Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara

Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara
Harga mulai 5rb an. Gratis ongkir DKI Jakarta

The Host - Bab 9

Temuan 

Jamie

Aku menyetir cepat melewati persimpangan. I-10 ketika matahari jatuh di belakangku. Tak banyak yang kulihat, selain garis-garis putih kuning di aspal dan terkadang rambu hijau besar yang mengarahkanku semakin ke timur. Kini aku terburu-buru.

Tapi aku tidak yakin mengapa aku terburu-buru. Kurasa untuk keluar dari semua ini. Keluar dari rasa sakit, keluar dari kesedihan, keluar dari rasa nyeri akibat cinta yang hilang dan tak berpengharapan. Apakah itu berarti keluar dari tubuh ini? Aku tidak bisa memikirkan jawaban lain. Aku masih akan bertanya kepada Penyembuh, tapi rasanya seakan keputusan telah dibuat. Peloncat. Pengecut. Aku menguji kata-kata itu di dalam kepalaku, mencoba berdamai dengan mereka.

Seandainya bisa menemukan caranya, akan kujauhkan Melanie dari tangan Pencari. Akan sangat sulit. Tidak, itu bakal mustahil.
Akan kucoba.

Aku menjanjikan ini kepada Melanie, tapi ia tidak mendengarkan. Ia masih bermimpi. Menyerah, tampaknya, walaupun kini sudah terlambat untuk menyerahkan diri demi menolongku.

Kucoba menyingkir dari ngarai merah di dalam kepala Melanie, tapi aku tetap berada di sana. Tak peduli betapa keras usahaku untuk melihat mobil-mobil yang menderu di sampingku, pesawat-pesawat ulang alik yang meluncur menuju pangkalan, sejumput awan lembut yang melayang di atas kepalaku, aku tidak bisa benar-benar membebaskan diri dari mimpi-mimpi Melanie. Kuingat wajah Jared dari seribu sudut berbeda. Kusaksikan Jamie tumbuh mendadak, selalu berupa tulang berbalut kulit. Sepasang lenganku terasa nyeri, ingin memeluk mereka. Tidak, perasaan itu lebih tajam daripada rasa nyeri, pinggirannya tajam dan menyayat. Tak tertahankan. Aku harus keluar.

Aku menyetir setengah buta di sepanjang jalan bebas hambatan sempit dua lajur. Padang gurun itu tampak lebih monoton dan mati daripada sebelumnya. Lebih membosankan, lebih tidak berwarna. Hari ini aku belum makan, dan perutku bergemuruh ketika menyadari hal ini.

Pencari akan menungguku di sana. Lalu perutku bergolak, sejenak rasa lapar digantikan rasa mual. Otomatis kakiku terangkat dari pedal gas.

Kuperiksa peta di kursi di sampingku. Aku akan segera tiba di tempat perhentian kecil, di tempat bernama Picacho Peak. Mungkin aku akan berhenti untuk menyantap sesuatu di sana. Menunda pertemuan dengan Pencari selama beberapa saat yang berharga.



Ketika aku merenungkan nama yang tak kukenal ini, Picacho Peak, muncul reaksi tertahan aneh dari Melanie. Aku tak bisa memahaminya. Pernahkah ia ke sini? Aku mencari sebuah ingatan, penglihatan, atau semacam bau yang berhubungan, tapi tak bisa menemukan apa-apa. Picacho Peak. Sekali lagi muncul sedikit rasa tertarik yang ditekan Melanie. Apa arti kata-kata itu baginya? Ia mundur ke dalam ingatan-ingatan yang jauh, menghindariku.
Ini membuatku penasaran. Aku menyetir sedikit lebih cepat, bertanya-tanya apakah melihat tempat itu akan memicu timbulnya ingatan lain.

Puncak gunung tunggal--tidak besar berdasarkan standar normal, tapi menjulang di atas perbukitan rendah berbatu-batu yang lebih dekat denganku--mulai tampak bentuknya di cakrawala. Bentuk puncak itu aneh, tidak biasa. Melanie mengamatinya, yang semakin besar ketika kami mendekat, dan berpura-pura mengabaikannya.

Mengapa Melanie berpura-pura tidak peduli, padahal ia jelas tampak peduli? Aku terganggu oleh kekuatannya ketika mencoba mencari tahu. Tidak bisa kutemukan jalan apa pun untuk mengitari dinding kosong tua itu. Terasa lebih tebal daripada biasa, walaupun kukira dinding itu nyaris tiada.

Aku berusaha mengabaikan Melanie, tidak ingin memikirkan bahwa--bahwa ia semakin kuat. Sebagai gantinya kuamati puncak itu, kutelusuri bentuknya yang dilatari langit panas pucat. Ada sesuatu yang kukenal di sana. Sesuatu yang pasti kukenal, walaupun aku yakin tak satu pun dari kami pernah kemari sebelumnya.

Seakan mencoba mengalihkan perhatianku, Melanie menceburkan diri ke dalam ingatan yang sangat jelas mengenai Jared, membuatku terkejut.

Aku menggigil dalam jaketku, menegangkan mata untuk melihat kilau teredam matahari yang tenggelam di balik pepohonan besar berduri. Kukatakan pada diri sendiri bahwa udara tidak sedingin yang kupikirkan. Tubuhku hanya belum terbiasa.

Sepasang tangan yang sekonyong-konyong berada di bahuku tidak mengejutkanku, walaupun aku takut terhadap tempat yang tidak kukenal ini dan tidak mendengar Jared diam-diam mendekatiku. Bobot sepasang tangan itu teramat kukenal.

"Kau mudah dikejutkan."
Bahkan saat ini pun, ada senyuman di wajahnya.
"Sudah kulihat kedatanganmu sebelum kau mengambil langkah pertama," ujarku, tanpa membalikkan tubuh. "Aku punya mata di belakang kepala."
Jemari hangat membelai wajahku dari pelipis sampai dagu, menyeret api sepanjang permukaan kulitku.
"Kau mirip peri hutan yang bersembunyi di pepohonan," bisik Jared di telingaku. "Salah satu dari mereka. Sangat cantik, sehingga mestinya kau hanya khayalan."

"Kalau begitu kita harus menanam lebih banyak pohon di sekeliling kabin."
Jared terbahak, dan suara itu membuat mataku terpejam dan bibirku menyeringai lebar.
"Tak perlu," katanya. "Kau memang selalu kelihatan seperti itu."
"Itu kata lelaki terakhir di Bumi kepada perempuan terakhir di Bumi, di pengujung perpisahan mereka."
Senyumku memudar ketika bicara. Senyum tak bisa bertahan hari ini. Jared mendesah. Napasnya di pipiku cukup hangat jika dibandingkan dinginnya udara hutan.
"Jamie mungkin membenci implikasi perkataanmu itu."
"Jamie masih kanak-kanak. Kumohon, kumohon, jagalah keamanannya."
"Begini saja," tawar Jared. "Kau menjaga agar dirimu tetap aman, dan aku akan berbuat sebaik mungkin. Jika tidak, tak ada kesepakatan."

Itu hanya gurauan, tapi tak bisa kuanggap enteng. Begitu kami berpisah, tak ada jaminan. "Tak peduli apa yang terjadi," ujarku berkeras.
"Tak akan terjadi apa-apa. Jangan khawatir." Kata-kata itu nyaris tak berarti. Usaha yang sia-sia. Tapi suara Jared patut didengarkan, tak peduli apa pesannya.
"Oke."


Ia membalikkan tubuhku agar menghadapnya, dan kusandarkan kepala di dadanya. Aku tak tahu harus membandingkan aroma tubuh Jared dengan apa. Itu aroma miliknya sendiri, sama uniknya dengan bau semak juniper atau hujan padang gurun.

"Kau dan aku tidak akan kehilangan satu sama lain," janjinya. "aku akan selalu menemukanmu kembali." Khas Jared, ia tak bisa benar-benar serius selama lebih dari satu atau dua detak jantung. "Tak peduli betapa  pintarnya kau bersembunyi. Aku ahli dalam permainan petak umpet."
"Apakah kau akan selalu mencariku setelah hitungan kesepuluh?"
"Tanpa mengintip."
"Baiklah," gumamku. Kucoba untuk menyembunyikan kenyataan bahwa tenggorokanku tercekat.
"Jangan takut. Kau akan baik-baik saja. Kau kuat, kau cepat, dan kau pintar." Ia sedang mencoba meyakinkan dirinya juga.
Mengapa aku meninggalkan Jared? Kecil sekali kemungkinan Sharon masih manusia.
Tapi ketika kulihat wajah gadis itu di berita televisi, aku sangat yakin.

Itu hanya penjarahan biasa, salah satu dari ribuan penjarahan. Seperti biasa, jika kami merasa cukup terisolasi, merasa cukup aman, kami menyalakan TV sambil menjarah isi lemari dapur dan kulkas. Hanya untuk mendengarkan ramalan cuaca; tak banyak hiburan dalam laporan serbasempurna dan sangat membosankan yang disebut sebagai berita oleh parasit-parasit itu. Rambut Sharon-lah yang menarik perhatianku--kilau warna merah tua, nyaris merah jambu, yang hanya pernah kujumpai pada diri satu orang.



Masih bisa kulihat tatapan di wajah Sharon ketika mengintip kamera dari sudut mata. Tatapan yang mengatakan, Aku mencoba untuk tidak terlihat; jangan melihatku. Jalannya tak cukup lambat, ia berjuang terlalu keras untuk mempertahankan kesantaian langkahnya. Mencoba mati-matian untuk berbaur.

Tak ada perampas tubuh yang merasa perlu berbuat seperti itu. Sedang apakah Sharon? Berjalan-jalan seperti manusia di kota besar seperti Chicago? Adakah manusia lainnya? Mencoba mencari Sharon bahkan tidak tampak sebagai pilihan. Sungguh. jika kemungkinan ada lebih banyak manusia di luar sana, kami harus mencari mereka.

Dan aku harus pergi sendirian. Sharon akan lari dari semua orang lain, kecuali dariku. Well, ia akan lari dariku juga, tapi mungkin akan berhenti cukup lama agar aku bisa menjelaskan. Aku yakin aku tahu tempat rahasianya.

"Dan kau?" tanyaku kepada Jared dengan suara parau. Aku tak yakin apakah secara fisik aku bisa menanggungkan perpisahan yang sangat membayangi kami ini. "Akankah kau aman?"
"Surga maupun neraka takkan bisa memisahkanku darimu, Melanie."

Tanpa memberiku kesempatan untuk menghela napas atau mengusap air mata yang baru saja keluar, Melanie melemparkan ingatan lain kepadaku.

Jamie meringkuk di bawah lenganku, walaupun tidak pas seperti dulu. Ia harus melipat tubuhnya. Tungkai-tungkai panjang kurusnya menyembul keluar, membentuk sudut-sudut tajam. Lengannya mulai berubah liat dan berotot, tapi saat ini ia masih kanak-kanak, gemetar, nyaris ketakutan. Jared sedang memasukkan barang-barang ke dalam mobil. Jamie takkan menunjukkan rasa takut jika Jared di sini, Jamie ingin menjadi pemberani, ingin menjadi seperti Jared.

"Aku takut," bisiknya.
Kucium rambut Jamie yang segelap malam. Bahkan di sini, di antara pepohonan berbau damar tajam, bau rambutnya seperti debu dan matahari. Rasanya seakan Jamie adalah bagian dari diriku. Dan untuk memisahkan kami, seseorang harus merobek kulit yang menyatukan kami.
"Kau akan baik-baik saja bersama Jared." Aku harus terdengar berani, tak peduli aku merasa seperti itu atau tidak.
"Aku tahu itu. Aku mengkhawatirkanmu. Aku takut kau tidak akan kembali. Seperti Dad."

Aku tersentak. Ketika Dad tidak kembali, walaupun tubuhnya akhirnya mencoba menuntun para Pencari kepada kami, aku dilanda perasaan paling mengerikan, menakutkan, dan menyakitkan yang pernah kurasakan. Bagaimana jika aku melakukan hal yang sama lagi terhadap Jamie?

"Aku akan kembali. Aku selalu kembali."
"Aku tahu," ujarnya lagi.
Aku harus berani
"Aku janji, semua akan baik-baik saja. Aku janji, aku akan kembali. Kau tahu aku takkan mengingkari janji, Jamie. Apalagi janjiku kepadamu."
Guncangan tubuhnya mereda. Ia percaya. Ia memercayaiku.

Dan satu ingatan lagi:

Aku bisa mendengar mereka di lantai di bawahku. Mereka akan menemukanku dalam hitungan menit, atau detik. Kugoreskan kata-kata di atas robekan kertas koran kotor. Nyaris tak terbaca. Tapi jika Jared menemukannya, ia akan mengerti:
Tidak cukup cepat. Aku mencintaimu dan mencintai Jamie. Jangan pulang.

Bukan hanya menghancurkan hati mereka, tapi aku juga mencuri tempat pengungsian mereka. Kubayangkan rumah ngarai mungil kami ditinggalkan, kini untuk selamanya. Atau, jika tidak ditinggalkan, telah menjadi kuburan. Kulihat tubuhku menuntun para Pencari ke sana. Wajahku tersenyum ketika kami menangkap mereka di sana.

"Cukup," ujarku keras-keras, seraya menjauhkan diri dari lecutan rasa nyeri itu. "Cukup! Kau sudah menjelaskan maksudmu! Kini aku juga tak bisa hidup tanpa mereka. Apakah itu membuatmu senang? Itu tidak memberiku banyak pilihan, bukan? Hanya satu--menyingkirkanmu. Kau ingin Pencari berada di dalam tubuhmu? Ugh!" Aku ciut membayangkannya, seakan akulah yang akan menampung Pencari.

Ada pilihan lain, kata Melanie lembut.

"Benarkah?" desakku, dengan nada mengejek. "Tunjukkan."
Lihat dan amati.
Aku masih menatap puncak gunung. Puncak itu mendominasi pemandangan. Tonjolan mendadak batu karang, dikelilingi tanah datar bersemak-semak. Perhatian Melanie menarik mataku pada siluetnya, lalu menelusuri puncak bercabang dua yang tidak rata itu.

Lengkungan melandai kasar, lalu belokan tajam ke utara, belokan tajam lagi ke arah berlawanan, berputar lagi ke utara dan agak memanjang, lalu mendadak turun ke selatan, dan mendatar membentuk lengkungan melandai lain.
Bukan ke utara dan selatan seperti garis-garis yang selalu kulihat dalam potongan - potongan ingatan Melanie, melainkan ke atas dan ke bawah.

Profil puncak gunung.
 
Melanie memberiku jawabannya.

"Itu hanya garis - garis. Dan Uncle Jeb hanya lelaki tua gila. Tidak waras, sama seperti semua keluarga ayahku." aku mencoba merebut buku itu dari tangan Jared, tapi tampaknya ia nyaris tidak memperhatikan usahaku.
"Tidak waras, seperti ibu Sharon?" tanyanya, masih mengamati goresan-goresan gelap pencil yang mengotori sampul belakang album foto tua itu--satu-satunya benda yang belum hilang dalam semua pelarianku. Bahkan coret-coret yang ditinggalkan Uncle Jeb di sana saat kunjungan terakhirnya pun kini memiliki nilai sentimental.

"Tepat sekali." Seandainya Sharon masih hidup, itu pasti karena ibunya, Aunt Maggie yang sinting berhasil menyaingi Uncle Jeb dalam meraih julukan Yang Tergila dari si Gila Stryder Bersaudara. Ayahku hanya mendapat sedikit sentuhan kegilaan Stryder--ia tidak punya bunker rahasia di pekarangan belakang atau semacamnya. Semua saudara ayahku, baik perempuan maupun laki-laki, Aunt Maggie, Uncle Jeb, dan Uncle Guy, adalah penganut paling setia teori konspirasi. Uncle Guy sudah meninggal, sebelum yang lain menghilang selama penyerbuan mahluk-mahluk asing itu. Ia meninggal dalam kecelakaan mobil yang sangat biasa, sehingga Maggie dan Jeb berjuang menciptakan intrik untuk peristiwa itu.
Ayahku selalu menyebut mereka dengan penuh kasih sebagai Orang-Orang Sinting. "Kurasa sudah saatnya kita mengunjungki Orang-Orang Sinting." Dad mengumumkan. Lalu Mom akan menggerutu--dan itulah sebabnya pengumuman semacam itu jarang sekali terjadi.

Dalam salah satu kunjungan langka kami ke Chicago, Sharon menyelundupkanku ke dalam lubang persembunyian ibunya. Kami ketahuan--Aunt Maggie memasang ranjau di mana-mana. Sharon di marahi habis-habisan dan, walaupun aku sudah disumpah untuk merahasiakannya, kurasa Aunt Maggie akan membangun tempat perlindungan baru.

Tapi aku ingat dimana tempat persembunyian pertama itu. Kubayangkan Sharon kini berada di sana, menjalani kehidupan seperti Anne Frank di tengah kota musuh. Kami harus menemukan dan membawanya pulang.

Jared menyela lamunanku. "Tidak waras adalah jenis orang yang bakal bertahan hidup. Orang yang melihat Big Brother ketika ia tak di sana. Orang yang mencurigai seluruh umat manusia, sebelum mereka berubah membahayakan. Orang yang siap dengan tempat persembunyian." Jared nyengir, masih sambil mempelajari garis-garis itu. Lalu suaranya agak parau. "Orang seperti ayahku. Seandainya dia dan semua saudara laki-lakiku memilih bersembunyi dan tidak melawan... Well, mereka akan masih berada di sini."

Nada suaraku melembut mendengar rasa pedih dalam suara Jared.
"Oke, aku setuju dengan teori itu. Tapi garis - garis ini tak ada artinya."
"Ulangi lagi apa kata Uncle Jeb ketika menggambar garis-garis ini."


Aku mendesah. "Mereka sedang berselisih--Uncle Jeb dan ayahku. Uncle Jeb mencoba meyakinkan ayahku ada yang tidak beres. Dia mengatakan kepada ayahku untuk tidak memercayai siapa pun. Dad menertawakannya. Jeb meraih album foto ini dari meja dan mulai... bisa dibilang dia mengukirkan garis - garis itu di sampul belakangnya dengan pensil. Dad marah, mengatakan Mom bakal marah. Kata Jeb, 'ibu Linda meminta kalian semua datang berkunjung, bukan? Agak aneh, tanpa disangka-sangka? Dan dia sedikit marah ketika hanya Linda yang bisa datang? Sejujurnya Trev,kurasa Linda tidak akan terlalu keberatan ketika dia kembali. Oh, mungkin dia akan berpura-pura keberatan, tapi kau akan bisa mengetahui perbedaannya.' Saat itu perkataan Uncle Jeb tak masuk akal, tapi benar-benar membuat ayahku marah dan mengusirnya. Awalnya Jeb tak mau pergi. Dia terus-menerus mengingatkan kami untuk tidak menunggu sampai semuanya terlambat. Dia meraih bahuku dan menarikku ke sisinya. 'Jangan biarkan mereka menangkapmu, Sayang,' bisiknya. 'Ikuti garis-garis itu. Mulailah dari awal dan ikuti garis-garis itu. Uncle Jeb akan menyediakan tempat aman untukmu.' Saat itulah Dad mendorongnya keluar dari pintu."

Jared mengangguk-angguk tanpa sadar. Ia masih mempelajari garis-garis itu. "Awal...awal... seharusnya itu ada artinya."
"Benarkah? Itu hanya coret - coret, Jared. Tidak seperti peta--garis - garis itu bahkan tidak berhubungan."
"Tapi ada sesuatu mengenai garis pertama. Sesuatu yang kukenal. Aku bersumpah pernah melihatnya di suatu tempat."
Aku mendesah. "Mungkin Uncle Jeb menceritakannya kepada Aunt maggie. Mungkin Aunt Maggie punya petunjuk-petunjuk lebih baik."
"Mungkin," ujar Jared. Dan ia terus memandangi corat-coret Uncle Jeb.

Melanie menarikku kembali ke masa lalu, ke dalam ingatan yang jauh, jauh lebih lama--ingatan yang telah lama dilupakannya. Aku terkejut menyadari ingatan-ingatan ini, yang baru maupun lama, yang baru digabungkan olehnya setelah aku berada di sini. Itulah sebabnya garis-garis itu lolos dari pengontrolan ketatnya, walaupun sesungguhnya merupakan salah satu rahasia paling berharga--karena begitu pentingnya penemuan ini.

Dalam ingatan awal yang kabur ini, Melanie duduk di pangkuan ayahnya. Album yang sama--saat itu belum begitu compang-camping--terbuka di tangannya. Tangan Melanie mungil, jari-jarinya pendek gemuk. Aneh sekali mengingat tubuh ini ketika masih kecil.
Mereka sedang melihat halaman pertama.

"Kau ingat di mana ini?" tanya Dad, menunjuk foto abu-abu tua di bagian atas. Kertasnya lebih tipis daripada foto-foto lain, seakan telah aus--semakin pipih dan pipih dan pipih--semenjak kakek buyut mengambil foto itu.
"Di sinilah asal kita, keluarga Stryder." jawabku, mengulangi apa yang sudah diajarkan kepadaku.
"Benar. Itu peternakan tua Stryder. Kau pernah ke sana, tapi kujamin kau tidak ingat. Kurasa usiamu baru delapan belas bulan saat itu." Dad tertawa. "Sudah menjadi tanah Stryder sejak awal sekali..."

Lalu muncul ingatan mengenai foto itu sendiri. Gambar yang sudah dilihat Melanie ribuan kali, tanpa benar-benar melihatnya. Fotonya hitam-putih, dan telah memudar jadi abu-abu. Sebuah rumah ayu pedesaan kecil, jauh di sisi lain ladang padang gurun. Di latar depan tampak pagar kandang, dengan beberapa siluet kuda di antara pagar dan rumah. Lalu, di belakang semua itu, profil tajam yang tak asing lagi...

Serangkaian kata, sebuah catatan, digoreskan dengan pensil pada pinggiran putih di bagian atas foto:
Peternakan Stryder, 1904, dalam bayangan pagi...
"Picacho Peak," kataku pelan.

Jared juga akan menemukan jawaban itu, kalaupun mereka tak pernah menemukan Sharon. Aku tahu Jared akan menyatukan semua kepingan teka-teki itu. Ia lebih pintar dariku, dan ia punya fotonya; mungkin ia sudah melihat jawabannya, sebelum aku melihatnya. Mungkin ia berada sangat dekat...

Pikiran itu begitu memenuhi benak melanie dengan kerinduan dan kegembiraan, sehingga dinding kosong di kepalaku lenyap seluruhnya.

Kini aku melihat seluruh perjalanan itu, melihat perjalanan hati-hati Melanie, Jared, dan Jamie melintasi negara-negara bagian, selalu di malam hari, dengan kendaraan curian yang tidak mencolok. Makan waktu berminggu-minggu. Kulihat di mana Melanie meninggalkan mereka, di hutan cagar alam di luar kota, yang sangat berbeda dengan padang gurun kosong yang biasa mereka huni. Dalam beberapa hal hutan dingin tempat Jared dan Jamie bersembunyi dan menunggu itu terasa lebih aman. Dahan-dahan pepohonannya besar dan menutupi, tidak seperti tanaman kurus panjang di padang gurun yang hanya bisa sedikit menutupi. Tapi hutan itu juga lebih berbahaya, dengan bau-bau dan suara-suara asingnya.

Lalu perpisahan itu, ingatan yang begitu menyakitkan sehingga kami tersentak dan melewatkannya. Berikutnya muncul banguna terlantar tempat Melanie bersembunyi sambil mengamati rumah di seberang jalan, mencari peluang. Di sana, tersembunyi di balik dinding-dinding atau di dalam ruang bawah tanah rahasia, ia berharap bisa menemukan Sharon.

Seharusnya tak kubiarkan kau melihatnya, ujar Melanie. Suara pelan samar-samar itu mengungkapkan kelelahan. Serangan ingatan-ingatan ini, dan bujukan serta pemaksaan yang ia lakukan, telah melelahkannya. Kau akan menceritakan tempat persembunyian Sharon kepada mereka. Kau juga akan membunuhnya.
"Ya," jawabku keras-keras. "Aku harus melaksanakan tugasku."
Mengapa? Melanie bergumam, nyaris mengantuk. Kebahagiaan macam apa yang akan kaudapatkan?

Aku tak ingin berbantahan dengannya, jadi aku diam saja.
Gunung itu menjulang semakin tinggi di depan kami. Sebentar lagi kami akan berada di bawahnya. Aku bisa melihat tempat perhentian kecil dengan toko sederhana dan restoran cepat saji yang salah satu sisinya dibatasi lapangan beton--tempat parkir rumah-rumah mobil. Sekarang hanya beberapa yang dihuni, panas menjelang musim panas membuat segalanya terasa tidak nyaman.

Sekarang bagaimana? pikirku bertanya-tanya. Berhenti untuk makan siang larut atau makan malam kepagian? Memenuhi tangki bensin, lalu meneruskan perjalanan ke Tucson untuk mengungkapkan penemuan-penemuan baruku kepada Pencari?

Pikiran itu begitu memuakkan, sehingga rahanku terkatup menahan perut kosongku yang tiba-tiba bergolak. Refleks kuinjak rem. Mobil berdecit, lalu berhenti di tengah jalur. Aku beruntung; tak ada mobil yang menabrakku dari belakang. Juga tak ada pengemudi yang berhenti dan menawarkan pertolongan. Saat ini jalan raya kosong. Matahari menyinari trotoar, membuatnya berkilau, lalu menghilang di beberapa bagian.


Seharusnya gagasan untuk terus ke kanan dan melanjutkan perjalanan awalku takkan terasa seperti pengkhianatan. Bahasa pertamaku, bahasa asli jiwa yang hanya diucapkan di planet asal kami, tidak memiliki kata untuk pengkhianatan ata pengkhianat. Atau bahkan kesetiaan--karena, tanpa keberadaan lawan katanya, konsep itu tidak memiliki makna.

Namun aku merasa sangat bersalah ketika memikirkan Pencari. Rasanya eliru menceritakan apa yang kuketahui kepadanya. Bagaimana mungkin keliru? Kutentang pikiranku sendiri mati-matian. Jika aku berhenti di sini dan mendengarkan saran-saran menggairahkan inangku, aku benar-benar akan menjadi pengkhianat. Itu mustahil Aku adalah sesosok jiwa.

Namun aku tahu apa yang kuinginkan lebih kuat dan nyata daripada segala yang pernah kuinginkan dalam delapan kehidupan yang pernah kujalani. Gambaran wajah Jared menari-nari di balik kelopak mataku ketika aku mengedipkan mata karena silaunya matahari. Kali ini gambaran itu bukanlah ingatan Melanie, melainkan ingatanku akan ingatan Melanie. Kini gadis ini tidak memaksakan apa-apa kepadaku, Nyaris bisa kurasakan kehadirannya di dalam kepalaku ketika ia menunggu--kubayangkan ia menahan napas, seakan itu memungkinkan--agar aku mengambil keputusan.

Aku tak bisa memisahkan diriku dari hasrat tubuh ini. Itu aku, melebihi segala yang pernah kuinginkan. Apakah aku yang menginginkannya, atau tubuh ini? Apakah perbedaan itu ada artinya sekarang?

Di kaca spion kilau matahari yang memantul dari mobil di kejauhan tetangkap mataku.
Kupindahkan kakiku ke pedal gas, lalu perlahan-lahan menuju toko kecil di dalam bayangan puncak. Sesungguhnya hanya satu hal yang harus dilakukan.

---

0 comments:

Post a Comment

Jual Nugget dan Sosis Sayur

Jual Nugget dan Sosis Sayur
Pemesanan via email : lwati111@gmail.com

The Host - Bab 9

Temuan 

Jamie

Aku menyetir cepat melewati persimpangan. I-10 ketika matahari jatuh di belakangku. Tak banyak yang kulihat, selain garis-garis putih kuning di aspal dan terkadang rambu hijau besar yang mengarahkanku semakin ke timur. Kini aku terburu-buru.

Tapi aku tidak yakin mengapa aku terburu-buru. Kurasa untuk keluar dari semua ini. Keluar dari rasa sakit, keluar dari kesedihan, keluar dari rasa nyeri akibat cinta yang hilang dan tak berpengharapan. Apakah itu berarti keluar dari tubuh ini? Aku tidak bisa memikirkan jawaban lain. Aku masih akan bertanya kepada Penyembuh, tapi rasanya seakan keputusan telah dibuat. Peloncat. Pengecut. Aku menguji kata-kata itu di dalam kepalaku, mencoba berdamai dengan mereka.

Seandainya bisa menemukan caranya, akan kujauhkan Melanie dari tangan Pencari. Akan sangat sulit. Tidak, itu bakal mustahil.
Akan kucoba.

Aku menjanjikan ini kepada Melanie, tapi ia tidak mendengarkan. Ia masih bermimpi. Menyerah, tampaknya, walaupun kini sudah terlambat untuk menyerahkan diri demi menolongku.

Kucoba menyingkir dari ngarai merah di dalam kepala Melanie, tapi aku tetap berada di sana. Tak peduli betapa keras usahaku untuk melihat mobil-mobil yang menderu di sampingku, pesawat-pesawat ulang alik yang meluncur menuju pangkalan, sejumput awan lembut yang melayang di atas kepalaku, aku tidak bisa benar-benar membebaskan diri dari mimpi-mimpi Melanie. Kuingat wajah Jared dari seribu sudut berbeda. Kusaksikan Jamie tumbuh mendadak, selalu berupa tulang berbalut kulit. Sepasang lenganku terasa nyeri, ingin memeluk mereka. Tidak, perasaan itu lebih tajam daripada rasa nyeri, pinggirannya tajam dan menyayat. Tak tertahankan. Aku harus keluar.

Aku menyetir setengah buta di sepanjang jalan bebas hambatan sempit dua lajur. Padang gurun itu tampak lebih monoton dan mati daripada sebelumnya. Lebih membosankan, lebih tidak berwarna. Hari ini aku belum makan, dan perutku bergemuruh ketika menyadari hal ini.

Pencari akan menungguku di sana. Lalu perutku bergolak, sejenak rasa lapar digantikan rasa mual. Otomatis kakiku terangkat dari pedal gas.

Kuperiksa peta di kursi di sampingku. Aku akan segera tiba di tempat perhentian kecil, di tempat bernama Picacho Peak. Mungkin aku akan berhenti untuk menyantap sesuatu di sana. Menunda pertemuan dengan Pencari selama beberapa saat yang berharga.



Ketika aku merenungkan nama yang tak kukenal ini, Picacho Peak, muncul reaksi tertahan aneh dari Melanie. Aku tak bisa memahaminya. Pernahkah ia ke sini? Aku mencari sebuah ingatan, penglihatan, atau semacam bau yang berhubungan, tapi tak bisa menemukan apa-apa. Picacho Peak. Sekali lagi muncul sedikit rasa tertarik yang ditekan Melanie. Apa arti kata-kata itu baginya? Ia mundur ke dalam ingatan-ingatan yang jauh, menghindariku.
Ini membuatku penasaran. Aku menyetir sedikit lebih cepat, bertanya-tanya apakah melihat tempat itu akan memicu timbulnya ingatan lain.

Puncak gunung tunggal--tidak besar berdasarkan standar normal, tapi menjulang di atas perbukitan rendah berbatu-batu yang lebih dekat denganku--mulai tampak bentuknya di cakrawala. Bentuk puncak itu aneh, tidak biasa. Melanie mengamatinya, yang semakin besar ketika kami mendekat, dan berpura-pura mengabaikannya.

Mengapa Melanie berpura-pura tidak peduli, padahal ia jelas tampak peduli? Aku terganggu oleh kekuatannya ketika mencoba mencari tahu. Tidak bisa kutemukan jalan apa pun untuk mengitari dinding kosong tua itu. Terasa lebih tebal daripada biasa, walaupun kukira dinding itu nyaris tiada.

Aku berusaha mengabaikan Melanie, tidak ingin memikirkan bahwa--bahwa ia semakin kuat. Sebagai gantinya kuamati puncak itu, kutelusuri bentuknya yang dilatari langit panas pucat. Ada sesuatu yang kukenal di sana. Sesuatu yang pasti kukenal, walaupun aku yakin tak satu pun dari kami pernah kemari sebelumnya.

Seakan mencoba mengalihkan perhatianku, Melanie menceburkan diri ke dalam ingatan yang sangat jelas mengenai Jared, membuatku terkejut.

Aku menggigil dalam jaketku, menegangkan mata untuk melihat kilau teredam matahari yang tenggelam di balik pepohonan besar berduri. Kukatakan pada diri sendiri bahwa udara tidak sedingin yang kupikirkan. Tubuhku hanya belum terbiasa.

Sepasang tangan yang sekonyong-konyong berada di bahuku tidak mengejutkanku, walaupun aku takut terhadap tempat yang tidak kukenal ini dan tidak mendengar Jared diam-diam mendekatiku. Bobot sepasang tangan itu teramat kukenal.

"Kau mudah dikejutkan."
Bahkan saat ini pun, ada senyuman di wajahnya.
"Sudah kulihat kedatanganmu sebelum kau mengambil langkah pertama," ujarku, tanpa membalikkan tubuh. "Aku punya mata di belakang kepala."
Jemari hangat membelai wajahku dari pelipis sampai dagu, menyeret api sepanjang permukaan kulitku.
"Kau mirip peri hutan yang bersembunyi di pepohonan," bisik Jared di telingaku. "Salah satu dari mereka. Sangat cantik, sehingga mestinya kau hanya khayalan."

"Kalau begitu kita harus menanam lebih banyak pohon di sekeliling kabin."
Jared terbahak, dan suara itu membuat mataku terpejam dan bibirku menyeringai lebar.
"Tak perlu," katanya. "Kau memang selalu kelihatan seperti itu."
"Itu kata lelaki terakhir di Bumi kepada perempuan terakhir di Bumi, di pengujung perpisahan mereka."
Senyumku memudar ketika bicara. Senyum tak bisa bertahan hari ini. Jared mendesah. Napasnya di pipiku cukup hangat jika dibandingkan dinginnya udara hutan.
"Jamie mungkin membenci implikasi perkataanmu itu."
"Jamie masih kanak-kanak. Kumohon, kumohon, jagalah keamanannya."
"Begini saja," tawar Jared. "Kau menjaga agar dirimu tetap aman, dan aku akan berbuat sebaik mungkin. Jika tidak, tak ada kesepakatan."

Itu hanya gurauan, tapi tak bisa kuanggap enteng. Begitu kami berpisah, tak ada jaminan. "Tak peduli apa yang terjadi," ujarku berkeras.
"Tak akan terjadi apa-apa. Jangan khawatir." Kata-kata itu nyaris tak berarti. Usaha yang sia-sia. Tapi suara Jared patut didengarkan, tak peduli apa pesannya.
"Oke."


Ia membalikkan tubuhku agar menghadapnya, dan kusandarkan kepala di dadanya. Aku tak tahu harus membandingkan aroma tubuh Jared dengan apa. Itu aroma miliknya sendiri, sama uniknya dengan bau semak juniper atau hujan padang gurun.

"Kau dan aku tidak akan kehilangan satu sama lain," janjinya. "aku akan selalu menemukanmu kembali." Khas Jared, ia tak bisa benar-benar serius selama lebih dari satu atau dua detak jantung. "Tak peduli betapa  pintarnya kau bersembunyi. Aku ahli dalam permainan petak umpet."
"Apakah kau akan selalu mencariku setelah hitungan kesepuluh?"
"Tanpa mengintip."
"Baiklah," gumamku. Kucoba untuk menyembunyikan kenyataan bahwa tenggorokanku tercekat.
"Jangan takut. Kau akan baik-baik saja. Kau kuat, kau cepat, dan kau pintar." Ia sedang mencoba meyakinkan dirinya juga.
Mengapa aku meninggalkan Jared? Kecil sekali kemungkinan Sharon masih manusia.
Tapi ketika kulihat wajah gadis itu di berita televisi, aku sangat yakin.

Itu hanya penjarahan biasa, salah satu dari ribuan penjarahan. Seperti biasa, jika kami merasa cukup terisolasi, merasa cukup aman, kami menyalakan TV sambil menjarah isi lemari dapur dan kulkas. Hanya untuk mendengarkan ramalan cuaca; tak banyak hiburan dalam laporan serbasempurna dan sangat membosankan yang disebut sebagai berita oleh parasit-parasit itu. Rambut Sharon-lah yang menarik perhatianku--kilau warna merah tua, nyaris merah jambu, yang hanya pernah kujumpai pada diri satu orang.



Masih bisa kulihat tatapan di wajah Sharon ketika mengintip kamera dari sudut mata. Tatapan yang mengatakan, Aku mencoba untuk tidak terlihat; jangan melihatku. Jalannya tak cukup lambat, ia berjuang terlalu keras untuk mempertahankan kesantaian langkahnya. Mencoba mati-matian untuk berbaur.

Tak ada perampas tubuh yang merasa perlu berbuat seperti itu. Sedang apakah Sharon? Berjalan-jalan seperti manusia di kota besar seperti Chicago? Adakah manusia lainnya? Mencoba mencari Sharon bahkan tidak tampak sebagai pilihan. Sungguh. jika kemungkinan ada lebih banyak manusia di luar sana, kami harus mencari mereka.

Dan aku harus pergi sendirian. Sharon akan lari dari semua orang lain, kecuali dariku. Well, ia akan lari dariku juga, tapi mungkin akan berhenti cukup lama agar aku bisa menjelaskan. Aku yakin aku tahu tempat rahasianya.

"Dan kau?" tanyaku kepada Jared dengan suara parau. Aku tak yakin apakah secara fisik aku bisa menanggungkan perpisahan yang sangat membayangi kami ini. "Akankah kau aman?"
"Surga maupun neraka takkan bisa memisahkanku darimu, Melanie."

Tanpa memberiku kesempatan untuk menghela napas atau mengusap air mata yang baru saja keluar, Melanie melemparkan ingatan lain kepadaku.

Jamie meringkuk di bawah lenganku, walaupun tidak pas seperti dulu. Ia harus melipat tubuhnya. Tungkai-tungkai panjang kurusnya menyembul keluar, membentuk sudut-sudut tajam. Lengannya mulai berubah liat dan berotot, tapi saat ini ia masih kanak-kanak, gemetar, nyaris ketakutan. Jared sedang memasukkan barang-barang ke dalam mobil. Jamie takkan menunjukkan rasa takut jika Jared di sini, Jamie ingin menjadi pemberani, ingin menjadi seperti Jared.

"Aku takut," bisiknya.
Kucium rambut Jamie yang segelap malam. Bahkan di sini, di antara pepohonan berbau damar tajam, bau rambutnya seperti debu dan matahari. Rasanya seakan Jamie adalah bagian dari diriku. Dan untuk memisahkan kami, seseorang harus merobek kulit yang menyatukan kami.
"Kau akan baik-baik saja bersama Jared." Aku harus terdengar berani, tak peduli aku merasa seperti itu atau tidak.
"Aku tahu itu. Aku mengkhawatirkanmu. Aku takut kau tidak akan kembali. Seperti Dad."

Aku tersentak. Ketika Dad tidak kembali, walaupun tubuhnya akhirnya mencoba menuntun para Pencari kepada kami, aku dilanda perasaan paling mengerikan, menakutkan, dan menyakitkan yang pernah kurasakan. Bagaimana jika aku melakukan hal yang sama lagi terhadap Jamie?

"Aku akan kembali. Aku selalu kembali."
"Aku tahu," ujarnya lagi.
Aku harus berani
"Aku janji, semua akan baik-baik saja. Aku janji, aku akan kembali. Kau tahu aku takkan mengingkari janji, Jamie. Apalagi janjiku kepadamu."
Guncangan tubuhnya mereda. Ia percaya. Ia memercayaiku.

Dan satu ingatan lagi:

Aku bisa mendengar mereka di lantai di bawahku. Mereka akan menemukanku dalam hitungan menit, atau detik. Kugoreskan kata-kata di atas robekan kertas koran kotor. Nyaris tak terbaca. Tapi jika Jared menemukannya, ia akan mengerti:
Tidak cukup cepat. Aku mencintaimu dan mencintai Jamie. Jangan pulang.

Bukan hanya menghancurkan hati mereka, tapi aku juga mencuri tempat pengungsian mereka. Kubayangkan rumah ngarai mungil kami ditinggalkan, kini untuk selamanya. Atau, jika tidak ditinggalkan, telah menjadi kuburan. Kulihat tubuhku menuntun para Pencari ke sana. Wajahku tersenyum ketika kami menangkap mereka di sana.

"Cukup," ujarku keras-keras, seraya menjauhkan diri dari lecutan rasa nyeri itu. "Cukup! Kau sudah menjelaskan maksudmu! Kini aku juga tak bisa hidup tanpa mereka. Apakah itu membuatmu senang? Itu tidak memberiku banyak pilihan, bukan? Hanya satu--menyingkirkanmu. Kau ingin Pencari berada di dalam tubuhmu? Ugh!" Aku ciut membayangkannya, seakan akulah yang akan menampung Pencari.

Ada pilihan lain, kata Melanie lembut.

"Benarkah?" desakku, dengan nada mengejek. "Tunjukkan."
Lihat dan amati.
Aku masih menatap puncak gunung. Puncak itu mendominasi pemandangan. Tonjolan mendadak batu karang, dikelilingi tanah datar bersemak-semak. Perhatian Melanie menarik mataku pada siluetnya, lalu menelusuri puncak bercabang dua yang tidak rata itu.

Lengkungan melandai kasar, lalu belokan tajam ke utara, belokan tajam lagi ke arah berlawanan, berputar lagi ke utara dan agak memanjang, lalu mendadak turun ke selatan, dan mendatar membentuk lengkungan melandai lain.
Bukan ke utara dan selatan seperti garis-garis yang selalu kulihat dalam potongan - potongan ingatan Melanie, melainkan ke atas dan ke bawah.

Profil puncak gunung.
 
Melanie memberiku jawabannya.

"Itu hanya garis - garis. Dan Uncle Jeb hanya lelaki tua gila. Tidak waras, sama seperti semua keluarga ayahku." aku mencoba merebut buku itu dari tangan Jared, tapi tampaknya ia nyaris tidak memperhatikan usahaku.
"Tidak waras, seperti ibu Sharon?" tanyanya, masih mengamati goresan-goresan gelap pencil yang mengotori sampul belakang album foto tua itu--satu-satunya benda yang belum hilang dalam semua pelarianku. Bahkan coret-coret yang ditinggalkan Uncle Jeb di sana saat kunjungan terakhirnya pun kini memiliki nilai sentimental.

"Tepat sekali." Seandainya Sharon masih hidup, itu pasti karena ibunya, Aunt Maggie yang sinting berhasil menyaingi Uncle Jeb dalam meraih julukan Yang Tergila dari si Gila Stryder Bersaudara. Ayahku hanya mendapat sedikit sentuhan kegilaan Stryder--ia tidak punya bunker rahasia di pekarangan belakang atau semacamnya. Semua saudara ayahku, baik perempuan maupun laki-laki, Aunt Maggie, Uncle Jeb, dan Uncle Guy, adalah penganut paling setia teori konspirasi. Uncle Guy sudah meninggal, sebelum yang lain menghilang selama penyerbuan mahluk-mahluk asing itu. Ia meninggal dalam kecelakaan mobil yang sangat biasa, sehingga Maggie dan Jeb berjuang menciptakan intrik untuk peristiwa itu.
Ayahku selalu menyebut mereka dengan penuh kasih sebagai Orang-Orang Sinting. "Kurasa sudah saatnya kita mengunjungki Orang-Orang Sinting." Dad mengumumkan. Lalu Mom akan menggerutu--dan itulah sebabnya pengumuman semacam itu jarang sekali terjadi.

Dalam salah satu kunjungan langka kami ke Chicago, Sharon menyelundupkanku ke dalam lubang persembunyian ibunya. Kami ketahuan--Aunt Maggie memasang ranjau di mana-mana. Sharon di marahi habis-habisan dan, walaupun aku sudah disumpah untuk merahasiakannya, kurasa Aunt Maggie akan membangun tempat perlindungan baru.

Tapi aku ingat dimana tempat persembunyian pertama itu. Kubayangkan Sharon kini berada di sana, menjalani kehidupan seperti Anne Frank di tengah kota musuh. Kami harus menemukan dan membawanya pulang.

Jared menyela lamunanku. "Tidak waras adalah jenis orang yang bakal bertahan hidup. Orang yang melihat Big Brother ketika ia tak di sana. Orang yang mencurigai seluruh umat manusia, sebelum mereka berubah membahayakan. Orang yang siap dengan tempat persembunyian." Jared nyengir, masih sambil mempelajari garis-garis itu. Lalu suaranya agak parau. "Orang seperti ayahku. Seandainya dia dan semua saudara laki-lakiku memilih bersembunyi dan tidak melawan... Well, mereka akan masih berada di sini."

Nada suaraku melembut mendengar rasa pedih dalam suara Jared.
"Oke, aku setuju dengan teori itu. Tapi garis - garis ini tak ada artinya."
"Ulangi lagi apa kata Uncle Jeb ketika menggambar garis-garis ini."


Aku mendesah. "Mereka sedang berselisih--Uncle Jeb dan ayahku. Uncle Jeb mencoba meyakinkan ayahku ada yang tidak beres. Dia mengatakan kepada ayahku untuk tidak memercayai siapa pun. Dad menertawakannya. Jeb meraih album foto ini dari meja dan mulai... bisa dibilang dia mengukirkan garis - garis itu di sampul belakangnya dengan pensil. Dad marah, mengatakan Mom bakal marah. Kata Jeb, 'ibu Linda meminta kalian semua datang berkunjung, bukan? Agak aneh, tanpa disangka-sangka? Dan dia sedikit marah ketika hanya Linda yang bisa datang? Sejujurnya Trev,kurasa Linda tidak akan terlalu keberatan ketika dia kembali. Oh, mungkin dia akan berpura-pura keberatan, tapi kau akan bisa mengetahui perbedaannya.' Saat itu perkataan Uncle Jeb tak masuk akal, tapi benar-benar membuat ayahku marah dan mengusirnya. Awalnya Jeb tak mau pergi. Dia terus-menerus mengingatkan kami untuk tidak menunggu sampai semuanya terlambat. Dia meraih bahuku dan menarikku ke sisinya. 'Jangan biarkan mereka menangkapmu, Sayang,' bisiknya. 'Ikuti garis-garis itu. Mulailah dari awal dan ikuti garis-garis itu. Uncle Jeb akan menyediakan tempat aman untukmu.' Saat itulah Dad mendorongnya keluar dari pintu."

Jared mengangguk-angguk tanpa sadar. Ia masih mempelajari garis-garis itu. "Awal...awal... seharusnya itu ada artinya."
"Benarkah? Itu hanya coret - coret, Jared. Tidak seperti peta--garis - garis itu bahkan tidak berhubungan."
"Tapi ada sesuatu mengenai garis pertama. Sesuatu yang kukenal. Aku bersumpah pernah melihatnya di suatu tempat."
Aku mendesah. "Mungkin Uncle Jeb menceritakannya kepada Aunt maggie. Mungkin Aunt Maggie punya petunjuk-petunjuk lebih baik."
"Mungkin," ujar Jared. Dan ia terus memandangi corat-coret Uncle Jeb.

Melanie menarikku kembali ke masa lalu, ke dalam ingatan yang jauh, jauh lebih lama--ingatan yang telah lama dilupakannya. Aku terkejut menyadari ingatan-ingatan ini, yang baru maupun lama, yang baru digabungkan olehnya setelah aku berada di sini. Itulah sebabnya garis-garis itu lolos dari pengontrolan ketatnya, walaupun sesungguhnya merupakan salah satu rahasia paling berharga--karena begitu pentingnya penemuan ini.

Dalam ingatan awal yang kabur ini, Melanie duduk di pangkuan ayahnya. Album yang sama--saat itu belum begitu compang-camping--terbuka di tangannya. Tangan Melanie mungil, jari-jarinya pendek gemuk. Aneh sekali mengingat tubuh ini ketika masih kecil.
Mereka sedang melihat halaman pertama.

"Kau ingat di mana ini?" tanya Dad, menunjuk foto abu-abu tua di bagian atas. Kertasnya lebih tipis daripada foto-foto lain, seakan telah aus--semakin pipih dan pipih dan pipih--semenjak kakek buyut mengambil foto itu.
"Di sinilah asal kita, keluarga Stryder." jawabku, mengulangi apa yang sudah diajarkan kepadaku.
"Benar. Itu peternakan tua Stryder. Kau pernah ke sana, tapi kujamin kau tidak ingat. Kurasa usiamu baru delapan belas bulan saat itu." Dad tertawa. "Sudah menjadi tanah Stryder sejak awal sekali..."

Lalu muncul ingatan mengenai foto itu sendiri. Gambar yang sudah dilihat Melanie ribuan kali, tanpa benar-benar melihatnya. Fotonya hitam-putih, dan telah memudar jadi abu-abu. Sebuah rumah ayu pedesaan kecil, jauh di sisi lain ladang padang gurun. Di latar depan tampak pagar kandang, dengan beberapa siluet kuda di antara pagar dan rumah. Lalu, di belakang semua itu, profil tajam yang tak asing lagi...

Serangkaian kata, sebuah catatan, digoreskan dengan pensil pada pinggiran putih di bagian atas foto:
Peternakan Stryder, 1904, dalam bayangan pagi...
"Picacho Peak," kataku pelan.

Jared juga akan menemukan jawaban itu, kalaupun mereka tak pernah menemukan Sharon. Aku tahu Jared akan menyatukan semua kepingan teka-teki itu. Ia lebih pintar dariku, dan ia punya fotonya; mungkin ia sudah melihat jawabannya, sebelum aku melihatnya. Mungkin ia berada sangat dekat...

Pikiran itu begitu memenuhi benak melanie dengan kerinduan dan kegembiraan, sehingga dinding kosong di kepalaku lenyap seluruhnya.

Kini aku melihat seluruh perjalanan itu, melihat perjalanan hati-hati Melanie, Jared, dan Jamie melintasi negara-negara bagian, selalu di malam hari, dengan kendaraan curian yang tidak mencolok. Makan waktu berminggu-minggu. Kulihat di mana Melanie meninggalkan mereka, di hutan cagar alam di luar kota, yang sangat berbeda dengan padang gurun kosong yang biasa mereka huni. Dalam beberapa hal hutan dingin tempat Jared dan Jamie bersembunyi dan menunggu itu terasa lebih aman. Dahan-dahan pepohonannya besar dan menutupi, tidak seperti tanaman kurus panjang di padang gurun yang hanya bisa sedikit menutupi. Tapi hutan itu juga lebih berbahaya, dengan bau-bau dan suara-suara asingnya.

Lalu perpisahan itu, ingatan yang begitu menyakitkan sehingga kami tersentak dan melewatkannya. Berikutnya muncul banguna terlantar tempat Melanie bersembunyi sambil mengamati rumah di seberang jalan, mencari peluang. Di sana, tersembunyi di balik dinding-dinding atau di dalam ruang bawah tanah rahasia, ia berharap bisa menemukan Sharon.

Seharusnya tak kubiarkan kau melihatnya, ujar Melanie. Suara pelan samar-samar itu mengungkapkan kelelahan. Serangan ingatan-ingatan ini, dan bujukan serta pemaksaan yang ia lakukan, telah melelahkannya. Kau akan menceritakan tempat persembunyian Sharon kepada mereka. Kau juga akan membunuhnya.
"Ya," jawabku keras-keras. "Aku harus melaksanakan tugasku."
Mengapa? Melanie bergumam, nyaris mengantuk. Kebahagiaan macam apa yang akan kaudapatkan?

Aku tak ingin berbantahan dengannya, jadi aku diam saja.
Gunung itu menjulang semakin tinggi di depan kami. Sebentar lagi kami akan berada di bawahnya. Aku bisa melihat tempat perhentian kecil dengan toko sederhana dan restoran cepat saji yang salah satu sisinya dibatasi lapangan beton--tempat parkir rumah-rumah mobil. Sekarang hanya beberapa yang dihuni, panas menjelang musim panas membuat segalanya terasa tidak nyaman.

Sekarang bagaimana? pikirku bertanya-tanya. Berhenti untuk makan siang larut atau makan malam kepagian? Memenuhi tangki bensin, lalu meneruskan perjalanan ke Tucson untuk mengungkapkan penemuan-penemuan baruku kepada Pencari?

Pikiran itu begitu memuakkan, sehingga rahanku terkatup menahan perut kosongku yang tiba-tiba bergolak. Refleks kuinjak rem. Mobil berdecit, lalu berhenti di tengah jalur. Aku beruntung; tak ada mobil yang menabrakku dari belakang. Juga tak ada pengemudi yang berhenti dan menawarkan pertolongan. Saat ini jalan raya kosong. Matahari menyinari trotoar, membuatnya berkilau, lalu menghilang di beberapa bagian.


Seharusnya gagasan untuk terus ke kanan dan melanjutkan perjalanan awalku takkan terasa seperti pengkhianatan. Bahasa pertamaku, bahasa asli jiwa yang hanya diucapkan di planet asal kami, tidak memiliki kata untuk pengkhianatan ata pengkhianat. Atau bahkan kesetiaan--karena, tanpa keberadaan lawan katanya, konsep itu tidak memiliki makna.

Namun aku merasa sangat bersalah ketika memikirkan Pencari. Rasanya eliru menceritakan apa yang kuketahui kepadanya. Bagaimana mungkin keliru? Kutentang pikiranku sendiri mati-matian. Jika aku berhenti di sini dan mendengarkan saran-saran menggairahkan inangku, aku benar-benar akan menjadi pengkhianat. Itu mustahil Aku adalah sesosok jiwa.

Namun aku tahu apa yang kuinginkan lebih kuat dan nyata daripada segala yang pernah kuinginkan dalam delapan kehidupan yang pernah kujalani. Gambaran wajah Jared menari-nari di balik kelopak mataku ketika aku mengedipkan mata karena silaunya matahari. Kali ini gambaran itu bukanlah ingatan Melanie, melainkan ingatanku akan ingatan Melanie. Kini gadis ini tidak memaksakan apa-apa kepadaku, Nyaris bisa kurasakan kehadirannya di dalam kepalaku ketika ia menunggu--kubayangkan ia menahan napas, seakan itu memungkinkan--agar aku mengambil keputusan.

Aku tak bisa memisahkan diriku dari hasrat tubuh ini. Itu aku, melebihi segala yang pernah kuinginkan. Apakah aku yang menginginkannya, atau tubuh ini? Apakah perbedaan itu ada artinya sekarang?

Di kaca spion kilau matahari yang memantul dari mobil di kejauhan tetangkap mataku.
Kupindahkan kakiku ke pedal gas, lalu perlahan-lahan menuju toko kecil di dalam bayangan puncak. Sesungguhnya hanya satu hal yang harus dilakukan.

---

0 comments on "The Host - Bab 9"

Post a Comment