Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara

Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara
Harga mulai 5rb an. Gratis ongkir DKI Jakarta

The Host- Bab 34

0 comments
DIMAKAMKAN



Jared menerjang maju, menjauhiku. Dengan suara gedebuk keras, tinjunya menghantam wajah Kyle.
Mata Kyle berputar ke belakang, mulutnya terbuka.
Selama beberapa detik ruangan sangat hening.
“Um,” ujar Doc pelan, “secara medis, aku tak yakin apakah itu tindakan yang paling membantu untuk kondisinya.”
“Tapi aku merasa lebih baik,” jawab Jared muram.
Doc tersenyum kecil. “Well, beberapa menit ketidaksadaran mungkin takkan membunuhnya.”
Doc mulai memeriksa bagian bawah kelopak mata Kyle lagi, mengukur denyut nadinya…
“Apa yang terjadi?” Wes berada di dekat kepalaku, berbisik.
“Kyle mencoba membunuh makhluk itu,” jawab Jared, sebelum aku bisa menjawab. “Tidak mengejutkan, bukan?”
“Memang,” gumamku.
Wes memandang Jared.
“Tampaknya altruisme muncul lebih alami pada mahluk itu dibandingkan kebohongan,” ujar Jared.
“Apakah kau sedang mencoba bersikap menjengkelkan?” desakku.
Kesabaranku bukannya berkurang, melainkan lenyap seluruhnya. Sudah berapa lama aku tidak tidur? Satu-satunya yang lebih menyakitkan daripada kakiku adalah kepalaku. Setiap tarikan napas membuat sisi tubuhku sakit. Kusadari, dengan agak terkejut, bahwa suasana hatiku benar-benar buruk. “Karena seandainya demikian, maka yakinlah, kau berhasil.”
Jared dan Wes memandangku dengan mata terkejut. Aku yakin, seandainya bisa melihat yang lain, ekspresi mereka juga bakal serupa. Mungkin Jeb tidak. Ia ahli dalam memperlihatkan wajah tanpa ekspresi.
“Aku perempuan,” keluhku. “Istilah ‘mahluk itu’ benar-benar membuatku jengkel.”
Jared mengerjap terkejut. Lalu wajahnya kembali membentuk garis-garis keras. “Karena tubuh yang kau kenakan?”
Wes memelototinya.
“Karena aku perempuan,” desisku.
“Berdasarkan definisi siapa?”
“Bagaimana kalau definisimu? Pada spesiesku, akulah yang melahirkan. Bukankah itu cukup perempuan bagimu?”
Perkataanku langsung membungkam Jared. Aku nyaris merasa bangga terhadap diriku sendiri.
Memang sudah seharusnya, ujar Melanie setuju. Ia keliru, dan bersikap menjengkelkan soal itu.
Terima kasih.
Sebagai sesame perempuan, kita harus bersatu.
“Itu kisah yang belum pernah kauceritakan kepada kami,” gumam Wes, sementara Jared berjuang mencari bantahan. “Bagaimana cara kerjanya?”
Wajah zaitun Wes semakin gelap, seakan ia baru saja menyadari kata-kata itu telah diucapkan keras-keras. “Maksudku, kurasa kau tidak perlu menjawab jika pertanyaanku tidak sopan.”
Aku tertawa. Suasana hatiku berganti-ganti dengan liar, tak terkendali. Mabuk karena kurang tidur, seperti kata Melanie. “Tidak, kau  menanyakan sesuatu… yang tidak pantas. Kami tidak punya pengaturan terperinci… dan rumit… seperti spesies kalian.” Aku kembali tertawa, lalu merasakan wajahku menghangat. Kuingat dengan sangat jelas betapa rumitnya pengaturan itu.
Jangan berpikir kotor.
Itu pikiranmu, ujarku mengingatkan Melanie.
Aku mendesah. “Hanya ada beberapa dari kami yang menjadi… Ibu. Itu sebutan mereka untuk kami. Bukan ibu yang sesungguhnya, tapi kami berpotensi menjadi Ibu…” Aku kembali serius, merenungkannya. Tak ada ibu, tak ada ibu yang bertahan hidup, yang ada hanyalah ingatan-ingatan tentang mereka.
“Kau punya potensi itu?” tanya Jared kaku.
Aku tahu yang lain mendengarkan. Bahkan Doc menghentikan tindakannya meletakkan telinga di dada Kyle.
Aku tidak menjawab pertanyaan Jared. “Kami… agak menyerupai kawanan lebah, atau semut. Banyak sekali anggota keluarga yang tidak memiliki jenis kelamin, lalu ada ratu…”
“Ratu?” ulang Wes, memandangku dengan ekspresi aneh.
“Bukan seperti itu. Tapi hanya ada satu ibu untuk setiap lima sampai sepuluh ribu bangsaku. Terkadang kurang dari itu. Tak ada peraturan yang ketat.”
“Ada berapa banyak pejantan?” tanya Wes.
“Oh, tidak—tidak ada pejantan. Tidak. Sudah kubilang, prosesnya lebih sederhana.”
Mereka menungguku menjelaskan. Aku menelan ludah. Seharusnya aku tidak mengangkat topic ini. Aku tak ingin membicarakannya lagi. Apakah benar-benar menjadi masalah jika Jared memanggilku “mahluk itu”?
Mereka masih menunggu. Aku memberengut, tapi lalu bicara. Akulah yang memulai topic ini. “Ibu… membelah diri. Setiap… selnya—kurasa bisa kaubilang begitu, walaupun struktur kami tidak sama seperti struktur kalian—menjadi jiwa yang baru. Setiap jiwa yang baru membawa sedikit ingatan ibunya—sebagian dari ibunya yang tertinggal.”
“Berapa banyak sel?” tanya Doc penasaran. “Berapa banyak anak?”
Aku mengangkat bahu. “Sekitar satu juta.”
Sejauh pandanganku, semua mata membelalak dan tampak sedikit lebih liar. Aku mencoba untuk tidak merasa terlukka ketika Wes menjauh dariku.
Doc bersiul pelan. Ia satu-satunya yang masih tertarik untuk melanjutkan. Aaron dan Andy menunjukkan ekspresi cemas, bingung. Mereka belum pernah mendengarku mengajar. Belum pernah mendengarku bicara begitu banyak.
“Kapan itu terjadi? Adakah semacam katalisator?” tanya Doc.
“Itu pilihan. Pilihan sukarela,” jawabku. “Satu-satunya cara kami untuk memilih kematian dengan sukarela. Semacam pertukaran, demi generasi baru.”
“Kau bisa memilihnya sekarang? Membelah semua selmu, begitu saja?”
“Tidak persis seperti itu, tapi ya.”
“Rumitkah?”
“Yang rumit adalah keputusannya. Prosesnya… menyakitkan.”
“Menyakitkan?”
Mengapa Doc harus seterkejut itu? Bukankah hal yang sama terjadi pada bangsanya?
Dasar laki-laki, dengus Melanie.
“Menyiksa,” jawabku. “Kami semua ingat apa yang dialami ibu kami.”
Doc mengusap-usap dagu, terpukau. “Aku ingin tahu, itu jalur evolusi macam apa… menghasilkan masyarakat lebah dengan ratu yang bunuh diri…” Ia terhanyut dalam rangkaian pikiran yang lain.
“Altruisme,” gumam Wes.
“Hmm,” ujar Doc. “Ya, tepat.”
Kupejamkan mata, berharap mulutku tetap mengatup. Kepalaku pening. Apakah aku hanya lelah atau apakah itu karena luka di kepalaku?
“Oh,” gumam Doc. “Tidurmu bahkan lebih sedikit daripada tidurku, bukan, Wanda? Kami harus membiarkanmu istirahat.”
“Aku baik-baik saja,” gumamku, tanpa membuka mata.
“Hebat sekali,” bisik seseorang. “Kita punya mahluk luar angkasa, ibu ratu terkutuk, yang tinggal bersama kita. Dia bisa meledak menjadi sejuta serangga baru setiap saat.”
“Sst.”
“Mereka takkan bisa melukai kalian,” ujarku, kepada siapa pun yang baru saja bicara, tanpa membuka mata. “Tanpa tubuh inang, mereka mati dengan cepat.” Aku mengernyit, membayangkan kedukaan yang tak terbayangkan. Sejuta jiwa mungil tak berdaya, bayi perak mungil, layu…
Tak seorang pun berkomentar, tapi bisa kurasakan kelegaan mereka.
Aku lelah sekali. Aku tak peduli Kyle berada satu meter dariku. Aku tak eduli dua di antara para lelaki di ruangan ini akan membela Kyle jika ia sudah tersadar. Aku tidak memedulikan apa pun, kecuali tidur.
Tentu saja Walter terbangun tepat pada saat itu.
“Uuuh,” erangnya, hanya berupa bisikan. “Gladdie?”
Sambil mengerang aku berguling ke arahnya. Rasa sakit di kakiku membuatku mengernyit, tapi aku tak mampu memutar tubuh. Kuulurkan tangan, dan kutemukan tangannya.
“Di sini,” bisikku.
“Ahhh.” Walter mendesah penuh kelegaan.
Doc menyuruh para lelaki yang mulai memprotes untuk diam.
“Wanda telah mengorbankan tidur dan kedamaiannya untuk membantu mengurangi Walter mengurangi rasa sakit. Kedua tangannya memar-memar akibat memegangi tangan Walter. Apa yang sudah kalian perbuat untuk Walter?”
Walter kembali mengerang. Suaranya mula-mula rendah dan parau, tapi dengan cepat berubah jadi erangan bernada tinggi.
Doc mengernyit. “Aaron, Andy, Wes… maukah kaliah, ah, memanggilkan Sharon untukku?”
“Kami semua?”
“Minggat sana,” Jeb menerjemahkan.
(catatanku: “I really love uncle Jeb… hehehe”)
Satu-satunya jawaban yang terdengar hanyalah suara kaki terseret ketika mereka pergi.
“Wanda,” bisik Doc di dekat telingaku. “Walter kesakitan. Aku tak bisa membiarkannya sadar sepenuhnya.”
Kucoba untuk bernapas teratur. “Lebih baik baginya jika dia tidak mengenaliku. Lebih baik baginya jika dia mengira Gladdie berada di sini.”
Kubuka mataku. Jeb berada di samping Walter—wajah Walter masih tampak seakan sedang tidur.
“Selamat tinggal, Walt,” ujar Jeb. “Sampai bertemu di dunia lain.”
Ia melangkah mundur.
“Kau lelaki baik. Semua orang akan merasa kehilangan,” gumam Jared.
Doc membuka bungkusan morfin lagi. Kertasnya bergemersik.
“Gladdie?” isak Walter. “Sakit sekali.”
“Ssst. Tak lama lagi sakitnya akan hilang. Doc akan menghentikannya.”
“Gladdie?”
“Ya?”
“Aku mencintaimu, Gladdie. Aku mencintaimu sepanjang hidupku.”
“Aku tahu, Walter. Aku—aku juga mencintaimu. Kau tahu betapa aku mencintaimu.”
Walter mendesah.
Kupejamkan mata ketika Doc membungkuk di atas tubuh Walter dengan membawa jarum suntik.
“Selamat tidur, Sobat,” gumam Doc.
Jemari Walter berubah santai, lemas. Kugenggam kedua tangannya—kini akulah yang menggayuti Walter.
Menit demi menit berlalu dan semuanya hening, kecuali suara napasku ang tersendat, cenderung terisak pelan.
Seseorang menepuk bahuku. “Dia sudah pergi, Wanda,” ujar Doc. Suaranya parau. “Dia sudah tidak kesakitan.”
Doc melepaskan tanganku dari tangan Walter, dan perlahan-lahan menggulingkan tubuhku dari posisi ganjil menjadi posisi yang lebih tidak menyiksa. Tapi hanya sedikit bedanya. Setelah aku tahu Walter takkan terganggu, tangisku tak lagi pelan. Kupegangi pinggangku yang berdenyut-denyut.
“Oh, silahkan. Kalau itu membuatmu senang,” gumam Jared dengan nada menggerutu. Aku mencoba membuka mata, tapi tak bisa melakukannya.
Sesuatu menusuk lenganku. Aku tak ingat lenganku terluka. Dan di tempat aneh, hanya di siku bagian dalam…
Morfin, bisik Melanie.
Kami sudah mulai tak sadarkan diri. Aku mencoba untuk merasa takut, tapi tak bisa. Aku sudah pergi terlalu jauh.
Tak seorang pun mengucapkan selamat tinggal, pikirku. Aku tak bisa mengharapkan Jared… Tapi Jeb… Doc… Ian taka da di sini…
Tak seorang pun mati, janji Melanie kepadaku. Kali ini kau hanya tidur…
#
Ketika aku terbangun, langit-langit di atasku suram diterangi cahaya bintang. Malam hari. Ada banyak bintang. Aku bertanya-tanya di mana aku berada. Tak ada penghalang-penghalang hitam, taka da potongan langit-langit di dalam pandanganku. Hanya bintang dan bintang dan bintang…
Angin mengipasi wajahku. Baunya seperti… debu dan… sesuatu yang tak bisa kupahami. Ketidakhadiran. Bau apak itu tak ada. Tak ada Sulfur, dan udara sangat kering.
“Wanda?” bisik seseorang, seraya menyentuh pipiku yang tidak cedera.
Mataku menemukan wajah Ian, pucat dalam cahaya bintang, membungkuk di atas tubuhku. Tangan Ian yang menyentuh kulitku lebih sejuk daripada angina sepoi-sepoi. Tapi udara sangat kering, sampai terasa tidak nyaman. Di mana aku?
“Wanda? Kau sudah bangun? Mereka tidak mau menungu lebih lama.”
Aku berbisik, karena Ian juga berbisik. “Apa?”
“Mereka sudah mulai. Aku tahu, kau pasti ingin berada di sini.”
“Dia sudah sadar?” tanya Jeb.
“Apa yang sudah dimulai?” tanyaku.
“Pemakaman Walter.”
Aku mencoba duduk, tapi tubuhku lemah. Tangan Ian berpindah ke keningku, membaringkanku.
Kugerakkan kepalaku di bawah telapak tangannya, mencoba melihat…
Aku berada di luar.
Di luar.
Di kiriku tumpukan batu kasar tak beraturan membentuk gunung kecil, lengkap dengan semak-semak pendeknya. Di kananku dataran padang gurun membentang sampai lenyap dalam kegelapan. Aku menunduk, memandang melewati kakiku, dan melihat kerumunan manusia yang merasa tidak nyaman di udara terbuka. Aku tahu persis apa yang mereka rasakan. Terekspos.
Aku mencoba bangkit. Aku ingin berada lebih dekat, untuk menyaksikan. Tangan Ian menahanku.
“Tenanglah,” katanya. “Jangan mencoba berdiri.”
“Bantu aku,” ujarku memohon.
“Wanda?”
Aku mendengar suara Jamie, lalu melihatnya, rambutnya memantul-mantul ketika ia berlari ke tempatku terbaring.
“Mereka tidak menunggu,” ujar Jamie kepada Ian. “Sebentar lagi selesai.”
“Bantu aku berdiri,” kataku.
Jamie meraih tanganku, tapi Ian menggeleng. “Aku bisa.”
Ian menyelipkan kedua lengannya ke bawah tubuhku, dengan sangat berhati-hati, untuk menghindari tempat-tempat yang paling sakit. Ia mengangkatku dari tanah, kepalaku berputar-putar seperti kapal nyaris karam. Aku mengerang.
“Apa yang dilakukan Doc kepadaku?”
“Dia memberimu sedikit morfin yang tersisa, sehingga bisa memeriksa tanpa menyakitimu. Lagi pula kau perlu tidur.”
Aku memberengut, tidak setuju. “Bukankah orang lain akan lebih memerlukan morfin itu?”
“Sst,” ujar Ian, dan aku bisa mendengar suara rendah di kejauhan. Kutolehkan kepalaku.
Aku bisa melihat kumpulan manusia itu lagi. Mereka berdiri di mulut lubang terbuka, rendah, dan gelap, yang dibentuk angina di bawah tumpukan batu yang tampak tidak stabil. Mereka berdiri dalam barisan tak teratur, menghadap gua teduh itu.
Aku mengenali suara Trudy.
“Walter selalu melihat sisi cerah segala sesuatu. Ia bisa melihat sisi cerah lubang hitam. Itu akan kurindukan.”
Kulihat sesosok tubuh melangkah maju, kulihat ayunan kepang rambut hitam keabu-auan ketika sosok itu bergerak, dan aku menyaksikan Trudy melempar segenggam sesuatu ke dalam gelap. Pasir menyebar dari jemarinya, jatuh ke tanah dengan bunyi berdesis perlahan.
Trudy kembali dan berdiri di samping suaminya. Geoffrey bergerak menjauhinya, melangkah maju ke lubang hitam.
“Kini dia akan bertemu Gladys-nya. Dia lebih berbahagia di tempatnya sekarang.” Geoffrey melempar segenggam pasir.
Ian membopongku ke kanan barisan, cukup dekat untuk melihat ke dalam gua suram itu. Ada lubang yang lebih gelap di hadapan kami, bentuknya persegi panjang besar, dan seluruh populasi manusia itu berdiri mengelilinginya, membentuk setengah lingkaran tak beraturan.
Semua ada di sana—semua orang.
Kyle melangkah maju.
Aku gemetar, dan Ian meremas pelan tanganku.
Kyle tidak memandang kea rah kami. Kulihat wajahnya dari samping; mata kanannya bengkak sampai nyaris menutup.
“Walter mati sebagai manusia,” ujar Kyle. “Tak seorang pun dari kami bisa meminta lebih dari itu.” Ia melempar segenggam pasir ke lubang gelap itu.
Lalu Kyle kembali bergabung dengan kelompok itu.
Jared berdiri di sampingnya. Ia melangkah sebentar, berhenti di bibir makam Walter.
“Walter sangat baik hati. Tak seorang pun dari kami bisa menandinginya.” Ia melemparkan pasirnya.
Jamie melangkah maju, Jared menepuk bahunya saat mereka berpapasan.
“Walter pemberani,” ujar Jamie. “Dia tidak takut mati, dia tidak takut hidup, dan… dia tidak takut untuk percaya. Dia membuat keputusan-keputusannya sendiri, dan dia membuat keputusan-keputusan yang baik.” Jamie melemparkan pasirnya. Ia berbalik, berjalan kembali, sepanjang itu matanya terpaku padaku.
“Giliranmtimuu,” bisik Jamie, ketika sudah ada di sampingku.
Andy sudah bergerak maju, dengan sekop di tangan.
“Tunggu,” ujar Jamie, dengan suara rendah yang terdengar di dalam keheningan. “Wanda dan Ian belum mengucapkan apa-apa.”
“Kita harus saling menghormati,” ujar Jeb, suaranya lebih keras daripada suara Jamie. Rasanya terlalu keras buatku.
Insting pertamaku adalah memberi isyarat pada Andy untuk melanjutkan, dan meminta Ian membawaku pergi. Ini duka manusia, bukan dukaku.
Tapi aku memang berduka. Dan aku memang ingin mengatakan sesuatu.
“Ian, bantu aku mengambil pasir.”
Ian berjongkok sehingga aku bisa mengambil segenggam kerikil di kaki kami. Ia memindahkan bobot tubuhku ke lututnya, sehingga ia bisa mengambil pasir juga. Lalu ia menegakkan tubuh dan membopongku ke tepi makam.
Aku tidak bisa melihat ke dalam lubang. Tampak gelap di bawah naungan batu, dan sepertinya makam itu sangat dalam. Ian mulai bicara sebelum aku bisa melakukannya.
“Walter manusia terbaik dan paling bijak,” ujarnya, lalu ia menyebarkan pasirnya ke lubang. Rasanya lama sekali sebelum aku mendengar pasir itu berdesis menimpa dasar lubang.
Ian menunduk memandangku.                  
Suasana benar-benar hening di malam berpenerangan cahaya bintang itu. Bahkan angin pun tenang. Aku berbisik, tapi aku tahu suaraku terdengar semua orang.
“Tak ada kebencian di dalam hatimu,” bisikku. “Keberadaanmu membuktikan kami keliru. Kami tak punya hak untuk mengambil duniamu darimu, Walter. Kuharap dongeng-dongengmu benar. Kuharap kau menemukan Gladdie-mu.”
Kubiarkan batu-batu itu bergulir dari jemariku, dan kutunggu sampai aku mendengar batu-batu itu jatuh dengan bunyi pelan di atas tubuh Walter yang tampak samar-samar dalam kuburan gelap dan dalam itu.
Begitu Ian melangkah mundur, Andy langsung bekerja. Ia menyekop gundukan tanah pucat berdebu yang menumpuk beberapa puluh sentimeter jauhnya, lalu memasukkannya ke lubang. Muatan sekop itu jatuh dengan bunyi berdebum, bukan berdesis. Suaranya membuatku kecut.
Aaron melangkah melewati kami dengan sekop lain. Ian berbalik perlahan-lahan dan membopongku pergi untuk memberi mereka tempat. Bunyi berdebum keras tanah yang jatuh menggema di belakang kami. Suara-suara  rendah mulai terdengar. Aku mendengar suara langkah ketika orang-orang berkumpul, berdesak-desakan untuk membahas pemakaman itu.
Aku benar-benar memandang Ian untuk pertama kali ketika ia berjalan kembali ke Kasur gelap di tanah terbuka itu. Ekspresinya seakan salah tempat, dan bukan miliknya. Wajah Ian dikotori debu pucat, ekspresinya lelah, dan aku pernah melihat wajahnya seperti itu sebelumnya. Aku tak bisa ingat kapan, ketika Ian meletakkanku kembali ke atas Kasur dan perhatianku teralihkan. Apa yang seharusnya kulakukan di luar sini, di tempat terbuka? Tidur? Doc berada persis di belakang kami; Doc dan Ian sama-sama berlutut di pasir di sebelahku.
“Bagaimana perasaanmu?” tanya Doc, meraba bagian samping tubuhku.
Aku ingin duduk, tapi Ian menekan bahuku ketika aku mencoba.
“Aku baik-baik saja. Kurasa aku bisa berjalan…”
“Tak perlu memaksakan diri. Istirahatkan kaki itu selama beberapa hari, oke?” Doc menarik kelopak mataku ke atas, dan menyorotkan senter mungilnya ke sana. Mata kananku melihat refleksi cemerlang yang menari-nari di wajah Doc. Doc mengalihkan pandangan dari cahaya itu, menjauh beberapa senti. Tangan Ian di bahuku tetap tidak bergerak. Itu mengejutkanku.
“Hmm. Itu tidak membantu diagnosis, bukan? Bagaimana kepalamu?” tanya Doc.
“Sedikit pening. Tapi kurasa karena obat-obatan yang kau berikan kepadaku, bukan karena lukanya. Aku tidak suka obat-obatan itu—kurasa aku lebih suka merasakan sakit.”
Doc meringis. Begitu juga Ian.
“Apa?” desakku.
“Aku hendak membuatmu tak sadarkan diri lagi, Wanda. Maaf.”
“Tapi… mengapa?” bisikku. “Aku tidak sesakit itu. Aku tidak ingin—“
“Kami harus membawamu kembali ke dalam,” ujar Ian, menyelaku. Suaranya rendah, seakan tak ingin yang lain mendengar. Aku bisa mendengar suara-suara di belakang kami, menggema pelan dari batu-batu. “Kami berjanji… kau akan tidak sadarkan diri.”
“Tutup saja mataku lagi.”
Doc mengeluarkan jarum suntik mungil dari saku. Isinya tinggal seperempat. Aku menjauh, mendekatkan diri pada Ian. Tangannya di bahuku menahanku.
“Kau mengenal gua itu dengan sangat baik,” gumam Doc. “Mereka tak ingin kau punya peluang untuk menebak…”
“Tapi ke mana aku akan pergi?” bisikku. Suaraku panic. “Kalaupun aku tahu jalan keluar? Mengapa aku ingin pergi sekarang?”
“Kalau itu menenangkan pikiran mereka…,” ujar Ian.
Doc meraih pergelangan tanganku, dan aku tidak melawan. Aku berpaling ketika jarum menusuk kulitku. Kupandang Ian. Matanya kelam dalam gelap, dan menegang ketika aku menuduhnya sebagai pengkhianat dengan tatapanku.
“Maaf,” gumam Ian. Itu hal terakhir yang kudengar.







The Host - Bab 33

0 comments
DIRAGUKAN



Kembali terdengar suara tercebur. Bobot Kyle menyiksa lenganku.
“Wanda? Wanda!”.
“Tolong! Kyle! Lantainya! Tolong!”
Wajahku menekan batu pilar, mataku mengarah ke lubang masuk gua. Cahaya di atas kepala menyorot terang ketika fajar menyingsing. Aku menahan napas. Kedua lenganku seakan berteriak.
“Wanda! Kau di mana?”
Ian melompat melewati pintu. Senapan ada di kedua tangannya. Posisinya rendah dan siaga. Wajah Ian berupa topeng kemarahan yang tadi dikenakan kakaknya.
“Awas!” teriakku. “Lantainya runtuh! Aku tak bisa menahan Kyle lebih lama lagi!”
Perlu dua detik yang lama bagi Ian untuk mencerna adegan yang begitu berbeda dengan adegan yang tadi diharapkannya: Kyle mencoba membunuhku. Adegan itu baru saja berakhir beberapa detik yang lalu.
Lalu Ian melempar senapIan  itu ke lantai gua dan berjalan ke arahku dengan langkah panjang.
“Merangkak—sebarkan bobot tubuhmu!”
Ian menjatuhkan tubuhnya, lalu merangkak menghampiriku, matanya membara dalam cahaya fajar.
“Jangan dilepaskan,” ujarnya mengingatkan.
Aku mengerang kesakitan.
Ian menilai situasinya sedetik lagi, lalu merapatkan tubuhnya di belakang tubuhku, mendorongku semakin rapat pada pilar. Lengannya lebih panjang. Bahkan dengan tubuhku di tengah-tengah, ia mampu merangkulkan kedua tangannya pada tubuh kakaknya.
“Satu, dua, tiga,” geram Ian.
Ian menarik Kyle ke pilar, jauh lebih aman daripada yang kulakukan. Gerakan Ian menekan wajahku ke pilar. Tapi itu sisi wajahku yang cedera—tak mngkin bisa lebih parah lagi saat ini.
“Aku akan menariknya ke sisi sebelah sini. Kau bisa menyelinap keluar?”
“Akan kucoba.”
Kulonggarkan peganganku pada Kyle, merasakan nyeri yang melegakan di bahuku, dan kupastikan Ian memegangi tubuh Kyle. Lalu aku menggeliat keluar dari antara Ian dan pilar, berhati-hati agar tidak meletakkan diriku di bagian lantai yang berbahaya. Aku merangkak mundur beberapa puluh sentimeter menuju pintu, siap mencengkeram Ian seandainya ia mulai tergelincir.
Ian menarik kakaknya yang tak sadarkan diri ke sisi lain pilar, menyeretnya dengan tersentak-sentak, tiga puluh sentimeter setiap sentakan. Semakin banyak lantai yang ambruk, tapi fondasi pilar tetap utuh. Terbentuk lapisan baru sekitar enam puluh sentimeter dari kolam batu.
Ian merangkak mundur seperti yang kulakukan, menyeret kakaknya dengan sentakan-sentakan pendek otot dan kemauan keras. Dalam hitungan menit kami bertiga sudah berada di mulut koridor, aku dan Ian tersengal-sengal.
“Apa… yang… terjadi?”
“Bobot kami… terlalu… berat. Lantainya runtuh.”
“Apa yang kaulakukan… di pinggirnya? Bersama Kyle?”
Aku menunduk, dan aku berkonsentrasi pada napasku.
Nah, katakan kepadanya.
Lalu apa yang akan terjadi?
Kau tahu apa yang akan terjadi. Kyle melanggar peraturan. Jeb akan menembaknya, atau mereka akan menendangnya keluar. Mungkin Ian akan menghajarnya lebih dulu. Itu akan menyenangkan untuk dilihat.
Melanie tidak bersungguh-sungguh dengan kata-katanya—bagaimanapun, aku menganggapnya begitu. Ia hanya marah kepadaku karena mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan calon pembunuh kami.
Tepat sekali, kataku kepadanya. Dan seandainya mereka menendang Kyle keluar karena diriku… atau membunuhnya… Aku bergidik. Nah, tidakkah kau bisa melihat betapa tidak masuk akalnya itu? Kyle salah satu dari kalian.
Kita punya kehidupan di sini, Wanda. Dan kau membahayakan kehidupan itu.
Itu kehidupanku juga. Dan aku… well, aku adalah aku.
Melanie mengerang muak.
“Wanda?” desak Ian.
“Tak ada,” gumamku.
“Kau pembohong yang payah. Kau tahu itu, kan?”
 Aku tetap menunduk dan bernapas.
“Apa yang dilakukan Kyle?”
“Tak ada,” ujarku berbohong. Dengan buruk.
Ian meletakkan tangannya ke bawah daguku, mendongakkan wajahku. “Hidungmu berdarah.” Ia memiringkan kepalaku ke samping. “Dan ada lebih banyak darah di rambutmu.”
“Aku—kepalaku terbentur ketika lantainya runtuh.”
“Di kedua sisi?”
Aku mengangkat bahu.
Ian memelototiku cukup lama. Kegelapan terowongan membuat kilatan matanya suram.
“Kita harus mengantar Kyle kepada Doc—kepalanya terbentur keras sekali ketika terjatuh.”
“Mengapa kau melindunginya? Dia mencoba membunuhmu.”
Itu pernyataan berdasarkan fakta, bukan pertanyaan. Wajah Ian pelan – pelan berubah dari marah jadi takut. Ia sedang membayangkan apa yang kami lakukan di lapisan tidak stabil itu—bisa kulihat hal itu di matanya. Ketika aku tidak menjawab ia bicara lagi dengan berbisik. “Kyle hendak melemparkanmu ke dalam sungai….” Getaran aneh mengguncang tubuhnya.
Ian memeluk Kyle dengan sebelah lengan—dan roboh dengan posisi seperti itu, tampaknya terlalu lelah untuk bergerak. Kini Ian mendorong tubuh tak sadar kakaknya dengan kasar, lalu menjauh dengan jijik. Ia mendekatiku dan memeluk bahuku. Ditariknya tubuhku ke dadanya—bisa kurasakan napasnya keluar-masuk, masih terengah-engah.
Rasanya sangat aneh.
“Seharusnya kugulingkan Kyle kembali ke sana, lalu kutendang dari pinggir lubang.”
Aku menggeleng panik, kepalaku berdenyut-denyut nyeri. “Tidak.”
“Menghemat waktu. Jeb sudah menjelaskan peraturannya. Jika mencoba melukai seseorang di sini, akan ada hukuman. Akan ada pengadilan.”
Aku mencoba melepaskan diri dari Ian, tapi ia mempererat pelukannya. Tidak menakutkan, tidak seperti cara Kyle mencengkeramku, tapi mengkhawatirkan—merusak keseimbanganku. “Tidak. Kau tak bisa melakukannya, karena tak seorang pun melanggar peraturan. Lantainya runtuh. Itu saja.”
“Wanda—“
“Kyle kakakmu.”
“Dia tahu apa yang dia lakukan. Ya. Dia kakakku, tapi dia melakukan apa yang dilakukannya, dan kau… kau… temanku.”
“Dia tidak melakukan apa-apa. Dia manusia,” bisikku.” Ini tempatnya, bukan tempatku.”
“Kita tidak akan membahas ini lagi. Definisimu mengenai manusia tidak sama dengan definisiku. Bagimu, manusia berarti sesuatu yang… negatf. Bagiku, itu pujian. Dan berdasarkan definisiku, kau manusia dan Kyle bukan. Tidak lagi, setelah kejadian ini.”
“Manusia tidak berarti negative bagiku. Aku sudah mengenal kalian sekarang. Tapi, Ian, dia kakakmu.”
“Fakta yang membuatku malu.”
Kudorong kembali tubuhku dari Ian. Kali ini ia melepaskanku. Mungkin ada hubungannya dengan erang kesakitan yang keluar dari bibirku ketika aku menggerakkan kaki.
“Kau baik-baik saja?”
“Kurasa begitu. Kita perlu mencari Doc, tapi aku tak tahu apakah aku bisa jalan. Aku—kakiku terbentur ketika aku terjatuh.”
Suara geraman mencekik tenggorokan Ian. “Kaki yang mana? Biar kulihat.”
Aku mencoba meluruskan kakiku yang cedera—sebelah kanan—dan kembali mengerang. Ian meraba-raba pergelangan kakiku, memeriksa tulang dan persendian. Ia memutar pergelangan kakiku dengan hati-hati.
“Lebih ke atas. Di sini.” Kutarik tangannya ke belakang paha, persis di atas lutut. Aku kembali mengerang ketika Ian menekan bagian yang sakit. “Kurasa tidak patah atau semacam itu. Hanya rasanya sakit sekali.”
“Setidaknya memar otot yang parah,” gumam Ian. “Dan bagaimana terjadinya?”
“Sepertinya… aku mendarat di atas batu ketika terjatuh.”
Ian mendesah. “Oke, ayo pergi menemui Doc.”
“Kyle lebih memerlukan Doc daripadaku.”
“Bagaimanapun, aku harus mencari Doc—atau bantuan. Aku tidak bisa membopong Kyle sejauh itu, tapi aku pasti bisa membopongmu. Uups—tunggu.”
Ian berbalik cepat, lalu merunduk kembali ke dalam ruang bersungai. Aku memutuskan untuk tidak membantah. Aku ingin menemui Walter sebelum… Doc sudah berjanji akan menungguku. Apakah dosis pertama penghilang nyeri itu begitu cepat menghilang?  Kepalaku melayang-layang. Ada begitu banyak kekhawatiran, dan aku sangat lelah. Adrenalinnya sudah habis, meninggalkanku dalam kehampaan.
Ian kembali dengan senapan. Aku memberengut, karena ini mengingatkanku bahwa aku tadi mengharapkan benda itu. Aku tidak suka itu.
“Ayo, pergi.”
Tanpa berpikir Ian menyerahkan senapan kepadaku. Kubiarkan benda itu jatuh ke telapak tanganku yang terbuka, tapi aku tak mampu menggenggamnya. Kuputuskan bahwa keharusan membawa senapan merupakan hukuman yang sesuai untukku.
Ian tergelak. “Bagaimana mungkin orang bisa takut padamu…,” gumamnya kepada diri sendiri.
Ia mengangkat tubuhku dengan mudah, dan langsung bergerak sebelum aku siap. Aku berusaha agar bagian-bagian tubuhku yang paling peka—tengkukku, bagian belakang kakiku—tidak terlalu keras menekan tubuh Ian.
“Kok pakaianmu bisa sebasah ini?” tanyanya. Kami sedang lewat di bawah salah satu lubang cahaya seukuran kepalan tangan, dan aku bisa melihat sedikit senyum masam di bibir Ian yang pucat.
“Aku tak tahu,” gumamku. “Uap?”
Kami kembali melintasi kegelapan.
“Sepatumu hilang satu.”
“Oh.”
Kami melewati sorotan cahaya lagi, dan mata Ian berkilat-kilat biru safir. Mata itu kini serius, terpaku pada wajahku.
“Aku… sangat senang kau tidak cedera, Wanda. Cedera lebih parah, maksudku.”
Aku tidak menjawab. Aku takut memberinya sesuatu yang bisa digunakan untuk menyerang Kyle.
Jeb menemukan kami tepat sebelum kami memasuki ruang gua besar. Ada cukup banyak cahaya bagiku untuk menangkap kilau tajam rasa penasaran di matanya ketika melihatku di pelukan Ian, dengan wajah berdarah, dan senapan tergeletak di kedua tanganku yang terbuka.
“Kalau begitu kau benar,” tebak Jeb. Rasa penasarannya kuat, tapi nada dingin di dalam suaranya lebih kuat. Rahangnya terkatup di balik janggut. “Aku tidak mendengar suara tembakan. Kyle?”
“Dia tak sadarkan diri,” ujarku cepat-cepat. “Kau perlu memperingatkan semua orang—sebagian lantai runtuh di ruang bersungai. Aku tidak tahu seberapa stabilnya lantai itu sekarang. Kepala Kyle terbentur sangat keras ketika berusaha menyingkir. Dia perlu Doc.”
mengangkat sebelah alisnya sangat tinggi, sampai nyaris menyentuh bandana pudar di garis rambutnya.
“Itu versi Wanda,” ujar Ian, tanpa berusaha menyembunyikan keraguannya. “Dan sepertinya dia memegangnya dengan teguh.”
Jeb tertawa. “Biar kuambil benda itu dari tanganmu,” katanya kepadaku.
Dengan senang hati kubiarkan Jeb mengambil senapannya. Ia tertawa melihat ekspresiku.
“Aku akan mengajak Andy dan Brandt membantuku membawa Kyle. Kami akan mengikuti di belakangmu.”
“Awasi Kyle ketika tersadar,” ujar Ian dengan nada keras.
“Pasti.”
Jeb pergi mencari lebih banyak bantuan. Ian bergegas membawaku ke gua rumah sakit.
“Kyle mungkin terluka parah… Jeb harus bergegas.”                                                                                                                       
“Kepala Kyle lebih keras daripada semua batu di tempat ini.”
Terowongan panjang itu terasa lebih panjang daripada biasanya. Apakah Kyle sekarat walaupun aku sudah berusaha menyelamatkannya? Apakah ia kembali tersadar dan mencariku? Bagaimana dengan Walter? Apakah ia sedang tidur… atau sudah pergi? Apakah Pencari sudah menghentikan perburuannya, atau apakah ia akan kembali, karena sekarang hari sudah kembali terang?
Apakah Jared masih bersama Doc? Melanie bertanya. Apakah ia bakal marah ketika melihatmu? Akankah ia mengenaliku?
Ketika kami mencapai gua selatan yang diterangi cahaya matahari, Jared dan Doc tampak seakan-akan belum banyak bergerak. Mereka bersandar, berdampingan, di meja buatan Doc. Keadaan hening ketika kami mendekat. Mereka tidak bicara, hanya mengamati Walter tidur. Mereka terlompat dengan mata terbelalak ketika Ian membopongku ke dalam cahaya dan membaringkanku di dipan di samping Walter. Ia meluruskan kaki kananku dengan hati-hati.
Walter sedang mendengkur. Suara itu mengurangi sebagian keteganganku.
“Ada apa lagi ini?” desak Doc marah. Setelah melontarkan kata-kata itu ia langsung membungkuk di atas tubuhku. Lalu mengusap darah di pipiku.
Wajah Jared terpaku kaget. Ia berhati-hati, tidak membiarkan ekspresinya menunjukkan sesuatu yang lain.
“Kyle,” jawab Ian, pada saat yang sama ketika aku mengucapkan, “Lantainya—“
Doc memandang kami silih berganti, kebingungan.
Ian mendesah dan memutar bola mata. Tanpa sadar ia menyentuh ringan keningku. “Lantainya runtuh di dekat lubang sungai pertama. Kyle jatuh dan kepalanya menghantam batu. Wanda menyelamatkan hidupnya yang tak berguna itu. Menurut Wanda, dia juga terjatuh ketika lantainya runtuh.” Ian memandang Doc penuh arti. “Sesuatu,” diucapkannya kata itu dengan nada menyindir,” menghantam bagian kepala Wanda cukup keras.” Ian mulai menyebutkannya satu per satu. “Hidungnya berdarah, tapi kurasa tidak patah. Ototnya terluka di sini.” Ia menyentuh pahaku yang cedera. “Kedua lututnya tergores cukup parah. Juga wajahnya, sekali lagi, tapi kurasa aku yang melakukannya, ketika mencoba menarik Kyle keluar dari lubang. Seharusnya aku tak perlu repot-repot.” Ian menggumamkan bagian terakhir itu.
“Ada lagi?” Tanya Doc. Jari-jarinya meraba sisi tubuhku, dan mencapai bagian yang dipukul Kyle. Aku menghela napas kesakitan.
Doc menarik kemejaku ke atas, dan kudengar Ian serta Jared mendesis ketika melihatnya.
“Biar kutebak,” ujar Ian dengan suara sedingin es. “Kau terjatuh di atas batu.”
“Tebakan jitu,” kataku mengiyakan, kehabisan napas. Doc masih menyentuh sisi tubuhku, dan aku mencoba menahan erangan.
“Mungkin rusuknya ada yang patah, aku tak yakin,” gumam Doc. “Kuharap aku bisa memberimu sesuatu untuk menghilangkan rasa sakitnya—“
“Jangan khawatir, Doc,” ujarku terengah-engah. “Aku baik-baik saja. Bagaimana Walter? Apakah dia terbangun?”
“Tidak. Perlu beberapa waktu untuk menghilangkan dosisinya,” ujar Doc. Ia meraih tanganku dan mulai menekuk pergelangan tangan dan sikuku.
“Aku baik-baik saja.”
Mata Doc yang baik hati tampak lembut ketika membalas tatapanku. “Kau akan baik-baik saja. Kau hanya perlu beristirahat selama beberapa waktu. Aku akan mengawasimu. Nah, tengokkan kepalamu.”
Aku mematuhi permintaannya, lalu mengernyit ketika Doc meneliti lukaku.
“Jangan di sini,” gumam Ian.
Aku tidak bisa melihat Doc, tapi Jared memandang Ian dengan tajam.
“Mereka akan membawa Kyle ke sini. Aku tidak mau Wanda dan Kyle berada di ruangan yang sama.”
Doc mengangguk. “Mungkin itu bijaksana.”
“Akan kusiapkan tempat untuk Wanda. Aku memerlukanmu untuk mengawasi Kyle di sini sampai… sampai kita putuskan apa yang harus kita lakukan padanya.”
Aku mulai bicara, tapi Ian meletakkan jemarinya di bibirku.
“Baiklah,” ujar Doc setuju. “Aku akan mengikat Kyle, jika kau mau.”
“Jika perlu. Apakah tidak apa-apa memindahkan Wanda?” Ian melirih kea rah terowongan, wajahnya cemas.
Doc bimbang.
“Tidak,” bisikku. Jemari Ian masih menyentuh bibirku. “Walter. Aku ingin berada di sini untuk  Walter.”
“Kau telah menyelamatkan semua kehidupan yang bisa kau selamatkan hari ini, Wanda,” ujar Ian. Suaranya lembut dan sedih.
“Aku ingin mengucapkan… mengucapkan selamat—selamat tinggal.”
Ian mengangguk. Lalu ia memandang Jared. “Bisakah aku memercayaimu?”
Wajah Jared memerah karena amarah. Ian mengangkat tangan. “Aku tak ingin meninggalkan Wanda di sini tanpa perlindungan, sementara aku mencari tempat yang aman untuknya,” ujar Ian.
“Aku tidak tahu apakah Kyle dalam keadaan sadar ketika tiba. Seandainya Jeb menembaknya, itu akan membuat Wanda sedih. Tapi kau dan Doc harus bisa menangani Kyle. Aku tidak ingin Doc sendirian, dan memaksa Jeb melakukannya.”
Jared bicara dengan gigi dikertakkan. “Doc tidak akan sendirian.”
Ian bimbang. “Wanda mengalami hal-hal sangat buruk beberapa hari terakhir. Ingat itu.”
Jared mengangguk, dengan gigi masih dikertakkan.
“Aku akan berada di sini,” ujar Doc mengingatkan Ian.
Ian membalas tatapan Doc. “Oke.” Ia membungkuk di atas tubuhku, mata cemerlangnya menatapku. “Aku akan segera kembali. Jangan takut.”
“Aku tidak takut.”
Ian membungkuk dan menyentuhkan bibirnya di keningku.
Tak seorang pun lebih terkejut daripada aku, walaupun aku mendengar Jared diam-diam menghela napas kaget. Mulutku terbuka ketika Ian bergegas pergi, nyaris berlari, dari ruangan itu.
Kudengar Doc menghela napas melalui sela-sela gigi, seperti siulan terbalik. “Well,” katanya.
Mereka menatapku untuk waku lama. Aku begitu lelah dan sakit sehingga nyaris tak memedulikan apa yang mereka pikirkan.
“Doc—“ Jared mulai mengucapkan sesuatu dengan nada mendesak, tapi keributan di dalam terowongan mengganggunya.
Lima lelaki berjuang melewati lubang pintu. Jeb di depan, memegangi kaki kiri Kyle dengan dua tangan. Wes memegangi kaki kanan Kyle, dan di belakang mereka, Andy dan Aaron berjuang mengangkat dada Kyle. Kepala Kyle terkulai ke belakang di bahu Andy.
“Astaga, berat sekali,” gerutu Jeb.
Jared dan Doc melompat maju untuk membantu. Setelah beberapa menit memaki dan mengerang, Kyle terbaring di dipan beberapa puluh sentimeter dari dipanku.j
“Sudah berapa lama dia tak sadarkan diri, Wanda?” Tanya Doc kepadaku. Ia membuka kelopak mata Kyle, membiarkan cahaya matahari menyinari pupil matanya.
“Um…” aku berpikir cepat. “Sama lamanya dengan keberadaanku disini, ditambah sepuluh menit atau lebih yang diperlukan Ian untuk membawaku kemari, dan mungkin lima menit lagi sebelum itu.”
“Setidaknya dua puluh menit, menurutmu?”
“Ya. Kira-kira selama itu.”
Sementara kami bercakap-cakap, Jeb telah membuat diagnosisnya sendiri. Tak seorang pun memperhatikan ketika Jeb berdiri di ujung atas dipan Kyle. Tak seorang pun memperhatikan—sampai ia menuang sebotol air ke wajah Kyle.
“Jeb,” keluh Doc, seraya menyingkirkan tangan Jeb.
Tapi Kyle terbatuk-batuk dan mengerjap-ngerjapkan mata, lalu mengerang. “Apa yang terjadi? Ke mana makhluk itu pergi?” Ia mulai menggeser tubuhnya, mencoba melihat sekeliling. “Lantainya… bergerak…”
Suara Kyle membuat jemariku mencengkeram sisi dipan, dan kepanikan menyapu wajahku. Kakiku sakit. Bisakah aku pergi dengan terpincang-pincang? Pelan-pelan mungkin…
“Tidak apa-apa,” gumam seseorang. Bukan seseorang. Aku akan selalu mengenali suara itu.
Jared bergerak, berdiri di antara dipanku dan dipan Kyle. Punggungnya menghadapku, matanya terarah pada lelaki bongsor itu. Kyle menggerakkan kepalanya sambal mengerang.
“Kau aman,” ujar Jared pelan. Ia tidak memandangku. “Jangan takut.”                  
Aku menghela napas panjang.
Melanie ingin menyentuh Jared. Tangan lelaki itu berada di dekat tanganku, tergeletak di pinggir dipanku.
Kumohon, jangan, ujarku kepadanya. Wajahku sudah cukup sakit!
Jared tidak akan memukulmu.
Menurutmu. Aku tidak mau mengambil risiko.
Melanie mendesah; ia ingin mendekati Jared. Takkan terlalu berat untuk ditanggungkan, seandainya aku tidak menginginkan hal yang sama.
Melanie kembali mendesah.
“Aw, sialan!” gerutu Kyle. Pandanganku beralih kepadanya, ketika mendengar nada suaranya. Aku hanya bisa melihat mata cemerlangnya, di sekitar siku jared, terpusat padaku. “Makhluk itu tidak terjatuh!” keluhnya.






Jual Nugget dan Sosis Sayur

Jual Nugget dan Sosis Sayur
Pemesanan via email : lwati111@gmail.com

The Host- Bab 34

0 comments
DIMAKAMKAN



Jared menerjang maju, menjauhiku. Dengan suara gedebuk keras, tinjunya menghantam wajah Kyle.
Mata Kyle berputar ke belakang, mulutnya terbuka.
Selama beberapa detik ruangan sangat hening.
“Um,” ujar Doc pelan, “secara medis, aku tak yakin apakah itu tindakan yang paling membantu untuk kondisinya.”
“Tapi aku merasa lebih baik,” jawab Jared muram.
Doc tersenyum kecil. “Well, beberapa menit ketidaksadaran mungkin takkan membunuhnya.”
Doc mulai memeriksa bagian bawah kelopak mata Kyle lagi, mengukur denyut nadinya…
“Apa yang terjadi?” Wes berada di dekat kepalaku, berbisik.
“Kyle mencoba membunuh makhluk itu,” jawab Jared, sebelum aku bisa menjawab. “Tidak mengejutkan, bukan?”
“Memang,” gumamku.
Wes memandang Jared.
“Tampaknya altruisme muncul lebih alami pada mahluk itu dibandingkan kebohongan,” ujar Jared.
“Apakah kau sedang mencoba bersikap menjengkelkan?” desakku.
Kesabaranku bukannya berkurang, melainkan lenyap seluruhnya. Sudah berapa lama aku tidak tidur? Satu-satunya yang lebih menyakitkan daripada kakiku adalah kepalaku. Setiap tarikan napas membuat sisi tubuhku sakit. Kusadari, dengan agak terkejut, bahwa suasana hatiku benar-benar buruk. “Karena seandainya demikian, maka yakinlah, kau berhasil.”
Jared dan Wes memandangku dengan mata terkejut. Aku yakin, seandainya bisa melihat yang lain, ekspresi mereka juga bakal serupa. Mungkin Jeb tidak. Ia ahli dalam memperlihatkan wajah tanpa ekspresi.
“Aku perempuan,” keluhku. “Istilah ‘mahluk itu’ benar-benar membuatku jengkel.”
Jared mengerjap terkejut. Lalu wajahnya kembali membentuk garis-garis keras. “Karena tubuh yang kau kenakan?”
Wes memelototinya.
“Karena aku perempuan,” desisku.
“Berdasarkan definisi siapa?”
“Bagaimana kalau definisimu? Pada spesiesku, akulah yang melahirkan. Bukankah itu cukup perempuan bagimu?”
Perkataanku langsung membungkam Jared. Aku nyaris merasa bangga terhadap diriku sendiri.
Memang sudah seharusnya, ujar Melanie setuju. Ia keliru, dan bersikap menjengkelkan soal itu.
Terima kasih.
Sebagai sesame perempuan, kita harus bersatu.
“Itu kisah yang belum pernah kauceritakan kepada kami,” gumam Wes, sementara Jared berjuang mencari bantahan. “Bagaimana cara kerjanya?”
Wajah zaitun Wes semakin gelap, seakan ia baru saja menyadari kata-kata itu telah diucapkan keras-keras. “Maksudku, kurasa kau tidak perlu menjawab jika pertanyaanku tidak sopan.”
Aku tertawa. Suasana hatiku berganti-ganti dengan liar, tak terkendali. Mabuk karena kurang tidur, seperti kata Melanie. “Tidak, kau  menanyakan sesuatu… yang tidak pantas. Kami tidak punya pengaturan terperinci… dan rumit… seperti spesies kalian.” Aku kembali tertawa, lalu merasakan wajahku menghangat. Kuingat dengan sangat jelas betapa rumitnya pengaturan itu.
Jangan berpikir kotor.
Itu pikiranmu, ujarku mengingatkan Melanie.
Aku mendesah. “Hanya ada beberapa dari kami yang menjadi… Ibu. Itu sebutan mereka untuk kami. Bukan ibu yang sesungguhnya, tapi kami berpotensi menjadi Ibu…” Aku kembali serius, merenungkannya. Tak ada ibu, tak ada ibu yang bertahan hidup, yang ada hanyalah ingatan-ingatan tentang mereka.
“Kau punya potensi itu?” tanya Jared kaku.
Aku tahu yang lain mendengarkan. Bahkan Doc menghentikan tindakannya meletakkan telinga di dada Kyle.
Aku tidak menjawab pertanyaan Jared. “Kami… agak menyerupai kawanan lebah, atau semut. Banyak sekali anggota keluarga yang tidak memiliki jenis kelamin, lalu ada ratu…”
“Ratu?” ulang Wes, memandangku dengan ekspresi aneh.
“Bukan seperti itu. Tapi hanya ada satu ibu untuk setiap lima sampai sepuluh ribu bangsaku. Terkadang kurang dari itu. Tak ada peraturan yang ketat.”
“Ada berapa banyak pejantan?” tanya Wes.
“Oh, tidak—tidak ada pejantan. Tidak. Sudah kubilang, prosesnya lebih sederhana.”
Mereka menungguku menjelaskan. Aku menelan ludah. Seharusnya aku tidak mengangkat topic ini. Aku tak ingin membicarakannya lagi. Apakah benar-benar menjadi masalah jika Jared memanggilku “mahluk itu”?
Mereka masih menunggu. Aku memberengut, tapi lalu bicara. Akulah yang memulai topic ini. “Ibu… membelah diri. Setiap… selnya—kurasa bisa kaubilang begitu, walaupun struktur kami tidak sama seperti struktur kalian—menjadi jiwa yang baru. Setiap jiwa yang baru membawa sedikit ingatan ibunya—sebagian dari ibunya yang tertinggal.”
“Berapa banyak sel?” tanya Doc penasaran. “Berapa banyak anak?”
Aku mengangkat bahu. “Sekitar satu juta.”
Sejauh pandanganku, semua mata membelalak dan tampak sedikit lebih liar. Aku mencoba untuk tidak merasa terlukka ketika Wes menjauh dariku.
Doc bersiul pelan. Ia satu-satunya yang masih tertarik untuk melanjutkan. Aaron dan Andy menunjukkan ekspresi cemas, bingung. Mereka belum pernah mendengarku mengajar. Belum pernah mendengarku bicara begitu banyak.
“Kapan itu terjadi? Adakah semacam katalisator?” tanya Doc.
“Itu pilihan. Pilihan sukarela,” jawabku. “Satu-satunya cara kami untuk memilih kematian dengan sukarela. Semacam pertukaran, demi generasi baru.”
“Kau bisa memilihnya sekarang? Membelah semua selmu, begitu saja?”
“Tidak persis seperti itu, tapi ya.”
“Rumitkah?”
“Yang rumit adalah keputusannya. Prosesnya… menyakitkan.”
“Menyakitkan?”
Mengapa Doc harus seterkejut itu? Bukankah hal yang sama terjadi pada bangsanya?
Dasar laki-laki, dengus Melanie.
“Menyiksa,” jawabku. “Kami semua ingat apa yang dialami ibu kami.”
Doc mengusap-usap dagu, terpukau. “Aku ingin tahu, itu jalur evolusi macam apa… menghasilkan masyarakat lebah dengan ratu yang bunuh diri…” Ia terhanyut dalam rangkaian pikiran yang lain.
“Altruisme,” gumam Wes.
“Hmm,” ujar Doc. “Ya, tepat.”
Kupejamkan mata, berharap mulutku tetap mengatup. Kepalaku pening. Apakah aku hanya lelah atau apakah itu karena luka di kepalaku?
“Oh,” gumam Doc. “Tidurmu bahkan lebih sedikit daripada tidurku, bukan, Wanda? Kami harus membiarkanmu istirahat.”
“Aku baik-baik saja,” gumamku, tanpa membuka mata.
“Hebat sekali,” bisik seseorang. “Kita punya mahluk luar angkasa, ibu ratu terkutuk, yang tinggal bersama kita. Dia bisa meledak menjadi sejuta serangga baru setiap saat.”
“Sst.”
“Mereka takkan bisa melukai kalian,” ujarku, kepada siapa pun yang baru saja bicara, tanpa membuka mata. “Tanpa tubuh inang, mereka mati dengan cepat.” Aku mengernyit, membayangkan kedukaan yang tak terbayangkan. Sejuta jiwa mungil tak berdaya, bayi perak mungil, layu…
Tak seorang pun berkomentar, tapi bisa kurasakan kelegaan mereka.
Aku lelah sekali. Aku tak peduli Kyle berada satu meter dariku. Aku tak eduli dua di antara para lelaki di ruangan ini akan membela Kyle jika ia sudah tersadar. Aku tidak memedulikan apa pun, kecuali tidur.
Tentu saja Walter terbangun tepat pada saat itu.
“Uuuh,” erangnya, hanya berupa bisikan. “Gladdie?”
Sambil mengerang aku berguling ke arahnya. Rasa sakit di kakiku membuatku mengernyit, tapi aku tak mampu memutar tubuh. Kuulurkan tangan, dan kutemukan tangannya.
“Di sini,” bisikku.
“Ahhh.” Walter mendesah penuh kelegaan.
Doc menyuruh para lelaki yang mulai memprotes untuk diam.
“Wanda telah mengorbankan tidur dan kedamaiannya untuk membantu mengurangi Walter mengurangi rasa sakit. Kedua tangannya memar-memar akibat memegangi tangan Walter. Apa yang sudah kalian perbuat untuk Walter?”
Walter kembali mengerang. Suaranya mula-mula rendah dan parau, tapi dengan cepat berubah jadi erangan bernada tinggi.
Doc mengernyit. “Aaron, Andy, Wes… maukah kaliah, ah, memanggilkan Sharon untukku?”
“Kami semua?”
“Minggat sana,” Jeb menerjemahkan.
(catatanku: “I really love uncle Jeb… hehehe”)
Satu-satunya jawaban yang terdengar hanyalah suara kaki terseret ketika mereka pergi.
“Wanda,” bisik Doc di dekat telingaku. “Walter kesakitan. Aku tak bisa membiarkannya sadar sepenuhnya.”
Kucoba untuk bernapas teratur. “Lebih baik baginya jika dia tidak mengenaliku. Lebih baik baginya jika dia mengira Gladdie berada di sini.”
Kubuka mataku. Jeb berada di samping Walter—wajah Walter masih tampak seakan sedang tidur.
“Selamat tinggal, Walt,” ujar Jeb. “Sampai bertemu di dunia lain.”
Ia melangkah mundur.
“Kau lelaki baik. Semua orang akan merasa kehilangan,” gumam Jared.
Doc membuka bungkusan morfin lagi. Kertasnya bergemersik.
“Gladdie?” isak Walter. “Sakit sekali.”
“Ssst. Tak lama lagi sakitnya akan hilang. Doc akan menghentikannya.”
“Gladdie?”
“Ya?”
“Aku mencintaimu, Gladdie. Aku mencintaimu sepanjang hidupku.”
“Aku tahu, Walter. Aku—aku juga mencintaimu. Kau tahu betapa aku mencintaimu.”
Walter mendesah.
Kupejamkan mata ketika Doc membungkuk di atas tubuh Walter dengan membawa jarum suntik.
“Selamat tidur, Sobat,” gumam Doc.
Jemari Walter berubah santai, lemas. Kugenggam kedua tangannya—kini akulah yang menggayuti Walter.
Menit demi menit berlalu dan semuanya hening, kecuali suara napasku ang tersendat, cenderung terisak pelan.
Seseorang menepuk bahuku. “Dia sudah pergi, Wanda,” ujar Doc. Suaranya parau. “Dia sudah tidak kesakitan.”
Doc melepaskan tanganku dari tangan Walter, dan perlahan-lahan menggulingkan tubuhku dari posisi ganjil menjadi posisi yang lebih tidak menyiksa. Tapi hanya sedikit bedanya. Setelah aku tahu Walter takkan terganggu, tangisku tak lagi pelan. Kupegangi pinggangku yang berdenyut-denyut.
“Oh, silahkan. Kalau itu membuatmu senang,” gumam Jared dengan nada menggerutu. Aku mencoba membuka mata, tapi tak bisa melakukannya.
Sesuatu menusuk lenganku. Aku tak ingat lenganku terluka. Dan di tempat aneh, hanya di siku bagian dalam…
Morfin, bisik Melanie.
Kami sudah mulai tak sadarkan diri. Aku mencoba untuk merasa takut, tapi tak bisa. Aku sudah pergi terlalu jauh.
Tak seorang pun mengucapkan selamat tinggal, pikirku. Aku tak bisa mengharapkan Jared… Tapi Jeb… Doc… Ian taka da di sini…
Tak seorang pun mati, janji Melanie kepadaku. Kali ini kau hanya tidur…
#
Ketika aku terbangun, langit-langit di atasku suram diterangi cahaya bintang. Malam hari. Ada banyak bintang. Aku bertanya-tanya di mana aku berada. Tak ada penghalang-penghalang hitam, taka da potongan langit-langit di dalam pandanganku. Hanya bintang dan bintang dan bintang…
Angin mengipasi wajahku. Baunya seperti… debu dan… sesuatu yang tak bisa kupahami. Ketidakhadiran. Bau apak itu tak ada. Tak ada Sulfur, dan udara sangat kering.
“Wanda?” bisik seseorang, seraya menyentuh pipiku yang tidak cedera.
Mataku menemukan wajah Ian, pucat dalam cahaya bintang, membungkuk di atas tubuhku. Tangan Ian yang menyentuh kulitku lebih sejuk daripada angina sepoi-sepoi. Tapi udara sangat kering, sampai terasa tidak nyaman. Di mana aku?
“Wanda? Kau sudah bangun? Mereka tidak mau menungu lebih lama.”
Aku berbisik, karena Ian juga berbisik. “Apa?”
“Mereka sudah mulai. Aku tahu, kau pasti ingin berada di sini.”
“Dia sudah sadar?” tanya Jeb.
“Apa yang sudah dimulai?” tanyaku.
“Pemakaman Walter.”
Aku mencoba duduk, tapi tubuhku lemah. Tangan Ian berpindah ke keningku, membaringkanku.
Kugerakkan kepalaku di bawah telapak tangannya, mencoba melihat…
Aku berada di luar.
Di luar.
Di kiriku tumpukan batu kasar tak beraturan membentuk gunung kecil, lengkap dengan semak-semak pendeknya. Di kananku dataran padang gurun membentang sampai lenyap dalam kegelapan. Aku menunduk, memandang melewati kakiku, dan melihat kerumunan manusia yang merasa tidak nyaman di udara terbuka. Aku tahu persis apa yang mereka rasakan. Terekspos.
Aku mencoba bangkit. Aku ingin berada lebih dekat, untuk menyaksikan. Tangan Ian menahanku.
“Tenanglah,” katanya. “Jangan mencoba berdiri.”
“Bantu aku,” ujarku memohon.
“Wanda?”
Aku mendengar suara Jamie, lalu melihatnya, rambutnya memantul-mantul ketika ia berlari ke tempatku terbaring.
“Mereka tidak menunggu,” ujar Jamie kepada Ian. “Sebentar lagi selesai.”
“Bantu aku berdiri,” kataku.
Jamie meraih tanganku, tapi Ian menggeleng. “Aku bisa.”
Ian menyelipkan kedua lengannya ke bawah tubuhku, dengan sangat berhati-hati, untuk menghindari tempat-tempat yang paling sakit. Ia mengangkatku dari tanah, kepalaku berputar-putar seperti kapal nyaris karam. Aku mengerang.
“Apa yang dilakukan Doc kepadaku?”
“Dia memberimu sedikit morfin yang tersisa, sehingga bisa memeriksa tanpa menyakitimu. Lagi pula kau perlu tidur.”
Aku memberengut, tidak setuju. “Bukankah orang lain akan lebih memerlukan morfin itu?”
“Sst,” ujar Ian, dan aku bisa mendengar suara rendah di kejauhan. Kutolehkan kepalaku.
Aku bisa melihat kumpulan manusia itu lagi. Mereka berdiri di mulut lubang terbuka, rendah, dan gelap, yang dibentuk angina di bawah tumpukan batu yang tampak tidak stabil. Mereka berdiri dalam barisan tak teratur, menghadap gua teduh itu.
Aku mengenali suara Trudy.
“Walter selalu melihat sisi cerah segala sesuatu. Ia bisa melihat sisi cerah lubang hitam. Itu akan kurindukan.”
Kulihat sesosok tubuh melangkah maju, kulihat ayunan kepang rambut hitam keabu-auan ketika sosok itu bergerak, dan aku menyaksikan Trudy melempar segenggam sesuatu ke dalam gelap. Pasir menyebar dari jemarinya, jatuh ke tanah dengan bunyi berdesis perlahan.
Trudy kembali dan berdiri di samping suaminya. Geoffrey bergerak menjauhinya, melangkah maju ke lubang hitam.
“Kini dia akan bertemu Gladys-nya. Dia lebih berbahagia di tempatnya sekarang.” Geoffrey melempar segenggam pasir.
Ian membopongku ke kanan barisan, cukup dekat untuk melihat ke dalam gua suram itu. Ada lubang yang lebih gelap di hadapan kami, bentuknya persegi panjang besar, dan seluruh populasi manusia itu berdiri mengelilinginya, membentuk setengah lingkaran tak beraturan.
Semua ada di sana—semua orang.
Kyle melangkah maju.
Aku gemetar, dan Ian meremas pelan tanganku.
Kyle tidak memandang kea rah kami. Kulihat wajahnya dari samping; mata kanannya bengkak sampai nyaris menutup.
“Walter mati sebagai manusia,” ujar Kyle. “Tak seorang pun dari kami bisa meminta lebih dari itu.” Ia melempar segenggam pasir ke lubang gelap itu.
Lalu Kyle kembali bergabung dengan kelompok itu.
Jared berdiri di sampingnya. Ia melangkah sebentar, berhenti di bibir makam Walter.
“Walter sangat baik hati. Tak seorang pun dari kami bisa menandinginya.” Ia melemparkan pasirnya.
Jamie melangkah maju, Jared menepuk bahunya saat mereka berpapasan.
“Walter pemberani,” ujar Jamie. “Dia tidak takut mati, dia tidak takut hidup, dan… dia tidak takut untuk percaya. Dia membuat keputusan-keputusannya sendiri, dan dia membuat keputusan-keputusan yang baik.” Jamie melemparkan pasirnya. Ia berbalik, berjalan kembali, sepanjang itu matanya terpaku padaku.
“Giliranmtimuu,” bisik Jamie, ketika sudah ada di sampingku.
Andy sudah bergerak maju, dengan sekop di tangan.
“Tunggu,” ujar Jamie, dengan suara rendah yang terdengar di dalam keheningan. “Wanda dan Ian belum mengucapkan apa-apa.”
“Kita harus saling menghormati,” ujar Jeb, suaranya lebih keras daripada suara Jamie. Rasanya terlalu keras buatku.
Insting pertamaku adalah memberi isyarat pada Andy untuk melanjutkan, dan meminta Ian membawaku pergi. Ini duka manusia, bukan dukaku.
Tapi aku memang berduka. Dan aku memang ingin mengatakan sesuatu.
“Ian, bantu aku mengambil pasir.”
Ian berjongkok sehingga aku bisa mengambil segenggam kerikil di kaki kami. Ia memindahkan bobot tubuhku ke lututnya, sehingga ia bisa mengambil pasir juga. Lalu ia menegakkan tubuh dan membopongku ke tepi makam.
Aku tidak bisa melihat ke dalam lubang. Tampak gelap di bawah naungan batu, dan sepertinya makam itu sangat dalam. Ian mulai bicara sebelum aku bisa melakukannya.
“Walter manusia terbaik dan paling bijak,” ujarnya, lalu ia menyebarkan pasirnya ke lubang. Rasanya lama sekali sebelum aku mendengar pasir itu berdesis menimpa dasar lubang.
Ian menunduk memandangku.                  
Suasana benar-benar hening di malam berpenerangan cahaya bintang itu. Bahkan angin pun tenang. Aku berbisik, tapi aku tahu suaraku terdengar semua orang.
“Tak ada kebencian di dalam hatimu,” bisikku. “Keberadaanmu membuktikan kami keliru. Kami tak punya hak untuk mengambil duniamu darimu, Walter. Kuharap dongeng-dongengmu benar. Kuharap kau menemukan Gladdie-mu.”
Kubiarkan batu-batu itu bergulir dari jemariku, dan kutunggu sampai aku mendengar batu-batu itu jatuh dengan bunyi pelan di atas tubuh Walter yang tampak samar-samar dalam kuburan gelap dan dalam itu.
Begitu Ian melangkah mundur, Andy langsung bekerja. Ia menyekop gundukan tanah pucat berdebu yang menumpuk beberapa puluh sentimeter jauhnya, lalu memasukkannya ke lubang. Muatan sekop itu jatuh dengan bunyi berdebum, bukan berdesis. Suaranya membuatku kecut.
Aaron melangkah melewati kami dengan sekop lain. Ian berbalik perlahan-lahan dan membopongku pergi untuk memberi mereka tempat. Bunyi berdebum keras tanah yang jatuh menggema di belakang kami. Suara-suara  rendah mulai terdengar. Aku mendengar suara langkah ketika orang-orang berkumpul, berdesak-desakan untuk membahas pemakaman itu.
Aku benar-benar memandang Ian untuk pertama kali ketika ia berjalan kembali ke Kasur gelap di tanah terbuka itu. Ekspresinya seakan salah tempat, dan bukan miliknya. Wajah Ian dikotori debu pucat, ekspresinya lelah, dan aku pernah melihat wajahnya seperti itu sebelumnya. Aku tak bisa ingat kapan, ketika Ian meletakkanku kembali ke atas Kasur dan perhatianku teralihkan. Apa yang seharusnya kulakukan di luar sini, di tempat terbuka? Tidur? Doc berada persis di belakang kami; Doc dan Ian sama-sama berlutut di pasir di sebelahku.
“Bagaimana perasaanmu?” tanya Doc, meraba bagian samping tubuhku.
Aku ingin duduk, tapi Ian menekan bahuku ketika aku mencoba.
“Aku baik-baik saja. Kurasa aku bisa berjalan…”
“Tak perlu memaksakan diri. Istirahatkan kaki itu selama beberapa hari, oke?” Doc menarik kelopak mataku ke atas, dan menyorotkan senter mungilnya ke sana. Mata kananku melihat refleksi cemerlang yang menari-nari di wajah Doc. Doc mengalihkan pandangan dari cahaya itu, menjauh beberapa senti. Tangan Ian di bahuku tetap tidak bergerak. Itu mengejutkanku.
“Hmm. Itu tidak membantu diagnosis, bukan? Bagaimana kepalamu?” tanya Doc.
“Sedikit pening. Tapi kurasa karena obat-obatan yang kau berikan kepadaku, bukan karena lukanya. Aku tidak suka obat-obatan itu—kurasa aku lebih suka merasakan sakit.”
Doc meringis. Begitu juga Ian.
“Apa?” desakku.
“Aku hendak membuatmu tak sadarkan diri lagi, Wanda. Maaf.”
“Tapi… mengapa?” bisikku. “Aku tidak sesakit itu. Aku tidak ingin—“
“Kami harus membawamu kembali ke dalam,” ujar Ian, menyelaku. Suaranya rendah, seakan tak ingin yang lain mendengar. Aku bisa mendengar suara-suara di belakang kami, menggema pelan dari batu-batu. “Kami berjanji… kau akan tidak sadarkan diri.”
“Tutup saja mataku lagi.”
Doc mengeluarkan jarum suntik mungil dari saku. Isinya tinggal seperempat. Aku menjauh, mendekatkan diri pada Ian. Tangannya di bahuku menahanku.
“Kau mengenal gua itu dengan sangat baik,” gumam Doc. “Mereka tak ingin kau punya peluang untuk menebak…”
“Tapi ke mana aku akan pergi?” bisikku. Suaraku panic. “Kalaupun aku tahu jalan keluar? Mengapa aku ingin pergi sekarang?”
“Kalau itu menenangkan pikiran mereka…,” ujar Ian.
Doc meraih pergelangan tanganku, dan aku tidak melawan. Aku berpaling ketika jarum menusuk kulitku. Kupandang Ian. Matanya kelam dalam gelap, dan menegang ketika aku menuduhnya sebagai pengkhianat dengan tatapanku.
“Maaf,” gumam Ian. Itu hal terakhir yang kudengar.







The Host - Bab 33

0 comments
DIRAGUKAN



Kembali terdengar suara tercebur. Bobot Kyle menyiksa lenganku.
“Wanda? Wanda!”.
“Tolong! Kyle! Lantainya! Tolong!”
Wajahku menekan batu pilar, mataku mengarah ke lubang masuk gua. Cahaya di atas kepala menyorot terang ketika fajar menyingsing. Aku menahan napas. Kedua lenganku seakan berteriak.
“Wanda! Kau di mana?”
Ian melompat melewati pintu. Senapan ada di kedua tangannya. Posisinya rendah dan siaga. Wajah Ian berupa topeng kemarahan yang tadi dikenakan kakaknya.
“Awas!” teriakku. “Lantainya runtuh! Aku tak bisa menahan Kyle lebih lama lagi!”
Perlu dua detik yang lama bagi Ian untuk mencerna adegan yang begitu berbeda dengan adegan yang tadi diharapkannya: Kyle mencoba membunuhku. Adegan itu baru saja berakhir beberapa detik yang lalu.
Lalu Ian melempar senapIan  itu ke lantai gua dan berjalan ke arahku dengan langkah panjang.
“Merangkak—sebarkan bobot tubuhmu!”
Ian menjatuhkan tubuhnya, lalu merangkak menghampiriku, matanya membara dalam cahaya fajar.
“Jangan dilepaskan,” ujarnya mengingatkan.
Aku mengerang kesakitan.
Ian menilai situasinya sedetik lagi, lalu merapatkan tubuhnya di belakang tubuhku, mendorongku semakin rapat pada pilar. Lengannya lebih panjang. Bahkan dengan tubuhku di tengah-tengah, ia mampu merangkulkan kedua tangannya pada tubuh kakaknya.
“Satu, dua, tiga,” geram Ian.
Ian menarik Kyle ke pilar, jauh lebih aman daripada yang kulakukan. Gerakan Ian menekan wajahku ke pilar. Tapi itu sisi wajahku yang cedera—tak mngkin bisa lebih parah lagi saat ini.
“Aku akan menariknya ke sisi sebelah sini. Kau bisa menyelinap keluar?”
“Akan kucoba.”
Kulonggarkan peganganku pada Kyle, merasakan nyeri yang melegakan di bahuku, dan kupastikan Ian memegangi tubuh Kyle. Lalu aku menggeliat keluar dari antara Ian dan pilar, berhati-hati agar tidak meletakkan diriku di bagian lantai yang berbahaya. Aku merangkak mundur beberapa puluh sentimeter menuju pintu, siap mencengkeram Ian seandainya ia mulai tergelincir.
Ian menarik kakaknya yang tak sadarkan diri ke sisi lain pilar, menyeretnya dengan tersentak-sentak, tiga puluh sentimeter setiap sentakan. Semakin banyak lantai yang ambruk, tapi fondasi pilar tetap utuh. Terbentuk lapisan baru sekitar enam puluh sentimeter dari kolam batu.
Ian merangkak mundur seperti yang kulakukan, menyeret kakaknya dengan sentakan-sentakan pendek otot dan kemauan keras. Dalam hitungan menit kami bertiga sudah berada di mulut koridor, aku dan Ian tersengal-sengal.
“Apa… yang… terjadi?”
“Bobot kami… terlalu… berat. Lantainya runtuh.”
“Apa yang kaulakukan… di pinggirnya? Bersama Kyle?”
Aku menunduk, dan aku berkonsentrasi pada napasku.
Nah, katakan kepadanya.
Lalu apa yang akan terjadi?
Kau tahu apa yang akan terjadi. Kyle melanggar peraturan. Jeb akan menembaknya, atau mereka akan menendangnya keluar. Mungkin Ian akan menghajarnya lebih dulu. Itu akan menyenangkan untuk dilihat.
Melanie tidak bersungguh-sungguh dengan kata-katanya—bagaimanapun, aku menganggapnya begitu. Ia hanya marah kepadaku karena mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan calon pembunuh kami.
Tepat sekali, kataku kepadanya. Dan seandainya mereka menendang Kyle keluar karena diriku… atau membunuhnya… Aku bergidik. Nah, tidakkah kau bisa melihat betapa tidak masuk akalnya itu? Kyle salah satu dari kalian.
Kita punya kehidupan di sini, Wanda. Dan kau membahayakan kehidupan itu.
Itu kehidupanku juga. Dan aku… well, aku adalah aku.
Melanie mengerang muak.
“Wanda?” desak Ian.
“Tak ada,” gumamku.
“Kau pembohong yang payah. Kau tahu itu, kan?”
 Aku tetap menunduk dan bernapas.
“Apa yang dilakukan Kyle?”
“Tak ada,” ujarku berbohong. Dengan buruk.
Ian meletakkan tangannya ke bawah daguku, mendongakkan wajahku. “Hidungmu berdarah.” Ia memiringkan kepalaku ke samping. “Dan ada lebih banyak darah di rambutmu.”
“Aku—kepalaku terbentur ketika lantainya runtuh.”
“Di kedua sisi?”
Aku mengangkat bahu.
Ian memelototiku cukup lama. Kegelapan terowongan membuat kilatan matanya suram.
“Kita harus mengantar Kyle kepada Doc—kepalanya terbentur keras sekali ketika terjatuh.”
“Mengapa kau melindunginya? Dia mencoba membunuhmu.”
Itu pernyataan berdasarkan fakta, bukan pertanyaan. Wajah Ian pelan – pelan berubah dari marah jadi takut. Ia sedang membayangkan apa yang kami lakukan di lapisan tidak stabil itu—bisa kulihat hal itu di matanya. Ketika aku tidak menjawab ia bicara lagi dengan berbisik. “Kyle hendak melemparkanmu ke dalam sungai….” Getaran aneh mengguncang tubuhnya.
Ian memeluk Kyle dengan sebelah lengan—dan roboh dengan posisi seperti itu, tampaknya terlalu lelah untuk bergerak. Kini Ian mendorong tubuh tak sadar kakaknya dengan kasar, lalu menjauh dengan jijik. Ia mendekatiku dan memeluk bahuku. Ditariknya tubuhku ke dadanya—bisa kurasakan napasnya keluar-masuk, masih terengah-engah.
Rasanya sangat aneh.
“Seharusnya kugulingkan Kyle kembali ke sana, lalu kutendang dari pinggir lubang.”
Aku menggeleng panik, kepalaku berdenyut-denyut nyeri. “Tidak.”
“Menghemat waktu. Jeb sudah menjelaskan peraturannya. Jika mencoba melukai seseorang di sini, akan ada hukuman. Akan ada pengadilan.”
Aku mencoba melepaskan diri dari Ian, tapi ia mempererat pelukannya. Tidak menakutkan, tidak seperti cara Kyle mencengkeramku, tapi mengkhawatirkan—merusak keseimbanganku. “Tidak. Kau tak bisa melakukannya, karena tak seorang pun melanggar peraturan. Lantainya runtuh. Itu saja.”
“Wanda—“
“Kyle kakakmu.”
“Dia tahu apa yang dia lakukan. Ya. Dia kakakku, tapi dia melakukan apa yang dilakukannya, dan kau… kau… temanku.”
“Dia tidak melakukan apa-apa. Dia manusia,” bisikku.” Ini tempatnya, bukan tempatku.”
“Kita tidak akan membahas ini lagi. Definisimu mengenai manusia tidak sama dengan definisiku. Bagimu, manusia berarti sesuatu yang… negatf. Bagiku, itu pujian. Dan berdasarkan definisiku, kau manusia dan Kyle bukan. Tidak lagi, setelah kejadian ini.”
“Manusia tidak berarti negative bagiku. Aku sudah mengenal kalian sekarang. Tapi, Ian, dia kakakmu.”
“Fakta yang membuatku malu.”
Kudorong kembali tubuhku dari Ian. Kali ini ia melepaskanku. Mungkin ada hubungannya dengan erang kesakitan yang keluar dari bibirku ketika aku menggerakkan kaki.
“Kau baik-baik saja?”
“Kurasa begitu. Kita perlu mencari Doc, tapi aku tak tahu apakah aku bisa jalan. Aku—kakiku terbentur ketika aku terjatuh.”
Suara geraman mencekik tenggorokan Ian. “Kaki yang mana? Biar kulihat.”
Aku mencoba meluruskan kakiku yang cedera—sebelah kanan—dan kembali mengerang. Ian meraba-raba pergelangan kakiku, memeriksa tulang dan persendian. Ia memutar pergelangan kakiku dengan hati-hati.
“Lebih ke atas. Di sini.” Kutarik tangannya ke belakang paha, persis di atas lutut. Aku kembali mengerang ketika Ian menekan bagian yang sakit. “Kurasa tidak patah atau semacam itu. Hanya rasanya sakit sekali.”
“Setidaknya memar otot yang parah,” gumam Ian. “Dan bagaimana terjadinya?”
“Sepertinya… aku mendarat di atas batu ketika terjatuh.”
Ian mendesah. “Oke, ayo pergi menemui Doc.”
“Kyle lebih memerlukan Doc daripadaku.”
“Bagaimanapun, aku harus mencari Doc—atau bantuan. Aku tidak bisa membopong Kyle sejauh itu, tapi aku pasti bisa membopongmu. Uups—tunggu.”
Ian berbalik cepat, lalu merunduk kembali ke dalam ruang bersungai. Aku memutuskan untuk tidak membantah. Aku ingin menemui Walter sebelum… Doc sudah berjanji akan menungguku. Apakah dosis pertama penghilang nyeri itu begitu cepat menghilang?  Kepalaku melayang-layang. Ada begitu banyak kekhawatiran, dan aku sangat lelah. Adrenalinnya sudah habis, meninggalkanku dalam kehampaan.
Ian kembali dengan senapan. Aku memberengut, karena ini mengingatkanku bahwa aku tadi mengharapkan benda itu. Aku tidak suka itu.
“Ayo, pergi.”
Tanpa berpikir Ian menyerahkan senapan kepadaku. Kubiarkan benda itu jatuh ke telapak tanganku yang terbuka, tapi aku tak mampu menggenggamnya. Kuputuskan bahwa keharusan membawa senapan merupakan hukuman yang sesuai untukku.
Ian tergelak. “Bagaimana mungkin orang bisa takut padamu…,” gumamnya kepada diri sendiri.
Ia mengangkat tubuhku dengan mudah, dan langsung bergerak sebelum aku siap. Aku berusaha agar bagian-bagian tubuhku yang paling peka—tengkukku, bagian belakang kakiku—tidak terlalu keras menekan tubuh Ian.
“Kok pakaianmu bisa sebasah ini?” tanyanya. Kami sedang lewat di bawah salah satu lubang cahaya seukuran kepalan tangan, dan aku bisa melihat sedikit senyum masam di bibir Ian yang pucat.
“Aku tak tahu,” gumamku. “Uap?”
Kami kembali melintasi kegelapan.
“Sepatumu hilang satu.”
“Oh.”
Kami melewati sorotan cahaya lagi, dan mata Ian berkilat-kilat biru safir. Mata itu kini serius, terpaku pada wajahku.
“Aku… sangat senang kau tidak cedera, Wanda. Cedera lebih parah, maksudku.”
Aku tidak menjawab. Aku takut memberinya sesuatu yang bisa digunakan untuk menyerang Kyle.
Jeb menemukan kami tepat sebelum kami memasuki ruang gua besar. Ada cukup banyak cahaya bagiku untuk menangkap kilau tajam rasa penasaran di matanya ketika melihatku di pelukan Ian, dengan wajah berdarah, dan senapan tergeletak di kedua tanganku yang terbuka.
“Kalau begitu kau benar,” tebak Jeb. Rasa penasarannya kuat, tapi nada dingin di dalam suaranya lebih kuat. Rahangnya terkatup di balik janggut. “Aku tidak mendengar suara tembakan. Kyle?”
“Dia tak sadarkan diri,” ujarku cepat-cepat. “Kau perlu memperingatkan semua orang—sebagian lantai runtuh di ruang bersungai. Aku tidak tahu seberapa stabilnya lantai itu sekarang. Kepala Kyle terbentur sangat keras ketika berusaha menyingkir. Dia perlu Doc.”
mengangkat sebelah alisnya sangat tinggi, sampai nyaris menyentuh bandana pudar di garis rambutnya.
“Itu versi Wanda,” ujar Ian, tanpa berusaha menyembunyikan keraguannya. “Dan sepertinya dia memegangnya dengan teguh.”
Jeb tertawa. “Biar kuambil benda itu dari tanganmu,” katanya kepadaku.
Dengan senang hati kubiarkan Jeb mengambil senapannya. Ia tertawa melihat ekspresiku.
“Aku akan mengajak Andy dan Brandt membantuku membawa Kyle. Kami akan mengikuti di belakangmu.”
“Awasi Kyle ketika tersadar,” ujar Ian dengan nada keras.
“Pasti.”
Jeb pergi mencari lebih banyak bantuan. Ian bergegas membawaku ke gua rumah sakit.
“Kyle mungkin terluka parah… Jeb harus bergegas.”                                                                                                                       
“Kepala Kyle lebih keras daripada semua batu di tempat ini.”
Terowongan panjang itu terasa lebih panjang daripada biasanya. Apakah Kyle sekarat walaupun aku sudah berusaha menyelamatkannya? Apakah ia kembali tersadar dan mencariku? Bagaimana dengan Walter? Apakah ia sedang tidur… atau sudah pergi? Apakah Pencari sudah menghentikan perburuannya, atau apakah ia akan kembali, karena sekarang hari sudah kembali terang?
Apakah Jared masih bersama Doc? Melanie bertanya. Apakah ia bakal marah ketika melihatmu? Akankah ia mengenaliku?
Ketika kami mencapai gua selatan yang diterangi cahaya matahari, Jared dan Doc tampak seakan-akan belum banyak bergerak. Mereka bersandar, berdampingan, di meja buatan Doc. Keadaan hening ketika kami mendekat. Mereka tidak bicara, hanya mengamati Walter tidur. Mereka terlompat dengan mata terbelalak ketika Ian membopongku ke dalam cahaya dan membaringkanku di dipan di samping Walter. Ia meluruskan kaki kananku dengan hati-hati.
Walter sedang mendengkur. Suara itu mengurangi sebagian keteganganku.
“Ada apa lagi ini?” desak Doc marah. Setelah melontarkan kata-kata itu ia langsung membungkuk di atas tubuhku. Lalu mengusap darah di pipiku.
Wajah Jared terpaku kaget. Ia berhati-hati, tidak membiarkan ekspresinya menunjukkan sesuatu yang lain.
“Kyle,” jawab Ian, pada saat yang sama ketika aku mengucapkan, “Lantainya—“
Doc memandang kami silih berganti, kebingungan.
Ian mendesah dan memutar bola mata. Tanpa sadar ia menyentuh ringan keningku. “Lantainya runtuh di dekat lubang sungai pertama. Kyle jatuh dan kepalanya menghantam batu. Wanda menyelamatkan hidupnya yang tak berguna itu. Menurut Wanda, dia juga terjatuh ketika lantainya runtuh.” Ian memandang Doc penuh arti. “Sesuatu,” diucapkannya kata itu dengan nada menyindir,” menghantam bagian kepala Wanda cukup keras.” Ian mulai menyebutkannya satu per satu. “Hidungnya berdarah, tapi kurasa tidak patah. Ototnya terluka di sini.” Ia menyentuh pahaku yang cedera. “Kedua lututnya tergores cukup parah. Juga wajahnya, sekali lagi, tapi kurasa aku yang melakukannya, ketika mencoba menarik Kyle keluar dari lubang. Seharusnya aku tak perlu repot-repot.” Ian menggumamkan bagian terakhir itu.
“Ada lagi?” Tanya Doc. Jari-jarinya meraba sisi tubuhku, dan mencapai bagian yang dipukul Kyle. Aku menghela napas kesakitan.
Doc menarik kemejaku ke atas, dan kudengar Ian serta Jared mendesis ketika melihatnya.
“Biar kutebak,” ujar Ian dengan suara sedingin es. “Kau terjatuh di atas batu.”
“Tebakan jitu,” kataku mengiyakan, kehabisan napas. Doc masih menyentuh sisi tubuhku, dan aku mencoba menahan erangan.
“Mungkin rusuknya ada yang patah, aku tak yakin,” gumam Doc. “Kuharap aku bisa memberimu sesuatu untuk menghilangkan rasa sakitnya—“
“Jangan khawatir, Doc,” ujarku terengah-engah. “Aku baik-baik saja. Bagaimana Walter? Apakah dia terbangun?”
“Tidak. Perlu beberapa waktu untuk menghilangkan dosisinya,” ujar Doc. Ia meraih tanganku dan mulai menekuk pergelangan tangan dan sikuku.
“Aku baik-baik saja.”
Mata Doc yang baik hati tampak lembut ketika membalas tatapanku. “Kau akan baik-baik saja. Kau hanya perlu beristirahat selama beberapa waktu. Aku akan mengawasimu. Nah, tengokkan kepalamu.”
Aku mematuhi permintaannya, lalu mengernyit ketika Doc meneliti lukaku.
“Jangan di sini,” gumam Ian.
Aku tidak bisa melihat Doc, tapi Jared memandang Ian dengan tajam.
“Mereka akan membawa Kyle ke sini. Aku tidak mau Wanda dan Kyle berada di ruangan yang sama.”
Doc mengangguk. “Mungkin itu bijaksana.”
“Akan kusiapkan tempat untuk Wanda. Aku memerlukanmu untuk mengawasi Kyle di sini sampai… sampai kita putuskan apa yang harus kita lakukan padanya.”
Aku mulai bicara, tapi Ian meletakkan jemarinya di bibirku.
“Baiklah,” ujar Doc setuju. “Aku akan mengikat Kyle, jika kau mau.”
“Jika perlu. Apakah tidak apa-apa memindahkan Wanda?” Ian melirih kea rah terowongan, wajahnya cemas.
Doc bimbang.
“Tidak,” bisikku. Jemari Ian masih menyentuh bibirku. “Walter. Aku ingin berada di sini untuk  Walter.”
“Kau telah menyelamatkan semua kehidupan yang bisa kau selamatkan hari ini, Wanda,” ujar Ian. Suaranya lembut dan sedih.
“Aku ingin mengucapkan… mengucapkan selamat—selamat tinggal.”
Ian mengangguk. Lalu ia memandang Jared. “Bisakah aku memercayaimu?”
Wajah Jared memerah karena amarah. Ian mengangkat tangan. “Aku tak ingin meninggalkan Wanda di sini tanpa perlindungan, sementara aku mencari tempat yang aman untuknya,” ujar Ian.
“Aku tidak tahu apakah Kyle dalam keadaan sadar ketika tiba. Seandainya Jeb menembaknya, itu akan membuat Wanda sedih. Tapi kau dan Doc harus bisa menangani Kyle. Aku tidak ingin Doc sendirian, dan memaksa Jeb melakukannya.”
Jared bicara dengan gigi dikertakkan. “Doc tidak akan sendirian.”
Ian bimbang. “Wanda mengalami hal-hal sangat buruk beberapa hari terakhir. Ingat itu.”
Jared mengangguk, dengan gigi masih dikertakkan.
“Aku akan berada di sini,” ujar Doc mengingatkan Ian.
Ian membalas tatapan Doc. “Oke.” Ia membungkuk di atas tubuhku, mata cemerlangnya menatapku. “Aku akan segera kembali. Jangan takut.”
“Aku tidak takut.”
Ian membungkuk dan menyentuhkan bibirnya di keningku.
Tak seorang pun lebih terkejut daripada aku, walaupun aku mendengar Jared diam-diam menghela napas kaget. Mulutku terbuka ketika Ian bergegas pergi, nyaris berlari, dari ruangan itu.
Kudengar Doc menghela napas melalui sela-sela gigi, seperti siulan terbalik. “Well,” katanya.
Mereka menatapku untuk waku lama. Aku begitu lelah dan sakit sehingga nyaris tak memedulikan apa yang mereka pikirkan.
“Doc—“ Jared mulai mengucapkan sesuatu dengan nada mendesak, tapi keributan di dalam terowongan mengganggunya.
Lima lelaki berjuang melewati lubang pintu. Jeb di depan, memegangi kaki kiri Kyle dengan dua tangan. Wes memegangi kaki kanan Kyle, dan di belakang mereka, Andy dan Aaron berjuang mengangkat dada Kyle. Kepala Kyle terkulai ke belakang di bahu Andy.
“Astaga, berat sekali,” gerutu Jeb.
Jared dan Doc melompat maju untuk membantu. Setelah beberapa menit memaki dan mengerang, Kyle terbaring di dipan beberapa puluh sentimeter dari dipanku.j
“Sudah berapa lama dia tak sadarkan diri, Wanda?” Tanya Doc kepadaku. Ia membuka kelopak mata Kyle, membiarkan cahaya matahari menyinari pupil matanya.
“Um…” aku berpikir cepat. “Sama lamanya dengan keberadaanku disini, ditambah sepuluh menit atau lebih yang diperlukan Ian untuk membawaku kemari, dan mungkin lima menit lagi sebelum itu.”
“Setidaknya dua puluh menit, menurutmu?”
“Ya. Kira-kira selama itu.”
Sementara kami bercakap-cakap, Jeb telah membuat diagnosisnya sendiri. Tak seorang pun memperhatikan ketika Jeb berdiri di ujung atas dipan Kyle. Tak seorang pun memperhatikan—sampai ia menuang sebotol air ke wajah Kyle.
“Jeb,” keluh Doc, seraya menyingkirkan tangan Jeb.
Tapi Kyle terbatuk-batuk dan mengerjap-ngerjapkan mata, lalu mengerang. “Apa yang terjadi? Ke mana makhluk itu pergi?” Ia mulai menggeser tubuhnya, mencoba melihat sekeliling. “Lantainya… bergerak…”
Suara Kyle membuat jemariku mencengkeram sisi dipan, dan kepanikan menyapu wajahku. Kakiku sakit. Bisakah aku pergi dengan terpincang-pincang? Pelan-pelan mungkin…
“Tidak apa-apa,” gumam seseorang. Bukan seseorang. Aku akan selalu mengenali suara itu.
Jared bergerak, berdiri di antara dipanku dan dipan Kyle. Punggungnya menghadapku, matanya terarah pada lelaki bongsor itu. Kyle menggerakkan kepalanya sambal mengerang.
“Kau aman,” ujar Jared pelan. Ia tidak memandangku. “Jangan takut.”                  
Aku menghela napas panjang.
Melanie ingin menyentuh Jared. Tangan lelaki itu berada di dekat tanganku, tergeletak di pinggir dipanku.
Kumohon, jangan, ujarku kepadanya. Wajahku sudah cukup sakit!
Jared tidak akan memukulmu.
Menurutmu. Aku tidak mau mengambil risiko.
Melanie mendesah; ia ingin mendekati Jared. Takkan terlalu berat untuk ditanggungkan, seandainya aku tidak menginginkan hal yang sama.
Melanie kembali mendesah.
“Aw, sialan!” gerutu Kyle. Pandanganku beralih kepadanya, ketika mendengar nada suaranya. Aku hanya bisa melihat mata cemerlangnya, di sekitar siku jared, terpusat padaku. “Makhluk itu tidak terjatuh!” keluhnya.