku yang terkepal di pangkuan
“Kau tidak perlu takut kepadaku.”
Aku mengangguk, tanpa memandang.
Ia menggerutu. “Kurasa kau tadi bilang ingin bicara denganku?”
Aku mengangkat bahu. Kebenciannya padaku membuatku gagal menemukan suaraku.
Aku mendengar Jared bergerak.  Ia beringsut pelan hingga duduk tepat di sampingku—seperti yang diharapkan Melanie. Terlalu dekat—sulit untuk berpikir dengan benar, sulit untuk bernapas dengan benar—tapi aku tak bisa menyuruh diriku beringsut menjauh. Anehnya, walaupun ini yang diinginkan Melanie sejak awal, tiba-tiba ia merasa jengkel.
Apa? Tanyaku, terkejut oleh intensitas emosi Melanie.
Aku tidak suka Jared berada di sampingmu. Rasanya keliru. Aku tidak suka caramu menginginkannya di sana. Untuk pertama kali sejak kami meninggalkan peradaban bersama-sama, kurasakan gelombang-gelombang permusuhan memancar dari Melanie. Aku terkejut. Itu hampir tak bisa disebut adil.
“Aku hanya punya satu pertanyaan,” ujar Jared, menyela pembicaraanku dengan Melanie.
Kubalas tatapannya, lalu aku berpaling—tersentak oleh tatapan dingin Jared dan kebencian Melanie.
“Mungkin kau bisa menebak pertanyaan itu. Jeb dan Jamie menghabiskan sepanjang malam untuk menguliahiku…”
Kutunggu pertanyaan Jared. Mataku menatap lurus menembus koridor yang gelap, menatap karung beras—bantalku semalam. Dari sudut mata aku melihat sebelah tangan Jared terangkat, dan aku merapat ke dinding.
“Aku tidak akan melukaimu,” kata Jared lagi, tidak sabar. Ia memegang daguku dengan tangannya yang kasar, menolehkan wajahku sehingga aku terpaksa memandangnya.
Jantungku tergeragap ketika Jared menyentuhku, dan mendadak air mataku merebak. Aku mengerjap-ngerjap, mencoba menjernihkan mata.
“Wanda,” Jared mengucapkan namaku perlahan-lahan—dengan enggan, aku tahu itu, walaupun suaranya datar dan tak bernada.
“Apakah Melanie masih hidup—masih menjadi bagian dari dirimu? Katakan yang sebenarnya.”
Melanie menyerangku dengan kekuatan luar biasa seperti banteng mengamuk. Rasanya menyakitkan secara fisik, seperti tusukan mendadak migren, di tempat ia mencoba menerobos keluar.
Hentikan! Tak bisakah kau melihatnya?
Hal itu sangat jelas terlihat dari bibir Jared ang terkatup erat, dan dari garis-garis tegang di bawah matanya. Tak peduli apa yang aku atau Melanie katakana.
Jared sudah menganggapku pembohong, ujarku kepada Melanie. Ia tidak menginginkan kebenaran—ia hanya mencari bukti, mencari semacam cara untuk membuktikan aku pembohong, bahwa aku Pencari, kepada Jeb dan Jamie, sehingga ia mendapat izin untuk membunuhku.
Melanie menolak untuk menjawab atau mempercayaiku. Aku harus berjuang agar ia tetap diam.
Jared mengamati bulir keringat di keningku dan getaran aneh yang mengguncang tulang punggungku, lalu matanya menyipit. Jared tetap memegang daguku, tak mau membiarkanku menyembunyikan wajah.
Jared, aku mencintaimu, Melanie mencoba berteriak. Aku ada di sini.
Bibirku tidak bergetar, tapi aku terkejut karena Jared tak bisa membaca kata-kata yang terlontar jelas di mataku.
Waktu berlalu dengan lambat ketika Jared menunggu jawabanku. Menyakitkan rasanya menatap ke dalam matanya, melihat tatapan jijik di sana. Seolah-olah itu  belum cukup, kemarahan Melanie terus mengiris-irisku dari dalam. Kecemburuannya membengkak menjadi banjir kesedihan yang melanda tubuhku dan mencemarinya.
Waktu berlalu, air mataku tak dapat ditahan lagi. Air mataku mengalir ke pipi dan bergulir pelan ke telapak tangan Jared. Ekspresinya tidak berubah.
Akhirnya aku tak sanggup lagi. Aku memejamkan mata dan menunduk. Jared tidak melukaiku. Ia menjatuhkan tangannya.
Ia mendesah, frustasi.
Kusangka dia bakal pergi. Kutatap lagi kedua tanganku, menunggu. Detak jantungku menandai berlalunya waktu. Jared tidak bergerak. Aku tidak bergerak. Ia seakan terpahat dari batu di sampingku. Ketenangan seperti batu ini sangat cocok untuknya. Cocok dengan ekspresi barunya yang keras, dengan batu api di matanya.
Melanie merenungkan Jared yang ini, lalu membandingkannya dengan lelaki yang dulu dikenalnya. Melanie ingat suatu hari dalam pelarian mereka, suatu hari yang biasa…
“Argh!” Jared dan Jamie mengerang bersama-sama.
Jared bersantai di sofa kulit dan Jamie tergeletak di karpet di depannya. Mereka sedang menonton pertandingan basket di TV layar lebar. Parasit-parasit yang tinggal di rumah ini sedang pergi bekerja, dan kami sudah mengisi jip dengan semua yang bisa ditampung di dalamnya. Kami punya waktu berjam-jam untuk istirahat, sebelum harus kembali menghilang.
Di TV, dua pemain sedang berselisih dengan sopan di luar garis. Juru kamera ada di dekat mereka, sehingga kami bisa mendengar apa yang mereka katakana.
“Kurasa aku orang terakhir yang menyentuhnya. Ini bolamu.”
“Aku tidak yakin soal itu. Aku tidak ingin mengambil kesempatan tidak adil. Sebaiknya kita meminta wasit melihat rekamannya.”
Kedua pemain berjabat tangan dan saling menepuk bahu lawan.
“Itu konyol,” gerutu Jared.
“Aku tidak tahan,” ujar Jamie setuju. Ia menirukan nada suara Jared dengan sempurna. Semakin hari ia semakin kedengaran seperti Jared. Itu salah satu dari banyak bentuk pemujaan Jamie terhadap Jared. “Ada acara yang lain?”
Jared mengganti beberapa saluran, sampai menemukan pertandingan atletik. Saat itu parasit-parasit sedang menggelar Olimpiade di Haiti. Dari yang bisa kami lihat, para mahluk luar angkasa itu sangat bersemangat mengikutinya. Banyak di antara mereka memasang bendera Olimpiade di luar rumah. Tapi Olimpiade ini tidak sama. Kini semua yang berpartisipasi dalam Olimpiade mendapat medali. Menyedihkan.
Tapi parasit – parasit itu tidak terlalu bisa mengacaukan pertandingan lari seratus meter. Olahraga yang dilakukan parasit secara individual jauh lebih menarik daripada jika mereka berkompetisi langsung. Performa mereka lebih baik jika berada di jalur terpisah.
“Mel, ayo bersantai,” panggil Jared.
Aku berdiri di samping pintu belakang. Ini diluar kebiasaanku, dan bukan karena aku siap lari. Bukan karena aku ketakutan. Ini hanya kebiasaan. Itu saja.
Kuhampiri Jared. Ia menarikku ke pangkuannya dan meletakkan kepalaku di bawah dagunya.
“Nyaman?” tanyanya.
“Ya,” jawabku, karena aku benar-benar, sungguh-sungguh, merasa sangat nyaman. Di sini, di rumah mahluk luar angkasa.
Dad dulu suka mengatakan banyak hal lucu—misalnya ia terkadang menciptakan bahasanya sendiri. Dua puluh tiga keminggatan, hari selada, pemarkir berisik, bersih segar, kursi panas, poci cokelat, dan sesuatu mengenai Grandma mengisap telur. Salah satu kesukaannya adalah seaman rumah.
Ketika mengajariku naik sepeda, dengan ibuku yang khawatir di ambang pintu, Dad mengatakan, “Tenang, Linda, jalanan ini seaman rumah.” Ketika meyakinkan Jamie untuk tidur dengan lampu dimatikan, Dad mengatakan, “Di sini seaman rumah, Nak, tak ada monster sejauh berkilo-kilometer.”
Lalu suatu malam dunia berubah jadi mimpi buruk mengerikan, dan frasa itu menjadi lelucon pahit bagiku dan Jamie. Rumah-rumah adalah tempat paling berbahaya yang kami kenal.
Ketika bersembunyi di petak pepohonan pinus pendek seraya menyaksikan mobil keluar dari garasi sebuah rumah terpencil, lalu memutuskan apakah hendak mencuri makanan, atau apakah terlalu berisiko, kami mengatakan, “Menurutmu parasit-parasit itu akan pergi lama?” “Tak mungkin—tempat itu seaman rumah. Ayo, pergi dari sini.”
Dan kini aku duduk di sini sambil menonton TV, seperti lima tahun yang lalu, ketika Mom dan Dad berada di ruang lain, dan kami tak pernah menghabiskan malam dengan bersembunyi di pipa saluran air bersama Jamie dan sekelompok tikus, sementara para perampas tubuh  bersenjatakan senter mencari pencuri yang kabur dengan sekantong kacang kering dan semangkuk spageti dingin.
Aku tahu bahwa, seandainya aku dan Jamie bisa bertahan selama dua puluh tahun, kami takkan pernah menemukan perasaan ini. Perasaan aman. Bahkan lebih dari aman—bahagia. Aman dan bahagia. Dua hal yang kupikir takkan pernah kurasakan lagi.
Jared membuat kami merasa seperti itu tanpa berbuat apa-apa—hanya dengan menjadi Jared.
Kucium aroma kulitnya dan kurasakan hangat tubuhnya di bawahku.
Jared membuat semuanya aman, semuanya membahagiakan. Bahkan rumah sekalipun.
Ia masih membuatku merasa aman, ujar Melanie tersadar. Ia merasakan kehangatan di tempat tangan Jared berada, hanya satu senti dari tanganku. Walaupun seandainya ia tidak tahu aku ada di sini.
Aku tidak merasa aman. Mencintai Jared membuatku merasa lebih tidak aman dibandingkan segala hal lain yang bisa kupikirkan.
Aku bertanya-tanya, apakah aku dan Melanie akan mencintai Jared seandainya sejak dulu lelaki ini memang seperti saat ini, dan bukan Jared yang tersenym dalam ingatan-ingatan kami, orang yang datang kepada Melanie dengan tangan penuh harapan dan mukjizat. Akankah Melanie mengikuti Jared, seandainya sejak dulu ia bersikap sangat keras dan sinis? Seandainya perasaan kehilangan yang dirasakan Jared terhadap ayahnya yang suka tertawa dan kakak-kakaknya yang urakan telah membekukannya, seperti yang dialaminya ketika kehilangan Melanie?
Tentu saja, ujar Mel yakin. Aku akan mencintai Jared dalam bentuk apa pun. Bahkan dalam keadaan seperti ini. Ia milikku.
Aku ingin tahu apakah hal yang sama berlaku untukku. Akankah aku mencintai Jared, seandainya ia seperti ini dalam ingatan Melanie?
Lamunanku terusik. Mendadak Jared bicara, walaupun aku tak menerima isyarat apa pun. Ia bicara seakan kami sedang di tengah percakapan.
“Lalu, berkat kau, Jeb dan Jamie percaya adanya kemungkinan untuk melanjutkan semacam kesadaran setelah… tertangkap. Mereka yakin Mel masih hidup di dalam sana.”
Jared mengetuk pelan kepalaku dengan kepalan tangannya, dan aku menjauhkan diri. Ia bersedekap.
“Jamie mengira Mel bicara dengannya.” Jared memutar bola mata. “Tak adil mempermainkannya seperti itu—tapi kurasa etika semacam it jelas tidak berlaku.”
Kubelitkan kedua tanganku pada tubuhku sendiri.
“Tapi Jeb ada benarnya—dan itulah yang membuatk penasaran! Kau mau apa? Pencarian para Pencari tidak terarah dengan baik, ata bahkan… mencurigakan. Tampaknya mereka hanya mencarimu—bukan mencari kami. Jadi, mungkin mereka tak tahu kau mau apa. Mungkin kau pekerja lepas? Semacam penyamaran Atau…”
Lebih mudah mengabaikan Jared ketika ia sedang berspekulasi dengan begitu tololnya. Aku memusatkan perhatian pada kedua lututku yang kotor, yang seperti biasa, berwarna ungu dan hitam.
“Mungkin mereka benar. Setidaknya soal membunuhmu.”
Tanpa terduga jemari Jared mengusap ringan lenganku yang merinding mendengar kata-katanya. Suaranya lebih lembut ketika ia kembali bicara. “Kini tak seorang pun akan melukaimu.  Selama kau tidak menimbulkan masalah apa pun…” Ia mengangkat bahu. “AKu sedikit memahami maksud mereka. Dengan cara yang sinting mungkin itu perbuatan keliru, seperti kata mereka. Mungkin tak ada alas an yang bisa dibenarkan ntuk… kecuali Jamie…”
Kepalaku langsung mendongak—mata Jared tajam, meneliti reaksiku. Aku menyesal telah memperlihatkan ketertarikan, sehingga kembali mengamati lututku.
“Aku ngeri melihat betapa semakin lengketnya Jamie kepadamu,” gumam Jared. “Seharusnya aku tidak meninggalkannya. Aku tak pernah membayangkan… dan aku tak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Dia mengira Mel masih hidup di dalam sana. Apa akibatnya bagi Jamie ketika…?”
Kuperhatikan bahwa Jared mengatakan ketika, dan bukan jika. Tak peduli janji-janji apa yang telah dibuatnya, ia tidak menganggapkan bisa bertahan hidup cukup lama.
“Aku terkejut kau bisa memengaruhi Jeb,” renung Jared, mengubah pokok pembicaraan. “Dia lelaki tua yang cerdik. Dia bisa dengan mudah mengenali tipuan. Sampai saat ini.”
Sejenak Jared merenungkan perkataannya.
“Kau tidak terlalu suka bicara, ya?”
Muncul keheningan panjang lagi.
Kata-kata Jared mendadak berhamburan. “Bagian yang terus menggangguku adalah, bagaimana seandainya mereka benar? Bagaimana mungkin aku tahu? Aku benci betapa logika mereka masuk akal bagiku. Pasti ada penjelasan lain.”
Melanie kembali berjuang untuk bicara, walaupun tak seganas sebelumnya. Kali ini tanpa harapan untuk bisa menembus keluar. Aku tetap mengunci kedua lengan dan bibirku.
Jared bergerak, bergeser menjauhi dinding sehingga tubuhnya menghadapku. Kuamati gerakan itu dari sudut mata.
“Mengapa kau di sini?” bisiknya.
Kuintip wajah Jared. Lembut, baik hati, nyaris seperti dalam ingatan Melanie. Aku merasakan luruhnya pengendalian diriku; bibirku gemetar. Perlu segenap kekuatan untuk menjaga agar lenganku tetap terkunci. Aku ingin menyentuh wajah Jared. Akulah yang menginginkannya. Melanie tidak suka ini.
Jika kau tidak membolehkanku bicara, setidaknya jaga tanganmu, desis Mel.
Aku usahakan. Maaf. Aku menyesal. Keinginanku telah melukai Melanie. Kami sama-sama terluka, tapi luka kami berbeda. Sulit untuk mengetahui siapa yang lebih terluka saat ini.
Jared mengamatiku penuh curiga ketika mataku kembali berkaca-kaca.
“Mengapa?” tanyanya pelan. “Kau tahu, Jeb punya gagasan sinting bahwa ka berada di sini demi aku dan Jamie. Bukankah itu gila?”
Mulutku setengah terbuka; cepat-cepat aku menggigit bibir.
Jared mencondongkan tubuh perlahan-lahan dan memegang wajahku dengan kedua tangannya. Mataku terpejam.
“Maukah kau mengatakannya kepadaku?”
Kepalaku menggeleng, dengan cepat. Aku tak yakin siapa yang melakukannya. Apakah aku yang mengatakan tidak mau, atau Melanie yang mengatakan tidak bisa?
Kedua tangan Jared semakin erat di bawah rahangku. Aku membuka mata, wajahnya hanya beberapa senti dari wajahku. Jantungku berdebar-debar, perutku mulas. Aku mencoba untuk bernapas, tapi paru-paruku menolak.
Kukenali hasrat itu di mata Jared; aku tahu bagaimana ia akan bergerak, tahu dengan tepat rasa bibirnya. Namun ini sangat baru bagiku—pengalaman pertama lebih mengejutkan daripada pengalaman lainnya—ketika bibir Jared menekan bibirku.


Kupikir ia hanya bermaksud mengusapkan bibirnya ke bibirku, hanya ingin bersikap lembut, tapi semua berubah ketika kulit kami bersentuhan. Dengan cepat bibir Jared berubah keras dan kasar, tangannya memerangkap wajahku pada wajahnya, sementara bibirnya menggerakkan bibirku dengan gerakan mendesak yang tak kukenal. Berbeda sekali dengan yang ada dalam ingatanku. Jauh lebih kuat. Kepalaku melayang kacau. 

 
Tubuhku memberontak. Aku tak lagi mengendalikannya—tubuhku yang mengendalikanku. Itu bukan Melanie—kini tubuh ini lebih kuat daripada kami berdua. Napas kami menggema keras; napasku liar dan terengah-engah, napas Jared garang, nyaris menggeram.
Lenganku melepaskan diri dari kendaliku. Tangan kiriku meraih wajah Jared, meraih rambutnya, membenamkan jemariku di sana.
Tangan kananku lebih cepat. Itu bukan tanganku.
Kepalan Melanie menghantam rahang Jared, menyingkirkan wajahnya dari wajahku dengan suara gedebuk pelan. Daging menimpa daging, keras dan marah. 


Kekuatan pukulan itu tak cukup untuk menyingkirkan Jared jauh-jauh, tapi ia menjauh dariku begitu bibir kami terpisah. Ia terperangah, matanya terbelalak ngeri, menatap ekspresiku yang ketakutan.


Aku menunduk memandang tanganku yang masih terkepal, dan merasa sama jijiknya seperti menemukan kalajengking tumbuh di ujung lenganku. Helaan napas muak keluar dari tenggorokanku. Kuraih pergelangan tangan kananku dengan tangan kiri, berjuang mati-matian agar Melanie tidak menggunakan tubuhku lagi untuk kekerasan.
Aku melirik Jared. Ia juga sedang menatap kepalan tangan yang kutahan. Ketakutannya memudar, digantikan keterkejutan. Saat itu ekspresinya benar-benar tak berdaya. Aku bisa dengan mudah membaca pikiran-pikiran yang melintas di wajahnya yang tak terkunci.
Bukan ini yang diharapkan Jared. Tadinya ia memiliki harapan-harapan; itu jelas terlihat. Ini ujian. Dan ia mengira dirinya siap untuk menilai ujian itu. Ujian yang hasilnya telah ia antisipasi dengan penuh keyakinan. Tapi ia terkejut.
Apakah itu berarti aku lulus atau gagal?
Rasa nyeri di dadaku tidak mengejutkan. Aku sudah tahu ungkapan patah hati tidaklah dilebih-lebihkan.
Dalam situasi antara melawan atau lari, aku tak pernah punya pilihan. Aku selalu memilih untuk lari. Karena Jared berada di antara diriku dan kegelapan lubang keluar terowongan, aku berguling dan melemparkan diri ke lubang penuh kotak.
Kotak-kotaknya tergencet, bergemeretak, dan hancur ketika bobotku mendorong semuanya ke dinding, ke lantai. Kudesakkan jalanku ke ruang kosong yang mustahil, meliuk menghindari kotak-kotak yang lebih berat dan menghancurkan kotak-kotak lainnya. Kurasakan jemari Jared menggores kakiku ketika ia meraih pergelangan kakiku, dan kutendak kotak yang isinya lebih padat ke ruang di antara kami. Jared menggeram, dan perasaan putus asa mencekik leherku. Aku tak bermaksud melukainya; aku tak bermaksud memukulnya. Aku hanya mencoba melarikan diri.
Aku tidak mendengar isak tangisku sendiri, yang begitu keras sampai, sampai aku tak bisa masuk lebih jauh lagi ke lubang sesak itu, dan kegaduhan yang kuciptakan berhenti. Ketika aku mendengarnya sendiri, mendengar isak tangis kesedihan yang menyayat dan mencabik-cabik itu, aku merasa  malu.
Begitu malu, begitu terhina. Aku takut terhadap diriku sendiri, takut terhadap tindak kekerasan yang kubiarkan mengalir lewat tubuhku, tak peduli kusadari atau tidak. Tapi bukan itu penyebab tangisku. Aku menangis karena itu hanya ujian. Dan karena aku mahluk emosional yang sangat, sangat, sangat tolol, aku menginginkan itu ciuman sesungguhnya.
Melanie menggeliat penuh kesedihan di dalam tubuhku, dan sulit bagiku untuk memahami rasa nyeri ganda ini. Aku merasa sekarat, karena itu bukan ciuman sesungguhnya; Melanie merasa sekarat, karena baginya ciuman itu terasa cukup nyata. Di dalam segalanya yang hilang dari Melanie sejak akhir dunianya, dulu sekali, ia belum pernah merasa dikhianati. Ketika ayahnya membawa para Pencari untuk memburu anak-anaknya sendiri, Melanie tahu itu bukan ayahnya. Tak ada pengkhianatan, yang ada hanya kesedihan. Ayahnya sudah mati. Tapi Jared masih hidup dan menjadi dirinya sendiri.
Tolol. Tak seorang pun mengkhianatimu, ujarku menegur Melanie. Aku ingin rasa sakit itu lenyap darinya. Beban tambahan berupa penderitaannya tak tertahankan bagiku. Penderitaanku sendiri sudah cukup.
Teganya Jared? Teganya Jared? Melanie mengucapkan kata-kata itu berulang kali, mengabaikanku.
Kami menangis, tak terkendali.
Satu kata memulihkan kami dari keadaan nyaris histeris.
Dari mulut lubang, suara Jared yang rendah dan kasar—terdengar parau, dan anehnya, seperti kanak-kanak—bertanya, “Mel?”

0 comments:

Post a Comment

Jual Nugget dan Sosis Sayur

Jual Nugget dan Sosis Sayur
Pemesanan via email : lwati111@gmail.com

The Host - 29



Dikhianati

Mungkin seharusnya aku lari ke arah berlawanan. Tapi kini tak seorang pun menahanku. Dan walaupun suaranya dingin serta marah, Jared memanggilku. Melanie bahkan lebih bersemangat daripadaku, ketika aku berbelok hati-hati dan memasuki cahaya biru,. Aku bimbang.
Ian berdiri hanya beberapa puluh sentimeter di depanku, waspada, siap menghadapi apa pun yang mungkin dilakukan Jared kepadaku.
Jared duduk di tanah, di atas salah satu kasur yang ditinggalkan olehku dan Jamie di sana. Ia tampak sama lelahnya dengan Ian, walaupun matanya lebih  waspada dibandingkan bagian tubuhnya yang lain.
“Tenang,” ujar Jared kepada Ian. “Aku hanya ingin bicara dengan mahluk itu. Aku sudah berjanji kepada Jamie, dan aku akan memenuhi janjiku.”
“Mana Kyle?” desak Ian.
“Mendengkur. Guamu bisa roboh akibat getarannya.”
Ian tidak bergerak.
“Aku tidak berbohong, Ian. Dan aku tidak akan membunuh mahluk ini. Jeb benar. Tak peduli betapa kacaunya situasi konyol ini, Jamie punya hak yang sama denganku. Dan dia telah ditipu habis-habisan, jadi aku ragu apakah dia akan memberiku izin untuk membunuh mahluk itu dalam waktu dekat.”
“Tak seorang pun tertipu,” gerutu Ian.
Jared melambaikan tangan, mengakhiri perselisihan mengenai terminologi itu. “Takkan ada bahaya dariku. Itu maksudku.” Untuk pertama kali Jared memandangku, menilai caraku merapat ke dinding, mengamati tanganku yang gemetar. “Aku tidak akan melukaimu lagi,” ujarnya.
Aku maju sedikit
“Kau tak perlu bicara dengannya kalau tidak mau, Wanda,” ujar Ian cepat. “Ini bukan kewajiban atau tugas yang harus dipenuhi. Bukan keharusan. Kau punya pilihan.”
Sepasang alis Jared bertaut di atas matanya. Kata-kata Ian membuatnya bingung.
“Tidak.” Bisikku. “Aku akan bicara dengannya.” Aku maju selangkah lagi. Dengan tangannya Jared memberiku isyarat untuk maju.
Aku beralan perlahan-lahan, selangkah setiap kali, bukan gerakan maju yang mantap. Aku berhenti satu meter dari Jared. Ian membayangi setiap langkahku dan tetap di sisiku.
“Aku ingin bicara dengan mahluk itu sendirian, kalau kau tidak keberatan,” ujar Jared.
Ian tetap berdiri di tempatnya. “Aku keberatan.”
“Tidak, Ian, tidak apa-apa. Pergilah tidur. Aku akan baik-baik saja.” Kusikut pelan tangannya.
Ian meneliti wajahku, ekspresinya bimbang. “Ini bukan semacam keinginan terakhir? Supaya tidak menyakiti Jamie?” desaknya.
“Tidak. Jared takkan berbohong kepada Jamie soal ini.”
Jared memandang marah kepadaku ketika aku mengucapkan namanya dengan penuh percaya diri.
“Ayolah, Ian,” ujarku memohon. “Aku ingin bicara dengannya.”
Ian memandangku sejenak, lalu berbalik dan memandang marah kepada Jared. Ia mengucapkan setiap katanya seperti perintah.
“Namanya Wanda, bukan mahluk itu. Kau tidak boleh menyentuhnya. Bekas apa pun yang kautinggalkan padanya, aku akan menggandakannya pada kulit tak berhargamu.”
Aku terhenyak mendengar ancaman itu.
Ian berbalik cepat, lalu melangkah memasuki kegelapan.
Sejenak hening ketika kami memandang ruang kosong tempat Ian menghilang. Aku menatap wajah Jared lebh dulu, ia masih menatap kepergian Ian. Saat ia menoleh untuk membalas tatapanku, aku menunduk.
“Wow. Dia tidak bergurau, bukan?” ujar Jared.
Aku menganggap ini pertanyaan yang tak perlu dijawab.


“Mengapa kau tidak duduk?” Tanya Jared, menepuk kasur di sampingnya.
Sejenak aku mempertimbangkan tawarannya, lalu duduk bersandar di dinding yang sama, tapi di dekat lubang. Kubiarkan kasur menjadi jarak di antara kami. Melanie tidak menyukainya. Ia ingin berada di dekat Jared, ingin aku membaui aroma lelaki itu dan merasakan kehangatan tubuhnya di sampingku.
Aku tidak menginginkan semua itu—dan ini bukan karena aku takut Jared akan melukaiku. Ia tidak tampak marah, hanya lelah dan khawatir. Tapi aku tak ingin berada lebih dekat dengannya. Sesuatu di dalam dadaku terasa nyeri ketika ia berada begitu dekat—ketika ia membenciku dari jarak sedekat itu.
Jared mengamatiku dengan kepala dimiringkan. Aku hanya bisa membalas pandangannya sejenak, lalu berpaling.
“Maaf soal semalam—soal wajahmu. Seharusnya itu tidak kulakukan.”
Kutatap kedua tanganku yang terkepal di pangkuan
“Kau tidak perlu takut kepadaku.”
Aku mengangguk, tanpa memandang.
Ia menggerutu. “Kurasa kau tadi bilang ingin bicara denganku?”
Aku mengangkat bahu. Kebenciannya padaku membuatku gagal menemukan suaraku.
Aku mendengar Jared bergerak.  Ia beringsut pelan hingga duduk tepat di sampingku—seperti yang diharapkan Melanie. Terlalu dekat—sulit untuk berpikir dengan benar, sulit untuk bernapas dengan benar—tapi aku tak bisa menyuruh diriku beringsut menjauh. Anehnya, walaupun ini yang diinginkan Melanie sejak awal, tiba-tiba ia merasa jengkel.
Apa? Tanyaku, terkejut oleh intensitas emosi Melanie.
Aku tidak suka Jared berada di sampingmu. Rasanya keliru. Aku tidak suka caramu menginginkannya di sana. Untuk pertama kali sejak kami meninggalkan peradaban bersama-sama, kurasakan gelombang-gelombang permusuhan memancar dari Melanie. Aku terkejut. Itu hampir tak bisa disebut adil.
“Aku hanya punya satu pertanyaan,” ujar Jared, menyela pembicaraanku dengan Melanie.
Kubalas tatapannya, lalu aku berpaling—tersentak oleh tatapan dingin Jared dan kebencian Melanie.
“Mungkin kau bisa menebak pertanyaan itu. Jeb dan Jamie menghabiskan sepanjang malam untuk menguliahiku…”
Kutunggu pertanyaan Jared. Mataku menatap lurus menembus koridor yang gelap, menatap karung beras—bantalku semalam. Dari sudut mata aku melihat sebelah tangan Jared terangkat, dan aku merapat ke dinding.
“Aku tidak akan melukaimu,” kata Jared lagi, tidak sabar. Ia memegang daguku dengan tangannya yang kasar, menolehkan wajahku sehingga aku terpaksa memandangnya.
Jantungku tergeragap ketika Jared menyentuhku, dan mendadak air mataku merebak. Aku mengerjap-ngerjap, mencoba menjernihkan mata.
“Wanda,” Jared mengucapkan namaku perlahan-lahan—dengan enggan, aku tahu itu, walaupun suaranya datar dan tak bernada.
“Apakah Melanie masih hidup—masih menjadi bagian dari dirimu? Katakan yang sebenarnya.”
Melanie menyerangku dengan kekuatan luar biasa seperti banteng mengamuk. Rasanya menyakitkan secara fisik, seperti tusukan mendadak migren, di tempat ia mencoba menerobos keluar.
Hentikan! Tak bisakah kau melihatnya?
Hal itu sangat jelas terlihat dari bibir Jared ang terkatup erat, dan dari garis-garis tegang di bawah matanya. Tak peduli apa yang aku atau Melanie katakana.
Jared sudah menganggapku pembohong, ujarku kepada Melanie. Ia tidak menginginkan kebenaran—ia hanya mencari bukti, mencari semacam cara untuk membuktikan aku pembohong, bahwa aku Pencari, kepada Jeb dan Jamie, sehingga ia mendapat izin untuk membunuhku.
Melanie menolak untuk menjawab atau mempercayaiku. Aku harus berjuang agar ia tetap diam.
Jared mengamati bulir keringat di keningku dan getaran aneh yang mengguncang tulang punggungku, lalu matanya menyipit. Jared tetap memegang daguku, tak mau membiarkanku menyembunyikan wajah.
Jared, aku mencintaimu, Melanie mencoba berteriak. Aku ada di sini.
Bibirku tidak bergetar, tapi aku terkejut karena Jared tak bisa membaca kata-kata yang terlontar jelas di mataku.
Waktu berlalu dengan lambat ketika Jared menunggu jawabanku. Menyakitkan rasanya menatap ke dalam matanya, melihat tatapan jijik di sana. Seolah-olah itu  belum cukup, kemarahan Melanie terus mengiris-irisku dari dalam. Kecemburuannya membengkak menjadi banjir kesedihan yang melanda tubuhku dan mencemarinya.
Waktu berlalu, air mataku tak dapat ditahan lagi. Air mataku mengalir ke pipi dan bergulir pelan ke telapak tangan Jared. Ekspresinya tidak berubah.
Akhirnya aku tak sanggup lagi. Aku memejamkan mata dan menunduk. Jared tidak melukaiku. Ia menjatuhkan tangannya.
Ia mendesah, frustasi.
Kusangka dia bakal pergi. Kutatap lagi kedua tanganku, menunggu. Detak jantungku menandai berlalunya waktu. Jared tidak bergerak. Aku tidak bergerak. Ia seakan terpahat dari batu di sampingku. Ketenangan seperti batu ini sangat cocok untuknya. Cocok dengan ekspresi barunya yang keras, dengan batu api di matanya.
Melanie merenungkan Jared yang ini, lalu membandingkannya dengan lelaki yang dulu dikenalnya. Melanie ingat suatu hari dalam pelarian mereka, suatu hari yang biasa…
“Argh!” Jared dan Jamie mengerang bersama-sama.
Jared bersantai di sofa kulit dan Jamie tergeletak di karpet di depannya. Mereka sedang menonton pertandingan basket di TV layar lebar. Parasit-parasit yang tinggal di rumah ini sedang pergi bekerja, dan kami sudah mengisi jip dengan semua yang bisa ditampung di dalamnya. Kami punya waktu berjam-jam untuk istirahat, sebelum harus kembali menghilang.
Di TV, dua pemain sedang berselisih dengan sopan di luar garis. Juru kamera ada di dekat mereka, sehingga kami bisa mendengar apa yang mereka katakana.
“Kurasa aku orang terakhir yang menyentuhnya. Ini bolamu.”
“Aku tidak yakin soal itu. Aku tidak ingin mengambil kesempatan tidak adil. Sebaiknya kita meminta wasit melihat rekamannya.”
Kedua pemain berjabat tangan dan saling menepuk bahu lawan.
“Itu konyol,” gerutu Jared.
“Aku tidak tahan,” ujar Jamie setuju. Ia menirukan nada suara Jared dengan sempurna. Semakin hari ia semakin kedengaran seperti Jared. Itu salah satu dari banyak bentuk pemujaan Jamie terhadap Jared. “Ada acara yang lain?”
Jared mengganti beberapa saluran, sampai menemukan pertandingan atletik. Saat itu parasit-parasit sedang menggelar Olimpiade di Haiti. Dari yang bisa kami lihat, para mahluk luar angkasa itu sangat bersemangat mengikutinya. Banyak di antara mereka memasang bendera Olimpiade di luar rumah. Tapi Olimpiade ini tidak sama. Kini semua yang berpartisipasi dalam Olimpiade mendapat medali. Menyedihkan.
Tapi parasit – parasit itu tidak terlalu bisa mengacaukan pertandingan lari seratus meter. Olahraga yang dilakukan parasit secara individual jauh lebih menarik daripada jika mereka berkompetisi langsung. Performa mereka lebih baik jika berada di jalur terpisah.
“Mel, ayo bersantai,” panggil Jared.
Aku berdiri di samping pintu belakang. Ini diluar kebiasaanku, dan bukan karena aku siap lari. Bukan karena aku ketakutan. Ini hanya kebiasaan. Itu saja.
Kuhampiri Jared. Ia menarikku ke pangkuannya dan meletakkan kepalaku di bawah dagunya.
“Nyaman?” tanyanya.
“Ya,” jawabku, karena aku benar-benar, sungguh-sungguh, merasa sangat nyaman. Di sini, di rumah mahluk luar angkasa.
Dad dulu suka mengatakan banyak hal lucu—misalnya ia terkadang menciptakan bahasanya sendiri. Dua puluh tiga keminggatan, hari selada, pemarkir berisik, bersih segar, kursi panas, poci cokelat, dan sesuatu mengenai Grandma mengisap telur. Salah satu kesukaannya adalah seaman rumah.
Ketika mengajariku naik sepeda, dengan ibuku yang khawatir di ambang pintu, Dad mengatakan, “Tenang, Linda, jalanan ini seaman rumah.” Ketika meyakinkan Jamie untuk tidur dengan lampu dimatikan, Dad mengatakan, “Di sini seaman rumah, Nak, tak ada monster sejauh berkilo-kilometer.”
Lalu suatu malam dunia berubah jadi mimpi buruk mengerikan, dan frasa itu menjadi lelucon pahit bagiku dan Jamie. Rumah-rumah adalah tempat paling berbahaya yang kami kenal.
Ketika bersembunyi di petak pepohonan pinus pendek seraya menyaksikan mobil keluar dari garasi sebuah rumah terpencil, lalu memutuskan apakah hendak mencuri makanan, atau apakah terlalu berisiko, kami mengatakan, “Menurutmu parasit-parasit itu akan pergi lama?” “Tak mungkin—tempat itu seaman rumah. Ayo, pergi dari sini.”
Dan kini aku duduk di sini sambil menonton TV, seperti lima tahun yang lalu, ketika Mom dan Dad berada di ruang lain, dan kami tak pernah menghabiskan malam dengan bersembunyi di pipa saluran air bersama Jamie dan sekelompok tikus, sementara para perampas tubuh  bersenjatakan senter mencari pencuri yang kabur dengan sekantong kacang kering dan semangkuk spageti dingin.
Aku tahu bahwa, seandainya aku dan Jamie bisa bertahan selama dua puluh tahun, kami takkan pernah menemukan perasaan ini. Perasaan aman. Bahkan lebih dari aman—bahagia. Aman dan bahagia. Dua hal yang kupikir takkan pernah kurasakan lagi.
Jared membuat kami merasa seperti itu tanpa berbuat apa-apa—hanya dengan menjadi Jared.
Kucium aroma kulitnya dan kurasakan hangat tubuhnya di bawahku.
Jared membuat semuanya aman, semuanya membahagiakan. Bahkan rumah sekalipun.
Ia masih membuatku merasa aman, ujar Melanie tersadar. Ia merasakan kehangatan di tempat tangan Jared berada, hanya satu senti dari tanganku. Walaupun seandainya ia tidak tahu aku ada di sini.
Aku tidak merasa aman. Mencintai Jared membuatku merasa lebih tidak aman dibandingkan segala hal lain yang bisa kupikirkan.
Aku bertanya-tanya, apakah aku dan Melanie akan mencintai Jared seandainya sejak dulu lelaki ini memang seperti saat ini, dan bukan Jared yang tersenym dalam ingatan-ingatan kami, orang yang datang kepada Melanie dengan tangan penuh harapan dan mukjizat. Akankah Melanie mengikuti Jared, seandainya sejak dulu ia bersikap sangat keras dan sinis? Seandainya perasaan kehilangan yang dirasakan Jared terhadap ayahnya yang suka tertawa dan kakak-kakaknya yang urakan telah membekukannya, seperti yang dialaminya ketika kehilangan Melanie?
Tentu saja, ujar Mel yakin. Aku akan mencintai Jared dalam bentuk apa pun. Bahkan dalam keadaan seperti ini. Ia milikku.
Aku ingin tahu apakah hal yang sama berlaku untukku. Akankah aku mencintai Jared, seandainya ia seperti ini dalam ingatan Melanie?
Lamunanku terusik. Mendadak Jared bicara, walaupun aku tak menerima isyarat apa pun. Ia bicara seakan kami sedang di tengah percakapan.
“Lalu, berkat kau, Jeb dan Jamie percaya adanya kemungkinan untuk melanjutkan semacam kesadaran setelah… tertangkap. Mereka yakin Mel masih hidup di dalam sana.”
Jared mengetuk pelan kepalaku dengan kepalan tangannya, dan aku menjauhkan diri. Ia bersedekap.
“Jamie mengira Mel bicara dengannya.” Jared memutar bola mata. “Tak adil mempermainkannya seperti itu—tapi kurasa etika semacam it jelas tidak berlaku.”
Kubelitkan kedua tanganku pada tubuhku sendiri.
“Tapi Jeb ada benarnya—dan itulah yang membuatk penasaran! Kau mau apa? Pencarian para Pencari tidak terarah dengan baik, ata bahkan… mencurigakan. Tampaknya mereka hanya mencarimu—bukan mencari kami. Jadi, mungkin mereka tak tahu kau mau apa. Mungkin kau pekerja lepas? Semacam penyamaran Atau…”
Lebih mudah mengabaikan Jared ketika ia sedang berspekulasi dengan begitu tololnya. Aku memusatkan perhatian pada kedua lututku yang kotor, yang seperti biasa, berwarna ungu dan hitam.
“Mungkin mereka benar. Setidaknya soal membunuhmu.”
Tanpa terduga jemari Jared mengusap ringan lenganku yang merinding mendengar kata-katanya. Suaranya lebih lembut ketika ia kembali bicara. “Kini tak seorang pun akan melukaimu.  Selama kau tidak menimbulkan masalah apa pun…” Ia mengangkat bahu. “AKu sedikit memahami maksud mereka. Dengan cara yang sinting mungkin itu perbuatan keliru, seperti kata mereka. Mungkin tak ada alas an yang bisa dibenarkan ntuk… kecuali Jamie…”
Kepalaku langsung mendongak—mata Jared tajam, meneliti reaksiku. Aku menyesal telah memperlihatkan ketertarikan, sehingga kembali mengamati lututku.
“Aku ngeri melihat betapa semakin lengketnya Jamie kepadamu,” gumam Jared. “Seharusnya aku tidak meninggalkannya. Aku tak pernah membayangkan… dan aku tak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Dia mengira Mel masih hidup di dalam sana. Apa akibatnya bagi Jamie ketika…?”
Kuperhatikan bahwa Jared mengatakan ketika, dan bukan jika. Tak peduli janji-janji apa yang telah dibuatnya, ia tidak menganggapkan bisa bertahan hidup cukup lama.
“Aku terkejut kau bisa memengaruhi Jeb,” renung Jared, mengubah pokok pembicaraan. “Dia lelaki tua yang cerdik. Dia bisa dengan mudah mengenali tipuan. Sampai saat ini.”
Sejenak Jared merenungkan perkataannya.
“Kau tidak terlalu suka bicara, ya?”
Muncul keheningan panjang lagi.
Kata-kata Jared mendadak berhamburan. “Bagian yang terus menggangguku adalah, bagaimana seandainya mereka benar? Bagaimana mungkin aku tahu? Aku benci betapa logika mereka masuk akal bagiku. Pasti ada penjelasan lain.”
Melanie kembali berjuang untuk bicara, walaupun tak seganas sebelumnya. Kali ini tanpa harapan untuk bisa menembus keluar. Aku tetap mengunci kedua lengan dan bibirku.
Jared bergerak, bergeser menjauhi dinding sehingga tubuhnya menghadapku. Kuamati gerakan itu dari sudut mata.
“Mengapa kau di sini?” bisiknya.
Kuintip wajah Jared. Lembut, baik hati, nyaris seperti dalam ingatan Melanie. Aku merasakan luruhnya pengendalian diriku; bibirku gemetar. Perlu segenap kekuatan untuk menjaga agar lenganku tetap terkunci. Aku ingin menyentuh wajah Jared. Akulah yang menginginkannya. Melanie tidak suka ini.
Jika kau tidak membolehkanku bicara, setidaknya jaga tanganmu, desis Mel.
Aku usahakan. Maaf. Aku menyesal. Keinginanku telah melukai Melanie. Kami sama-sama terluka, tapi luka kami berbeda. Sulit untuk mengetahui siapa yang lebih terluka saat ini.
Jared mengamatiku penuh curiga ketika mataku kembali berkaca-kaca.
“Mengapa?” tanyanya pelan. “Kau tahu, Jeb punya gagasan sinting bahwa ka berada di sini demi aku dan Jamie. Bukankah itu gila?”
Mulutku setengah terbuka; cepat-cepat aku menggigit bibir.
Jared mencondongkan tubuh perlahan-lahan dan memegang wajahku dengan kedua tangannya. Mataku terpejam.
“Maukah kau mengatakannya kepadaku?”
Kepalaku menggeleng, dengan cepat. Aku tak yakin siapa yang melakukannya. Apakah aku yang mengatakan tidak mau, atau Melanie yang mengatakan tidak bisa?
Kedua tangan Jared semakin erat di bawah rahangku. Aku membuka mata, wajahnya hanya beberapa senti dari wajahku. Jantungku berdebar-debar, perutku mulas. Aku mencoba untuk bernapas, tapi paru-paruku menolak.
Kukenali hasrat itu di mata Jared; aku tahu bagaimana ia akan bergerak, tahu dengan tepat rasa bibirnya. Namun ini sangat baru bagiku—pengalaman pertama lebih mengejutkan daripada pengalaman lainnya—ketika bibir Jared menekan bibirku.


Kupikir ia hanya bermaksud mengusapkan bibirnya ke bibirku, hanya ingin bersikap lembut, tapi semua berubah ketika kulit kami bersentuhan. Dengan cepat bibir Jared berubah keras dan kasar, tangannya memerangkap wajahku pada wajahnya, sementara bibirnya menggerakkan bibirku dengan gerakan mendesak yang tak kukenal. Berbeda sekali dengan yang ada dalam ingatanku. Jauh lebih kuat. Kepalaku melayang kacau. 

 
Tubuhku memberontak. Aku tak lagi mengendalikannya—tubuhku yang mengendalikanku. Itu bukan Melanie—kini tubuh ini lebih kuat daripada kami berdua. Napas kami menggema keras; napasku liar dan terengah-engah, napas Jared garang, nyaris menggeram.
Lenganku melepaskan diri dari kendaliku. Tangan kiriku meraih wajah Jared, meraih rambutnya, membenamkan jemariku di sana.
Tangan kananku lebih cepat. Itu bukan tanganku.
Kepalan Melanie menghantam rahang Jared, menyingkirkan wajahnya dari wajahku dengan suara gedebuk pelan. Daging menimpa daging, keras dan marah. 


Kekuatan pukulan itu tak cukup untuk menyingkirkan Jared jauh-jauh, tapi ia menjauh dariku begitu bibir kami terpisah. Ia terperangah, matanya terbelalak ngeri, menatap ekspresiku yang ketakutan.


Aku menunduk memandang tanganku yang masih terkepal, dan merasa sama jijiknya seperti menemukan kalajengking tumbuh di ujung lenganku. Helaan napas muak keluar dari tenggorokanku. Kuraih pergelangan tangan kananku dengan tangan kiri, berjuang mati-matian agar Melanie tidak menggunakan tubuhku lagi untuk kekerasan.
Aku melirik Jared. Ia juga sedang menatap kepalan tangan yang kutahan. Ketakutannya memudar, digantikan keterkejutan. Saat itu ekspresinya benar-benar tak berdaya. Aku bisa dengan mudah membaca pikiran-pikiran yang melintas di wajahnya yang tak terkunci.
Bukan ini yang diharapkan Jared. Tadinya ia memiliki harapan-harapan; itu jelas terlihat. Ini ujian. Dan ia mengira dirinya siap untuk menilai ujian itu. Ujian yang hasilnya telah ia antisipasi dengan penuh keyakinan. Tapi ia terkejut.
Apakah itu berarti aku lulus atau gagal?
Rasa nyeri di dadaku tidak mengejutkan. Aku sudah tahu ungkapan patah hati tidaklah dilebih-lebihkan.
Dalam situasi antara melawan atau lari, aku tak pernah punya pilihan. Aku selalu memilih untuk lari. Karena Jared berada di antara diriku dan kegelapan lubang keluar terowongan, aku berguling dan melemparkan diri ke lubang penuh kotak.
Kotak-kotaknya tergencet, bergemeretak, dan hancur ketika bobotku mendorong semuanya ke dinding, ke lantai. Kudesakkan jalanku ke ruang kosong yang mustahil, meliuk menghindari kotak-kotak yang lebih berat dan menghancurkan kotak-kotak lainnya. Kurasakan jemari Jared menggores kakiku ketika ia meraih pergelangan kakiku, dan kutendak kotak yang isinya lebih padat ke ruang di antara kami. Jared menggeram, dan perasaan putus asa mencekik leherku. Aku tak bermaksud melukainya; aku tak bermaksud memukulnya. Aku hanya mencoba melarikan diri.
Aku tidak mendengar isak tangisku sendiri, yang begitu keras sampai, sampai aku tak bisa masuk lebih jauh lagi ke lubang sesak itu, dan kegaduhan yang kuciptakan berhenti. Ketika aku mendengarnya sendiri, mendengar isak tangis kesedihan yang menyayat dan mencabik-cabik itu, aku merasa  malu.
Begitu malu, begitu terhina. Aku takut terhadap diriku sendiri, takut terhadap tindak kekerasan yang kubiarkan mengalir lewat tubuhku, tak peduli kusadari atau tidak. Tapi bukan itu penyebab tangisku. Aku menangis karena itu hanya ujian. Dan karena aku mahluk emosional yang sangat, sangat, sangat tolol, aku menginginkan itu ciuman sesungguhnya.
Melanie menggeliat penuh kesedihan di dalam tubuhku, dan sulit bagiku untuk memahami rasa nyeri ganda ini. Aku merasa sekarat, karena itu bukan ciuman sesungguhnya; Melanie merasa sekarat, karena baginya ciuman itu terasa cukup nyata. Di dalam segalanya yang hilang dari Melanie sejak akhir dunianya, dulu sekali, ia belum pernah merasa dikhianati. Ketika ayahnya membawa para Pencari untuk memburu anak-anaknya sendiri, Melanie tahu itu bukan ayahnya. Tak ada pengkhianatan, yang ada hanya kesedihan. Ayahnya sudah mati. Tapi Jared masih hidup dan menjadi dirinya sendiri.
Tolol. Tak seorang pun mengkhianatimu, ujarku menegur Melanie. Aku ingin rasa sakit itu lenyap darinya. Beban tambahan berupa penderitaannya tak tertahankan bagiku. Penderitaanku sendiri sudah cukup.
Teganya Jared? Teganya Jared? Melanie mengucapkan kata-kata itu berulang kali, mengabaikanku.
Kami menangis, tak terkendali.
Satu kata memulihkan kami dari keadaan nyaris histeris.
Dari mulut lubang, suara Jared yang rendah dan kasar—terdengar parau, dan anehnya, seperti kanak-kanak—bertanya, “Mel?”

0 comments on "The Host - 29"

Post a Comment