"Kau takut terbang?" Suara Pencari penuh ketidakpercayaan dan cenderung mengejek. "Kau telah berkelana melewati ruang angkasa delapan kali, tapi takut naik pesawat ulang-alik ke Tucson, Arizona?"
"Pertama, aku tidak takut. Kedua, ketika berkelana melintasi ruang angkasa, aku tidak begitu menyadari di mana aku berada, karena tubuhku tersimpan di dalam bilik hibernasi. Dan ketiga, inang ini akan menderita mabuk perjalanan di pesawat."
Pencari memutar bola matanya, memperlihatkan rasa jijik. "Kalau begitu, minum obat saja! Kau mau apa seandainya Penyembuh Fords tidak dipindahkan ke Saint Mary's? Mau bermobil ke Chicago?"
"Tidak. Tapi karena pilihan bermobil kini masuk akal, aku akan mengambilnya. Pasti menyenangkan melihat dunia ini sedikit lebih banyak lagi. Padang gurun mungkin menakjubkan--"
"Padang gurun sangat membosankan."
"--dan aku tidak terburu-buru. Aku punya banyak hal untuk dipikirkan, dan aku akan sangat menghargai kesendirianku." Kupandang tajam Pencari ketika menegaskan kata terakhir itu.
"Bagaimanapun, aku tidak mengerti apa gunanya mengunjungi Penyembuh lamamu. Ada banyak Penyembuh yang kompeten di sini."
"Aku merasa nyaman dengan Penyembuh Fords. Dia berpengalaman dalam hal ini, dan aku ragu apakah aku sudah memperoleh semua informasi yang kuperlukan." Kembali kupandang Pencari dengan tajam.
"Kau tidak punya waktu untuk tidak terburu-buru, Wanderer. Aku mengenali tanda-tandanya."
"Maaf jika aku tidak menganggap informasimu penting. Aku cukup mengenal perilaku manusia, sehingga bisa mengenali tanda-tanda manipulasi."
Pencari menatapku berang.
Aku sedang memenuhi mobil sewaanku dengan beberapa barang yang rencananya kubawa. Pakaian cukup banyak untuk bekal bepergian selama seminggu tanpa mencuci, demikian juga perlengkapan mandiku. Walaupun tidak banyak yang kubawa, lebih sedikit lagi barang yang kutinggalkan. Hanya sedikit sekali barang pribadi yang telah kukumpulkan. Bagaimanapun, setelah apartemen kecil itu kuhuni berbulan-bulan, dinding-dindingnya masih telanjang, rak-raknya masih kosong. Mungkin aku tak pernah bermaksud bermukim di sini.
Pencari berdiri di trotoar, di samping bagasiku yang terbuka, dan menghujaniku dengan pertanyaan serta komentar sinis ketika aku berada dalam jarak pendengaran. Setidaknya aku sangat yakin ia tak punya kesabaran untuk membuntutiku sepanjang perjalanan. Ia akan naik pesawat ke Tucson, persis rencananya semula untuk mempermalukanku. Sangat melegakan. Kubayangkan seandainya Pencari bergabung bersamaku setiap kali aku berhenti untuk makan, menungguku di luar kamar mandi pompa bensin, dan menghujaniku dengan pertanyaan-pertanyaan menyelidiknya ketika mobilku berhenti di lampu merah. Aku bergidik membayangkannya. Jika tubuh baru berarti aku terbebas dari Pencari... well, pilihan itu cukup menarik.
Aku juga punya pilihan lain. Aku bisa meninggalkan dunia ini sebagai suatu kegagalan, dan pindah ke planet kesepuluh. Aku bisa mencoba melupakan seluruh pengalaman ini. Bumi hanya akan menjadi kedipan singkat di dalam catatanku yang tak bernoda.
Tapi ke mana aku akan pergi? Sebuah planet yang pernah kutinggali? Singing World adalah salah satu planet kesukaanku, tapi haruskah aku menyerahkan penglihatan dan jadi buta? Planet of the Flowers sangat indah... Tapi bentuk kehidupan berklorofil memiliki jangkauan emosi yang sangat kecil. Kelambanannya bakal tak tertahankan, setelah aku mengalami irama cepat di tempat manusia ini.
Planet baru? Memang ada penaklukan baru. Di sini, di Bumi, mereka menyebut inang-inang baru itu sebagai lumba-lumba, karena tidak punya perbandingan yang lebih baik, walaupun mahluk-mahluk itu lebih menyerupai capung daripada mamalia laut. Spesies ini sangat maju dan jelas bisa bergerak. Tapi setelah hidup lama sebagai See Weed, pikiran mengenai planet air lain terasa menjijikan bagiku.
Tidak, begitu banyak yang belum kualami di planet ini. Tak ada satu tempat pun , di jagad raya yang kukenal ini, yang memanggilku sekuat pekarangan hijau kecil teduh di jalanan sepi ini, atau yang punya daya tarik langit padang gurun kosong yang hanya pernah kulihat di dalam ingatan-ingatan Melanie.
Melanie tidak memberikan opininya atas pilihan-pilihanku. Ia menjadi sangat diam sejak aku memutuskan menemui Fords Deep Waters, Penyembuh pertamaku. Aku tak yakin apa arti pemisahan diri ini. Apakah ia sedang berusaha tampak tidak terlalu mengancam, tidak terlalu membebani? Apakah ia sedang menyiapkan diri untuk menyerang Pencari? Menyiapkan diri untuk mati? Atau apakah ia sednag bersiap menyerangku? Mencoba mengambil alih?
Apa pun rencananya, Melanie tetap menjaga jarak. Ia hanya menjadi sesuatu yang samar-samar mengawasi di bagian belakang kepalaku.
Aku masuk untuk terakhir kali, mencari sesuatu yang terlupakan. Apartemen itu tampak kosong. Hanya perabot dasar yang ditinggalkan penyewa terakhir. Piring-piring yang sama masih di dalam lemari, bantal-bantal di tempat tidur, lampu di meja-meja. Seandainya aku tidak kembali, penyewa berikutnya hanya perlu membersihkan sedikit barang.
Telepon berdering ketika aku melangkah melewati pintu, dan aku berbalik untuk mengangkatnya, tapi sudah terlambat. Aku sudah mengatur sistem penerima pesan untuk menjawab pada dering pertama. Aku tahu apa yang akan didengar penelepon: penjelasan samar-samarku bahwa aku bakal cuti sepanjang sisa semester, dan kelas-kelasku akan dibatalkan sampai pengganti bisa ditemukan. Tak ada alasan yang kuberikan. Aku menengok jam di atas televisi. Hampir lewat pukul delapan pagi. Aku yakin itu pasti telepon dari Curt, setelah menerima e-mail yang agak lebih terperinci yang kukirim larut malam kemarin. Aku merasa bersalah karena tidak menyelesaikan komitmenku terhadapnya, rasanya seakan aku sudah menjadi peloncat. Mungkin langkah ini, kepergian ini, akan jadi awal keputusanku selanjutnya, dan juga rasa malu terbesarku. Pilihan itu terasa tidak nyaman. Membuatku tak ingin mengdengarkan apa pun yang dikatakan pesan itu, walaupun sebenarnya aku tak perlu terburu-buru pergi.
Aku memandang sekeliling apartemen kosong itu sekali lagi. Tak ada gunanya meninggalkan sesuatu di belakangku. aku tidak menyukai ruangan-ruangan ini. Aku punya perasaan aneh bahwa dunia ini--bukan hanya Melanie, melainkan seluruh bulatan planet ini, tidak menginginkanku, tak peduli seberapa besar aku menginginkan mereka.Tampaknya aku tak bisa menanamkan akarku di sini. Aku tersenyum masam memikirkan akar. Perasaan itu hanya sugestif dan tak masuk akal.
Aku tak prenah punya inang yang memiliki kemampuan bersugesti. Itu sensasi menarik. Seakan kau tahu sedang diawasi, tanpa bisa menemukan siapa yang sedang mengawasi. Membuat bulu kuduk meremang.
Kututup pintu rapat-rapat di belakangku, tanpa menyentuh kunci kunonya. Tak seorang pun akan mengusik tempat ini sampai aku kembali, atau sampai tempat ini diserahkan kepada orang lain.
Tanpa memandang Pencari, aku masuk ke mobil. Aku belum banyak menyetir, begitu juga Melanie, jadi ini sedikit menggelisahkanku. Tapi aku yakin akan segera terbiasa.
"Aku akan menunggumu di Tucson," ujar Pencari. Ia membungkuk ke jendela penumpang depan ketika aku menyalakan mesin.
"Aku yakin itu," gumamku.
Aku menemukan tombol-tombol pengontrol di panel pintu. Sambil mencoba menyembunyikan senyuman, kutekan tombol untuk menaikkan kaca jendela dan kusaksikan Pencari terlompat ke belakang.
"Mungkin...," katanya. Ia meninggikan suara sampai nyaris berteriak, agar aku bisa mendengarnya di tengah kebisingan mesin dan melalui jendela tertutup. "Mungkin aku akan mencoba caramu. Mungkin aku akan menemuimu di jalanan."
Ia tersenyum sambil mengangkat bahu.
Pencari hanya berkata begitu untuk membuatku jengkel. aku mencoba tidak membiarkan dia tahu tindakannya berhasil. Kupusatkan mata pada jalanan di depanku, lalu kujalankan mobil perlahan-lahan meninggalkan tepi jalan.
Cukup mudah untuk mencari jalan bebas hambatan, lalu mengikuti rambu-rambu untuk keluar dari San Diego. Segera saja tak ada lagi rambu-rambu yang harus diikuti, tak ada lagi belokan-belokan keliru yang menyesatkan. Dalam delapan jam aku akan berada di Tucson. Tidak cukup lama. Mungkin aku akan bermalam di kota kecil di tengah perjalanan. Seandainya aku bisa memastikan bahwa Pencari berada di depan, menungguku dengan tidak sabar, bukannya mengikutiku di belakang, berhenti akan jadi penundaan menyenangkan.
Kudapati diriku terus-menerus menatap spion, mencari tanda-tanda pengejaran. Aku menyetir lebih pelan daripada siapa pun, tak ingin tiba di tujuan, dan mobil-mobil lain melewatiku tanpa berhenti. Tak ada wajah yang kukenal ketika mereka terus melesat. Seharusnya aku tidak membiarkan ejekan Pencari menggangguku; jelas ia tidak memiliki kesabaran untuk pergi ke mana pun dengan lambat. Tapi... aku terus mewaspadainya.
Aku pernah ke barat, ke lautan, ke utara dan ke selatan menyusuri garis pantai California yang cantik, tapi aku sama sekali belum pernah ke timur. Peradaban dengan cepat tertinggal di belakang, dan aku segera dikelilingi perbukitan kosong serta bebatuan yang merupakan pertanda tanah tandus padang gurun sepi.
Rasanya sangat santai berada jauh dari peradaban, dan ini menggangguku. Seharusnya aku tidak menganggap kesendirian begitu menyenangkan. Pada dasarnya jiwa adalah mahluk sosial. Kami hidup, bekerja, dan berkembang bersama-sama dalam keselarasan. Kami semua sama: cinta damai, ramah, jujur. Mengapa perasaanku jadi lebih baik jika berjauhan dengan bangsaku? Melanie-kah yang membuatku seperti ini?
Aku mencari-cari gadis ini, dan menemukannya berada di tempat jauh, melamun di bagian belakang kepalaku.
Ini saat terbaik, sejak ia mulai bicara.
Kilometer demi kilometer berlalu dengan cepat. Batu-batuan kasar gelap dan dataran-dataran berdebu berselimut semak-semak melayang pergi dengan keseragaman monoton. Kusadari aku menyetir lebih cepat daripada yang kuinginkan. Tak ada sesuatu pun yang menyibukkan pikiranku di sini, jadi aku sulit berlambat-lambat. Sambil melamun aku bertanya-tanya mengapa padang gurun tampak begitu berwarna-warni dalam ingatan-ingatan Melanie, serta jauh lebih menarik. Kubiarkan pikiranku meluncur bersama pikiran gadis ini, mencoba melihat apa yang begitu istimewa dari tempat kosong ini.
Tapi Melanie memang bukan melihat tanah mati luas yang mengelilingi kami ini. Ia memimpikan padang gurun lain, yang berngarai dan berwarna merah. Tempat magis. Ia tidak mencoba menyingkirkanku dari mimpinya. Tampaknya ia malah nyaris tak menyadari keberadaanku. aku kembali mempertanyakan apa maksud gadis ini dengan menjauhkan diri. Aku tidak merasakan adanya pikiran mengenai penyerangan. Lebih terasa seperti persiapan untuk menghadapi saat terakhir.
Melanie sedang menghuni tempat yang lebih bahagia di dalam ingatannya, seakan mengucapkan selamat tinggal. Sebelumnya aku tak pernah diizinkan melihat tempat itu.
Ada kabin, tempat tinggal hebat yang tersembunyi di ceruk batu pasir merah, sangat dekat dengan garis aliran air. Tempat yang mustahil, jauh dari jalan setapak mana pun, dibangun di lokasi yang tampaknya tak masuk akal. Tempat yang kasar, tanpa kenyamanan teknologi modern apa pun. Melanie ingat dirinya tertawa ketika melihat pompa untuk menarik air dari dalam tanah.
"Lebih hebat daripada pipa saluran air," ujar Jared. Gurat-gurat di antara kedua matanya semakin dalam ketika sepasang alisnya bertaut. Tampaknya ia khawatir mendengar tawaku. Apakah ia takut aku tidak menyukai tempat ini? "Tak ada yang bisa ditelusuri, tak ada bukti keberadaan kita di sini."
"Aku suka," kataku cepat. "Seperti di film-film kuno. Sempurna."
Senyum yang tak pernah benar-benar meninggalkan wajah Jared--ia bahkan tersenyum dalam tidurnya--semakin lebar. "Di film-film, bagian terburuknya tidak mereka ceritakan kepadamu. Ayo, akan kutunjukkan kakusnya."
Aku mendengar tawa Jamie menggema melalui ngarai sempit itu ketika ia berlari mendahului kami. Rambut hitamnya memantul-mantul seirama gerak tubuhnya. Kini ia selalu melompat-lompat. Jamie, anak laki-laki kurus berkulit gelap terbakar matahari itu. Belum kusadari seberapa berat beban yang disandang bahu sempit itu. Bersama Jared, Jamie selalu bersemangat. Ekspresi waswas di wajahnya sudah memudar, digantikan cengiran. Kami sama-sama lebih tangguh daripada yang kuperkirakan.
"Siapa yang membangun tempat ini?"
"Ayah dan kakak-kakakku. Aku membantu, atau malah sedikit menghambat. Ayahku suka melarikan diri dari segala sesuatu. Dan dia tak terlalu memedulikan peraturan. Dia tak pernah peduli untuk mencari tahu siapa pemilik sesungguhnya tanah ini, atau mengajukan izin membangun, atau hal-hal merepotkan semacam itu." Jared tertawa. Ia menyentak-nyentakkan kepalanya ke belakang. Matahari menari-nari di bagian pirang rambutnya. "Resminya tempat ini tidak ada. Nyaman bukan?" Sepertinya tak memikirkan tindakannya, Jared mengulurkan tangan dan meraih tanganku.
Kulitku serasa terbakar di tempat tanganku menyentuh tangannya. Terasa sangat menyenangkan, tapi memicu rasa nyeri aneh di dadaku.
Jared selalu menyentuhku seperti ini. Tampaknya ia selalu perlu meyakinkan dirinya sendiri bahwa aku aku ada di sini. Apakah ia menyadari akibatnya bagiku? Menyadari tekanan ringan telapak tangan hangatnya di telapak tanganku? Apakah denyut nadinya juga melonjak di dalam pembuluh-pembuluh darahnya? Ataukah ia hanya merasa senang karena tak lagi sendirian?
Jared mengayun-ayunkan lengan kami ketika kami berjalan di bawah sekelompok kecil pohon cottonwood dengan warna hijau yang begitu hidup, dilatari warna merah, sehingga menipu mataku dan membingungkan fokusku. Jared bahagia di sini, lebih bahagia daripada di tempat-tempat lain. Aku juga merasa bahagia. Perasaan itu masih belum kukenal.
Jared belum menciumku sejak malam pertama itu, ketika aku menjerit mendapati bekas luka di lehernya. Tidakkah ia ingin menciumku lagi? Haruskah aku menciumnya? Bagaimana kalau ia tidak suka?
Ia menunduk memandangku dan tersenyum. Gurat-gurat di sekitar matanya mengerut membentuk jaring-jaring mungil. Aku ingin tahu apakah ia setampan yang kubayangkan, ataukah itu karena ia satu-satunya orang yang tersisa di seluruh dunia, selain aku dan Jamie.
Tidak, kurasa tidak seperti itu. Ia benar-benar tampan.
"Apa yang kaupikirkan, Mel?" tanyanya. "Tampaknya kau berkonsentrasi pada sesuatu yang sangat penting," Ia tertawa.
Aku mengangkat bahu, perutku serasa diaduk-aduk. "Tempat ini indah."
Jared memandang berkeliling. "Ya. Tapi bukankah rumah memang selalu indah?"
"Rumah." Pelan kuulangi kata itu. "Rumah."
"Rumahmu juga, jika kau mau."
"Aku mau." Tampaknya seakan setiap kilometer yang kujalani selama tiga tahun terakhir ini mengarah ke tempat ini. Aku tak pernah ingin meninggalkan tempat ini, walaupun tahu kami harus melakukannya. Makanan tidak tumbuh di atas pohon. Setidaknya tidak di padang gurun.
Jared meremas tanganku, dan jantngku menonjok tulang-tulang rusuk. Kenikmatan ini sangat menyerupai rasa sakit.
Muncul sensasi yang tidak jelas ketika Melanie melompat maju, pikiran-pikirannya menari-nari di sepanjang hari yang panas,, hingga berjam-jam setelah matahari jatuh di balik dinding-dinding ngarai merah. Aku ikut bersamanya, nyaris terhipnotis jalanan tanpa akhir yang membentang di depanku. Semak-semak kurus melayang pergi dengan keseragaman yang membekukan benak.
Aku mengintip ke dalam satu-satunya kamar tidur mungil sempit. Kasur berukuran besar itu hanya beberapa senti dari dinding batu kasar di kedua sisinya.
Melihat Jamie terlelap di tempat tidur yang sesungguhnya, dengan kepala di atas bantal empuk, memberiku perasaan gembira yang sangat dalam. Sepasang lengan dan kaki kurus Jamie terbentang, hanya meninggalkan sedikit ruang untukku di tempat yang seharusnya kutiduri. Sesungguhnya ia jauh lebih besar daripada yang kulihat di dalam kepalaku. Usianya hampir sepuluh--sebentar lagi ia bukan kanak-kanak lagi. walaupun ia akan selalu menjadi anak kecil bagiku.
Jamie bernapas teratur, tidur nyenyak. Tak ada ketakutan di dalam mimpinya, setidaknya saat ini.
Kututup pintu perlahan-lahan, lalu aku kembali ke sofa kecil tempat Jared menunggu.
"Terima kasih," bisikku, walaupun aku tahu, meneriakkan kata-kata itu takkan membangunkan Jamie sekarang. "Aku merasa tidak enak. Sofa ini terlalu pendek untukmu. Mungkin sebaiknya kau tidur bersama Jamie."
Jared terbahak. "Mel, kau hanya beberapa senti lebih pendek dariku. Tidurlah dengan nyaman, sekali ini. Lain kali, jika aku pergi keluar, akan kucuri dipan atau sesuatu untukku."
Aku tidak menyukai perkataan ini untuk banyak alasan. Apakah Jared akan segera pergi? Apakah ia akan membawa kami bersamanya ketika ia pergi? Apakah ia menganggap pengaturan ruangan ini sebagai sesuatu yang permanen?
Jared menjatuhkan lengannya di bahuku dan menarikku ke sisinya. Aku beringsut mendekat, walaupun rasa panas akibat menyentuh tubuhnya membuat jantungku kembali nyeri.
"Mengapa cemberut?" tanyanya.
"Kapan kau akan... kapan kita harus pergi lagi?"
Ia mengangkat bahu. "Cukup banyak yang kita kumpulkan dalam perjalanan ke atas sini, sehingga kita aman untuk beberapa bulan. Aku bisa melakukan beberapa penjarahan kecil, jika kau ingin menetap di suatu tempat selama beberapa waktu. Aku yakin kau lelah terus-menerus lari."
"Ya, memang," kataku mengiyakan. Aku menghela napas panjang untuk memberanikan diri. "Tapi jika kau pergi, aku pergi."
Jared memelukku semakin erat. "Kuakui, aku lebih suka seperti itu. Memikirkan terpisah darimu..." Ia tertawa pelan. "Apakah kedengarannya sinting jika kukatakan aku lebih suka mati? Terlalu melodramatis?"
"Tidak, aku tahu apa maksudmu."
Agaknya Jared merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan. Akankah ia mengatakan hal-hal seperti ini seandainya ia hanya menganggapku manusia lain, bukan sebagai perempuan?
Kusadari ini pertama kali ketika kami benar-benar sendirian semenjak malam pertemuan kami itu. Untuk pertama kali ada pintu tertutup di antara Jamie yang terlelap dan kami berdua. Begitu banyak malam telah kami lalui dengan tetap terjaga, bicara berbisik-bisik, menceritakan semua kisah kami, cerita-cerita bahagia dan cerita-cerita mengerikan, dan selalu dengan kepala Jamie terbuai di pangkuankul Pintu tertutup itu membuat napasku semakin memburu.
"Kurasa kau tidak perlu dipan. Belum perlu."
Kurasakan mata Jared menatapku bertanya-tanya, tapi aku tak sanggup membalas tatapannya. Kini aku merasa malu. Terlambat. Kata-kata itu sudah terucap.
"Kita akan tinggal di sini sampai makanan habis. Jangan khawatir. Aku pernah tidur di tempat-tempat yang lebih buruk daripada sofa ini."
"Bukan itu maksudku," kataku, tetap merunduk.
"Pakai tempat tidurnya, Mel. Aku takkan berubah pikiran."
"Bukan itu juga maksudku." Suaranya nyaris berbisik. "Maksudku, sofa itu cukup besar untuk Jamie. Dan tidak bakal kekecilan untuk waktu lama. Aku bisa berbagi tempat tidur dengan...mu."
Muncul keheningan. Aku ingin mendongak, untuk membaca ekspresi di wajah Jared, tapi aku terlalu malu. Bagaimana jika ia merasa jijik? Sanggupkah aku menghadapinya? Akankah ia mengusirku?
Jari-jari Jared yang kasar dan hangat mendongakkan daguku. Jantungku berdegup ketika mata kami bertemu.
"Mel, aku..." Kali ini tak ada senyum di wajahnya.
Aku mencoba berpaling, tapi ia memegangi daguku sehingga aku tak bisa meloloskan diri dari pandangannya. Tidakkah ia merasakan api di antara tubuhnya dan tubuhku? Apakah hanya aku yang merasakannya? Bagaimana mungkin hanya diriku? Rasanya seakan ada matahari pipih yang terperangkap di antara kami--terimpit seperti sekuntum bunga di antara lembaran-lembaran buku tebal, membakar kertanya. Apakah ia merasakan sesuatu yang lain? Sesuatu yang buruk?
Setelah beberapa saat kepala Jared berpaling; kini dialah yang mengalihkan pandangan, dengan masih mencengkeram daguku. Suaranya pelan. "Kau tidak berutang budi padaku, Melanie. Kau sama sekali tidak berutang budi kepadaku."
Sulit bagiku untuk menelan ludah. "Aku tidak bilang... Maksudku, aku tidak merasakan itu sebagai kewajiban. Dan seharusnya... kau juga tidak. Lupakan kata-kataku."
"Mustahil, Mel."
Jared menghela napas, dan rasanya aku ingin menghilang. Menyerah--memberikan benakku kepada para penyerang, jika itu yang diperlukan untuk menghapus kesalahan besar ini. Menukar masa depan untuk menghapus dua menit terakhir masa lalu. Apa pun.
Jared menghela napas panjang. Ia menyipitkan mata memandang lantai, dagu dan matanya tampak tegang.
"Mel, tidak harus seperti itu. Hanya karena kita bersama-sama, hanya karena kita lelaki dan perempuan terakhir di Bumi..." Ia berjuang mencari kata-kata, sesuatu yang kupikir belum pernah kulihat dilakukannya. "Itu tidak berarti kau harus melakukan sesuatu yang tidak kauinginkan. Aku bukan jenis lelaki yang akan mengharapkan... Kau tak perlu..."
Ia tampak begitu marah, masih memberengut, sehingga kudapati diriku bicara, walaupun aku tahu itu keliru, bahkan sebelum mulai mengucapkannya. "Bukan itu maksudku," gumamku. "Aku tidak bicara soal 'keharusan', dan kurasa kau bukan 'jenis lelaki seperti itu.' Tidak. Tentu saja tidak. Itu hanya--"
Itu hanya karena ak mencintainya. Kukertakkan gigi agar aku tidak semakin mempermalukan diri sendiri. Aku harus menggigit lidah saat ini juga, sebelum benda itu menimbulkan kerusakan lain.
"Hanya...?" tanya Jared.
Aku mencoba menggeleng, tapi ia masih memegangi daguku erat-erat di antara jemarinya.
"Mel?"
Kusentakkan kepala, lalu kugelengkan kuat-kuat.
Jared membungkuk lebih dekat kepadaku, wajahnya tiba-tiba berubah. Ada konflik baru yang tak kupahami dalam ekspresinya. Dan walaupun aku tidak begitu mengerti, tindakannya itu menghapus perasaan ditolak yang memedihkan mataku.
"Maukah kau bicara kepadaku? Kumohon?" gumamnya. Aku bisa merasakan napasnya di pipiku. Dan, setelah beberapa detik, barulah aku bisa memikirkan sesuatu.
Mata Jared membuatku lupa bahwa aku merasa malu, bahwa aku tak pernah ingin bicara dengannya lagi.
"Seandainya aku harus memilih seseorang, siapa saja, untuk menemaniku terdampar di planet terpencil, orang itu adalah kau," bisikku. Matahari di antara kami membakar semakin panas. "Aku selalu ingin bersamamu. Dan bukan hanya... bukan hanya sebagai teman bicara. Ketika kau menyentuhku..." Kuberanikan diri untuk membiarkan jemariku menyapu lembut kulit hangat lengannya, dan kini rasanya seakan lidah - lidah api mengalir dari ujung-ujung jari tanganku. Lengan Jared semakin erat memelukku. Apakah ia merasakan apinya? Aku tidak ingin kau menghentikannya." Aku ingin lebih jelas, tapi tak mampu menemukan kata-kata. Tak apa-apa. Pengakuan sebanyak ini sudah cukup buruk. "Seandainya kau tidak merasakan hal yang sama, aku mengerti. Mungkin tidak sama untukmu. Itu tidak apa-apa," ujarku berbohong.
"Oh, Mel." Jared mendesah di telingaku, dan menolehkan wajahku agar menatapnya.
Semakin banyak lidah api di bibirnya, lebih ganas daripada sebelumnya, melepuhkan. Aku tidak tahu apa yang sedang kulakukan, tapi tampaknya itu tak penting. Sepasang tangan Jared berada di rambutku, dan jantungku hampir terbakar. Aku tidak mampu bernapas. Aku tidak ingin bernapas.
Tapi bibirnya berpindah ke telingaku, dan ia menahan wajahku ketika aku mencoba mencari bibir itu kembali.
"Tak seorang pun yang masih belia. Siapa pun yang bertahan hidup selama ini, berarti dia sudah tua bangka."
Sudut bibir Jared membentuk senyuman. "Mungkin kau benar. Tapi kita tidak perlu terburu-buru melakukannya."
"Apa yang harus ditunggu?" desakku.
Ia bimbang untuk waktu lama, berpikir.
"Well, salah satunya adalah... beberapa masalah praktis yang harus dipikirkan."
"Kau tahu," jelas Jared ragu. Di balik warna cokelat gelap keemasan kulitnya, tampaknya ia tersipu-sipu. "Ketika memperlengkapi tempat ini, aku tidak terlalu merencanakan adanya... tamu. Maksudku..." Sisa perkataannya muncul tergesa-gesa. "Alat kontrasepsi benar-benar tak terpikirkan olehku."
Kurasakan keningku berkerut. "Oh."
Senyum itu menghilang dari wajah Jared, dan sejenak tampak kilat amarah yang tak pernah kulihat di sana sebelumnya. Membuatnya tampak berbahaya, dengan cara yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
"Ini bukan jenis dunia yang kuinginkan bagi anakku."
Kuresapi kata-kata Jared, dan aku ciut membayangkan bayi mungil tak berdosa, membuka mata di tempat ini. Mengamati mata Jamie sudah cukup buruk, mengetahui apa yang akan dibawa kehidupan ini untuknya, walaupun dalam situasi terbaik yang memungkinkan.
Mendadak Jared kembali berubah menjadi Jared. Kulit di sekeliling matanya mengerut. "Lagi pula kita punya banyak waktu untuk... memikirkannya." Kurasa ia kembali mengulur waktu. "Sadarkah kau, betapa sedikit waktu yang sudah kita jalani bersama-sama sejauh ini? baru empat minggu sejak kita berjumpa."
Ini membingungkanku. "Tak mungkin."
"Dua puluh sembilan hari. Aku menghitungnya."
Aku mengingat-ingat. Tak mungkin baru 29 hari sejak Jared mengubah hidup kami. Tampaknya seakan waktuku dan Jamie bersama Jared sama lamanya dengan waktu yang kami jalani sendirian berdua. Mungkin dua atau tiga tahun.
"Kita punya waktu," ujar Jared lagi.
Kepanikan mendadak, seperti firasat buruk, membuatku tak mampu bicara untuk waktu lama. Jared mengamati perubahan wajahku dengan pandangan khawatir.
"Kau tak bisa yakin soal itu." Rasa putus asa yang mereda ketika Jared menemukanku, menderaku bagai lecutan cambuk. "Kau tidak mungkin tahu berapa banyak waktu yang akan kita miliki. Kau tidak tahu apakah kita harus menghitung dalam hitungan bulan atau hari atau jam."
Jared tertawa renyah, disentuhkannya bibirnya ke tempat kedua alisku bertaut tegang. "Jangan khawatir, Mel. Mukjizat tidak bekerja seperti itu. Aku takkan pernah kehilanganmu. Aku takkan pernah membiarkanmu pergi dariku."
Melanie membawaku kembali ke masa kini--ke pita tipis berupa jalan raya berkelok-kelok melewati tanah tandus Arizona yang membara di bawah matahari garang tengah hari--walaupun aku tak ingin kembali. Kutatap tempat kosong di depanku, dan kurasakan tempat kosong di dalam tubuhku.
Pikiran Melanie mendesah pelan di dalam kepalaku: Kau tidak pernah tahu berapa banyak waktu yang akan kaumiliki.
Air mata yang kukeluarkan adalah milik kami berdua.
0 comments:
Post a Comment