Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara

Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara
Harga mulai 5rb an. Gratis ongkir DKI Jakarta

The Host- Bab 36

0 comments

 




DIPERCAYA

Kelompok manusia itu berubah tenang, dan gumaman lebih antusias terdengar dari seluruh tempat mereka duduk membentuk setengah lingkaran.
Aku memandang Jamie, yang mengerutkan bibir dan mengangkat bahu. “Jeb hanya mencoba mengembalikan segala sesuatunya agar normal lagi. Beberapa hari ini keadaan sangat buruk. Pemakaman Walter…”
Aku meringis.
Kulihat Jeb nyengir pada Jared. Setelah sejenak menolak, Jared menghela napas dan memutar bola mata pada lelaki tua aneh itu. Ia berbalik dan berjalan cepat meninggalkan gua.
“Jared punya bola baru?” tanya seseorang.
“Asyik,” ujar Wes di sampingku.
“Bermain,” gumam Trudy, seraya menggeleng.
“Jika itu bisa meredakan ketegangan,” jawab Lily pelan. Lalu mengangkat bahu.
Suara mereka pelan, di dekatku, tapi aku juga bisa mendengar suara-suara lain yang lebih keras.
“Kali ini berhati-hatilah dengan bolanya,” ujar Aaron kepada Kyle. Ia berdiri di samping Kyle, menawarkan tangannya.
Kyle meraih tangan yang ditawarkan dan perlahan-lahan bangkit berdiri. Setelah berdiri, kepalanya nyaris menyundul lentera-lentera yang bergantungan.
“Bola terakhir kurangg bagus,” ujar Kyle. Ia nyengir pada lelaki yang lebih tua itu. “Secara structural cacat.”
“Aku menominasikan Andy sebagai kapten,” teriak seseorang.
“Aku menominasikan Lily,” seru Wes. Ia berdiri, lalu meregangkan tubuh.
“Andy dan Lily.”
“Ya, Andy dan Lily.”
“Aku mau Kyle,” ujar Andy cepat.
“Kalau begitu aku mau Ian,” jawab Lily.
“Jared.”
“Brandt.”
Jamie bangkit, lalu berdiri berjingkat, berusaha tampak lebih tinggi.
“Paige.”
“Heidi.”
“Aaron.”
“Wes.”
Pemanggilan nama-nama berlanjut. Jamie berseri-seri ketika Lily memilihnya sebelum setengah jumlah orang dewasa terpilih.
Bahkan Maggie dan Jeb dipilih untuk memperkuat tim. Jumlahnya genap, sampai Lucina kembali bersama Jared, dengan kedua anak laki-lakinya melompat-lompat gembira. Jared memegang bola sepak baru yang mengilat di tangannya; ia mengulurkan bola itu, dan Isaiah, anak yang lebih tua, melompat-lompat mencoba menjatuhkan bola itu dari tangan Jared.
“Wanda?” tanya Lily.
Aku menggelengg dan menunjuk kakiku.
“Benar. Maaf.”
Aku jago main sepak bola, gerutu Mel. Well, dulu aku seperti itu.
Aku hampir tak sanggup berjalan, ujarku mengingatkan.
“Kurasa kali iini aku tidak ikut main,” kata Ian.
“Oh, tidak,” keluh Wes. “Mereka punya Kyle dan Jared. Kami mati tanpamu.”
“Mainlah,” ujarku kepada Ian. “Aku… aku akan menghitung angkanya.”
Ian memandangku, bibirnya terkatup membentuk garis tipis kaku. “Aku sedang tidak terlalu ingin bermain.”
“Mereka memerlukanmu.”
Ian mendengus.
“Ayolah, Ian,” desak Jamie.
“Aku ingin menonton,” kataku. “Tapi akan… membosankan jika timnya berat sebelah.”
“Wanda,” desah Ian. “Kau benar-benar pembohong paling payah yang pernah kujumpai.”
Tapi Ian berdiri dan mulai meregangkan tubuh bersama Wes.
Paige menyusun tiang gawang menggunakan empat lentera.
Aku mencoba bangkit berdiri—aku berada tepat di tengah lapangan. Tak seorang pun memperhatikanku dalam cahaya suram itu. Kini atmosfer di sekeliling ruangan berubah positif, penuh antisipasi. Jeb benar. Ini yang mereka perlukan, walaupun tampak ganjil bagiku.
Aku bisa merangkak, lalu kutarik kakiku yang tidak cedera ke muka, sehingga aku berlutut menggunakan kakiku yang  cedera. Rasanya menyakitkan. Lalu aku mencoba melompat dengan kakiku yang tidak cedera. Keseimbanganku sangat buruk, berkat bobot kakiku yang cedera.
Sepasang tangan kokoh menangkapku sebelum aku jatuh terjerembap. Aku mendongak, dengan sedikit perasaan malu, untuk berterima kasih kepada Ian.
Kata-kataku tersangkut di tenggorokan ketika melihat tangan Jared-lah yang menahanku.
“Kau seharusnya bisa minta tolong,” ujarnya ramah.                                                                                                                                                                                                                             
“AKu—“ aku berdehem. “Memang seharusnya aku minta tolong. Aku tak ingin…”
“Diperhatikan?” Jared mengucapkan kata-kata itu seakan benar-benar penasaran. Taka da nada menuduh di dalamnya. Ia membantuku yang terpincang-pincang menuju  lubang masuk gua.
Aku menggeleng. “Aku tak ingin… membuat seseorang melakukan sesuatu hanya demi kesopanan, padahal mereka tak ingin melakukannya.” Penjelasanku tidak terlalu tepat, tapi sepertinya Jared memahami maksudku.
“Kurasa Jamie atau Ian takkan keberatan membantumu.”
Jared meneliti wajahku. KUsadari aku sedang tersenyum penuh sayang.
“Kau sangat peduli terhadap anak itu,” katanya.
“Ya.”
Jared mengangguk. “Dan lelaki itu?”
“Ian… Ian memercayaiku. Dia menjagaku. Dia teramat sangat baik… untuk ukuran manusia.” Hampir seperti jiwa, itulah yang ingin kukatakan. Tapi perkataan itu tidak akan terdengar seperti pujian bagi pendengar yang satu ini.
Jared mendengus. “Untuk ukuran manusia. Pembedaan itu lebih penting daripada yang kusadari.”
Ia mendudukkanku di bibir lubang masuk. Tempat itu menyerupai bangku rendah, sehingga lebih nyaman daripada lantai datar.
“Terima kasih,” ujarku. “Kau tahu, Jeb melakukan hal yang benar.”
“Aku tidak setuju dengan perkataan itu.” Nada suara Jared lebih lunak daripada kata-katanya.
“Juga terima kasih—untuk yang tadi. Kau tidak perlu membelaku.”
“Setiap kata adalah kebenaran.”
AKu menunduk memandang lantai. “Memang benar, aku takkan pernah melakukan sesuatu untuk mencederai siapa pun di sini. Secara sengaja. Maaf karena aku melukaimu ketika dating kemari. Dan Jamie. Maaf sekali.”
Jared duduk di sampingku, wajahnya serius. “Sejujurnya…” Ia bimbang. “Anak itu jadi lebih baik sejak kedatanganmu. Aku sedikit lupa bagaimana suara tawanya.”
Kini kami mendengarkan tawa itu menggema di atas tawa orang dewasa yang bernada lebih rendah.
“Terima kasih telah memberitahuku. Itu adalah… kekhawatiran terbesarku. Kuharap taka da yang kurusak secara permanen.”
“Mengapa?”                                          
Aku mendongak memandang Jared, bingung.
“Mengapa kau mencintainya?” tanya Jared. Suaranya masih penasaran, tapi tidak mendesak.
Aku menggigit bibir.
“Kau bisa mengatakannya kepadaku. AKu… aku…” Jared tak bisa menemukan kata-kata untuk menjelaskan. “Kau bisa mengatakannya kepadaku,” ulangnya.
Kupandangi kakiku ketika menjawab. “Sebagian besar karena Melanie mencintainya.” Aku tidak melirik untuk melihat apakah nama itu tidak mengejutkan Jared. “Mengingat Jamie seperti yang diingat Melanie… itu sesuatu yang sangat berpengaruh. Lalu ketika kulihat sendiri anak laki-laki itu…” Aku mengangkat bahu. “Mustahil bagiku untuk tidak mencintainya. Mencintainya adalah bagian dari susunan sel-sel ini. Sebelumnya tak kusadari betapa banyak pengaruh seorang inang terhadapku. Mungkin itu hanya karena tubuh manusia. Mungkin itu hanya karena Melanie.”
“Melanie bicara padamu?” Jared tetap menjaga ketenangan suaranya, tapi kini aku bisa mendengar  ketegangan di dalamnya.
“Ya.”
“Seberapa sering?”
“Ketika dia menginginkannya. Ketika dia tertarik.”
“Bagaimana dengan hari ini?”
“Tak banyak. Dia… sedikit marah kepadaku.”
Jared mengeluarkan tawa terkejut. “Dia marah? Mengapa?”
“Karena…” Apakah aku kembali diadili di sini? “Tak apa-apa.”
Jared mendengar kebohongan itu lagi, dan ia menghubungkannya.
“Oh, Kyle. Mel ingin Kyle dibantai.” Jared kembali tertawa. “Memang.”
“Melani bisa jadi… kejam,” ujarku setuju. Aku tersenyum, untuk memperlunak penghinaan itu.
Tapi itu bukan penghinaan bagi Jared. “Benarkah? Kok bisa?”
“Dia ingin aku melawan. Tapi aku… aku tak bisa melakukannya.  Aku bukan petarung.”
“Itu bisa kupahami.” Jared menyentuh wajahku yang berantakan dengan ujung jari. “Maaf.”
“Tidak. Siapa pun akan melakukan hal yang sama. Aku tahu bagaimana perasaanmu.”
“Kau tidak akan—“
“Seandainya aku manusia, aku akan melakukannya. Lagi pula, bukan itu yang sedang kupikirkan… Aku teringat pada Pencari.”
Jared mengejang.
Aku tersenyum, dan ia sedikit lebih tenang. “Mel ingin aku mencekiknya. Dia benar-benar membenci Pencari itu. Dan aku tidak bisa… menyalahkan Mel.”
“Pencari itu masih mencarimu. Setidaknya dia tampak seakan hendak kembali menggunakan helicopter itu.”
Aku memejamkan mata, mengepalkan tangan, dan berkonsentrasi untuk bernapas selama beberapa detik.
“Dulu aku tidak takut kepadanya,” bisikku. “AKu tidak tahu mengapa dia kini begittu menakutkan bagiku. Di mana dia?”
“Jangan khawatir. Kemarin dia hanya mondar-mandir menyusuri jalan raya. Dia tidak akan menemukanmu.”
Aku mengangguk, memaksa diriku percaya.
“Bisakah kau… bisakah kau mendengar Mel sekarang?” gumam Jared.
Aku tetap memejamkan mata. “Aku… menyadari keberadaannya. Dia mendengarkan dengan saksama.”
“Apa yang dipikirkannya?” Suara Jared hanya berupa bisikan.
Ini peluangmu, kataku kepada Melanie. Apa yang ingin kaukatakan kepada Jared?
Sekali ini  Melanie berhati-hati. Undangan ini menggelisahkannya. Mengapa? Mengapa sekarang ia memercayaimu?
Aku membuka mata, dan mendapati Jared menatap wajahku seraya menahan napas.                                                      
“Dia ingin tahu apa yang terjadi sehingga kau… sekarang berbeda. Mengapa kau memercayai kami?”
Jared berpikir sejenak. “Akumulasi dari banyak hal. Kau begitu… baik terhadap Walter. Aku tak pernah melihat orang lain, kecuali Doc, yang berbuat sebaik itu. Dan kau menyelamatkan nyawa Kyle, padahal sebagian besar kami akan membiarkannya jatuh untuk melindungi diri kami sendiri, tanpa memedulikan pembunuhan terencana. Lalu kau pembohong yang payah.” Ia tertawa sejenak. “Aku terus mencoba memandang hal-hal ini sebagai bukti adanya rencana besar. MUngkin besok aku akan terbangun dan kembali berpikir seperti itu.”
Aku dan Mel sama-sama terkesiap.
“Tapi ketika mereka mulai menyerangmu hari ini… well, kesabaranku habis. Aku bisa melihat, pada diri mereka semua, segala hal yang seharusnya taka da pada diriku. Kusadari aku sudah percaya, aku hanya bersikap keras kepala. Kejam. Kurasa aku sudah percaya sejak… well, sedikit percaya sejak malam pertama, ketika kau mengempaskan dirimu di depanku untuk menyelamatkanku dari Kyle.” Ia  tertawa, seakan tidak menganggap Kyle berbahaya. “Tapi aku lebih pintar berbohong daripada kau. Aku bahkan bisa membohongi diriku sendiri.”
“Melanie berharap kau takkan berubah pikiran. Dia khawatir kau akan melakukannya.”
Jared memejamkan mata. “Mel.”
Jantungku berdetak lebih cepat. Kegembiraan Melanie-lah yang memicunya, bukan kegembiraanku. Agaknya Jared sudah menebak betapa aku mencintainya. Setelah pertanyaan-pertanyaannya mengenai Jamie, mestinya ia mengerti.
“Katakan kepadanya… itu tidak akan terjadi.”
“Dia mendengarmu.”
“Seberapa… langsungnyakah hubungan itu?”
“Dia mendengar apa yang kudengar, melihat apa yang kulihat.”
“Merasakan apa yang kau rasakan?”
“Ya.”
Hidung Jared mengerut. Kembali ia menyentuh wajahku dengan lembut, membelainya. “Kau tidak tahu betapa menyesalnya diriku.”
Kulitku lebih panas di tempat ia menyentuhnya; panas yang bagus. Tapi kata-kata Jared membakar lebih panas daripada sentuhannya. Tentu saja penyesalannya bertambah karena ia telah melukai Melanie. Tentu saja. Itu seharusnya tidak menggangguku.
“Ayo, Jared! Ayo, main!”
Kami mendongak. Kyle memanggil Jared. Tampaknya ia benar-benar santai, seakan hidupnya tak pernah dipertaruhkan dalam pengadilan hari ini. Mungkin ia sudah tahu hasilnya akan seperti ini. Mungkin ia cepat melupakan apa saja. Tampaknya ia tidak memperhatikanku di sana, di samping Jared.   
Kusadari, untuk pertama kali, bahwa yang lain memperhatikan.
Jamie mengamati kami dengan senyum puas. Ini mungkin tampak baik baginya. Benarkah?
Apa maksudmu?
Apa yang dilihat Jamie ketika memandang kita? Keluarganya bersatu kembali?
Benarkah? Semacam itukah?
Dengan satu tambahan yang tidak dikehendaki.
Tapi ini lebih baik daripada kemarin.
Kurasa begitu…
Aku tahu, Melanie mengakui. Aku gembira Jared tahu aku ada di sini… tapi aku masih tidak suka jika ia menyentuhmu.
Dan aku sangat suka. Wajahku bergelenyar di tempat jemari Jared mengusapnya tadi. Maaf soal itu.
Aku tidak menyalahkanmu. Atau, setidaknya, aku tahu aku tidak boleh menyalahkanmu.
Terima kasih.
Jamie bukanlah satu-satunya yang mengamati.
Jeb penasaran. Senyum kecil itu berkumpul di sudut janggutnya.
Sharon dan Maggie mengamati dengan api di mata mereka. Ekspresi mereka begitu mirip, sehingga kulit muda dan rambut warna mencolok sama sekali tidak membuat Sharon tampak lebih muda dibandingkan ibunya yang beruban.
Ian waswas. Matanya tegang, dan sepertinya ia nyaris menghampiriku untuk kembali melindungiku. Untuk memastikan Jared tidak menggangguku. Aku tersenyum meyakinkannya. Ian tidak membalas senyumku, tapi menghela napas panjang.
Kurasa bukan itu penyebab kekhawatiran Ian, ujar Melanie.
“Apakah kau sedang mendengarkan, Mel?” Jared bangkit berdiri, masih mengamati wajahku.
Pertanyaannya mengalihkan perhatianku, sebelum aku bisa bertanya kepada Mel apa maksud perkataannya. “Ya.”
“Dia bilang apa?”
“Kami sedang mengamati bagaimana pendapat yang lain mengenai… perubahan pikiranmu.” Aku mengangguk kea rah bibi dan sepupu Melanie. Mereka serentak memunggungiku.
“Keras kepala,” Jared mengakui.
“Baiklah, kalau begitu,” teriak Kyle, seraya berbalik kea rah bola yang tergeletak di bawah tempat yang paling diterangi cahaya. “Kami akan memenangkan pertandingan ini tanpamu.”
“Tunggu!” Sekali lagi Jared melirik sedih kepadaku—kepada kami—lalu lari untuk mengikuti permainan.
Aku bukan pencatat angka terbaik. Terlalu gelap untuk melihat bolanya dari tempat dudukku. Bahkan terlalu gelap untuk melihat para pemain dengan baik saat mereka tidak berada di bawah cahaya. Aku mulai menghitung berdasarkan reaksi Jamie. Teriakan kemenangannya ketika timnya mencetak angka, erangannya ketika tim lawan mencetak angka. Jumlah erangannya lebih banyak daripada teriakan kemenangannya.
Semua ikut bermain. Maggie menjadi penjaga gawang untuk tim Andy, dan Jeb jadi penjaga gawang untuk tim Lily. Mereka sama-sama hebat. Aku bisa melihat siluet mereka dalam cahaya lampu-lampu tiang gawang, bergerak lincah seakan usia mereka puluhan tahun lebih muda. Jeb tidak takut menjatuhkan diri ke lantai untuk menggagalkan gol, tapi Maggie lebih efektif tanpa harus melakukan tindakan-tindakan ekstrem semacam itu. Perempuan tua itu seperti magnet bagi bola yang tak terlihat. Setiap kali Ian atau Wes melayangkan tendangan… duk! Bola mendarat di tangan Maggie.
Trudy dan Paige berhenti bermain setelah sekitar setengah jam. Mereka melewatiku waktu berjalan keluar, seraya mengobrol gembira. Tampaknya mustahil kami memulai pagi ini dengan pengadilan, tapi aku lega karena semua tidak berubah drastis.
Kedua perempuan itu tidak pergi lama. Mereka kembali dengan tangan penuh kotak. Granola-granola batangan—yang berisi buah. Permainan berhenti. Jeb meneriakkan istirahat setengah permainan, dan semua bergegas menyantap sarapan.
Makanan itu dibagikan di garis tengah. Mulanya semua berkerumun dan saling berebut.
“Ini, Wanda,” ujar Jamie, seraya merunduk keluar dari kerumunan. Tangannya penuh granola batangan, dan botol-botol air minum terseip di bawah kedua lengannya.
“Terima kasih. Kau bersenang-senang?”
“Ya! Kalau saja kau bisa ikut bermain.”
“Lain kali,” ujarku.
“Ini…” Ian berada di sana, kedua tangannya penuh granola batangan.
“Aku duluan,” kata Jamie kepadanya.
“Oh,” ujar Jared, yang muncul di sisi lain Jamie. Ia juga membawa terlalu banyak granola batangan untuk satu orang.
Ian dan Jared berpandangan untuk waktu lama.
“Mana makanannya?” desak Kyle. Ia berdiri di samping kotak kosong, kepalanya berputar berkeliling, mencari tersangka pencurinya.
“Tangkap,” ujar Jared. Ia melemparkan granola-granola batangan itu satu per satu, kuat-kuat, seakan melempar pisau.
Kyle menangkap semuanya dengan mudah, lalu lari mendekat untuk melihat apakah Jared masih menyembunyikan beberapa.
“Ini,” ujar Ian. Ia menyorongkan setengah bawaannya kepada kakaknya tanpa memandang Kyle. “Sekarang pergilah.”
Kyle mengabaikannya. Untuk pertama kali hari ini ia memandangku, menunduk menatapku di tempat dudukku. Selaput pelangi matanya berwarna hitam diterangi cahaya di belakangnya. Aku tak bisa membaca ekspresi wajahnya.
Aku menciut, dan menahan napas ketika tulang-tulang rusukku memprotes.
Jared dan Ian berdiri berdampingan di hadapanku seperti tirai panggung pertunjukan.
“Dengarkan kata-kata Ian,” ujar Jared.
“Bisakah aku mengucapkan sesuatu lebih dulu?” tanya Kyle. Ia mengintip lewat celah di antara Jared dan Ian.
Keduanya tidak menjawab.
“Aku tidak menyesal,” ujar Kyle kepadaku. “Aku masih merasa perbuatanku benar.”
Ian mendorong kakaknya. Kyle sempoyongan mundur, tapi kembali melangkah maju.
“Tunggu, aku belum selesai.”
“Ya, kau sudah selesai,” ujar Jared. Tangannya terkepal, kulit di buku-buku jarinya memutih.
Kini semua orang memperhatikan. RUangan hening, semua kegembiraan bermain lenyap.
“Tidak, belum selesai.” Kyle mengangkat kedua tangannya sebagai isyarat menyerah, lalu kembali bicara kepadaku. “Menurutku aku tidak bersalah, tapi kau memang menyelamatkan nyawaku. Aku tidak tahu mengapa, tapi kau melakukannya. Jadi, kupikir, nyawa dibalas dengan nyawa. Aku tidak akan membunuhmu. Kubayar utangku dengan cara itu.”
“Kau bajingan tolol,” ujar Ian.
“Siapa  yang naksir cacing, DIk?” Kau hendak menyebutku tolol?”
Ian mengangkat tinjunya, lalu mencondongkan tubuh ke depan.
“Akan kukatakan mengapa,” kataku. Kubuat suaraku lebih keras daripada yang kuinginkan. Itu menghasilkan dampak yang kuinginkan. Ian, Jared, dan Kyle berbalik menatapku. Sejenak mereka melupakan perkelahian.
Aku jadi gugup. Aku berdehem. “Aku tidak membiarkanmu jatuh karena… karena aku tidak sepertimu. Aku tidak mengatakan aku tidak… seperti manusia. Karena ada orang-orang lain di sini yang akan melakukan hal yang sama. Ada orang-orang baik dan bijak di sini. Orang-orang seperti adikmu, dan Jeb, dan Doc… aku mengatakan bahwa aku tidak seperti dirimu secara pribadi.”
Kyle menatapku sejenak, lalu tergelak. “Aduh,” katanya, masih tertawa. Lalu ia berbalik pergi. Pesannya sudah tersampaikan, dan ia pergi untuk mengambil air minum. “Nyawa dibalas dengan nyawa,” teriaknya, seraya menoleh ke belakang.
Aku tak yakin apakah aku mempercayainya. Sama sekali tak yakin. Manusia adalah pembohong yang baik.










The Host- Bab 35

0 comments
DIADILI



Aku mengerang. Kepalaku serasa berputar-putar dan mau lepas. Perutku bergolak memualkan.
“Akhirnya.” Seseorang bergumam lega. Ian. Tentu saja. “Lapar?”
Kurenungkan perkataannya, lalu tanpa kuinginkan aku bersendawa.
“Oh. Lupakan saja. Maaf. Lagi. Kami harus melakukannya. Orang-orang berubah… paranoid ketika kami membawamu keluar.”
“Tidak apa-apa,” desahku.
“Mau minum?”
“Tidak.”
Aku membuka mata, mencoba memusatkan pandangan dalam gelap. Aku bisa melihat dua bintang lewat celah-celah di atas kepala. Masih malam. Atau sudah malam lagi, siapa yang tahu?
“Aku di mana?” tanyaku. Bentuk celah-celah itu tak kukenal.
Aku bersumpah tak pernah menatap langit-langit ini sebelumnya.
“Kamarmu,” jawab Ian.
Kuteliti wajahnya dalam gelap, tapi aku hanya bisa melihat bentuk hitam kepalanya. Dengan jemari kuraba permukaan tempatku berbaring; benar-benar Kasur. Ada bantal di bawah kepala. Tanganku yang meraba-raba menemukan tangan Ian, dan ia menangkap jemariku sebelum aku bisa menariknya.
“Sebenarnya kamar siapa ini?”
“Kamarmu.”
“Ian…”
“Dulunya kamar kami—kamarku bersama Kyle. Kyle… ditahan di rumah sakit sampai segalanya diputuskan. Aku bisa pindah ke kamar Wes.”
“Aku takkan mengambil kamarmu. Dan apa maksudmu dengan sampai segalanya diputuskan?”
“Sudah kubilang, akan ada pengadilan.”
“Kapan?”
“Mengapa kau ingin tahu?”
“Karena, jika kalian hendak menyelenggarakannya, aku harus ada di sana. Untuk menjelaskan.”
“Untuk berbohong?”
“Kapan?” tanyaku lagi.
“Cahaya pertama. Aku tidak akan membawamu ke sana.”
“Kalau begitu aku akan ke sana sendiri. Aku bisa berjalan setelah kepalaku berhenti berputar-putar.”
“Kau bersungguh-sungguh, bukan?”
“Ya. Tidak adil jika kalian tidak membiarkanku bicara.”
Ian mendesah. Ia menjatuhkan tangannya dan perlahan-lahan bangkit berdiri. Aku bisa mendengar sendi-sendinya berkeretak ketika ia bangkit. Berapa lama ia duduk di dalam gelap, menungguku terbangun? “Aku akan segera kembali. Kau mungkin tidak lapar, tapi aku kelaparan.”
“Kau mengalami malam yang panjang.”
“Ya.”
“Jika hari sudah terang, aku takkan duduk di sini menunggumu.”
Ian tergelak tanpa menunjukkan rasa geli. Aku yakin itu benar. Jadi aku akan kembali sebelum itu, dan aku akan membantu membawamu ke tempat yang kautuju.”
Ian menyingkirkan salah satu pintu yang menutupi lubang masuk ke guanya. Ia melangkah ke luar, lalu meletakkan pintu itu ke tempatnya lagi. Aku memberengut. Akan sulit menggeser pintu itu dengan satu kaki. Kuharap Ian benar-benar kembali.
Sementara menunggu Ian, aku menatap dua bintang yang bisa kulihat, dan kubiarkan kepalaku perlahan-lahan berubah tenang. Aku benar-benar tidak menyukai obat-obatan manusia. Ugh. Tubuhku sakit, tapi guncangan-guncangan di kepalaku lebih menyakitkan lagi.
Waktu bergeser lalmbat, tapi aku tidak tertidur. Aku sudah tidur lebih dari 24 jam. Mungkin aku juga lapar. Aku harus menunggu sampai perutku tenang, sebelum bisa memastikan.
Ian kembali sebelum hari terang, persis seperti janjinya.
“Merasa lebih enak?” tanyanya, ketika melangkah melewati pintu.
“Kurasa begitu. Aku belum menggerakkan kepala.”
“Menurutmu, siapa yang bereaksi terhadap morfin itu? Kau atau tubuh Melanie?”
“Mel. Dia bereaksi buruk terhadap sebagian besar obat penghilang nyeri. Dia tahu itu ketika pergelangan tangannya patah sepuluh tahun yang lalu.”
Sejenak Ian merenungkan perkataanku. “Rasanya… aneh. Menghadapi dua orang sekaligus.”
“Aneh,” ujarku setuju.
“Kau sudah lapar?”
Aku tersenyum. “Kurasa aku mencium bau roti. Ya, kurasa perutku sudah melewati saat terburuknya.”
“Aku memang berharap kau akan berkata seperti itu.”
Bayang-bayang Ian duduk di sampingku. Ia mencari tanganku, lalu membuka jemariku dan meletakkan bentuk yang sudah kukenal itu di sana.
“Bantu aku duduk?” pintaku.
Ian merangkulkan lengannya dengan hati-hati di bahuku, lalu mendudukkanku dengan gerak kaku untuk meminimalkan rasa sakit di sisi tubuhku. Aku bisa merasakan sesuatu yang asing di sana, di kulitku. Kaku dan ketat.
“Terima kasih,” ujarku, sedikit terengah. Kepalaku berputar pelan. Kusentuh sisi tubuhku dengan tanganku yang bebas. Sesuatu melekat di kulitku, di balik kemejaku. “Apakah rusukku patah?”
“Doc tidak yakin. Dia melakukan yang terbaik.”
“Dia berusaha begitu keras.”
“Memang.”
“Aku merasa tidak enak… karena pernah tidak menyukainya,” ujarku mengakui.
Ian tertawa. “Tentu saja kau tidak menyukainya. Aku heran jika kau bisa menyukai salah seorang dari kami.”
“Perkataanmu terbalik,” gumamku, lalu kubenamkan gigiku ke roti yang keras. Aku mengunyah secara mekanis, lalu menelan. Kuletakkan roti itu ketika menunggunya menerpa perutku.
“Tidak terlalu mengundang selera. Aku tahu,” ujar Ian.
Aku mengangkat bahu. “Hanya menguji—untuk mengetahui apakah mualnya sudah benar-benar hilang.”
“Mungkin sesuatu yang lebih mengundang selera…”
Aku memandang Ian, penasaran, tapi tak bisa melihat wajahnya. Aku mendengar suara gemersik tajam dan suara robekan… lalu bisa mencium baunya, dan aku mengerti.
“Cheetos!” teriakku. “Benarkah? Untukku?”
Sesuatu menyentuh bibirku, dan kukunyah camilan yang tawarkan Ian kepadaku.
“Aku memimpi-mimpikannya,” desahku, seraya mengunyah.
Perkataanku membuat Ian tertawa. Diletakkannya kemasan itu di tanganku.
Kuhabiskan isi kemasan kecil itu dengan cepat, lalu kuhabiskan rotiku, dibumbui rasa keju yang masih tertinggal di mulutku. Ian memberiku sebotol air sebelum aku memintanya.
“Terima kasih. Kau tahu, bukan hanya untuk Cheetos-nya. Tapi untuk begitu banyak hal.”
“Sama-sama, Wanda.”
Kutatap mata biru gelap Ian, mencoba memahami semua yang dikatakannya lewat kalimat itu. Sepertinya ada sesuatu yang lebih dari sekedar kesopanan dalam kata-katanya. Lalu kusadari aku bisa melihat warna mata Ian. Cepat-cepat aku melirik ke celah-celah di atasku. Bintang – bintang sudah menghilang, dan langit berubah kelabu pucat. Fajar menjelang. Cahaya pertama.
“Kau yakin harus melakukannya?” tanya Ian. Tangannya setengah terulur, seakan hendak mengangkatku.
Aku mengangguk. “Kau tak perlu membopongku. Kakiku sudah lebih baik.”
“Akan kita lihat.”
Ian membantuku berdiri, membiarkan lengannya memeluk pinggangku, lalu merangkulkan lenganku di lehernya.
“Sekarang hati-hati. Bagaimana rasanya?”Aku melompat maju satu langkah. Rasanya sakit, tapi aku bisa melakukannya. “Hebat. Ayo pergi.”
Kurasa Ian terlalu menyukaimu.
Terlalu? Aku terkejut mendengar suara Melanie begitu jelas. Belakangan ia hanya bicara seperti itu ketika Jared berada di sini.
AKu juga ada di sini. Apakah ia bahkan peduli?
Tentu saja ia peduli. Ian memercayai kita, melebihi siapa pun, selain Jamie dan Jeb.
Bukan itu maksudku.
Apa maksudmu?
Tapi Melanie sudah pergi.
Perlu waktu lama bagi kami. Aku terkejut menyadari betapa jauh kami harus pergi. Kupikir kami akan pergi ke plaza utama atau dapur—tempat-tempat berkumpul yang biasa. Tapi kami berjalan melewati ladang timur, sampai akhirnya tiba di gua gelap gulita besar yang disebut Jeb ruang bermain. Aku belum pernah ke sana sejak tur pertamaku. Bau menyengat mata air sulfur menyambutku.
Tidak seperti sebagian besar ruang gua di sini, ruang bermain jauh lebih luas jika dibandingkan tingginya. Kini aku bisa melihat ruangan itu, karena lampu-lampu biru suram tergantung di langit-langit, dan bukannya tergeletak di lantai. Langit-langitnya hanya beberapa puluh sentimeter di atas kepalaku; tinggi langit-langit normal sebuah rumah. Tapi aku bahkan tak bisa melihat dinding-dindingnya, yang sangat jauh dari lampu-lampu itu. Aku tak bisa melihat mata air berbau busuk itu, yang tersembunyi di pojok yang jauh, tapi aku bisa mendengarnya menetes dan berdeguk.
Kyle duduk di tempat yang paling diterangi cahaya. Lengannya memeluk kaki. Wajahnya seperti topeng kaku. Ia tidak mendongak ketika Ian membantuku berjalan masuk.
Kyle diapit Jared dan Doc yang berdiri dengan lengan bebas dan siaga di sisi tubuh mereka. Seakan mereka… pengawal.
Jeb duduk di samping Jared, dengan senapan tersampir di bahu. Ia tampak santai, tapi aku tahu betapa cepat hal itu bisa berubah. Jamie meletakkan tangannya yang bebas… Tidak, Jeb memegangi pergelangan tangan anak itu, dan Jamie sepertinya tidak merasa senang. Tapi ketika melihatku masuk, Jamie tersenyum dan melambai. Ia menghela napas panjang dan memandang Jeb tajam.
Jeb melepaskan tangan Jamie.
Sharon berdiri diapit Doc dan BIbi Maggie.
Ian menarikku ke tepi kegelapan yang mengeliingi adegan itu. Kami tidak sendirian. Aku bisa melihat sosok-sosok lain, tapi tak bisa melihat wajah mereka.
Rasanya aneh. Sepanjang jalan Ian menopang sebagian besar bobotku dengan mudah.  Tapi kini tampaknya ia kelelahan. Lengan yang memeluk pinggangku mengendur. Aku terhuyung dan melompat maju sebisa mungkin, sampai Ian menemukan tempat yang ia inginkan. Ia mendudukkanku di lantai, lalu duduk di sampingku.
“Aduh,” kudengar seseorang berbisik.
Aku menoleh, dan samar-samar melihat Trudy. Ia beringsut mendekati kami, lalu Geoffrey dan Heath mengikuti..
“Kau tampak payah,” ujarnya kepadaku. “Seberapa parah lukamu?”
Aku mengangkat bahu. “Aku baik-baik saja.” Aku mulai bertanya-tanya, apakah tadi Ian sengaja membiarkanku berjuang, untuk menunjukkan luka-lukaku—untuk membuatku bersaksi tanpa kata-kata melawan Kyle. Aku memberengut melihat wajah polosnya.
Lalu Wes dan Lily tiba, dan duduk bersama kelompok sekutu kecilku. Brandt masuk beberapa detik kemudian, lalu Heidi, Andy, dan Paige. Aaron yang terakhir.
“Sudah lengkap,” ujarnya. “Lucina menemani anak-anaknya. Dia tak ingin mereka berada di sini—dia meminta kita melanjutkan tanpanya.”
Aaron duduk di samping Andy. Sejenak suasana hening.
“Oke kalau begitu,” ujar Jeb dengan suara keras, agar didengar semua orang. “Begini prosedurnya: pemungutan suara secara langsung berdasarkan mayoritas. Seperti biasa, aku akan membuat keputusanku sendiri jika mendapat masalah dengan mayoritas, karena ini—“
“Adalah rumahku,” sela beberapa suara serentak. Seseorang tergelak, tapi langsung berhenti. Ini tidak lucu. Seorang manusia sedang diadili karena mencoba membunuh mahluk asing. Seharusnya ini hari yang mengerikan bagi mereka semua.
“Siapa yang ingin bicara menentang Kyle?” tanya Jeb.
Ian hendak berdiri.                                                                                
“Tidak!” bisikku, menarik sikunya.
Ian menyingkirkan tanganku dan bangkit berdiri.
“Ini cukup sederhana,” ujar Ian. Aku ingin melompat dan membungkam mulutnya dengan tanganku, tapi kurasa aku tidak bisa bangkit tanpa bantuan. “Kakakku sudah mendapat peringatan. Dia benar-benar sudah memahami peraturan Jeb soal ini. Wanda anggota komunitas kita—peraturan dan perlindungan yang sama berlaku baginya, seperti juga bagi kita semua. Jeb mengatakan dengan jelas kepada Kyle bahwa, kalau dia tidak bisa tinggal bersama Wanda di sini, dia harus pergi. Kyle memutuskan untuk tetap tinggal. Sejak dulu dia sudah tahu hukuman atas pembunuhan di tempat ini.”
“Makhluk itu masih hidup,” gerutu Kyle.
“Itulah sebabnya aku tidak menuntut kematianmu,” bentak Ian.
“Tapi kau tidak bisa lagi tinggal di sini. Tidak bisa, jika pada dasarnya kau pembunuh.”
Sejenak Ian menatap kakaknya, lalu duduk kembali di tanah di sampingku.
“Tapi Kyle bisa tertangkap, sedangkan kita sama sekali tak tahu,” protes Brandt, seraya bangkit berdiri. “Dia akan menuntun mereka kemari, dan kita tidak akan menerima peringatan apa pun.”
Terdengar gumaman di seluruh ruangan.
Kyle melirik Brandt. “Mereka takkan pernah menangkapku hidup-hidup.”
“Kalau begitu hukuman mati saja,” gumam seseorang, serentak dengan perkataan Andy, “Kau tidak bisa menjamin hal itu.”
“Satu per satu,” Jeb mengingatkan.
“Aku pernah bertahan hidup di luar,” ujar Kyle marah.
Suara lain terdengar dari gelap. “Beresiko.” Aku tidak bisa mengenali pemilik suara yang hanya mengeluarkan bisikan mendesis itu.
Lalu terdengar suara lain. “Apa salah Kyle? Tak ada.”
Jeb maju menghampiri suara itu, matanya melotot. “Peraturanku.”
“Makhluk itu bukan salah satu dari kita,” protes orang lain.
Ian hendak bangkit berdiri lagi.
“Hei!” tukas Jared. Suaranya begitu keras sampai semua terlompat. “Wanda tidak sedang diadili di sini! Adakah yang punya keluhan konkret terhadapnya—terhadap Wanda sendiri? Kalau begitu, mintalah diadakan pengadilan lain. Tapi kita semua tahu, dia belum pernah mencelakai satu orang pun di sini. Sebenarnya dia malah menyelamatkan nyawa Kyle.” Jared mengarahkan jarinya ke punggung Kyle. Bahu Kyle merosot, seakan merasakan tusukan itu. “Hanya beberapa detik setelah Kyle mencoba melempar Wanda ke sungai, Wanda mempertaruhkan nyawa untuk menghindarkannya dari kematian menyakitkan yang sama. Wanda pasti tahu seandainya Kyle dibiarkan jatuh, dia akan lebih aman di sini. Tapi toh dia menyelamatkan Kyle juga. Adakah di antara kalian yang bersedia melakukan hal yang sama—menyelamatkan musuh kalian? Kyle mencoba membunuh Wanda, tapi apakah Wanda bicara menentangnya?”
Aku merasakan semua mata di ruang gelap itu memandangku ketika Jared memberiku isyarat untuk maju.
“Maukah kau bicara menentangnya, Wanda?”
Dengan terbelalak aku menatap Jared. Aku terpaku karena ia bicara mewakiliku, karena ia bicara kepadaku, karena ia menggunakan namaku. Melanie juga terkejut, ia terbagi dua. Ia sangat senang melihat kebaikan di wajah Jared ketika memandang kami, melihat kelembutan di mata Jared yang telah begitu lama hilang. Tapi namakulah yang diucapkan lelaki itu…
Perlu beberapa detik sebelum aku menemukan suaraku.
“Ini semua salah paham,” bisikku. “Kami sama-sama terjatuh ketika lantainya runtuh. Hanya itu yang terjadi.” Aku berharap bisikan itu semakin menyulitkan mereka mendeteksi kebohongan di dalam suaraku. Tapi begitu aku selesai bicara, Ian tergelak. Aku menyikutnya, tapi itu tidak menghentikannya.
Jared benar-benar tersenyum kepadaku. “Kalian lihat sendiri. DIa bahkan mencoba berbohong untuk membela Kyle.”
“Mencoba adalah kata yang perlu ditekankan disini,” imbuh Ian.
“Siapa yang bilang makhluk itu berbohong? Siapa yang bisa membuktikannya?” tanya Maggie kasar. Ia melangkah maju ke tempat kosong di samping Kyle. “Siapa yang bisa membuktikan itu adalah kebenaran yang terdengar sangat palsu di bibirnya?”
“Mag—“ Jeb memulai.
“Tutup mulutmu, Jebediah—aku sedang bicara. Taka da alasan bagi kita untuk berada di sini. Tak ada manusia yang diserang. Taka da yang mengeluhkan pelanggaran membahayakan. Ini membuang-buang waktu kita semua.”
“Aku setuju itu,” imbuh Sharon, suaranya bening dan lantang. Doc melontarkan pandangan terluka.
Trudy melompat berdiri. “Kita tidak bisa menampung pembunuh—dan menunggunya memperoleh kesuksesan!”
“Pembunuh adalah istilah subjektif,” desis Maggie. “Aku hanya menganggapnya pembunuh jika ada manusia yang terbunuh.”
Kurasakan lengan Ian memeluk bahuku. Tak kusadari tubuhku gemetar, hingga Ian yang tidak bergerak merapat pada tubuhku.
“Manusia juga istilah subjektif, Magnolia,” ujar Jared, memelototi Maggie. “Kurasa definisi itu mencakup semacam kasih sayang, mencakup sedikit belas kasih.”
“Ayo, kita adakah pemungutan suara,” ujar Sharon, sebelum ibunya bisa menjawab Jared. “Angkat tanganmu jika kau menganggap Kyle harus diizinkan tinggal di sini, tanpa dijatuhi hukuman atas… kesalahpahaman itu.” Ia tidak melirikku, tapi melirik Ian di sampingku, ketika memakai kata yang kugunakan.
Tangan-tangan teracung. Kuamati wajah Jared ketika ekspresinya berubah marah.
Aku berjuang mengangkat tangan, tapi Ian mempererah pegangannya di kedua lenganku, dan mengeluarkan suara jengkel lewat hidungnya. Kuangkat telapak tanganku setinggi mungkin untuk melakukannya. Tapi akhirnya suaraku tidak diperlukan.
Jeb menghitung keras-keras. “Sepuluh… lima belas… dua puluh… dua puluh tiga. Oke, itu jelas mayoritas.”
Aku tidak memandang sekeliling untuk melihat siapa yang memilih siapa. Cukuplah bahwa, di pojok mungilku, semua lengan tersilang erat di dada dan semua mata menatap Jeb dengan ekspresi penuh harap.
Jamie berjalan meninggalkan Jeb untuk menjejalkan diri di antara aku dan Trudy. Ia memelukku, di bawah lengan Ian.
“Mungkin jiwa-jiwa kalian benar tentang kami,” ujar Jamie, cukup keras bagi sebagian besar orang untuk mendengar suara lantangnya yang bernada tinggi. “Sebagian besar manusia tidak lebih baik daripada—“
“Hus!” desisku kepadanya.
“Oke,” ujar Jeb. Semua terdiam. Jeb menundukk memandang Kyle, lalu memandangku, lalu memandang Jared. “Oke, aku cenderung setuju dengan mayoritas dalam hal ini.”
“Jeb—“ ujar Jared dan Ian serentak.
“Rumahku, peraturanku,” Jeb mengingatkan. “Jangan pernah lupakan itu. Jadi, dengarkan aku, Kyle. Dan kurasa kau sebaiknya juga mendengarkan, Magnolia. Siapa pun yang mencoba mencederai Wanda lagi, dia tidak akan diadili. Dia akan dimakamkan.” Jeb menepuk gagang senapannya sebagai penegasan.
Aku terkesiap.
Magnolia melotot penuh kebencian pada saudara laki-lakinya. Kyle mengangguk, seakan menerima persyaratan itu.
Jeb memandang ke penonton yang terbagi secara tidak merata, menatap mata setiap anggota, kecuali mata anggota kelompok kecil di sampingku.
“Pengadilan selesai,” ujarnya mengumumkan. “Siapa yang mau main?”



The Host- Bab 34

0 comments
DIMAKAMKAN



Jared menerjang maju, menjauhiku. Dengan suara gedebuk keras, tinjunya menghantam wajah Kyle.
Mata Kyle berputar ke belakang, mulutnya terbuka.
Selama beberapa detik ruangan sangat hening.
“Um,” ujar Doc pelan, “secara medis, aku tak yakin apakah itu tindakan yang paling membantu untuk kondisinya.”
“Tapi aku merasa lebih baik,” jawab Jared muram.
Doc tersenyum kecil. “Well, beberapa menit ketidaksadaran mungkin takkan membunuhnya.”
Doc mulai memeriksa bagian bawah kelopak mata Kyle lagi, mengukur denyut nadinya…
“Apa yang terjadi?” Wes berada di dekat kepalaku, berbisik.
“Kyle mencoba membunuh makhluk itu,” jawab Jared, sebelum aku bisa menjawab. “Tidak mengejutkan, bukan?”
“Memang,” gumamku.
Wes memandang Jared.
“Tampaknya altruisme muncul lebih alami pada mahluk itu dibandingkan kebohongan,” ujar Jared.
“Apakah kau sedang mencoba bersikap menjengkelkan?” desakku.
Kesabaranku bukannya berkurang, melainkan lenyap seluruhnya. Sudah berapa lama aku tidak tidur? Satu-satunya yang lebih menyakitkan daripada kakiku adalah kepalaku. Setiap tarikan napas membuat sisi tubuhku sakit. Kusadari, dengan agak terkejut, bahwa suasana hatiku benar-benar buruk. “Karena seandainya demikian, maka yakinlah, kau berhasil.”
Jared dan Wes memandangku dengan mata terkejut. Aku yakin, seandainya bisa melihat yang lain, ekspresi mereka juga bakal serupa. Mungkin Jeb tidak. Ia ahli dalam memperlihatkan wajah tanpa ekspresi.
“Aku perempuan,” keluhku. “Istilah ‘mahluk itu’ benar-benar membuatku jengkel.”
Jared mengerjap terkejut. Lalu wajahnya kembali membentuk garis-garis keras. “Karena tubuh yang kau kenakan?”
Wes memelototinya.
“Karena aku perempuan,” desisku.
“Berdasarkan definisi siapa?”
“Bagaimana kalau definisimu? Pada spesiesku, akulah yang melahirkan. Bukankah itu cukup perempuan bagimu?”
Perkataanku langsung membungkam Jared. Aku nyaris merasa bangga terhadap diriku sendiri.
Memang sudah seharusnya, ujar Melanie setuju. Ia keliru, dan bersikap menjengkelkan soal itu.
Terima kasih.
Sebagai sesame perempuan, kita harus bersatu.
“Itu kisah yang belum pernah kauceritakan kepada kami,” gumam Wes, sementara Jared berjuang mencari bantahan. “Bagaimana cara kerjanya?”
Wajah zaitun Wes semakin gelap, seakan ia baru saja menyadari kata-kata itu telah diucapkan keras-keras. “Maksudku, kurasa kau tidak perlu menjawab jika pertanyaanku tidak sopan.”
Aku tertawa. Suasana hatiku berganti-ganti dengan liar, tak terkendali. Mabuk karena kurang tidur, seperti kata Melanie. “Tidak, kau  menanyakan sesuatu… yang tidak pantas. Kami tidak punya pengaturan terperinci… dan rumit… seperti spesies kalian.” Aku kembali tertawa, lalu merasakan wajahku menghangat. Kuingat dengan sangat jelas betapa rumitnya pengaturan itu.
Jangan berpikir kotor.
Itu pikiranmu, ujarku mengingatkan Melanie.
Aku mendesah. “Hanya ada beberapa dari kami yang menjadi… Ibu. Itu sebutan mereka untuk kami. Bukan ibu yang sesungguhnya, tapi kami berpotensi menjadi Ibu…” Aku kembali serius, merenungkannya. Tak ada ibu, tak ada ibu yang bertahan hidup, yang ada hanyalah ingatan-ingatan tentang mereka.
“Kau punya potensi itu?” tanya Jared kaku.
Aku tahu yang lain mendengarkan. Bahkan Doc menghentikan tindakannya meletakkan telinga di dada Kyle.
Aku tidak menjawab pertanyaan Jared. “Kami… agak menyerupai kawanan lebah, atau semut. Banyak sekali anggota keluarga yang tidak memiliki jenis kelamin, lalu ada ratu…”
“Ratu?” ulang Wes, memandangku dengan ekspresi aneh.
“Bukan seperti itu. Tapi hanya ada satu ibu untuk setiap lima sampai sepuluh ribu bangsaku. Terkadang kurang dari itu. Tak ada peraturan yang ketat.”
“Ada berapa banyak pejantan?” tanya Wes.
“Oh, tidak—tidak ada pejantan. Tidak. Sudah kubilang, prosesnya lebih sederhana.”
Mereka menungguku menjelaskan. Aku menelan ludah. Seharusnya aku tidak mengangkat topic ini. Aku tak ingin membicarakannya lagi. Apakah benar-benar menjadi masalah jika Jared memanggilku “mahluk itu”?
Mereka masih menunggu. Aku memberengut, tapi lalu bicara. Akulah yang memulai topic ini. “Ibu… membelah diri. Setiap… selnya—kurasa bisa kaubilang begitu, walaupun struktur kami tidak sama seperti struktur kalian—menjadi jiwa yang baru. Setiap jiwa yang baru membawa sedikit ingatan ibunya—sebagian dari ibunya yang tertinggal.”
“Berapa banyak sel?” tanya Doc penasaran. “Berapa banyak anak?”
Aku mengangkat bahu. “Sekitar satu juta.”
Sejauh pandanganku, semua mata membelalak dan tampak sedikit lebih liar. Aku mencoba untuk tidak merasa terlukka ketika Wes menjauh dariku.
Doc bersiul pelan. Ia satu-satunya yang masih tertarik untuk melanjutkan. Aaron dan Andy menunjukkan ekspresi cemas, bingung. Mereka belum pernah mendengarku mengajar. Belum pernah mendengarku bicara begitu banyak.
“Kapan itu terjadi? Adakah semacam katalisator?” tanya Doc.
“Itu pilihan. Pilihan sukarela,” jawabku. “Satu-satunya cara kami untuk memilih kematian dengan sukarela. Semacam pertukaran, demi generasi baru.”
“Kau bisa memilihnya sekarang? Membelah semua selmu, begitu saja?”
“Tidak persis seperti itu, tapi ya.”
“Rumitkah?”
“Yang rumit adalah keputusannya. Prosesnya… menyakitkan.”
“Menyakitkan?”
Mengapa Doc harus seterkejut itu? Bukankah hal yang sama terjadi pada bangsanya?
Dasar laki-laki, dengus Melanie.
“Menyiksa,” jawabku. “Kami semua ingat apa yang dialami ibu kami.”
Doc mengusap-usap dagu, terpukau. “Aku ingin tahu, itu jalur evolusi macam apa… menghasilkan masyarakat lebah dengan ratu yang bunuh diri…” Ia terhanyut dalam rangkaian pikiran yang lain.
“Altruisme,” gumam Wes.
“Hmm,” ujar Doc. “Ya, tepat.”
Kupejamkan mata, berharap mulutku tetap mengatup. Kepalaku pening. Apakah aku hanya lelah atau apakah itu karena luka di kepalaku?
“Oh,” gumam Doc. “Tidurmu bahkan lebih sedikit daripada tidurku, bukan, Wanda? Kami harus membiarkanmu istirahat.”
“Aku baik-baik saja,” gumamku, tanpa membuka mata.
“Hebat sekali,” bisik seseorang. “Kita punya mahluk luar angkasa, ibu ratu terkutuk, yang tinggal bersama kita. Dia bisa meledak menjadi sejuta serangga baru setiap saat.”
“Sst.”
“Mereka takkan bisa melukai kalian,” ujarku, kepada siapa pun yang baru saja bicara, tanpa membuka mata. “Tanpa tubuh inang, mereka mati dengan cepat.” Aku mengernyit, membayangkan kedukaan yang tak terbayangkan. Sejuta jiwa mungil tak berdaya, bayi perak mungil, layu…
Tak seorang pun berkomentar, tapi bisa kurasakan kelegaan mereka.
Aku lelah sekali. Aku tak peduli Kyle berada satu meter dariku. Aku tak eduli dua di antara para lelaki di ruangan ini akan membela Kyle jika ia sudah tersadar. Aku tidak memedulikan apa pun, kecuali tidur.
Tentu saja Walter terbangun tepat pada saat itu.
“Uuuh,” erangnya, hanya berupa bisikan. “Gladdie?”
Sambil mengerang aku berguling ke arahnya. Rasa sakit di kakiku membuatku mengernyit, tapi aku tak mampu memutar tubuh. Kuulurkan tangan, dan kutemukan tangannya.
“Di sini,” bisikku.
“Ahhh.” Walter mendesah penuh kelegaan.
Doc menyuruh para lelaki yang mulai memprotes untuk diam.
“Wanda telah mengorbankan tidur dan kedamaiannya untuk membantu mengurangi Walter mengurangi rasa sakit. Kedua tangannya memar-memar akibat memegangi tangan Walter. Apa yang sudah kalian perbuat untuk Walter?”
Walter kembali mengerang. Suaranya mula-mula rendah dan parau, tapi dengan cepat berubah jadi erangan bernada tinggi.
Doc mengernyit. “Aaron, Andy, Wes… maukah kaliah, ah, memanggilkan Sharon untukku?”
“Kami semua?”
“Minggat sana,” Jeb menerjemahkan.
(catatanku: “I really love uncle Jeb… hehehe”)
Satu-satunya jawaban yang terdengar hanyalah suara kaki terseret ketika mereka pergi.
“Wanda,” bisik Doc di dekat telingaku. “Walter kesakitan. Aku tak bisa membiarkannya sadar sepenuhnya.”
Kucoba untuk bernapas teratur. “Lebih baik baginya jika dia tidak mengenaliku. Lebih baik baginya jika dia mengira Gladdie berada di sini.”
Kubuka mataku. Jeb berada di samping Walter—wajah Walter masih tampak seakan sedang tidur.
“Selamat tinggal, Walt,” ujar Jeb. “Sampai bertemu di dunia lain.”
Ia melangkah mundur.
“Kau lelaki baik. Semua orang akan merasa kehilangan,” gumam Jared.
Doc membuka bungkusan morfin lagi. Kertasnya bergemersik.
“Gladdie?” isak Walter. “Sakit sekali.”
“Ssst. Tak lama lagi sakitnya akan hilang. Doc akan menghentikannya.”
“Gladdie?”
“Ya?”
“Aku mencintaimu, Gladdie. Aku mencintaimu sepanjang hidupku.”
“Aku tahu, Walter. Aku—aku juga mencintaimu. Kau tahu betapa aku mencintaimu.”
Walter mendesah.
Kupejamkan mata ketika Doc membungkuk di atas tubuh Walter dengan membawa jarum suntik.
“Selamat tidur, Sobat,” gumam Doc.
Jemari Walter berubah santai, lemas. Kugenggam kedua tangannya—kini akulah yang menggayuti Walter.
Menit demi menit berlalu dan semuanya hening, kecuali suara napasku ang tersendat, cenderung terisak pelan.
Seseorang menepuk bahuku. “Dia sudah pergi, Wanda,” ujar Doc. Suaranya parau. “Dia sudah tidak kesakitan.”
Doc melepaskan tanganku dari tangan Walter, dan perlahan-lahan menggulingkan tubuhku dari posisi ganjil menjadi posisi yang lebih tidak menyiksa. Tapi hanya sedikit bedanya. Setelah aku tahu Walter takkan terganggu, tangisku tak lagi pelan. Kupegangi pinggangku yang berdenyut-denyut.
“Oh, silahkan. Kalau itu membuatmu senang,” gumam Jared dengan nada menggerutu. Aku mencoba membuka mata, tapi tak bisa melakukannya.
Sesuatu menusuk lenganku. Aku tak ingat lenganku terluka. Dan di tempat aneh, hanya di siku bagian dalam…
Morfin, bisik Melanie.
Kami sudah mulai tak sadarkan diri. Aku mencoba untuk merasa takut, tapi tak bisa. Aku sudah pergi terlalu jauh.
Tak seorang pun mengucapkan selamat tinggal, pikirku. Aku tak bisa mengharapkan Jared… Tapi Jeb… Doc… Ian taka da di sini…
Tak seorang pun mati, janji Melanie kepadaku. Kali ini kau hanya tidur…
#
Ketika aku terbangun, langit-langit di atasku suram diterangi cahaya bintang. Malam hari. Ada banyak bintang. Aku bertanya-tanya di mana aku berada. Tak ada penghalang-penghalang hitam, taka da potongan langit-langit di dalam pandanganku. Hanya bintang dan bintang dan bintang…
Angin mengipasi wajahku. Baunya seperti… debu dan… sesuatu yang tak bisa kupahami. Ketidakhadiran. Bau apak itu tak ada. Tak ada Sulfur, dan udara sangat kering.
“Wanda?” bisik seseorang, seraya menyentuh pipiku yang tidak cedera.
Mataku menemukan wajah Ian, pucat dalam cahaya bintang, membungkuk di atas tubuhku. Tangan Ian yang menyentuh kulitku lebih sejuk daripada angina sepoi-sepoi. Tapi udara sangat kering, sampai terasa tidak nyaman. Di mana aku?
“Wanda? Kau sudah bangun? Mereka tidak mau menungu lebih lama.”
Aku berbisik, karena Ian juga berbisik. “Apa?”
“Mereka sudah mulai. Aku tahu, kau pasti ingin berada di sini.”
“Dia sudah sadar?” tanya Jeb.
“Apa yang sudah dimulai?” tanyaku.
“Pemakaman Walter.”
Aku mencoba duduk, tapi tubuhku lemah. Tangan Ian berpindah ke keningku, membaringkanku.
Kugerakkan kepalaku di bawah telapak tangannya, mencoba melihat…
Aku berada di luar.
Di luar.
Di kiriku tumpukan batu kasar tak beraturan membentuk gunung kecil, lengkap dengan semak-semak pendeknya. Di kananku dataran padang gurun membentang sampai lenyap dalam kegelapan. Aku menunduk, memandang melewati kakiku, dan melihat kerumunan manusia yang merasa tidak nyaman di udara terbuka. Aku tahu persis apa yang mereka rasakan. Terekspos.
Aku mencoba bangkit. Aku ingin berada lebih dekat, untuk menyaksikan. Tangan Ian menahanku.
“Tenanglah,” katanya. “Jangan mencoba berdiri.”
“Bantu aku,” ujarku memohon.
“Wanda?”
Aku mendengar suara Jamie, lalu melihatnya, rambutnya memantul-mantul ketika ia berlari ke tempatku terbaring.
“Mereka tidak menunggu,” ujar Jamie kepada Ian. “Sebentar lagi selesai.”
“Bantu aku berdiri,” kataku.
Jamie meraih tanganku, tapi Ian menggeleng. “Aku bisa.”
Ian menyelipkan kedua lengannya ke bawah tubuhku, dengan sangat berhati-hati, untuk menghindari tempat-tempat yang paling sakit. Ia mengangkatku dari tanah, kepalaku berputar-putar seperti kapal nyaris karam. Aku mengerang.
“Apa yang dilakukan Doc kepadaku?”
“Dia memberimu sedikit morfin yang tersisa, sehingga bisa memeriksa tanpa menyakitimu. Lagi pula kau perlu tidur.”
Aku memberengut, tidak setuju. “Bukankah orang lain akan lebih memerlukan morfin itu?”
“Sst,” ujar Ian, dan aku bisa mendengar suara rendah di kejauhan. Kutolehkan kepalaku.
Aku bisa melihat kumpulan manusia itu lagi. Mereka berdiri di mulut lubang terbuka, rendah, dan gelap, yang dibentuk angina di bawah tumpukan batu yang tampak tidak stabil. Mereka berdiri dalam barisan tak teratur, menghadap gua teduh itu.
Aku mengenali suara Trudy.
“Walter selalu melihat sisi cerah segala sesuatu. Ia bisa melihat sisi cerah lubang hitam. Itu akan kurindukan.”
Kulihat sesosok tubuh melangkah maju, kulihat ayunan kepang rambut hitam keabu-auan ketika sosok itu bergerak, dan aku menyaksikan Trudy melempar segenggam sesuatu ke dalam gelap. Pasir menyebar dari jemarinya, jatuh ke tanah dengan bunyi berdesis perlahan.
Trudy kembali dan berdiri di samping suaminya. Geoffrey bergerak menjauhinya, melangkah maju ke lubang hitam.
“Kini dia akan bertemu Gladys-nya. Dia lebih berbahagia di tempatnya sekarang.” Geoffrey melempar segenggam pasir.
Ian membopongku ke kanan barisan, cukup dekat untuk melihat ke dalam gua suram itu. Ada lubang yang lebih gelap di hadapan kami, bentuknya persegi panjang besar, dan seluruh populasi manusia itu berdiri mengelilinginya, membentuk setengah lingkaran tak beraturan.
Semua ada di sana—semua orang.
Kyle melangkah maju.
Aku gemetar, dan Ian meremas pelan tanganku.
Kyle tidak memandang kea rah kami. Kulihat wajahnya dari samping; mata kanannya bengkak sampai nyaris menutup.
“Walter mati sebagai manusia,” ujar Kyle. “Tak seorang pun dari kami bisa meminta lebih dari itu.” Ia melempar segenggam pasir ke lubang gelap itu.
Lalu Kyle kembali bergabung dengan kelompok itu.
Jared berdiri di sampingnya. Ia melangkah sebentar, berhenti di bibir makam Walter.
“Walter sangat baik hati. Tak seorang pun dari kami bisa menandinginya.” Ia melemparkan pasirnya.
Jamie melangkah maju, Jared menepuk bahunya saat mereka berpapasan.
“Walter pemberani,” ujar Jamie. “Dia tidak takut mati, dia tidak takut hidup, dan… dia tidak takut untuk percaya. Dia membuat keputusan-keputusannya sendiri, dan dia membuat keputusan-keputusan yang baik.” Jamie melemparkan pasirnya. Ia berbalik, berjalan kembali, sepanjang itu matanya terpaku padaku.
“Giliranmtimuu,” bisik Jamie, ketika sudah ada di sampingku.
Andy sudah bergerak maju, dengan sekop di tangan.
“Tunggu,” ujar Jamie, dengan suara rendah yang terdengar di dalam keheningan. “Wanda dan Ian belum mengucapkan apa-apa.”
“Kita harus saling menghormati,” ujar Jeb, suaranya lebih keras daripada suara Jamie. Rasanya terlalu keras buatku.
Insting pertamaku adalah memberi isyarat pada Andy untuk melanjutkan, dan meminta Ian membawaku pergi. Ini duka manusia, bukan dukaku.
Tapi aku memang berduka. Dan aku memang ingin mengatakan sesuatu.
“Ian, bantu aku mengambil pasir.”
Ian berjongkok sehingga aku bisa mengambil segenggam kerikil di kaki kami. Ia memindahkan bobot tubuhku ke lututnya, sehingga ia bisa mengambil pasir juga. Lalu ia menegakkan tubuh dan membopongku ke tepi makam.
Aku tidak bisa melihat ke dalam lubang. Tampak gelap di bawah naungan batu, dan sepertinya makam itu sangat dalam. Ian mulai bicara sebelum aku bisa melakukannya.
“Walter manusia terbaik dan paling bijak,” ujarnya, lalu ia menyebarkan pasirnya ke lubang. Rasanya lama sekali sebelum aku mendengar pasir itu berdesis menimpa dasar lubang.
Ian menunduk memandangku.                  
Suasana benar-benar hening di malam berpenerangan cahaya bintang itu. Bahkan angin pun tenang. Aku berbisik, tapi aku tahu suaraku terdengar semua orang.
“Tak ada kebencian di dalam hatimu,” bisikku. “Keberadaanmu membuktikan kami keliru. Kami tak punya hak untuk mengambil duniamu darimu, Walter. Kuharap dongeng-dongengmu benar. Kuharap kau menemukan Gladdie-mu.”
Kubiarkan batu-batu itu bergulir dari jemariku, dan kutunggu sampai aku mendengar batu-batu itu jatuh dengan bunyi pelan di atas tubuh Walter yang tampak samar-samar dalam kuburan gelap dan dalam itu.
Begitu Ian melangkah mundur, Andy langsung bekerja. Ia menyekop gundukan tanah pucat berdebu yang menumpuk beberapa puluh sentimeter jauhnya, lalu memasukkannya ke lubang. Muatan sekop itu jatuh dengan bunyi berdebum, bukan berdesis. Suaranya membuatku kecut.
Aaron melangkah melewati kami dengan sekop lain. Ian berbalik perlahan-lahan dan membopongku pergi untuk memberi mereka tempat. Bunyi berdebum keras tanah yang jatuh menggema di belakang kami. Suara-suara  rendah mulai terdengar. Aku mendengar suara langkah ketika orang-orang berkumpul, berdesak-desakan untuk membahas pemakaman itu.
Aku benar-benar memandang Ian untuk pertama kali ketika ia berjalan kembali ke Kasur gelap di tanah terbuka itu. Ekspresinya seakan salah tempat, dan bukan miliknya. Wajah Ian dikotori debu pucat, ekspresinya lelah, dan aku pernah melihat wajahnya seperti itu sebelumnya. Aku tak bisa ingat kapan, ketika Ian meletakkanku kembali ke atas Kasur dan perhatianku teralihkan. Apa yang seharusnya kulakukan di luar sini, di tempat terbuka? Tidur? Doc berada persis di belakang kami; Doc dan Ian sama-sama berlutut di pasir di sebelahku.
“Bagaimana perasaanmu?” tanya Doc, meraba bagian samping tubuhku.
Aku ingin duduk, tapi Ian menekan bahuku ketika aku mencoba.
“Aku baik-baik saja. Kurasa aku bisa berjalan…”
“Tak perlu memaksakan diri. Istirahatkan kaki itu selama beberapa hari, oke?” Doc menarik kelopak mataku ke atas, dan menyorotkan senter mungilnya ke sana. Mata kananku melihat refleksi cemerlang yang menari-nari di wajah Doc. Doc mengalihkan pandangan dari cahaya itu, menjauh beberapa senti. Tangan Ian di bahuku tetap tidak bergerak. Itu mengejutkanku.
“Hmm. Itu tidak membantu diagnosis, bukan? Bagaimana kepalamu?” tanya Doc.
“Sedikit pening. Tapi kurasa karena obat-obatan yang kau berikan kepadaku, bukan karena lukanya. Aku tidak suka obat-obatan itu—kurasa aku lebih suka merasakan sakit.”
Doc meringis. Begitu juga Ian.
“Apa?” desakku.
“Aku hendak membuatmu tak sadarkan diri lagi, Wanda. Maaf.”
“Tapi… mengapa?” bisikku. “Aku tidak sesakit itu. Aku tidak ingin—“
“Kami harus membawamu kembali ke dalam,” ujar Ian, menyelaku. Suaranya rendah, seakan tak ingin yang lain mendengar. Aku bisa mendengar suara-suara di belakang kami, menggema pelan dari batu-batu. “Kami berjanji… kau akan tidak sadarkan diri.”
“Tutup saja mataku lagi.”
Doc mengeluarkan jarum suntik mungil dari saku. Isinya tinggal seperempat. Aku menjauh, mendekatkan diri pada Ian. Tangannya di bahuku menahanku.
“Kau mengenal gua itu dengan sangat baik,” gumam Doc. “Mereka tak ingin kau punya peluang untuk menebak…”
“Tapi ke mana aku akan pergi?” bisikku. Suaraku panic. “Kalaupun aku tahu jalan keluar? Mengapa aku ingin pergi sekarang?”
“Kalau itu menenangkan pikiran mereka…,” ujar Ian.
Doc meraih pergelangan tanganku, dan aku tidak melawan. Aku berpaling ketika jarum menusuk kulitku. Kupandang Ian. Matanya kelam dalam gelap, dan menegang ketika aku menuduhnya sebagai pengkhianat dengan tatapanku.
“Maaf,” gumam Ian. Itu hal terakhir yang kudengar.







The Host - Bab 33

0 comments
DIRAGUKAN



Kembali terdengar suara tercebur. Bobot Kyle menyiksa lenganku.
“Wanda? Wanda!”.
“Tolong! Kyle! Lantainya! Tolong!”
Wajahku menekan batu pilar, mataku mengarah ke lubang masuk gua. Cahaya di atas kepala menyorot terang ketika fajar menyingsing. Aku menahan napas. Kedua lenganku seakan berteriak.
“Wanda! Kau di mana?”
Ian melompat melewati pintu. Senapan ada di kedua tangannya. Posisinya rendah dan siaga. Wajah Ian berupa topeng kemarahan yang tadi dikenakan kakaknya.
“Awas!” teriakku. “Lantainya runtuh! Aku tak bisa menahan Kyle lebih lama lagi!”
Perlu dua detik yang lama bagi Ian untuk mencerna adegan yang begitu berbeda dengan adegan yang tadi diharapkannya: Kyle mencoba membunuhku. Adegan itu baru saja berakhir beberapa detik yang lalu.
Lalu Ian melempar senapIan  itu ke lantai gua dan berjalan ke arahku dengan langkah panjang.
“Merangkak—sebarkan bobot tubuhmu!”
Ian menjatuhkan tubuhnya, lalu merangkak menghampiriku, matanya membara dalam cahaya fajar.
“Jangan dilepaskan,” ujarnya mengingatkan.
Aku mengerang kesakitan.
Ian menilai situasinya sedetik lagi, lalu merapatkan tubuhnya di belakang tubuhku, mendorongku semakin rapat pada pilar. Lengannya lebih panjang. Bahkan dengan tubuhku di tengah-tengah, ia mampu merangkulkan kedua tangannya pada tubuh kakaknya.
“Satu, dua, tiga,” geram Ian.
Ian menarik Kyle ke pilar, jauh lebih aman daripada yang kulakukan. Gerakan Ian menekan wajahku ke pilar. Tapi itu sisi wajahku yang cedera—tak mngkin bisa lebih parah lagi saat ini.
“Aku akan menariknya ke sisi sebelah sini. Kau bisa menyelinap keluar?”
“Akan kucoba.”
Kulonggarkan peganganku pada Kyle, merasakan nyeri yang melegakan di bahuku, dan kupastikan Ian memegangi tubuh Kyle. Lalu aku menggeliat keluar dari antara Ian dan pilar, berhati-hati agar tidak meletakkan diriku di bagian lantai yang berbahaya. Aku merangkak mundur beberapa puluh sentimeter menuju pintu, siap mencengkeram Ian seandainya ia mulai tergelincir.
Ian menarik kakaknya yang tak sadarkan diri ke sisi lain pilar, menyeretnya dengan tersentak-sentak, tiga puluh sentimeter setiap sentakan. Semakin banyak lantai yang ambruk, tapi fondasi pilar tetap utuh. Terbentuk lapisan baru sekitar enam puluh sentimeter dari kolam batu.
Ian merangkak mundur seperti yang kulakukan, menyeret kakaknya dengan sentakan-sentakan pendek otot dan kemauan keras. Dalam hitungan menit kami bertiga sudah berada di mulut koridor, aku dan Ian tersengal-sengal.
“Apa… yang… terjadi?”
“Bobot kami… terlalu… berat. Lantainya runtuh.”
“Apa yang kaulakukan… di pinggirnya? Bersama Kyle?”
Aku menunduk, dan aku berkonsentrasi pada napasku.
Nah, katakan kepadanya.
Lalu apa yang akan terjadi?
Kau tahu apa yang akan terjadi. Kyle melanggar peraturan. Jeb akan menembaknya, atau mereka akan menendangnya keluar. Mungkin Ian akan menghajarnya lebih dulu. Itu akan menyenangkan untuk dilihat.
Melanie tidak bersungguh-sungguh dengan kata-katanya—bagaimanapun, aku menganggapnya begitu. Ia hanya marah kepadaku karena mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan calon pembunuh kami.
Tepat sekali, kataku kepadanya. Dan seandainya mereka menendang Kyle keluar karena diriku… atau membunuhnya… Aku bergidik. Nah, tidakkah kau bisa melihat betapa tidak masuk akalnya itu? Kyle salah satu dari kalian.
Kita punya kehidupan di sini, Wanda. Dan kau membahayakan kehidupan itu.
Itu kehidupanku juga. Dan aku… well, aku adalah aku.
Melanie mengerang muak.
“Wanda?” desak Ian.
“Tak ada,” gumamku.
“Kau pembohong yang payah. Kau tahu itu, kan?”
 Aku tetap menunduk dan bernapas.
“Apa yang dilakukan Kyle?”
“Tak ada,” ujarku berbohong. Dengan buruk.
Ian meletakkan tangannya ke bawah daguku, mendongakkan wajahku. “Hidungmu berdarah.” Ia memiringkan kepalaku ke samping. “Dan ada lebih banyak darah di rambutmu.”
“Aku—kepalaku terbentur ketika lantainya runtuh.”
“Di kedua sisi?”
Aku mengangkat bahu.
Ian memelototiku cukup lama. Kegelapan terowongan membuat kilatan matanya suram.
“Kita harus mengantar Kyle kepada Doc—kepalanya terbentur keras sekali ketika terjatuh.”
“Mengapa kau melindunginya? Dia mencoba membunuhmu.”
Itu pernyataan berdasarkan fakta, bukan pertanyaan. Wajah Ian pelan – pelan berubah dari marah jadi takut. Ia sedang membayangkan apa yang kami lakukan di lapisan tidak stabil itu—bisa kulihat hal itu di matanya. Ketika aku tidak menjawab ia bicara lagi dengan berbisik. “Kyle hendak melemparkanmu ke dalam sungai….” Getaran aneh mengguncang tubuhnya.
Ian memeluk Kyle dengan sebelah lengan—dan roboh dengan posisi seperti itu, tampaknya terlalu lelah untuk bergerak. Kini Ian mendorong tubuh tak sadar kakaknya dengan kasar, lalu menjauh dengan jijik. Ia mendekatiku dan memeluk bahuku. Ditariknya tubuhku ke dadanya—bisa kurasakan napasnya keluar-masuk, masih terengah-engah.
Rasanya sangat aneh.
“Seharusnya kugulingkan Kyle kembali ke sana, lalu kutendang dari pinggir lubang.”
Aku menggeleng panik, kepalaku berdenyut-denyut nyeri. “Tidak.”
“Menghemat waktu. Jeb sudah menjelaskan peraturannya. Jika mencoba melukai seseorang di sini, akan ada hukuman. Akan ada pengadilan.”
Aku mencoba melepaskan diri dari Ian, tapi ia mempererat pelukannya. Tidak menakutkan, tidak seperti cara Kyle mencengkeramku, tapi mengkhawatirkan—merusak keseimbanganku. “Tidak. Kau tak bisa melakukannya, karena tak seorang pun melanggar peraturan. Lantainya runtuh. Itu saja.”
“Wanda—“
“Kyle kakakmu.”
“Dia tahu apa yang dia lakukan. Ya. Dia kakakku, tapi dia melakukan apa yang dilakukannya, dan kau… kau… temanku.”
“Dia tidak melakukan apa-apa. Dia manusia,” bisikku.” Ini tempatnya, bukan tempatku.”
“Kita tidak akan membahas ini lagi. Definisimu mengenai manusia tidak sama dengan definisiku. Bagimu, manusia berarti sesuatu yang… negatf. Bagiku, itu pujian. Dan berdasarkan definisiku, kau manusia dan Kyle bukan. Tidak lagi, setelah kejadian ini.”
“Manusia tidak berarti negative bagiku. Aku sudah mengenal kalian sekarang. Tapi, Ian, dia kakakmu.”
“Fakta yang membuatku malu.”
Kudorong kembali tubuhku dari Ian. Kali ini ia melepaskanku. Mungkin ada hubungannya dengan erang kesakitan yang keluar dari bibirku ketika aku menggerakkan kaki.
“Kau baik-baik saja?”
“Kurasa begitu. Kita perlu mencari Doc, tapi aku tak tahu apakah aku bisa jalan. Aku—kakiku terbentur ketika aku terjatuh.”
Suara geraman mencekik tenggorokan Ian. “Kaki yang mana? Biar kulihat.”
Aku mencoba meluruskan kakiku yang cedera—sebelah kanan—dan kembali mengerang. Ian meraba-raba pergelangan kakiku, memeriksa tulang dan persendian. Ia memutar pergelangan kakiku dengan hati-hati.
“Lebih ke atas. Di sini.” Kutarik tangannya ke belakang paha, persis di atas lutut. Aku kembali mengerang ketika Ian menekan bagian yang sakit. “Kurasa tidak patah atau semacam itu. Hanya rasanya sakit sekali.”
“Setidaknya memar otot yang parah,” gumam Ian. “Dan bagaimana terjadinya?”
“Sepertinya… aku mendarat di atas batu ketika terjatuh.”
Ian mendesah. “Oke, ayo pergi menemui Doc.”
“Kyle lebih memerlukan Doc daripadaku.”
“Bagaimanapun, aku harus mencari Doc—atau bantuan. Aku tidak bisa membopong Kyle sejauh itu, tapi aku pasti bisa membopongmu. Uups—tunggu.”
Ian berbalik cepat, lalu merunduk kembali ke dalam ruang bersungai. Aku memutuskan untuk tidak membantah. Aku ingin menemui Walter sebelum… Doc sudah berjanji akan menungguku. Apakah dosis pertama penghilang nyeri itu begitu cepat menghilang?  Kepalaku melayang-layang. Ada begitu banyak kekhawatiran, dan aku sangat lelah. Adrenalinnya sudah habis, meninggalkanku dalam kehampaan.
Ian kembali dengan senapan. Aku memberengut, karena ini mengingatkanku bahwa aku tadi mengharapkan benda itu. Aku tidak suka itu.
“Ayo, pergi.”
Tanpa berpikir Ian menyerahkan senapan kepadaku. Kubiarkan benda itu jatuh ke telapak tanganku yang terbuka, tapi aku tak mampu menggenggamnya. Kuputuskan bahwa keharusan membawa senapan merupakan hukuman yang sesuai untukku.
Ian tergelak. “Bagaimana mungkin orang bisa takut padamu…,” gumamnya kepada diri sendiri.
Ia mengangkat tubuhku dengan mudah, dan langsung bergerak sebelum aku siap. Aku berusaha agar bagian-bagian tubuhku yang paling peka—tengkukku, bagian belakang kakiku—tidak terlalu keras menekan tubuh Ian.
“Kok pakaianmu bisa sebasah ini?” tanyanya. Kami sedang lewat di bawah salah satu lubang cahaya seukuran kepalan tangan, dan aku bisa melihat sedikit senyum masam di bibir Ian yang pucat.
“Aku tak tahu,” gumamku. “Uap?”
Kami kembali melintasi kegelapan.
“Sepatumu hilang satu.”
“Oh.”
Kami melewati sorotan cahaya lagi, dan mata Ian berkilat-kilat biru safir. Mata itu kini serius, terpaku pada wajahku.
“Aku… sangat senang kau tidak cedera, Wanda. Cedera lebih parah, maksudku.”
Aku tidak menjawab. Aku takut memberinya sesuatu yang bisa digunakan untuk menyerang Kyle.
Jeb menemukan kami tepat sebelum kami memasuki ruang gua besar. Ada cukup banyak cahaya bagiku untuk menangkap kilau tajam rasa penasaran di matanya ketika melihatku di pelukan Ian, dengan wajah berdarah, dan senapan tergeletak di kedua tanganku yang terbuka.
“Kalau begitu kau benar,” tebak Jeb. Rasa penasarannya kuat, tapi nada dingin di dalam suaranya lebih kuat. Rahangnya terkatup di balik janggut. “Aku tidak mendengar suara tembakan. Kyle?”
“Dia tak sadarkan diri,” ujarku cepat-cepat. “Kau perlu memperingatkan semua orang—sebagian lantai runtuh di ruang bersungai. Aku tidak tahu seberapa stabilnya lantai itu sekarang. Kepala Kyle terbentur sangat keras ketika berusaha menyingkir. Dia perlu Doc.”
mengangkat sebelah alisnya sangat tinggi, sampai nyaris menyentuh bandana pudar di garis rambutnya.
“Itu versi Wanda,” ujar Ian, tanpa berusaha menyembunyikan keraguannya. “Dan sepertinya dia memegangnya dengan teguh.”
Jeb tertawa. “Biar kuambil benda itu dari tanganmu,” katanya kepadaku.
Dengan senang hati kubiarkan Jeb mengambil senapannya. Ia tertawa melihat ekspresiku.
“Aku akan mengajak Andy dan Brandt membantuku membawa Kyle. Kami akan mengikuti di belakangmu.”
“Awasi Kyle ketika tersadar,” ujar Ian dengan nada keras.
“Pasti.”
Jeb pergi mencari lebih banyak bantuan. Ian bergegas membawaku ke gua rumah sakit.
“Kyle mungkin terluka parah… Jeb harus bergegas.”                                                                                                                       
“Kepala Kyle lebih keras daripada semua batu di tempat ini.”
Terowongan panjang itu terasa lebih panjang daripada biasanya. Apakah Kyle sekarat walaupun aku sudah berusaha menyelamatkannya? Apakah ia kembali tersadar dan mencariku? Bagaimana dengan Walter? Apakah ia sedang tidur… atau sudah pergi? Apakah Pencari sudah menghentikan perburuannya, atau apakah ia akan kembali, karena sekarang hari sudah kembali terang?
Apakah Jared masih bersama Doc? Melanie bertanya. Apakah ia bakal marah ketika melihatmu? Akankah ia mengenaliku?
Ketika kami mencapai gua selatan yang diterangi cahaya matahari, Jared dan Doc tampak seakan-akan belum banyak bergerak. Mereka bersandar, berdampingan, di meja buatan Doc. Keadaan hening ketika kami mendekat. Mereka tidak bicara, hanya mengamati Walter tidur. Mereka terlompat dengan mata terbelalak ketika Ian membopongku ke dalam cahaya dan membaringkanku di dipan di samping Walter. Ia meluruskan kaki kananku dengan hati-hati.
Walter sedang mendengkur. Suara itu mengurangi sebagian keteganganku.
“Ada apa lagi ini?” desak Doc marah. Setelah melontarkan kata-kata itu ia langsung membungkuk di atas tubuhku. Lalu mengusap darah di pipiku.
Wajah Jared terpaku kaget. Ia berhati-hati, tidak membiarkan ekspresinya menunjukkan sesuatu yang lain.
“Kyle,” jawab Ian, pada saat yang sama ketika aku mengucapkan, “Lantainya—“
Doc memandang kami silih berganti, kebingungan.
Ian mendesah dan memutar bola mata. Tanpa sadar ia menyentuh ringan keningku. “Lantainya runtuh di dekat lubang sungai pertama. Kyle jatuh dan kepalanya menghantam batu. Wanda menyelamatkan hidupnya yang tak berguna itu. Menurut Wanda, dia juga terjatuh ketika lantainya runtuh.” Ian memandang Doc penuh arti. “Sesuatu,” diucapkannya kata itu dengan nada menyindir,” menghantam bagian kepala Wanda cukup keras.” Ian mulai menyebutkannya satu per satu. “Hidungnya berdarah, tapi kurasa tidak patah. Ototnya terluka di sini.” Ia menyentuh pahaku yang cedera. “Kedua lututnya tergores cukup parah. Juga wajahnya, sekali lagi, tapi kurasa aku yang melakukannya, ketika mencoba menarik Kyle keluar dari lubang. Seharusnya aku tak perlu repot-repot.” Ian menggumamkan bagian terakhir itu.
“Ada lagi?” Tanya Doc. Jari-jarinya meraba sisi tubuhku, dan mencapai bagian yang dipukul Kyle. Aku menghela napas kesakitan.
Doc menarik kemejaku ke atas, dan kudengar Ian serta Jared mendesis ketika melihatnya.
“Biar kutebak,” ujar Ian dengan suara sedingin es. “Kau terjatuh di atas batu.”
“Tebakan jitu,” kataku mengiyakan, kehabisan napas. Doc masih menyentuh sisi tubuhku, dan aku mencoba menahan erangan.
“Mungkin rusuknya ada yang patah, aku tak yakin,” gumam Doc. “Kuharap aku bisa memberimu sesuatu untuk menghilangkan rasa sakitnya—“
“Jangan khawatir, Doc,” ujarku terengah-engah. “Aku baik-baik saja. Bagaimana Walter? Apakah dia terbangun?”
“Tidak. Perlu beberapa waktu untuk menghilangkan dosisinya,” ujar Doc. Ia meraih tanganku dan mulai menekuk pergelangan tangan dan sikuku.
“Aku baik-baik saja.”
Mata Doc yang baik hati tampak lembut ketika membalas tatapanku. “Kau akan baik-baik saja. Kau hanya perlu beristirahat selama beberapa waktu. Aku akan mengawasimu. Nah, tengokkan kepalamu.”
Aku mematuhi permintaannya, lalu mengernyit ketika Doc meneliti lukaku.
“Jangan di sini,” gumam Ian.
Aku tidak bisa melihat Doc, tapi Jared memandang Ian dengan tajam.
“Mereka akan membawa Kyle ke sini. Aku tidak mau Wanda dan Kyle berada di ruangan yang sama.”
Doc mengangguk. “Mungkin itu bijaksana.”
“Akan kusiapkan tempat untuk Wanda. Aku memerlukanmu untuk mengawasi Kyle di sini sampai… sampai kita putuskan apa yang harus kita lakukan padanya.”
Aku mulai bicara, tapi Ian meletakkan jemarinya di bibirku.
“Baiklah,” ujar Doc setuju. “Aku akan mengikat Kyle, jika kau mau.”
“Jika perlu. Apakah tidak apa-apa memindahkan Wanda?” Ian melirih kea rah terowongan, wajahnya cemas.
Doc bimbang.
“Tidak,” bisikku. Jemari Ian masih menyentuh bibirku. “Walter. Aku ingin berada di sini untuk  Walter.”
“Kau telah menyelamatkan semua kehidupan yang bisa kau selamatkan hari ini, Wanda,” ujar Ian. Suaranya lembut dan sedih.
“Aku ingin mengucapkan… mengucapkan selamat—selamat tinggal.”
Ian mengangguk. Lalu ia memandang Jared. “Bisakah aku memercayaimu?”
Wajah Jared memerah karena amarah. Ian mengangkat tangan. “Aku tak ingin meninggalkan Wanda di sini tanpa perlindungan, sementara aku mencari tempat yang aman untuknya,” ujar Ian.
“Aku tidak tahu apakah Kyle dalam keadaan sadar ketika tiba. Seandainya Jeb menembaknya, itu akan membuat Wanda sedih. Tapi kau dan Doc harus bisa menangani Kyle. Aku tidak ingin Doc sendirian, dan memaksa Jeb melakukannya.”
Jared bicara dengan gigi dikertakkan. “Doc tidak akan sendirian.”
Ian bimbang. “Wanda mengalami hal-hal sangat buruk beberapa hari terakhir. Ingat itu.”
Jared mengangguk, dengan gigi masih dikertakkan.
“Aku akan berada di sini,” ujar Doc mengingatkan Ian.
Ian membalas tatapan Doc. “Oke.” Ia membungkuk di atas tubuhku, mata cemerlangnya menatapku. “Aku akan segera kembali. Jangan takut.”
“Aku tidak takut.”
Ian membungkuk dan menyentuhkan bibirnya di keningku.
Tak seorang pun lebih terkejut daripada aku, walaupun aku mendengar Jared diam-diam menghela napas kaget. Mulutku terbuka ketika Ian bergegas pergi, nyaris berlari, dari ruangan itu.
Kudengar Doc menghela napas melalui sela-sela gigi, seperti siulan terbalik. “Well,” katanya.
Mereka menatapku untuk waku lama. Aku begitu lelah dan sakit sehingga nyaris tak memedulikan apa yang mereka pikirkan.
“Doc—“ Jared mulai mengucapkan sesuatu dengan nada mendesak, tapi keributan di dalam terowongan mengganggunya.
Lima lelaki berjuang melewati lubang pintu. Jeb di depan, memegangi kaki kiri Kyle dengan dua tangan. Wes memegangi kaki kanan Kyle, dan di belakang mereka, Andy dan Aaron berjuang mengangkat dada Kyle. Kepala Kyle terkulai ke belakang di bahu Andy.
“Astaga, berat sekali,” gerutu Jeb.
Jared dan Doc melompat maju untuk membantu. Setelah beberapa menit memaki dan mengerang, Kyle terbaring di dipan beberapa puluh sentimeter dari dipanku.j
“Sudah berapa lama dia tak sadarkan diri, Wanda?” Tanya Doc kepadaku. Ia membuka kelopak mata Kyle, membiarkan cahaya matahari menyinari pupil matanya.
“Um…” aku berpikir cepat. “Sama lamanya dengan keberadaanku disini, ditambah sepuluh menit atau lebih yang diperlukan Ian untuk membawaku kemari, dan mungkin lima menit lagi sebelum itu.”
“Setidaknya dua puluh menit, menurutmu?”
“Ya. Kira-kira selama itu.”
Sementara kami bercakap-cakap, Jeb telah membuat diagnosisnya sendiri. Tak seorang pun memperhatikan ketika Jeb berdiri di ujung atas dipan Kyle. Tak seorang pun memperhatikan—sampai ia menuang sebotol air ke wajah Kyle.
“Jeb,” keluh Doc, seraya menyingkirkan tangan Jeb.
Tapi Kyle terbatuk-batuk dan mengerjap-ngerjapkan mata, lalu mengerang. “Apa yang terjadi? Ke mana makhluk itu pergi?” Ia mulai menggeser tubuhnya, mencoba melihat sekeliling. “Lantainya… bergerak…”
Suara Kyle membuat jemariku mencengkeram sisi dipan, dan kepanikan menyapu wajahku. Kakiku sakit. Bisakah aku pergi dengan terpincang-pincang? Pelan-pelan mungkin…
“Tidak apa-apa,” gumam seseorang. Bukan seseorang. Aku akan selalu mengenali suara itu.
Jared bergerak, berdiri di antara dipanku dan dipan Kyle. Punggungnya menghadapku, matanya terarah pada lelaki bongsor itu. Kyle menggerakkan kepalanya sambal mengerang.
“Kau aman,” ujar Jared pelan. Ia tidak memandangku. “Jangan takut.”                  
Aku menghela napas panjang.
Melanie ingin menyentuh Jared. Tangan lelaki itu berada di dekat tanganku, tergeletak di pinggir dipanku.
Kumohon, jangan, ujarku kepadanya. Wajahku sudah cukup sakit!
Jared tidak akan memukulmu.
Menurutmu. Aku tidak mau mengambil risiko.
Melanie mendesah; ia ingin mendekati Jared. Takkan terlalu berat untuk ditanggungkan, seandainya aku tidak menginginkan hal yang sama.
Melanie kembali mendesah.
“Aw, sialan!” gerutu Kyle. Pandanganku beralih kepadanya, ketika mendengar nada suaranya. Aku hanya bisa melihat mata cemerlangnya, di sekitar siku jared, terpusat padaku. “Makhluk itu tidak terjatuh!” keluhnya.






Jual Nugget dan Sosis Sayur

Jual Nugget dan Sosis Sayur
Pemesanan via email : lwati111@gmail.com

The Host- Bab 36

0 comments

 




DIPERCAYA

Kelompok manusia itu berubah tenang, dan gumaman lebih antusias terdengar dari seluruh tempat mereka duduk membentuk setengah lingkaran.
Aku memandang Jamie, yang mengerutkan bibir dan mengangkat bahu. “Jeb hanya mencoba mengembalikan segala sesuatunya agar normal lagi. Beberapa hari ini keadaan sangat buruk. Pemakaman Walter…”
Aku meringis.
Kulihat Jeb nyengir pada Jared. Setelah sejenak menolak, Jared menghela napas dan memutar bola mata pada lelaki tua aneh itu. Ia berbalik dan berjalan cepat meninggalkan gua.
“Jared punya bola baru?” tanya seseorang.
“Asyik,” ujar Wes di sampingku.
“Bermain,” gumam Trudy, seraya menggeleng.
“Jika itu bisa meredakan ketegangan,” jawab Lily pelan. Lalu mengangkat bahu.
Suara mereka pelan, di dekatku, tapi aku juga bisa mendengar suara-suara lain yang lebih keras.
“Kali ini berhati-hatilah dengan bolanya,” ujar Aaron kepada Kyle. Ia berdiri di samping Kyle, menawarkan tangannya.
Kyle meraih tangan yang ditawarkan dan perlahan-lahan bangkit berdiri. Setelah berdiri, kepalanya nyaris menyundul lentera-lentera yang bergantungan.
“Bola terakhir kurangg bagus,” ujar Kyle. Ia nyengir pada lelaki yang lebih tua itu. “Secara structural cacat.”
“Aku menominasikan Andy sebagai kapten,” teriak seseorang.
“Aku menominasikan Lily,” seru Wes. Ia berdiri, lalu meregangkan tubuh.
“Andy dan Lily.”
“Ya, Andy dan Lily.”
“Aku mau Kyle,” ujar Andy cepat.
“Kalau begitu aku mau Ian,” jawab Lily.
“Jared.”
“Brandt.”
Jamie bangkit, lalu berdiri berjingkat, berusaha tampak lebih tinggi.
“Paige.”
“Heidi.”
“Aaron.”
“Wes.”
Pemanggilan nama-nama berlanjut. Jamie berseri-seri ketika Lily memilihnya sebelum setengah jumlah orang dewasa terpilih.
Bahkan Maggie dan Jeb dipilih untuk memperkuat tim. Jumlahnya genap, sampai Lucina kembali bersama Jared, dengan kedua anak laki-lakinya melompat-lompat gembira. Jared memegang bola sepak baru yang mengilat di tangannya; ia mengulurkan bola itu, dan Isaiah, anak yang lebih tua, melompat-lompat mencoba menjatuhkan bola itu dari tangan Jared.
“Wanda?” tanya Lily.
Aku menggelengg dan menunjuk kakiku.
“Benar. Maaf.”
Aku jago main sepak bola, gerutu Mel. Well, dulu aku seperti itu.
Aku hampir tak sanggup berjalan, ujarku mengingatkan.
“Kurasa kali iini aku tidak ikut main,” kata Ian.
“Oh, tidak,” keluh Wes. “Mereka punya Kyle dan Jared. Kami mati tanpamu.”
“Mainlah,” ujarku kepada Ian. “Aku… aku akan menghitung angkanya.”
Ian memandangku, bibirnya terkatup membentuk garis tipis kaku. “Aku sedang tidak terlalu ingin bermain.”
“Mereka memerlukanmu.”
Ian mendengus.
“Ayolah, Ian,” desak Jamie.
“Aku ingin menonton,” kataku. “Tapi akan… membosankan jika timnya berat sebelah.”
“Wanda,” desah Ian. “Kau benar-benar pembohong paling payah yang pernah kujumpai.”
Tapi Ian berdiri dan mulai meregangkan tubuh bersama Wes.
Paige menyusun tiang gawang menggunakan empat lentera.
Aku mencoba bangkit berdiri—aku berada tepat di tengah lapangan. Tak seorang pun memperhatikanku dalam cahaya suram itu. Kini atmosfer di sekeliling ruangan berubah positif, penuh antisipasi. Jeb benar. Ini yang mereka perlukan, walaupun tampak ganjil bagiku.
Aku bisa merangkak, lalu kutarik kakiku yang tidak cedera ke muka, sehingga aku berlutut menggunakan kakiku yang  cedera. Rasanya menyakitkan. Lalu aku mencoba melompat dengan kakiku yang tidak cedera. Keseimbanganku sangat buruk, berkat bobot kakiku yang cedera.
Sepasang tangan kokoh menangkapku sebelum aku jatuh terjerembap. Aku mendongak, dengan sedikit perasaan malu, untuk berterima kasih kepada Ian.
Kata-kataku tersangkut di tenggorokan ketika melihat tangan Jared-lah yang menahanku.
“Kau seharusnya bisa minta tolong,” ujarnya ramah.                                                                                                                                                                                                                             
“AKu—“ aku berdehem. “Memang seharusnya aku minta tolong. Aku tak ingin…”
“Diperhatikan?” Jared mengucapkan kata-kata itu seakan benar-benar penasaran. Taka da nada menuduh di dalamnya. Ia membantuku yang terpincang-pincang menuju  lubang masuk gua.
Aku menggeleng. “Aku tak ingin… membuat seseorang melakukan sesuatu hanya demi kesopanan, padahal mereka tak ingin melakukannya.” Penjelasanku tidak terlalu tepat, tapi sepertinya Jared memahami maksudku.
“Kurasa Jamie atau Ian takkan keberatan membantumu.”
Jared meneliti wajahku. KUsadari aku sedang tersenyum penuh sayang.
“Kau sangat peduli terhadap anak itu,” katanya.
“Ya.”
Jared mengangguk. “Dan lelaki itu?”
“Ian… Ian memercayaiku. Dia menjagaku. Dia teramat sangat baik… untuk ukuran manusia.” Hampir seperti jiwa, itulah yang ingin kukatakan. Tapi perkataan itu tidak akan terdengar seperti pujian bagi pendengar yang satu ini.
Jared mendengus. “Untuk ukuran manusia. Pembedaan itu lebih penting daripada yang kusadari.”
Ia mendudukkanku di bibir lubang masuk. Tempat itu menyerupai bangku rendah, sehingga lebih nyaman daripada lantai datar.
“Terima kasih,” ujarku. “Kau tahu, Jeb melakukan hal yang benar.”
“Aku tidak setuju dengan perkataan itu.” Nada suara Jared lebih lunak daripada kata-katanya.
“Juga terima kasih—untuk yang tadi. Kau tidak perlu membelaku.”
“Setiap kata adalah kebenaran.”
AKu menunduk memandang lantai. “Memang benar, aku takkan pernah melakukan sesuatu untuk mencederai siapa pun di sini. Secara sengaja. Maaf karena aku melukaimu ketika dating kemari. Dan Jamie. Maaf sekali.”
Jared duduk di sampingku, wajahnya serius. “Sejujurnya…” Ia bimbang. “Anak itu jadi lebih baik sejak kedatanganmu. Aku sedikit lupa bagaimana suara tawanya.”
Kini kami mendengarkan tawa itu menggema di atas tawa orang dewasa yang bernada lebih rendah.
“Terima kasih telah memberitahuku. Itu adalah… kekhawatiran terbesarku. Kuharap taka da yang kurusak secara permanen.”
“Mengapa?”                                          
Aku mendongak memandang Jared, bingung.
“Mengapa kau mencintainya?” tanya Jared. Suaranya masih penasaran, tapi tidak mendesak.
Aku menggigit bibir.
“Kau bisa mengatakannya kepadaku. AKu… aku…” Jared tak bisa menemukan kata-kata untuk menjelaskan. “Kau bisa mengatakannya kepadaku,” ulangnya.
Kupandangi kakiku ketika menjawab. “Sebagian besar karena Melanie mencintainya.” Aku tidak melirik untuk melihat apakah nama itu tidak mengejutkan Jared. “Mengingat Jamie seperti yang diingat Melanie… itu sesuatu yang sangat berpengaruh. Lalu ketika kulihat sendiri anak laki-laki itu…” Aku mengangkat bahu. “Mustahil bagiku untuk tidak mencintainya. Mencintainya adalah bagian dari susunan sel-sel ini. Sebelumnya tak kusadari betapa banyak pengaruh seorang inang terhadapku. Mungkin itu hanya karena tubuh manusia. Mungkin itu hanya karena Melanie.”
“Melanie bicara padamu?” Jared tetap menjaga ketenangan suaranya, tapi kini aku bisa mendengar  ketegangan di dalamnya.
“Ya.”
“Seberapa sering?”
“Ketika dia menginginkannya. Ketika dia tertarik.”
“Bagaimana dengan hari ini?”
“Tak banyak. Dia… sedikit marah kepadaku.”
Jared mengeluarkan tawa terkejut. “Dia marah? Mengapa?”
“Karena…” Apakah aku kembali diadili di sini? “Tak apa-apa.”
Jared mendengar kebohongan itu lagi, dan ia menghubungkannya.
“Oh, Kyle. Mel ingin Kyle dibantai.” Jared kembali tertawa. “Memang.”
“Melani bisa jadi… kejam,” ujarku setuju. Aku tersenyum, untuk memperlunak penghinaan itu.
Tapi itu bukan penghinaan bagi Jared. “Benarkah? Kok bisa?”
“Dia ingin aku melawan. Tapi aku… aku tak bisa melakukannya.  Aku bukan petarung.”
“Itu bisa kupahami.” Jared menyentuh wajahku yang berantakan dengan ujung jari. “Maaf.”
“Tidak. Siapa pun akan melakukan hal yang sama. Aku tahu bagaimana perasaanmu.”
“Kau tidak akan—“
“Seandainya aku manusia, aku akan melakukannya. Lagi pula, bukan itu yang sedang kupikirkan… Aku teringat pada Pencari.”
Jared mengejang.
Aku tersenyum, dan ia sedikit lebih tenang. “Mel ingin aku mencekiknya. Dia benar-benar membenci Pencari itu. Dan aku tidak bisa… menyalahkan Mel.”
“Pencari itu masih mencarimu. Setidaknya dia tampak seakan hendak kembali menggunakan helicopter itu.”
Aku memejamkan mata, mengepalkan tangan, dan berkonsentrasi untuk bernapas selama beberapa detik.
“Dulu aku tidak takut kepadanya,” bisikku. “AKu tidak tahu mengapa dia kini begittu menakutkan bagiku. Di mana dia?”
“Jangan khawatir. Kemarin dia hanya mondar-mandir menyusuri jalan raya. Dia tidak akan menemukanmu.”
Aku mengangguk, memaksa diriku percaya.
“Bisakah kau… bisakah kau mendengar Mel sekarang?” gumam Jared.
Aku tetap memejamkan mata. “Aku… menyadari keberadaannya. Dia mendengarkan dengan saksama.”
“Apa yang dipikirkannya?” Suara Jared hanya berupa bisikan.
Ini peluangmu, kataku kepada Melanie. Apa yang ingin kaukatakan kepada Jared?
Sekali ini  Melanie berhati-hati. Undangan ini menggelisahkannya. Mengapa? Mengapa sekarang ia memercayaimu?
Aku membuka mata, dan mendapati Jared menatap wajahku seraya menahan napas.                                                      
“Dia ingin tahu apa yang terjadi sehingga kau… sekarang berbeda. Mengapa kau memercayai kami?”
Jared berpikir sejenak. “Akumulasi dari banyak hal. Kau begitu… baik terhadap Walter. Aku tak pernah melihat orang lain, kecuali Doc, yang berbuat sebaik itu. Dan kau menyelamatkan nyawa Kyle, padahal sebagian besar kami akan membiarkannya jatuh untuk melindungi diri kami sendiri, tanpa memedulikan pembunuhan terencana. Lalu kau pembohong yang payah.” Ia tertawa sejenak. “Aku terus mencoba memandang hal-hal ini sebagai bukti adanya rencana besar. MUngkin besok aku akan terbangun dan kembali berpikir seperti itu.”
Aku dan Mel sama-sama terkesiap.
“Tapi ketika mereka mulai menyerangmu hari ini… well, kesabaranku habis. Aku bisa melihat, pada diri mereka semua, segala hal yang seharusnya taka da pada diriku. Kusadari aku sudah percaya, aku hanya bersikap keras kepala. Kejam. Kurasa aku sudah percaya sejak… well, sedikit percaya sejak malam pertama, ketika kau mengempaskan dirimu di depanku untuk menyelamatkanku dari Kyle.” Ia  tertawa, seakan tidak menganggap Kyle berbahaya. “Tapi aku lebih pintar berbohong daripada kau. Aku bahkan bisa membohongi diriku sendiri.”
“Melanie berharap kau takkan berubah pikiran. Dia khawatir kau akan melakukannya.”
Jared memejamkan mata. “Mel.”
Jantungku berdetak lebih cepat. Kegembiraan Melanie-lah yang memicunya, bukan kegembiraanku. Agaknya Jared sudah menebak betapa aku mencintainya. Setelah pertanyaan-pertanyaannya mengenai Jamie, mestinya ia mengerti.
“Katakan kepadanya… itu tidak akan terjadi.”
“Dia mendengarmu.”
“Seberapa… langsungnyakah hubungan itu?”
“Dia mendengar apa yang kudengar, melihat apa yang kulihat.”
“Merasakan apa yang kau rasakan?”
“Ya.”
Hidung Jared mengerut. Kembali ia menyentuh wajahku dengan lembut, membelainya. “Kau tidak tahu betapa menyesalnya diriku.”
Kulitku lebih panas di tempat ia menyentuhnya; panas yang bagus. Tapi kata-kata Jared membakar lebih panas daripada sentuhannya. Tentu saja penyesalannya bertambah karena ia telah melukai Melanie. Tentu saja. Itu seharusnya tidak menggangguku.
“Ayo, Jared! Ayo, main!”
Kami mendongak. Kyle memanggil Jared. Tampaknya ia benar-benar santai, seakan hidupnya tak pernah dipertaruhkan dalam pengadilan hari ini. Mungkin ia sudah tahu hasilnya akan seperti ini. Mungkin ia cepat melupakan apa saja. Tampaknya ia tidak memperhatikanku di sana, di samping Jared.   
Kusadari, untuk pertama kali, bahwa yang lain memperhatikan.
Jamie mengamati kami dengan senyum puas. Ini mungkin tampak baik baginya. Benarkah?
Apa maksudmu?
Apa yang dilihat Jamie ketika memandang kita? Keluarganya bersatu kembali?
Benarkah? Semacam itukah?
Dengan satu tambahan yang tidak dikehendaki.
Tapi ini lebih baik daripada kemarin.
Kurasa begitu…
Aku tahu, Melanie mengakui. Aku gembira Jared tahu aku ada di sini… tapi aku masih tidak suka jika ia menyentuhmu.
Dan aku sangat suka. Wajahku bergelenyar di tempat jemari Jared mengusapnya tadi. Maaf soal itu.
Aku tidak menyalahkanmu. Atau, setidaknya, aku tahu aku tidak boleh menyalahkanmu.
Terima kasih.
Jamie bukanlah satu-satunya yang mengamati.
Jeb penasaran. Senyum kecil itu berkumpul di sudut janggutnya.
Sharon dan Maggie mengamati dengan api di mata mereka. Ekspresi mereka begitu mirip, sehingga kulit muda dan rambut warna mencolok sama sekali tidak membuat Sharon tampak lebih muda dibandingkan ibunya yang beruban.
Ian waswas. Matanya tegang, dan sepertinya ia nyaris menghampiriku untuk kembali melindungiku. Untuk memastikan Jared tidak menggangguku. Aku tersenyum meyakinkannya. Ian tidak membalas senyumku, tapi menghela napas panjang.
Kurasa bukan itu penyebab kekhawatiran Ian, ujar Melanie.
“Apakah kau sedang mendengarkan, Mel?” Jared bangkit berdiri, masih mengamati wajahku.
Pertanyaannya mengalihkan perhatianku, sebelum aku bisa bertanya kepada Mel apa maksud perkataannya. “Ya.”
“Dia bilang apa?”
“Kami sedang mengamati bagaimana pendapat yang lain mengenai… perubahan pikiranmu.” Aku mengangguk kea rah bibi dan sepupu Melanie. Mereka serentak memunggungiku.
“Keras kepala,” Jared mengakui.
“Baiklah, kalau begitu,” teriak Kyle, seraya berbalik kea rah bola yang tergeletak di bawah tempat yang paling diterangi cahaya. “Kami akan memenangkan pertandingan ini tanpamu.”
“Tunggu!” Sekali lagi Jared melirik sedih kepadaku—kepada kami—lalu lari untuk mengikuti permainan.
Aku bukan pencatat angka terbaik. Terlalu gelap untuk melihat bolanya dari tempat dudukku. Bahkan terlalu gelap untuk melihat para pemain dengan baik saat mereka tidak berada di bawah cahaya. Aku mulai menghitung berdasarkan reaksi Jamie. Teriakan kemenangannya ketika timnya mencetak angka, erangannya ketika tim lawan mencetak angka. Jumlah erangannya lebih banyak daripada teriakan kemenangannya.
Semua ikut bermain. Maggie menjadi penjaga gawang untuk tim Andy, dan Jeb jadi penjaga gawang untuk tim Lily. Mereka sama-sama hebat. Aku bisa melihat siluet mereka dalam cahaya lampu-lampu tiang gawang, bergerak lincah seakan usia mereka puluhan tahun lebih muda. Jeb tidak takut menjatuhkan diri ke lantai untuk menggagalkan gol, tapi Maggie lebih efektif tanpa harus melakukan tindakan-tindakan ekstrem semacam itu. Perempuan tua itu seperti magnet bagi bola yang tak terlihat. Setiap kali Ian atau Wes melayangkan tendangan… duk! Bola mendarat di tangan Maggie.
Trudy dan Paige berhenti bermain setelah sekitar setengah jam. Mereka melewatiku waktu berjalan keluar, seraya mengobrol gembira. Tampaknya mustahil kami memulai pagi ini dengan pengadilan, tapi aku lega karena semua tidak berubah drastis.
Kedua perempuan itu tidak pergi lama. Mereka kembali dengan tangan penuh kotak. Granola-granola batangan—yang berisi buah. Permainan berhenti. Jeb meneriakkan istirahat setengah permainan, dan semua bergegas menyantap sarapan.
Makanan itu dibagikan di garis tengah. Mulanya semua berkerumun dan saling berebut.
“Ini, Wanda,” ujar Jamie, seraya merunduk keluar dari kerumunan. Tangannya penuh granola batangan, dan botol-botol air minum terseip di bawah kedua lengannya.
“Terima kasih. Kau bersenang-senang?”
“Ya! Kalau saja kau bisa ikut bermain.”
“Lain kali,” ujarku.
“Ini…” Ian berada di sana, kedua tangannya penuh granola batangan.
“Aku duluan,” kata Jamie kepadanya.
“Oh,” ujar Jared, yang muncul di sisi lain Jamie. Ia juga membawa terlalu banyak granola batangan untuk satu orang.
Ian dan Jared berpandangan untuk waktu lama.
“Mana makanannya?” desak Kyle. Ia berdiri di samping kotak kosong, kepalanya berputar berkeliling, mencari tersangka pencurinya.
“Tangkap,” ujar Jared. Ia melemparkan granola-granola batangan itu satu per satu, kuat-kuat, seakan melempar pisau.
Kyle menangkap semuanya dengan mudah, lalu lari mendekat untuk melihat apakah Jared masih menyembunyikan beberapa.
“Ini,” ujar Ian. Ia menyorongkan setengah bawaannya kepada kakaknya tanpa memandang Kyle. “Sekarang pergilah.”
Kyle mengabaikannya. Untuk pertama kali hari ini ia memandangku, menunduk menatapku di tempat dudukku. Selaput pelangi matanya berwarna hitam diterangi cahaya di belakangnya. Aku tak bisa membaca ekspresi wajahnya.
Aku menciut, dan menahan napas ketika tulang-tulang rusukku memprotes.
Jared dan Ian berdiri berdampingan di hadapanku seperti tirai panggung pertunjukan.
“Dengarkan kata-kata Ian,” ujar Jared.
“Bisakah aku mengucapkan sesuatu lebih dulu?” tanya Kyle. Ia mengintip lewat celah di antara Jared dan Ian.
Keduanya tidak menjawab.
“Aku tidak menyesal,” ujar Kyle kepadaku. “Aku masih merasa perbuatanku benar.”
Ian mendorong kakaknya. Kyle sempoyongan mundur, tapi kembali melangkah maju.
“Tunggu, aku belum selesai.”
“Ya, kau sudah selesai,” ujar Jared. Tangannya terkepal, kulit di buku-buku jarinya memutih.
Kini semua orang memperhatikan. RUangan hening, semua kegembiraan bermain lenyap.
“Tidak, belum selesai.” Kyle mengangkat kedua tangannya sebagai isyarat menyerah, lalu kembali bicara kepadaku. “Menurutku aku tidak bersalah, tapi kau memang menyelamatkan nyawaku. Aku tidak tahu mengapa, tapi kau melakukannya. Jadi, kupikir, nyawa dibalas dengan nyawa. Aku tidak akan membunuhmu. Kubayar utangku dengan cara itu.”
“Kau bajingan tolol,” ujar Ian.
“Siapa  yang naksir cacing, DIk?” Kau hendak menyebutku tolol?”
Ian mengangkat tinjunya, lalu mencondongkan tubuh ke depan.
“Akan kukatakan mengapa,” kataku. Kubuat suaraku lebih keras daripada yang kuinginkan. Itu menghasilkan dampak yang kuinginkan. Ian, Jared, dan Kyle berbalik menatapku. Sejenak mereka melupakan perkelahian.
Aku jadi gugup. Aku berdehem. “Aku tidak membiarkanmu jatuh karena… karena aku tidak sepertimu. Aku tidak mengatakan aku tidak… seperti manusia. Karena ada orang-orang lain di sini yang akan melakukan hal yang sama. Ada orang-orang baik dan bijak di sini. Orang-orang seperti adikmu, dan Jeb, dan Doc… aku mengatakan bahwa aku tidak seperti dirimu secara pribadi.”
Kyle menatapku sejenak, lalu tergelak. “Aduh,” katanya, masih tertawa. Lalu ia berbalik pergi. Pesannya sudah tersampaikan, dan ia pergi untuk mengambil air minum. “Nyawa dibalas dengan nyawa,” teriaknya, seraya menoleh ke belakang.
Aku tak yakin apakah aku mempercayainya. Sama sekali tak yakin. Manusia adalah pembohong yang baik.










The Host- Bab 35

0 comments
DIADILI



Aku mengerang. Kepalaku serasa berputar-putar dan mau lepas. Perutku bergolak memualkan.
“Akhirnya.” Seseorang bergumam lega. Ian. Tentu saja. “Lapar?”
Kurenungkan perkataannya, lalu tanpa kuinginkan aku bersendawa.
“Oh. Lupakan saja. Maaf. Lagi. Kami harus melakukannya. Orang-orang berubah… paranoid ketika kami membawamu keluar.”
“Tidak apa-apa,” desahku.
“Mau minum?”
“Tidak.”
Aku membuka mata, mencoba memusatkan pandangan dalam gelap. Aku bisa melihat dua bintang lewat celah-celah di atas kepala. Masih malam. Atau sudah malam lagi, siapa yang tahu?
“Aku di mana?” tanyaku. Bentuk celah-celah itu tak kukenal.
Aku bersumpah tak pernah menatap langit-langit ini sebelumnya.
“Kamarmu,” jawab Ian.
Kuteliti wajahnya dalam gelap, tapi aku hanya bisa melihat bentuk hitam kepalanya. Dengan jemari kuraba permukaan tempatku berbaring; benar-benar Kasur. Ada bantal di bawah kepala. Tanganku yang meraba-raba menemukan tangan Ian, dan ia menangkap jemariku sebelum aku bisa menariknya.
“Sebenarnya kamar siapa ini?”
“Kamarmu.”
“Ian…”
“Dulunya kamar kami—kamarku bersama Kyle. Kyle… ditahan di rumah sakit sampai segalanya diputuskan. Aku bisa pindah ke kamar Wes.”
“Aku takkan mengambil kamarmu. Dan apa maksudmu dengan sampai segalanya diputuskan?”
“Sudah kubilang, akan ada pengadilan.”
“Kapan?”
“Mengapa kau ingin tahu?”
“Karena, jika kalian hendak menyelenggarakannya, aku harus ada di sana. Untuk menjelaskan.”
“Untuk berbohong?”
“Kapan?” tanyaku lagi.
“Cahaya pertama. Aku tidak akan membawamu ke sana.”
“Kalau begitu aku akan ke sana sendiri. Aku bisa berjalan setelah kepalaku berhenti berputar-putar.”
“Kau bersungguh-sungguh, bukan?”
“Ya. Tidak adil jika kalian tidak membiarkanku bicara.”
Ian mendesah. Ia menjatuhkan tangannya dan perlahan-lahan bangkit berdiri. Aku bisa mendengar sendi-sendinya berkeretak ketika ia bangkit. Berapa lama ia duduk di dalam gelap, menungguku terbangun? “Aku akan segera kembali. Kau mungkin tidak lapar, tapi aku kelaparan.”
“Kau mengalami malam yang panjang.”
“Ya.”
“Jika hari sudah terang, aku takkan duduk di sini menunggumu.”
Ian tergelak tanpa menunjukkan rasa geli. Aku yakin itu benar. Jadi aku akan kembali sebelum itu, dan aku akan membantu membawamu ke tempat yang kautuju.”
Ian menyingkirkan salah satu pintu yang menutupi lubang masuk ke guanya. Ia melangkah ke luar, lalu meletakkan pintu itu ke tempatnya lagi. Aku memberengut. Akan sulit menggeser pintu itu dengan satu kaki. Kuharap Ian benar-benar kembali.
Sementara menunggu Ian, aku menatap dua bintang yang bisa kulihat, dan kubiarkan kepalaku perlahan-lahan berubah tenang. Aku benar-benar tidak menyukai obat-obatan manusia. Ugh. Tubuhku sakit, tapi guncangan-guncangan di kepalaku lebih menyakitkan lagi.
Waktu bergeser lalmbat, tapi aku tidak tertidur. Aku sudah tidur lebih dari 24 jam. Mungkin aku juga lapar. Aku harus menunggu sampai perutku tenang, sebelum bisa memastikan.
Ian kembali sebelum hari terang, persis seperti janjinya.
“Merasa lebih enak?” tanyanya, ketika melangkah melewati pintu.
“Kurasa begitu. Aku belum menggerakkan kepala.”
“Menurutmu, siapa yang bereaksi terhadap morfin itu? Kau atau tubuh Melanie?”
“Mel. Dia bereaksi buruk terhadap sebagian besar obat penghilang nyeri. Dia tahu itu ketika pergelangan tangannya patah sepuluh tahun yang lalu.”
Sejenak Ian merenungkan perkataanku. “Rasanya… aneh. Menghadapi dua orang sekaligus.”
“Aneh,” ujarku setuju.
“Kau sudah lapar?”
Aku tersenyum. “Kurasa aku mencium bau roti. Ya, kurasa perutku sudah melewati saat terburuknya.”
“Aku memang berharap kau akan berkata seperti itu.”
Bayang-bayang Ian duduk di sampingku. Ia mencari tanganku, lalu membuka jemariku dan meletakkan bentuk yang sudah kukenal itu di sana.
“Bantu aku duduk?” pintaku.
Ian merangkulkan lengannya dengan hati-hati di bahuku, lalu mendudukkanku dengan gerak kaku untuk meminimalkan rasa sakit di sisi tubuhku. Aku bisa merasakan sesuatu yang asing di sana, di kulitku. Kaku dan ketat.
“Terima kasih,” ujarku, sedikit terengah. Kepalaku berputar pelan. Kusentuh sisi tubuhku dengan tanganku yang bebas. Sesuatu melekat di kulitku, di balik kemejaku. “Apakah rusukku patah?”
“Doc tidak yakin. Dia melakukan yang terbaik.”
“Dia berusaha begitu keras.”
“Memang.”
“Aku merasa tidak enak… karena pernah tidak menyukainya,” ujarku mengakui.
Ian tertawa. “Tentu saja kau tidak menyukainya. Aku heran jika kau bisa menyukai salah seorang dari kami.”
“Perkataanmu terbalik,” gumamku, lalu kubenamkan gigiku ke roti yang keras. Aku mengunyah secara mekanis, lalu menelan. Kuletakkan roti itu ketika menunggunya menerpa perutku.
“Tidak terlalu mengundang selera. Aku tahu,” ujar Ian.
Aku mengangkat bahu. “Hanya menguji—untuk mengetahui apakah mualnya sudah benar-benar hilang.”
“Mungkin sesuatu yang lebih mengundang selera…”
Aku memandang Ian, penasaran, tapi tak bisa melihat wajahnya. Aku mendengar suara gemersik tajam dan suara robekan… lalu bisa mencium baunya, dan aku mengerti.
“Cheetos!” teriakku. “Benarkah? Untukku?”
Sesuatu menyentuh bibirku, dan kukunyah camilan yang tawarkan Ian kepadaku.
“Aku memimpi-mimpikannya,” desahku, seraya mengunyah.
Perkataanku membuat Ian tertawa. Diletakkannya kemasan itu di tanganku.
Kuhabiskan isi kemasan kecil itu dengan cepat, lalu kuhabiskan rotiku, dibumbui rasa keju yang masih tertinggal di mulutku. Ian memberiku sebotol air sebelum aku memintanya.
“Terima kasih. Kau tahu, bukan hanya untuk Cheetos-nya. Tapi untuk begitu banyak hal.”
“Sama-sama, Wanda.”
Kutatap mata biru gelap Ian, mencoba memahami semua yang dikatakannya lewat kalimat itu. Sepertinya ada sesuatu yang lebih dari sekedar kesopanan dalam kata-katanya. Lalu kusadari aku bisa melihat warna mata Ian. Cepat-cepat aku melirik ke celah-celah di atasku. Bintang – bintang sudah menghilang, dan langit berubah kelabu pucat. Fajar menjelang. Cahaya pertama.
“Kau yakin harus melakukannya?” tanya Ian. Tangannya setengah terulur, seakan hendak mengangkatku.
Aku mengangguk. “Kau tak perlu membopongku. Kakiku sudah lebih baik.”
“Akan kita lihat.”
Ian membantuku berdiri, membiarkan lengannya memeluk pinggangku, lalu merangkulkan lenganku di lehernya.
“Sekarang hati-hati. Bagaimana rasanya?”Aku melompat maju satu langkah. Rasanya sakit, tapi aku bisa melakukannya. “Hebat. Ayo pergi.”
Kurasa Ian terlalu menyukaimu.
Terlalu? Aku terkejut mendengar suara Melanie begitu jelas. Belakangan ia hanya bicara seperti itu ketika Jared berada di sini.
AKu juga ada di sini. Apakah ia bahkan peduli?
Tentu saja ia peduli. Ian memercayai kita, melebihi siapa pun, selain Jamie dan Jeb.
Bukan itu maksudku.
Apa maksudmu?
Tapi Melanie sudah pergi.
Perlu waktu lama bagi kami. Aku terkejut menyadari betapa jauh kami harus pergi. Kupikir kami akan pergi ke plaza utama atau dapur—tempat-tempat berkumpul yang biasa. Tapi kami berjalan melewati ladang timur, sampai akhirnya tiba di gua gelap gulita besar yang disebut Jeb ruang bermain. Aku belum pernah ke sana sejak tur pertamaku. Bau menyengat mata air sulfur menyambutku.
Tidak seperti sebagian besar ruang gua di sini, ruang bermain jauh lebih luas jika dibandingkan tingginya. Kini aku bisa melihat ruangan itu, karena lampu-lampu biru suram tergantung di langit-langit, dan bukannya tergeletak di lantai. Langit-langitnya hanya beberapa puluh sentimeter di atas kepalaku; tinggi langit-langit normal sebuah rumah. Tapi aku bahkan tak bisa melihat dinding-dindingnya, yang sangat jauh dari lampu-lampu itu. Aku tak bisa melihat mata air berbau busuk itu, yang tersembunyi di pojok yang jauh, tapi aku bisa mendengarnya menetes dan berdeguk.
Kyle duduk di tempat yang paling diterangi cahaya. Lengannya memeluk kaki. Wajahnya seperti topeng kaku. Ia tidak mendongak ketika Ian membantuku berjalan masuk.
Kyle diapit Jared dan Doc yang berdiri dengan lengan bebas dan siaga di sisi tubuh mereka. Seakan mereka… pengawal.
Jeb duduk di samping Jared, dengan senapan tersampir di bahu. Ia tampak santai, tapi aku tahu betapa cepat hal itu bisa berubah. Jamie meletakkan tangannya yang bebas… Tidak, Jeb memegangi pergelangan tangan anak itu, dan Jamie sepertinya tidak merasa senang. Tapi ketika melihatku masuk, Jamie tersenyum dan melambai. Ia menghela napas panjang dan memandang Jeb tajam.
Jeb melepaskan tangan Jamie.
Sharon berdiri diapit Doc dan BIbi Maggie.
Ian menarikku ke tepi kegelapan yang mengeliingi adegan itu. Kami tidak sendirian. Aku bisa melihat sosok-sosok lain, tapi tak bisa melihat wajah mereka.
Rasanya aneh. Sepanjang jalan Ian menopang sebagian besar bobotku dengan mudah.  Tapi kini tampaknya ia kelelahan. Lengan yang memeluk pinggangku mengendur. Aku terhuyung dan melompat maju sebisa mungkin, sampai Ian menemukan tempat yang ia inginkan. Ia mendudukkanku di lantai, lalu duduk di sampingku.
“Aduh,” kudengar seseorang berbisik.
Aku menoleh, dan samar-samar melihat Trudy. Ia beringsut mendekati kami, lalu Geoffrey dan Heath mengikuti..
“Kau tampak payah,” ujarnya kepadaku. “Seberapa parah lukamu?”
Aku mengangkat bahu. “Aku baik-baik saja.” Aku mulai bertanya-tanya, apakah tadi Ian sengaja membiarkanku berjuang, untuk menunjukkan luka-lukaku—untuk membuatku bersaksi tanpa kata-kata melawan Kyle. Aku memberengut melihat wajah polosnya.
Lalu Wes dan Lily tiba, dan duduk bersama kelompok sekutu kecilku. Brandt masuk beberapa detik kemudian, lalu Heidi, Andy, dan Paige. Aaron yang terakhir.
“Sudah lengkap,” ujarnya. “Lucina menemani anak-anaknya. Dia tak ingin mereka berada di sini—dia meminta kita melanjutkan tanpanya.”
Aaron duduk di samping Andy. Sejenak suasana hening.
“Oke kalau begitu,” ujar Jeb dengan suara keras, agar didengar semua orang. “Begini prosedurnya: pemungutan suara secara langsung berdasarkan mayoritas. Seperti biasa, aku akan membuat keputusanku sendiri jika mendapat masalah dengan mayoritas, karena ini—“
“Adalah rumahku,” sela beberapa suara serentak. Seseorang tergelak, tapi langsung berhenti. Ini tidak lucu. Seorang manusia sedang diadili karena mencoba membunuh mahluk asing. Seharusnya ini hari yang mengerikan bagi mereka semua.
“Siapa yang ingin bicara menentang Kyle?” tanya Jeb.
Ian hendak berdiri.                                                                                
“Tidak!” bisikku, menarik sikunya.
Ian menyingkirkan tanganku dan bangkit berdiri.
“Ini cukup sederhana,” ujar Ian. Aku ingin melompat dan membungkam mulutnya dengan tanganku, tapi kurasa aku tidak bisa bangkit tanpa bantuan. “Kakakku sudah mendapat peringatan. Dia benar-benar sudah memahami peraturan Jeb soal ini. Wanda anggota komunitas kita—peraturan dan perlindungan yang sama berlaku baginya, seperti juga bagi kita semua. Jeb mengatakan dengan jelas kepada Kyle bahwa, kalau dia tidak bisa tinggal bersama Wanda di sini, dia harus pergi. Kyle memutuskan untuk tetap tinggal. Sejak dulu dia sudah tahu hukuman atas pembunuhan di tempat ini.”
“Makhluk itu masih hidup,” gerutu Kyle.
“Itulah sebabnya aku tidak menuntut kematianmu,” bentak Ian.
“Tapi kau tidak bisa lagi tinggal di sini. Tidak bisa, jika pada dasarnya kau pembunuh.”
Sejenak Ian menatap kakaknya, lalu duduk kembali di tanah di sampingku.
“Tapi Kyle bisa tertangkap, sedangkan kita sama sekali tak tahu,” protes Brandt, seraya bangkit berdiri. “Dia akan menuntun mereka kemari, dan kita tidak akan menerima peringatan apa pun.”
Terdengar gumaman di seluruh ruangan.
Kyle melirik Brandt. “Mereka takkan pernah menangkapku hidup-hidup.”
“Kalau begitu hukuman mati saja,” gumam seseorang, serentak dengan perkataan Andy, “Kau tidak bisa menjamin hal itu.”
“Satu per satu,” Jeb mengingatkan.
“Aku pernah bertahan hidup di luar,” ujar Kyle marah.
Suara lain terdengar dari gelap. “Beresiko.” Aku tidak bisa mengenali pemilik suara yang hanya mengeluarkan bisikan mendesis itu.
Lalu terdengar suara lain. “Apa salah Kyle? Tak ada.”
Jeb maju menghampiri suara itu, matanya melotot. “Peraturanku.”
“Makhluk itu bukan salah satu dari kita,” protes orang lain.
Ian hendak bangkit berdiri lagi.
“Hei!” tukas Jared. Suaranya begitu keras sampai semua terlompat. “Wanda tidak sedang diadili di sini! Adakah yang punya keluhan konkret terhadapnya—terhadap Wanda sendiri? Kalau begitu, mintalah diadakan pengadilan lain. Tapi kita semua tahu, dia belum pernah mencelakai satu orang pun di sini. Sebenarnya dia malah menyelamatkan nyawa Kyle.” Jared mengarahkan jarinya ke punggung Kyle. Bahu Kyle merosot, seakan merasakan tusukan itu. “Hanya beberapa detik setelah Kyle mencoba melempar Wanda ke sungai, Wanda mempertaruhkan nyawa untuk menghindarkannya dari kematian menyakitkan yang sama. Wanda pasti tahu seandainya Kyle dibiarkan jatuh, dia akan lebih aman di sini. Tapi toh dia menyelamatkan Kyle juga. Adakah di antara kalian yang bersedia melakukan hal yang sama—menyelamatkan musuh kalian? Kyle mencoba membunuh Wanda, tapi apakah Wanda bicara menentangnya?”
Aku merasakan semua mata di ruang gelap itu memandangku ketika Jared memberiku isyarat untuk maju.
“Maukah kau bicara menentangnya, Wanda?”
Dengan terbelalak aku menatap Jared. Aku terpaku karena ia bicara mewakiliku, karena ia bicara kepadaku, karena ia menggunakan namaku. Melanie juga terkejut, ia terbagi dua. Ia sangat senang melihat kebaikan di wajah Jared ketika memandang kami, melihat kelembutan di mata Jared yang telah begitu lama hilang. Tapi namakulah yang diucapkan lelaki itu…
Perlu beberapa detik sebelum aku menemukan suaraku.
“Ini semua salah paham,” bisikku. “Kami sama-sama terjatuh ketika lantainya runtuh. Hanya itu yang terjadi.” Aku berharap bisikan itu semakin menyulitkan mereka mendeteksi kebohongan di dalam suaraku. Tapi begitu aku selesai bicara, Ian tergelak. Aku menyikutnya, tapi itu tidak menghentikannya.
Jared benar-benar tersenyum kepadaku. “Kalian lihat sendiri. DIa bahkan mencoba berbohong untuk membela Kyle.”
“Mencoba adalah kata yang perlu ditekankan disini,” imbuh Ian.
“Siapa yang bilang makhluk itu berbohong? Siapa yang bisa membuktikannya?” tanya Maggie kasar. Ia melangkah maju ke tempat kosong di samping Kyle. “Siapa yang bisa membuktikan itu adalah kebenaran yang terdengar sangat palsu di bibirnya?”
“Mag—“ Jeb memulai.
“Tutup mulutmu, Jebediah—aku sedang bicara. Taka da alasan bagi kita untuk berada di sini. Tak ada manusia yang diserang. Taka da yang mengeluhkan pelanggaran membahayakan. Ini membuang-buang waktu kita semua.”
“Aku setuju itu,” imbuh Sharon, suaranya bening dan lantang. Doc melontarkan pandangan terluka.
Trudy melompat berdiri. “Kita tidak bisa menampung pembunuh—dan menunggunya memperoleh kesuksesan!”
“Pembunuh adalah istilah subjektif,” desis Maggie. “Aku hanya menganggapnya pembunuh jika ada manusia yang terbunuh.”
Kurasakan lengan Ian memeluk bahuku. Tak kusadari tubuhku gemetar, hingga Ian yang tidak bergerak merapat pada tubuhku.
“Manusia juga istilah subjektif, Magnolia,” ujar Jared, memelototi Maggie. “Kurasa definisi itu mencakup semacam kasih sayang, mencakup sedikit belas kasih.”
“Ayo, kita adakah pemungutan suara,” ujar Sharon, sebelum ibunya bisa menjawab Jared. “Angkat tanganmu jika kau menganggap Kyle harus diizinkan tinggal di sini, tanpa dijatuhi hukuman atas… kesalahpahaman itu.” Ia tidak melirikku, tapi melirik Ian di sampingku, ketika memakai kata yang kugunakan.
Tangan-tangan teracung. Kuamati wajah Jared ketika ekspresinya berubah marah.
Aku berjuang mengangkat tangan, tapi Ian mempererah pegangannya di kedua lenganku, dan mengeluarkan suara jengkel lewat hidungnya. Kuangkat telapak tanganku setinggi mungkin untuk melakukannya. Tapi akhirnya suaraku tidak diperlukan.
Jeb menghitung keras-keras. “Sepuluh… lima belas… dua puluh… dua puluh tiga. Oke, itu jelas mayoritas.”
Aku tidak memandang sekeliling untuk melihat siapa yang memilih siapa. Cukuplah bahwa, di pojok mungilku, semua lengan tersilang erat di dada dan semua mata menatap Jeb dengan ekspresi penuh harap.
Jamie berjalan meninggalkan Jeb untuk menjejalkan diri di antara aku dan Trudy. Ia memelukku, di bawah lengan Ian.
“Mungkin jiwa-jiwa kalian benar tentang kami,” ujar Jamie, cukup keras bagi sebagian besar orang untuk mendengar suara lantangnya yang bernada tinggi. “Sebagian besar manusia tidak lebih baik daripada—“
“Hus!” desisku kepadanya.
“Oke,” ujar Jeb. Semua terdiam. Jeb menundukk memandang Kyle, lalu memandangku, lalu memandang Jared. “Oke, aku cenderung setuju dengan mayoritas dalam hal ini.”
“Jeb—“ ujar Jared dan Ian serentak.
“Rumahku, peraturanku,” Jeb mengingatkan. “Jangan pernah lupakan itu. Jadi, dengarkan aku, Kyle. Dan kurasa kau sebaiknya juga mendengarkan, Magnolia. Siapa pun yang mencoba mencederai Wanda lagi, dia tidak akan diadili. Dia akan dimakamkan.” Jeb menepuk gagang senapannya sebagai penegasan.
Aku terkesiap.
Magnolia melotot penuh kebencian pada saudara laki-lakinya. Kyle mengangguk, seakan menerima persyaratan itu.
Jeb memandang ke penonton yang terbagi secara tidak merata, menatap mata setiap anggota, kecuali mata anggota kelompok kecil di sampingku.
“Pengadilan selesai,” ujarnya mengumumkan. “Siapa yang mau main?”



The Host- Bab 34

0 comments
DIMAKAMKAN



Jared menerjang maju, menjauhiku. Dengan suara gedebuk keras, tinjunya menghantam wajah Kyle.
Mata Kyle berputar ke belakang, mulutnya terbuka.
Selama beberapa detik ruangan sangat hening.
“Um,” ujar Doc pelan, “secara medis, aku tak yakin apakah itu tindakan yang paling membantu untuk kondisinya.”
“Tapi aku merasa lebih baik,” jawab Jared muram.
Doc tersenyum kecil. “Well, beberapa menit ketidaksadaran mungkin takkan membunuhnya.”
Doc mulai memeriksa bagian bawah kelopak mata Kyle lagi, mengukur denyut nadinya…
“Apa yang terjadi?” Wes berada di dekat kepalaku, berbisik.
“Kyle mencoba membunuh makhluk itu,” jawab Jared, sebelum aku bisa menjawab. “Tidak mengejutkan, bukan?”
“Memang,” gumamku.
Wes memandang Jared.
“Tampaknya altruisme muncul lebih alami pada mahluk itu dibandingkan kebohongan,” ujar Jared.
“Apakah kau sedang mencoba bersikap menjengkelkan?” desakku.
Kesabaranku bukannya berkurang, melainkan lenyap seluruhnya. Sudah berapa lama aku tidak tidur? Satu-satunya yang lebih menyakitkan daripada kakiku adalah kepalaku. Setiap tarikan napas membuat sisi tubuhku sakit. Kusadari, dengan agak terkejut, bahwa suasana hatiku benar-benar buruk. “Karena seandainya demikian, maka yakinlah, kau berhasil.”
Jared dan Wes memandangku dengan mata terkejut. Aku yakin, seandainya bisa melihat yang lain, ekspresi mereka juga bakal serupa. Mungkin Jeb tidak. Ia ahli dalam memperlihatkan wajah tanpa ekspresi.
“Aku perempuan,” keluhku. “Istilah ‘mahluk itu’ benar-benar membuatku jengkel.”
Jared mengerjap terkejut. Lalu wajahnya kembali membentuk garis-garis keras. “Karena tubuh yang kau kenakan?”
Wes memelototinya.
“Karena aku perempuan,” desisku.
“Berdasarkan definisi siapa?”
“Bagaimana kalau definisimu? Pada spesiesku, akulah yang melahirkan. Bukankah itu cukup perempuan bagimu?”
Perkataanku langsung membungkam Jared. Aku nyaris merasa bangga terhadap diriku sendiri.
Memang sudah seharusnya, ujar Melanie setuju. Ia keliru, dan bersikap menjengkelkan soal itu.
Terima kasih.
Sebagai sesame perempuan, kita harus bersatu.
“Itu kisah yang belum pernah kauceritakan kepada kami,” gumam Wes, sementara Jared berjuang mencari bantahan. “Bagaimana cara kerjanya?”
Wajah zaitun Wes semakin gelap, seakan ia baru saja menyadari kata-kata itu telah diucapkan keras-keras. “Maksudku, kurasa kau tidak perlu menjawab jika pertanyaanku tidak sopan.”
Aku tertawa. Suasana hatiku berganti-ganti dengan liar, tak terkendali. Mabuk karena kurang tidur, seperti kata Melanie. “Tidak, kau  menanyakan sesuatu… yang tidak pantas. Kami tidak punya pengaturan terperinci… dan rumit… seperti spesies kalian.” Aku kembali tertawa, lalu merasakan wajahku menghangat. Kuingat dengan sangat jelas betapa rumitnya pengaturan itu.
Jangan berpikir kotor.
Itu pikiranmu, ujarku mengingatkan Melanie.
Aku mendesah. “Hanya ada beberapa dari kami yang menjadi… Ibu. Itu sebutan mereka untuk kami. Bukan ibu yang sesungguhnya, tapi kami berpotensi menjadi Ibu…” Aku kembali serius, merenungkannya. Tak ada ibu, tak ada ibu yang bertahan hidup, yang ada hanyalah ingatan-ingatan tentang mereka.
“Kau punya potensi itu?” tanya Jared kaku.
Aku tahu yang lain mendengarkan. Bahkan Doc menghentikan tindakannya meletakkan telinga di dada Kyle.
Aku tidak menjawab pertanyaan Jared. “Kami… agak menyerupai kawanan lebah, atau semut. Banyak sekali anggota keluarga yang tidak memiliki jenis kelamin, lalu ada ratu…”
“Ratu?” ulang Wes, memandangku dengan ekspresi aneh.
“Bukan seperti itu. Tapi hanya ada satu ibu untuk setiap lima sampai sepuluh ribu bangsaku. Terkadang kurang dari itu. Tak ada peraturan yang ketat.”
“Ada berapa banyak pejantan?” tanya Wes.
“Oh, tidak—tidak ada pejantan. Tidak. Sudah kubilang, prosesnya lebih sederhana.”
Mereka menungguku menjelaskan. Aku menelan ludah. Seharusnya aku tidak mengangkat topic ini. Aku tak ingin membicarakannya lagi. Apakah benar-benar menjadi masalah jika Jared memanggilku “mahluk itu”?
Mereka masih menunggu. Aku memberengut, tapi lalu bicara. Akulah yang memulai topic ini. “Ibu… membelah diri. Setiap… selnya—kurasa bisa kaubilang begitu, walaupun struktur kami tidak sama seperti struktur kalian—menjadi jiwa yang baru. Setiap jiwa yang baru membawa sedikit ingatan ibunya—sebagian dari ibunya yang tertinggal.”
“Berapa banyak sel?” tanya Doc penasaran. “Berapa banyak anak?”
Aku mengangkat bahu. “Sekitar satu juta.”
Sejauh pandanganku, semua mata membelalak dan tampak sedikit lebih liar. Aku mencoba untuk tidak merasa terlukka ketika Wes menjauh dariku.
Doc bersiul pelan. Ia satu-satunya yang masih tertarik untuk melanjutkan. Aaron dan Andy menunjukkan ekspresi cemas, bingung. Mereka belum pernah mendengarku mengajar. Belum pernah mendengarku bicara begitu banyak.
“Kapan itu terjadi? Adakah semacam katalisator?” tanya Doc.
“Itu pilihan. Pilihan sukarela,” jawabku. “Satu-satunya cara kami untuk memilih kematian dengan sukarela. Semacam pertukaran, demi generasi baru.”
“Kau bisa memilihnya sekarang? Membelah semua selmu, begitu saja?”
“Tidak persis seperti itu, tapi ya.”
“Rumitkah?”
“Yang rumit adalah keputusannya. Prosesnya… menyakitkan.”
“Menyakitkan?”
Mengapa Doc harus seterkejut itu? Bukankah hal yang sama terjadi pada bangsanya?
Dasar laki-laki, dengus Melanie.
“Menyiksa,” jawabku. “Kami semua ingat apa yang dialami ibu kami.”
Doc mengusap-usap dagu, terpukau. “Aku ingin tahu, itu jalur evolusi macam apa… menghasilkan masyarakat lebah dengan ratu yang bunuh diri…” Ia terhanyut dalam rangkaian pikiran yang lain.
“Altruisme,” gumam Wes.
“Hmm,” ujar Doc. “Ya, tepat.”
Kupejamkan mata, berharap mulutku tetap mengatup. Kepalaku pening. Apakah aku hanya lelah atau apakah itu karena luka di kepalaku?
“Oh,” gumam Doc. “Tidurmu bahkan lebih sedikit daripada tidurku, bukan, Wanda? Kami harus membiarkanmu istirahat.”
“Aku baik-baik saja,” gumamku, tanpa membuka mata.
“Hebat sekali,” bisik seseorang. “Kita punya mahluk luar angkasa, ibu ratu terkutuk, yang tinggal bersama kita. Dia bisa meledak menjadi sejuta serangga baru setiap saat.”
“Sst.”
“Mereka takkan bisa melukai kalian,” ujarku, kepada siapa pun yang baru saja bicara, tanpa membuka mata. “Tanpa tubuh inang, mereka mati dengan cepat.” Aku mengernyit, membayangkan kedukaan yang tak terbayangkan. Sejuta jiwa mungil tak berdaya, bayi perak mungil, layu…
Tak seorang pun berkomentar, tapi bisa kurasakan kelegaan mereka.
Aku lelah sekali. Aku tak peduli Kyle berada satu meter dariku. Aku tak eduli dua di antara para lelaki di ruangan ini akan membela Kyle jika ia sudah tersadar. Aku tidak memedulikan apa pun, kecuali tidur.
Tentu saja Walter terbangun tepat pada saat itu.
“Uuuh,” erangnya, hanya berupa bisikan. “Gladdie?”
Sambil mengerang aku berguling ke arahnya. Rasa sakit di kakiku membuatku mengernyit, tapi aku tak mampu memutar tubuh. Kuulurkan tangan, dan kutemukan tangannya.
“Di sini,” bisikku.
“Ahhh.” Walter mendesah penuh kelegaan.
Doc menyuruh para lelaki yang mulai memprotes untuk diam.
“Wanda telah mengorbankan tidur dan kedamaiannya untuk membantu mengurangi Walter mengurangi rasa sakit. Kedua tangannya memar-memar akibat memegangi tangan Walter. Apa yang sudah kalian perbuat untuk Walter?”
Walter kembali mengerang. Suaranya mula-mula rendah dan parau, tapi dengan cepat berubah jadi erangan bernada tinggi.
Doc mengernyit. “Aaron, Andy, Wes… maukah kaliah, ah, memanggilkan Sharon untukku?”
“Kami semua?”
“Minggat sana,” Jeb menerjemahkan.
(catatanku: “I really love uncle Jeb… hehehe”)
Satu-satunya jawaban yang terdengar hanyalah suara kaki terseret ketika mereka pergi.
“Wanda,” bisik Doc di dekat telingaku. “Walter kesakitan. Aku tak bisa membiarkannya sadar sepenuhnya.”
Kucoba untuk bernapas teratur. “Lebih baik baginya jika dia tidak mengenaliku. Lebih baik baginya jika dia mengira Gladdie berada di sini.”
Kubuka mataku. Jeb berada di samping Walter—wajah Walter masih tampak seakan sedang tidur.
“Selamat tinggal, Walt,” ujar Jeb. “Sampai bertemu di dunia lain.”
Ia melangkah mundur.
“Kau lelaki baik. Semua orang akan merasa kehilangan,” gumam Jared.
Doc membuka bungkusan morfin lagi. Kertasnya bergemersik.
“Gladdie?” isak Walter. “Sakit sekali.”
“Ssst. Tak lama lagi sakitnya akan hilang. Doc akan menghentikannya.”
“Gladdie?”
“Ya?”
“Aku mencintaimu, Gladdie. Aku mencintaimu sepanjang hidupku.”
“Aku tahu, Walter. Aku—aku juga mencintaimu. Kau tahu betapa aku mencintaimu.”
Walter mendesah.
Kupejamkan mata ketika Doc membungkuk di atas tubuh Walter dengan membawa jarum suntik.
“Selamat tidur, Sobat,” gumam Doc.
Jemari Walter berubah santai, lemas. Kugenggam kedua tangannya—kini akulah yang menggayuti Walter.
Menit demi menit berlalu dan semuanya hening, kecuali suara napasku ang tersendat, cenderung terisak pelan.
Seseorang menepuk bahuku. “Dia sudah pergi, Wanda,” ujar Doc. Suaranya parau. “Dia sudah tidak kesakitan.”
Doc melepaskan tanganku dari tangan Walter, dan perlahan-lahan menggulingkan tubuhku dari posisi ganjil menjadi posisi yang lebih tidak menyiksa. Tapi hanya sedikit bedanya. Setelah aku tahu Walter takkan terganggu, tangisku tak lagi pelan. Kupegangi pinggangku yang berdenyut-denyut.
“Oh, silahkan. Kalau itu membuatmu senang,” gumam Jared dengan nada menggerutu. Aku mencoba membuka mata, tapi tak bisa melakukannya.
Sesuatu menusuk lenganku. Aku tak ingat lenganku terluka. Dan di tempat aneh, hanya di siku bagian dalam…
Morfin, bisik Melanie.
Kami sudah mulai tak sadarkan diri. Aku mencoba untuk merasa takut, tapi tak bisa. Aku sudah pergi terlalu jauh.
Tak seorang pun mengucapkan selamat tinggal, pikirku. Aku tak bisa mengharapkan Jared… Tapi Jeb… Doc… Ian taka da di sini…
Tak seorang pun mati, janji Melanie kepadaku. Kali ini kau hanya tidur…
#
Ketika aku terbangun, langit-langit di atasku suram diterangi cahaya bintang. Malam hari. Ada banyak bintang. Aku bertanya-tanya di mana aku berada. Tak ada penghalang-penghalang hitam, taka da potongan langit-langit di dalam pandanganku. Hanya bintang dan bintang dan bintang…
Angin mengipasi wajahku. Baunya seperti… debu dan… sesuatu yang tak bisa kupahami. Ketidakhadiran. Bau apak itu tak ada. Tak ada Sulfur, dan udara sangat kering.
“Wanda?” bisik seseorang, seraya menyentuh pipiku yang tidak cedera.
Mataku menemukan wajah Ian, pucat dalam cahaya bintang, membungkuk di atas tubuhku. Tangan Ian yang menyentuh kulitku lebih sejuk daripada angina sepoi-sepoi. Tapi udara sangat kering, sampai terasa tidak nyaman. Di mana aku?
“Wanda? Kau sudah bangun? Mereka tidak mau menungu lebih lama.”
Aku berbisik, karena Ian juga berbisik. “Apa?”
“Mereka sudah mulai. Aku tahu, kau pasti ingin berada di sini.”
“Dia sudah sadar?” tanya Jeb.
“Apa yang sudah dimulai?” tanyaku.
“Pemakaman Walter.”
Aku mencoba duduk, tapi tubuhku lemah. Tangan Ian berpindah ke keningku, membaringkanku.
Kugerakkan kepalaku di bawah telapak tangannya, mencoba melihat…
Aku berada di luar.
Di luar.
Di kiriku tumpukan batu kasar tak beraturan membentuk gunung kecil, lengkap dengan semak-semak pendeknya. Di kananku dataran padang gurun membentang sampai lenyap dalam kegelapan. Aku menunduk, memandang melewati kakiku, dan melihat kerumunan manusia yang merasa tidak nyaman di udara terbuka. Aku tahu persis apa yang mereka rasakan. Terekspos.
Aku mencoba bangkit. Aku ingin berada lebih dekat, untuk menyaksikan. Tangan Ian menahanku.
“Tenanglah,” katanya. “Jangan mencoba berdiri.”
“Bantu aku,” ujarku memohon.
“Wanda?”
Aku mendengar suara Jamie, lalu melihatnya, rambutnya memantul-mantul ketika ia berlari ke tempatku terbaring.
“Mereka tidak menunggu,” ujar Jamie kepada Ian. “Sebentar lagi selesai.”
“Bantu aku berdiri,” kataku.
Jamie meraih tanganku, tapi Ian menggeleng. “Aku bisa.”
Ian menyelipkan kedua lengannya ke bawah tubuhku, dengan sangat berhati-hati, untuk menghindari tempat-tempat yang paling sakit. Ia mengangkatku dari tanah, kepalaku berputar-putar seperti kapal nyaris karam. Aku mengerang.
“Apa yang dilakukan Doc kepadaku?”
“Dia memberimu sedikit morfin yang tersisa, sehingga bisa memeriksa tanpa menyakitimu. Lagi pula kau perlu tidur.”
Aku memberengut, tidak setuju. “Bukankah orang lain akan lebih memerlukan morfin itu?”
“Sst,” ujar Ian, dan aku bisa mendengar suara rendah di kejauhan. Kutolehkan kepalaku.
Aku bisa melihat kumpulan manusia itu lagi. Mereka berdiri di mulut lubang terbuka, rendah, dan gelap, yang dibentuk angina di bawah tumpukan batu yang tampak tidak stabil. Mereka berdiri dalam barisan tak teratur, menghadap gua teduh itu.
Aku mengenali suara Trudy.
“Walter selalu melihat sisi cerah segala sesuatu. Ia bisa melihat sisi cerah lubang hitam. Itu akan kurindukan.”
Kulihat sesosok tubuh melangkah maju, kulihat ayunan kepang rambut hitam keabu-auan ketika sosok itu bergerak, dan aku menyaksikan Trudy melempar segenggam sesuatu ke dalam gelap. Pasir menyebar dari jemarinya, jatuh ke tanah dengan bunyi berdesis perlahan.
Trudy kembali dan berdiri di samping suaminya. Geoffrey bergerak menjauhinya, melangkah maju ke lubang hitam.
“Kini dia akan bertemu Gladys-nya. Dia lebih berbahagia di tempatnya sekarang.” Geoffrey melempar segenggam pasir.
Ian membopongku ke kanan barisan, cukup dekat untuk melihat ke dalam gua suram itu. Ada lubang yang lebih gelap di hadapan kami, bentuknya persegi panjang besar, dan seluruh populasi manusia itu berdiri mengelilinginya, membentuk setengah lingkaran tak beraturan.
Semua ada di sana—semua orang.
Kyle melangkah maju.
Aku gemetar, dan Ian meremas pelan tanganku.
Kyle tidak memandang kea rah kami. Kulihat wajahnya dari samping; mata kanannya bengkak sampai nyaris menutup.
“Walter mati sebagai manusia,” ujar Kyle. “Tak seorang pun dari kami bisa meminta lebih dari itu.” Ia melempar segenggam pasir ke lubang gelap itu.
Lalu Kyle kembali bergabung dengan kelompok itu.
Jared berdiri di sampingnya. Ia melangkah sebentar, berhenti di bibir makam Walter.
“Walter sangat baik hati. Tak seorang pun dari kami bisa menandinginya.” Ia melemparkan pasirnya.
Jamie melangkah maju, Jared menepuk bahunya saat mereka berpapasan.
“Walter pemberani,” ujar Jamie. “Dia tidak takut mati, dia tidak takut hidup, dan… dia tidak takut untuk percaya. Dia membuat keputusan-keputusannya sendiri, dan dia membuat keputusan-keputusan yang baik.” Jamie melemparkan pasirnya. Ia berbalik, berjalan kembali, sepanjang itu matanya terpaku padaku.
“Giliranmtimuu,” bisik Jamie, ketika sudah ada di sampingku.
Andy sudah bergerak maju, dengan sekop di tangan.
“Tunggu,” ujar Jamie, dengan suara rendah yang terdengar di dalam keheningan. “Wanda dan Ian belum mengucapkan apa-apa.”
“Kita harus saling menghormati,” ujar Jeb, suaranya lebih keras daripada suara Jamie. Rasanya terlalu keras buatku.
Insting pertamaku adalah memberi isyarat pada Andy untuk melanjutkan, dan meminta Ian membawaku pergi. Ini duka manusia, bukan dukaku.
Tapi aku memang berduka. Dan aku memang ingin mengatakan sesuatu.
“Ian, bantu aku mengambil pasir.”
Ian berjongkok sehingga aku bisa mengambil segenggam kerikil di kaki kami. Ia memindahkan bobot tubuhku ke lututnya, sehingga ia bisa mengambil pasir juga. Lalu ia menegakkan tubuh dan membopongku ke tepi makam.
Aku tidak bisa melihat ke dalam lubang. Tampak gelap di bawah naungan batu, dan sepertinya makam itu sangat dalam. Ian mulai bicara sebelum aku bisa melakukannya.
“Walter manusia terbaik dan paling bijak,” ujarnya, lalu ia menyebarkan pasirnya ke lubang. Rasanya lama sekali sebelum aku mendengar pasir itu berdesis menimpa dasar lubang.
Ian menunduk memandangku.                  
Suasana benar-benar hening di malam berpenerangan cahaya bintang itu. Bahkan angin pun tenang. Aku berbisik, tapi aku tahu suaraku terdengar semua orang.
“Tak ada kebencian di dalam hatimu,” bisikku. “Keberadaanmu membuktikan kami keliru. Kami tak punya hak untuk mengambil duniamu darimu, Walter. Kuharap dongeng-dongengmu benar. Kuharap kau menemukan Gladdie-mu.”
Kubiarkan batu-batu itu bergulir dari jemariku, dan kutunggu sampai aku mendengar batu-batu itu jatuh dengan bunyi pelan di atas tubuh Walter yang tampak samar-samar dalam kuburan gelap dan dalam itu.
Begitu Ian melangkah mundur, Andy langsung bekerja. Ia menyekop gundukan tanah pucat berdebu yang menumpuk beberapa puluh sentimeter jauhnya, lalu memasukkannya ke lubang. Muatan sekop itu jatuh dengan bunyi berdebum, bukan berdesis. Suaranya membuatku kecut.
Aaron melangkah melewati kami dengan sekop lain. Ian berbalik perlahan-lahan dan membopongku pergi untuk memberi mereka tempat. Bunyi berdebum keras tanah yang jatuh menggema di belakang kami. Suara-suara  rendah mulai terdengar. Aku mendengar suara langkah ketika orang-orang berkumpul, berdesak-desakan untuk membahas pemakaman itu.
Aku benar-benar memandang Ian untuk pertama kali ketika ia berjalan kembali ke Kasur gelap di tanah terbuka itu. Ekspresinya seakan salah tempat, dan bukan miliknya. Wajah Ian dikotori debu pucat, ekspresinya lelah, dan aku pernah melihat wajahnya seperti itu sebelumnya. Aku tak bisa ingat kapan, ketika Ian meletakkanku kembali ke atas Kasur dan perhatianku teralihkan. Apa yang seharusnya kulakukan di luar sini, di tempat terbuka? Tidur? Doc berada persis di belakang kami; Doc dan Ian sama-sama berlutut di pasir di sebelahku.
“Bagaimana perasaanmu?” tanya Doc, meraba bagian samping tubuhku.
Aku ingin duduk, tapi Ian menekan bahuku ketika aku mencoba.
“Aku baik-baik saja. Kurasa aku bisa berjalan…”
“Tak perlu memaksakan diri. Istirahatkan kaki itu selama beberapa hari, oke?” Doc menarik kelopak mataku ke atas, dan menyorotkan senter mungilnya ke sana. Mata kananku melihat refleksi cemerlang yang menari-nari di wajah Doc. Doc mengalihkan pandangan dari cahaya itu, menjauh beberapa senti. Tangan Ian di bahuku tetap tidak bergerak. Itu mengejutkanku.
“Hmm. Itu tidak membantu diagnosis, bukan? Bagaimana kepalamu?” tanya Doc.
“Sedikit pening. Tapi kurasa karena obat-obatan yang kau berikan kepadaku, bukan karena lukanya. Aku tidak suka obat-obatan itu—kurasa aku lebih suka merasakan sakit.”
Doc meringis. Begitu juga Ian.
“Apa?” desakku.
“Aku hendak membuatmu tak sadarkan diri lagi, Wanda. Maaf.”
“Tapi… mengapa?” bisikku. “Aku tidak sesakit itu. Aku tidak ingin—“
“Kami harus membawamu kembali ke dalam,” ujar Ian, menyelaku. Suaranya rendah, seakan tak ingin yang lain mendengar. Aku bisa mendengar suara-suara di belakang kami, menggema pelan dari batu-batu. “Kami berjanji… kau akan tidak sadarkan diri.”
“Tutup saja mataku lagi.”
Doc mengeluarkan jarum suntik mungil dari saku. Isinya tinggal seperempat. Aku menjauh, mendekatkan diri pada Ian. Tangannya di bahuku menahanku.
“Kau mengenal gua itu dengan sangat baik,” gumam Doc. “Mereka tak ingin kau punya peluang untuk menebak…”
“Tapi ke mana aku akan pergi?” bisikku. Suaraku panic. “Kalaupun aku tahu jalan keluar? Mengapa aku ingin pergi sekarang?”
“Kalau itu menenangkan pikiran mereka…,” ujar Ian.
Doc meraih pergelangan tanganku, dan aku tidak melawan. Aku berpaling ketika jarum menusuk kulitku. Kupandang Ian. Matanya kelam dalam gelap, dan menegang ketika aku menuduhnya sebagai pengkhianat dengan tatapanku.
“Maaf,” gumam Ian. Itu hal terakhir yang kudengar.







The Host - Bab 33

0 comments
DIRAGUKAN



Kembali terdengar suara tercebur. Bobot Kyle menyiksa lenganku.
“Wanda? Wanda!”.
“Tolong! Kyle! Lantainya! Tolong!”
Wajahku menekan batu pilar, mataku mengarah ke lubang masuk gua. Cahaya di atas kepala menyorot terang ketika fajar menyingsing. Aku menahan napas. Kedua lenganku seakan berteriak.
“Wanda! Kau di mana?”
Ian melompat melewati pintu. Senapan ada di kedua tangannya. Posisinya rendah dan siaga. Wajah Ian berupa topeng kemarahan yang tadi dikenakan kakaknya.
“Awas!” teriakku. “Lantainya runtuh! Aku tak bisa menahan Kyle lebih lama lagi!”
Perlu dua detik yang lama bagi Ian untuk mencerna adegan yang begitu berbeda dengan adegan yang tadi diharapkannya: Kyle mencoba membunuhku. Adegan itu baru saja berakhir beberapa detik yang lalu.
Lalu Ian melempar senapIan  itu ke lantai gua dan berjalan ke arahku dengan langkah panjang.
“Merangkak—sebarkan bobot tubuhmu!”
Ian menjatuhkan tubuhnya, lalu merangkak menghampiriku, matanya membara dalam cahaya fajar.
“Jangan dilepaskan,” ujarnya mengingatkan.
Aku mengerang kesakitan.
Ian menilai situasinya sedetik lagi, lalu merapatkan tubuhnya di belakang tubuhku, mendorongku semakin rapat pada pilar. Lengannya lebih panjang. Bahkan dengan tubuhku di tengah-tengah, ia mampu merangkulkan kedua tangannya pada tubuh kakaknya.
“Satu, dua, tiga,” geram Ian.
Ian menarik Kyle ke pilar, jauh lebih aman daripada yang kulakukan. Gerakan Ian menekan wajahku ke pilar. Tapi itu sisi wajahku yang cedera—tak mngkin bisa lebih parah lagi saat ini.
“Aku akan menariknya ke sisi sebelah sini. Kau bisa menyelinap keluar?”
“Akan kucoba.”
Kulonggarkan peganganku pada Kyle, merasakan nyeri yang melegakan di bahuku, dan kupastikan Ian memegangi tubuh Kyle. Lalu aku menggeliat keluar dari antara Ian dan pilar, berhati-hati agar tidak meletakkan diriku di bagian lantai yang berbahaya. Aku merangkak mundur beberapa puluh sentimeter menuju pintu, siap mencengkeram Ian seandainya ia mulai tergelincir.
Ian menarik kakaknya yang tak sadarkan diri ke sisi lain pilar, menyeretnya dengan tersentak-sentak, tiga puluh sentimeter setiap sentakan. Semakin banyak lantai yang ambruk, tapi fondasi pilar tetap utuh. Terbentuk lapisan baru sekitar enam puluh sentimeter dari kolam batu.
Ian merangkak mundur seperti yang kulakukan, menyeret kakaknya dengan sentakan-sentakan pendek otot dan kemauan keras. Dalam hitungan menit kami bertiga sudah berada di mulut koridor, aku dan Ian tersengal-sengal.
“Apa… yang… terjadi?”
“Bobot kami… terlalu… berat. Lantainya runtuh.”
“Apa yang kaulakukan… di pinggirnya? Bersama Kyle?”
Aku menunduk, dan aku berkonsentrasi pada napasku.
Nah, katakan kepadanya.
Lalu apa yang akan terjadi?
Kau tahu apa yang akan terjadi. Kyle melanggar peraturan. Jeb akan menembaknya, atau mereka akan menendangnya keluar. Mungkin Ian akan menghajarnya lebih dulu. Itu akan menyenangkan untuk dilihat.
Melanie tidak bersungguh-sungguh dengan kata-katanya—bagaimanapun, aku menganggapnya begitu. Ia hanya marah kepadaku karena mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan calon pembunuh kami.
Tepat sekali, kataku kepadanya. Dan seandainya mereka menendang Kyle keluar karena diriku… atau membunuhnya… Aku bergidik. Nah, tidakkah kau bisa melihat betapa tidak masuk akalnya itu? Kyle salah satu dari kalian.
Kita punya kehidupan di sini, Wanda. Dan kau membahayakan kehidupan itu.
Itu kehidupanku juga. Dan aku… well, aku adalah aku.
Melanie mengerang muak.
“Wanda?” desak Ian.
“Tak ada,” gumamku.
“Kau pembohong yang payah. Kau tahu itu, kan?”
 Aku tetap menunduk dan bernapas.
“Apa yang dilakukan Kyle?”
“Tak ada,” ujarku berbohong. Dengan buruk.
Ian meletakkan tangannya ke bawah daguku, mendongakkan wajahku. “Hidungmu berdarah.” Ia memiringkan kepalaku ke samping. “Dan ada lebih banyak darah di rambutmu.”
“Aku—kepalaku terbentur ketika lantainya runtuh.”
“Di kedua sisi?”
Aku mengangkat bahu.
Ian memelototiku cukup lama. Kegelapan terowongan membuat kilatan matanya suram.
“Kita harus mengantar Kyle kepada Doc—kepalanya terbentur keras sekali ketika terjatuh.”
“Mengapa kau melindunginya? Dia mencoba membunuhmu.”
Itu pernyataan berdasarkan fakta, bukan pertanyaan. Wajah Ian pelan – pelan berubah dari marah jadi takut. Ia sedang membayangkan apa yang kami lakukan di lapisan tidak stabil itu—bisa kulihat hal itu di matanya. Ketika aku tidak menjawab ia bicara lagi dengan berbisik. “Kyle hendak melemparkanmu ke dalam sungai….” Getaran aneh mengguncang tubuhnya.
Ian memeluk Kyle dengan sebelah lengan—dan roboh dengan posisi seperti itu, tampaknya terlalu lelah untuk bergerak. Kini Ian mendorong tubuh tak sadar kakaknya dengan kasar, lalu menjauh dengan jijik. Ia mendekatiku dan memeluk bahuku. Ditariknya tubuhku ke dadanya—bisa kurasakan napasnya keluar-masuk, masih terengah-engah.
Rasanya sangat aneh.
“Seharusnya kugulingkan Kyle kembali ke sana, lalu kutendang dari pinggir lubang.”
Aku menggeleng panik, kepalaku berdenyut-denyut nyeri. “Tidak.”
“Menghemat waktu. Jeb sudah menjelaskan peraturannya. Jika mencoba melukai seseorang di sini, akan ada hukuman. Akan ada pengadilan.”
Aku mencoba melepaskan diri dari Ian, tapi ia mempererat pelukannya. Tidak menakutkan, tidak seperti cara Kyle mencengkeramku, tapi mengkhawatirkan—merusak keseimbanganku. “Tidak. Kau tak bisa melakukannya, karena tak seorang pun melanggar peraturan. Lantainya runtuh. Itu saja.”
“Wanda—“
“Kyle kakakmu.”
“Dia tahu apa yang dia lakukan. Ya. Dia kakakku, tapi dia melakukan apa yang dilakukannya, dan kau… kau… temanku.”
“Dia tidak melakukan apa-apa. Dia manusia,” bisikku.” Ini tempatnya, bukan tempatku.”
“Kita tidak akan membahas ini lagi. Definisimu mengenai manusia tidak sama dengan definisiku. Bagimu, manusia berarti sesuatu yang… negatf. Bagiku, itu pujian. Dan berdasarkan definisiku, kau manusia dan Kyle bukan. Tidak lagi, setelah kejadian ini.”
“Manusia tidak berarti negative bagiku. Aku sudah mengenal kalian sekarang. Tapi, Ian, dia kakakmu.”
“Fakta yang membuatku malu.”
Kudorong kembali tubuhku dari Ian. Kali ini ia melepaskanku. Mungkin ada hubungannya dengan erang kesakitan yang keluar dari bibirku ketika aku menggerakkan kaki.
“Kau baik-baik saja?”
“Kurasa begitu. Kita perlu mencari Doc, tapi aku tak tahu apakah aku bisa jalan. Aku—kakiku terbentur ketika aku terjatuh.”
Suara geraman mencekik tenggorokan Ian. “Kaki yang mana? Biar kulihat.”
Aku mencoba meluruskan kakiku yang cedera—sebelah kanan—dan kembali mengerang. Ian meraba-raba pergelangan kakiku, memeriksa tulang dan persendian. Ia memutar pergelangan kakiku dengan hati-hati.
“Lebih ke atas. Di sini.” Kutarik tangannya ke belakang paha, persis di atas lutut. Aku kembali mengerang ketika Ian menekan bagian yang sakit. “Kurasa tidak patah atau semacam itu. Hanya rasanya sakit sekali.”
“Setidaknya memar otot yang parah,” gumam Ian. “Dan bagaimana terjadinya?”
“Sepertinya… aku mendarat di atas batu ketika terjatuh.”
Ian mendesah. “Oke, ayo pergi menemui Doc.”
“Kyle lebih memerlukan Doc daripadaku.”
“Bagaimanapun, aku harus mencari Doc—atau bantuan. Aku tidak bisa membopong Kyle sejauh itu, tapi aku pasti bisa membopongmu. Uups—tunggu.”
Ian berbalik cepat, lalu merunduk kembali ke dalam ruang bersungai. Aku memutuskan untuk tidak membantah. Aku ingin menemui Walter sebelum… Doc sudah berjanji akan menungguku. Apakah dosis pertama penghilang nyeri itu begitu cepat menghilang?  Kepalaku melayang-layang. Ada begitu banyak kekhawatiran, dan aku sangat lelah. Adrenalinnya sudah habis, meninggalkanku dalam kehampaan.
Ian kembali dengan senapan. Aku memberengut, karena ini mengingatkanku bahwa aku tadi mengharapkan benda itu. Aku tidak suka itu.
“Ayo, pergi.”
Tanpa berpikir Ian menyerahkan senapan kepadaku. Kubiarkan benda itu jatuh ke telapak tanganku yang terbuka, tapi aku tak mampu menggenggamnya. Kuputuskan bahwa keharusan membawa senapan merupakan hukuman yang sesuai untukku.
Ian tergelak. “Bagaimana mungkin orang bisa takut padamu…,” gumamnya kepada diri sendiri.
Ia mengangkat tubuhku dengan mudah, dan langsung bergerak sebelum aku siap. Aku berusaha agar bagian-bagian tubuhku yang paling peka—tengkukku, bagian belakang kakiku—tidak terlalu keras menekan tubuh Ian.
“Kok pakaianmu bisa sebasah ini?” tanyanya. Kami sedang lewat di bawah salah satu lubang cahaya seukuran kepalan tangan, dan aku bisa melihat sedikit senyum masam di bibir Ian yang pucat.
“Aku tak tahu,” gumamku. “Uap?”
Kami kembali melintasi kegelapan.
“Sepatumu hilang satu.”
“Oh.”
Kami melewati sorotan cahaya lagi, dan mata Ian berkilat-kilat biru safir. Mata itu kini serius, terpaku pada wajahku.
“Aku… sangat senang kau tidak cedera, Wanda. Cedera lebih parah, maksudku.”
Aku tidak menjawab. Aku takut memberinya sesuatu yang bisa digunakan untuk menyerang Kyle.
Jeb menemukan kami tepat sebelum kami memasuki ruang gua besar. Ada cukup banyak cahaya bagiku untuk menangkap kilau tajam rasa penasaran di matanya ketika melihatku di pelukan Ian, dengan wajah berdarah, dan senapan tergeletak di kedua tanganku yang terbuka.
“Kalau begitu kau benar,” tebak Jeb. Rasa penasarannya kuat, tapi nada dingin di dalam suaranya lebih kuat. Rahangnya terkatup di balik janggut. “Aku tidak mendengar suara tembakan. Kyle?”
“Dia tak sadarkan diri,” ujarku cepat-cepat. “Kau perlu memperingatkan semua orang—sebagian lantai runtuh di ruang bersungai. Aku tidak tahu seberapa stabilnya lantai itu sekarang. Kepala Kyle terbentur sangat keras ketika berusaha menyingkir. Dia perlu Doc.”
mengangkat sebelah alisnya sangat tinggi, sampai nyaris menyentuh bandana pudar di garis rambutnya.
“Itu versi Wanda,” ujar Ian, tanpa berusaha menyembunyikan keraguannya. “Dan sepertinya dia memegangnya dengan teguh.”
Jeb tertawa. “Biar kuambil benda itu dari tanganmu,” katanya kepadaku.
Dengan senang hati kubiarkan Jeb mengambil senapannya. Ia tertawa melihat ekspresiku.
“Aku akan mengajak Andy dan Brandt membantuku membawa Kyle. Kami akan mengikuti di belakangmu.”
“Awasi Kyle ketika tersadar,” ujar Ian dengan nada keras.
“Pasti.”
Jeb pergi mencari lebih banyak bantuan. Ian bergegas membawaku ke gua rumah sakit.
“Kyle mungkin terluka parah… Jeb harus bergegas.”                                                                                                                       
“Kepala Kyle lebih keras daripada semua batu di tempat ini.”
Terowongan panjang itu terasa lebih panjang daripada biasanya. Apakah Kyle sekarat walaupun aku sudah berusaha menyelamatkannya? Apakah ia kembali tersadar dan mencariku? Bagaimana dengan Walter? Apakah ia sedang tidur… atau sudah pergi? Apakah Pencari sudah menghentikan perburuannya, atau apakah ia akan kembali, karena sekarang hari sudah kembali terang?
Apakah Jared masih bersama Doc? Melanie bertanya. Apakah ia bakal marah ketika melihatmu? Akankah ia mengenaliku?
Ketika kami mencapai gua selatan yang diterangi cahaya matahari, Jared dan Doc tampak seakan-akan belum banyak bergerak. Mereka bersandar, berdampingan, di meja buatan Doc. Keadaan hening ketika kami mendekat. Mereka tidak bicara, hanya mengamati Walter tidur. Mereka terlompat dengan mata terbelalak ketika Ian membopongku ke dalam cahaya dan membaringkanku di dipan di samping Walter. Ia meluruskan kaki kananku dengan hati-hati.
Walter sedang mendengkur. Suara itu mengurangi sebagian keteganganku.
“Ada apa lagi ini?” desak Doc marah. Setelah melontarkan kata-kata itu ia langsung membungkuk di atas tubuhku. Lalu mengusap darah di pipiku.
Wajah Jared terpaku kaget. Ia berhati-hati, tidak membiarkan ekspresinya menunjukkan sesuatu yang lain.
“Kyle,” jawab Ian, pada saat yang sama ketika aku mengucapkan, “Lantainya—“
Doc memandang kami silih berganti, kebingungan.
Ian mendesah dan memutar bola mata. Tanpa sadar ia menyentuh ringan keningku. “Lantainya runtuh di dekat lubang sungai pertama. Kyle jatuh dan kepalanya menghantam batu. Wanda menyelamatkan hidupnya yang tak berguna itu. Menurut Wanda, dia juga terjatuh ketika lantainya runtuh.” Ian memandang Doc penuh arti. “Sesuatu,” diucapkannya kata itu dengan nada menyindir,” menghantam bagian kepala Wanda cukup keras.” Ian mulai menyebutkannya satu per satu. “Hidungnya berdarah, tapi kurasa tidak patah. Ototnya terluka di sini.” Ia menyentuh pahaku yang cedera. “Kedua lututnya tergores cukup parah. Juga wajahnya, sekali lagi, tapi kurasa aku yang melakukannya, ketika mencoba menarik Kyle keluar dari lubang. Seharusnya aku tak perlu repot-repot.” Ian menggumamkan bagian terakhir itu.
“Ada lagi?” Tanya Doc. Jari-jarinya meraba sisi tubuhku, dan mencapai bagian yang dipukul Kyle. Aku menghela napas kesakitan.
Doc menarik kemejaku ke atas, dan kudengar Ian serta Jared mendesis ketika melihatnya.
“Biar kutebak,” ujar Ian dengan suara sedingin es. “Kau terjatuh di atas batu.”
“Tebakan jitu,” kataku mengiyakan, kehabisan napas. Doc masih menyentuh sisi tubuhku, dan aku mencoba menahan erangan.
“Mungkin rusuknya ada yang patah, aku tak yakin,” gumam Doc. “Kuharap aku bisa memberimu sesuatu untuk menghilangkan rasa sakitnya—“
“Jangan khawatir, Doc,” ujarku terengah-engah. “Aku baik-baik saja. Bagaimana Walter? Apakah dia terbangun?”
“Tidak. Perlu beberapa waktu untuk menghilangkan dosisinya,” ujar Doc. Ia meraih tanganku dan mulai menekuk pergelangan tangan dan sikuku.
“Aku baik-baik saja.”
Mata Doc yang baik hati tampak lembut ketika membalas tatapanku. “Kau akan baik-baik saja. Kau hanya perlu beristirahat selama beberapa waktu. Aku akan mengawasimu. Nah, tengokkan kepalamu.”
Aku mematuhi permintaannya, lalu mengernyit ketika Doc meneliti lukaku.
“Jangan di sini,” gumam Ian.
Aku tidak bisa melihat Doc, tapi Jared memandang Ian dengan tajam.
“Mereka akan membawa Kyle ke sini. Aku tidak mau Wanda dan Kyle berada di ruangan yang sama.”
Doc mengangguk. “Mungkin itu bijaksana.”
“Akan kusiapkan tempat untuk Wanda. Aku memerlukanmu untuk mengawasi Kyle di sini sampai… sampai kita putuskan apa yang harus kita lakukan padanya.”
Aku mulai bicara, tapi Ian meletakkan jemarinya di bibirku.
“Baiklah,” ujar Doc setuju. “Aku akan mengikat Kyle, jika kau mau.”
“Jika perlu. Apakah tidak apa-apa memindahkan Wanda?” Ian melirih kea rah terowongan, wajahnya cemas.
Doc bimbang.
“Tidak,” bisikku. Jemari Ian masih menyentuh bibirku. “Walter. Aku ingin berada di sini untuk  Walter.”
“Kau telah menyelamatkan semua kehidupan yang bisa kau selamatkan hari ini, Wanda,” ujar Ian. Suaranya lembut dan sedih.
“Aku ingin mengucapkan… mengucapkan selamat—selamat tinggal.”
Ian mengangguk. Lalu ia memandang Jared. “Bisakah aku memercayaimu?”
Wajah Jared memerah karena amarah. Ian mengangkat tangan. “Aku tak ingin meninggalkan Wanda di sini tanpa perlindungan, sementara aku mencari tempat yang aman untuknya,” ujar Ian.
“Aku tidak tahu apakah Kyle dalam keadaan sadar ketika tiba. Seandainya Jeb menembaknya, itu akan membuat Wanda sedih. Tapi kau dan Doc harus bisa menangani Kyle. Aku tidak ingin Doc sendirian, dan memaksa Jeb melakukannya.”
Jared bicara dengan gigi dikertakkan. “Doc tidak akan sendirian.”
Ian bimbang. “Wanda mengalami hal-hal sangat buruk beberapa hari terakhir. Ingat itu.”
Jared mengangguk, dengan gigi masih dikertakkan.
“Aku akan berada di sini,” ujar Doc mengingatkan Ian.
Ian membalas tatapan Doc. “Oke.” Ia membungkuk di atas tubuhku, mata cemerlangnya menatapku. “Aku akan segera kembali. Jangan takut.”
“Aku tidak takut.”
Ian membungkuk dan menyentuhkan bibirnya di keningku.
Tak seorang pun lebih terkejut daripada aku, walaupun aku mendengar Jared diam-diam menghela napas kaget. Mulutku terbuka ketika Ian bergegas pergi, nyaris berlari, dari ruangan itu.
Kudengar Doc menghela napas melalui sela-sela gigi, seperti siulan terbalik. “Well,” katanya.
Mereka menatapku untuk waku lama. Aku begitu lelah dan sakit sehingga nyaris tak memedulikan apa yang mereka pikirkan.
“Doc—“ Jared mulai mengucapkan sesuatu dengan nada mendesak, tapi keributan di dalam terowongan mengganggunya.
Lima lelaki berjuang melewati lubang pintu. Jeb di depan, memegangi kaki kiri Kyle dengan dua tangan. Wes memegangi kaki kanan Kyle, dan di belakang mereka, Andy dan Aaron berjuang mengangkat dada Kyle. Kepala Kyle terkulai ke belakang di bahu Andy.
“Astaga, berat sekali,” gerutu Jeb.
Jared dan Doc melompat maju untuk membantu. Setelah beberapa menit memaki dan mengerang, Kyle terbaring di dipan beberapa puluh sentimeter dari dipanku.j
“Sudah berapa lama dia tak sadarkan diri, Wanda?” Tanya Doc kepadaku. Ia membuka kelopak mata Kyle, membiarkan cahaya matahari menyinari pupil matanya.
“Um…” aku berpikir cepat. “Sama lamanya dengan keberadaanku disini, ditambah sepuluh menit atau lebih yang diperlukan Ian untuk membawaku kemari, dan mungkin lima menit lagi sebelum itu.”
“Setidaknya dua puluh menit, menurutmu?”
“Ya. Kira-kira selama itu.”
Sementara kami bercakap-cakap, Jeb telah membuat diagnosisnya sendiri. Tak seorang pun memperhatikan ketika Jeb berdiri di ujung atas dipan Kyle. Tak seorang pun memperhatikan—sampai ia menuang sebotol air ke wajah Kyle.
“Jeb,” keluh Doc, seraya menyingkirkan tangan Jeb.
Tapi Kyle terbatuk-batuk dan mengerjap-ngerjapkan mata, lalu mengerang. “Apa yang terjadi? Ke mana makhluk itu pergi?” Ia mulai menggeser tubuhnya, mencoba melihat sekeliling. “Lantainya… bergerak…”
Suara Kyle membuat jemariku mencengkeram sisi dipan, dan kepanikan menyapu wajahku. Kakiku sakit. Bisakah aku pergi dengan terpincang-pincang? Pelan-pelan mungkin…
“Tidak apa-apa,” gumam seseorang. Bukan seseorang. Aku akan selalu mengenali suara itu.
Jared bergerak, berdiri di antara dipanku dan dipan Kyle. Punggungnya menghadapku, matanya terarah pada lelaki bongsor itu. Kyle menggerakkan kepalanya sambal mengerang.
“Kau aman,” ujar Jared pelan. Ia tidak memandangku. “Jangan takut.”                  
Aku menghela napas panjang.
Melanie ingin menyentuh Jared. Tangan lelaki itu berada di dekat tanganku, tergeletak di pinggir dipanku.
Kumohon, jangan, ujarku kepadanya. Wajahku sudah cukup sakit!
Jared tidak akan memukulmu.
Menurutmu. Aku tidak mau mengambil risiko.
Melanie mendesah; ia ingin mendekati Jared. Takkan terlalu berat untuk ditanggungkan, seandainya aku tidak menginginkan hal yang sama.
Melanie kembali mendesah.
“Aw, sialan!” gerutu Kyle. Pandanganku beralih kepadanya, ketika mendengar nada suaranya. Aku hanya bisa melihat mata cemerlangnya, di sekitar siku jared, terpusat padaku. “Makhluk itu tidak terjatuh!” keluhnya.