Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara

Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara
Harga mulai 5rb an. Gratis ongkir DKI Jakarta

The Host - Bab 4

Bermimpi

Terlalu gelap untuk menjadi sepanas ini, atau mungkin terlalu panas untuk menjadi segelap ini. Salah satunya keliru. Aku berjongkok dalam kegelapan di balik perlindungan lemah semak-semak creosote pendek, dan berkeringat hingga menghabiskan semua air yang tersisa di tubuhku. Lima belas menit sudah berlalu semenjak mobil itu meninggalkan garasi. Tak satu pun lampu dinyalakan. Pintu beranda belakang terbuka dua senti, membiarkan pendingin udara melakukan tugasnya. Bisa kubayangkan rasa udara lembap sejuk yang berembus lewat kawat kasa. Aku berharap bisa merasakannya di sini.

Perutku keroncongan, dan kutegangkan otot-otot perutku untuk meredam suaranya. Suasana sangat hening sehingga suara teredam itu terdengar.
Aku sangat kelaparan.
Ada kebutuhan lain yang lebih mendesak. Perut lapar lain bersembunyi dengan aman jauh di dalam kegelapan, menunggu sendirian di gua kasar yang merupakan rumah sementara kami. Tempat yang sesak, dengan batu vulkanik bertonjolan. Apa yang akan dilakukannya seandainya aku tidak kembali? Semua tekanan menjadi ibu tanpa disertai pengetahuan atau pengalaman. Aku merasa sangat tak berdaya. Jamie kelaparan.

Tak ada rumah lain di dekat rumah ini. Aku sudah mengamatinya sejak matahari masih panas memutih di langit, dan kurasa juga tidak ada anjing.
Kukendurkan posisi jongkokku. Kedua pahaku berteriak memprotes, tapi aku tetap membungkuk, berusaha lebih rendah daripada semak-semak. Jalan menuju sungai berupa pasir halus, jalan setapak pucat dalam cahaya bintang. Tak ada suara mobil di jalanan.
Aku tahu apa yang akan mereka sadari saat kembali. Monster-monster itu tampak seperti pasangan suami-istri baik hati di awal lima puluhan. Mereka akan tahu persis siapa diriku, dan pencarian akan langsung dimulai. Aku harus pergi jauh. Aku benar-benar berharap mereka sedang pergi mencari hiburan malam di kota. Kurasa ini hari Jumat. Mereka mempertahankan kebiasaan-kebiasaan kami dengan begitu sempurna, sehingga sulit melihat perbedaan apa pun. Itulah sebabnya mereka menang.

Pagar di sekeliling pekarangan hanya sepinggang. Aku melompatinya dengan mudah, tanpa suara. Tapi pekarangannya berkerikil, dan aku harus berjalan perlahan-lahan agar bobot tubuhku tidak menggeser kerikil - kerikil itu. Aku berhasil sampai ke lempeng ubin beranda belakang.
Tirai-tirainya terbuka. Cahaya bintang cukup bagiku untuk melihat tidak ada gerakan di dalam semua ruangan. Syukurlah pasangan ini memilih gaya sederhana, sehingga menyulitkan orang untuk bersembunyi. tentu saja itu juga berarti tak ada tempat bersembunyi bagiku. Tapi seandainya aku perlu bersembunyi, semua sudah terlambat.

Pertama-tama aku membuka pintu kasa, lalu pintu kaca. Keduanya bergeser tanpa suara. Kuletakkan kedua kakiku dengan hati-hati di ubin, tapi ini hanya karena kebiasaan. Tak seorang pun menungguku di sini.
Udara sejuk terasa seperti surga.

Dapur ada di kiri. Aku bisa melihat kilau meja - meja granitnya.
Kutarik tas kanvas dari bahu, dan memulai dengan kulkas. Sejenak aku merasa cemas ketika lampu kulkas menyala saat pintu terbuka, tapi aku menemukan tombol lampu itu dan menekannya dengan jempol kaki. Mataku buta. Aku tak punya waktu untuk membiarkan mataku menyesuaikan diri. Aku meraba-raba.
Susu, irisan keju, makanan sisa dalam mangkuk plastik. Kuharap itu nasi dan ayam. Tadi kuamati lelaki itu memasak hidangan ini untuk makan malam. Kami akan menyantapnya malam ini.
Jus, sekantong apel. Wortel mini. Semua ini akan tetap segar sampai pagi.

Aku bergegas menuju lemari dapur. Aku perlu makanan yang bisa tahan lebih lama.
Penglihatanku lebih baik ketika aku mengumpulkan sebanyak mungkin makanan yang bisa kubawa. Mmm, biskuit chocolate chip. Ingin sekali kubuka kantong itu sekarang juga, tapi aku mengertakkan gigi dan mengabaikan pilinan perut kosongku.

Dengan cepat tasku jadi berat. Ini hanya akan bertahan seminggu walaupun kami berhemat. Dan aku tidak merasa ingin berhemat; aku ingin makan dengan rakus. Kupenuhi semua saku dengan granola batangan.
Satu lagi. Aku bergegas menuju tempat cuci piring dan mengisi kembali wadah airku. Lalu kuletakkan kepalaku di bawah aliran, dan minum langsung dari situ. Airnya menciptakan suara-suara aneh ketika menimpa perut kosongku.
Kini tugasku selesai, aku mulai panik. Aku ingin keluar dari sini. Peradaban sangat berbahaya.
Aku mencermati lantai dalam perjalanan keluar, khawatir bakal tersandung tas beratku. Itulah sebabnya aku tidak melihat sesosok bayangan hitam di beranda belakang, sampai tanganku berada di pintu.
Aku mendengar gumaman sumpah serapahnya bersamaan dengan keluarnya jerit ketakutan tolol dari mulutku. Aku berbalik untuk lari ke pintu muka, berharap pintu tidak terkunci, atau setidaknya tidak sulit dibuka.
Aku bahkan belum sempat melangkah dua kali ketika sepasang tangan liat kasar mencengkeram bahuku dan memutarku kembali menghadap tubuh itu. Tangan itu terlalu besar, terlalu kuat, tak mungkin tangan perempuan. Suara berat itu membuktikan aku benar.

"Satu suara lagi, dan kau akan mati," ancamnya kasar. Aku terkejut ketika merasakan pinggiran tipis tajam disorongkan ke kulit di bawah rahangku.
Aku tidak mengerti. Seharusnya aku tidak diberi pilihan. Siapa monster ini? Aku tak pernah mendengar monster melanggar peraturan. Aku menjawab dengan satu-satunya jawaban yang bisa kuberikan.
"Lakukan." Aku meludah lewat sela-sela gigi. "Lakukan saja. aku tak mau jadi parasit menjijikan!"
Aku menunggu pisau itu, dan jantungku terasa nyeri. Setiap denyutnya memiliki nama. Jamie, Jamie, Jamie. Apa yang akan terjadi denganmu sekarang?
"Pintar," gumam lelaki itu. Dan kedengarannya ia tidak sedang bicara padaku. "Pasti ini Pencari. Dan itu berarti jebakan. Bagaimana mereka bisa tahu?" Baja itu lenyap dari leherku, digantikan tangan sekeras besi.

Aku nyaris tak bisa bernapas di bawah cengkeramannya. Mana yang lain?" desaknya, meremas leherku.
"Hanya ada aku!" teriakku parau. Aku tak bisa menuntun lelaki ini menuju Jamie. Apa yang akan dilakukan Jamie kalau aku tidak kembali? Jamie kelaparan!
Kusikut perut lelaki itu--dan tindakan ini benar-benar menyakitkan. Otot-otot perutnya sekeras besi, sama seperti tangannya. Dan ini sangat aneh. Otot-otot semacam itu merupakan produk kehidupan keras atau obsesi, dan parasit-parasit tidak memiliki keduanya.

Lelaki itu bahkan tidak menghela napas kesakitan akibat pukulanku. Putus asa kuhujamkan tumitku ke punggung kakinya. Tindakan ini mengejutkannya, dan ia terhuyung-huyung. Aku melepaskan diri, tapi ia mencengkeram tasku, menarikku kembali ke tubuhnya. Tangannya kembali menjepit leherku.
"Sebagai perampas tubuh yang cinta damai, kau cukup agresif."
Kata-katanya tak masuk akal. Kupikir semua mahluk asing sama saja. Ternyata di antara mereka ada yang gila juga.

Aku meronta dan mencakar, mencoba melepaskan cengkeraman lelaki itu. Kuku-kuku tanganku mencakar lengannya, tapi ini hanya membuatnya semakin mempererat cekikannya.
"Akan kubunuh kau, pencuri tubuh tak berguna. Aku tidak membual."
"Kalau begitu, lakukan saja!"
Tiba - tiba ia terkesiap, dan aku bertanya-tanya apakah salah satu tungkaiku mengenai tubuhnya. Aku tidak merasakan memar baru apa pun.
Ia melepaskan lenganku dan menjambak rambutku. Ini dia. Ia akan memotong leherku. Kukuatkan diri menunggu irisan pisau itu.
Tapi tangan di leherku mengendur, lalu jemarinya menggerayangi tengkukku, terasa kasar dan hangat di kulitku.
"Mustahil," desahnya.
Sesuatu menghantam lantai dengan suara gedebuk. Ia menjatuhkan pisaunya? Aku mencoba memikirkan cara untuk mengambilnya. Mungkin aku harus menjatuhkan diri. Cengkeraman di leherku tak cukup kuat menahanku, jadi aku melepaskan diri. Kurasa aku mendengar di mana pisau itu mendarat.


Tiba-tiba lelaki itu memutar tubuhku. Terdengar suara klik, lalu sorot cahaya membutakan mata kiriku. Aku terkesiap, dan otomatis mencoba berputar menjauhkan diri. Tangannya semakin erat mencengkeram rambutku. Cahaya itu berpendar di mata kananku.
"Aku tak percaya," bisiknya. "Kau masih manusia."
Sepasang tangan lelaki itu mencengkeram wajahku. Dan sebelum aku bisa membebaskan diri, bibirnya mendarat keras di bibirku.
Aku terpaku selama setengah detik. Belum pernah seorang pun menciumku. Menciumku dengan sungguh-sungguh. Yang ada hanyalah kecupan-kecupan dari kedua orangtuaku di pipi atau kening, bertahun-tahun yang lalu. Ciuman ini sesuatu yang kupikir takkan pernah kurasakan. Tapi aku tidak begitu yakin bagaimana rasanya. Terlalu banyak kepanikan, terlalu banyak ketakutan, terlalu banyak adrenalin.

Kusentakkan lututku ke atas sehingga menghujam keras.
Lelaki itu mengeluarkan suara tersengal, dan aku bebas. Aku tidak kembali berlari ke depan rumah seperti yang diharapkannya, tapi merunduk melewati lengannya dan melompat melewati pintu beranda belakang yang terbuka. Kurasa aku bisa mengalahkannya, walaupun dibebani barang-barang bawaanku. Aku sudah memulai lebih dulu, dan ia masih mengeluarkan suara-suara kesakitan. Aku tahu ke mana aku akan pergi, Aku takkan meninggalkan jejak yang bisa dilihatnya di dalam gelap. Aku tak pernah menjatuhkan makanan, dan itu bagus. Tapi kurasa semua granola batangan itu hilang.
"Tunggu!" teriak lelaki itu.
Diam, pikirku, tapi aku tidak membalas teriakannya.
Ia berlari mengejarku. Aku bisa mendengar suaranya semakin dekat.
"Aku bukan salah satu dari mereka."
Pasti. Kujaga pandanganku agar tetap tertuju ke pasir, dan aku berlari.  Dulu ayahku suka mengatakan lariku seperti cheetah. aku yang tercepat di tim lariku. Juara negara bagian. Dulu, sebelum dunia kiamat.

"Dengarkan aku!" Lelaki itu masih berteriak dengan volume penuh.
"Lihat! Akan kubuktikan. Berhenti sajalah dan lihat aku!"
Mustahil. Aku berbelok dari sungai dan lari menuju semak-semak mesquite.
"Aku tidak menyangka ada yang tersisa! Ayolah, aku perlu bicara denganmu!"
Suaranya mengejutkanku--terlalu dekat.
"Maaf aku menciummu! Itu tolol! Aku sudah begitu lama kesepian!"
"Diam!" Aku tidak mengatakannya dengan lantang, tapi aku tahu ia mendengarku. Ia bahkan semakin dekat. Aku belum pernah kalah. Kudorong kedua kakiku lebih keras.

Terdengar lenguhan pelan napas lelaki itu ketika ia juga mempercepat larinya.
Sesuatu yang besar melayang ke punggungku, dan aku terjatuh. Kurasakan tanah di mulutku, dan sesuatu yang sangat berat menindihku sampai aku nyaris tak bisa bernapas.
"Tunggu. Sebentar," lelaki itu tersengal-sengal.
Ia menggeser bobot tubuhnya dan membalikkan tubuhku. Ia duduk mengangkangi dadaku, memerangkap kedua lenganku di bawah masing-masing kakinya. Ia menggencet makananku. Aku menggeram dan mencoba menggeliat keluar dari bawah tubuhnya.


"Lihat, lihat, lihat!" katanya. Ia mengeluarkan silinder kecil dari saku celana dan memutar bagian atasnya. Cahaya memancar dari ujungnya.
Ia mengarahkan senter itu ke wajahnya.
Cahaya membuat kulitnya berwarna kuning. Memperlihatkan tulang pipi yang menonjol di kedua sisi hidung kurus panjang dan rahang persegi tegas. Bibirnya terentang membentuk seringai, tapi bisa kulihat bibir itu penuh, untuk ukuran lelaki. Alis dan bulu matanya memutih, terbakar matahari.
Tapi bukan itu yang sedang diperlihatkannya kepadaku.
Matanya--yang berwarna cokelat kemerahan dan berkilau bening dalam cahaya--bersinar, hanya menunjukkan refleksi mata manusia.
Dipantulkannya cahaya senter itu bergantian ke mata kiri dan kanan.
"Lihat? Lihat? Aku persis sepertimu."


"Aku mau melihat lehermu." Kecurigaan terdengar kental dalam suaraku. Aku tidak membiarkan diriku percaya ini bukan tipuan. Aku tidak memahami maksud kepura-puraan ini, tapi aku yakin ada maksudnya.
Tak ada harapan lagi.
Bibir lelaki itu mengerut. "Well... itu tidak terlalu membantu. Bukankah mata sudah cukup? Kau tahu aku bukan salah satu dari mereka."
"Kenapa tidak kautunjukkan lehermu?"
"Karena aku punya bekas luka di sana," akunya.
Kembali aku mencoba menggeliat dari bawah tubuhnya, tapi tangannya menindih bahuku.
"Luka itu kubuat sendiri," jelasnya. "Kurasa aku melakukannya dengan cukup baik, walaupun sakitnya bukan main. Aku tidak punya rambut indah untuk menutupi leherku. Bekas luka itu membantuku berbaur."
"Lepaskan aku."

Lelaki itu bimbang, lalu bangkit berdiri dengan satu gerakan ringan tanpa perlu menggunakan kedua tangan. Diulurkannya sebelah lengannya, telapak tangannya menghadapku.
"Ayolah, jangan lari. Dan, ehm, aku lebih suka kau tidak menendangku lagi."
Aku tidak bergerak. Aku tahu ia bisa menangkapku seandainya aku mencoba lari. 


 "Siapa kau?" bisikku.
Ia tersenyum lebar. "Namaku Jared Howe. Aku belum pernah bicara dengan manusia lain selama lebih dari dua tahun, jadi aku yakin aku pasti tampak... sedikit gila bagimu. Kumohon, maafkan aku, dan sebutkan juga namamu."
"Melanie," bisikku.
"Melanie," ulangnya. "Tak bisa kukatakan betapa gembiranya aku berjumpa denganmu."

Kucengkeram tasku erat-erat, seraya tetap memandangnya. Perlahan-lahan ia mengulurkan tangan ke arahku. 
Dan aku menyambutnya.
Ketika kulihat tanganku menggenggam tangannya dengan sukarela, barulah kusadari bahwa aku memercayainya. 
Ia membantuku berdiri dan tidak melepaskan tanganku ketika aku sudah tegak.
"Sekarang bagaimana?" tanyaku hati-hati. 
"Well, kita tidak bisa terlalu lama di sini. Kau mau kembali ke rumah itu bersamaku? Tasku ketinggalan. Kau sampai di kulkas duluan."
Aku menggeleng.
Tampaknya ia menyadari betapa rapuh diriku, betapa aku nyaris patah. 
"Kalau begitu, maukah kau menungguku di sini?" tanyanya lembut. 
"Aku akan sangat cepat. Aku akan mengambil lebih banyak makanan untuk kita."
"Kita?"
"Kau benar-benar mengira aku akan membiarkanmu menghilang? Aku akan mengikutimu, walaupun kau melarangku."
Aku tidak ingin menghilang darinya.
"Aku..." Bagaimana mungkin aku tidak bisa memercayai manusia lain sepenuhnya? Kami keluarga--bagian dari serikat kepunahan. "Aku tidak punya waktu. Aku harus cukup jauh dan... Jamie sedang menungguku."
"Kau tidak sendirian," ujarnya tersadar. Untuk pertama kali raut wajahnya menunjukkan kebimbangan.
"Adikku. Dia baru sembilan tahun, dan sangat ketakutan ketika aku pergi. Perlu setengah malam bagiku untuk kembali kepadanya. Dia takkan tahu apakah aku tertangkap. Dia sangat kelaparan." Seakan menegaskan perkataanku, perutku bergemuruh kencang. 


Senyum Jared kembali, lebih cerah daripada sebelumnya. "Apakah akan membantu jika aku memberimu tumpangan?"
"Tumpangan?" ulangku.
"Begini saja. Kau menunggu di sini, sementara aku mengumpulkan lebih banyak makanan. lalu aku akan mengantarmu, ke mana pun kau ingin pergi, dengan jipku. Lebih cepat daripada berlari--bahkan lebih cepat daripada larimu."
"Kau punya mobil?"
"Tentu saja. kaupikir aku berjalan kaki kemari?"
Kubayangkan waktu enam jam yang kuperlukan untuk berjalan kemari, dan keningku berkerut.
"Kita akan kembali kepada adikmu secepat kilat," janjinya. "Jangan pindah dari tempat ini, oke?"
Aku mengangguk.
"Dan kumohon, makanlah sesuatu. Aku tidak ingin perutmu membuat kita ketahuan." Ia nyengir, dan matanya berkerut ke atas, menciptakan garis-garis seperti kipas di sudut-sudutnya. Jantungku berdebar kencang, dan aku tahu aku akan menunggu di sini, kalaupun ia perlu waktu sepanjang malam.

Ia masih memegang tanganku. Ia melepaskannya perlahan-lahan, matanya tidak meninggalkan mataku. Ia mundur selangkah, lalu berhenti.
"Kumohon, jangan tendang aku," pintanya, seraya mencondongkan tubuh dan meraih daguku. Ia menciumku lagi, dan kali ini aku merasakannya. Bibirnya lebih lembut daripada tangannya. dan terasa panas, bahkan di malam tandus yang hangat. Sekelompok kupu-kupu beterbangan di dalam perutku dan mencuri napasku. Sepasang tanganku meraih tubuhnya secara naluriah. Kusentuh kulit hangat pipinya, rambut kasar di lehernya. Jari-jari tanganku menelusuri segaris kulit berkerut, tonjolan tepat di bawah garis rambut.
Aku menjerit.

Aku terbangun bermandi keringat. Bahkan sebelum aku terbangun sepenuhnya, jemariku sudah berada di tengkuk, menelusuri garis pendek yang tertinggal akibat penyisipan. Aku nyaris tak bisa mendeteksi noda merah muda samar-samar itu dengan ujung - ujung jariku. Obat-obatan yang digunakan Penyembuh telah bekerja dengan baik.
Bekas luka Jared yang buruk memang bukan penyamaran yang baik.

Kunyalakan lampu di samping tempat tidur, dan aku menunggu napasku melambat. Pembuluh darahku dipenuhi adrenalin akibat mimpi yang terasa nyata itu.
Sebuah mimpi baru, tapi pada dasarnya sangat serupa dengan banyak mimpi lain yang mengusikku beberapa bulan belakangan ini.
Bukan, bukan mimpi. Pasti itu ingatan.
Aku masih bisa merasakan panasnya bibir Jared di bibirku. Sepasang tanganku terulur tanpa seizinku, meraba-raba permukaan seprai kusut, mencari sesuatu yang tidak mereka temukan. Jantungku terasa nyeri ketika kedua tanganku menyerah, jatuh ke tempat tidur dengan lunglai dan kosong.

Kukerjapkan mata untuk mengusir kelembaban tak diundang di mataku. Aku tak tahu seberapa banyak lagi yang bisa kutanggungkan. Bagaimana mungkin seseorang bisa bertahan hidup di dunia ini, dengan tubuh ini--yang ingatan-ingatannya tak mau tetap tinggal di masa lalu seperti seharusnya? Dengan emosi-emosi sekuat ini, aku tak tahu lagi apa yang kurasakan.
Besok aku bakal kelelahan, tapi aku merasa sangat tidak mengantuk sehingga tahu perlu berjam-jam bagiku untuk menenangkan diri. Mungkin sebaiknya aku melakukan tugasku dan segera menuntaskannya. Mungkin tindakan itu akan membantu menyingkirkan benakku dari hal-hal yang sebaiknya tak kupikirkan.

Aku berguling turun dari tempat tidur dan terhuyung-huyung menuju komputer yang merupakan satu-satunya benda di meja. Perlu beberapa detik bagi layarnya untuk menyala, dan beberapa detik lagi untuk membuka program suratku. Tak sulit menemukan alamat Pencari. Aku hanya punya empat kontak: Pencari, Penyembuh, atasan baruku dan istrinya, Penghibur-ku.

Ada manusia lain bersama inangku, Melanie Stryder.

Aku mengetik tanpa repot-repot menuliskan salam pembukaan.

Namanya Jamie Stryder; ia adiknya.

Dalam kepanikan sesaat kukagumi pengendalian diri gadis ini. Sudah selama ini, tapi aku bahkan tak pernah menebak keberadaan anak laki-laki itu. Bukan karena anak itu tidak berarti bagi si gadis, tapi karena ia melindunginya lebih ketat daripada rahasia-rahasia lain yang telah kubongkar. Apakah ia masih punya banyak rahasia sebesar dan sepenting ini? Rahasia yang begitu sakral sehingga ia menyembunyikannya, bahkan dari mimpi-mimpiku? Apakah ia sekuat itu? Jemariku gemetar ketika mengetikkan informasi lainnya.

Kurasa anak itu sekarang sudah remaja. Mungkin usianya tiga belas. Mereka tinggal di perkemahan sementara, dan aku yakin lokasinya di utara kota Cave Creek, Arizona. Tapi itu beberapa tahun yang lalu. Meski begitu kau bisa membandingkan peta dengan garis - garis yang kuingat sebelumnya. Seperti biasa akan kukabari kalau aku mendapat informasi lain.

Kukirimkan surat itu. Begitu suratnya terkirim, aku langsung dilanda kengerian.
Jangan Jamie!
Suara gadis ini di dalam kepalaku terdengar sejelas suaraku sendiri ketika sedang bicara lantang. Aku bergidik ngeri.
Walaupun sedang berjuang mengatasi ketakutan mengenai apa yang sedang terjadi, aku dicekam keinginan sinting untuk kembali mengirimkan email kepada Pencari dan meminta maaf karena telah mengiriminya mimpi-mimpi sintingku, lalu mengatakan aku masih setengah tidur sehingga tidak memperhatikan pesan tolol yang telah kukirimkan.
Itu bukan keinginanku.
Kumatikan komputer.

Aku benci kau, geram suara di dalam kepalaku.
 "Kalau begitu sebaiknya kau pergi," gertakku. Suaraku, yang menjawabnya dengan lantang, membuatku kembali bergidik.
Gadis ini belum pernah bicara kepadaku sejak saat-saat pertama aku berada di sini. Tak diragukan lagi ia semakin kuat. Persis seperti mimpi-mimpi itu.
Dan tak perlu dipertanyakan lagi, aku harus mengunjungi Penghibur-ku besok. Air mata malu dan kecewa merebak di mataku saat memikirkan hal itu.
Aku kembali ke tempat tidur, meletakkan bantal menutupi wajah, dan mencoba untuk tidak memikirkan apa-apa.

---


0 comments:

Post a Comment

Jual Nugget dan Sosis Sayur

Jual Nugget dan Sosis Sayur
Pemesanan via email : lwati111@gmail.com

The Host - Bab 4

Bermimpi

Terlalu gelap untuk menjadi sepanas ini, atau mungkin terlalu panas untuk menjadi segelap ini. Salah satunya keliru. Aku berjongkok dalam kegelapan di balik perlindungan lemah semak-semak creosote pendek, dan berkeringat hingga menghabiskan semua air yang tersisa di tubuhku. Lima belas menit sudah berlalu semenjak mobil itu meninggalkan garasi. Tak satu pun lampu dinyalakan. Pintu beranda belakang terbuka dua senti, membiarkan pendingin udara melakukan tugasnya. Bisa kubayangkan rasa udara lembap sejuk yang berembus lewat kawat kasa. Aku berharap bisa merasakannya di sini.

Perutku keroncongan, dan kutegangkan otot-otot perutku untuk meredam suaranya. Suasana sangat hening sehingga suara teredam itu terdengar.
Aku sangat kelaparan.
Ada kebutuhan lain yang lebih mendesak. Perut lapar lain bersembunyi dengan aman jauh di dalam kegelapan, menunggu sendirian di gua kasar yang merupakan rumah sementara kami. Tempat yang sesak, dengan batu vulkanik bertonjolan. Apa yang akan dilakukannya seandainya aku tidak kembali? Semua tekanan menjadi ibu tanpa disertai pengetahuan atau pengalaman. Aku merasa sangat tak berdaya. Jamie kelaparan.

Tak ada rumah lain di dekat rumah ini. Aku sudah mengamatinya sejak matahari masih panas memutih di langit, dan kurasa juga tidak ada anjing.
Kukendurkan posisi jongkokku. Kedua pahaku berteriak memprotes, tapi aku tetap membungkuk, berusaha lebih rendah daripada semak-semak. Jalan menuju sungai berupa pasir halus, jalan setapak pucat dalam cahaya bintang. Tak ada suara mobil di jalanan.
Aku tahu apa yang akan mereka sadari saat kembali. Monster-monster itu tampak seperti pasangan suami-istri baik hati di awal lima puluhan. Mereka akan tahu persis siapa diriku, dan pencarian akan langsung dimulai. Aku harus pergi jauh. Aku benar-benar berharap mereka sedang pergi mencari hiburan malam di kota. Kurasa ini hari Jumat. Mereka mempertahankan kebiasaan-kebiasaan kami dengan begitu sempurna, sehingga sulit melihat perbedaan apa pun. Itulah sebabnya mereka menang.

Pagar di sekeliling pekarangan hanya sepinggang. Aku melompatinya dengan mudah, tanpa suara. Tapi pekarangannya berkerikil, dan aku harus berjalan perlahan-lahan agar bobot tubuhku tidak menggeser kerikil - kerikil itu. Aku berhasil sampai ke lempeng ubin beranda belakang.
Tirai-tirainya terbuka. Cahaya bintang cukup bagiku untuk melihat tidak ada gerakan di dalam semua ruangan. Syukurlah pasangan ini memilih gaya sederhana, sehingga menyulitkan orang untuk bersembunyi. tentu saja itu juga berarti tak ada tempat bersembunyi bagiku. Tapi seandainya aku perlu bersembunyi, semua sudah terlambat.

Pertama-tama aku membuka pintu kasa, lalu pintu kaca. Keduanya bergeser tanpa suara. Kuletakkan kedua kakiku dengan hati-hati di ubin, tapi ini hanya karena kebiasaan. Tak seorang pun menungguku di sini.
Udara sejuk terasa seperti surga.

Dapur ada di kiri. Aku bisa melihat kilau meja - meja granitnya.
Kutarik tas kanvas dari bahu, dan memulai dengan kulkas. Sejenak aku merasa cemas ketika lampu kulkas menyala saat pintu terbuka, tapi aku menemukan tombol lampu itu dan menekannya dengan jempol kaki. Mataku buta. Aku tak punya waktu untuk membiarkan mataku menyesuaikan diri. Aku meraba-raba.
Susu, irisan keju, makanan sisa dalam mangkuk plastik. Kuharap itu nasi dan ayam. Tadi kuamati lelaki itu memasak hidangan ini untuk makan malam. Kami akan menyantapnya malam ini.
Jus, sekantong apel. Wortel mini. Semua ini akan tetap segar sampai pagi.

Aku bergegas menuju lemari dapur. Aku perlu makanan yang bisa tahan lebih lama.
Penglihatanku lebih baik ketika aku mengumpulkan sebanyak mungkin makanan yang bisa kubawa. Mmm, biskuit chocolate chip. Ingin sekali kubuka kantong itu sekarang juga, tapi aku mengertakkan gigi dan mengabaikan pilinan perut kosongku.

Dengan cepat tasku jadi berat. Ini hanya akan bertahan seminggu walaupun kami berhemat. Dan aku tidak merasa ingin berhemat; aku ingin makan dengan rakus. Kupenuhi semua saku dengan granola batangan.
Satu lagi. Aku bergegas menuju tempat cuci piring dan mengisi kembali wadah airku. Lalu kuletakkan kepalaku di bawah aliran, dan minum langsung dari situ. Airnya menciptakan suara-suara aneh ketika menimpa perut kosongku.
Kini tugasku selesai, aku mulai panik. Aku ingin keluar dari sini. Peradaban sangat berbahaya.
Aku mencermati lantai dalam perjalanan keluar, khawatir bakal tersandung tas beratku. Itulah sebabnya aku tidak melihat sesosok bayangan hitam di beranda belakang, sampai tanganku berada di pintu.
Aku mendengar gumaman sumpah serapahnya bersamaan dengan keluarnya jerit ketakutan tolol dari mulutku. Aku berbalik untuk lari ke pintu muka, berharap pintu tidak terkunci, atau setidaknya tidak sulit dibuka.
Aku bahkan belum sempat melangkah dua kali ketika sepasang tangan liat kasar mencengkeram bahuku dan memutarku kembali menghadap tubuh itu. Tangan itu terlalu besar, terlalu kuat, tak mungkin tangan perempuan. Suara berat itu membuktikan aku benar.

"Satu suara lagi, dan kau akan mati," ancamnya kasar. Aku terkejut ketika merasakan pinggiran tipis tajam disorongkan ke kulit di bawah rahangku.
Aku tidak mengerti. Seharusnya aku tidak diberi pilihan. Siapa monster ini? Aku tak pernah mendengar monster melanggar peraturan. Aku menjawab dengan satu-satunya jawaban yang bisa kuberikan.
"Lakukan." Aku meludah lewat sela-sela gigi. "Lakukan saja. aku tak mau jadi parasit menjijikan!"
Aku menunggu pisau itu, dan jantungku terasa nyeri. Setiap denyutnya memiliki nama. Jamie, Jamie, Jamie. Apa yang akan terjadi denganmu sekarang?
"Pintar," gumam lelaki itu. Dan kedengarannya ia tidak sedang bicara padaku. "Pasti ini Pencari. Dan itu berarti jebakan. Bagaimana mereka bisa tahu?" Baja itu lenyap dari leherku, digantikan tangan sekeras besi.

Aku nyaris tak bisa bernapas di bawah cengkeramannya. Mana yang lain?" desaknya, meremas leherku.
"Hanya ada aku!" teriakku parau. Aku tak bisa menuntun lelaki ini menuju Jamie. Apa yang akan dilakukan Jamie kalau aku tidak kembali? Jamie kelaparan!
Kusikut perut lelaki itu--dan tindakan ini benar-benar menyakitkan. Otot-otot perutnya sekeras besi, sama seperti tangannya. Dan ini sangat aneh. Otot-otot semacam itu merupakan produk kehidupan keras atau obsesi, dan parasit-parasit tidak memiliki keduanya.

Lelaki itu bahkan tidak menghela napas kesakitan akibat pukulanku. Putus asa kuhujamkan tumitku ke punggung kakinya. Tindakan ini mengejutkannya, dan ia terhuyung-huyung. Aku melepaskan diri, tapi ia mencengkeram tasku, menarikku kembali ke tubuhnya. Tangannya kembali menjepit leherku.
"Sebagai perampas tubuh yang cinta damai, kau cukup agresif."
Kata-katanya tak masuk akal. Kupikir semua mahluk asing sama saja. Ternyata di antara mereka ada yang gila juga.

Aku meronta dan mencakar, mencoba melepaskan cengkeraman lelaki itu. Kuku-kuku tanganku mencakar lengannya, tapi ini hanya membuatnya semakin mempererat cekikannya.
"Akan kubunuh kau, pencuri tubuh tak berguna. Aku tidak membual."
"Kalau begitu, lakukan saja!"
Tiba - tiba ia terkesiap, dan aku bertanya-tanya apakah salah satu tungkaiku mengenai tubuhnya. Aku tidak merasakan memar baru apa pun.
Ia melepaskan lenganku dan menjambak rambutku. Ini dia. Ia akan memotong leherku. Kukuatkan diri menunggu irisan pisau itu.
Tapi tangan di leherku mengendur, lalu jemarinya menggerayangi tengkukku, terasa kasar dan hangat di kulitku.
"Mustahil," desahnya.
Sesuatu menghantam lantai dengan suara gedebuk. Ia menjatuhkan pisaunya? Aku mencoba memikirkan cara untuk mengambilnya. Mungkin aku harus menjatuhkan diri. Cengkeraman di leherku tak cukup kuat menahanku, jadi aku melepaskan diri. Kurasa aku mendengar di mana pisau itu mendarat.


Tiba-tiba lelaki itu memutar tubuhku. Terdengar suara klik, lalu sorot cahaya membutakan mata kiriku. Aku terkesiap, dan otomatis mencoba berputar menjauhkan diri. Tangannya semakin erat mencengkeram rambutku. Cahaya itu berpendar di mata kananku.
"Aku tak percaya," bisiknya. "Kau masih manusia."
Sepasang tangan lelaki itu mencengkeram wajahku. Dan sebelum aku bisa membebaskan diri, bibirnya mendarat keras di bibirku.
Aku terpaku selama setengah detik. Belum pernah seorang pun menciumku. Menciumku dengan sungguh-sungguh. Yang ada hanyalah kecupan-kecupan dari kedua orangtuaku di pipi atau kening, bertahun-tahun yang lalu. Ciuman ini sesuatu yang kupikir takkan pernah kurasakan. Tapi aku tidak begitu yakin bagaimana rasanya. Terlalu banyak kepanikan, terlalu banyak ketakutan, terlalu banyak adrenalin.

Kusentakkan lututku ke atas sehingga menghujam keras.
Lelaki itu mengeluarkan suara tersengal, dan aku bebas. Aku tidak kembali berlari ke depan rumah seperti yang diharapkannya, tapi merunduk melewati lengannya dan melompat melewati pintu beranda belakang yang terbuka. Kurasa aku bisa mengalahkannya, walaupun dibebani barang-barang bawaanku. Aku sudah memulai lebih dulu, dan ia masih mengeluarkan suara-suara kesakitan. Aku tahu ke mana aku akan pergi, Aku takkan meninggalkan jejak yang bisa dilihatnya di dalam gelap. Aku tak pernah menjatuhkan makanan, dan itu bagus. Tapi kurasa semua granola batangan itu hilang.
"Tunggu!" teriak lelaki itu.
Diam, pikirku, tapi aku tidak membalas teriakannya.
Ia berlari mengejarku. Aku bisa mendengar suaranya semakin dekat.
"Aku bukan salah satu dari mereka."
Pasti. Kujaga pandanganku agar tetap tertuju ke pasir, dan aku berlari.  Dulu ayahku suka mengatakan lariku seperti cheetah. aku yang tercepat di tim lariku. Juara negara bagian. Dulu, sebelum dunia kiamat.

"Dengarkan aku!" Lelaki itu masih berteriak dengan volume penuh.
"Lihat! Akan kubuktikan. Berhenti sajalah dan lihat aku!"
Mustahil. Aku berbelok dari sungai dan lari menuju semak-semak mesquite.
"Aku tidak menyangka ada yang tersisa! Ayolah, aku perlu bicara denganmu!"
Suaranya mengejutkanku--terlalu dekat.
"Maaf aku menciummu! Itu tolol! Aku sudah begitu lama kesepian!"
"Diam!" Aku tidak mengatakannya dengan lantang, tapi aku tahu ia mendengarku. Ia bahkan semakin dekat. Aku belum pernah kalah. Kudorong kedua kakiku lebih keras.

Terdengar lenguhan pelan napas lelaki itu ketika ia juga mempercepat larinya.
Sesuatu yang besar melayang ke punggungku, dan aku terjatuh. Kurasakan tanah di mulutku, dan sesuatu yang sangat berat menindihku sampai aku nyaris tak bisa bernapas.
"Tunggu. Sebentar," lelaki itu tersengal-sengal.
Ia menggeser bobot tubuhnya dan membalikkan tubuhku. Ia duduk mengangkangi dadaku, memerangkap kedua lenganku di bawah masing-masing kakinya. Ia menggencet makananku. Aku menggeram dan mencoba menggeliat keluar dari bawah tubuhnya.


"Lihat, lihat, lihat!" katanya. Ia mengeluarkan silinder kecil dari saku celana dan memutar bagian atasnya. Cahaya memancar dari ujungnya.
Ia mengarahkan senter itu ke wajahnya.
Cahaya membuat kulitnya berwarna kuning. Memperlihatkan tulang pipi yang menonjol di kedua sisi hidung kurus panjang dan rahang persegi tegas. Bibirnya terentang membentuk seringai, tapi bisa kulihat bibir itu penuh, untuk ukuran lelaki. Alis dan bulu matanya memutih, terbakar matahari.
Tapi bukan itu yang sedang diperlihatkannya kepadaku.
Matanya--yang berwarna cokelat kemerahan dan berkilau bening dalam cahaya--bersinar, hanya menunjukkan refleksi mata manusia.
Dipantulkannya cahaya senter itu bergantian ke mata kiri dan kanan.
"Lihat? Lihat? Aku persis sepertimu."


"Aku mau melihat lehermu." Kecurigaan terdengar kental dalam suaraku. Aku tidak membiarkan diriku percaya ini bukan tipuan. Aku tidak memahami maksud kepura-puraan ini, tapi aku yakin ada maksudnya.
Tak ada harapan lagi.
Bibir lelaki itu mengerut. "Well... itu tidak terlalu membantu. Bukankah mata sudah cukup? Kau tahu aku bukan salah satu dari mereka."
"Kenapa tidak kautunjukkan lehermu?"
"Karena aku punya bekas luka di sana," akunya.
Kembali aku mencoba menggeliat dari bawah tubuhnya, tapi tangannya menindih bahuku.
"Luka itu kubuat sendiri," jelasnya. "Kurasa aku melakukannya dengan cukup baik, walaupun sakitnya bukan main. Aku tidak punya rambut indah untuk menutupi leherku. Bekas luka itu membantuku berbaur."
"Lepaskan aku."

Lelaki itu bimbang, lalu bangkit berdiri dengan satu gerakan ringan tanpa perlu menggunakan kedua tangan. Diulurkannya sebelah lengannya, telapak tangannya menghadapku.
"Ayolah, jangan lari. Dan, ehm, aku lebih suka kau tidak menendangku lagi."
Aku tidak bergerak. Aku tahu ia bisa menangkapku seandainya aku mencoba lari. 


 "Siapa kau?" bisikku.
Ia tersenyum lebar. "Namaku Jared Howe. Aku belum pernah bicara dengan manusia lain selama lebih dari dua tahun, jadi aku yakin aku pasti tampak... sedikit gila bagimu. Kumohon, maafkan aku, dan sebutkan juga namamu."
"Melanie," bisikku.
"Melanie," ulangnya. "Tak bisa kukatakan betapa gembiranya aku berjumpa denganmu."

Kucengkeram tasku erat-erat, seraya tetap memandangnya. Perlahan-lahan ia mengulurkan tangan ke arahku. 
Dan aku menyambutnya.
Ketika kulihat tanganku menggenggam tangannya dengan sukarela, barulah kusadari bahwa aku memercayainya. 
Ia membantuku berdiri dan tidak melepaskan tanganku ketika aku sudah tegak.
"Sekarang bagaimana?" tanyaku hati-hati. 
"Well, kita tidak bisa terlalu lama di sini. Kau mau kembali ke rumah itu bersamaku? Tasku ketinggalan. Kau sampai di kulkas duluan."
Aku menggeleng.
Tampaknya ia menyadari betapa rapuh diriku, betapa aku nyaris patah. 
"Kalau begitu, maukah kau menungguku di sini?" tanyanya lembut. 
"Aku akan sangat cepat. Aku akan mengambil lebih banyak makanan untuk kita."
"Kita?"
"Kau benar-benar mengira aku akan membiarkanmu menghilang? Aku akan mengikutimu, walaupun kau melarangku."
Aku tidak ingin menghilang darinya.
"Aku..." Bagaimana mungkin aku tidak bisa memercayai manusia lain sepenuhnya? Kami keluarga--bagian dari serikat kepunahan. "Aku tidak punya waktu. Aku harus cukup jauh dan... Jamie sedang menungguku."
"Kau tidak sendirian," ujarnya tersadar. Untuk pertama kali raut wajahnya menunjukkan kebimbangan.
"Adikku. Dia baru sembilan tahun, dan sangat ketakutan ketika aku pergi. Perlu setengah malam bagiku untuk kembali kepadanya. Dia takkan tahu apakah aku tertangkap. Dia sangat kelaparan." Seakan menegaskan perkataanku, perutku bergemuruh kencang. 


Senyum Jared kembali, lebih cerah daripada sebelumnya. "Apakah akan membantu jika aku memberimu tumpangan?"
"Tumpangan?" ulangku.
"Begini saja. Kau menunggu di sini, sementara aku mengumpulkan lebih banyak makanan. lalu aku akan mengantarmu, ke mana pun kau ingin pergi, dengan jipku. Lebih cepat daripada berlari--bahkan lebih cepat daripada larimu."
"Kau punya mobil?"
"Tentu saja. kaupikir aku berjalan kaki kemari?"
Kubayangkan waktu enam jam yang kuperlukan untuk berjalan kemari, dan keningku berkerut.
"Kita akan kembali kepada adikmu secepat kilat," janjinya. "Jangan pindah dari tempat ini, oke?"
Aku mengangguk.
"Dan kumohon, makanlah sesuatu. Aku tidak ingin perutmu membuat kita ketahuan." Ia nyengir, dan matanya berkerut ke atas, menciptakan garis-garis seperti kipas di sudut-sudutnya. Jantungku berdebar kencang, dan aku tahu aku akan menunggu di sini, kalaupun ia perlu waktu sepanjang malam.

Ia masih memegang tanganku. Ia melepaskannya perlahan-lahan, matanya tidak meninggalkan mataku. Ia mundur selangkah, lalu berhenti.
"Kumohon, jangan tendang aku," pintanya, seraya mencondongkan tubuh dan meraih daguku. Ia menciumku lagi, dan kali ini aku merasakannya. Bibirnya lebih lembut daripada tangannya. dan terasa panas, bahkan di malam tandus yang hangat. Sekelompok kupu-kupu beterbangan di dalam perutku dan mencuri napasku. Sepasang tanganku meraih tubuhnya secara naluriah. Kusentuh kulit hangat pipinya, rambut kasar di lehernya. Jari-jari tanganku menelusuri segaris kulit berkerut, tonjolan tepat di bawah garis rambut.
Aku menjerit.

Aku terbangun bermandi keringat. Bahkan sebelum aku terbangun sepenuhnya, jemariku sudah berada di tengkuk, menelusuri garis pendek yang tertinggal akibat penyisipan. Aku nyaris tak bisa mendeteksi noda merah muda samar-samar itu dengan ujung - ujung jariku. Obat-obatan yang digunakan Penyembuh telah bekerja dengan baik.
Bekas luka Jared yang buruk memang bukan penyamaran yang baik.

Kunyalakan lampu di samping tempat tidur, dan aku menunggu napasku melambat. Pembuluh darahku dipenuhi adrenalin akibat mimpi yang terasa nyata itu.
Sebuah mimpi baru, tapi pada dasarnya sangat serupa dengan banyak mimpi lain yang mengusikku beberapa bulan belakangan ini.
Bukan, bukan mimpi. Pasti itu ingatan.
Aku masih bisa merasakan panasnya bibir Jared di bibirku. Sepasang tanganku terulur tanpa seizinku, meraba-raba permukaan seprai kusut, mencari sesuatu yang tidak mereka temukan. Jantungku terasa nyeri ketika kedua tanganku menyerah, jatuh ke tempat tidur dengan lunglai dan kosong.

Kukerjapkan mata untuk mengusir kelembaban tak diundang di mataku. Aku tak tahu seberapa banyak lagi yang bisa kutanggungkan. Bagaimana mungkin seseorang bisa bertahan hidup di dunia ini, dengan tubuh ini--yang ingatan-ingatannya tak mau tetap tinggal di masa lalu seperti seharusnya? Dengan emosi-emosi sekuat ini, aku tak tahu lagi apa yang kurasakan.
Besok aku bakal kelelahan, tapi aku merasa sangat tidak mengantuk sehingga tahu perlu berjam-jam bagiku untuk menenangkan diri. Mungkin sebaiknya aku melakukan tugasku dan segera menuntaskannya. Mungkin tindakan itu akan membantu menyingkirkan benakku dari hal-hal yang sebaiknya tak kupikirkan.

Aku berguling turun dari tempat tidur dan terhuyung-huyung menuju komputer yang merupakan satu-satunya benda di meja. Perlu beberapa detik bagi layarnya untuk menyala, dan beberapa detik lagi untuk membuka program suratku. Tak sulit menemukan alamat Pencari. Aku hanya punya empat kontak: Pencari, Penyembuh, atasan baruku dan istrinya, Penghibur-ku.

Ada manusia lain bersama inangku, Melanie Stryder.

Aku mengetik tanpa repot-repot menuliskan salam pembukaan.

Namanya Jamie Stryder; ia adiknya.

Dalam kepanikan sesaat kukagumi pengendalian diri gadis ini. Sudah selama ini, tapi aku bahkan tak pernah menebak keberadaan anak laki-laki itu. Bukan karena anak itu tidak berarti bagi si gadis, tapi karena ia melindunginya lebih ketat daripada rahasia-rahasia lain yang telah kubongkar. Apakah ia masih punya banyak rahasia sebesar dan sepenting ini? Rahasia yang begitu sakral sehingga ia menyembunyikannya, bahkan dari mimpi-mimpiku? Apakah ia sekuat itu? Jemariku gemetar ketika mengetikkan informasi lainnya.

Kurasa anak itu sekarang sudah remaja. Mungkin usianya tiga belas. Mereka tinggal di perkemahan sementara, dan aku yakin lokasinya di utara kota Cave Creek, Arizona. Tapi itu beberapa tahun yang lalu. Meski begitu kau bisa membandingkan peta dengan garis - garis yang kuingat sebelumnya. Seperti biasa akan kukabari kalau aku mendapat informasi lain.

Kukirimkan surat itu. Begitu suratnya terkirim, aku langsung dilanda kengerian.
Jangan Jamie!
Suara gadis ini di dalam kepalaku terdengar sejelas suaraku sendiri ketika sedang bicara lantang. Aku bergidik ngeri.
Walaupun sedang berjuang mengatasi ketakutan mengenai apa yang sedang terjadi, aku dicekam keinginan sinting untuk kembali mengirimkan email kepada Pencari dan meminta maaf karena telah mengiriminya mimpi-mimpi sintingku, lalu mengatakan aku masih setengah tidur sehingga tidak memperhatikan pesan tolol yang telah kukirimkan.
Itu bukan keinginanku.
Kumatikan komputer.

Aku benci kau, geram suara di dalam kepalaku.
 "Kalau begitu sebaiknya kau pergi," gertakku. Suaraku, yang menjawabnya dengan lantang, membuatku kembali bergidik.
Gadis ini belum pernah bicara kepadaku sejak saat-saat pertama aku berada di sini. Tak diragukan lagi ia semakin kuat. Persis seperti mimpi-mimpi itu.
Dan tak perlu dipertanyakan lagi, aku harus mengunjungi Penghibur-ku besok. Air mata malu dan kecewa merebak di mataku saat memikirkan hal itu.
Aku kembali ke tempat tidur, meletakkan bantal menutupi wajah, dan mencoba untuk tidak memikirkan apa-apa.

---


0 comments on "The Host - Bab 4"

Post a Comment