Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara

Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara
Harga mulai 5rb an. Gratis ongkir DKI Jakarta

The Host - Bab 15

Dijaga

Ketika aku tersadar, tak ada disorientasi. Pendeknya aku tahu di mana aku berada, dan kujaga agar mataku tetap tertutup dan napasku teratur. Aku mencoba mempelajari situasiku yang sebenarnya sebanyak mungkin, tanpa mengungkapkan kenyataan aku sudah kembali sadar. Aku lapar. Perutku mengejang, menegang, dan menciptakan suara-suara marah. Aku ragu apakah suara-suara ini akan mengkhianatiku--kurasa perutku telah bergejolak dan mengeluh ketika aku masih tak sadar. Kepalaku sakit bukan kepalang. Mustahil untuk tahu berapa banyak rasa sakit itu yang berasal dari kelelahan, dan berapa banyak yang berasal dari pukulan-pukulan yang kuterima. Aku berbaring di atas permukaan keras. Kasar dan... berlubang-lubang. Tidak datar, tapi melengkung aneh, seakan-akan aku berbaring di mangkuk dangkal. Tidak nyaman. Punggung dan pinggulku berdenyut-denyut akibat meringkuk dalam posisi ini. Mungkin rasa sakit itulah yang membangunkanku; aku merasa sangat tidak nyaman. Gelap--tanpa membuka mata pun aku tahu. Bukan gelap gulita, melainkan sangat gelap. Udara bahkan lebih apak daripada sebelumnya--lembap dan berkarat, disertai bau menyengat aneh yang seakan melekat di padang gurun, tapi kelembapan aneh ini membuat udara hampir sama tak nyamannya. Aku kembali berkeringat, air yang diberikan Jeb menemukan jalan keluarnya melalui pori-poriku. Aku bisa mendengar napasku menggema dari jarak beberapa puluh sentimeter. Mungkin saja aku berada di dekat salah satu dinding, tapi kurasa aku berada di dalam ruangan yang sangat kecil. Aku mencoba mendengarkan sebisa mungkin, dan kedengarannya seakan napasku juga menggema kembali dari dinding seberang. Karena kemungkinan aku masih berada di tempat Jeb membawaku, di suatu tempat di dalam susunan gua, aku cukup yakin apa yang akan kulihat ketika membuka mata. Agaknya aku berada di dalam lubang kecil pada dinding gua, di dalam ruang cokelat keunguan gelap yang penuh lubang seperti keju.

Keadaan hening, kecuali suara-suara yang dikeluarkan tubuhku. Karena takut membuka mata, aku mengandalkan telinga, yang kutegakkan semakin kuat melawan keheningan. Aku tak bisa mendengar keberadaan orang lain, dan ini tak masuk akal. Mereka tidak akan meninggalkanku tanpa penjaga, bukan? Uncle Jeb dan senapan yang selalu dibawanya, atau seseorang yang kurang simpatik. Meninggalkanku sendirian... itu bertentangan dengan kebrutalan mereka, ketakutan alami mereka, dan kebencian mereka terhadap siapa diriku. Kecuali... Aku mencoba menelan ludah, tapi rasa takut menutup tenggorokanku. Mereka takkan meninggalkanku sendirian. Tidak mungkin, kecuali mereka mengira aku sudah mati, atau memastikan aku bakal mati. Tidak mungkin, kecuali di dalam gua ini ada tempat-tempat yang bisa membuat orang tak kembali. Gambaran yang kubentuk mengenai keadaan di sekellilingku berubah secara memusingkan di dalam kepala. Kini kulihat diriku berada di dasar terowongan yang dalam atau terperangkap di kuburan sempit. Napasku semakin memburu, mencari apaknya udara, mencari semacam tanda bahwa oksigenku nyaris habis. Semua otot di sekeliling paru-paruku seakan tertarik keluar, mengisap udara untuk menyiapkan jeritan yang nyaris terlontar. Kukertakkan gigi agar jeritan itu tak lolos dari mulutku. Jelas dan dekat, kudengar sesuatu mencakar di atas tanah di samping kepalaku. Aku menjerit, dan suaranya menembus ruangan kecil itu. Mataku terbuka. Kusentakkan tubuh menjauhi suara mengerikan itu, kulemparkan diriku ke dinding batu yang kasar. Sepasang tanganku terayun ke atas untuk melindungi wajah, kepalaku membentur langit-langit rendah dengan menyakitkan. Cahaya suram menerangi lubang bulat sempurna, jalan keluar dari rongga gua mungil tempatku meringkuk.

Separuh wajah Jared diterangi cahaya saat ia membungkuk ke dalam lubang, sebelah lengannya terulur kepadaku. Bibirnya terkatup penuh amarah. Pembuluh darah di keningnya berdenyut-denyut ketika mengamati reaksi panikku. Jared tidak bergerak; hanya menatap marah ketika jantungku kembali berdenyut dan napasku teratur. Kubalas pelototannya, mengingat-ingat betapa ia selalu bisa bersikap sangat diam, seperti hantu, jika menginginkannya. Tak heran aku tidak mendengarnya duduk menjaga di luar selku. Tapi aku memang mendengar sesuatu. Ketika aku sedang mengingat-ingat, Jared menyodorkan lengannya semakin dekat, dan suara berderit itu kembali terdengar. Aku menunduk. Di kakiku ada lembaran plastik patah yang berfungsi sebagai nampan. Dan di atasnya... Aku menerjang botol air terbuka itu. Aku nyaris tak menyadari mulut Jared yang terkatup erat, jijik ketika aku menyentakkan botol ke bibirku. Aku yakin ekspresi itu akan menggangguku nantinya, tapi sekarang ini hanya air yang kupedulikan. Aku bertanya - tanya, apakah di dalam hidupku kelak aku akan kembali menyepelekan keberadaan cairan itu. Mengingat hidupku takkan diperpanjang di sini, jawabannya mungkin tidak. Jared menghilang, keluar lagi dari lubang masuk melingkar itu. Aku hanya bisa melihat sebagian lengan bajunya. Cahaya suram datang dari suatu tempat di sampingnya. Warnanya kebiruan tidak alami. Aku sudah menenggak setengah isi botol ketika mencium aroma baru yang menarik perhatianku, memberitahuku bahwa air bukan satu-satunya hadiah. Aku menunduk melihat nampan itu lagi. Makanan. Mereka memberiku makan?

the host bab 15
Yang tadi kucium aromanya adalah roti berbentuk bulat tak beraturan dan berwarna gelap. Tapi juga ada semangkuk cairan bening beraroma tajam bawang. Ketika aku membungkuk semakin dekat, bisa kulihat potongan-potongan benda berwarna lebih gelap di dasarnya. Selain itu ada tiga benda berbentuk batang putih gemuk. Kurasa itu sayuran, tapi aku tidak mengenali jenisnya. Hanya perlu beberapa detik untuk menemukan semua ini, tapi dalam waktu sesingkat itu pun perutku nyaris melompat keluar dari mulut karena mencoba menjangkau makanan itu.

the host bab 15
Kugigit rotinya. Sangat padat, penuh biji gandum utuh yang menyelip di gigi. Teksturnya berbiji-biji, tapi rasanya sangat kaya. Tak bisa kuingat makanan apa pun yang rasanya lebih lezat, bahkan juga Twinkies hancurku. Rahangku bekerja secepat kilat, tapi kutelan sebagian roti keras itu walaupun baru setengah terkunyah. Aku bisa mendengar setiap suapannya menerpa perutku dengan bunyi bergelegak. Rasanya tidak seenak yang kubayangkan. Karena terlalu lama kosong, perutku bereaksi tidak nyaman terhadap makanan itu. Kuabaikan ketidaknyamanan itu, dan aku berpindah ke cairan tadi. Itu sup. Ini lebih mudah ditelan. Selain bawang yang kucium baunya, supaya ringan. Potongan-potongan hijaunya empuk dan berongga. Kutenggak sup itu langsung dari mangkuk, berharap mangkuknya lebih cekung. Kumiringkan mangkuknya untuk memastikan tak setetes pun tertinggal. Sayuran putihnya bertekstur renyah, rasanya seperti kayu. Semacam akar. Sayuran itu tidak seenak supnya, dan tidak selezat rotinya, tapi aku bersyukur atas jumlahnya. Aku tidak kenyang --sama sekali tidak-- dan mungkin akan mulai melanjutkan dengan melahap nampan itu, seandainya aku mampu mengunyahnya.

Setelah aku selesai makan, barulah terpikir olehku mereka seharusnya tidak memberiku makan. Tidak mungkin, kecuali Jared kalah dalam konfrontasinya dengan dokter. Tapi jika itu kasusnya, mengapa Jared yang menjadi penjagaku? Ketika sudah kosong, kudorong nampan itu menjauhiku, dan aku menciut mendengar suara yang keluar. Ketika Jared mengulurkan tangan untuk mengambil nampan, kutekankan tubuhku pada dinding belakang rongga gua. Kali ini ia tidak memandangku. "Terima kasih," bisikku, ketika ia kembali menghilang. Jared diam saja; ekspresinya tidak berubah. Kali ini bahkan sebagian lengan bajunya tidak tampak. Tapi aku yakin ia ada di sana.

Aku tak percaya Jared memukulku, renung Melanie; pikirannya lebih menunjukkan ketidakpercayaan daripada kemarahan. Rasa terkejutnya belum hilang. Sejak awal aku tidak merasa terkejut. Tentu saja Jared akan memukulku. Aku ingin tahu di mana kau tadi, ujarku. Tidak sopan melibatkanku dalam kekacauan ini, lalu meninggalkanku begitu saja. Melanie mengabaikan nada masam suaraku. Aku tak mengira Jared bisa melakukannya, tak peduli apa pun yang terjadi. Kurasa aku tidak akan bisa memukulnya. Kau pasti bisa. Seandainya Jared datang kepadamu dengan mata reflektif, kau akan melakukan hal yang sama. Kau memang suka kekerasan. Aku ingat Melanie pernah berkhayal mencekik Pencari. Sepertinya itu sudah berbulan-bulan yang lalu, walaupun aku tahu baru lewat beberapa hari. Akan terasa masuk akal seandainya sudah lebih lama. Seharusnya perlu waktu lebih lama untuk melibatkan diri dalam situasi sulit dan membahayakan seperti yang kini kualami. Melanie mencoba memikirkannya secara adil. Kurasa tidak. Tidak Jared... dan Jamie. Tak mungkin aku bisa melukai Jamie, bahkan seandainya ia... Ia berhenti, membenci jalan pikiran semacam itu. Kurenungkan perkataan Melanie dan merasakan kebenarannya. Bahkan seandainya anak itu telah berubah menjadi sesuatu atau orang lain, baik aku maupun Melanie takkan pernah bisa memukulnya. Itu lain. Kau mirip... ibu. Di sini ibu selalu bersikap tidak rasional. Terlalu banyak emosi yang terlibat. Menjadi ibu memang selalu melibatkan emosi--bahkan untuk jiwa sepertimu. Aku tidak menjawab. Menurutmu, apa yang akan terjadi sekarang? Kau yang ahli soal manusia, ujarku mengingatkan. Mungkin bukan hal baik jika mereka memberiku makanan. Aku hanya bisa memikirkan satu alasan mengapa mereka ingin kekuatanku pulih. Beberapa detail yang kuingat mengenai sejarah kebrutalan manusia berbaur di kepalaku dengan berita-berita di koran tua yang kami baca. Api--itu buruk. Semua sidik jari tangan kanan Melanie pernah terbakar dalam kecelakaan tolol. Ia meraih panci tanpa menyadari betapa panasnya benda itu. Aku ingat bagaimana rasa sakit itu mengejutkannya--secara tak terduga sangat menyengat dan menyita perhatian. Tapi itu hanya kecelakaan. Segera diobati dengan es, salep, obat. Tak seorang pun melakukannya dengan sengaja, melanjutkan rasa sakit pertama yang memualkan itu, lalu menahannya lebih lama dan lebih lama lagi ... Aku tak pernah tinggal di planet tempat kekejaman - kekejaman semacam itu bisa terjadi, bahkan sebelum kedatangan para jiwa. Tempat ini benar - benar yang paling tinggi dan sekaligus paling rendah dari semua dunia--indra terindah, emosi terhalus... keinginan terjahat, perbuatan terkelam. Mungkin memang sudah seharusnya begitu. Mungkin sesuatu yang tinggi tak bisa dicapai tanpa adanya sesuatu yang rendah. Apakah jiwa merupakan perkecualian dari peraturan itu? Bisakah mereka memperoleh terang tanpa disertai kegelapan dunia ini?

Aku... merasakan sesuatu ketika Jared memukulmu, sela Melanie. Kata-kata itu muncul perlahan - lahan, satu demi satu, seakan-akan ia tak ingin memikirkannya. Aku juga merasakan sesuatu. Menakjubkan betapa alaminya aku menggunakan kata-kata sindiran sekarang, setelah menghabiskan begitu banyak waktu bersama Melanie. Pukulannya lumayan, kan? Bukan itu maksudku. Maksudku... Lama Melanie bimbang, lalu sisa kata-katanya berhamburan keluar. Kupikir semuanya berasal dariku--bagaimana perasaan kita terhadapnya. Kupikir aku... mengendalikan perasaan itu. Pikiran di balik kata-kata Melanie lebih jelas daripada kata-kata itu sendiri. Kau mengira bisa membawaku kemari karena kau begitu menginginkannya. Dan kau mengira kau mengendalikanku, bukan sebaliknya. Aku mencoba menahan kejengkelanku. kau mengira sedang memanipulasiku. Ya. Kekesalan dalam nada suara Melanie bukan karena kemarahanku, tapi karena ia tak suka melakukan kekeliruan. Tapi... Aku menunggu. Kata-kata itu berhamburan sekali lagi. Kau juga mencintai Jared, secara terpisah dariku. Rasanya berbeda dari perasaanku. Lain. Aku tidak menyadarinya, sampai Jared berada di sana bersama kita, sampai kau melihatnya untuk pertama kali. Kok bisa? Bagaimana mungkin cacing sepanjang tujuh setengah senti bisa jatuh cinta kepada manusia?

 Cacing?

Maaf. Kurasa kau punya semacam... tungkai-tungkai. Sebenarnya tidak. Tungkai - tungkai itu lebih menyerupai antena. Dan aku sedikit lebih panjang daripada tujuh setengah senti ketika antena - antena itu menjulur. Maksudku, Jared bukan spesiesmu. Tubuhku adalah manusia, kataku menjelaskan. Ketika aku melekat pada tubuh itu, aku juga manusia. Dan dari caramu memandang Jared dalam ingatan-ingatanmu... Well, itu semua salahmu. Melanie merenungkannya sejenak. Ia tidak terlalu menyukai perkataanku. Jadi, seandainya kau pergi ke Tucson dan mendapat tubuh baru, kau tidak akan mencintai Jared lagi? Aku sungguh-sungguh berharap itu benar. Tak satupun dari kami merasa senang dengan jawabanku.

Kusandarkan kepalaku ke lutut. Melanie mengubah pokok pembicaraan. Seandainya Jamie aman. Aku tahu Jared akan menjaganya. Kalau terpaksa meninggalkan Jamie, aku tak bisa meninggalkannya di tangan yang lebih baik daripada tangan Jared.... Kuharap aku bisa berjumpa dengan Jamie. Aku tidak akan meminta hal itu! Aku ciut membayangkan respons atas permintaan itu. Pada saat itu aku sendiri juga merindukan wajah anak laki - laki itu. Aku ingin memastikan Jamie benar-benar berada di sini, benar-benar aman; dan mereka memberinya makan dan merawatnya, seperti yang takkan pernah bisa dilakukan lagi oleh Melanie. Seperti aku, ibu tanpa anak, ingin merawatnya. Adakah seseorang yang menyanyi untuknya di malam hari? Mendongenginya? Apakah Jared yang baru dan pemarah ini memikirkan hal - hal kecil seperti itu? Apakah Jamie punya seseorang tempat dia bisa bergelung ketika merasa ketakutan? Apakah menurutmu mereka akan memberitahu Jamie bahwa aku di sini? tanya Melanie. Apakah tindakan itu akan membantu atau melukai Jamie? aku balas bertanya. Jawaban Melanie berupa bisikan. Aku tak tahu... Kuharap aku bisa memberitahunya bahwa aku menepati janjiku. Kau memang sudah menepati janjimu. Aku menggeleng, takjub. Tak seorang pun bisa mengatakan kau tidak kembali. Kau selalu kembali. Terima kasih. Suara Melanie samar. Aku tak tahu apakah ia bermaksud berterima kasih atas kata-kataku ini, atau apakah maksudnya berterima kasih karena aku telah membawanya kemari.

Tiba-tiba aku merasa lelah, dan bisa kurasakan Melanie juga lelah. Kini, setelah perutku agak tenang dan hampir setengah penuh, rasa sakit itu tidak terlalu tajam untuk membuatku terus terjaga. Aku bimbang sebelum bergerak, khawatir menciptakan suara, tapi tubuhku ingin meregang dan menggeliat. Aku melakukannya sediam mungkin, mencoba menemukan bagian rongga yang cukup panjang untukku. Akhirnya aku harus menjulurkan kedua kaki sampai nyaris keluar dari lubang bulat itu. Aku tidak suka melakukannya. Aku khawatir Jared mendengar gerakan di dekatnya dan mengira aku mencoba melarikan diri. Tapi ia sama sekali tak bereaksi. Kuletakkan sisi wajahku yang tidak sakit ke atas lengan, kucoba mengabaikan betapa lengkungan lantai itu menyiksa tulang punggungku, lalu kupejamkan mata.
the host bab 15
Kurasa aku tidur. Tapi kalaupun begitu tidurku tidak nyenyak. Suara langkah kaki masih terdengar sangat jauh ketika aku terjaga sepenuhnya. Kali ini aku langsung membuka mata. Tak ada yang berubah, aku masih bisa melihat cahaya biru suram lewat lubang bulat itu, aku masih tak bisa melihat apakah Jared berada di luar. Seseorang sedang berjalan kemari--mudah untuk mendengar langkah-langkahnya yang semakin mendekat. Kutarik kakiku dari lubang, aku bergerak sepelan mungkin, lalu kembali meringkuk di dinding belakang. Aku suka seandainya bisa berdiri; itu akan membuatku merasa tidak begitu rapuh, lebih siap menghadapi apa pun yang mendekat. Langit-langit rendah rongga gua itu nyaris tidak memungkinkanku untuk berlutut.

Ada sekilas gerakan di luar selku. Aku melihat sebagian kaki Jared ketika ia bangkit berdiri tanpa bersuara. "Ah. Kau di sini," ujar seorang lelaki. Kata - katanya sangat keras, setelah semua keheningan hampa itu, sehingga aku terlompat. Kukenali suara itu. Salah satu kakak - beradik yang kulihat di padang gurun. Lelaki yang memegang parang--Kyle. Jared diam saja. "Kami takkan membiarkan ini, Jared." Itu pembicara lain, suaranya lebih bijak. Mungkin adik Kyle, Ian. Suara kakak-beradik itu sangat mirip--atau akan sangat mirip, seandainya Kyle tidak selalu setengah berteriak, dengan nada suara yang selalu marah. "Kita semua kehilangan seseorang. Wah, kita semua kehilangan semua orang. Tapi ini konyol."

the host bab 15
"Jika kau tidak membiarkan Doc mendapatkannya, dia harus mati," imbuh Kyle. Suaranya menggeram. "Kau tidak bisa menyimpannya sebagai tawanan di sini," lanjut Ian. "Akhirnya dia akan melarikan diri dan kita semua bakal ketahuan."

Jared tidak bicara, tapi mundur selangkah ke samping, sehingga berdiri tepat di depan lubang menuju selku. Jantungku memompa dengan keras dan cepat ketika aku memahami perkataan kakak-beradik itu. Jared menang. Aku tidak bakal disiksa. AKu tidak bakal dibunuh. Bagaimanapun, tidak cepat-cepat. Jared menawanku. Tampaknya itu kata yang indah, mengingat situasinya. Sudah kubilang, ia akan melindungi kita.

Jangan menyulitkan, Jared," kata suara lelaki baru yang tidak kukenal. "Itu harus dilakukan." Jared diam saja. "Kami tidak ingin melukaimu, Jared. Kita semua bersaudara di sini. Tapi kami akan melakukanya jika kau memaksa kami." Tak ada nada menggertak di dalam suara Kyle. "Minggir." Jared tetap berdiri teguh. Jantungku mulai berdetak lebih cepat daripada sebelumnya, tersentak-sentak begitu keras di dalam rusuk, sehingga mengganggu irama paru-paru, membuatku sulit bernapas. Melanie lumpuh ketakutan, tak mampu berpikir dengan kata-kata yang masuk akal. Mereka hendak melukai Jared. Manusia-manusia sinting itu hendak menyerang salah seorang bangsa mereka sendiri. "Jared... ayolah," ujar Ian. Jared tidak menjawab. Terdengar langkah kaki berat, seseorang menerjang, lalu suara sesuatu yang berat menimpa sesuatu yang padat. Napas terengah-engah, suara tercekik --

"Tidak!" teriakku, lalu aku meluncur keluar melalui lubang bulat itu.


---

0 comments:

Post a Comment

Jual Nugget dan Sosis Sayur

Jual Nugget dan Sosis Sayur
Pemesanan via email : lwati111@gmail.com

The Host - Bab 15

Dijaga

Ketika aku tersadar, tak ada disorientasi. Pendeknya aku tahu di mana aku berada, dan kujaga agar mataku tetap tertutup dan napasku teratur. Aku mencoba mempelajari situasiku yang sebenarnya sebanyak mungkin, tanpa mengungkapkan kenyataan aku sudah kembali sadar. Aku lapar. Perutku mengejang, menegang, dan menciptakan suara-suara marah. Aku ragu apakah suara-suara ini akan mengkhianatiku--kurasa perutku telah bergejolak dan mengeluh ketika aku masih tak sadar. Kepalaku sakit bukan kepalang. Mustahil untuk tahu berapa banyak rasa sakit itu yang berasal dari kelelahan, dan berapa banyak yang berasal dari pukulan-pukulan yang kuterima. Aku berbaring di atas permukaan keras. Kasar dan... berlubang-lubang. Tidak datar, tapi melengkung aneh, seakan-akan aku berbaring di mangkuk dangkal. Tidak nyaman. Punggung dan pinggulku berdenyut-denyut akibat meringkuk dalam posisi ini. Mungkin rasa sakit itulah yang membangunkanku; aku merasa sangat tidak nyaman. Gelap--tanpa membuka mata pun aku tahu. Bukan gelap gulita, melainkan sangat gelap. Udara bahkan lebih apak daripada sebelumnya--lembap dan berkarat, disertai bau menyengat aneh yang seakan melekat di padang gurun, tapi kelembapan aneh ini membuat udara hampir sama tak nyamannya. Aku kembali berkeringat, air yang diberikan Jeb menemukan jalan keluarnya melalui pori-poriku. Aku bisa mendengar napasku menggema dari jarak beberapa puluh sentimeter. Mungkin saja aku berada di dekat salah satu dinding, tapi kurasa aku berada di dalam ruangan yang sangat kecil. Aku mencoba mendengarkan sebisa mungkin, dan kedengarannya seakan napasku juga menggema kembali dari dinding seberang. Karena kemungkinan aku masih berada di tempat Jeb membawaku, di suatu tempat di dalam susunan gua, aku cukup yakin apa yang akan kulihat ketika membuka mata. Agaknya aku berada di dalam lubang kecil pada dinding gua, di dalam ruang cokelat keunguan gelap yang penuh lubang seperti keju.

Keadaan hening, kecuali suara-suara yang dikeluarkan tubuhku. Karena takut membuka mata, aku mengandalkan telinga, yang kutegakkan semakin kuat melawan keheningan. Aku tak bisa mendengar keberadaan orang lain, dan ini tak masuk akal. Mereka tidak akan meninggalkanku tanpa penjaga, bukan? Uncle Jeb dan senapan yang selalu dibawanya, atau seseorang yang kurang simpatik. Meninggalkanku sendirian... itu bertentangan dengan kebrutalan mereka, ketakutan alami mereka, dan kebencian mereka terhadap siapa diriku. Kecuali... Aku mencoba menelan ludah, tapi rasa takut menutup tenggorokanku. Mereka takkan meninggalkanku sendirian. Tidak mungkin, kecuali mereka mengira aku sudah mati, atau memastikan aku bakal mati. Tidak mungkin, kecuali di dalam gua ini ada tempat-tempat yang bisa membuat orang tak kembali. Gambaran yang kubentuk mengenai keadaan di sekellilingku berubah secara memusingkan di dalam kepala. Kini kulihat diriku berada di dasar terowongan yang dalam atau terperangkap di kuburan sempit. Napasku semakin memburu, mencari apaknya udara, mencari semacam tanda bahwa oksigenku nyaris habis. Semua otot di sekeliling paru-paruku seakan tertarik keluar, mengisap udara untuk menyiapkan jeritan yang nyaris terlontar. Kukertakkan gigi agar jeritan itu tak lolos dari mulutku. Jelas dan dekat, kudengar sesuatu mencakar di atas tanah di samping kepalaku. Aku menjerit, dan suaranya menembus ruangan kecil itu. Mataku terbuka. Kusentakkan tubuh menjauhi suara mengerikan itu, kulemparkan diriku ke dinding batu yang kasar. Sepasang tanganku terayun ke atas untuk melindungi wajah, kepalaku membentur langit-langit rendah dengan menyakitkan. Cahaya suram menerangi lubang bulat sempurna, jalan keluar dari rongga gua mungil tempatku meringkuk.

Separuh wajah Jared diterangi cahaya saat ia membungkuk ke dalam lubang, sebelah lengannya terulur kepadaku. Bibirnya terkatup penuh amarah. Pembuluh darah di keningnya berdenyut-denyut ketika mengamati reaksi panikku. Jared tidak bergerak; hanya menatap marah ketika jantungku kembali berdenyut dan napasku teratur. Kubalas pelototannya, mengingat-ingat betapa ia selalu bisa bersikap sangat diam, seperti hantu, jika menginginkannya. Tak heran aku tidak mendengarnya duduk menjaga di luar selku. Tapi aku memang mendengar sesuatu. Ketika aku sedang mengingat-ingat, Jared menyodorkan lengannya semakin dekat, dan suara berderit itu kembali terdengar. Aku menunduk. Di kakiku ada lembaran plastik patah yang berfungsi sebagai nampan. Dan di atasnya... Aku menerjang botol air terbuka itu. Aku nyaris tak menyadari mulut Jared yang terkatup erat, jijik ketika aku menyentakkan botol ke bibirku. Aku yakin ekspresi itu akan menggangguku nantinya, tapi sekarang ini hanya air yang kupedulikan. Aku bertanya - tanya, apakah di dalam hidupku kelak aku akan kembali menyepelekan keberadaan cairan itu. Mengingat hidupku takkan diperpanjang di sini, jawabannya mungkin tidak. Jared menghilang, keluar lagi dari lubang masuk melingkar itu. Aku hanya bisa melihat sebagian lengan bajunya. Cahaya suram datang dari suatu tempat di sampingnya. Warnanya kebiruan tidak alami. Aku sudah menenggak setengah isi botol ketika mencium aroma baru yang menarik perhatianku, memberitahuku bahwa air bukan satu-satunya hadiah. Aku menunduk melihat nampan itu lagi. Makanan. Mereka memberiku makan?

the host bab 15
Yang tadi kucium aromanya adalah roti berbentuk bulat tak beraturan dan berwarna gelap. Tapi juga ada semangkuk cairan bening beraroma tajam bawang. Ketika aku membungkuk semakin dekat, bisa kulihat potongan-potongan benda berwarna lebih gelap di dasarnya. Selain itu ada tiga benda berbentuk batang putih gemuk. Kurasa itu sayuran, tapi aku tidak mengenali jenisnya. Hanya perlu beberapa detik untuk menemukan semua ini, tapi dalam waktu sesingkat itu pun perutku nyaris melompat keluar dari mulut karena mencoba menjangkau makanan itu.

the host bab 15
Kugigit rotinya. Sangat padat, penuh biji gandum utuh yang menyelip di gigi. Teksturnya berbiji-biji, tapi rasanya sangat kaya. Tak bisa kuingat makanan apa pun yang rasanya lebih lezat, bahkan juga Twinkies hancurku. Rahangku bekerja secepat kilat, tapi kutelan sebagian roti keras itu walaupun baru setengah terkunyah. Aku bisa mendengar setiap suapannya menerpa perutku dengan bunyi bergelegak. Rasanya tidak seenak yang kubayangkan. Karena terlalu lama kosong, perutku bereaksi tidak nyaman terhadap makanan itu. Kuabaikan ketidaknyamanan itu, dan aku berpindah ke cairan tadi. Itu sup. Ini lebih mudah ditelan. Selain bawang yang kucium baunya, supaya ringan. Potongan-potongan hijaunya empuk dan berongga. Kutenggak sup itu langsung dari mangkuk, berharap mangkuknya lebih cekung. Kumiringkan mangkuknya untuk memastikan tak setetes pun tertinggal. Sayuran putihnya bertekstur renyah, rasanya seperti kayu. Semacam akar. Sayuran itu tidak seenak supnya, dan tidak selezat rotinya, tapi aku bersyukur atas jumlahnya. Aku tidak kenyang --sama sekali tidak-- dan mungkin akan mulai melanjutkan dengan melahap nampan itu, seandainya aku mampu mengunyahnya.

Setelah aku selesai makan, barulah terpikir olehku mereka seharusnya tidak memberiku makan. Tidak mungkin, kecuali Jared kalah dalam konfrontasinya dengan dokter. Tapi jika itu kasusnya, mengapa Jared yang menjadi penjagaku? Ketika sudah kosong, kudorong nampan itu menjauhiku, dan aku menciut mendengar suara yang keluar. Ketika Jared mengulurkan tangan untuk mengambil nampan, kutekankan tubuhku pada dinding belakang rongga gua. Kali ini ia tidak memandangku. "Terima kasih," bisikku, ketika ia kembali menghilang. Jared diam saja; ekspresinya tidak berubah. Kali ini bahkan sebagian lengan bajunya tidak tampak. Tapi aku yakin ia ada di sana.

Aku tak percaya Jared memukulku, renung Melanie; pikirannya lebih menunjukkan ketidakpercayaan daripada kemarahan. Rasa terkejutnya belum hilang. Sejak awal aku tidak merasa terkejut. Tentu saja Jared akan memukulku. Aku ingin tahu di mana kau tadi, ujarku. Tidak sopan melibatkanku dalam kekacauan ini, lalu meninggalkanku begitu saja. Melanie mengabaikan nada masam suaraku. Aku tak mengira Jared bisa melakukannya, tak peduli apa pun yang terjadi. Kurasa aku tidak akan bisa memukulnya. Kau pasti bisa. Seandainya Jared datang kepadamu dengan mata reflektif, kau akan melakukan hal yang sama. Kau memang suka kekerasan. Aku ingat Melanie pernah berkhayal mencekik Pencari. Sepertinya itu sudah berbulan-bulan yang lalu, walaupun aku tahu baru lewat beberapa hari. Akan terasa masuk akal seandainya sudah lebih lama. Seharusnya perlu waktu lebih lama untuk melibatkan diri dalam situasi sulit dan membahayakan seperti yang kini kualami. Melanie mencoba memikirkannya secara adil. Kurasa tidak. Tidak Jared... dan Jamie. Tak mungkin aku bisa melukai Jamie, bahkan seandainya ia... Ia berhenti, membenci jalan pikiran semacam itu. Kurenungkan perkataan Melanie dan merasakan kebenarannya. Bahkan seandainya anak itu telah berubah menjadi sesuatu atau orang lain, baik aku maupun Melanie takkan pernah bisa memukulnya. Itu lain. Kau mirip... ibu. Di sini ibu selalu bersikap tidak rasional. Terlalu banyak emosi yang terlibat. Menjadi ibu memang selalu melibatkan emosi--bahkan untuk jiwa sepertimu. Aku tidak menjawab. Menurutmu, apa yang akan terjadi sekarang? Kau yang ahli soal manusia, ujarku mengingatkan. Mungkin bukan hal baik jika mereka memberiku makanan. Aku hanya bisa memikirkan satu alasan mengapa mereka ingin kekuatanku pulih. Beberapa detail yang kuingat mengenai sejarah kebrutalan manusia berbaur di kepalaku dengan berita-berita di koran tua yang kami baca. Api--itu buruk. Semua sidik jari tangan kanan Melanie pernah terbakar dalam kecelakaan tolol. Ia meraih panci tanpa menyadari betapa panasnya benda itu. Aku ingat bagaimana rasa sakit itu mengejutkannya--secara tak terduga sangat menyengat dan menyita perhatian. Tapi itu hanya kecelakaan. Segera diobati dengan es, salep, obat. Tak seorang pun melakukannya dengan sengaja, melanjutkan rasa sakit pertama yang memualkan itu, lalu menahannya lebih lama dan lebih lama lagi ... Aku tak pernah tinggal di planet tempat kekejaman - kekejaman semacam itu bisa terjadi, bahkan sebelum kedatangan para jiwa. Tempat ini benar - benar yang paling tinggi dan sekaligus paling rendah dari semua dunia--indra terindah, emosi terhalus... keinginan terjahat, perbuatan terkelam. Mungkin memang sudah seharusnya begitu. Mungkin sesuatu yang tinggi tak bisa dicapai tanpa adanya sesuatu yang rendah. Apakah jiwa merupakan perkecualian dari peraturan itu? Bisakah mereka memperoleh terang tanpa disertai kegelapan dunia ini?

Aku... merasakan sesuatu ketika Jared memukulmu, sela Melanie. Kata-kata itu muncul perlahan - lahan, satu demi satu, seakan-akan ia tak ingin memikirkannya. Aku juga merasakan sesuatu. Menakjubkan betapa alaminya aku menggunakan kata-kata sindiran sekarang, setelah menghabiskan begitu banyak waktu bersama Melanie. Pukulannya lumayan, kan? Bukan itu maksudku. Maksudku... Lama Melanie bimbang, lalu sisa kata-katanya berhamburan keluar. Kupikir semuanya berasal dariku--bagaimana perasaan kita terhadapnya. Kupikir aku... mengendalikan perasaan itu. Pikiran di balik kata-kata Melanie lebih jelas daripada kata-kata itu sendiri. Kau mengira bisa membawaku kemari karena kau begitu menginginkannya. Dan kau mengira kau mengendalikanku, bukan sebaliknya. Aku mencoba menahan kejengkelanku. kau mengira sedang memanipulasiku. Ya. Kekesalan dalam nada suara Melanie bukan karena kemarahanku, tapi karena ia tak suka melakukan kekeliruan. Tapi... Aku menunggu. Kata-kata itu berhamburan sekali lagi. Kau juga mencintai Jared, secara terpisah dariku. Rasanya berbeda dari perasaanku. Lain. Aku tidak menyadarinya, sampai Jared berada di sana bersama kita, sampai kau melihatnya untuk pertama kali. Kok bisa? Bagaimana mungkin cacing sepanjang tujuh setengah senti bisa jatuh cinta kepada manusia?

 Cacing?

Maaf. Kurasa kau punya semacam... tungkai-tungkai. Sebenarnya tidak. Tungkai - tungkai itu lebih menyerupai antena. Dan aku sedikit lebih panjang daripada tujuh setengah senti ketika antena - antena itu menjulur. Maksudku, Jared bukan spesiesmu. Tubuhku adalah manusia, kataku menjelaskan. Ketika aku melekat pada tubuh itu, aku juga manusia. Dan dari caramu memandang Jared dalam ingatan-ingatanmu... Well, itu semua salahmu. Melanie merenungkannya sejenak. Ia tidak terlalu menyukai perkataanku. Jadi, seandainya kau pergi ke Tucson dan mendapat tubuh baru, kau tidak akan mencintai Jared lagi? Aku sungguh-sungguh berharap itu benar. Tak satupun dari kami merasa senang dengan jawabanku.

Kusandarkan kepalaku ke lutut. Melanie mengubah pokok pembicaraan. Seandainya Jamie aman. Aku tahu Jared akan menjaganya. Kalau terpaksa meninggalkan Jamie, aku tak bisa meninggalkannya di tangan yang lebih baik daripada tangan Jared.... Kuharap aku bisa berjumpa dengan Jamie. Aku tidak akan meminta hal itu! Aku ciut membayangkan respons atas permintaan itu. Pada saat itu aku sendiri juga merindukan wajah anak laki - laki itu. Aku ingin memastikan Jamie benar-benar berada di sini, benar-benar aman; dan mereka memberinya makan dan merawatnya, seperti yang takkan pernah bisa dilakukan lagi oleh Melanie. Seperti aku, ibu tanpa anak, ingin merawatnya. Adakah seseorang yang menyanyi untuknya di malam hari? Mendongenginya? Apakah Jared yang baru dan pemarah ini memikirkan hal - hal kecil seperti itu? Apakah Jamie punya seseorang tempat dia bisa bergelung ketika merasa ketakutan? Apakah menurutmu mereka akan memberitahu Jamie bahwa aku di sini? tanya Melanie. Apakah tindakan itu akan membantu atau melukai Jamie? aku balas bertanya. Jawaban Melanie berupa bisikan. Aku tak tahu... Kuharap aku bisa memberitahunya bahwa aku menepati janjiku. Kau memang sudah menepati janjimu. Aku menggeleng, takjub. Tak seorang pun bisa mengatakan kau tidak kembali. Kau selalu kembali. Terima kasih. Suara Melanie samar. Aku tak tahu apakah ia bermaksud berterima kasih atas kata-kataku ini, atau apakah maksudnya berterima kasih karena aku telah membawanya kemari.

Tiba-tiba aku merasa lelah, dan bisa kurasakan Melanie juga lelah. Kini, setelah perutku agak tenang dan hampir setengah penuh, rasa sakit itu tidak terlalu tajam untuk membuatku terus terjaga. Aku bimbang sebelum bergerak, khawatir menciptakan suara, tapi tubuhku ingin meregang dan menggeliat. Aku melakukannya sediam mungkin, mencoba menemukan bagian rongga yang cukup panjang untukku. Akhirnya aku harus menjulurkan kedua kaki sampai nyaris keluar dari lubang bulat itu. Aku tidak suka melakukannya. Aku khawatir Jared mendengar gerakan di dekatnya dan mengira aku mencoba melarikan diri. Tapi ia sama sekali tak bereaksi. Kuletakkan sisi wajahku yang tidak sakit ke atas lengan, kucoba mengabaikan betapa lengkungan lantai itu menyiksa tulang punggungku, lalu kupejamkan mata.
the host bab 15
Kurasa aku tidur. Tapi kalaupun begitu tidurku tidak nyenyak. Suara langkah kaki masih terdengar sangat jauh ketika aku terjaga sepenuhnya. Kali ini aku langsung membuka mata. Tak ada yang berubah, aku masih bisa melihat cahaya biru suram lewat lubang bulat itu, aku masih tak bisa melihat apakah Jared berada di luar. Seseorang sedang berjalan kemari--mudah untuk mendengar langkah-langkahnya yang semakin mendekat. Kutarik kakiku dari lubang, aku bergerak sepelan mungkin, lalu kembali meringkuk di dinding belakang. Aku suka seandainya bisa berdiri; itu akan membuatku merasa tidak begitu rapuh, lebih siap menghadapi apa pun yang mendekat. Langit-langit rendah rongga gua itu nyaris tidak memungkinkanku untuk berlutut.

Ada sekilas gerakan di luar selku. Aku melihat sebagian kaki Jared ketika ia bangkit berdiri tanpa bersuara. "Ah. Kau di sini," ujar seorang lelaki. Kata - katanya sangat keras, setelah semua keheningan hampa itu, sehingga aku terlompat. Kukenali suara itu. Salah satu kakak - beradik yang kulihat di padang gurun. Lelaki yang memegang parang--Kyle. Jared diam saja. "Kami takkan membiarkan ini, Jared." Itu pembicara lain, suaranya lebih bijak. Mungkin adik Kyle, Ian. Suara kakak-beradik itu sangat mirip--atau akan sangat mirip, seandainya Kyle tidak selalu setengah berteriak, dengan nada suara yang selalu marah. "Kita semua kehilangan seseorang. Wah, kita semua kehilangan semua orang. Tapi ini konyol."

the host bab 15
"Jika kau tidak membiarkan Doc mendapatkannya, dia harus mati," imbuh Kyle. Suaranya menggeram. "Kau tidak bisa menyimpannya sebagai tawanan di sini," lanjut Ian. "Akhirnya dia akan melarikan diri dan kita semua bakal ketahuan."

Jared tidak bicara, tapi mundur selangkah ke samping, sehingga berdiri tepat di depan lubang menuju selku. Jantungku memompa dengan keras dan cepat ketika aku memahami perkataan kakak-beradik itu. Jared menang. Aku tidak bakal disiksa. AKu tidak bakal dibunuh. Bagaimanapun, tidak cepat-cepat. Jared menawanku. Tampaknya itu kata yang indah, mengingat situasinya. Sudah kubilang, ia akan melindungi kita.

Jangan menyulitkan, Jared," kata suara lelaki baru yang tidak kukenal. "Itu harus dilakukan." Jared diam saja. "Kami tidak ingin melukaimu, Jared. Kita semua bersaudara di sini. Tapi kami akan melakukanya jika kau memaksa kami." Tak ada nada menggertak di dalam suara Kyle. "Minggir." Jared tetap berdiri teguh. Jantungku mulai berdetak lebih cepat daripada sebelumnya, tersentak-sentak begitu keras di dalam rusuk, sehingga mengganggu irama paru-paru, membuatku sulit bernapas. Melanie lumpuh ketakutan, tak mampu berpikir dengan kata-kata yang masuk akal. Mereka hendak melukai Jared. Manusia-manusia sinting itu hendak menyerang salah seorang bangsa mereka sendiri. "Jared... ayolah," ujar Ian. Jared tidak menjawab. Terdengar langkah kaki berat, seseorang menerjang, lalu suara sesuatu yang berat menimpa sesuatu yang padat. Napas terengah-engah, suara tercekik --

"Tidak!" teriakku, lalu aku meluncur keluar melalui lubang bulat itu.


---

0 comments on "The Host - Bab 15"

Post a Comment