Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara

Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara
Harga mulai 5rb an. Gratis ongkir DKI Jakarta

The Host - Bab 17


Dikunjungi

Hawa panas menghantamku lebih dulu. Bagaikan dinding uap, udara lembab tebal itu bergulung menerpaku dan membuat kulitku berembun. Ketika aku mencoba menarik napas dalam udara yang mendadak lebih padat ini, mulutku otomatis terbuka. Baunya lebih kuat daripada sebelumnya - bau menyengat logam yang sama, yang melekat di tenggorokan dan memberi rasa pada air di sini.
Gumam percakapan dalam suara bas dan sopran tampaknya berasal dari semua sisi, menggema dari dinding - dinding. Aku menyipitkan mata dengan waswas, menembus awan kelembapan yang berpusar-pusar, mencoba mencari dari mana asal suara-suara itu. Di sini terang--langit-langitnya memukau seperti ruang besar itu, tapi jauh lebih pendek. Cahaya menari-nari di antara uap, menciptakan tirai berkilau yang nyaris membutakan. Mataku berjuang menyesuaikan diri, dan kucengkeram tangan Jeb dalam kepanikan.
Aku terkejut ketika percakapan aneh yang mengalir lancar itu sama sekali tidak merespons kedatangan kami. Mungkin mereka belum bisa melihat kami.
"Agak pengap di sini," sesal Jeb, seraya mengipas-ngipas uap di depan wajahnya. Suaranya santai, ramah, dan cukup lantang untuk membuatku terlompat. Ia bicara seakan kami tidak terkepung. Dan suara percakapan itu berlanjut, mengabaikan suara Jeb.
"Bukannya mengeluh," lanjut Jeb. "Aku pasti sudah mati beberapa kali seandainya tempat ini tidak ada. Dulu, saat pertama kali terperangkap di dalam ruang - ruang gua ini, tentu saja aku mengeluh. Tapi kini, kami takkan bisa bersembunyi di sini tanpa gua ini. Tanpa tempat persembunyian, kami semua pasti sudah mati, bukan?"
Jeb menyikutku--isyarat persekongkolan.
"Susunannya sangat nyaman. Tak bisa kurencanakan dengan lebih baik, seandainya aku mengukir sendiri dari tanah liat."
Tawa Jeb menyingkirkan sebagian kabut, dan aku melihat ruangan itu untuk pertama kali.
Dua sungai mengalir melalui ruang lembab berbentuk kubah tinggi. Inilah percakapan yang memenuhi telingaku: semburan air ke atas dan ke bawah batu vulkanik ungu. Jeb bicara seakan kami sendirian, karena kami memang sendirian.
Sesungguhnya hanya ada satu sungai besar dan satu sungai kecil. Sungai itu yang paling dekat; tampak seperti anyaman pita perak dnagkal jika dilihat dari atas, mengalir di antara bantaran - bantaran batu rendah yang tampaknya terus-menerus nyaris meluap. Gumam suara perempuan bernada tinggi muncul dari riak-riak lembutnya.

Sedangkan degukan bas mirip suara lelaki muncul dari sungai besar, begitu juga awan-awan uap tebal yang naik dari lubang-lubang menganga di tanah di dekat dinding yang jauh. Sungainya gelap, tenggelam di bawah lantai gua, dan terpapar karena pengikisan-pengikisan bulat lebar di sepanjang ruangan. Lubang-lubang itu tampak gelap membahayakan, dan sungainya nyaris tak kasatmata ketika mengalir cepat ke tujuan yang tak terlihat dan tak terbayangkan. Airnya seakan berkilau, karena begitu hebatnya uap dan udara panas yang dihasilkan. Suaranya juga seperti air mendidih.
Beberapa stalaktit kurus panjang tergantung dari langit-langit, menetes ke masing-masing stalagmit di bawahnya. Tiga di antaranya bertemu, membentuk pilar-pilar kurus hitam di antara dua kumpulan air yang mengalir.
"Harus berhati-hati di sini," ujar Jeb. "Alirannya agak deras di dalam mata air panas itu. Jika terjatuh, kau bakal lenyap. Pernah terjadi sebelumnya." Ia mengangguk mengingat-ingat, wajahnya serius.
Pusaran-pusaran hitam dan cepat sungai bawah tanah itu mendadak terasa mengerikan. Aku bergidik, membayangkan terperangkap di dalam arus melepuhkan itu.


Jeb menyentuh ringan bahuku. "Jangan khawatir. Berhati-hati saja jika melangkah, dan kau akan selamat. "Nah, katanya, menunjuk ujung jauh gua, tempat sungai kecil dangkal itu mengalir ke gua gelap. "Gua pertama di belakang sana adalah kamar mandi. kami sudah menggali lantainya untuk menciptakan bak mandi yang dalam dan menyenangkan. Ada jadwal mandi, tapi privasi biasanya tak jadi masalah. Keadaannya gelap gulita. Ruangannya hangat dan menyenangkan, sangat dekat dengan uap, tapi airnya tidak membakar seperti mata air panas di sini. Ada gua lain, persis setelah gua itu, di balik celah. Kami telah memperlebar jalan masuknya sehingga ukurannya nyaman. Itu ruangan terjauh. Kami hanya bisa mengikuti sungai kecilnya sampai sejauh itu--di sana airnya mengalir ke bawah tanah. Jadi kami menjadikan ruangan itu sebagai kakus. Nyaman dan bersih." Suara Jeb bernada puas, seakan merasa patut mendapat pujian, walaupun itu hasil kreasi alam. Well, ia memang telah menemukan dan menyempurnakan tempat ini. Kurasa sedikit kebanggaan bisa dibenarkan.
"Kami tidak suka memboroskan baterai, dan sebagian besar dari kami sudah hafal lantai di sini. Tapi karena ini pengalaman pertamamu, kau bisa mencari jalanmu dengan ini."
Jeb mengeluarkan senter dari saku dan mengulurkannya kepadaku. Senter itu mengingatkanku pada saat ia menemukanku sekarat di padang gurun. Ketika itu ia memeriksa mataku dan tahu siapa diriku. Aku tak tahu mengapa ingatan itu membuatku sedih.
"Jangan punya gagasan sinting bahwa sungai itu mungkin bisa membawamu keluar dari sini atau semacamnya. Setelah mengalir ke dalam tanah, airnya tidak muncul lagi," Jeb mengingatkan.
Karena tampaknya ia menunggu semacam jawaban atas peringatannya, aku mengangguk satu kali. Perlahan-lahan kuambil senter dari tangannya. Berhati-hati agar tidak melakukan gerakan cepat apa pun yang bisa mengejutkannya.
Jeb tersenyum membesarkan hati.




Dengan cepat aku mengikuti petunjuk-petunjuknya. Suara air mengalir membuat ketidaknyamananku semakin sulit ditanggungkan. Rasanya sangat aneh berada di luar penglihatan Jeb. Bagaimana kalau seseorang bersembunyi di gua - gua ini, setelah menebak akhirnya aku bakal kemari? Akankah Jeb mendengar pergulatan itu di antara riuh suara sungai?
Kuarahkan senter ke sekeliling kamar mandi, mencari tanda-tanda penyergapan. Bayang-bayang berpendar aneh yang tercipta tidak menghiburku, tapi aku tidak menemukan alasan bagi ketakutanku. Bak mandi Jeb lebih besar daripada kolam renang kecil, dan warnanya sehitam tinta. Di bawah permukaannya, orang yang bersembunyi takkan terlihat selama ia bisa menahan napas... Aku bergegas melewati celah ramping di bagian belakang ruangan, untuk melarikan diri dari khayalan-khayalanku. Berada jauh dari Jeb, aku nyaris panik. Aku tak bisa bernapas dengan normal; aku nyaris tak bisa mendengar apa pun di antara suara denyut yang berpacu di belakang telingaku. Ketika kembali ke ruangan dengan sungai - sungai itu, bisa dikatakan aku berlari.
Menemukan Jeb berdiri di sana, masih dalam pose yang sama, masih sendirian, bagaikan salep bagi saraf-sarafku yang hancur berantakan. Napas dan denyut jantungku melambat. AKu tak mengerti mengapa manusia sinting ini bisa membuatku nyaman. Kurasa itu seperti yang dikatakan Melanie: saat-saat genting.
"Tak terlalu buruk, bukan?" tanya Jeb. Cengiran bangga terpampang di wajahnya.
Aku kembali mengangguk dan mengembalikan senternya.
"Gua-gua ini hadiah menakjubkan," ujar Jeb, ketika kami mulai berjalan lagi menuju lorong yang gelap. "Kami takkan mampu bertahan hidup berkelompok seperti ini tanpa gua-gua ini. Magnolia dan Sharon bisa menyesuaikan diri dengan baik--mengejutkan baiknya--di Chicago sana. Tapi bersembunyi berdua saja seperti itu sangat berbahaya. Menyenangkan sekali memiliki komunitas lagi. Membuatku benar-benar merasa seperti manusia."
Sekali lagi Jeb memegangi sikuku ketika kami mendaki undakan-undakan kasat itu untuk keluar.
"Maaf mengenai, ehm, akomodasi yang kami berikan kepadamu. Itu tempat teraman yang bisa kupikirkan. Aku heran anak-anak itu bisa menemukanmu secepat itu." Jeb mendesah. "Well, Kyle jadi sangat... termotivasi. Tapi kurasa berakibat baik. Sebaiknya membiasakan diri sengan segala sesuatu yang akan terjadi. Mungkin kami bisa menemukan sesuatu yang lebih baik untukmu. Akan kupikirkan... Setidaknya, selama aku bersamamu, kau tak perlu menjejalkan diri ke lubang kecil itu. Kau bisa duduk di loong bersamaku, kalau kau mau. Walaupun bersama Jared..." Ia berhenti bicara.
Kusimak kata-kata penyesalan Jeb dengan takjub; kebaikan ini jauh melebihi harapanku, belas kasih ini jauh melebihi apa yang kubayangkan bisa diberikan spesies ini kepada musuh-musuh mereka. Dengan ragu kutepuk pelan tangan di sikuku. Kucoba untuk mengungkapkan bahwa aku mengerti dan takkan menimbulkan masalah. Aku yakin Jared jauh lebih suka jika aku tak terlihat.
Jeb tak punya masalah dalam menerjemahkan komunikasi bisuku. "Gadis manis," katanya. "Bagaimanapun, kami akan memikikan semua ini. Biarlah Doc berkonsentrasi pada penyembuhan bangsa manusia saja. Kurasa kau jauh lebih menarik dalam keadaan hidup."
Tubuh kami cukup dekat, sehingga Jeb bisa merasakan aku gemetar.
"Jangan khawatir. Doc takkan mengganggumu sekarang."
Aku tak bisa berhenti menggigil. Jeb hanya bisa menjanjikanku sekarang. Tak ada jaminan Jared akan memutuskan bahwa melindungi tubuh Melanie jauh lebih penting daripada mendapatkan rahasiaku. Aku tahu nasib semacam itu aka membuatku berharap semalam Ian berhasil. Aku menelan ludah, merasakan memar yang menembus leherku sampai ke dinding-dinding dalam tenggorokan. Kau tak pernah tahu berapa banyak waktu yang kaumiliki, ujar Melanie berhari-hari yang lalu, ketika duniaku masih terkendali.
Kata-katanya menggema di kepalaku ketika kami kembali memasuki ruang besar itu, plaza utama komunitas manusa Jeb. Ruangannya penuh, seperti malam pertama, dan semua orang memelototi kami. Mata mereka memancarkan kemarahan dan pengkhianatan ketika memandang Jeb, dan pembunuhan ketika memandangku. Aku tetap menunduk memandangi batu di bawah kakiku. Dari sudut mata bisa kulihat Jeb kembali menggenggam senapannya dengan siaga.
Hanya masalah waktu. Sungguh. Aku bisa merasakan kebencian dan ketakutan di dalam atmosfer. Jeb tak bisa melindungiku untuk waktu lama.
Rasanya melegakan jika aku bisa merangkak kembali melalui celah sempit itu. Kunantikan labirin hitam berliku-liku dan tempat persembunyian sempitku. Aku hanya berharap bisa sendirian di sana.
Desis marah, seperti sarang ular terganggu, menggema di dalam gua besar di belakangku. Suaranya membuatku berharap Jeb menuntunku lebih cepat melalui labirin itu.
Diam-diam Jeb tertawa geli. Semakin lama aku berada di dekatnya, ia jadi semakin aneh. Selera humornya membuatku bingung, begitu pula motivasinya.
"Kau tahu, terkadang sedikit menjemukan di bawah sini," gumamnya kepadaku, atau kepada dirinya sendiri. Dengan Jeb, sulit untuk tahu. "Mungkin jika kemarahan mereka terhadapku sudah selesai, mereka akan menyadari dan menghargai semua kegembiraan yang kuberikan."
Jalur kami melewati kegelapan berliku-liku seperti ular. Rasanya sama sekali tak kukenal. Mungkin Jeb menempuh rute berbeda untuk menyesatkanku. Tampaknya perjalananku lebih lama dari pada sebelumnya, tapi akhirnya aku bisa melihat cahaya biru suram lampu yang bersinar di dekat lengkungan berikutnya.
Aku menguatkan diri, bertanya-tanya apakah Jared akan kembali berada di sana. Seandainya ya, aku tahu ia akan marah. Aku yakin ia tidak akan menyetujui tindakan Jeb membawaku untuk kunjungan lapangan, tak peduli betapa perlunya itu.
Setelah kami berbelok, aku langsung melihat sesosok tubuh bersandar pada dinding di samping lampu, menciptakan bayangan panjang ke arah kami. Tapi itu jelas bukan Jared. Tanganku mencengkeram lengan Jeb, otomatis mengejang ngeri.
Lalu aku benar-benar melihat sosok yang sedang menunggu itu. Tubuhnya lebih kecil dariku--karena itulah aku tahu ia bukan Jared-- dan kurus. Kecil, tapi juga terlalu tinggi dan kerempeng. Sekalipun di dalam cahaya suram lampu biru itu, bisa kulihat kulitnya cokelat tua terbakar matahari, dan rambut hitamnya yang sehalus sutra kini jatuh tak terurus melewati dagu.


Lututku goyah.
Tanganku, yang mencengkeram lengan Jeb karena panik, kini memeganginya untuk mencari kekuatan.
"Well, demi Tuhan!" teriak Jeb. Jelas ia jengkel. "Tak bisakah orang menjaga rahasia di tempat ini selama lebih dari 24 jam? Astaga, ini sungguh menjengkelkan! Sekelompok tukang gosip..." Kata-katanya berubah jadi gerutuan.
Aku bahkan tidak berusaha memahami perkataan Jeb. Aku terperangkap dalam pertempuran paling hebat sepanjang hidupku--sepanjang semua kehidupan yang pernah kujalani.
Aku bisa merasakan Melanie di dalam setiap sel tubuhku. Ujung-ujung sarafku bergelenyar mengenali kehadirannya. Otot - ototku mengejang, mengantisipasi pengarahan dari Melanie. Bibirku gemetar, mencoba membuka. Kucondongkan tubuhku ke arah anak laki-laki di lorong itu; tubuhku menggapainya karena kedua lenganku tak mau melakukannya.
Melanie sudah mempelajari banyak hal ketika beberapa kali aku kehilangan atau menyerahkan kendali, dan aku benar-benar harus berjuang melawan gadis ini, berjuang mati-matian sampai keringat mebasahi alisku. Tapi kini aku tidak sedang sekarat di padang gurun. AKu juga tidak sedang lemah, pusing, atau terkejut melihat kemunculan orang yang sudah kuanggap hilang. AKu tahu saat ini kemungkinan akan tiba. Tubuhku tahan banting, mudah memulihkn diri. Aku sudah kembali kuat. Kekuatan tubuhku memberiku tekad untuk mengendalikan diri, untuk meneguhkan tekadku.
Aku mengusir Melanie dari tungkai-tungkaiku, menghalaunya dari setiap pegangan yang ia temukan, mendorongnya kembali ke dalam ceruk - ceruk benakku, lalu merantainya di sana.
Sikap menyerah Melanie terasa mendadak dan total. Aaah, desahnya, nyaris menyerupai erang kesakitan.
Anehnya, aku langsung merasa bersalah ketika menang.
Aku tahu bagiku Melanie lebih daripada sekadar inang pemberontak yang menyulitkan hidupku secara tak perlu. Kami bersahabat, bahkan saling percaya, dalam minggu-minggu terakhir kebersamaan kami ini-- sejak Pencari menyatukan kami melawan musuh yang sama. Di padang gurun, dengan pisau Kyle di atas kepalaku, aku merasa gembira karena, seandainya harus mati, bukan aku yang membunuh Melanie. Bahkan saat itu pun ia sudah lebih daripada sekadar tubuh bagiku. Tapi tampaknya kini tindakanku menyimpang. Aku menyesal telah menyakitinya.
Tapi itu perlu, walaupun tampaknya Melanie tidak mengerti. Kata apa pun yang kami ucapkan secara keliru, tindakan apa pun yang dipertimbangkan dengan buruk, akan berarti eksekusi kilat. Reaksi Melanie kelewat liar dan emosional. Ia akan menjerumuskan kami ke dalam masalah.
Kini kau harus memercayaiku, ujarku kepadanya. Aku hanya mencoba mempertahankan hidup kita. Aku tahu kau tak ingin percaya bahwa manusia-manusiamu bisa melukai kita...
Tapi itu Jamie, bisik Melanie. Ia merindukan anak laki-laki itu dengan emosi begitu kuat, hingga membuat lututku lemas.
Aku mencoba memandang Jamie secara utuh. Remaja berwajah murung ini bersandar di dinding terowongan dengan tangan bersedekap. Aku mencoba melihatnya sebagai orang asing, lalu merencanakan responku, atau juga ketiadaan responku. Aku mencoba, tapi gagal. ia Jamie, ia begitu tampan, dan sepasang lenganku--itu lenganku, bukan lengan Melanie--ingin memeluknya. Air mata memenuhi mataku dan menetes ke wajahku. Aku hanya bisa berharap air mata itu tak terlihat dalam cahaya suram.
"Jeb," sapa Jamie parau. Matanya melirikku cepat, lalu kembali berpaling.
Suaranya sangat dalam! Benarkah Jamie sudah sebesar itu? Dengan perasaan bersalah yang berlipat ganda, kusadari aku baru saja melewati ulang tahunnya yang keempat belas. Melanie menunjukkan harinya, dan kulihat itu hari yang sama dengan mimpi pertamaku mengenai Jamie. Saat terjaga, Melanie berjuang begitu keras untuk menyimpan penderitaannya sendiri, untuk mengaburkan ingatan-ingatannya, untuk melindungi Jamie, sehingga akhirnya anak itu muncul di dalam mimpi. Dan aku malah mengirimkan e-mail kepada Pencari.
Kini aku bergidik, tap percaya diriku bisa begitu tidak berperasaan.
"Sedang apa di sini, Nak?" tanya Jeb.
"Mengapa tidak kauceritakan kepadaku?" Jamie balas bertanya.
Jeb diam.
"Apakah itu gagasan Jared?" desak Jamie.
Jeb mendesah. "Oke, jadi kau sudah tahu. Apa gunanya bagimu, eh? Kami hanya ingin--"
"Melindungiku?" sela Jamie masam.
Mengapa ia begitu pahit? Apakah itu salahku? Tentu saja ya.
Melanie mulai tersedu-sedu di dalam kepalaku. Tangisannya keras dan mengganggu, membuat suara Jeb dan Jamie terdengar sangat jauh.
"Baiklah, Jamie. Jadi kau tidak perlu dilindungi. Kau mau apa?"
Kesimpulan cepat ini tampaknya mengejutkan Jamie. Matanya berpindah-pindah dari wajahku ke wajah Jeb, ketika ia berjuang menyuarakan permintaannya.
"Aku--aku ingin bicara dengannya... dengan mahluk itu," katanya. Nada suaranya meninggi ketika ia merasa bimbang.
"Dia tidak banyak bicara," ujar Jeb, "tapi boleh-boleh saja kau mencobanya, Nak."
Jeb melepaskan cengkeramanku. Setelah terbebas ia memunggungi dinding terdekat, bersandar di sana, lalu merosot ke lantai. Ia duduk di sana, lalu bergerak-gerak sampai menemukan posisi yang nyaman. Senapannya tetap di pangkuan. Kepala Jeb bersandar ke dinding dan matanya terpejam. Dalam hitungan detik ia tampak seperti tertidur.
Aku berdiri di tempat Jeb meninggalkanku. Kucoba untuk mengalihkan pandangan dari wajah Jamie, tapi gagal.
Jamie kembali terkejut melihat betapa mudahnya Jeb setuju. Dengan mata terbelalak yang membuat wajahnya tampak lebih muda, ia mengamati lelaki tua itu bersandar di lantai. Setelah Jeb tidak bergerak selama beberapa menit, Jamie kembali memandangku, matanya tegang.

Caranya memandangku--dengan marah, berusaha tampak berani dan dewasa, tapi juga memperlihatkan ketakutan dan rasa sakit yang begitu jelas di matanya yang gelap--membuat Melanie menangis lebih keras dan lututku gemetaran. Daripada mengambil risiko terjatuh lagi, aku bergerak pelan menuju dinding terowongan di seberang Jeb, lalu duduk di lantai. Aku meringkuk memegangi kakiku yang tertekuk, mencoba membuat tubuhku sekecil mungkin.
Jamie mengamatiku dengan mata waspada, lalu maju empat langkah sampai berdiri di hadapanku. Matanya melirik Jeb yang belum bergerak atau membuka mata, lalu Jamie berlutut di sampingku. Wajahnya mendadak serius, membuatnya tampak lebih dewasa jika dibandingkan dengan semua ekspresi yang pernah diperlihatkannya. Jantungku berdebar melihat lelaki murung di wajah bocah kecil ini.
"Kau bukan Melanie," katanya pelan.
Rasanya lebih berat untuk bicara dengannya, karena akulah yang ingin bicara. Setelah bimbang sejenak, aku menggeleng.
"Tapi kau beradda di dalam tubuhnya."
Hening lagi, lalu aku mengangguk.
"Kenapa wajahmu... wajahnya?"
Aku mengangkat bahu. Aku tidak tahu seperti apa wajahku, tapi bisa membayangkannya.
"Siapa yang melakukannya?" desak Jamie. Dengan jari ragu-ragu ia nyaris menyentuh sisi leherku. Aku diam saja, tidak terdorong untuk menjauhi tangan ini.
"Aunt Maggie, Jared, dan Ian," ujar Jeb dengan nada jemu. Kami terlompat mendengar suaranya. Jeb belum bergerak, matanya masih terpejam. Ia tampak sangat damai, seakan menjawab pertanyaan Jamie dalam tidurnya.
Jamie menunggu sejenak, lalu menoleh kembali kepadaku dengan ekspresi serius yang sama.
"Kau bukan Melanie, tapi kau tahu semua ingatannya dan hal - hal semacam itu, bukan?"
Aku kembali mengangguk.
"Kau tahu siapa aku?"
Kucoba untuk menelannya, tapi perkataan itu lolos dari mulutku. "Kau Jamie." Suaraku memeluk nama itu, seakan membelainya, tanpa bisa kutahan.
Jamie mengerjap, terkejut karena aku telah memecahkan kebisuanku. Lalu ia mengangguk. "Benar," bisiknya lagi.
Kami memandang Jeb yang tetap diam, lalu kembali berpandangan.
"Kalau begitu, kau ingat apa yang terjadi pada Melanie?" tanya Jamie.
Aku mengernyit, lalu mengangguk pelan.
"Aku ingin tahu," bisiknya.
Aku menggeleng.
"Aku ingin tahu," ulang Jamie. Bibirnya bergetar. "Aku bukan anak-anak. Ceritakanlah."
"Tidak... menyenangkan." Aku menghela napas, tak mampu menghentikan diriku sendiri. Sulit sekali menolak keinginan anak laki-laki ini.
Sepasang alis hitam lurus Jamie bertaut, naik di tengah-tengah, di atas matanya yang terbelalak. "Kumohon," bisiknya.
Aku melirik Jeb. Kurasa ia sekarang sedang mengintip dari sela-sela bulu matanya, tapi aku tak tahu pasti.
Suaraku selembut napas. "Seseorang melihatnya masuk ke tempat terlarang. Mereka tahu ada yang tidak beres. Mereka memanggil Pencari."
Jamie mengernyit mendengar sebutan itu.
"Para Pencari mencoba membuatnya menyerah. Dia kabur. Ketika mereka memojokkannya, dia melompat ke dalam terowongan lift yang terbuka."
Aku terhenyak mengingat ingatan akan rasa sakit itu, dan wajah Jamie berubah pucat di balik kulit kecoklatannya.
"Dia tidak mati?" bisik Jamie.
"Tidak. Kami punya Penyembuh-Penyembuh yang sangat ahli. Mereka memulihkannya dengan cepat. lalu mereka memasukkanku ke tubuhnya. Mereka berharap aku bisa menceritakan bagaimana caranya bertahan hidup selama itu." Aku tak bermaksud mengatakan sebanyak itu; mulutku langsung terkatup. Kelihatannya Jamie tidak memperhatikan bahwa aku kelepasan bicara, tapi mata Jeb membuka perlahan-lahan dan terpaku pada wajahku. Tak ada bagian lain dari tubuhnya yang bergerak, dan Jamie tidak melihat perubahan itu.

"Mengapa kau tidak membiarkan Melanie mati?" tanya Jamie. Ia harus menelan ludah dengan susah payah; suaranya seperti hendak menangis. Kedengarannya jauh lebih menyakitkan, karena itu bukan suara anak kecil yang ketakutan dalam ketidaktahuannya, melainkan penderitaan orang dewasa yang paham sepenuhnya. Rasanya sangat berat untuk tidak mengulurkan tangan dan meletakkannya di pipi Jamie. Aku ingin memeluk dan memintanya agar tidak merasa sedih. Kukepalkan kedua tanganku, dan aku mencoba berkonsentrasi pada pertanyaan Jamie. Mata Jeb melirik kedua tanganku, lalu kembali memandang wajahku.
"Bukan aku yang memutuskan ," gumamku. "Aku masih berada di dalam tangki hibernasi, jauh di ruang angkasa, ketika hal itu terjadi. "
Kembali Jamie mengerjap terkejut. Jawabanku sama sekali tidak seperti yang diharapkannya, dan aku bisa melihatnya berjuang menghadapi semacam emosi baru. Kulirik jeb; matanya besinar-sinar penasaran.
Rasa penasaran yang sama, walaupun lebih waspada, terlihat di mata Jamie. "Dari mana asalmu?" tanyanya.
Tanpa bisa menahan diri, aku tersenyum melihat ketertarikan sekaligus keengganannya. "Jauh sekali. Planet lain."
"Apa--" Jamie mulai bertanya, tapi disela pertanyaan lain.
"Apa-apaan ini?" teriak Jared kepada kami. Tubuhnya membeku oleh kemarahan ketika ia berbelok di ujung terowongan. "Kepara, Jeb! Kita sudah setuju untuk tidak--"
Jamie melompat berdiri. "Jeb tidak membawaku kemari. Seharusnya kau yang membawaku kemari."
Jeb mendesah, lalu berlahan-lahan bangkit bediri. Ketika ia berbuat demikian, senapan berguling dari pangkuannya ke lantai. Benda itu berhenti hanya beberapa senti dariku. Aku beringsut menjauh, tidak merasa nyaman.
Jared bereaksi lain. Ia menerjang ke arahku, menempuh lorong panjang itu hanya dengan beberapa langkah. Aku meringkuk ke dinding dan menutupi wajahku dengan kedua tangan. ketika mengintip dari sela-sela siku, kulihat Jared merenggut senapan dari lantai.
"Apakah kau sedang mencoba membunuh kita semua?" Jared nyaris berteriak kepada Jeb, menyodokkan senapan ke dada lelaki tua itu.
"Tenang, Jared," ujar Jeb dengan suara lelah. Dipegangnya senapan itu dengan sebelah tangan. "Dia takkan menyentuh benda ini, kalaupun aku meninggalkan senapan ini di bawah sini sendirian bersamanya sepanjang malam. Tak bisakah kau melihatnya?" Ia mengarahkan moncong senapan itu kepadaku, dan aku menunduk ketakutan. "Dia bukan Pencari."
"Diam, Jeb, diam sajalah!"
"Jangan ganggu dia," sergah Jamie. "Dia tidak melakukan kesalahan apa pun."
"Kau!" bentak Jared lagi, berbalik menghadap sosok kerempeng yang sedang marah itu. "Kau keluar dari sini. Sekarang. Awas kalau tidak!"
Jamie mengepalkan tangan dan tetap di tempat.
Kepalan Jared ikut terangkat.
Aku terpaku di tempat, terkejut. Bagaimana mungkin mereka bisa saling berteriak seperti ini? Mereka keluarga; ikatan di antara mereka lebih kuat daripada ikatan darah apa pun. Jared takkan memukul Jamie-- ia tak bisa melakukannya! Aku ingin berbuat sesuatu, tapi tidak tahu apa. Segala sesuatu yang menarik perhatian mereka kepadaku hanya akan membuat mereka semakin marah.
Sekali ini Melanie lebih tenang daripada aku. Jared tidak bisa melukai jamie, ujarnya yakin. Itu mustahil.
Aku memandang mereka, yang berhadapan seperti musuh, lalu merasa panik.
Kita seharusnya tak datang kemari. Lihat betapa kita membuat mereka tidak bahagia, erangku.
"Seharusnya kau tidak merahasiakan ini dariku," ujar Jamie lewat sela-sela gigi. "Dan seharusnya kau tidak melukainya." Satu kepalannya membuka dan terangkat menunjuk wajahku.
Jared meludah ke lantai. "Itu bukan Melanie. Dia takkan pernah kembali, Jamie."
"Itu wajahnya," desak jamie. "Dan lehernya. Tidakkan memar-memar itu mengganggumu?"
Jared menjatuhkan kedua tangannya. Ia memejamkan mata dan menghela napas panjang. "Kau harus pergi sekarang juga, Jamie, beri aku sedikit ruang, atau aku akan memaksamu pergi. Aku tidak hanya menggertak. Aku tak sanggup lagi menghadapinya saat ini, oke? Batas kesabarranku sudah habis. Jadi, bisakah kita menunda percakapan ini?" Ia membuka mata; sepasang mata yang penuh rasa sakit.
Jamie memandang Jared, kemarrahannya perlahan-lahan memudar dari wajahnya. "Maaf," gumamnya setelah beberapa saat. "Aku akan pergi... tapi aku tidak berjanji untuk tidak kembali."
"Aku tidak bisa memikirkannya sekarang. Pergilah, kumohon."
Jamie mengangkat bahu. Sekali lagi ia melontarkan pandangan menyelidik kepadaku, lalu pergi. Langkah-langkah kakinya yang panjang dan cepat kembali menyakitkanku, mengingatkanku pada waktu yang hilang.
Jared memandang Jeb. "Kau juga," katanya datar.
Jeb memutar bola matanya. "Sejujurnya, kurasa kau belum cukup beristirahat. Aku akan mengawasi--"
"Pergilah."
Jeb mengerutkan kening serius. "Oke. Tentu." Ia mulai berjalan menyusuri lorong.
"Jeb?" panggil Jared.
"Ya?"
"Seandainya aku memintamu menembak mahluk itu sekarang juga, maukah kau melakukannya?"
Jeb terus berjalan perlahan-lahan, tanpa memandang kami, tapi kata-katanya jelas terdengar. "Harus. Aku mematuhi peraturanku sendiri. Jadi, jangan memintaku melakukannya, kecuali kau bersungguh-sungguh."
Ia menghilang dalam kegelapan.
Jared mengamati kepergiannya. Sebelum Jared bisa mengalihkan pandangannya kepadaku, aku membungkuk memasuki tempat perlindunganku yang tidak nyaman, lalu meringkuk di pojok belakang.

0 comments:

Post a Comment

Jual Nugget dan Sosis Sayur

Jual Nugget dan Sosis Sayur
Pemesanan via email : lwati111@gmail.com

The Host - Bab 17


Dikunjungi

Hawa panas menghantamku lebih dulu. Bagaikan dinding uap, udara lembab tebal itu bergulung menerpaku dan membuat kulitku berembun. Ketika aku mencoba menarik napas dalam udara yang mendadak lebih padat ini, mulutku otomatis terbuka. Baunya lebih kuat daripada sebelumnya - bau menyengat logam yang sama, yang melekat di tenggorokan dan memberi rasa pada air di sini.
Gumam percakapan dalam suara bas dan sopran tampaknya berasal dari semua sisi, menggema dari dinding - dinding. Aku menyipitkan mata dengan waswas, menembus awan kelembapan yang berpusar-pusar, mencoba mencari dari mana asal suara-suara itu. Di sini terang--langit-langitnya memukau seperti ruang besar itu, tapi jauh lebih pendek. Cahaya menari-nari di antara uap, menciptakan tirai berkilau yang nyaris membutakan. Mataku berjuang menyesuaikan diri, dan kucengkeram tangan Jeb dalam kepanikan.
Aku terkejut ketika percakapan aneh yang mengalir lancar itu sama sekali tidak merespons kedatangan kami. Mungkin mereka belum bisa melihat kami.
"Agak pengap di sini," sesal Jeb, seraya mengipas-ngipas uap di depan wajahnya. Suaranya santai, ramah, dan cukup lantang untuk membuatku terlompat. Ia bicara seakan kami tidak terkepung. Dan suara percakapan itu berlanjut, mengabaikan suara Jeb.
"Bukannya mengeluh," lanjut Jeb. "Aku pasti sudah mati beberapa kali seandainya tempat ini tidak ada. Dulu, saat pertama kali terperangkap di dalam ruang - ruang gua ini, tentu saja aku mengeluh. Tapi kini, kami takkan bisa bersembunyi di sini tanpa gua ini. Tanpa tempat persembunyian, kami semua pasti sudah mati, bukan?"
Jeb menyikutku--isyarat persekongkolan.
"Susunannya sangat nyaman. Tak bisa kurencanakan dengan lebih baik, seandainya aku mengukir sendiri dari tanah liat."
Tawa Jeb menyingkirkan sebagian kabut, dan aku melihat ruangan itu untuk pertama kali.
Dua sungai mengalir melalui ruang lembab berbentuk kubah tinggi. Inilah percakapan yang memenuhi telingaku: semburan air ke atas dan ke bawah batu vulkanik ungu. Jeb bicara seakan kami sendirian, karena kami memang sendirian.
Sesungguhnya hanya ada satu sungai besar dan satu sungai kecil. Sungai itu yang paling dekat; tampak seperti anyaman pita perak dnagkal jika dilihat dari atas, mengalir di antara bantaran - bantaran batu rendah yang tampaknya terus-menerus nyaris meluap. Gumam suara perempuan bernada tinggi muncul dari riak-riak lembutnya.

Sedangkan degukan bas mirip suara lelaki muncul dari sungai besar, begitu juga awan-awan uap tebal yang naik dari lubang-lubang menganga di tanah di dekat dinding yang jauh. Sungainya gelap, tenggelam di bawah lantai gua, dan terpapar karena pengikisan-pengikisan bulat lebar di sepanjang ruangan. Lubang-lubang itu tampak gelap membahayakan, dan sungainya nyaris tak kasatmata ketika mengalir cepat ke tujuan yang tak terlihat dan tak terbayangkan. Airnya seakan berkilau, karena begitu hebatnya uap dan udara panas yang dihasilkan. Suaranya juga seperti air mendidih.
Beberapa stalaktit kurus panjang tergantung dari langit-langit, menetes ke masing-masing stalagmit di bawahnya. Tiga di antaranya bertemu, membentuk pilar-pilar kurus hitam di antara dua kumpulan air yang mengalir.
"Harus berhati-hati di sini," ujar Jeb. "Alirannya agak deras di dalam mata air panas itu. Jika terjatuh, kau bakal lenyap. Pernah terjadi sebelumnya." Ia mengangguk mengingat-ingat, wajahnya serius.
Pusaran-pusaran hitam dan cepat sungai bawah tanah itu mendadak terasa mengerikan. Aku bergidik, membayangkan terperangkap di dalam arus melepuhkan itu.


Jeb menyentuh ringan bahuku. "Jangan khawatir. Berhati-hati saja jika melangkah, dan kau akan selamat. "Nah, katanya, menunjuk ujung jauh gua, tempat sungai kecil dangkal itu mengalir ke gua gelap. "Gua pertama di belakang sana adalah kamar mandi. kami sudah menggali lantainya untuk menciptakan bak mandi yang dalam dan menyenangkan. Ada jadwal mandi, tapi privasi biasanya tak jadi masalah. Keadaannya gelap gulita. Ruangannya hangat dan menyenangkan, sangat dekat dengan uap, tapi airnya tidak membakar seperti mata air panas di sini. Ada gua lain, persis setelah gua itu, di balik celah. Kami telah memperlebar jalan masuknya sehingga ukurannya nyaman. Itu ruangan terjauh. Kami hanya bisa mengikuti sungai kecilnya sampai sejauh itu--di sana airnya mengalir ke bawah tanah. Jadi kami menjadikan ruangan itu sebagai kakus. Nyaman dan bersih." Suara Jeb bernada puas, seakan merasa patut mendapat pujian, walaupun itu hasil kreasi alam. Well, ia memang telah menemukan dan menyempurnakan tempat ini. Kurasa sedikit kebanggaan bisa dibenarkan.
"Kami tidak suka memboroskan baterai, dan sebagian besar dari kami sudah hafal lantai di sini. Tapi karena ini pengalaman pertamamu, kau bisa mencari jalanmu dengan ini."
Jeb mengeluarkan senter dari saku dan mengulurkannya kepadaku. Senter itu mengingatkanku pada saat ia menemukanku sekarat di padang gurun. Ketika itu ia memeriksa mataku dan tahu siapa diriku. Aku tak tahu mengapa ingatan itu membuatku sedih.
"Jangan punya gagasan sinting bahwa sungai itu mungkin bisa membawamu keluar dari sini atau semacamnya. Setelah mengalir ke dalam tanah, airnya tidak muncul lagi," Jeb mengingatkan.
Karena tampaknya ia menunggu semacam jawaban atas peringatannya, aku mengangguk satu kali. Perlahan-lahan kuambil senter dari tangannya. Berhati-hati agar tidak melakukan gerakan cepat apa pun yang bisa mengejutkannya.
Jeb tersenyum membesarkan hati.




Dengan cepat aku mengikuti petunjuk-petunjuknya. Suara air mengalir membuat ketidaknyamananku semakin sulit ditanggungkan. Rasanya sangat aneh berada di luar penglihatan Jeb. Bagaimana kalau seseorang bersembunyi di gua - gua ini, setelah menebak akhirnya aku bakal kemari? Akankah Jeb mendengar pergulatan itu di antara riuh suara sungai?
Kuarahkan senter ke sekeliling kamar mandi, mencari tanda-tanda penyergapan. Bayang-bayang berpendar aneh yang tercipta tidak menghiburku, tapi aku tidak menemukan alasan bagi ketakutanku. Bak mandi Jeb lebih besar daripada kolam renang kecil, dan warnanya sehitam tinta. Di bawah permukaannya, orang yang bersembunyi takkan terlihat selama ia bisa menahan napas... Aku bergegas melewati celah ramping di bagian belakang ruangan, untuk melarikan diri dari khayalan-khayalanku. Berada jauh dari Jeb, aku nyaris panik. Aku tak bisa bernapas dengan normal; aku nyaris tak bisa mendengar apa pun di antara suara denyut yang berpacu di belakang telingaku. Ketika kembali ke ruangan dengan sungai - sungai itu, bisa dikatakan aku berlari.
Menemukan Jeb berdiri di sana, masih dalam pose yang sama, masih sendirian, bagaikan salep bagi saraf-sarafku yang hancur berantakan. Napas dan denyut jantungku melambat. AKu tak mengerti mengapa manusia sinting ini bisa membuatku nyaman. Kurasa itu seperti yang dikatakan Melanie: saat-saat genting.
"Tak terlalu buruk, bukan?" tanya Jeb. Cengiran bangga terpampang di wajahnya.
Aku kembali mengangguk dan mengembalikan senternya.
"Gua-gua ini hadiah menakjubkan," ujar Jeb, ketika kami mulai berjalan lagi menuju lorong yang gelap. "Kami takkan mampu bertahan hidup berkelompok seperti ini tanpa gua-gua ini. Magnolia dan Sharon bisa menyesuaikan diri dengan baik--mengejutkan baiknya--di Chicago sana. Tapi bersembunyi berdua saja seperti itu sangat berbahaya. Menyenangkan sekali memiliki komunitas lagi. Membuatku benar-benar merasa seperti manusia."
Sekali lagi Jeb memegangi sikuku ketika kami mendaki undakan-undakan kasat itu untuk keluar.
"Maaf mengenai, ehm, akomodasi yang kami berikan kepadamu. Itu tempat teraman yang bisa kupikirkan. Aku heran anak-anak itu bisa menemukanmu secepat itu." Jeb mendesah. "Well, Kyle jadi sangat... termotivasi. Tapi kurasa berakibat baik. Sebaiknya membiasakan diri sengan segala sesuatu yang akan terjadi. Mungkin kami bisa menemukan sesuatu yang lebih baik untukmu. Akan kupikirkan... Setidaknya, selama aku bersamamu, kau tak perlu menjejalkan diri ke lubang kecil itu. Kau bisa duduk di loong bersamaku, kalau kau mau. Walaupun bersama Jared..." Ia berhenti bicara.
Kusimak kata-kata penyesalan Jeb dengan takjub; kebaikan ini jauh melebihi harapanku, belas kasih ini jauh melebihi apa yang kubayangkan bisa diberikan spesies ini kepada musuh-musuh mereka. Dengan ragu kutepuk pelan tangan di sikuku. Kucoba untuk mengungkapkan bahwa aku mengerti dan takkan menimbulkan masalah. Aku yakin Jared jauh lebih suka jika aku tak terlihat.
Jeb tak punya masalah dalam menerjemahkan komunikasi bisuku. "Gadis manis," katanya. "Bagaimanapun, kami akan memikikan semua ini. Biarlah Doc berkonsentrasi pada penyembuhan bangsa manusia saja. Kurasa kau jauh lebih menarik dalam keadaan hidup."
Tubuh kami cukup dekat, sehingga Jeb bisa merasakan aku gemetar.
"Jangan khawatir. Doc takkan mengganggumu sekarang."
Aku tak bisa berhenti menggigil. Jeb hanya bisa menjanjikanku sekarang. Tak ada jaminan Jared akan memutuskan bahwa melindungi tubuh Melanie jauh lebih penting daripada mendapatkan rahasiaku. Aku tahu nasib semacam itu aka membuatku berharap semalam Ian berhasil. Aku menelan ludah, merasakan memar yang menembus leherku sampai ke dinding-dinding dalam tenggorokan. Kau tak pernah tahu berapa banyak waktu yang kaumiliki, ujar Melanie berhari-hari yang lalu, ketika duniaku masih terkendali.
Kata-katanya menggema di kepalaku ketika kami kembali memasuki ruang besar itu, plaza utama komunitas manusa Jeb. Ruangannya penuh, seperti malam pertama, dan semua orang memelototi kami. Mata mereka memancarkan kemarahan dan pengkhianatan ketika memandang Jeb, dan pembunuhan ketika memandangku. Aku tetap menunduk memandangi batu di bawah kakiku. Dari sudut mata bisa kulihat Jeb kembali menggenggam senapannya dengan siaga.
Hanya masalah waktu. Sungguh. Aku bisa merasakan kebencian dan ketakutan di dalam atmosfer. Jeb tak bisa melindungiku untuk waktu lama.
Rasanya melegakan jika aku bisa merangkak kembali melalui celah sempit itu. Kunantikan labirin hitam berliku-liku dan tempat persembunyian sempitku. Aku hanya berharap bisa sendirian di sana.
Desis marah, seperti sarang ular terganggu, menggema di dalam gua besar di belakangku. Suaranya membuatku berharap Jeb menuntunku lebih cepat melalui labirin itu.
Diam-diam Jeb tertawa geli. Semakin lama aku berada di dekatnya, ia jadi semakin aneh. Selera humornya membuatku bingung, begitu pula motivasinya.
"Kau tahu, terkadang sedikit menjemukan di bawah sini," gumamnya kepadaku, atau kepada dirinya sendiri. Dengan Jeb, sulit untuk tahu. "Mungkin jika kemarahan mereka terhadapku sudah selesai, mereka akan menyadari dan menghargai semua kegembiraan yang kuberikan."
Jalur kami melewati kegelapan berliku-liku seperti ular. Rasanya sama sekali tak kukenal. Mungkin Jeb menempuh rute berbeda untuk menyesatkanku. Tampaknya perjalananku lebih lama dari pada sebelumnya, tapi akhirnya aku bisa melihat cahaya biru suram lampu yang bersinar di dekat lengkungan berikutnya.
Aku menguatkan diri, bertanya-tanya apakah Jared akan kembali berada di sana. Seandainya ya, aku tahu ia akan marah. Aku yakin ia tidak akan menyetujui tindakan Jeb membawaku untuk kunjungan lapangan, tak peduli betapa perlunya itu.
Setelah kami berbelok, aku langsung melihat sesosok tubuh bersandar pada dinding di samping lampu, menciptakan bayangan panjang ke arah kami. Tapi itu jelas bukan Jared. Tanganku mencengkeram lengan Jeb, otomatis mengejang ngeri.
Lalu aku benar-benar melihat sosok yang sedang menunggu itu. Tubuhnya lebih kecil dariku--karena itulah aku tahu ia bukan Jared-- dan kurus. Kecil, tapi juga terlalu tinggi dan kerempeng. Sekalipun di dalam cahaya suram lampu biru itu, bisa kulihat kulitnya cokelat tua terbakar matahari, dan rambut hitamnya yang sehalus sutra kini jatuh tak terurus melewati dagu.


Lututku goyah.
Tanganku, yang mencengkeram lengan Jeb karena panik, kini memeganginya untuk mencari kekuatan.
"Well, demi Tuhan!" teriak Jeb. Jelas ia jengkel. "Tak bisakah orang menjaga rahasia di tempat ini selama lebih dari 24 jam? Astaga, ini sungguh menjengkelkan! Sekelompok tukang gosip..." Kata-katanya berubah jadi gerutuan.
Aku bahkan tidak berusaha memahami perkataan Jeb. Aku terperangkap dalam pertempuran paling hebat sepanjang hidupku--sepanjang semua kehidupan yang pernah kujalani.
Aku bisa merasakan Melanie di dalam setiap sel tubuhku. Ujung-ujung sarafku bergelenyar mengenali kehadirannya. Otot - ototku mengejang, mengantisipasi pengarahan dari Melanie. Bibirku gemetar, mencoba membuka. Kucondongkan tubuhku ke arah anak laki-laki di lorong itu; tubuhku menggapainya karena kedua lenganku tak mau melakukannya.
Melanie sudah mempelajari banyak hal ketika beberapa kali aku kehilangan atau menyerahkan kendali, dan aku benar-benar harus berjuang melawan gadis ini, berjuang mati-matian sampai keringat mebasahi alisku. Tapi kini aku tidak sedang sekarat di padang gurun. AKu juga tidak sedang lemah, pusing, atau terkejut melihat kemunculan orang yang sudah kuanggap hilang. AKu tahu saat ini kemungkinan akan tiba. Tubuhku tahan banting, mudah memulihkn diri. Aku sudah kembali kuat. Kekuatan tubuhku memberiku tekad untuk mengendalikan diri, untuk meneguhkan tekadku.
Aku mengusir Melanie dari tungkai-tungkaiku, menghalaunya dari setiap pegangan yang ia temukan, mendorongnya kembali ke dalam ceruk - ceruk benakku, lalu merantainya di sana.
Sikap menyerah Melanie terasa mendadak dan total. Aaah, desahnya, nyaris menyerupai erang kesakitan.
Anehnya, aku langsung merasa bersalah ketika menang.
Aku tahu bagiku Melanie lebih daripada sekadar inang pemberontak yang menyulitkan hidupku secara tak perlu. Kami bersahabat, bahkan saling percaya, dalam minggu-minggu terakhir kebersamaan kami ini-- sejak Pencari menyatukan kami melawan musuh yang sama. Di padang gurun, dengan pisau Kyle di atas kepalaku, aku merasa gembira karena, seandainya harus mati, bukan aku yang membunuh Melanie. Bahkan saat itu pun ia sudah lebih daripada sekadar tubuh bagiku. Tapi tampaknya kini tindakanku menyimpang. Aku menyesal telah menyakitinya.
Tapi itu perlu, walaupun tampaknya Melanie tidak mengerti. Kata apa pun yang kami ucapkan secara keliru, tindakan apa pun yang dipertimbangkan dengan buruk, akan berarti eksekusi kilat. Reaksi Melanie kelewat liar dan emosional. Ia akan menjerumuskan kami ke dalam masalah.
Kini kau harus memercayaiku, ujarku kepadanya. Aku hanya mencoba mempertahankan hidup kita. Aku tahu kau tak ingin percaya bahwa manusia-manusiamu bisa melukai kita...
Tapi itu Jamie, bisik Melanie. Ia merindukan anak laki-laki itu dengan emosi begitu kuat, hingga membuat lututku lemas.
Aku mencoba memandang Jamie secara utuh. Remaja berwajah murung ini bersandar di dinding terowongan dengan tangan bersedekap. Aku mencoba melihatnya sebagai orang asing, lalu merencanakan responku, atau juga ketiadaan responku. Aku mencoba, tapi gagal. ia Jamie, ia begitu tampan, dan sepasang lenganku--itu lenganku, bukan lengan Melanie--ingin memeluknya. Air mata memenuhi mataku dan menetes ke wajahku. Aku hanya bisa berharap air mata itu tak terlihat dalam cahaya suram.
"Jeb," sapa Jamie parau. Matanya melirikku cepat, lalu kembali berpaling.
Suaranya sangat dalam! Benarkah Jamie sudah sebesar itu? Dengan perasaan bersalah yang berlipat ganda, kusadari aku baru saja melewati ulang tahunnya yang keempat belas. Melanie menunjukkan harinya, dan kulihat itu hari yang sama dengan mimpi pertamaku mengenai Jamie. Saat terjaga, Melanie berjuang begitu keras untuk menyimpan penderitaannya sendiri, untuk mengaburkan ingatan-ingatannya, untuk melindungi Jamie, sehingga akhirnya anak itu muncul di dalam mimpi. Dan aku malah mengirimkan e-mail kepada Pencari.
Kini aku bergidik, tap percaya diriku bisa begitu tidak berperasaan.
"Sedang apa di sini, Nak?" tanya Jeb.
"Mengapa tidak kauceritakan kepadaku?" Jamie balas bertanya.
Jeb diam.
"Apakah itu gagasan Jared?" desak Jamie.
Jeb mendesah. "Oke, jadi kau sudah tahu. Apa gunanya bagimu, eh? Kami hanya ingin--"
"Melindungiku?" sela Jamie masam.
Mengapa ia begitu pahit? Apakah itu salahku? Tentu saja ya.
Melanie mulai tersedu-sedu di dalam kepalaku. Tangisannya keras dan mengganggu, membuat suara Jeb dan Jamie terdengar sangat jauh.
"Baiklah, Jamie. Jadi kau tidak perlu dilindungi. Kau mau apa?"
Kesimpulan cepat ini tampaknya mengejutkan Jamie. Matanya berpindah-pindah dari wajahku ke wajah Jeb, ketika ia berjuang menyuarakan permintaannya.
"Aku--aku ingin bicara dengannya... dengan mahluk itu," katanya. Nada suaranya meninggi ketika ia merasa bimbang.
"Dia tidak banyak bicara," ujar Jeb, "tapi boleh-boleh saja kau mencobanya, Nak."
Jeb melepaskan cengkeramanku. Setelah terbebas ia memunggungi dinding terdekat, bersandar di sana, lalu merosot ke lantai. Ia duduk di sana, lalu bergerak-gerak sampai menemukan posisi yang nyaman. Senapannya tetap di pangkuan. Kepala Jeb bersandar ke dinding dan matanya terpejam. Dalam hitungan detik ia tampak seperti tertidur.
Aku berdiri di tempat Jeb meninggalkanku. Kucoba untuk mengalihkan pandangan dari wajah Jamie, tapi gagal.
Jamie kembali terkejut melihat betapa mudahnya Jeb setuju. Dengan mata terbelalak yang membuat wajahnya tampak lebih muda, ia mengamati lelaki tua itu bersandar di lantai. Setelah Jeb tidak bergerak selama beberapa menit, Jamie kembali memandangku, matanya tegang.

Caranya memandangku--dengan marah, berusaha tampak berani dan dewasa, tapi juga memperlihatkan ketakutan dan rasa sakit yang begitu jelas di matanya yang gelap--membuat Melanie menangis lebih keras dan lututku gemetaran. Daripada mengambil risiko terjatuh lagi, aku bergerak pelan menuju dinding terowongan di seberang Jeb, lalu duduk di lantai. Aku meringkuk memegangi kakiku yang tertekuk, mencoba membuat tubuhku sekecil mungkin.
Jamie mengamatiku dengan mata waspada, lalu maju empat langkah sampai berdiri di hadapanku. Matanya melirik Jeb yang belum bergerak atau membuka mata, lalu Jamie berlutut di sampingku. Wajahnya mendadak serius, membuatnya tampak lebih dewasa jika dibandingkan dengan semua ekspresi yang pernah diperlihatkannya. Jantungku berdebar melihat lelaki murung di wajah bocah kecil ini.
"Kau bukan Melanie," katanya pelan.
Rasanya lebih berat untuk bicara dengannya, karena akulah yang ingin bicara. Setelah bimbang sejenak, aku menggeleng.
"Tapi kau beradda di dalam tubuhnya."
Hening lagi, lalu aku mengangguk.
"Kenapa wajahmu... wajahnya?"
Aku mengangkat bahu. Aku tidak tahu seperti apa wajahku, tapi bisa membayangkannya.
"Siapa yang melakukannya?" desak Jamie. Dengan jari ragu-ragu ia nyaris menyentuh sisi leherku. Aku diam saja, tidak terdorong untuk menjauhi tangan ini.
"Aunt Maggie, Jared, dan Ian," ujar Jeb dengan nada jemu. Kami terlompat mendengar suaranya. Jeb belum bergerak, matanya masih terpejam. Ia tampak sangat damai, seakan menjawab pertanyaan Jamie dalam tidurnya.
Jamie menunggu sejenak, lalu menoleh kembali kepadaku dengan ekspresi serius yang sama.
"Kau bukan Melanie, tapi kau tahu semua ingatannya dan hal - hal semacam itu, bukan?"
Aku kembali mengangguk.
"Kau tahu siapa aku?"
Kucoba untuk menelannya, tapi perkataan itu lolos dari mulutku. "Kau Jamie." Suaraku memeluk nama itu, seakan membelainya, tanpa bisa kutahan.
Jamie mengerjap, terkejut karena aku telah memecahkan kebisuanku. Lalu ia mengangguk. "Benar," bisiknya lagi.
Kami memandang Jeb yang tetap diam, lalu kembali berpandangan.
"Kalau begitu, kau ingat apa yang terjadi pada Melanie?" tanya Jamie.
Aku mengernyit, lalu mengangguk pelan.
"Aku ingin tahu," bisiknya.
Aku menggeleng.
"Aku ingin tahu," ulang Jamie. Bibirnya bergetar. "Aku bukan anak-anak. Ceritakanlah."
"Tidak... menyenangkan." Aku menghela napas, tak mampu menghentikan diriku sendiri. Sulit sekali menolak keinginan anak laki-laki ini.
Sepasang alis hitam lurus Jamie bertaut, naik di tengah-tengah, di atas matanya yang terbelalak. "Kumohon," bisiknya.
Aku melirik Jeb. Kurasa ia sekarang sedang mengintip dari sela-sela bulu matanya, tapi aku tak tahu pasti.
Suaraku selembut napas. "Seseorang melihatnya masuk ke tempat terlarang. Mereka tahu ada yang tidak beres. Mereka memanggil Pencari."
Jamie mengernyit mendengar sebutan itu.
"Para Pencari mencoba membuatnya menyerah. Dia kabur. Ketika mereka memojokkannya, dia melompat ke dalam terowongan lift yang terbuka."
Aku terhenyak mengingat ingatan akan rasa sakit itu, dan wajah Jamie berubah pucat di balik kulit kecoklatannya.
"Dia tidak mati?" bisik Jamie.
"Tidak. Kami punya Penyembuh-Penyembuh yang sangat ahli. Mereka memulihkannya dengan cepat. lalu mereka memasukkanku ke tubuhnya. Mereka berharap aku bisa menceritakan bagaimana caranya bertahan hidup selama itu." Aku tak bermaksud mengatakan sebanyak itu; mulutku langsung terkatup. Kelihatannya Jamie tidak memperhatikan bahwa aku kelepasan bicara, tapi mata Jeb membuka perlahan-lahan dan terpaku pada wajahku. Tak ada bagian lain dari tubuhnya yang bergerak, dan Jamie tidak melihat perubahan itu.

"Mengapa kau tidak membiarkan Melanie mati?" tanya Jamie. Ia harus menelan ludah dengan susah payah; suaranya seperti hendak menangis. Kedengarannya jauh lebih menyakitkan, karena itu bukan suara anak kecil yang ketakutan dalam ketidaktahuannya, melainkan penderitaan orang dewasa yang paham sepenuhnya. Rasanya sangat berat untuk tidak mengulurkan tangan dan meletakkannya di pipi Jamie. Aku ingin memeluk dan memintanya agar tidak merasa sedih. Kukepalkan kedua tanganku, dan aku mencoba berkonsentrasi pada pertanyaan Jamie. Mata Jeb melirik kedua tanganku, lalu kembali memandang wajahku.
"Bukan aku yang memutuskan ," gumamku. "Aku masih berada di dalam tangki hibernasi, jauh di ruang angkasa, ketika hal itu terjadi. "
Kembali Jamie mengerjap terkejut. Jawabanku sama sekali tidak seperti yang diharapkannya, dan aku bisa melihatnya berjuang menghadapi semacam emosi baru. Kulirik jeb; matanya besinar-sinar penasaran.
Rasa penasaran yang sama, walaupun lebih waspada, terlihat di mata Jamie. "Dari mana asalmu?" tanyanya.
Tanpa bisa menahan diri, aku tersenyum melihat ketertarikan sekaligus keengganannya. "Jauh sekali. Planet lain."
"Apa--" Jamie mulai bertanya, tapi disela pertanyaan lain.
"Apa-apaan ini?" teriak Jared kepada kami. Tubuhnya membeku oleh kemarahan ketika ia berbelok di ujung terowongan. "Kepara, Jeb! Kita sudah setuju untuk tidak--"
Jamie melompat berdiri. "Jeb tidak membawaku kemari. Seharusnya kau yang membawaku kemari."
Jeb mendesah, lalu berlahan-lahan bangkit bediri. Ketika ia berbuat demikian, senapan berguling dari pangkuannya ke lantai. Benda itu berhenti hanya beberapa senti dariku. Aku beringsut menjauh, tidak merasa nyaman.
Jared bereaksi lain. Ia menerjang ke arahku, menempuh lorong panjang itu hanya dengan beberapa langkah. Aku meringkuk ke dinding dan menutupi wajahku dengan kedua tangan. ketika mengintip dari sela-sela siku, kulihat Jared merenggut senapan dari lantai.
"Apakah kau sedang mencoba membunuh kita semua?" Jared nyaris berteriak kepada Jeb, menyodokkan senapan ke dada lelaki tua itu.
"Tenang, Jared," ujar Jeb dengan suara lelah. Dipegangnya senapan itu dengan sebelah tangan. "Dia takkan menyentuh benda ini, kalaupun aku meninggalkan senapan ini di bawah sini sendirian bersamanya sepanjang malam. Tak bisakah kau melihatnya?" Ia mengarahkan moncong senapan itu kepadaku, dan aku menunduk ketakutan. "Dia bukan Pencari."
"Diam, Jeb, diam sajalah!"
"Jangan ganggu dia," sergah Jamie. "Dia tidak melakukan kesalahan apa pun."
"Kau!" bentak Jared lagi, berbalik menghadap sosok kerempeng yang sedang marah itu. "Kau keluar dari sini. Sekarang. Awas kalau tidak!"
Jamie mengepalkan tangan dan tetap di tempat.
Kepalan Jared ikut terangkat.
Aku terpaku di tempat, terkejut. Bagaimana mungkin mereka bisa saling berteriak seperti ini? Mereka keluarga; ikatan di antara mereka lebih kuat daripada ikatan darah apa pun. Jared takkan memukul Jamie-- ia tak bisa melakukannya! Aku ingin berbuat sesuatu, tapi tidak tahu apa. Segala sesuatu yang menarik perhatian mereka kepadaku hanya akan membuat mereka semakin marah.
Sekali ini Melanie lebih tenang daripada aku. Jared tidak bisa melukai jamie, ujarnya yakin. Itu mustahil.
Aku memandang mereka, yang berhadapan seperti musuh, lalu merasa panik.
Kita seharusnya tak datang kemari. Lihat betapa kita membuat mereka tidak bahagia, erangku.
"Seharusnya kau tidak merahasiakan ini dariku," ujar Jamie lewat sela-sela gigi. "Dan seharusnya kau tidak melukainya." Satu kepalannya membuka dan terangkat menunjuk wajahku.
Jared meludah ke lantai. "Itu bukan Melanie. Dia takkan pernah kembali, Jamie."
"Itu wajahnya," desak jamie. "Dan lehernya. Tidakkan memar-memar itu mengganggumu?"
Jared menjatuhkan kedua tangannya. Ia memejamkan mata dan menghela napas panjang. "Kau harus pergi sekarang juga, Jamie, beri aku sedikit ruang, atau aku akan memaksamu pergi. Aku tidak hanya menggertak. Aku tak sanggup lagi menghadapinya saat ini, oke? Batas kesabarranku sudah habis. Jadi, bisakah kita menunda percakapan ini?" Ia membuka mata; sepasang mata yang penuh rasa sakit.
Jamie memandang Jared, kemarrahannya perlahan-lahan memudar dari wajahnya. "Maaf," gumamnya setelah beberapa saat. "Aku akan pergi... tapi aku tidak berjanji untuk tidak kembali."
"Aku tidak bisa memikirkannya sekarang. Pergilah, kumohon."
Jamie mengangkat bahu. Sekali lagi ia melontarkan pandangan menyelidik kepadaku, lalu pergi. Langkah-langkah kakinya yang panjang dan cepat kembali menyakitkanku, mengingatkanku pada waktu yang hilang.
Jared memandang Jeb. "Kau juga," katanya datar.
Jeb memutar bola matanya. "Sejujurnya, kurasa kau belum cukup beristirahat. Aku akan mengawasi--"
"Pergilah."
Jeb mengerutkan kening serius. "Oke. Tentu." Ia mulai berjalan menyusuri lorong.
"Jeb?" panggil Jared.
"Ya?"
"Seandainya aku memintamu menembak mahluk itu sekarang juga, maukah kau melakukannya?"
Jeb terus berjalan perlahan-lahan, tanpa memandang kami, tapi kata-katanya jelas terdengar. "Harus. Aku mematuhi peraturanku sendiri. Jadi, jangan memintaku melakukannya, kecuali kau bersungguh-sungguh."
Ia menghilang dalam kegelapan.
Jared mengamati kepergiannya. Sebelum Jared bisa mengalihkan pandangannya kepadaku, aku membungkuk memasuki tempat perlindunganku yang tidak nyaman, lalu meringkuk di pojok belakang.

0 comments on "The Host - Bab 17"

Post a Comment