Bosan
Aku menghabiskan sisa hari itu dalam keheningan total kecuali satu perkecualian singkat.
Perkecualian itu terjadi ketika Jeb membawakan makanan untukku dan Jared beberapa jam kemudian. Ketika meletakkan nampan di lubang masuk ke gua mungilku, Jeb tersenyum penuh penyesalan.
"Terima kasih," bisikku.
"Sama-sama," jawabnya.
Kudengar Jared menggeram, terusik percakapan singkat kami. Itu satu-satunya suara yang dikeluarkan Jared sepanjang hari. Aku yakin ia berada di luar sana, tapi tak pernah terdengar apa - apa, bahkan suara napas, untuk menegaskan keyakinanku.
Hari sangat panjang--sangat sesak dan sangat membosankan. Aku mencoba setiap posisi yang bisa kubayangkan, tapi tak sekali pun behasil meregangkan tubuh dengan nyaman. Bagian bawah punggungku mulai berdenyut-denyut tanpa henti.
Aku dan Melanie banyak berpikir tentang Jamie. Yang terutama, kami khawatir telah merusak anak laki-laki itu dengan kedatangan kami kemari, dan kini kami khawatir telah melukainya. Apa artinya memenuhi janji, jika dibandingkan dengan semua itu?
Waktu kehilangan arti. Mungkin matahari terbenam, mungkin fajar--aku tak punya referensi di sini, terkubur di dalam bumi. Aku dan Melanie kehabisan topik diskusi. Kami membolak-balik lembar-lembar ingatan kami bersama secara menyedihkan, seperti menggonta-ganti saluran TV untuk mencari acara. Sekali aku mencoba tidur siang, tapi tak bisa tidur nyenyak karena merasa sangat tidak nyaman.
Ketika Jeb akhirnya kembali, rasanya aku bisa mencium wajah kering keriput itu. Ia membungkuk ke dalam selku dengan seringai lebar yang meregangkan kedua pipinya.
"Sudah saatnya berjalan- jalan lagi?" tanyanya.
Aku mengangguk bersemangat.
"Akan kulakukan," gerutu Jared, "Berikan senapannya."
Aku bimbang, berjongkok kikuk di mulut gua, sampai Jeb mengangguk kepadaku.
"Pergilah," kata Jeb.
Aku keluar, tubuhku masih kaku dan limbung. Aku menyambut uluran tangan Jeb. Jared mengeluarkan suara jijik dan memalingkan wajah. Ia memegang senapan erat-erat, buku jari-jarinya memutih di atas moncong senapan. Aku tak suka melihat benda itu di tangannya. Lebih menggangguku daripada ketika dipegang Jeb.
Jared tidak menungguku seperti yang dilakukan Jeb. Ia terus melenggang ke dalam terowongan gelap tanpa berhenti agar aku bisa mengikutinya.
Menyulitkan. Ia tak banyak mengeluarkan suara dan tidak menuntunku, jadi aku harus berjalan dengan satu tangan di depan wajah dan satu tangan di dinding, berusaha agar tidak menabrak batu. Aku jatuh dua kali di lantai yang tidak rata. Walaupun tidak menolongku, Jared menunggu sampai mendengar aku sudah berdiri lagi, lalu melanjutkan perjalanan. Sekali, ketika melewati bagian lorong yang agak lurus, aku berjalan terlalu dekat sehingga tanganku yang meraba-raba menyentuh punggungnya, menyusurinya, sebelum menyadari aku tidak menyentuh dinding lain. Jared melompat ke depan, lalu menyentakkan tubuhnya dari jari-jariku seraya mendesis marah.
"Maaf," bisikku, kurasakan pipiku berubah hangat dalam kegelapan.
Jared tidak menjawab, tapi mempercepat langkah sehingga mengikutinya jadi semakin sulit.
Aku bingung ketika akhirnya muncul semacam cahaya di depanku. Apakah kami mengambil rute berbeda? Ini bukan cahaya putih cemerlang ruang gua terbesar. Cahayanya lebih suram, pucat, dan keperakan. Tapi selah sempit yang harus kami lewati tampaknya sama... Ketika sudah berada di dalam ruang raksasa yang menggema itu, barulah kusadari apa yang menyebabkan perbedaan itu.
Ini malam hari. Cahaya yang bersinar suram dari atas lebih mirip cahaya bulan daripada cahaya matahari. Kumanfaatkan penerangan yang lebih tidak menyilaukan itu untuk meneliti langit-langit di atasku, ratusan bulan kecil memancarkan cahaya pucat ke lantai suram yang jauh. Bulan-bulan kecil itu tersebar dalam kelompok-kelompok tak berpola, beberapa kali lebih jauh daripada yang lain. Aku menggeleng. Walaupun kini bisa melihat langsung cahaya itu, aku masih tidak paham.
"Ayo," perintah Jared marah, beberapa langkah di depanku.
Aku tersentak dan bergegas mengikutinya. Aku menyesal membiarkan perhatianku berkelana. Bisa kulihat betapa menjengkelkannya bagi Jared untuk bicara denganku.
Aku tidak mengharapkan bantuan senter ketika kami mencapai ruang bersungai itu, dan aku memang tidak menerimanya. Kini ruangan itu juga berpenerangan suram seperti gua besar tadi, tapi hanya dua puluh bulan mini aneh yang menerangina. Jared mengertakkan rahang dan menatap langit-langit, sementara aku berjalan ragu ke dalam ruang berkolam sehitam tinta itu. Kurasa, jika aku terjatuh ke dalam mata air panas bawah tanah yang ganas itu dan menghilang, Jared mungkin akan menganggap peristiwa tersebut sebagai campur tangan takdir yang menguntungkan.
Kurasa ia akan sedih, ujar Melanie tidak setuju, ketika aku bergeser mencari jalan di sekitar kamar mandi hitam itu seraya memeluk dinding. Jika kita terjatuh.
Aku tak yakin. Ia mungkin teringat rasa sakit akibat kehilangan dirimu saat pertama dulu, tapi ia akan senang jika aku menghilang.
Karena Jared tidak mengenalmu, bisik Melanie. lalu suaranya lenyap, seakan ia mendadak merasa lelah.
Aku terpaku di tempat. Terkejut. Aku tak yakin, tapi rasanya Melanie seperti baru saja memujiku.
"Cepat," teriak jared dari ruangan lain.
Aku bergegas secepat mungkin dalam kegelapan dan ketakutanku.
Ketika kami kembali, Jeb sedang menunggu di dekat lampu biru. Di dekat kakinya ada dua silinder empuk berbonggol-bonggol dan dua benda berbentuk persegi panjang tak beraturan. Aku tidak memperhatikan benda-benda itu sebelumnya. Mungkin ia mengambil semua itu ketika kami sedang pergi tadi.
"Kau atau aku yang tidurdi sini malam ini?" tanya Jeb kepada Jared dengan nada santai.
Jared memandang benda-benda di kaki Jeb.
"Aku," jawabnya singkat. "Dan aku hanya perlu satu kasur gulung."
Jeb mengangkat sebelah alis tebalnya.
"Dia bukan salah satu dari kita, Jeb. Kau telah menyerahkannya kepadaku--jadi pergilah."
"Dia juga bukan binatang, Nak. Dan kau bahkan tidak akan memperlakukan anjing dengan cara seperti ini."
Jared tidak mejawab, tapi menggertakkan gigi.
"Aku tak pernah membayangkanmu sebagai lelaki kejam," ujar Jeb pelan. Tapi ia memungut satu silinder itu, menyelipkan lengan pada pengikatnya, lalu menyampirkannya di bahu. Lalu ia mengepit benda berbentuk persegi panjang itu--bantal--di bawah lengannya.
"Maaf, Sayang." Katanya ketika melewatiku, menepuk bahuku.
"Hentikan!" gerutu Jared.
Jeb mengangkat bahu dan berjalan pergi. Sebelum ia lenyap dari pandangan, aku bergegas menghilang ke dalam selku. Aku bersembunyi di dalam ceruk-ceruk tergelap, bergelung membentuk bola padat yang kuharap terlalu kecil untuk dilihat.
Jared tidak bersembunyi diam-diam dan tak terlihat di terowongan luar, tapi membentangkan kasur gulungnya tepat di depan mulut penjaraku. Ia menepuk-nepuk bantal beberapa kali, mungkin mencoba memamerkan bahwa ia memiliki benda itu. Ia berbaring di kasur dan menyilangkan kedua lengannya di dada. Itu bagian dari tubuhnya yang bisa kulihat melalui lubang--hanya lengan terlipat dan setengah perutnya.
Kulit Jared masih berwarna keemasan gelap yang sama, warna yang menghantui mimpi-mimpiku setengah tahun terakhir ini. Aneh sekali mendapati potongan mimpiku benar-benar nyata, dan berjarak kurang dari satu setengah meter dariku. Sureal.
"Kau takkan bisa menyelinap melewatiku," katanya mengingatkan. Suaranya lebih lembut daripada sebelumnya. Mengantuk. "Kalau kau mencoba..." Ia menguap. "Aku akan membunuhmu."
Aku tidak bereaksi. Peringatan itu terdengar seperti semacam hinaan bagiku. Buat apa aku mencoba menyelinap melewatinya? Kemana aku akan pergi? Ke tangan orang-orang barbar di luar sana yang menungguku, yang semuanya berharap aku benar-benar akan melakukan usaha tolol semacam itu? Atau seandainya, entah bagaimana, aku bisa menyelinap melewati mereka, akankah aku kembali ke padang gurun yang nyaris memanggangku sampai mati ketika terakhir kali aku mencoba melintasinya? Aku bertanya-tanya, apa yang menurut pikiran Jared mampu kulakukan. Rencana apa yang dipikirnya sedang kugodok untuk menggulingkan dunia kecil mereka? Apakah aku tampak begitu kuat? Tidakkah sudah jelas betapa tak berdaya dan menyedihkannya diriku?
Aku tahu Jared tidur nyenyak, karena tubuhnya mulai tersentak-sentak. Seperti yang diingat Melanie, Jared terkadang begitu. Ketika sedang marah, tidurnya sangat gelisah. Kuamati jari-jari tangannya yang mengepal dan membuka bergantian, dan aku bertanya-tanya apakah ia sedang memimpikan jari-jari itu mencekik leherku?
#
Hari-hari setelah itu--mungkin seminggu, mustahil untuk menghitungnya secara pasti--sangat tenang. Jared seperti dinding bisu di antara diriku dan segala sesuatu lainnya di dunia, baik maupun buruk. Tak terdengar suara, kecuali napasku sendiri, gerakan-gerakanku sendiri; tak terlihat pemandangan, kecuali gua hitam di sekelilingku, lingkaran cahaya suram, nampan yang kukenal dengan ransum sama, Jared yang kucuri pandang sekilas; tak terasa sentuhan, kecuali batu-batu yang menonjol di kulitku; tak tercecap rasa, kecuali air pahit, roti keras, sup hambar, akar seperti kayu. Berulang-ulang.
Itu kombinasi yang sangat aneh; ketakutan yang konsisten, ketidaknyamanan fisik yang terus-menerus menimbulkan rasa sakit, dan kemonotonan yang menyiksa. Dari ketiganya, kebosanan mematikan adalah yang paling sulit dihadapi. Penjaraku merupakan bilik tanpa ndra.
Bersama-sama, aku dan Melanie khawatir kami bakal jadi gila.
Kita sama-sama mendengar suara di dalam kepala kita, jelasnya. It jelas bukan pertanda baik.
Bisa-bisa kita lupa cara berbicara, ujarku waswas. Sudah berapa lama sejak seseorang bicara dengan kita?
Empat hari yang lalu kau mengucapkan terima kasih kepada Jeb karena telah membawakan kita makanan, dan ia menjawab: sama-sama. Well, kurasa itu empat hari yang lalu. Setidaknya ada empat kali tidur yang lama. Melanie seakan mendesah. Berhentilah menggigiti kuku-perlu waktu bertahun-tahun bagiku untuk menghentikan kebiasaan itu.
Tapi kuku-kuku panjang tajam itu menggangguku.
Kurasa kita tak perlu mengkhawatirkan kebiasaan buruk untuk waktu lama.
Jared tidak membiarkan Jeb membawakan makanan lagi. Sebagai gantinya, seseorang membawakan makanan sampai ke ujung lorong, dan Jared mengambilnya. Aku mendapat hidangan yang sama--roti, sup, dan sayuran--dua kali sehari. Terkadang ada kudapan ekstra untuk Jared, makanan kemasan dengan merek yang kukenal--Red Vines, Snickers, Pop-Tarts. Aku mencoba membayangkan bagaimana cara manusia memperoleh kudapan-kudapan lezat ini.
Aku tidak berharap Jared membagi makanannya--tentu saja tidak--tapi aku terkadang bertanya-tanya apakah ia mengira aku berharap demikian. Salah satu dari sedikit penghiburanku adalah mendengarnya menyantap kudapan-kudapan itu, karena ia selalu melakukannya dengan begitu mencolok, mungkin pamer, sama seperti sikapnya dengan bantal itu malam pertama dulu.
Sekali Jared membuka perlahan-lahan sebungkus Cheetos dengan merobeknya--pelan seperti biasa--dan aroma kaya keju bubuk buatan bergulung masuk ke guaku... lezat, tak tertahankan. Ia menyantap sebutir Cheetos perlahan-lahan, membiarkanku mendengar setiap bunyi kriuk nyaringnya.
Perutku bergemuruh keras, dan aku tertawa sendiri. Sudah lama sekali aku tak pernah tertawa. Kucoba untuk mengingat terakhir kali aku tertawa, tapi tak bisa. Yang kuingat hanya serangan histeria mengerikan aneh di padang gurun itu, yang benar-benar tak bisa digolongkan sebagai tertawa. Bahkan sebelum aku kemari, tak banyak hal yang kuanggap lucu.
Tapi ini tampak menggelikan bagiku untuk alasan tertentu--perutku merindukan sebutir Cheetos kecil--dan aku kembali tertawa. Tanda kegilaan. Itu pasti.
Aku tak tahu bagaimana reaksiku itu bisa menghina Jared, tapi ia bangkit berdiri dan menghilang. Setelah lama, aku bisa mendengarnya kembali menyantap Cheetos itu, tapi dari tempat yang agak jauh. Aku mengintip dari lubang dan melihatnya duduk dalam bayang-bayang di ujung koridor, memunggungiku. Kutarik kepalaku ke dalam, khawatir ia berbalik dan memergokiku mengamatinya. Sejak itu Jared tetap berada di ujung lorong sesering mungkin. Hanya di malam hari ia meregangkan tubuh di depan penjaraku.
Dua kali sehari--atau tepatnya dua kali semalam, karena Jared tak pernah membawaku ketika yang lain sedang berkeliaran--aku dibawa berjalan ke ruang bersungai. Itu merupakan penghiburan, walaupun rasanya menakutkan, karena hanya pada saat itulah aku tidak meringkuk membentuk posisi tak alami yang dipaksakan gua kecil kepadaku. Setiap kali aku harus merangkak kembali ke dalam, rasanya lebih berat daripada sebelumnya.
Tiga kali selama minggu itu, dan selalu pada jam-jam tidur seseorang datang mengecek kami.
Pertama Kyle.
Tindakan Jared, yang mendadak melompat berdiri, membuatku terbangun. "Keluarlah dari sini," katanya mengingatkan, bersiaga memegang senapan.
"Hanya mengecek," ujar Kyle. Suaranya terdengar jauh, tapi cukup lantang dan kasar, sehingga aku yakin itu bukan suara adiknya. "Suatu hari nanti, kau mungkin tidak berada di sini. Suatu hari nanti, kau mungkin tidur terlalu nyenyak."
Satu-satunya jawaban Jared hanyalah bunyi kokangan senapan.
AKu mendengar tawa Kyle mengikuti kepergiannya.
Dua kalinya lagi aku tidak tahu siapa yang datang. Kyle lagi atau mungkin Ian, atau mungkin seseorang yang namanya belum kupelajari. Yang kutahu hanyalah, dua kali lagi aku dibangunkan oleh Jared yang mendadak melompat berdiri dengan senapan terarah kepada si pengganggu. Tak ada kata-kata yang diucapkan. Siapa pun itu, yang hanya mengecek, orang itu tak mau repot-repot mengajak bicara. Perlu lebih lama bagiku untuk menenangkan jantung.
keempat kalinya adalah sesuatu yang baru.
Aku belum nyenyak ketika Jared terbangun dengan terkejut, lalu berguling dan berlutut dengan gerakan cepat. Ia muncul dengan senapan di tangan dan umpatan di bibir.
"Tenang," gumam sebuah suara dari kejauhan. "Aku datang dalam damai."
"Apa pun yang kaukatakan, aku tak percaya," gerutu Jared.
"Aku hanya ingin bicara." Suara itu terdengar lebih dekat. "Kau terkubur di sini, melewatkan diskusi-diskusi penting... Kami merindukan pendapat-pendapatmu."
"Pasti," ujar Jared sinis.
"Oh, letakkan senapannya. Kalau aku berencana bertarung denganmu, saat ini aku akan muncul dengan empat laki-laki."
Hening sejenak. Ketika Jared kembali biara, suaranya mengandung sedikit sindiran. "Bagaimana kabar kakakmu belakangan ini?" tanyanya. Tampaknya Jared menikmati pertanyaan itu. Menggoda pengunjung membuatnya santai. Ia duduk dan menyandarkan tubuh pada dinding. Setengah tubuhnya berada di depan penjaraku. Sikapnya santai, tapi senapannya masih siaga.
Leherku sakit, seakan memahami bahwa sepasang tangan yang pernah mencekik dan membuatku memar itu berada sangat dekat.
"Kyle masih marah soal hidungnya," ujar Ian. "Well, ini bukan pertama kali hidungnya patah. Kubilang kepadanya kau menyesal."
"Aku tidak menyesal."
"Aku tahu. Tak seorang pun menyesal setelah memukul Kyle."
Mereka tertawa pelan bersama-sama. Rasa setia kawan dalam kegembiraan mereka tampak sangat tidak pada tempatnya, karena Jared memegang santai senapan itu dengan moncong terarah kepada Ian. Tapi agaknya ikatan-ikatan yang terbentuk di tempat genting ini sangat kuat. Lebih kental daripada darah.
Ian duduk di kasur di sebelah Jared. Aku bisa melihat profilnya dalam bentuk siluet hitam dilatari lampu biru. Kuamati bahwa hidungnya sempurna--mancung, sedikit bengkok, jenis hidung yang kulihat dalam gambar patung-patung terkenal. Apakah itu berarti orang lain menganggap Ian lebih baik dibandingkan kakaknya yang hidungnya sering patah? Atau apakah ia lebih jago mengelak?
"Jadi, kau mau apa, Ian? Kurasa bukan sekarad mendapatkan permintaan maaf untuk Kyle."
"Jeb belum cerita?"
"Aku tidak tahu kau bicara apa."
"Parasit-parasit itu sudah menghentikan pencarian. Bahkan para pencari."
Jared tidak berkomentar, tapi kurasakan ketegangan mendadak dalam udara di sekitar tubuhnya.
"Kami mengamati dengan cermat, menunggu perubahan, tapi tampaknya mereka tidak telalu bersemangat. Pencarian itu tak pernah melenceng jauh dari area tempat kami meninggalkan mobil dan beberapa hari belakangan jelas mencari mayat, bukan mahluk yang bernyawa. Dua malam yang lalu kami beruntung--regu pencari meninggalkan sampah di tempat terbuka, dan kawanan coyote menyerbu perkemahan utama mereka. Salah satu Pencari kembali saat larut malam. Dia mengejutkan hewan-hewan itu, yang kemudian menyerang dan menyeretnya sejauh kira-kira seratus meter ke padang gurun, sebelum rekan-rekannya mendengar teriakannya dan datang menolong. Tentu saja Pencari-Pencari itu bersenjata. Dengan mudah mereka mengusir coyote-coyote itu, dan si korban tidak terluka parah. Tapi kejadian itu tampaknya menjawab semua pertanyaan mereka mengenai apa yang mungkin terjadi dengan tamu kita ini. "
Aku bertanya-tanya bagaimana mereka bisa memata-matai para Pencari yang mencariku--dan tahu sangat banyak. Ganjilnya aku merasa terancam oleh gagasan itu. Aku tidak menyukai gambaran itu di dalam kepalaku: manusia-manusia yang tak terlihat, mengamati jiwa-jiwa yang mereka benci. Pikiran itu membuat bulu kudukku meremang.
"Jadi mereka berkemas-kemas, lalu pergi. Para Pencari menghentikan pencarian. Semua sukarelawan pulang. Tak ada lagi yang mencarinya." Profil Ian berpaling ke arahku. AKu meringkuk, berharap keadaan sangat gelap sehingga aku tidak terlihat di sini dan seperti wajahnya, aku akan tampak seperti bayangan hitam saja.
"Kurasa secara resmi dia telah dinyatakan mati, jika parasit-parasit itu mencatat hal-hal semacam itu, seperti yang biasa kita lakukan. Jeb mengatakan, "Kubilang juga apa" kepada siapa saja yang masih sanggup bertahan cukup lama untuk mengdengarnya."
Jared menggumamkan sesuatu yang tak bisa kupahami. AKu hanya bisa mendengar nama Jeb. Ia menghela napas panjang, menghembuskannya, lalu berkata, "Baiklah kalau begitu. Kurasa inilah akhirnya."
"Kelihatannya memang begitu." Sejenak Ian bimbang, lalu mengimbuhkan, "Kecuali... well, mungkin ini tak ada artinya."
Jared kembali tegang: ia tidak suka jika kecerdasannya diralat. "Teruskan."
"Tak seorang pun, kecuali Kyle, yang banyak memikirkannya. Dan kau tahu sendiri bagaimana Kyle."
Jared bergumam mengiyakan.
"Kau punya naluri terbaik untuk hal semacam ini. Aku menginginkan pendapatmu. Itulah sebabnya aku di sini, bertaruh nyawa menyusup ke area terlarang," ujar Ian masam, lalu suaranya kembali serius. "Kau tahu, ada satu... Pencari, tak diragukan lagi, yang membawa Glock."
Perlu sedetik bagiku untuk memahami kata yang digunakan Ian. Itu bukan bagian perbendaharaan kata Melanie yang kukenal. Ketika kpahami bahwa Ian membicarakan semacam senapan, nada berandai-andai dan cemburu di dalam saranya membuatku merasa sedikit tidak enak.
"Kyle orang pertama yang mengamati betapa menonjolnya Pencari yang satu ini. Sepertinya dia bukan orang penting bagi para Pencari lainnya--pasti dia bukan bagian dari rantai pengambilan keputusan. Oh dia memang memberikan usulan-usulan, sejauh yang bisa kami lihat, tapi tampaknya tak ada yang mendengarkan. Kalau saja kami bisa mendengar apa yang dia katakan..."
Aku kembali merinding waswas.
"Bagaimanapun," lanjut Ian, "Ketika mereka menghentikan pencarian, Pencari yang satu ini tidak senang dengan keputusan itu. Kau tahu bagaimana parasit-parasit itu selalu bersikap begitu... menyenangkan? Pencari yang ini aneh. Sejauh ini hanya sekali itulah aku mendengar mereka berselisih. Bukan perselisihan sesungguhnya, karena tak ada di antara mereka yang menjawab. Tapi Pencari yang tidak senang itu tampak seakan berselisih dengan mereka. Kelompok inti para Pencari mengabaikannya--mereka semua sudah pergi."
"Tapi Pencari yang tidak senang itu?" tanya Jared.
Dia naik mobil dan menyetir setengah jalan menuju Phoenix. Lalu menyetir balik ke Tucson. Lalu menyetir ke barat lagi."
"Masih mencari."
"Atau sangat kebingungan. Dia berhenti di toko kecil di dekat puncak. Bicara dengan parasit yang bekerja di sana, walaupun parasit itu sudah pernah ditanyai."
"Hah," geruttu Jared. Ia kini tertarik, dan berkonsentrasi pada teka-teki itu.
"Lalu dia mendaki ke puncaknya. Mahluk kecil tolol. Dengan pakaian serba hitam dari kepala sampai ujung kaki, dia akan terbakar hidup-hidup."
Tubuhku kejang. Aku mendapati diriku terjatuh ke lantai, meringkuk di dinding belakang sel. Sepasang tanganku terangkat untuk melindungi wajah. Kudengar bunyii desis yang menggema di seluruh ruangan kecil itu. Dan, setelah suara itu menghilang barulah kusadari akulah yang mendesis.
"Apa itu?" tanya Ian. Suaranya terdengar terkejut.
Aku mengintip lewat sela-sela jari, dan melihat wajah mereka melongok melalui lubang. Wajah Ian hanya tampak hitam, tapi sebagian wjaah Jared terlihat, dan ekspresinya sekeras batu.
Aku ingin tetap diam, tak terlihat, tapi tak bisa mengontrol getaran yang mengguncang hebat tulang punggungku.
Jared menjauh, lalu kembali dengan lampu di tangan.
"Lihat matanya," gumam Ian. "Dia ketakutan."
Kini aku bisa melihat ekspresi mereka, tapi mataku hanya memandang Jared. Tatapannya benar-benar terpusat kepadaku, menimbang-nimbang. Kurasa ia merenungkan perkataan Ian, mencari pemicu atas perilakuku.
Tubuhku tak mau berhenti bergetar.
Si Pencari takkan pernah menyerah, erang Melanie.
Aku tahu, aku tahu, erangku menjawabnya.
Kapankan ketidaksukaan kami berubah jadi ketakutan? Perutku mengejang dan bergolak. Mengapa perempuan itu tak bisa membiarkanku mati saja seperti yang lain? Seandainya aku sudah mati, apakah ia masih tetap akan memburuku?
"Siapa Pencari berpakaian serba hitam itu?" tiba-tiba Jared membentakku.
Bibirku gemetar, tapi aku tidak menjawab. Diam adalah tindakan paling aman.
"Aku tahu kau bisa bicara," gerutu Jared. "Kau bicara kepada Jeb dan Jamie. Dan kini kau akan bicara kepadaku."
Jared memanjat ke mulut gua, dan mendengus kaget ketika melihat betapa ia harus melipat tubuh untuk memasukinya. Langit - langit rendah itu memaksanya berlutut, dan itu tidak membuatnya senang. Aku bisa melihat ia lebih suka berdiri di hadapanku.
Aku tak bisa lari ke mana-mana. Aku telah meringkuk di pojok terjauh. Gua itu nyaris tak cukup untuk kami berdua. Bisa kurasakan napas Jared di kulitku.
"Katakan apa yang kauketahui," perintah Jared.
Jual Nugget dan Sosis Sayur
The Host - Bab 18
Bosan
Aku menghabiskan sisa hari itu dalam keheningan total kecuali satu perkecualian singkat.
Perkecualian itu terjadi ketika Jeb membawakan makanan untukku dan Jared beberapa jam kemudian. Ketika meletakkan nampan di lubang masuk ke gua mungilku, Jeb tersenyum penuh penyesalan.
"Terima kasih," bisikku.
"Sama-sama," jawabnya.
Kudengar Jared menggeram, terusik percakapan singkat kami. Itu satu-satunya suara yang dikeluarkan Jared sepanjang hari. Aku yakin ia berada di luar sana, tapi tak pernah terdengar apa - apa, bahkan suara napas, untuk menegaskan keyakinanku.
Hari sangat panjang--sangat sesak dan sangat membosankan. Aku mencoba setiap posisi yang bisa kubayangkan, tapi tak sekali pun behasil meregangkan tubuh dengan nyaman. Bagian bawah punggungku mulai berdenyut-denyut tanpa henti.
Aku dan Melanie banyak berpikir tentang Jamie. Yang terutama, kami khawatir telah merusak anak laki-laki itu dengan kedatangan kami kemari, dan kini kami khawatir telah melukainya. Apa artinya memenuhi janji, jika dibandingkan dengan semua itu?
Waktu kehilangan arti. Mungkin matahari terbenam, mungkin fajar--aku tak punya referensi di sini, terkubur di dalam bumi. Aku dan Melanie kehabisan topik diskusi. Kami membolak-balik lembar-lembar ingatan kami bersama secara menyedihkan, seperti menggonta-ganti saluran TV untuk mencari acara. Sekali aku mencoba tidur siang, tapi tak bisa tidur nyenyak karena merasa sangat tidak nyaman.
Ketika Jeb akhirnya kembali, rasanya aku bisa mencium wajah kering keriput itu. Ia membungkuk ke dalam selku dengan seringai lebar yang meregangkan kedua pipinya.
"Sudah saatnya berjalan- jalan lagi?" tanyanya.
Aku mengangguk bersemangat.
"Akan kulakukan," gerutu Jared, "Berikan senapannya."
Aku bimbang, berjongkok kikuk di mulut gua, sampai Jeb mengangguk kepadaku.
"Pergilah," kata Jeb.
Aku keluar, tubuhku masih kaku dan limbung. Aku menyambut uluran tangan Jeb. Jared mengeluarkan suara jijik dan memalingkan wajah. Ia memegang senapan erat-erat, buku jari-jarinya memutih di atas moncong senapan. Aku tak suka melihat benda itu di tangannya. Lebih menggangguku daripada ketika dipegang Jeb.
Jared tidak menungguku seperti yang dilakukan Jeb. Ia terus melenggang ke dalam terowongan gelap tanpa berhenti agar aku bisa mengikutinya.
Menyulitkan. Ia tak banyak mengeluarkan suara dan tidak menuntunku, jadi aku harus berjalan dengan satu tangan di depan wajah dan satu tangan di dinding, berusaha agar tidak menabrak batu. Aku jatuh dua kali di lantai yang tidak rata. Walaupun tidak menolongku, Jared menunggu sampai mendengar aku sudah berdiri lagi, lalu melanjutkan perjalanan. Sekali, ketika melewati bagian lorong yang agak lurus, aku berjalan terlalu dekat sehingga tanganku yang meraba-raba menyentuh punggungnya, menyusurinya, sebelum menyadari aku tidak menyentuh dinding lain. Jared melompat ke depan, lalu menyentakkan tubuhnya dari jari-jariku seraya mendesis marah.
"Maaf," bisikku, kurasakan pipiku berubah hangat dalam kegelapan.
Jared tidak menjawab, tapi mempercepat langkah sehingga mengikutinya jadi semakin sulit.
Aku bingung ketika akhirnya muncul semacam cahaya di depanku. Apakah kami mengambil rute berbeda? Ini bukan cahaya putih cemerlang ruang gua terbesar. Cahayanya lebih suram, pucat, dan keperakan. Tapi selah sempit yang harus kami lewati tampaknya sama... Ketika sudah berada di dalam ruang raksasa yang menggema itu, barulah kusadari apa yang menyebabkan perbedaan itu.
Ini malam hari. Cahaya yang bersinar suram dari atas lebih mirip cahaya bulan daripada cahaya matahari. Kumanfaatkan penerangan yang lebih tidak menyilaukan itu untuk meneliti langit-langit di atasku, ratusan bulan kecil memancarkan cahaya pucat ke lantai suram yang jauh. Bulan-bulan kecil itu tersebar dalam kelompok-kelompok tak berpola, beberapa kali lebih jauh daripada yang lain. Aku menggeleng. Walaupun kini bisa melihat langsung cahaya itu, aku masih tidak paham.
"Ayo," perintah Jared marah, beberapa langkah di depanku.
Aku tersentak dan bergegas mengikutinya. Aku menyesal membiarkan perhatianku berkelana. Bisa kulihat betapa menjengkelkannya bagi Jared untuk bicara denganku.
Aku tidak mengharapkan bantuan senter ketika kami mencapai ruang bersungai itu, dan aku memang tidak menerimanya. Kini ruangan itu juga berpenerangan suram seperti gua besar tadi, tapi hanya dua puluh bulan mini aneh yang menerangina. Jared mengertakkan rahang dan menatap langit-langit, sementara aku berjalan ragu ke dalam ruang berkolam sehitam tinta itu. Kurasa, jika aku terjatuh ke dalam mata air panas bawah tanah yang ganas itu dan menghilang, Jared mungkin akan menganggap peristiwa tersebut sebagai campur tangan takdir yang menguntungkan.
Kurasa ia akan sedih, ujar Melanie tidak setuju, ketika aku bergeser mencari jalan di sekitar kamar mandi hitam itu seraya memeluk dinding. Jika kita terjatuh.
Aku tak yakin. Ia mungkin teringat rasa sakit akibat kehilangan dirimu saat pertama dulu, tapi ia akan senang jika aku menghilang.
Karena Jared tidak mengenalmu, bisik Melanie. lalu suaranya lenyap, seakan ia mendadak merasa lelah.
Aku terpaku di tempat. Terkejut. Aku tak yakin, tapi rasanya Melanie seperti baru saja memujiku.
"Cepat," teriak jared dari ruangan lain.
Aku bergegas secepat mungkin dalam kegelapan dan ketakutanku.
Ketika kami kembali, Jeb sedang menunggu di dekat lampu biru. Di dekat kakinya ada dua silinder empuk berbonggol-bonggol dan dua benda berbentuk persegi panjang tak beraturan. Aku tidak memperhatikan benda-benda itu sebelumnya. Mungkin ia mengambil semua itu ketika kami sedang pergi tadi.
"Kau atau aku yang tidurdi sini malam ini?" tanya Jeb kepada Jared dengan nada santai.
Jared memandang benda-benda di kaki Jeb.
"Aku," jawabnya singkat. "Dan aku hanya perlu satu kasur gulung."
Jeb mengangkat sebelah alis tebalnya.
"Dia bukan salah satu dari kita, Jeb. Kau telah menyerahkannya kepadaku--jadi pergilah."
"Dia juga bukan binatang, Nak. Dan kau bahkan tidak akan memperlakukan anjing dengan cara seperti ini."
Jared tidak mejawab, tapi menggertakkan gigi.
"Aku tak pernah membayangkanmu sebagai lelaki kejam," ujar Jeb pelan. Tapi ia memungut satu silinder itu, menyelipkan lengan pada pengikatnya, lalu menyampirkannya di bahu. Lalu ia mengepit benda berbentuk persegi panjang itu--bantal--di bawah lengannya.
"Maaf, Sayang." Katanya ketika melewatiku, menepuk bahuku.
"Hentikan!" gerutu Jared.
Jeb mengangkat bahu dan berjalan pergi. Sebelum ia lenyap dari pandangan, aku bergegas menghilang ke dalam selku. Aku bersembunyi di dalam ceruk-ceruk tergelap, bergelung membentuk bola padat yang kuharap terlalu kecil untuk dilihat.
Jared tidak bersembunyi diam-diam dan tak terlihat di terowongan luar, tapi membentangkan kasur gulungnya tepat di depan mulut penjaraku. Ia menepuk-nepuk bantal beberapa kali, mungkin mencoba memamerkan bahwa ia memiliki benda itu. Ia berbaring di kasur dan menyilangkan kedua lengannya di dada. Itu bagian dari tubuhnya yang bisa kulihat melalui lubang--hanya lengan terlipat dan setengah perutnya.
Kulit Jared masih berwarna keemasan gelap yang sama, warna yang menghantui mimpi-mimpiku setengah tahun terakhir ini. Aneh sekali mendapati potongan mimpiku benar-benar nyata, dan berjarak kurang dari satu setengah meter dariku. Sureal.
"Kau takkan bisa menyelinap melewatiku," katanya mengingatkan. Suaranya lebih lembut daripada sebelumnya. Mengantuk. "Kalau kau mencoba..." Ia menguap. "Aku akan membunuhmu."
Aku tidak bereaksi. Peringatan itu terdengar seperti semacam hinaan bagiku. Buat apa aku mencoba menyelinap melewatinya? Kemana aku akan pergi? Ke tangan orang-orang barbar di luar sana yang menungguku, yang semuanya berharap aku benar-benar akan melakukan usaha tolol semacam itu? Atau seandainya, entah bagaimana, aku bisa menyelinap melewati mereka, akankah aku kembali ke padang gurun yang nyaris memanggangku sampai mati ketika terakhir kali aku mencoba melintasinya? Aku bertanya-tanya, apa yang menurut pikiran Jared mampu kulakukan. Rencana apa yang dipikirnya sedang kugodok untuk menggulingkan dunia kecil mereka? Apakah aku tampak begitu kuat? Tidakkah sudah jelas betapa tak berdaya dan menyedihkannya diriku?
Aku tahu Jared tidur nyenyak, karena tubuhnya mulai tersentak-sentak. Seperti yang diingat Melanie, Jared terkadang begitu. Ketika sedang marah, tidurnya sangat gelisah. Kuamati jari-jari tangannya yang mengepal dan membuka bergantian, dan aku bertanya-tanya apakah ia sedang memimpikan jari-jari itu mencekik leherku?
#
Hari-hari setelah itu--mungkin seminggu, mustahil untuk menghitungnya secara pasti--sangat tenang. Jared seperti dinding bisu di antara diriku dan segala sesuatu lainnya di dunia, baik maupun buruk. Tak terdengar suara, kecuali napasku sendiri, gerakan-gerakanku sendiri; tak terlihat pemandangan, kecuali gua hitam di sekelilingku, lingkaran cahaya suram, nampan yang kukenal dengan ransum sama, Jared yang kucuri pandang sekilas; tak terasa sentuhan, kecuali batu-batu yang menonjol di kulitku; tak tercecap rasa, kecuali air pahit, roti keras, sup hambar, akar seperti kayu. Berulang-ulang.
Itu kombinasi yang sangat aneh; ketakutan yang konsisten, ketidaknyamanan fisik yang terus-menerus menimbulkan rasa sakit, dan kemonotonan yang menyiksa. Dari ketiganya, kebosanan mematikan adalah yang paling sulit dihadapi. Penjaraku merupakan bilik tanpa ndra.
Bersama-sama, aku dan Melanie khawatir kami bakal jadi gila.
Kita sama-sama mendengar suara di dalam kepala kita, jelasnya. It jelas bukan pertanda baik.
Bisa-bisa kita lupa cara berbicara, ujarku waswas. Sudah berapa lama sejak seseorang bicara dengan kita?
Empat hari yang lalu kau mengucapkan terima kasih kepada Jeb karena telah membawakan kita makanan, dan ia menjawab: sama-sama. Well, kurasa itu empat hari yang lalu. Setidaknya ada empat kali tidur yang lama. Melanie seakan mendesah. Berhentilah menggigiti kuku-perlu waktu bertahun-tahun bagiku untuk menghentikan kebiasaan itu.
Tapi kuku-kuku panjang tajam itu menggangguku.
Kurasa kita tak perlu mengkhawatirkan kebiasaan buruk untuk waktu lama.
Jared tidak membiarkan Jeb membawakan makanan lagi. Sebagai gantinya, seseorang membawakan makanan sampai ke ujung lorong, dan Jared mengambilnya. Aku mendapat hidangan yang sama--roti, sup, dan sayuran--dua kali sehari. Terkadang ada kudapan ekstra untuk Jared, makanan kemasan dengan merek yang kukenal--Red Vines, Snickers, Pop-Tarts. Aku mencoba membayangkan bagaimana cara manusia memperoleh kudapan-kudapan lezat ini.
Aku tidak berharap Jared membagi makanannya--tentu saja tidak--tapi aku terkadang bertanya-tanya apakah ia mengira aku berharap demikian. Salah satu dari sedikit penghiburanku adalah mendengarnya menyantap kudapan-kudapan itu, karena ia selalu melakukannya dengan begitu mencolok, mungkin pamer, sama seperti sikapnya dengan bantal itu malam pertama dulu.
Sekali Jared membuka perlahan-lahan sebungkus Cheetos dengan merobeknya--pelan seperti biasa--dan aroma kaya keju bubuk buatan bergulung masuk ke guaku... lezat, tak tertahankan. Ia menyantap sebutir Cheetos perlahan-lahan, membiarkanku mendengar setiap bunyi kriuk nyaringnya.
Perutku bergemuruh keras, dan aku tertawa sendiri. Sudah lama sekali aku tak pernah tertawa. Kucoba untuk mengingat terakhir kali aku tertawa, tapi tak bisa. Yang kuingat hanya serangan histeria mengerikan aneh di padang gurun itu, yang benar-benar tak bisa digolongkan sebagai tertawa. Bahkan sebelum aku kemari, tak banyak hal yang kuanggap lucu.
Tapi ini tampak menggelikan bagiku untuk alasan tertentu--perutku merindukan sebutir Cheetos kecil--dan aku kembali tertawa. Tanda kegilaan. Itu pasti.
Aku tak tahu bagaimana reaksiku itu bisa menghina Jared, tapi ia bangkit berdiri dan menghilang. Setelah lama, aku bisa mendengarnya kembali menyantap Cheetos itu, tapi dari tempat yang agak jauh. Aku mengintip dari lubang dan melihatnya duduk dalam bayang-bayang di ujung koridor, memunggungiku. Kutarik kepalaku ke dalam, khawatir ia berbalik dan memergokiku mengamatinya. Sejak itu Jared tetap berada di ujung lorong sesering mungkin. Hanya di malam hari ia meregangkan tubuh di depan penjaraku.
Dua kali sehari--atau tepatnya dua kali semalam, karena Jared tak pernah membawaku ketika yang lain sedang berkeliaran--aku dibawa berjalan ke ruang bersungai. Itu merupakan penghiburan, walaupun rasanya menakutkan, karena hanya pada saat itulah aku tidak meringkuk membentuk posisi tak alami yang dipaksakan gua kecil kepadaku. Setiap kali aku harus merangkak kembali ke dalam, rasanya lebih berat daripada sebelumnya.
Tiga kali selama minggu itu, dan selalu pada jam-jam tidur seseorang datang mengecek kami.
Pertama Kyle.
Tindakan Jared, yang mendadak melompat berdiri, membuatku terbangun. "Keluarlah dari sini," katanya mengingatkan, bersiaga memegang senapan.
"Hanya mengecek," ujar Kyle. Suaranya terdengar jauh, tapi cukup lantang dan kasar, sehingga aku yakin itu bukan suara adiknya. "Suatu hari nanti, kau mungkin tidak berada di sini. Suatu hari nanti, kau mungkin tidur terlalu nyenyak."
Satu-satunya jawaban Jared hanyalah bunyi kokangan senapan.
AKu mendengar tawa Kyle mengikuti kepergiannya.
Dua kalinya lagi aku tidak tahu siapa yang datang. Kyle lagi atau mungkin Ian, atau mungkin seseorang yang namanya belum kupelajari. Yang kutahu hanyalah, dua kali lagi aku dibangunkan oleh Jared yang mendadak melompat berdiri dengan senapan terarah kepada si pengganggu. Tak ada kata-kata yang diucapkan. Siapa pun itu, yang hanya mengecek, orang itu tak mau repot-repot mengajak bicara. Perlu lebih lama bagiku untuk menenangkan jantung.
keempat kalinya adalah sesuatu yang baru.
Aku belum nyenyak ketika Jared terbangun dengan terkejut, lalu berguling dan berlutut dengan gerakan cepat. Ia muncul dengan senapan di tangan dan umpatan di bibir.
"Tenang," gumam sebuah suara dari kejauhan. "Aku datang dalam damai."
"Apa pun yang kaukatakan, aku tak percaya," gerutu Jared.
"Aku hanya ingin bicara." Suara itu terdengar lebih dekat. "Kau terkubur di sini, melewatkan diskusi-diskusi penting... Kami merindukan pendapat-pendapatmu."
"Pasti," ujar Jared sinis.
"Oh, letakkan senapannya. Kalau aku berencana bertarung denganmu, saat ini aku akan muncul dengan empat laki-laki."
Hening sejenak. Ketika Jared kembali biara, suaranya mengandung sedikit sindiran. "Bagaimana kabar kakakmu belakangan ini?" tanyanya. Tampaknya Jared menikmati pertanyaan itu. Menggoda pengunjung membuatnya santai. Ia duduk dan menyandarkan tubuh pada dinding. Setengah tubuhnya berada di depan penjaraku. Sikapnya santai, tapi senapannya masih siaga.
Leherku sakit, seakan memahami bahwa sepasang tangan yang pernah mencekik dan membuatku memar itu berada sangat dekat.
"Kyle masih marah soal hidungnya," ujar Ian. "Well, ini bukan pertama kali hidungnya patah. Kubilang kepadanya kau menyesal."
"Aku tidak menyesal."
"Aku tahu. Tak seorang pun menyesal setelah memukul Kyle."
Mereka tertawa pelan bersama-sama. Rasa setia kawan dalam kegembiraan mereka tampak sangat tidak pada tempatnya, karena Jared memegang santai senapan itu dengan moncong terarah kepada Ian. Tapi agaknya ikatan-ikatan yang terbentuk di tempat genting ini sangat kuat. Lebih kental daripada darah.
Ian duduk di kasur di sebelah Jared. Aku bisa melihat profilnya dalam bentuk siluet hitam dilatari lampu biru. Kuamati bahwa hidungnya sempurna--mancung, sedikit bengkok, jenis hidung yang kulihat dalam gambar patung-patung terkenal. Apakah itu berarti orang lain menganggap Ian lebih baik dibandingkan kakaknya yang hidungnya sering patah? Atau apakah ia lebih jago mengelak?
"Jadi, kau mau apa, Ian? Kurasa bukan sekarad mendapatkan permintaan maaf untuk Kyle."
"Jeb belum cerita?"
"Aku tidak tahu kau bicara apa."
"Parasit-parasit itu sudah menghentikan pencarian. Bahkan para pencari."
Jared tidak berkomentar, tapi kurasakan ketegangan mendadak dalam udara di sekitar tubuhnya.
"Kami mengamati dengan cermat, menunggu perubahan, tapi tampaknya mereka tidak telalu bersemangat. Pencarian itu tak pernah melenceng jauh dari area tempat kami meninggalkan mobil dan beberapa hari belakangan jelas mencari mayat, bukan mahluk yang bernyawa. Dua malam yang lalu kami beruntung--regu pencari meninggalkan sampah di tempat terbuka, dan kawanan coyote menyerbu perkemahan utama mereka. Salah satu Pencari kembali saat larut malam. Dia mengejutkan hewan-hewan itu, yang kemudian menyerang dan menyeretnya sejauh kira-kira seratus meter ke padang gurun, sebelum rekan-rekannya mendengar teriakannya dan datang menolong. Tentu saja Pencari-Pencari itu bersenjata. Dengan mudah mereka mengusir coyote-coyote itu, dan si korban tidak terluka parah. Tapi kejadian itu tampaknya menjawab semua pertanyaan mereka mengenai apa yang mungkin terjadi dengan tamu kita ini. "
Aku bertanya-tanya bagaimana mereka bisa memata-matai para Pencari yang mencariku--dan tahu sangat banyak. Ganjilnya aku merasa terancam oleh gagasan itu. Aku tidak menyukai gambaran itu di dalam kepalaku: manusia-manusia yang tak terlihat, mengamati jiwa-jiwa yang mereka benci. Pikiran itu membuat bulu kudukku meremang.
"Jadi mereka berkemas-kemas, lalu pergi. Para Pencari menghentikan pencarian. Semua sukarelawan pulang. Tak ada lagi yang mencarinya." Profil Ian berpaling ke arahku. AKu meringkuk, berharap keadaan sangat gelap sehingga aku tidak terlihat di sini dan seperti wajahnya, aku akan tampak seperti bayangan hitam saja.
"Kurasa secara resmi dia telah dinyatakan mati, jika parasit-parasit itu mencatat hal-hal semacam itu, seperti yang biasa kita lakukan. Jeb mengatakan, "Kubilang juga apa" kepada siapa saja yang masih sanggup bertahan cukup lama untuk mengdengarnya."
Jared menggumamkan sesuatu yang tak bisa kupahami. AKu hanya bisa mendengar nama Jeb. Ia menghela napas panjang, menghembuskannya, lalu berkata, "Baiklah kalau begitu. Kurasa inilah akhirnya."
"Kelihatannya memang begitu." Sejenak Ian bimbang, lalu mengimbuhkan, "Kecuali... well, mungkin ini tak ada artinya."
Jared kembali tegang: ia tidak suka jika kecerdasannya diralat. "Teruskan."
"Tak seorang pun, kecuali Kyle, yang banyak memikirkannya. Dan kau tahu sendiri bagaimana Kyle."
Jared bergumam mengiyakan.
"Kau punya naluri terbaik untuk hal semacam ini. Aku menginginkan pendapatmu. Itulah sebabnya aku di sini, bertaruh nyawa menyusup ke area terlarang," ujar Ian masam, lalu suaranya kembali serius. "Kau tahu, ada satu... Pencari, tak diragukan lagi, yang membawa Glock."
Perlu sedetik bagiku untuk memahami kata yang digunakan Ian. Itu bukan bagian perbendaharaan kata Melanie yang kukenal. Ketika kpahami bahwa Ian membicarakan semacam senapan, nada berandai-andai dan cemburu di dalam saranya membuatku merasa sedikit tidak enak.
"Kyle orang pertama yang mengamati betapa menonjolnya Pencari yang satu ini. Sepertinya dia bukan orang penting bagi para Pencari lainnya--pasti dia bukan bagian dari rantai pengambilan keputusan. Oh dia memang memberikan usulan-usulan, sejauh yang bisa kami lihat, tapi tampaknya tak ada yang mendengarkan. Kalau saja kami bisa mendengar apa yang dia katakan..."
Aku kembali merinding waswas.
"Bagaimanapun," lanjut Ian, "Ketika mereka menghentikan pencarian, Pencari yang satu ini tidak senang dengan keputusan itu. Kau tahu bagaimana parasit-parasit itu selalu bersikap begitu... menyenangkan? Pencari yang ini aneh. Sejauh ini hanya sekali itulah aku mendengar mereka berselisih. Bukan perselisihan sesungguhnya, karena tak ada di antara mereka yang menjawab. Tapi Pencari yang tidak senang itu tampak seakan berselisih dengan mereka. Kelompok inti para Pencari mengabaikannya--mereka semua sudah pergi."
"Tapi Pencari yang tidak senang itu?" tanya Jared.
Dia naik mobil dan menyetir setengah jalan menuju Phoenix. Lalu menyetir balik ke Tucson. Lalu menyetir ke barat lagi."
"Masih mencari."
"Atau sangat kebingungan. Dia berhenti di toko kecil di dekat puncak. Bicara dengan parasit yang bekerja di sana, walaupun parasit itu sudah pernah ditanyai."
"Hah," geruttu Jared. Ia kini tertarik, dan berkonsentrasi pada teka-teki itu.
"Lalu dia mendaki ke puncaknya. Mahluk kecil tolol. Dengan pakaian serba hitam dari kepala sampai ujung kaki, dia akan terbakar hidup-hidup."
Tubuhku kejang. Aku mendapati diriku terjatuh ke lantai, meringkuk di dinding belakang sel. Sepasang tanganku terangkat untuk melindungi wajah. Kudengar bunyii desis yang menggema di seluruh ruangan kecil itu. Dan, setelah suara itu menghilang barulah kusadari akulah yang mendesis.
"Apa itu?" tanya Ian. Suaranya terdengar terkejut.
Aku mengintip lewat sela-sela jari, dan melihat wajah mereka melongok melalui lubang. Wajah Ian hanya tampak hitam, tapi sebagian wjaah Jared terlihat, dan ekspresinya sekeras batu.
Aku ingin tetap diam, tak terlihat, tapi tak bisa mengontrol getaran yang mengguncang hebat tulang punggungku.
Jared menjauh, lalu kembali dengan lampu di tangan.
"Lihat matanya," gumam Ian. "Dia ketakutan."
Kini aku bisa melihat ekspresi mereka, tapi mataku hanya memandang Jared. Tatapannya benar-benar terpusat kepadaku, menimbang-nimbang. Kurasa ia merenungkan perkataan Ian, mencari pemicu atas perilakuku.
Tubuhku tak mau berhenti bergetar.
Si Pencari takkan pernah menyerah, erang Melanie.
Aku tahu, aku tahu, erangku menjawabnya.
Kapankan ketidaksukaan kami berubah jadi ketakutan? Perutku mengejang dan bergolak. Mengapa perempuan itu tak bisa membiarkanku mati saja seperti yang lain? Seandainya aku sudah mati, apakah ia masih tetap akan memburuku?
"Siapa Pencari berpakaian serba hitam itu?" tiba-tiba Jared membentakku.
Bibirku gemetar, tapi aku tidak menjawab. Diam adalah tindakan paling aman.
"Aku tahu kau bisa bicara," gerutu Jared. "Kau bicara kepada Jeb dan Jamie. Dan kini kau akan bicara kepadaku."
Jared memanjat ke mulut gua, dan mendengus kaget ketika melihat betapa ia harus melipat tubuh untuk memasukinya. Langit - langit rendah itu memaksanya berlutut, dan itu tidak membuatnya senang. Aku bisa melihat ia lebih suka berdiri di hadapanku.
Aku tak bisa lari ke mana-mana. Aku telah meringkuk di pojok terjauh. Gua itu nyaris tak cukup untuk kami berdua. Bisa kurasakan napas Jared di kulitku.
"Katakan apa yang kauketahui," perintah Jared.
Aku menghabiskan sisa hari itu dalam keheningan total kecuali satu perkecualian singkat.
Perkecualian itu terjadi ketika Jeb membawakan makanan untukku dan Jared beberapa jam kemudian. Ketika meletakkan nampan di lubang masuk ke gua mungilku, Jeb tersenyum penuh penyesalan.
"Terima kasih," bisikku.
"Sama-sama," jawabnya.
Kudengar Jared menggeram, terusik percakapan singkat kami. Itu satu-satunya suara yang dikeluarkan Jared sepanjang hari. Aku yakin ia berada di luar sana, tapi tak pernah terdengar apa - apa, bahkan suara napas, untuk menegaskan keyakinanku.
Hari sangat panjang--sangat sesak dan sangat membosankan. Aku mencoba setiap posisi yang bisa kubayangkan, tapi tak sekali pun behasil meregangkan tubuh dengan nyaman. Bagian bawah punggungku mulai berdenyut-denyut tanpa henti.
Aku dan Melanie banyak berpikir tentang Jamie. Yang terutama, kami khawatir telah merusak anak laki-laki itu dengan kedatangan kami kemari, dan kini kami khawatir telah melukainya. Apa artinya memenuhi janji, jika dibandingkan dengan semua itu?
Waktu kehilangan arti. Mungkin matahari terbenam, mungkin fajar--aku tak punya referensi di sini, terkubur di dalam bumi. Aku dan Melanie kehabisan topik diskusi. Kami membolak-balik lembar-lembar ingatan kami bersama secara menyedihkan, seperti menggonta-ganti saluran TV untuk mencari acara. Sekali aku mencoba tidur siang, tapi tak bisa tidur nyenyak karena merasa sangat tidak nyaman.
Ketika Jeb akhirnya kembali, rasanya aku bisa mencium wajah kering keriput itu. Ia membungkuk ke dalam selku dengan seringai lebar yang meregangkan kedua pipinya.
"Sudah saatnya berjalan- jalan lagi?" tanyanya.
Aku mengangguk bersemangat.
"Akan kulakukan," gerutu Jared, "Berikan senapannya."
Aku bimbang, berjongkok kikuk di mulut gua, sampai Jeb mengangguk kepadaku.
"Pergilah," kata Jeb.
Aku keluar, tubuhku masih kaku dan limbung. Aku menyambut uluran tangan Jeb. Jared mengeluarkan suara jijik dan memalingkan wajah. Ia memegang senapan erat-erat, buku jari-jarinya memutih di atas moncong senapan. Aku tak suka melihat benda itu di tangannya. Lebih menggangguku daripada ketika dipegang Jeb.
Jared tidak menungguku seperti yang dilakukan Jeb. Ia terus melenggang ke dalam terowongan gelap tanpa berhenti agar aku bisa mengikutinya.
Menyulitkan. Ia tak banyak mengeluarkan suara dan tidak menuntunku, jadi aku harus berjalan dengan satu tangan di depan wajah dan satu tangan di dinding, berusaha agar tidak menabrak batu. Aku jatuh dua kali di lantai yang tidak rata. Walaupun tidak menolongku, Jared menunggu sampai mendengar aku sudah berdiri lagi, lalu melanjutkan perjalanan. Sekali, ketika melewati bagian lorong yang agak lurus, aku berjalan terlalu dekat sehingga tanganku yang meraba-raba menyentuh punggungnya, menyusurinya, sebelum menyadari aku tidak menyentuh dinding lain. Jared melompat ke depan, lalu menyentakkan tubuhnya dari jari-jariku seraya mendesis marah.
"Maaf," bisikku, kurasakan pipiku berubah hangat dalam kegelapan.
Jared tidak menjawab, tapi mempercepat langkah sehingga mengikutinya jadi semakin sulit.
Aku bingung ketika akhirnya muncul semacam cahaya di depanku. Apakah kami mengambil rute berbeda? Ini bukan cahaya putih cemerlang ruang gua terbesar. Cahayanya lebih suram, pucat, dan keperakan. Tapi selah sempit yang harus kami lewati tampaknya sama... Ketika sudah berada di dalam ruang raksasa yang menggema itu, barulah kusadari apa yang menyebabkan perbedaan itu.
Ini malam hari. Cahaya yang bersinar suram dari atas lebih mirip cahaya bulan daripada cahaya matahari. Kumanfaatkan penerangan yang lebih tidak menyilaukan itu untuk meneliti langit-langit di atasku, ratusan bulan kecil memancarkan cahaya pucat ke lantai suram yang jauh. Bulan-bulan kecil itu tersebar dalam kelompok-kelompok tak berpola, beberapa kali lebih jauh daripada yang lain. Aku menggeleng. Walaupun kini bisa melihat langsung cahaya itu, aku masih tidak paham.
"Ayo," perintah Jared marah, beberapa langkah di depanku.
Aku tersentak dan bergegas mengikutinya. Aku menyesal membiarkan perhatianku berkelana. Bisa kulihat betapa menjengkelkannya bagi Jared untuk bicara denganku.
Aku tidak mengharapkan bantuan senter ketika kami mencapai ruang bersungai itu, dan aku memang tidak menerimanya. Kini ruangan itu juga berpenerangan suram seperti gua besar tadi, tapi hanya dua puluh bulan mini aneh yang menerangina. Jared mengertakkan rahang dan menatap langit-langit, sementara aku berjalan ragu ke dalam ruang berkolam sehitam tinta itu. Kurasa, jika aku terjatuh ke dalam mata air panas bawah tanah yang ganas itu dan menghilang, Jared mungkin akan menganggap peristiwa tersebut sebagai campur tangan takdir yang menguntungkan.
Kurasa ia akan sedih, ujar Melanie tidak setuju, ketika aku bergeser mencari jalan di sekitar kamar mandi hitam itu seraya memeluk dinding. Jika kita terjatuh.
Aku tak yakin. Ia mungkin teringat rasa sakit akibat kehilangan dirimu saat pertama dulu, tapi ia akan senang jika aku menghilang.
Karena Jared tidak mengenalmu, bisik Melanie. lalu suaranya lenyap, seakan ia mendadak merasa lelah.
Aku terpaku di tempat. Terkejut. Aku tak yakin, tapi rasanya Melanie seperti baru saja memujiku.
"Cepat," teriak jared dari ruangan lain.
Aku bergegas secepat mungkin dalam kegelapan dan ketakutanku.
Ketika kami kembali, Jeb sedang menunggu di dekat lampu biru. Di dekat kakinya ada dua silinder empuk berbonggol-bonggol dan dua benda berbentuk persegi panjang tak beraturan. Aku tidak memperhatikan benda-benda itu sebelumnya. Mungkin ia mengambil semua itu ketika kami sedang pergi tadi.
"Kau atau aku yang tidurdi sini malam ini?" tanya Jeb kepada Jared dengan nada santai.
Jared memandang benda-benda di kaki Jeb.
"Aku," jawabnya singkat. "Dan aku hanya perlu satu kasur gulung."
Jeb mengangkat sebelah alis tebalnya.
"Dia bukan salah satu dari kita, Jeb. Kau telah menyerahkannya kepadaku--jadi pergilah."
"Dia juga bukan binatang, Nak. Dan kau bahkan tidak akan memperlakukan anjing dengan cara seperti ini."
Jared tidak mejawab, tapi menggertakkan gigi.
"Aku tak pernah membayangkanmu sebagai lelaki kejam," ujar Jeb pelan. Tapi ia memungut satu silinder itu, menyelipkan lengan pada pengikatnya, lalu menyampirkannya di bahu. Lalu ia mengepit benda berbentuk persegi panjang itu--bantal--di bawah lengannya.
"Maaf, Sayang." Katanya ketika melewatiku, menepuk bahuku.
"Hentikan!" gerutu Jared.
Jeb mengangkat bahu dan berjalan pergi. Sebelum ia lenyap dari pandangan, aku bergegas menghilang ke dalam selku. Aku bersembunyi di dalam ceruk-ceruk tergelap, bergelung membentuk bola padat yang kuharap terlalu kecil untuk dilihat.
Jared tidak bersembunyi diam-diam dan tak terlihat di terowongan luar, tapi membentangkan kasur gulungnya tepat di depan mulut penjaraku. Ia menepuk-nepuk bantal beberapa kali, mungkin mencoba memamerkan bahwa ia memiliki benda itu. Ia berbaring di kasur dan menyilangkan kedua lengannya di dada. Itu bagian dari tubuhnya yang bisa kulihat melalui lubang--hanya lengan terlipat dan setengah perutnya.
Kulit Jared masih berwarna keemasan gelap yang sama, warna yang menghantui mimpi-mimpiku setengah tahun terakhir ini. Aneh sekali mendapati potongan mimpiku benar-benar nyata, dan berjarak kurang dari satu setengah meter dariku. Sureal.
"Kau takkan bisa menyelinap melewatiku," katanya mengingatkan. Suaranya lebih lembut daripada sebelumnya. Mengantuk. "Kalau kau mencoba..." Ia menguap. "Aku akan membunuhmu."
Aku tidak bereaksi. Peringatan itu terdengar seperti semacam hinaan bagiku. Buat apa aku mencoba menyelinap melewatinya? Kemana aku akan pergi? Ke tangan orang-orang barbar di luar sana yang menungguku, yang semuanya berharap aku benar-benar akan melakukan usaha tolol semacam itu? Atau seandainya, entah bagaimana, aku bisa menyelinap melewati mereka, akankah aku kembali ke padang gurun yang nyaris memanggangku sampai mati ketika terakhir kali aku mencoba melintasinya? Aku bertanya-tanya, apa yang menurut pikiran Jared mampu kulakukan. Rencana apa yang dipikirnya sedang kugodok untuk menggulingkan dunia kecil mereka? Apakah aku tampak begitu kuat? Tidakkah sudah jelas betapa tak berdaya dan menyedihkannya diriku?
Aku tahu Jared tidur nyenyak, karena tubuhnya mulai tersentak-sentak. Seperti yang diingat Melanie, Jared terkadang begitu. Ketika sedang marah, tidurnya sangat gelisah. Kuamati jari-jari tangannya yang mengepal dan membuka bergantian, dan aku bertanya-tanya apakah ia sedang memimpikan jari-jari itu mencekik leherku?
#
Hari-hari setelah itu--mungkin seminggu, mustahil untuk menghitungnya secara pasti--sangat tenang. Jared seperti dinding bisu di antara diriku dan segala sesuatu lainnya di dunia, baik maupun buruk. Tak terdengar suara, kecuali napasku sendiri, gerakan-gerakanku sendiri; tak terlihat pemandangan, kecuali gua hitam di sekelilingku, lingkaran cahaya suram, nampan yang kukenal dengan ransum sama, Jared yang kucuri pandang sekilas; tak terasa sentuhan, kecuali batu-batu yang menonjol di kulitku; tak tercecap rasa, kecuali air pahit, roti keras, sup hambar, akar seperti kayu. Berulang-ulang.
Itu kombinasi yang sangat aneh; ketakutan yang konsisten, ketidaknyamanan fisik yang terus-menerus menimbulkan rasa sakit, dan kemonotonan yang menyiksa. Dari ketiganya, kebosanan mematikan adalah yang paling sulit dihadapi. Penjaraku merupakan bilik tanpa ndra.
Bersama-sama, aku dan Melanie khawatir kami bakal jadi gila.
Kita sama-sama mendengar suara di dalam kepala kita, jelasnya. It jelas bukan pertanda baik.
Bisa-bisa kita lupa cara berbicara, ujarku waswas. Sudah berapa lama sejak seseorang bicara dengan kita?
Empat hari yang lalu kau mengucapkan terima kasih kepada Jeb karena telah membawakan kita makanan, dan ia menjawab: sama-sama. Well, kurasa itu empat hari yang lalu. Setidaknya ada empat kali tidur yang lama. Melanie seakan mendesah. Berhentilah menggigiti kuku-perlu waktu bertahun-tahun bagiku untuk menghentikan kebiasaan itu.
Tapi kuku-kuku panjang tajam itu menggangguku.
Kurasa kita tak perlu mengkhawatirkan kebiasaan buruk untuk waktu lama.
Jared tidak membiarkan Jeb membawakan makanan lagi. Sebagai gantinya, seseorang membawakan makanan sampai ke ujung lorong, dan Jared mengambilnya. Aku mendapat hidangan yang sama--roti, sup, dan sayuran--dua kali sehari. Terkadang ada kudapan ekstra untuk Jared, makanan kemasan dengan merek yang kukenal--Red Vines, Snickers, Pop-Tarts. Aku mencoba membayangkan bagaimana cara manusia memperoleh kudapan-kudapan lezat ini.
Aku tidak berharap Jared membagi makanannya--tentu saja tidak--tapi aku terkadang bertanya-tanya apakah ia mengira aku berharap demikian. Salah satu dari sedikit penghiburanku adalah mendengarnya menyantap kudapan-kudapan itu, karena ia selalu melakukannya dengan begitu mencolok, mungkin pamer, sama seperti sikapnya dengan bantal itu malam pertama dulu.
Sekali Jared membuka perlahan-lahan sebungkus Cheetos dengan merobeknya--pelan seperti biasa--dan aroma kaya keju bubuk buatan bergulung masuk ke guaku... lezat, tak tertahankan. Ia menyantap sebutir Cheetos perlahan-lahan, membiarkanku mendengar setiap bunyi kriuk nyaringnya.
Perutku bergemuruh keras, dan aku tertawa sendiri. Sudah lama sekali aku tak pernah tertawa. Kucoba untuk mengingat terakhir kali aku tertawa, tapi tak bisa. Yang kuingat hanya serangan histeria mengerikan aneh di padang gurun itu, yang benar-benar tak bisa digolongkan sebagai tertawa. Bahkan sebelum aku kemari, tak banyak hal yang kuanggap lucu.
Tapi ini tampak menggelikan bagiku untuk alasan tertentu--perutku merindukan sebutir Cheetos kecil--dan aku kembali tertawa. Tanda kegilaan. Itu pasti.
Aku tak tahu bagaimana reaksiku itu bisa menghina Jared, tapi ia bangkit berdiri dan menghilang. Setelah lama, aku bisa mendengarnya kembali menyantap Cheetos itu, tapi dari tempat yang agak jauh. Aku mengintip dari lubang dan melihatnya duduk dalam bayang-bayang di ujung koridor, memunggungiku. Kutarik kepalaku ke dalam, khawatir ia berbalik dan memergokiku mengamatinya. Sejak itu Jared tetap berada di ujung lorong sesering mungkin. Hanya di malam hari ia meregangkan tubuh di depan penjaraku.
Dua kali sehari--atau tepatnya dua kali semalam, karena Jared tak pernah membawaku ketika yang lain sedang berkeliaran--aku dibawa berjalan ke ruang bersungai. Itu merupakan penghiburan, walaupun rasanya menakutkan, karena hanya pada saat itulah aku tidak meringkuk membentuk posisi tak alami yang dipaksakan gua kecil kepadaku. Setiap kali aku harus merangkak kembali ke dalam, rasanya lebih berat daripada sebelumnya.
Tiga kali selama minggu itu, dan selalu pada jam-jam tidur seseorang datang mengecek kami.
Pertama Kyle.
Tindakan Jared, yang mendadak melompat berdiri, membuatku terbangun. "Keluarlah dari sini," katanya mengingatkan, bersiaga memegang senapan.
"Hanya mengecek," ujar Kyle. Suaranya terdengar jauh, tapi cukup lantang dan kasar, sehingga aku yakin itu bukan suara adiknya. "Suatu hari nanti, kau mungkin tidak berada di sini. Suatu hari nanti, kau mungkin tidur terlalu nyenyak."
Satu-satunya jawaban Jared hanyalah bunyi kokangan senapan.
AKu mendengar tawa Kyle mengikuti kepergiannya.
Dua kalinya lagi aku tidak tahu siapa yang datang. Kyle lagi atau mungkin Ian, atau mungkin seseorang yang namanya belum kupelajari. Yang kutahu hanyalah, dua kali lagi aku dibangunkan oleh Jared yang mendadak melompat berdiri dengan senapan terarah kepada si pengganggu. Tak ada kata-kata yang diucapkan. Siapa pun itu, yang hanya mengecek, orang itu tak mau repot-repot mengajak bicara. Perlu lebih lama bagiku untuk menenangkan jantung.
keempat kalinya adalah sesuatu yang baru.
Aku belum nyenyak ketika Jared terbangun dengan terkejut, lalu berguling dan berlutut dengan gerakan cepat. Ia muncul dengan senapan di tangan dan umpatan di bibir.
"Tenang," gumam sebuah suara dari kejauhan. "Aku datang dalam damai."
"Apa pun yang kaukatakan, aku tak percaya," gerutu Jared.
"Aku hanya ingin bicara." Suara itu terdengar lebih dekat. "Kau terkubur di sini, melewatkan diskusi-diskusi penting... Kami merindukan pendapat-pendapatmu."
"Pasti," ujar Jared sinis.
"Oh, letakkan senapannya. Kalau aku berencana bertarung denganmu, saat ini aku akan muncul dengan empat laki-laki."
Hening sejenak. Ketika Jared kembali biara, suaranya mengandung sedikit sindiran. "Bagaimana kabar kakakmu belakangan ini?" tanyanya. Tampaknya Jared menikmati pertanyaan itu. Menggoda pengunjung membuatnya santai. Ia duduk dan menyandarkan tubuh pada dinding. Setengah tubuhnya berada di depan penjaraku. Sikapnya santai, tapi senapannya masih siaga.
Leherku sakit, seakan memahami bahwa sepasang tangan yang pernah mencekik dan membuatku memar itu berada sangat dekat.
"Kyle masih marah soal hidungnya," ujar Ian. "Well, ini bukan pertama kali hidungnya patah. Kubilang kepadanya kau menyesal."
"Aku tidak menyesal."
"Aku tahu. Tak seorang pun menyesal setelah memukul Kyle."
Mereka tertawa pelan bersama-sama. Rasa setia kawan dalam kegembiraan mereka tampak sangat tidak pada tempatnya, karena Jared memegang santai senapan itu dengan moncong terarah kepada Ian. Tapi agaknya ikatan-ikatan yang terbentuk di tempat genting ini sangat kuat. Lebih kental daripada darah.
Ian duduk di kasur di sebelah Jared. Aku bisa melihat profilnya dalam bentuk siluet hitam dilatari lampu biru. Kuamati bahwa hidungnya sempurna--mancung, sedikit bengkok, jenis hidung yang kulihat dalam gambar patung-patung terkenal. Apakah itu berarti orang lain menganggap Ian lebih baik dibandingkan kakaknya yang hidungnya sering patah? Atau apakah ia lebih jago mengelak?
"Jadi, kau mau apa, Ian? Kurasa bukan sekarad mendapatkan permintaan maaf untuk Kyle."
"Jeb belum cerita?"
"Aku tidak tahu kau bicara apa."
"Parasit-parasit itu sudah menghentikan pencarian. Bahkan para pencari."
Jared tidak berkomentar, tapi kurasakan ketegangan mendadak dalam udara di sekitar tubuhnya.
"Kami mengamati dengan cermat, menunggu perubahan, tapi tampaknya mereka tidak telalu bersemangat. Pencarian itu tak pernah melenceng jauh dari area tempat kami meninggalkan mobil dan beberapa hari belakangan jelas mencari mayat, bukan mahluk yang bernyawa. Dua malam yang lalu kami beruntung--regu pencari meninggalkan sampah di tempat terbuka, dan kawanan coyote menyerbu perkemahan utama mereka. Salah satu Pencari kembali saat larut malam. Dia mengejutkan hewan-hewan itu, yang kemudian menyerang dan menyeretnya sejauh kira-kira seratus meter ke padang gurun, sebelum rekan-rekannya mendengar teriakannya dan datang menolong. Tentu saja Pencari-Pencari itu bersenjata. Dengan mudah mereka mengusir coyote-coyote itu, dan si korban tidak terluka parah. Tapi kejadian itu tampaknya menjawab semua pertanyaan mereka mengenai apa yang mungkin terjadi dengan tamu kita ini. "
Aku bertanya-tanya bagaimana mereka bisa memata-matai para Pencari yang mencariku--dan tahu sangat banyak. Ganjilnya aku merasa terancam oleh gagasan itu. Aku tidak menyukai gambaran itu di dalam kepalaku: manusia-manusia yang tak terlihat, mengamati jiwa-jiwa yang mereka benci. Pikiran itu membuat bulu kudukku meremang.
"Jadi mereka berkemas-kemas, lalu pergi. Para Pencari menghentikan pencarian. Semua sukarelawan pulang. Tak ada lagi yang mencarinya." Profil Ian berpaling ke arahku. AKu meringkuk, berharap keadaan sangat gelap sehingga aku tidak terlihat di sini dan seperti wajahnya, aku akan tampak seperti bayangan hitam saja.
"Kurasa secara resmi dia telah dinyatakan mati, jika parasit-parasit itu mencatat hal-hal semacam itu, seperti yang biasa kita lakukan. Jeb mengatakan, "Kubilang juga apa" kepada siapa saja yang masih sanggup bertahan cukup lama untuk mengdengarnya."
Jared menggumamkan sesuatu yang tak bisa kupahami. AKu hanya bisa mendengar nama Jeb. Ia menghela napas panjang, menghembuskannya, lalu berkata, "Baiklah kalau begitu. Kurasa inilah akhirnya."
"Kelihatannya memang begitu." Sejenak Ian bimbang, lalu mengimbuhkan, "Kecuali... well, mungkin ini tak ada artinya."
Jared kembali tegang: ia tidak suka jika kecerdasannya diralat. "Teruskan."
"Tak seorang pun, kecuali Kyle, yang banyak memikirkannya. Dan kau tahu sendiri bagaimana Kyle."
Jared bergumam mengiyakan.
"Kau punya naluri terbaik untuk hal semacam ini. Aku menginginkan pendapatmu. Itulah sebabnya aku di sini, bertaruh nyawa menyusup ke area terlarang," ujar Ian masam, lalu suaranya kembali serius. "Kau tahu, ada satu... Pencari, tak diragukan lagi, yang membawa Glock."
Perlu sedetik bagiku untuk memahami kata yang digunakan Ian. Itu bukan bagian perbendaharaan kata Melanie yang kukenal. Ketika kpahami bahwa Ian membicarakan semacam senapan, nada berandai-andai dan cemburu di dalam saranya membuatku merasa sedikit tidak enak.
"Kyle orang pertama yang mengamati betapa menonjolnya Pencari yang satu ini. Sepertinya dia bukan orang penting bagi para Pencari lainnya--pasti dia bukan bagian dari rantai pengambilan keputusan. Oh dia memang memberikan usulan-usulan, sejauh yang bisa kami lihat, tapi tampaknya tak ada yang mendengarkan. Kalau saja kami bisa mendengar apa yang dia katakan..."
Aku kembali merinding waswas.
"Bagaimanapun," lanjut Ian, "Ketika mereka menghentikan pencarian, Pencari yang satu ini tidak senang dengan keputusan itu. Kau tahu bagaimana parasit-parasit itu selalu bersikap begitu... menyenangkan? Pencari yang ini aneh. Sejauh ini hanya sekali itulah aku mendengar mereka berselisih. Bukan perselisihan sesungguhnya, karena tak ada di antara mereka yang menjawab. Tapi Pencari yang tidak senang itu tampak seakan berselisih dengan mereka. Kelompok inti para Pencari mengabaikannya--mereka semua sudah pergi."
"Tapi Pencari yang tidak senang itu?" tanya Jared.
Dia naik mobil dan menyetir setengah jalan menuju Phoenix. Lalu menyetir balik ke Tucson. Lalu menyetir ke barat lagi."
"Masih mencari."
"Atau sangat kebingungan. Dia berhenti di toko kecil di dekat puncak. Bicara dengan parasit yang bekerja di sana, walaupun parasit itu sudah pernah ditanyai."
"Hah," geruttu Jared. Ia kini tertarik, dan berkonsentrasi pada teka-teki itu.
"Lalu dia mendaki ke puncaknya. Mahluk kecil tolol. Dengan pakaian serba hitam dari kepala sampai ujung kaki, dia akan terbakar hidup-hidup."
Tubuhku kejang. Aku mendapati diriku terjatuh ke lantai, meringkuk di dinding belakang sel. Sepasang tanganku terangkat untuk melindungi wajah. Kudengar bunyii desis yang menggema di seluruh ruangan kecil itu. Dan, setelah suara itu menghilang barulah kusadari akulah yang mendesis.
"Apa itu?" tanya Ian. Suaranya terdengar terkejut.
Aku mengintip lewat sela-sela jari, dan melihat wajah mereka melongok melalui lubang. Wajah Ian hanya tampak hitam, tapi sebagian wjaah Jared terlihat, dan ekspresinya sekeras batu.
Aku ingin tetap diam, tak terlihat, tapi tak bisa mengontrol getaran yang mengguncang hebat tulang punggungku.
Jared menjauh, lalu kembali dengan lampu di tangan.
"Lihat matanya," gumam Ian. "Dia ketakutan."
Kini aku bisa melihat ekspresi mereka, tapi mataku hanya memandang Jared. Tatapannya benar-benar terpusat kepadaku, menimbang-nimbang. Kurasa ia merenungkan perkataan Ian, mencari pemicu atas perilakuku.
Tubuhku tak mau berhenti bergetar.
Si Pencari takkan pernah menyerah, erang Melanie.
Aku tahu, aku tahu, erangku menjawabnya.
Kapankan ketidaksukaan kami berubah jadi ketakutan? Perutku mengejang dan bergolak. Mengapa perempuan itu tak bisa membiarkanku mati saja seperti yang lain? Seandainya aku sudah mati, apakah ia masih tetap akan memburuku?
"Siapa Pencari berpakaian serba hitam itu?" tiba-tiba Jared membentakku.
Bibirku gemetar, tapi aku tidak menjawab. Diam adalah tindakan paling aman.
"Aku tahu kau bisa bicara," gerutu Jared. "Kau bicara kepada Jeb dan Jamie. Dan kini kau akan bicara kepadaku."
Jared memanjat ke mulut gua, dan mendengus kaget ketika melihat betapa ia harus melipat tubuh untuk memasukinya. Langit - langit rendah itu memaksanya berlutut, dan itu tidak membuatnya senang. Aku bisa melihat ia lebih suka berdiri di hadapanku.
Aku tak bisa lari ke mana-mana. Aku telah meringkuk di pojok terjauh. Gua itu nyaris tak cukup untuk kami berdua. Bisa kurasakan napas Jared di kulitku.
"Katakan apa yang kauketahui," perintah Jared.
0 comments:
Post a Comment