Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara

Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara
Harga mulai 5rb an. Gratis ongkir DKI Jakarta

The Host - Bab 22

Tak Berdaya
 
Jeb meletakkan tangannya di belakang kepala dan mendongak memandang langit-langit gelap. Wajahnya serius. Suasana hatinya masih ceria.
"Aku sering bertanya-tanya, bagaimana rasanya--tertangkap. Kau tahu, kan? Peristiwa itu pernah kusaksikan lebih dari satu kali, dan aku sendiri pernah beberapa kali nyaris tertangkap. Aku ingin tahu bagaimana rasanya. Apakah menyakitkan, ketika mereka meletakkan sesuatu di dalam kepalamu? Kau tahu, aku pernah melihat kejadiannya."
Mataku membelalak terkejut, tapi Jeb tidak sedang memandangku.
Tampaknya seakan kalian menggunakan sejenis anestesi, walaupun itu hanya dugaanku. Tapi tak seorang pun berteriak kesakitan atau semacam itu, jadi rasanya pasti tidak terlalu menyiksa."
Aku mengernyit. Siksaan. Tidak, hanya manusia yang melakukan itu.
"Kisah-kisah yang kauceritakan kepada anak itu benar-benar menarik."
Aku mengejang, dan Jeb tertawa kecil. "Ya, aku mendengarkan. Kuakui, aku menguping. Aku tidak menyesal. Itu cerita hebat, dan kau tidak akan bicara kepadaku seperti caramu bicara kepada Jamie. Aku benar-benar menyukai kelelawar, tanaman, dan laba-laba itu. Memberiku banyak bahan untuk direnungkan. Aku selalu suka membaca cerita aneh sinting, fiksi ilmiah, sejenisnya. Melahapnya habis. Dan anak itu mirip aku. Dia telah membaca semua bukuku, masing-masing satu, dua, tiga kali. Pasti menyenangkan baginya mendapat beberapa cerita baru. Kau pendongeng yang baik."
Aku tetap menunduk, tapi kurasakan diriku melunak, sedikit melonggarkan kewaspadaan. Seperti siapa pun yang berada di dalam tubuh emosional ini, aku menyukai pujian.
"Semua orang di sini mengira kau memburu kami untuk menyerahkan kami kepada para Pencari."
Kata itu mengirim getaran yang mengguncang sekujur tubuhku. Rahangku menegang dan gigiku menggigit lidah. Ada rasa darah.
"Mungkinkah ada alasan lain?" lanjut Jeb, tanpa menyadari reaksiku atau sengaja mengabaikannya. "Tapi kurasa mereka hanya terperangkap dalam anggapan-anggapan yang sudah terpatri. Hanya aku yang bertanya-tanya... Maksudku, rencana macam apa itu? Berkelana di padang gurun tanpa memikirkan cara apa pun untuk kembali?" Ia tergelak. "Berkelana--kurasa itulah keistimewaanmu, eh, Wanda?"
Jeb mencondongkan tubuh dan menyikutku dengan sebelah sikunya. Tatapanku yang membelalak bingung berpindah-pindah dari lantai, ke wajahnya, lalu kembali ke lantai. Ia kembali tertawa.
"Menurutku petualanganmu itu hanya beberapa langkah dari bunuh diri yang sukses. Jelas bukan modus operandi yang digunakan Pencari, kalau kau tahu maksudku. Aku sudah mencoba memikirkan alasannya. Gunakan logika, bukan? Jadi, seandainya kau tak punya bala bantuan--aku belum melihat tanda-tandanya--dan tidak punya cara untuk kembali, kau pasti punya tujuan lain. Kau belum banyak bicara sejak berada di sini, kecuali dengan anak itu tadi, tapi aku mendengar apa yang kaukatakan. Menurutku, tampaknya alasan kau nyaris mati di luar sana adalah karena kau berjuang mati-matian untuk menemukan anak itu dan Jared."
Aku memejamkan mata.
"Tapi, mengapa kau peduli?" tanya Jeb tanpa mengharapkan jawaban, hanya bertanya-tanya sendiri. "Jadi, beginilah caraku melihatnya. Entah kau aktris yang benar-benar jempolan--semacam Pencari-super, jenius baru, lebih licik daripada sebelumnya--dengan rencana yang tak bisa kupahami, atau kau tidak bersandiwara. Kesimpulan pertama tampaknya memerlukan penjelasan yang cukup rumit di sana-sini atas perilakumu, dan aku tidak percaya.
"Tapi kalau kau tidak bersandiwara..."
Jeb terdiam sejenak.
"Aku menghabiskan banyak waktu untuk mengamati bangsamu. Aku selalu menunggu mereka berubah, kau tahu, kan, ketika mereka tak harus berperilaku seperti kami lagi, karena tak ada siapa-siapa yang harus dibohongi. Aku terus mengamati dan menunggu, tapi mereka terus saja bertingkah seperti manusia. Tinggal bersama keluarga tubuh mereka, pergi piknik jika cuaca bagus, menanam bunga-bungaan dan melukis, dan sebagainya. Aku ingin tahu apakah akhirnya kalian memang berubah menjadi semacam manusia, apakah kami sedikit-banyak memang bisa memengaruhi kalian."
Jeb menunggu, memberiku kesempatan untuk menjawab. Aku tidak melakukannya.
"Beberapa tahun yang lalu aku melihat sesuatu yang terus kuingat. Seorang lelaki dan perempuan tua. Well, lebih tepatnya tubuh seorang lelaki dan perempuan tua. Mereka telah begitu lama bersama-sama, sehingga kulit di sekeliling cincin kawin mereka sudah keriput semuanya. Mereka berpegangan tangan, lelaki tua itu mencium pipi si perempuan tua, perempuan tua itu tersipu-sipu di balik semua keriput itu. Terpikir olehku bahwa kalian memiliki perasaan yang sama dengan yang kami miliki, karena kalian benar-benar menjadi kami, bukan sekadar menjadi tangan-tangan yang berada di dalam boneka tangan."
"Ya," bisikku. "Kami memiliki semua perasaan itu. Perasaan manusia. Harapan, penderitaan, dan cinta."
"Jadi, kalau kau tidak bersandiwara... well, aku berani bersumpah kau mencintai mereka berdua. Kau sendiri, Wanda, bukan hanya tubuh Mel."
Kuletakkan kepalaku di kedua lenganku. Gerakan itu sama artinya dengan pengakuan, tapi aku tak peduli. AKu tak tahan lagi.
"Jadi, itulah kau. Tapi aku juga ingin tahu tentang keponakanku. Bagaimana rasanya baginya, bagaimana rasanya bagiku. Ketika mereka meletakkan seseorang di dalam kepalamu, apakah kau... menghilang begitu saja? Terhapuskan? Seperti mati? Atau apakah seperti tertidur? Apakah kau menyadari ada kendali dari luar? Apakah Melanie menyadari keberadaanmu? Apakah Melanie terperangkap di dalam sana, berteriak di dalam?"
Aku duduk tak bergerak, mencoba menjaga ketenangan wajahku.
"Singkatnya, hanya semua ingatan dan perilakumu yang tertinggal. Tapi kesadaranmu... sepertinya ada beberapa orang yang tak mau menyerah tanpa memberi perlawanan. Wah, aku tahu aku akan berusaha mempertahankan keberadaanku. Aku tak pernah menerima jawaban tidak. Semua orang akan bilang begitu kepadamu. Aku penjuang. Kami semua yang tersisa adalah pejuang. Dan, kau tahu, aku juga menganggap Mel pejuang."
Jeb tidak mengalihkan tatapannya dari langit-langit, tapi aku memandang lantai, menatap, menghafalkan pola-pola di balik debu abu-abu keunguan.
"Ya, aku sering kali bertanya-tanya soal itu."
Kini bisa kurasakan pandangan Jeb tertuju kepadaku, walaupun kepalaku masih tertunduk. Aku tidak bergerak, kecuali menarik dan mengembuskan napas perlahan-lahan. Perlu banyak sekali usaha untuk menjaga kelancaran irama lambat itu. Aku harus menelan ludah; darah masih mengalir di mulutku.
Mengapa kita pernah menganggapnya sinting? Melanie bertanya-tanya. Uncle Jeb melihat segalanya. Dia genius.
Dia genius dan sinting.
Well, mungkin ini berarti kita tidak perlu tetap diam. Ia tahu, Melani penuh harap. Akhir-akhir ini ia sangat pendiam, tidak hadir nyaris setengah waktu. Tidak mudah bagi Melanie untuk berkonsentrasi ketika sedang merasa agak gembira. Ia telah memenangkan pertarungan besarnya. Ia membawa kami kemari. Rahasia-rahasianya tak lagi dalam bahaya; Jared dan Jamie takkan pernah dikhianati ingatan-ingatannya.
Setelah pertarungan itu berrakhir, lebih sulit bagi Melanie untuk menemukan keinginan bicara, bahkan denganku. Aku bisa melihat betapa gagasan ditemukan--gagasan adanya manusia-manusia lain yang mengetahui keberadaannya--membuatnya bersemangat.
Jeb tahu. Ya. Apakah itu benar-benar mengubah keadaan?
Melanie merenungkan bagaimana cara manusia-manusia lain memandang Jeb. Benar. Ia mendesah. Tapi kurasa Jamie... well, ia tidak tahu atau tidak menyangka, tapi kurasa ia bisa merasakan kebenarannya.
Mungkin kau benar. Kurasa akan kita lihat, apakah akhirnya itu akan mendatangkan kebaikan untuknya, atau untuk kita, atau tidak.
Jeb hanya bisa diam selama beberapa detik, lalu mulai mengganggu kami lagi. "Cerita yang sangat menarik. Tidak banyak dor! dor! seperti film - film yang dulu kusukai. Tapi masih cukup menarik. Aku ingin mendengar lebih banyak tentang Laba-Laba itu. Aku sungguh penasaran... sungguh penasaran. Pasti."
Aku menghela napas panjang dan mengangkat kepala. "Apa yang ingin kauketahui?"
Jeb tersenyum hangat, matanya mengerut membentuk setengah lingkaran. "Tiga otak, bukan?"
Aku mengangguk.
"Berapa banyak mata?"
"Dua belas--satu pada masing-masing sambungan antara kaki dan tubuh. Kami tidak punya kelopak mata, hanya punya banyak serat--seperti bulu mata dari benang baja--untuk melindungi mata-mata itu."
Jeb mengangguk, matanya berseri-seri. "Apakah mereka berbulu, seperti tarantula?"
"Tidak. Semacam... baju besi--bersisik, seperti reptil atau ikan."
Aku bersandar pada dinding, menyiapkan diri untuk percakapan panjang.
Jeb tidak mengecewakan. Tak bisa lagi kuhitung berapa banyak pertanyaan yang ia ajukan. Ia menginginkan detai-detail--rupa Laba-Laba, perilaku mereka, bagaimana mereka menangani Bumi. Ia tidak gentar mendengar detail-detail penyerangan Bumi; sebaliknya, ia tampak nyaris lebih menikmati bagian itu ketimbang bagian-bagian lainnya. Pertanyaan-pertanyaan Jeb muncul cepat di pengujung jawaban-jawabanku, dan ia terus-menerus nyengir. Ketika berjam-jam kemudian ia merasa puas soal Laba-laba, ia ingin tahu lebih banyak mengenai Bunga-Bunga.
"Kau belum cukup menjelaskan bagian yang itu," ujar Jeb mengingatkan.
Jadi kuceritakan tentang planet paling indah dan tenang di antara semua planet. Setiap kali aku berhenti untuk bernapas, ia hampir selalu menyelaku dengan pertanyaan baru. Ia suka menebak jawaban-jawabannya sebelum aku bisa bicara, dan tampaknya tidak keberatan dirinya salah total.
"Jadi, apakah kalian menyantap lalat, seperti tanaman Venus flytrap? Aku berani bertaruh kau melakukannya--atau mungkin menangkap sesuatu yang lebih besar, misanya burung--seperti pterodactyl!"
"Tidak. Kami menggunakan sinar matahari sebagai makanan, seperti sebagian besar tanaman di sini."
"Well, itu tidak semenarik gagasanku."
Terkadang aku mendapati diriku tertawa bersamanya.
Kami baru saja beralih ke Naga ketika Jamie muncul membawakan makan malam untuk tiga orang.
"Hai, Wanderer," sapanya, sedikit malu.
"Hai, Jamie," jawabku, sedikit malu, karena tak yakin apakah ia menyesali kedekatan kami tadi. Bagaimanapun, aku adalah penjahatnya.
Tapi Jamie duduk persis di sebelahku, di antara diriku dan Jeb. Ia menyilangkan kaki dan meletakkan nampan makanan di tengah lingkaran kecil kami. Aku kelaparan, dan kehausan akibat terlalu banyak bicara. Kuambil semangkuk sup dan kuhabiskan dalam beberapa teguk.
"Seharusnya aku tahu, kau hanya bersikap sopan di ruang makan tadi. Kau harus bilang kalau lapar, Wanda. Aku bukan pembaca pikiran."
Aku tidak setuju dengan bagian terakhir itu, tapi terlalu sibuk mengunyak roti untuk menjawabnya.
"Wanda?" tanya Jamie.
Aku mengangguk, membiarkannya tahu aku tidak keberatan.
"Cukup cocok untuknya, bukan?" Jeb begitu bangga. Aku heran, mengapa ia tidak menepuk-nepuk punggungnya sendiri untuk memperjelas rasa bangganya.
"Kurasa begitu," jawab Jamie. "Apakah kalian sedang membicarakan naga?"
"Ya," ujar Jeb antusias. "Tapi bukan sejenis kadal. Mereka semua terbuat dari jeli. Tapi mereka bisa terbang... atau semacam itu. Udaranya lebih padat, agak menyerupai jeli juga. Jadi rasanya hampir seperti berenang. Dan mereka bisa mengembuskan asam--bisa dikatakan itu sama dengan api, bukan?"
Aku membiarkan Jeb menceritakan detail-detailnya kepada Jamie, sementara itu aku menyantap makanan melebihi jatahku, dan menghabiskan sebotol air. Ketika mulutku sudah kosong, Jeb memulai lagi pertanyaan-pertanyaannya.
"Nah, asam ini..."
Jamie tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti yang dilakukan Jeb, dan aku lebih berhati-hati bicara dengan adanya Jamie di sini. Tapi kali ini Jeb tidak menanyakan topik yang bisa membawa kami pada subjek sensitif, baik kebetulan ataupun disengaja, sehingga kehati-hatianku tidak diperlukan.
 
Cahaya perlahan-lahan memudar, sampai lorong berubah hitam. Lalu ketika mataku sudah menyesuaikan diri, pantulan suram kecil keperakan cahaya bulan memungkinkanku untuk melihat lelaki dewasa dan lelaki kecil di sampingku.
Jamie beringsut semakin dekat kepadaku ketika malam makin larut. Tak kusadari bahwa aku bicara sambil menyisirkan jari-jari tanganku pada rambutnya, sampai kulihat Jeb menatap tanganku.
Kusilangkan kedua tanganku di dada.
Akhirnya Jeb menguap lebar-lebar membuatku dan Jamie melakukan hal yang sama.
"Ceritamu bagus, Wanda," ujar Jeb, ketika kami sudah selesai menggeliat.
"Itulah yang kulakukan... sebelummnya. Aku guru, di universitas di San Diego. Aku mengajar sejarah."
"Guru!" ulang Jeb, gembira. "Well, bukankah itu hebat? Ada yang bisa kita manfaatkan di sini. Anak perempuan Mag, Sharon, mengajar tiga anak, tapi banyak yang tak bisa ditanganinya. Dia paling suka matematika dan sejenisnya. Nah, sejarah--"
"Aku hanya mengajarkan sejarah kami," selaku, karena tampaknya mustahil untuk menunggu Jeb menghela napas. "Aku takkan banyak membantu sebagai guru di sini. Aku tidak pernah mengikuti pelatihan."
"Sejarahmu lebih baik, daripada sama sekali tidak ada. Itu hal - hal yang harus kami ketahui, sebagai bangsa manusia, mengingat kami hidup di jagad raya yang lebih padat penduduknya daripada yang kami sadari."
"Tapi aku bukan guru sebenarnya," kataku putus asa. Apakah Jeb benar-benar mengira ada orang yang ingin mendengar suaraku, apalagi mendengarkan cerita-ceritaku? "Aku semacam profesor kehormatan, hampir bisa disebut dosen tamu. Mereka menginginkanku hanya karena... well, karena kisah yang melekat pada namaku."
"Itulah yang selanjutnya hendak kutanyakan," kata Jeb puas.
"Kita bisa membicarakan pengalaman mengajarmu nanti. Nah, mengapa mereka memanggilmu Wanderer? Aku pernah mendengar banyak nama aneh. Dry Water, Finger in the Sky, Falling Upward. Tentu saja semua nama itu berbaur dengan Pam dan Jim. Percayalah, itu sesuatu yang bisa membuat orang mati penasaran."
Aku menunggu sampai merasa yakin Jeb sudah selesai bicara. "Well, biasanya jiwa akan mencoba satu atau dua planet--rata-rata dua--lalu mereka akan menetap di tempat favorit mereka. Ketika tubuh mereka mendekati kematian, mereka hanya berpindah ke inang lain di dalam spesies yang sama di planet yang sama. Berpindah dari satu jenis tubuh ke jenis tubuh yang lain sangat memusingkan. Sebagian besar jiwa benar-benar membenci hal itu. Beberapa tak pernah pindah dari planet tempat mereka dilahirkan. Terkadang ada yang sulit menemukan kecocokan. Mereka bisa mencoba tiga planet. Aku pernah berjumpa dengan jiwa yang menjalani lima planet, sebelum akhirnya menetap bersama para Kelelawar. Aku suka di sana--kurasa itulah pilihan terdekatku. Seandainya tidak ada kebutaan..."
"Kau pernah menjalani berapa planet?" tanya Jamie berisik. Entah bagaimana, ketika aku sedang bicara, tangannya menemukan jalan ke dalam tanganku.
"Ini planet kesembilanku," jawabku, meremas lembut jemarinya.
"Wow, sembilan!" bisik Jamie.
"Itulan sebabnya mereka menginginkanku mengajar. Siapa pun bisa mengajar statistik, tapi aku punya pengalaman pribadi mengenai sebagian besar planet yang telah kami... kuasai." Aku bimbang dengan kata itu, tapi tampaknya Jamie tidak terganggu. "Hanya tiga planet yang belum pernah kujalani. Well, kini empat. Mereka baru saja membuka dunia baru."
Aku berharap Jeb mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai dunia baru itu, atau dunia-dunia yang kuloncati, tapi ia hanya memainkan ujung janggutnya tanpa sadar.
"Mengapa kau tak pernah menetap di suatu tempat?" tanya Jamie.
"Aku tak pernah menemukan tempat yang cukup kusukai sebagai tempat tinggal ."
"Bagaimana dengan Bumi? Menurutmu, kau akan menetap di sini?"


Aku ingin tersenyum melihat kepercayaan diri kanak-kanak Jamie--seakan aku hendak diberi kesempatan untuk berpindah ke inang lain, seakan aku hendak diberi kesempatan untuk hidup bahkan sebulan lagi di dalam inangku ini.
"Bumi... sangat menarik," gumamku. "Lebih sulit daripada tempat mana pun yang pernah kujalani."
"Lebih sulit daripada tempat berudara beku dengan hewan buas bercakar?" tanya Jamie.
"Ya. BIsa dibilang begitu." Bagaimana mungkin aku bisa menjelaskan bahwa Mists Planet hanya akan menyerangmu dari luar?  Jauh lebih sulit jika kau diserang dari dalam.
Diserang, ejek Melanie.
Aku menguap. Sesungguhnya bukan kau yang sedang kupikirkan, kataku kepadanya. Aku sedang memikirkan emosi-emosi tidak stabil ini, yang selalu mengkhianatiku. Tapi kau memang menyerangku. Mendesakkan ingatan-ingatanmu seperti itu.
Aku sudah jera, ujar Melanie masam. Dan bisa kurasakan betapa ia sangat menyadari keberadaan tangan yang berada di dalam genggaman tanganku. Ada emosi yang perlahan-lahan berkembang di dalam dirinya. Emosi yang tidak kukenal. Sesuatu yang mendekati kemarahan, dibumbui sedikit keinginan dan sebagian keputusasaan.
Cemburu, Melanie memberitahuku.
Jeb kembali menguap. "Kurasa aku bersikap sangat tidak sopan. Mestinya kau lelah--berjalan ke mana-mana hari ini, lalu aku membuatmu terjaga sampai tengah malam untuk bicara. Seharusnya aku menjadi tuan rumah yang lebih baik. Ayo, Jamie, ayo pergi dan biarkan Wanda tidur."
Aku lelah. Rasanya hari itu sangat panjang. Dan, berdasarkan kata-kata Jeb, mungkin itu bukan hanya khayalanku.
"Oke, Uncle Jeb." Dengan ringan Jamie melompat berdiri, lalu menawarkan tangannya kepada lelaki tua itu.
"Terima kasih, Nak." Jeb mengerang ketika bangkit berdiri. "Dan terima kasih kepadamu juga," imbuhnya kepadaku. "Percakapan paling menarik yang pernah kualami dalam... well, mungkin selamanya. Istirahatkan suaramu, Wanda, karena rasa penasaranku sangat kuat. Ah, itu dia! Sudah saatnya."
Saat itulah baru kudengar suara langkah mendekat. Otomatis aku merapat ke dinding dan bergeser lebih jauh ke dalam ruang gua. Lalu, karena cahaya bulan lebih terang di dalam, aku merasa diriku bisa terlihat lebih jelas.
Aku terkejut karena inilah orang pertama yang muncul untuk tidur malam ini; sepertinya koridor menampung banyak orang.
"Maaf, Jeb. Aku harus bicara dengan Sharon, lalu aku agak ketiduran."
Mustahil untuk tidak mengenal suara lembut ramah ini. Perutku bergolak, tidak stabil, dan aku berharap tak ada isinya.
"Kami bahkan tidak memperhatikan hal itu, Doc," ujar Jeb. "Kami sednag bersenang-senang di sini. Suatu hari nanti kau harus meminta Wanda menceritakan beberapa kisahnya--cerita yang bagus. Tapi bukan malam ini. Aku berani bertaruh, dia pasti sangat kelelahan. Sampai jumpa besok pagi."
Doc menggelar kasur di luar lubang masuk ke kamar, persis seperti yang dilakukan Jared.
"Jaga ini," ujar Jeb, seraya meletakkan senapan di samping kasur.
"Kau baik-baik saja, Wanda?" tanya Jamie. "Kau gemetar."
Aku belum menyadarinya, tapi sekujur tubuhku bergetar. Aku tidak menjawab Jamie--tenggorokanku membengkak sehingga menutup.
"Nah, nah," ujar Jeb lembut. "Aku bertanya pada Doc, apakah dia tidak keberatan bertugas jaga. Kau tak perlu mengkhawatirkan apa pun. Doc lelaki terhormat."
Doc tersenyum mengantuk. "Aku tidak akan melukaimu... Wanda, bukan? Aku berjanji. Aku akan terus berjaga ketika kau tidur."
Aku menggigit bibir. Tubuhku tetap gemetaran.
Tapi sepertinya Jeb mengira semua beres. "Selamat malam, Wanda. Selama malam, Doc," katanya, ketika mulai menyusuri lorong.
Jamie bimbang, memandangku dengan wajah khawatir. "Doc tidak apa-apa," bisiknya.
"Ayo, Nak, sudah malam!"
Jamie bergegas mengikuti Jeb.
Aku mengamati Doc ketika mereka sudah pergi, menunggu munculnya semacam perubahan. Tapi raut wajah santai Doc tidak berubah, dan ia tidak menyentuh senapan. Ia meregangkan tubuhnya di kasur, betis dan kakinya melewati tepi kasur. Saat berbaring ia tampak jauh lebih kecil. Tubuhnya kurus kerempeng.
"Selamat malam," gumamnya mengantuk.
Tentu saja aku tidak menjawab. Aku mengamati Doc dalam cahaya bulan temaram, menghitung naik-turun dadanya berdasarkan suara denyut yang berdentam-dentam di telingaku. Napas Doc melambat dan semakin dalam, lalu ia mulai mendengkur pelan.
Mungkin saja ia hanya bersandiwara. Tapi kalaupun benar, tak banyak yang bisa kulakukan soal itu. Diam - diam aku merayap semakin jauh ke dalam kamar, sampai kurasakan ujung tempat tidur di punggungku. Aku telah berjanji kepada diri sendiri untuk tidak mengusik tempat ini, tapi mungkin tak ada salahnya jika aku meringkuk di ujung kasur. Lantainya kasar dan sangat keras.
Dengkur pelan Doc menghiburku; walaupun seandainya ia sengaja melakukan itu untuk menenangkanku. Setidaknya aku tahu persis di mana ia berada di dalam gelap.
Hidup atau mati, kurasa sebaiknya kuteruskan saja dan tidur. Aku sangat lelah, itulah yang akan dikatakan Melanie. Kubiarkan mataku terpejam. Kasurnya lebih empuk daripada semua benda yang pernah kusentuh sejak datang kemari. Aku merasa santai, terbuai...
Terdengar suara langkah terseret pelan--asalnya dari dalam kamar. Mataku langsung terbuka, dan aku bisa melihat bayangan di antara langit-langit yang diterangi cahaya bulan dan tubuhku. Di luar, dengkur Doc berlanjut tanpa terganggu.

0 comments:

Post a Comment

Jual Nugget dan Sosis Sayur

Jual Nugget dan Sosis Sayur
Pemesanan via email : lwati111@gmail.com

The Host - Bab 22

Tak Berdaya
 
Jeb meletakkan tangannya di belakang kepala dan mendongak memandang langit-langit gelap. Wajahnya serius. Suasana hatinya masih ceria.
"Aku sering bertanya-tanya, bagaimana rasanya--tertangkap. Kau tahu, kan? Peristiwa itu pernah kusaksikan lebih dari satu kali, dan aku sendiri pernah beberapa kali nyaris tertangkap. Aku ingin tahu bagaimana rasanya. Apakah menyakitkan, ketika mereka meletakkan sesuatu di dalam kepalamu? Kau tahu, aku pernah melihat kejadiannya."
Mataku membelalak terkejut, tapi Jeb tidak sedang memandangku.
Tampaknya seakan kalian menggunakan sejenis anestesi, walaupun itu hanya dugaanku. Tapi tak seorang pun berteriak kesakitan atau semacam itu, jadi rasanya pasti tidak terlalu menyiksa."
Aku mengernyit. Siksaan. Tidak, hanya manusia yang melakukan itu.
"Kisah-kisah yang kauceritakan kepada anak itu benar-benar menarik."
Aku mengejang, dan Jeb tertawa kecil. "Ya, aku mendengarkan. Kuakui, aku menguping. Aku tidak menyesal. Itu cerita hebat, dan kau tidak akan bicara kepadaku seperti caramu bicara kepada Jamie. Aku benar-benar menyukai kelelawar, tanaman, dan laba-laba itu. Memberiku banyak bahan untuk direnungkan. Aku selalu suka membaca cerita aneh sinting, fiksi ilmiah, sejenisnya. Melahapnya habis. Dan anak itu mirip aku. Dia telah membaca semua bukuku, masing-masing satu, dua, tiga kali. Pasti menyenangkan baginya mendapat beberapa cerita baru. Kau pendongeng yang baik."
Aku tetap menunduk, tapi kurasakan diriku melunak, sedikit melonggarkan kewaspadaan. Seperti siapa pun yang berada di dalam tubuh emosional ini, aku menyukai pujian.
"Semua orang di sini mengira kau memburu kami untuk menyerahkan kami kepada para Pencari."
Kata itu mengirim getaran yang mengguncang sekujur tubuhku. Rahangku menegang dan gigiku menggigit lidah. Ada rasa darah.
"Mungkinkah ada alasan lain?" lanjut Jeb, tanpa menyadari reaksiku atau sengaja mengabaikannya. "Tapi kurasa mereka hanya terperangkap dalam anggapan-anggapan yang sudah terpatri. Hanya aku yang bertanya-tanya... Maksudku, rencana macam apa itu? Berkelana di padang gurun tanpa memikirkan cara apa pun untuk kembali?" Ia tergelak. "Berkelana--kurasa itulah keistimewaanmu, eh, Wanda?"
Jeb mencondongkan tubuh dan menyikutku dengan sebelah sikunya. Tatapanku yang membelalak bingung berpindah-pindah dari lantai, ke wajahnya, lalu kembali ke lantai. Ia kembali tertawa.
"Menurutku petualanganmu itu hanya beberapa langkah dari bunuh diri yang sukses. Jelas bukan modus operandi yang digunakan Pencari, kalau kau tahu maksudku. Aku sudah mencoba memikirkan alasannya. Gunakan logika, bukan? Jadi, seandainya kau tak punya bala bantuan--aku belum melihat tanda-tandanya--dan tidak punya cara untuk kembali, kau pasti punya tujuan lain. Kau belum banyak bicara sejak berada di sini, kecuali dengan anak itu tadi, tapi aku mendengar apa yang kaukatakan. Menurutku, tampaknya alasan kau nyaris mati di luar sana adalah karena kau berjuang mati-matian untuk menemukan anak itu dan Jared."
Aku memejamkan mata.
"Tapi, mengapa kau peduli?" tanya Jeb tanpa mengharapkan jawaban, hanya bertanya-tanya sendiri. "Jadi, beginilah caraku melihatnya. Entah kau aktris yang benar-benar jempolan--semacam Pencari-super, jenius baru, lebih licik daripada sebelumnya--dengan rencana yang tak bisa kupahami, atau kau tidak bersandiwara. Kesimpulan pertama tampaknya memerlukan penjelasan yang cukup rumit di sana-sini atas perilakumu, dan aku tidak percaya.
"Tapi kalau kau tidak bersandiwara..."
Jeb terdiam sejenak.
"Aku menghabiskan banyak waktu untuk mengamati bangsamu. Aku selalu menunggu mereka berubah, kau tahu, kan, ketika mereka tak harus berperilaku seperti kami lagi, karena tak ada siapa-siapa yang harus dibohongi. Aku terus mengamati dan menunggu, tapi mereka terus saja bertingkah seperti manusia. Tinggal bersama keluarga tubuh mereka, pergi piknik jika cuaca bagus, menanam bunga-bungaan dan melukis, dan sebagainya. Aku ingin tahu apakah akhirnya kalian memang berubah menjadi semacam manusia, apakah kami sedikit-banyak memang bisa memengaruhi kalian."
Jeb menunggu, memberiku kesempatan untuk menjawab. Aku tidak melakukannya.
"Beberapa tahun yang lalu aku melihat sesuatu yang terus kuingat. Seorang lelaki dan perempuan tua. Well, lebih tepatnya tubuh seorang lelaki dan perempuan tua. Mereka telah begitu lama bersama-sama, sehingga kulit di sekeliling cincin kawin mereka sudah keriput semuanya. Mereka berpegangan tangan, lelaki tua itu mencium pipi si perempuan tua, perempuan tua itu tersipu-sipu di balik semua keriput itu. Terpikir olehku bahwa kalian memiliki perasaan yang sama dengan yang kami miliki, karena kalian benar-benar menjadi kami, bukan sekadar menjadi tangan-tangan yang berada di dalam boneka tangan."
"Ya," bisikku. "Kami memiliki semua perasaan itu. Perasaan manusia. Harapan, penderitaan, dan cinta."
"Jadi, kalau kau tidak bersandiwara... well, aku berani bersumpah kau mencintai mereka berdua. Kau sendiri, Wanda, bukan hanya tubuh Mel."
Kuletakkan kepalaku di kedua lenganku. Gerakan itu sama artinya dengan pengakuan, tapi aku tak peduli. AKu tak tahan lagi.
"Jadi, itulah kau. Tapi aku juga ingin tahu tentang keponakanku. Bagaimana rasanya baginya, bagaimana rasanya bagiku. Ketika mereka meletakkan seseorang di dalam kepalamu, apakah kau... menghilang begitu saja? Terhapuskan? Seperti mati? Atau apakah seperti tertidur? Apakah kau menyadari ada kendali dari luar? Apakah Melanie menyadari keberadaanmu? Apakah Melanie terperangkap di dalam sana, berteriak di dalam?"
Aku duduk tak bergerak, mencoba menjaga ketenangan wajahku.
"Singkatnya, hanya semua ingatan dan perilakumu yang tertinggal. Tapi kesadaranmu... sepertinya ada beberapa orang yang tak mau menyerah tanpa memberi perlawanan. Wah, aku tahu aku akan berusaha mempertahankan keberadaanku. Aku tak pernah menerima jawaban tidak. Semua orang akan bilang begitu kepadamu. Aku penjuang. Kami semua yang tersisa adalah pejuang. Dan, kau tahu, aku juga menganggap Mel pejuang."
Jeb tidak mengalihkan tatapannya dari langit-langit, tapi aku memandang lantai, menatap, menghafalkan pola-pola di balik debu abu-abu keunguan.
"Ya, aku sering kali bertanya-tanya soal itu."
Kini bisa kurasakan pandangan Jeb tertuju kepadaku, walaupun kepalaku masih tertunduk. Aku tidak bergerak, kecuali menarik dan mengembuskan napas perlahan-lahan. Perlu banyak sekali usaha untuk menjaga kelancaran irama lambat itu. Aku harus menelan ludah; darah masih mengalir di mulutku.
Mengapa kita pernah menganggapnya sinting? Melanie bertanya-tanya. Uncle Jeb melihat segalanya. Dia genius.
Dia genius dan sinting.
Well, mungkin ini berarti kita tidak perlu tetap diam. Ia tahu, Melani penuh harap. Akhir-akhir ini ia sangat pendiam, tidak hadir nyaris setengah waktu. Tidak mudah bagi Melanie untuk berkonsentrasi ketika sedang merasa agak gembira. Ia telah memenangkan pertarungan besarnya. Ia membawa kami kemari. Rahasia-rahasianya tak lagi dalam bahaya; Jared dan Jamie takkan pernah dikhianati ingatan-ingatannya.
Setelah pertarungan itu berrakhir, lebih sulit bagi Melanie untuk menemukan keinginan bicara, bahkan denganku. Aku bisa melihat betapa gagasan ditemukan--gagasan adanya manusia-manusia lain yang mengetahui keberadaannya--membuatnya bersemangat.
Jeb tahu. Ya. Apakah itu benar-benar mengubah keadaan?
Melanie merenungkan bagaimana cara manusia-manusia lain memandang Jeb. Benar. Ia mendesah. Tapi kurasa Jamie... well, ia tidak tahu atau tidak menyangka, tapi kurasa ia bisa merasakan kebenarannya.
Mungkin kau benar. Kurasa akan kita lihat, apakah akhirnya itu akan mendatangkan kebaikan untuknya, atau untuk kita, atau tidak.
Jeb hanya bisa diam selama beberapa detik, lalu mulai mengganggu kami lagi. "Cerita yang sangat menarik. Tidak banyak dor! dor! seperti film - film yang dulu kusukai. Tapi masih cukup menarik. Aku ingin mendengar lebih banyak tentang Laba-Laba itu. Aku sungguh penasaran... sungguh penasaran. Pasti."
Aku menghela napas panjang dan mengangkat kepala. "Apa yang ingin kauketahui?"
Jeb tersenyum hangat, matanya mengerut membentuk setengah lingkaran. "Tiga otak, bukan?"
Aku mengangguk.
"Berapa banyak mata?"
"Dua belas--satu pada masing-masing sambungan antara kaki dan tubuh. Kami tidak punya kelopak mata, hanya punya banyak serat--seperti bulu mata dari benang baja--untuk melindungi mata-mata itu."
Jeb mengangguk, matanya berseri-seri. "Apakah mereka berbulu, seperti tarantula?"
"Tidak. Semacam... baju besi--bersisik, seperti reptil atau ikan."
Aku bersandar pada dinding, menyiapkan diri untuk percakapan panjang.
Jeb tidak mengecewakan. Tak bisa lagi kuhitung berapa banyak pertanyaan yang ia ajukan. Ia menginginkan detai-detail--rupa Laba-Laba, perilaku mereka, bagaimana mereka menangani Bumi. Ia tidak gentar mendengar detail-detail penyerangan Bumi; sebaliknya, ia tampak nyaris lebih menikmati bagian itu ketimbang bagian-bagian lainnya. Pertanyaan-pertanyaan Jeb muncul cepat di pengujung jawaban-jawabanku, dan ia terus-menerus nyengir. Ketika berjam-jam kemudian ia merasa puas soal Laba-laba, ia ingin tahu lebih banyak mengenai Bunga-Bunga.
"Kau belum cukup menjelaskan bagian yang itu," ujar Jeb mengingatkan.
Jadi kuceritakan tentang planet paling indah dan tenang di antara semua planet. Setiap kali aku berhenti untuk bernapas, ia hampir selalu menyelaku dengan pertanyaan baru. Ia suka menebak jawaban-jawabannya sebelum aku bisa bicara, dan tampaknya tidak keberatan dirinya salah total.
"Jadi, apakah kalian menyantap lalat, seperti tanaman Venus flytrap? Aku berani bertaruh kau melakukannya--atau mungkin menangkap sesuatu yang lebih besar, misanya burung--seperti pterodactyl!"
"Tidak. Kami menggunakan sinar matahari sebagai makanan, seperti sebagian besar tanaman di sini."
"Well, itu tidak semenarik gagasanku."
Terkadang aku mendapati diriku tertawa bersamanya.
Kami baru saja beralih ke Naga ketika Jamie muncul membawakan makan malam untuk tiga orang.
"Hai, Wanderer," sapanya, sedikit malu.
"Hai, Jamie," jawabku, sedikit malu, karena tak yakin apakah ia menyesali kedekatan kami tadi. Bagaimanapun, aku adalah penjahatnya.
Tapi Jamie duduk persis di sebelahku, di antara diriku dan Jeb. Ia menyilangkan kaki dan meletakkan nampan makanan di tengah lingkaran kecil kami. Aku kelaparan, dan kehausan akibat terlalu banyak bicara. Kuambil semangkuk sup dan kuhabiskan dalam beberapa teguk.
"Seharusnya aku tahu, kau hanya bersikap sopan di ruang makan tadi. Kau harus bilang kalau lapar, Wanda. Aku bukan pembaca pikiran."
Aku tidak setuju dengan bagian terakhir itu, tapi terlalu sibuk mengunyak roti untuk menjawabnya.
"Wanda?" tanya Jamie.
Aku mengangguk, membiarkannya tahu aku tidak keberatan.
"Cukup cocok untuknya, bukan?" Jeb begitu bangga. Aku heran, mengapa ia tidak menepuk-nepuk punggungnya sendiri untuk memperjelas rasa bangganya.
"Kurasa begitu," jawab Jamie. "Apakah kalian sedang membicarakan naga?"
"Ya," ujar Jeb antusias. "Tapi bukan sejenis kadal. Mereka semua terbuat dari jeli. Tapi mereka bisa terbang... atau semacam itu. Udaranya lebih padat, agak menyerupai jeli juga. Jadi rasanya hampir seperti berenang. Dan mereka bisa mengembuskan asam--bisa dikatakan itu sama dengan api, bukan?"
Aku membiarkan Jeb menceritakan detail-detailnya kepada Jamie, sementara itu aku menyantap makanan melebihi jatahku, dan menghabiskan sebotol air. Ketika mulutku sudah kosong, Jeb memulai lagi pertanyaan-pertanyaannya.
"Nah, asam ini..."
Jamie tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti yang dilakukan Jeb, dan aku lebih berhati-hati bicara dengan adanya Jamie di sini. Tapi kali ini Jeb tidak menanyakan topik yang bisa membawa kami pada subjek sensitif, baik kebetulan ataupun disengaja, sehingga kehati-hatianku tidak diperlukan.
 
Cahaya perlahan-lahan memudar, sampai lorong berubah hitam. Lalu ketika mataku sudah menyesuaikan diri, pantulan suram kecil keperakan cahaya bulan memungkinkanku untuk melihat lelaki dewasa dan lelaki kecil di sampingku.
Jamie beringsut semakin dekat kepadaku ketika malam makin larut. Tak kusadari bahwa aku bicara sambil menyisirkan jari-jari tanganku pada rambutnya, sampai kulihat Jeb menatap tanganku.
Kusilangkan kedua tanganku di dada.
Akhirnya Jeb menguap lebar-lebar membuatku dan Jamie melakukan hal yang sama.
"Ceritamu bagus, Wanda," ujar Jeb, ketika kami sudah selesai menggeliat.
"Itulah yang kulakukan... sebelummnya. Aku guru, di universitas di San Diego. Aku mengajar sejarah."
"Guru!" ulang Jeb, gembira. "Well, bukankah itu hebat? Ada yang bisa kita manfaatkan di sini. Anak perempuan Mag, Sharon, mengajar tiga anak, tapi banyak yang tak bisa ditanganinya. Dia paling suka matematika dan sejenisnya. Nah, sejarah--"
"Aku hanya mengajarkan sejarah kami," selaku, karena tampaknya mustahil untuk menunggu Jeb menghela napas. "Aku takkan banyak membantu sebagai guru di sini. Aku tidak pernah mengikuti pelatihan."
"Sejarahmu lebih baik, daripada sama sekali tidak ada. Itu hal - hal yang harus kami ketahui, sebagai bangsa manusia, mengingat kami hidup di jagad raya yang lebih padat penduduknya daripada yang kami sadari."
"Tapi aku bukan guru sebenarnya," kataku putus asa. Apakah Jeb benar-benar mengira ada orang yang ingin mendengar suaraku, apalagi mendengarkan cerita-ceritaku? "Aku semacam profesor kehormatan, hampir bisa disebut dosen tamu. Mereka menginginkanku hanya karena... well, karena kisah yang melekat pada namaku."
"Itulah yang selanjutnya hendak kutanyakan," kata Jeb puas.
"Kita bisa membicarakan pengalaman mengajarmu nanti. Nah, mengapa mereka memanggilmu Wanderer? Aku pernah mendengar banyak nama aneh. Dry Water, Finger in the Sky, Falling Upward. Tentu saja semua nama itu berbaur dengan Pam dan Jim. Percayalah, itu sesuatu yang bisa membuat orang mati penasaran."
Aku menunggu sampai merasa yakin Jeb sudah selesai bicara. "Well, biasanya jiwa akan mencoba satu atau dua planet--rata-rata dua--lalu mereka akan menetap di tempat favorit mereka. Ketika tubuh mereka mendekati kematian, mereka hanya berpindah ke inang lain di dalam spesies yang sama di planet yang sama. Berpindah dari satu jenis tubuh ke jenis tubuh yang lain sangat memusingkan. Sebagian besar jiwa benar-benar membenci hal itu. Beberapa tak pernah pindah dari planet tempat mereka dilahirkan. Terkadang ada yang sulit menemukan kecocokan. Mereka bisa mencoba tiga planet. Aku pernah berjumpa dengan jiwa yang menjalani lima planet, sebelum akhirnya menetap bersama para Kelelawar. Aku suka di sana--kurasa itulah pilihan terdekatku. Seandainya tidak ada kebutaan..."
"Kau pernah menjalani berapa planet?" tanya Jamie berisik. Entah bagaimana, ketika aku sedang bicara, tangannya menemukan jalan ke dalam tanganku.
"Ini planet kesembilanku," jawabku, meremas lembut jemarinya.
"Wow, sembilan!" bisik Jamie.
"Itulan sebabnya mereka menginginkanku mengajar. Siapa pun bisa mengajar statistik, tapi aku punya pengalaman pribadi mengenai sebagian besar planet yang telah kami... kuasai." Aku bimbang dengan kata itu, tapi tampaknya Jamie tidak terganggu. "Hanya tiga planet yang belum pernah kujalani. Well, kini empat. Mereka baru saja membuka dunia baru."
Aku berharap Jeb mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai dunia baru itu, atau dunia-dunia yang kuloncati, tapi ia hanya memainkan ujung janggutnya tanpa sadar.
"Mengapa kau tak pernah menetap di suatu tempat?" tanya Jamie.
"Aku tak pernah menemukan tempat yang cukup kusukai sebagai tempat tinggal ."
"Bagaimana dengan Bumi? Menurutmu, kau akan menetap di sini?"


Aku ingin tersenyum melihat kepercayaan diri kanak-kanak Jamie--seakan aku hendak diberi kesempatan untuk berpindah ke inang lain, seakan aku hendak diberi kesempatan untuk hidup bahkan sebulan lagi di dalam inangku ini.
"Bumi... sangat menarik," gumamku. "Lebih sulit daripada tempat mana pun yang pernah kujalani."
"Lebih sulit daripada tempat berudara beku dengan hewan buas bercakar?" tanya Jamie.
"Ya. BIsa dibilang begitu." Bagaimana mungkin aku bisa menjelaskan bahwa Mists Planet hanya akan menyerangmu dari luar?  Jauh lebih sulit jika kau diserang dari dalam.
Diserang, ejek Melanie.
Aku menguap. Sesungguhnya bukan kau yang sedang kupikirkan, kataku kepadanya. Aku sedang memikirkan emosi-emosi tidak stabil ini, yang selalu mengkhianatiku. Tapi kau memang menyerangku. Mendesakkan ingatan-ingatanmu seperti itu.
Aku sudah jera, ujar Melanie masam. Dan bisa kurasakan betapa ia sangat menyadari keberadaan tangan yang berada di dalam genggaman tanganku. Ada emosi yang perlahan-lahan berkembang di dalam dirinya. Emosi yang tidak kukenal. Sesuatu yang mendekati kemarahan, dibumbui sedikit keinginan dan sebagian keputusasaan.
Cemburu, Melanie memberitahuku.
Jeb kembali menguap. "Kurasa aku bersikap sangat tidak sopan. Mestinya kau lelah--berjalan ke mana-mana hari ini, lalu aku membuatmu terjaga sampai tengah malam untuk bicara. Seharusnya aku menjadi tuan rumah yang lebih baik. Ayo, Jamie, ayo pergi dan biarkan Wanda tidur."
Aku lelah. Rasanya hari itu sangat panjang. Dan, berdasarkan kata-kata Jeb, mungkin itu bukan hanya khayalanku.
"Oke, Uncle Jeb." Dengan ringan Jamie melompat berdiri, lalu menawarkan tangannya kepada lelaki tua itu.
"Terima kasih, Nak." Jeb mengerang ketika bangkit berdiri. "Dan terima kasih kepadamu juga," imbuhnya kepadaku. "Percakapan paling menarik yang pernah kualami dalam... well, mungkin selamanya. Istirahatkan suaramu, Wanda, karena rasa penasaranku sangat kuat. Ah, itu dia! Sudah saatnya."
Saat itulah baru kudengar suara langkah mendekat. Otomatis aku merapat ke dinding dan bergeser lebih jauh ke dalam ruang gua. Lalu, karena cahaya bulan lebih terang di dalam, aku merasa diriku bisa terlihat lebih jelas.
Aku terkejut karena inilah orang pertama yang muncul untuk tidur malam ini; sepertinya koridor menampung banyak orang.
"Maaf, Jeb. Aku harus bicara dengan Sharon, lalu aku agak ketiduran."
Mustahil untuk tidak mengenal suara lembut ramah ini. Perutku bergolak, tidak stabil, dan aku berharap tak ada isinya.
"Kami bahkan tidak memperhatikan hal itu, Doc," ujar Jeb. "Kami sednag bersenang-senang di sini. Suatu hari nanti kau harus meminta Wanda menceritakan beberapa kisahnya--cerita yang bagus. Tapi bukan malam ini. Aku berani bertaruh, dia pasti sangat kelelahan. Sampai jumpa besok pagi."
Doc menggelar kasur di luar lubang masuk ke kamar, persis seperti yang dilakukan Jared.
"Jaga ini," ujar Jeb, seraya meletakkan senapan di samping kasur.
"Kau baik-baik saja, Wanda?" tanya Jamie. "Kau gemetar."
Aku belum menyadarinya, tapi sekujur tubuhku bergetar. Aku tidak menjawab Jamie--tenggorokanku membengkak sehingga menutup.
"Nah, nah," ujar Jeb lembut. "Aku bertanya pada Doc, apakah dia tidak keberatan bertugas jaga. Kau tak perlu mengkhawatirkan apa pun. Doc lelaki terhormat."
Doc tersenyum mengantuk. "Aku tidak akan melukaimu... Wanda, bukan? Aku berjanji. Aku akan terus berjaga ketika kau tidur."
Aku menggigit bibir. Tubuhku tetap gemetaran.
Tapi sepertinya Jeb mengira semua beres. "Selamat malam, Wanda. Selama malam, Doc," katanya, ketika mulai menyusuri lorong.
Jamie bimbang, memandangku dengan wajah khawatir. "Doc tidak apa-apa," bisiknya.
"Ayo, Nak, sudah malam!"
Jamie bergegas mengikuti Jeb.
Aku mengamati Doc ketika mereka sudah pergi, menunggu munculnya semacam perubahan. Tapi raut wajah santai Doc tidak berubah, dan ia tidak menyentuh senapan. Ia meregangkan tubuhnya di kasur, betis dan kakinya melewati tepi kasur. Saat berbaring ia tampak jauh lebih kecil. Tubuhnya kurus kerempeng.
"Selamat malam," gumamnya mengantuk.
Tentu saja aku tidak menjawab. Aku mengamati Doc dalam cahaya bulan temaram, menghitung naik-turun dadanya berdasarkan suara denyut yang berdentam-dentam di telingaku. Napas Doc melambat dan semakin dalam, lalu ia mulai mendengkur pelan.
Mungkin saja ia hanya bersandiwara. Tapi kalaupun benar, tak banyak yang bisa kulakukan soal itu. Diam - diam aku merayap semakin jauh ke dalam kamar, sampai kurasakan ujung tempat tidur di punggungku. Aku telah berjanji kepada diri sendiri untuk tidak mengusik tempat ini, tapi mungkin tak ada salahnya jika aku meringkuk di ujung kasur. Lantainya kasar dan sangat keras.
Dengkur pelan Doc menghiburku; walaupun seandainya ia sengaja melakukan itu untuk menenangkanku. Setidaknya aku tahu persis di mana ia berada di dalam gelap.
Hidup atau mati, kurasa sebaiknya kuteruskan saja dan tidur. Aku sangat lelah, itulah yang akan dikatakan Melanie. Kubiarkan mataku terpejam. Kasurnya lebih empuk daripada semua benda yang pernah kusentuh sejak datang kemari. Aku merasa santai, terbuai...
Terdengar suara langkah terseret pelan--asalnya dari dalam kamar. Mataku langsung terbuka, dan aku bisa melihat bayangan di antara langit-langit yang diterangi cahaya bulan dan tubuhku. Di luar, dengkur Doc berlanjut tanpa terganggu.

0 comments on "The Host - Bab 22"

Post a Comment