Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara

Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara
Harga mulai 5rb an. Gratis ongkir DKI Jakarta

The Host - Bab 1

Teringat 
  
Aku tahu semua akan dimulai dengan bagian akhir, dan bagian akhir akan tampak bagai kematian bagi mata ini. Aku sudah diingatkan.
Bukan mata ini. Mataku. Milikku. Ini adalah aku sekarang. 
Bahasa yang kugunakan aneh namun masuk akal. Terputus - putus, terkotak - kotak, buta, dan linear. Sangat timpang dibandingkan banyak bahasa yang pernah kugunakan, tapi masih bisa mengalir dan berekspresi. Terkadang indah. Ini bahasaku sekarang. Bahasa asliku.

Dengan insting paling sejati bangsaku, aku mengikatkan diri kuat - kuat ke dalam pusat pikiran tubuh itu, membelitkan diriku telak - telak ke dalam setiap napas dan refleksnya, sampai tubuh itu tak lagi jadi entitas terpisah. Itu aku.
Bukan tubuh itu, melainkan tubuhku.
Aku merasakan hilangnya pengaruh obat bius, digantikan kejernihan. Kukuatkan diri menghadapi serangan ingatan pertama, yang sesungguhnya adalah ingatan terakhir--yaitu saat - saat terakhir yang dialami tubuh ini, ingatan tentang akhir hayat. Aku sudah diingatkan mengenai apa yang akan terjadi sekarang. Semua emosi manusia ini bakal lebih kuat, lebih hidup daripada perasaan spesies manapun yang pernah kualami. Aku mencoba menyiapkan diri. 

Ingatan itu muncul. Dan, sebagaimana aku telah diingatkan, itu adalah sesuatu yang tak pernah bisa siap dihadapi. 
Ingatan itu menyayat dengan warna tajam dan suara berdenging. Kulit gadis ini dingin, rasa nyeri mencengkeram tungkai - tungkainya, membakar. Rasa di mulutnya sangat mirip besi. Lalu muncul indra baru, indra kelima yang belum pernah kumiliki, yang mengambil partikel-partikel dari udara dan mengubah mereka menjadi banyak pesan, kenikmatan, serta peringatan aneh dalam benak gadis ini--aroma - arom. Semua aroma itu mengganggu dan membingungkan bagiku, tapi tidak bagi ingatan gadis ini. Ingatan itu tak punya waktu bagi aroma - aroma baru ini. Ingatan itu hanya dipenuhi rasa takut. 
Ketakutan mengunci gadis ini dalam jepitannya, mendorong sekaligus menghalangi tungkai - tungkai kikuk tak berdaya itu. Untuk kabur, lari--hanya itu yang bisa ia lakukan.

Aku gagal.

 Ingatan yang bukan milikku ini sangat mengerikan kekuatan dan kejernihannya, hingga menerobos kendaliku dan mengaburkan pemisahan, yaitu pengetahuan bahwa ini hanya ingatan, dan bukan diriku. aku terisap ke dalam neraka yang merupakan menit terakhir hidup gadis ini. Aku adalah dia, dan kami sedang berlari.

Gelap sekali. Aku tak bisa melihat. Aku tak bisa melihat lantai. Aku tak bisa melihat tanganku terulur di hadapanku. Aku berlari tanpa melihat dan mencoba mendengar para pengejar yang keberadaannya kurasakan di belakangku. Tapi denyut itu begitu keras di belakang telingaku, mengalahkan segala hal lain. 

Dingin, Seharusya tak jadi masalah sekarang, tapi rasanya menyakitkan. Aku sangat kedinginan.

Udara di hidung gadis ini tak nyaman. Busuk. Baunya busuk. Selama sedetik ketidaknyamanan itu menarikku, membebaskanku dari ingatan ini. Tapi hanya sedetik, lalu aku kembali terseret masuk, dan mataku dipenuhi air mata kengerian. 

 Panas menyerbu urat - urat nadiku, dan kebencian yang luar biasa nyaris mencekikku. 
Aku belum pernah merasakan emosi semacam ini di dalam seluruh masa kehidupanku. Selama sedetik perasaan muak menarikku menjauhi ingatan itu. Raungan melengking menembus telinga dan berdenyut di kepalaku. Suaranya menggores jalan napasku. Tenggorokanku sedikit nyeri.

Menjerit, tubuhku menjelaskan. Kau sedang menjerit.
Aku terpaku syok, dan suara itu mendadak diam. 
Ini bukan ingatan. 
Tubuhku--gadis ini sedang berpikir! Sedang berbicara kepadaku!
Tapi ingatan itu lebih kuat, pada saat itu, sehingga mengalahkan rasa takjubku.  


"Jangan!" teriak mereka. "Ada bahaya di depan!"
Bahaya ada di belakang! aku balas berteriak dalam hati. Tapi aku melihat apa yang mereka maksud. Seberkas cahaya lemah, entah dari mana asalnya, menerangi ujung lorong. Jalan buntu yang kutakuti dan sekaligus kuharapkan itu ternyata bukan dinding rata atau pintu terkunci, melainkan lubang hitam.

Terowongan lift. Terlantar, kosong, dan terlarang, seperti bangunan ini. Dulunya tempat persembunyian, kini kuburan.
Perasaan lega membanjiriku ketika aku berlari ke depan. Ada jalan. Tak ada jalan untuk tetap hidup, tapi mungkin ada jalan untuk menang. 

Tidak, tidak, tidak! Segenap pikiran ini milikku, dan aku berjuang menarik diri dari gadis ini, tapi kami menyatu. Dan kami lari menuju tubir kematian. 

 



"Jangan!" Teriakan - teriakan itu semakin putus asa. 
Rasanya aku ingin tertawa ketika mengetahui diriku cukup cepat. aku membayangkan tangan mereka mencengkeram hanya beberapa senti di belakangku. Tapi aku secepat yang kuinginkan. Aku bahkan tidak berhenti di ujung lantai. Lubang itu menyambutku di tengah langkah. 
Kekosongan menelanku. Kakikku menggapai - gapai, sia - sia. Tanganku mencengkeram udara, mencakar - cakar, mencari sesuatu yang solid. Embusan dingin melesat melewatiku bagai tornado.

Aku mendengar suara gedebuk, sebelum merasakannya... Angin lenyap...
Lalu rasa sakit di mana - mana... Rasa sakit adalah segalanya. 
Hentikan.
Kurang tinggi, bisikku pada diri sendiri di antara rasa sakit. 
Kapan rasa sakitnya berakhir? Kapan...? 

Kegelapan menelan penderitaan itu, dan aku dipenuhi rasa syukur karena ingatan itu telah sampai pada kesimpulan terakhir ini.  Kegelapan merampas segalanya, dan aku bebas. Aku menghela napas untuk menenangkan diri, seperti kebiasaan tubuh ini. Tubuhku.
Tapi warnanya bergegas kembali, ingatan itu muncul dan menguasaiku lagi. 
Tidak! Aku panik, takut terhadap rasa dingin, rasa sakit, dan ketakutan itu sendiri. 
Tapi ini bukan ingatan yang sama. Ini ingatan dalam ingatan. Ini ingatan terakhir--bagai tarikan napas terakhir--tapi entah mengapa, lebih kuat daripada ingatan pertama.

Kegelapan  merampas segalanya kecuali ini: sebentuk wajah.
Wajah ini asing bagiku, seperti halnya sulur - sulur ular tak berwajah yang merupakan tubuh inang terakhirku akan terasa asing bagi tubuh baru ini. aku pernah melihat wajah seperti itu dalam gambar - gambar yang diberikan kepadaku sebagai persiapan untuk memasuki dunia ini. Sulit membedakan wajah - wajah itu, untuk melihat sedikit variasi dalam warna dan bentuk yang merupakan satu - satunya perbedaan mereka. Mereka memiliki begitu banyak kesamaan. Hidung dipusatkan di tengah, mata di atas dan mulut di bawah, telinga di samping. Sekumpulan indra, kecuali indra peraba, dipusatkan di satu tempat. Kulit menutupi tulang - tulang, rambut tumbuh di puncak kepala dan membentuk garis - garis berbulu aneh di atas mata. Beberapa punya lebih banyak bulu di bawah rahang, dan mereka selalu berjenis kelamin laki - laki. Warna kulit berkisar antara cokelat, krem pucat, sampai gelap, nyaris hitam. Selain itu, bagaimana cara membedakan wajah yang satu dengan lainnya?

Wajah ini pasti kukenali di antara jutaan wajah lainnya. 
Wajah ini berbentuk persegi tegas, bentuk tulang - tulangnya kuat di balik kulit. Warna kulitnya cokelat muda keemasan. Warna rambutnya hanya sedikit lebih gelap daripada warna kulitnya, tapi ada helai - helai rambut kuning muda yang mencerahkannya. Rambut itu hanya menutupi kepala serta membentuk garis - garis berbulu aneh di ats mata. Iris yang melingkar di dalam bola mata putihnya lebih gelap daripada warna rambutnya, tapi--seperti rambutnya--berbintik - bintik terang. Ada gurat-gurat kecil di sekeliling mata, dan ingatan gadis ini memberitahuku gurat-gurat itu terbentuk akibat tersenyum dan menyipitkan mata di terik matahari. 

Aku sama sekali tak tahu apa yang disebut tampan di antara orang - orang asing ini, namun aku tahu wajah ini tampan. Aku ingin terus memandanginya. Ketika ini kusadari, wajah itu langsung menghilang.
Milikku, ujar pikiran mahluk asing yang seharusnya tidak lagi eksis itu.
Sekali lagi aku terpaku, terpana. Seharusnya tak ada siapa-siapa di sini, kecuali diriku. Namun pikiran ini begitu kuat dan penuh kesadaran!
Mustahil. Bagaimana mungkin gadis ini masih di sini? Ini aku sekarang.

Milikku, bentakku kepadanya. Kekuatan dan otoritas yang hanya milikku mengalir melalui kata itu. Semua milikku
Lalu mengapa aku meladeni perkataannya? aku bertanya-tanya saat suara-suara mengusik pikiranku.

---

0 comments:

Post a Comment

Jual Nugget dan Sosis Sayur

Jual Nugget dan Sosis Sayur
Pemesanan via email : lwati111@gmail.com

The Host - Bab 1

Teringat 
  
Aku tahu semua akan dimulai dengan bagian akhir, dan bagian akhir akan tampak bagai kematian bagi mata ini. Aku sudah diingatkan.
Bukan mata ini. Mataku. Milikku. Ini adalah aku sekarang. 
Bahasa yang kugunakan aneh namun masuk akal. Terputus - putus, terkotak - kotak, buta, dan linear. Sangat timpang dibandingkan banyak bahasa yang pernah kugunakan, tapi masih bisa mengalir dan berekspresi. Terkadang indah. Ini bahasaku sekarang. Bahasa asliku.

Dengan insting paling sejati bangsaku, aku mengikatkan diri kuat - kuat ke dalam pusat pikiran tubuh itu, membelitkan diriku telak - telak ke dalam setiap napas dan refleksnya, sampai tubuh itu tak lagi jadi entitas terpisah. Itu aku.
Bukan tubuh itu, melainkan tubuhku.
Aku merasakan hilangnya pengaruh obat bius, digantikan kejernihan. Kukuatkan diri menghadapi serangan ingatan pertama, yang sesungguhnya adalah ingatan terakhir--yaitu saat - saat terakhir yang dialami tubuh ini, ingatan tentang akhir hayat. Aku sudah diingatkan mengenai apa yang akan terjadi sekarang. Semua emosi manusia ini bakal lebih kuat, lebih hidup daripada perasaan spesies manapun yang pernah kualami. Aku mencoba menyiapkan diri. 

Ingatan itu muncul. Dan, sebagaimana aku telah diingatkan, itu adalah sesuatu yang tak pernah bisa siap dihadapi. 
Ingatan itu menyayat dengan warna tajam dan suara berdenging. Kulit gadis ini dingin, rasa nyeri mencengkeram tungkai - tungkainya, membakar. Rasa di mulutnya sangat mirip besi. Lalu muncul indra baru, indra kelima yang belum pernah kumiliki, yang mengambil partikel-partikel dari udara dan mengubah mereka menjadi banyak pesan, kenikmatan, serta peringatan aneh dalam benak gadis ini--aroma - arom. Semua aroma itu mengganggu dan membingungkan bagiku, tapi tidak bagi ingatan gadis ini. Ingatan itu tak punya waktu bagi aroma - aroma baru ini. Ingatan itu hanya dipenuhi rasa takut. 
Ketakutan mengunci gadis ini dalam jepitannya, mendorong sekaligus menghalangi tungkai - tungkai kikuk tak berdaya itu. Untuk kabur, lari--hanya itu yang bisa ia lakukan.

Aku gagal.

 Ingatan yang bukan milikku ini sangat mengerikan kekuatan dan kejernihannya, hingga menerobos kendaliku dan mengaburkan pemisahan, yaitu pengetahuan bahwa ini hanya ingatan, dan bukan diriku. aku terisap ke dalam neraka yang merupakan menit terakhir hidup gadis ini. Aku adalah dia, dan kami sedang berlari.

Gelap sekali. Aku tak bisa melihat. Aku tak bisa melihat lantai. Aku tak bisa melihat tanganku terulur di hadapanku. Aku berlari tanpa melihat dan mencoba mendengar para pengejar yang keberadaannya kurasakan di belakangku. Tapi denyut itu begitu keras di belakang telingaku, mengalahkan segala hal lain. 

Dingin, Seharusya tak jadi masalah sekarang, tapi rasanya menyakitkan. Aku sangat kedinginan.

Udara di hidung gadis ini tak nyaman. Busuk. Baunya busuk. Selama sedetik ketidaknyamanan itu menarikku, membebaskanku dari ingatan ini. Tapi hanya sedetik, lalu aku kembali terseret masuk, dan mataku dipenuhi air mata kengerian. 

 Panas menyerbu urat - urat nadiku, dan kebencian yang luar biasa nyaris mencekikku. 
Aku belum pernah merasakan emosi semacam ini di dalam seluruh masa kehidupanku. Selama sedetik perasaan muak menarikku menjauhi ingatan itu. Raungan melengking menembus telinga dan berdenyut di kepalaku. Suaranya menggores jalan napasku. Tenggorokanku sedikit nyeri.

Menjerit, tubuhku menjelaskan. Kau sedang menjerit.
Aku terpaku syok, dan suara itu mendadak diam. 
Ini bukan ingatan. 
Tubuhku--gadis ini sedang berpikir! Sedang berbicara kepadaku!
Tapi ingatan itu lebih kuat, pada saat itu, sehingga mengalahkan rasa takjubku.  


"Jangan!" teriak mereka. "Ada bahaya di depan!"
Bahaya ada di belakang! aku balas berteriak dalam hati. Tapi aku melihat apa yang mereka maksud. Seberkas cahaya lemah, entah dari mana asalnya, menerangi ujung lorong. Jalan buntu yang kutakuti dan sekaligus kuharapkan itu ternyata bukan dinding rata atau pintu terkunci, melainkan lubang hitam.

Terowongan lift. Terlantar, kosong, dan terlarang, seperti bangunan ini. Dulunya tempat persembunyian, kini kuburan.
Perasaan lega membanjiriku ketika aku berlari ke depan. Ada jalan. Tak ada jalan untuk tetap hidup, tapi mungkin ada jalan untuk menang. 

Tidak, tidak, tidak! Segenap pikiran ini milikku, dan aku berjuang menarik diri dari gadis ini, tapi kami menyatu. Dan kami lari menuju tubir kematian. 

 



"Jangan!" Teriakan - teriakan itu semakin putus asa. 
Rasanya aku ingin tertawa ketika mengetahui diriku cukup cepat. aku membayangkan tangan mereka mencengkeram hanya beberapa senti di belakangku. Tapi aku secepat yang kuinginkan. Aku bahkan tidak berhenti di ujung lantai. Lubang itu menyambutku di tengah langkah. 
Kekosongan menelanku. Kakikku menggapai - gapai, sia - sia. Tanganku mencengkeram udara, mencakar - cakar, mencari sesuatu yang solid. Embusan dingin melesat melewatiku bagai tornado.

Aku mendengar suara gedebuk, sebelum merasakannya... Angin lenyap...
Lalu rasa sakit di mana - mana... Rasa sakit adalah segalanya. 
Hentikan.
Kurang tinggi, bisikku pada diri sendiri di antara rasa sakit. 
Kapan rasa sakitnya berakhir? Kapan...? 

Kegelapan menelan penderitaan itu, dan aku dipenuhi rasa syukur karena ingatan itu telah sampai pada kesimpulan terakhir ini.  Kegelapan merampas segalanya, dan aku bebas. Aku menghela napas untuk menenangkan diri, seperti kebiasaan tubuh ini. Tubuhku.
Tapi warnanya bergegas kembali, ingatan itu muncul dan menguasaiku lagi. 
Tidak! Aku panik, takut terhadap rasa dingin, rasa sakit, dan ketakutan itu sendiri. 
Tapi ini bukan ingatan yang sama. Ini ingatan dalam ingatan. Ini ingatan terakhir--bagai tarikan napas terakhir--tapi entah mengapa, lebih kuat daripada ingatan pertama.

Kegelapan  merampas segalanya kecuali ini: sebentuk wajah.
Wajah ini asing bagiku, seperti halnya sulur - sulur ular tak berwajah yang merupakan tubuh inang terakhirku akan terasa asing bagi tubuh baru ini. aku pernah melihat wajah seperti itu dalam gambar - gambar yang diberikan kepadaku sebagai persiapan untuk memasuki dunia ini. Sulit membedakan wajah - wajah itu, untuk melihat sedikit variasi dalam warna dan bentuk yang merupakan satu - satunya perbedaan mereka. Mereka memiliki begitu banyak kesamaan. Hidung dipusatkan di tengah, mata di atas dan mulut di bawah, telinga di samping. Sekumpulan indra, kecuali indra peraba, dipusatkan di satu tempat. Kulit menutupi tulang - tulang, rambut tumbuh di puncak kepala dan membentuk garis - garis berbulu aneh di atas mata. Beberapa punya lebih banyak bulu di bawah rahang, dan mereka selalu berjenis kelamin laki - laki. Warna kulit berkisar antara cokelat, krem pucat, sampai gelap, nyaris hitam. Selain itu, bagaimana cara membedakan wajah yang satu dengan lainnya?

Wajah ini pasti kukenali di antara jutaan wajah lainnya. 
Wajah ini berbentuk persegi tegas, bentuk tulang - tulangnya kuat di balik kulit. Warna kulitnya cokelat muda keemasan. Warna rambutnya hanya sedikit lebih gelap daripada warna kulitnya, tapi ada helai - helai rambut kuning muda yang mencerahkannya. Rambut itu hanya menutupi kepala serta membentuk garis - garis berbulu aneh di ats mata. Iris yang melingkar di dalam bola mata putihnya lebih gelap daripada warna rambutnya, tapi--seperti rambutnya--berbintik - bintik terang. Ada gurat-gurat kecil di sekeliling mata, dan ingatan gadis ini memberitahuku gurat-gurat itu terbentuk akibat tersenyum dan menyipitkan mata di terik matahari. 

Aku sama sekali tak tahu apa yang disebut tampan di antara orang - orang asing ini, namun aku tahu wajah ini tampan. Aku ingin terus memandanginya. Ketika ini kusadari, wajah itu langsung menghilang.
Milikku, ujar pikiran mahluk asing yang seharusnya tidak lagi eksis itu.
Sekali lagi aku terpaku, terpana. Seharusnya tak ada siapa-siapa di sini, kecuali diriku. Namun pikiran ini begitu kuat dan penuh kesadaran!
Mustahil. Bagaimana mungkin gadis ini masih di sini? Ini aku sekarang.

Milikku, bentakku kepadanya. Kekuatan dan otoritas yang hanya milikku mengalir melalui kata itu. Semua milikku
Lalu mengapa aku meladeni perkataannya? aku bertanya-tanya saat suara-suara mengusik pikiranku.

---

0 comments on "The Host - Bab 1"

Post a Comment