Aku menilik jam tanganku. Seharusnya jika bus tepat waktu, lima belas menit lagi aku dan Fatma akan sampai di Kahlenberg.
Kahlenberg adalah sebuah bukit atau pegunungan di Wina, Austria yang mengitari 7 negara Eropa. Dari Kahlenberg, orang bisa melongok cantiknya Wina dari ketinggian, dari pojok A sampai Z. Sesuai namanya, kahlenberg, "Kahl" dalam bahasa Jerman berarti telanjang, sementara "berg" pegunungan. Jadi, kira-kira maksud si pemberi nama pegunungan ini kala itu adalah dari sini orang bisa menelanjangi kota Wina seutuhnya tanpa batas.
Untuk menuju Kahlenberg, aku dan Fatma hanya perlu mengambil bus dari pusat kota dengan tiket biasa, bukan tiket khusus. Hanya dengan 1,8 Euro--atau sekitar 22 ribu rupiah--sesuai plot jadwal yang aku baca di halte, kami akan menempuh perjalanan dalam waktu 1 jam hingga mencapai titik tertinggi Wina dengan 20 halte bus di antaranya.
Ketika bus mulai berjalan, aku merasakan sebuah intuisi yang dalam. Perjalanan ke Kahlenberg ini pasti perjalanan yang memikat, aku yakin.
Tepat pukul 17.30 kami turun dari bus di sebuah halte sepi di atas bukit. Udara menjadi dingin karena kehangatan pemanas di bus hilang seketika dari tubuhku. Tapi, rasa dingin itu menjadi sirna tak terasa tatkala mataku menangkap pemandangan gunung nan asri. Kami melangkah mendekati pagar pembatas di sepanjang bukit. Pagar itu melingkar membentengi dua bukit kecil yang ditebas menyerupai tembok. Berdiri di belakangnya memungkinkan kita melihat kota Wina seutuhnya. Wina yang menyambut datangnya senja. Terlihat pemandangan luar biasa indah yang mencuri perhatianku. Kugendong Ayse mendekati pagar pembatas Kahlenberg.
Matahari sudah semakin memerah menuju peraduan, membuat bangunan dan gedung serempak menyalakan lampu. Momen tersebut sayang bila dilewatkan. Kamera di balik mantelku sudah kukeluarkan, siap menjepret detik-detik berubahnya suasana malam di Wina. Kilatan sinar dari kameraku langsung membuncah berkali-kali mengabadikan panorama senja itu. Ayse yang terus berada dalam pelukanku sesekali kubiarkan mencoba memencet-mencet tombol capture.
Diafragma kameraku menangkap sebuah objek yang membuatku bertanya-tanya. Sederhana, tetapi dia memberikan pengaruh besar terhadap horizon pemandangan kota Wina. Sebuah sungai yang membelah kota Wina menjadi dua. Aku baru sadar, inilah sungai yang terkenal itu. Donau atau Danube. Sungai yang menginspirasi Johann Strauss menciptakan lagu waltz The Blue Danube.
Simfoni abadi musik klasik itu ternyata berawal dari sungai bening di hadapanku kali itu. Waltz The Blue Danube benar-benar menggambarkan aliran sungai yang menginspirasinya. Airnya terkadang tenang, terkadang bercipratan. Persis permainan partitur waltz The Blue Danube yang kadang bergerak lembut legato dan berlompatan staccato.
http://ceritanovelonline.blogspot.com
Teng... teng... teng...
Nun jauh di kota Wina sana, lonceng gereja berbunyi bertalu-talu. Gereja kecil yang ada di Kahlenberg pun tak mau kalah menyahut. Suara loncengnya berdentang berkali-kali.
Waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore.
Matahari semakin menenggelamkan diri ke peristirahatannya. Ekor sinarnya yang berwarna semburat jingga terlihat begitu anggun. Suguhan lukisan alam yang semakin indah pada senja hari. Dari mataku aku mengindera 3 horizon panorama.
Paling atas adalah langit gelap dan matahari yang terbenam. Di tengah adalah bangunan-bangunan tinggi bercahaya yang kuyakini sebagian besar adalah gedung pencakar langit di kompleks markas PBB, gereja, dan menara pemancar. Paling bawah adalah Sungai Danube, simfoni gemercik airnya bisa terdengar dari atas Bukit Kahlenberg. Komposisi pemandangan yang langka di mataku.
Aku berusaha menikmati keindahan sore di lereng Kahlenberg. Sampai aku tersadar ada sesuatu yang hilang pada senja itu. Sesuatu yang akrab kudengar menjelang matahari terbenam, tapi kali ini tiada.
Fatma memecah keheningan, sontak menyadarkanku dari lamunan. Dia seperti tahu apa yang sedang kulamunkan senja itu.
"Kau tidak bisa mendengarnya, kan Hanum? Nun jauh di sana, di tepi Sungai Danube, ada masjid. Kalau mendekat, kita bisa mendengar azan dari masjid itu."
Segera aku raih kameraku kembali, kufokuskan lensanya ke bangunan tersebut. Dengan zoom in maksimal dalam pencahayaan sangat kurang, aku melihat bangunan berwarna hijau dengan kubah blenduk dan minaret.
Fatma memberitahuku, masjid itu bernama Vienna Islamic Center, pusat peribadatan umat Islam terbesar di Wina.
Seorang muazin pasti sedang memanggil umat Islam untuk shalat magrib sore ini, gumamku dalam hati. Hanya saja suaranya dikalahkan lonceng gereja di jagat Wina yang berdengung-dengung.
Sanubariku tiba-tiba tergerak, lalu kupejamkan mata.
Konsentrasiku kupusatkan pada suatu kata, seolah aku mendengarnya dengan jelas, dan mengikutinya. Allahu akbar...Allahu akbar...
Begitulah rasanya. Lalu kuresapi hafalan doa seusai panggilan shalat. Sebersit perasaan rindu kampung halaman karena rindu suara azan tiba-tiba menerpaku. Sudah beberapa minggu telingaku tak dihampiri suara kebesaran Tuhan di Eropa ini.
Rasa rindu yang menggejala itu perlahan hilang saat bulu romaku serempak berdiri. Bukan karena ketakutan, tapi kedinginan. Matahari sudah benar-benar menghilang. Panorama Wina sudah stabil dengan cahaya lampu yang itu-itu saja. Kabut malam yang tebal mulai menyaput deretan bangunan dan menara di Wina. Manusia yang berkerumun juga sudah mulai rontok meninggalkan pagar batas Kahlenberg, menyisakan aku, Fatma, dan Ayse.
"Lebih baik kita langsung ke dalam bangunan saja, Fatma. Lihat Ayse, sepertinya dia tak kuat menahan hawa sedingin ini," kataku tak tega melihat hidung Ayse mulai basah karena ingus. Satu-satunya bangunan yang kumaksud tak lain adalah Saint Joseph, gereja berwarna kuning keemasan. Selain sebuah kafetaria, gereja itu menjadi satu-satunya alternatif tempat berlindung dari hawa dingin yang menusuk. Aku berlari menggendong Ayse menuju gereja tanpa menghiraukan ibunya. Sejenak baru kusadari bahwa Fatma adalah muslimah berjilbab. Muslimah yang hanya mungkin kurang nyaman memasuki tempat ibadah agama lain.
Kutengok kepalaku ke belakang, mencari keberadaan Fatma. Ternyata dia lari tergopoh-gopoh tepat di belakangku.
"Fatma, kurasa...mmm...sebaiknya kita menghangatkan diri di kafe." Pernyataanku membuat Fatma sedikit masygul.
"Kenapa? Sudah terlanjur berlari kemari. Sebaiknya kita masuk dulu ke gereja. DI dalam banyak patung dan relief yang artistik. Kau perlu mengabadikannya dengan kameramu. Setelah itu, baru kita bersantai di kafe. Lekas masuk!"
Tak menduga jawaban Fatma, aku memasuki gerbang gereja Saint Joseph.
Kami beruntung hari itu. Gereja tersebut tak biasa dibuka untuk umum, tapi hari itu misa tengah berlangsung. Jemaah yang sebagian besar beruban alias berusia lanjut tampak khidmat mendengarkan khotbah dan sesekali menyanyikan lagu bersama. Beberapa rombongan jemaah mengalir berdatangan dan langsung mengambil tempat. Lalu kami?
Kami tidak sendiri. Ternyata banyak turis yang juga kedinginan seperti kami. Masuk ke gereja bukan untuk berdoa, melainkan karena tak kuat lagi menahan dingin. Gereja menjadi penyelamatnya. Para turis berdiri di area luar misa dan tanpa malu-malu menjepret objek-objek menarik dalam gereja. Hal ini boleh dilakukan dengan satu syaarat, tanpa blitz. Aku pun tak mau ketinggalan mengabadikan setiap sudut gereja yang berumur ratusan tahun itu. Tapi, tanganku seakan beku tak bisa digerakkan. Gambar yang kuambil menjadi gurat-gurat tak jelas. Dingin masih berdiam diri dalam kepalan tangan dan jari-jariku.
"Aku tahu cara menghangatkan badan yang paling efektif dalam gereja," sekali lagi Fatma seperti bisa membaca kegelisahanku. Gelisah karena tanganku bagai batu. Lalu dengan sigap dia memperagakan cara cepat menaikan suhu tubuh manusia dalam gereja. Mengayun-ayunkan jari jemarinya mengawang di atas lilin - lilin yang menerangi remang Saint Joseph, kemudian dengan cepat menariknya kembali.
Aku mengikuti Fatma. Kukibas-kibaskan kedua tanganku di atas api lilin-lilin yang sebenarnya ditujukan untuk berdoa. Beberapa saat, jari-jariku yang membeku mulai menghangat. Dan dari ujung jari-jari itu, kalor panas mulai merambat masuk ke dalam tubuhku. Di dekat beranda lilin itu ada sebuah gelas porselen dengan tulisan 50 cent Euro. Kumasukkan koin 50 cent Euro ke dalam gelas porselen tersebut. Tanda terima kasih karena lilin-lilin tersebut telah memberiku kehangatan.
Kulihat Fatma yang masih menggendong Ayse sambil sesekali mengusap hidung Ayse yang dialiri ingus. Dia begitu antusias mengambil gambar di setiap sudut gereja lewat kameera yang kutitipkan padanya. Sebuah perasaan yang tak bisa kugambarkan seketika menghinggapi diriku. Tentang Fatma dan seluruh sikapnya hari ini. Sikapnya yang membantah kekhawatiranku terhadap prinsipnya tentang Islam.
Dia begitu ringan memahami agamanya tanpa menyulitkan dirinya sendiri. Jelas, tidak semua orang muslim mempunyai pandangan sama, bahwa mereka boleh memasuki tempat ibadah umat agama lain. Tapi bagi Fatma, semua itu berpulang pada niat dalam hati. Niat saat itu tentu untuk mencari perlindungan diri dari serangan hawa dingin.
Jual Nugget dan Sosis Sayur
99 Cahaya di Langit Eropa - Bab 2
Aku menilik jam tanganku. Seharusnya jika bus tepat waktu, lima belas menit lagi aku dan Fatma akan sampai di Kahlenberg.
Kahlenberg adalah sebuah bukit atau pegunungan di Wina, Austria yang mengitari 7 negara Eropa. Dari Kahlenberg, orang bisa melongok cantiknya Wina dari ketinggian, dari pojok A sampai Z. Sesuai namanya, kahlenberg, "Kahl" dalam bahasa Jerman berarti telanjang, sementara "berg" pegunungan. Jadi, kira-kira maksud si pemberi nama pegunungan ini kala itu adalah dari sini orang bisa menelanjangi kota Wina seutuhnya tanpa batas.
Untuk menuju Kahlenberg, aku dan Fatma hanya perlu mengambil bus dari pusat kota dengan tiket biasa, bukan tiket khusus. Hanya dengan 1,8 Euro--atau sekitar 22 ribu rupiah--sesuai plot jadwal yang aku baca di halte, kami akan menempuh perjalanan dalam waktu 1 jam hingga mencapai titik tertinggi Wina dengan 20 halte bus di antaranya.
Ketika bus mulai berjalan, aku merasakan sebuah intuisi yang dalam. Perjalanan ke Kahlenberg ini pasti perjalanan yang memikat, aku yakin.
Tepat pukul 17.30 kami turun dari bus di sebuah halte sepi di atas bukit. Udara menjadi dingin karena kehangatan pemanas di bus hilang seketika dari tubuhku. Tapi, rasa dingin itu menjadi sirna tak terasa tatkala mataku menangkap pemandangan gunung nan asri. Kami melangkah mendekati pagar pembatas di sepanjang bukit. Pagar itu melingkar membentengi dua bukit kecil yang ditebas menyerupai tembok. Berdiri di belakangnya memungkinkan kita melihat kota Wina seutuhnya. Wina yang menyambut datangnya senja. Terlihat pemandangan luar biasa indah yang mencuri perhatianku. Kugendong Ayse mendekati pagar pembatas Kahlenberg.
Matahari sudah semakin memerah menuju peraduan, membuat bangunan dan gedung serempak menyalakan lampu. Momen tersebut sayang bila dilewatkan. Kamera di balik mantelku sudah kukeluarkan, siap menjepret detik-detik berubahnya suasana malam di Wina. Kilatan sinar dari kameraku langsung membuncah berkali-kali mengabadikan panorama senja itu. Ayse yang terus berada dalam pelukanku sesekali kubiarkan mencoba memencet-mencet tombol capture.
Diafragma kameraku menangkap sebuah objek yang membuatku bertanya-tanya. Sederhana, tetapi dia memberikan pengaruh besar terhadap horizon pemandangan kota Wina. Sebuah sungai yang membelah kota Wina menjadi dua. Aku baru sadar, inilah sungai yang terkenal itu. Donau atau Danube. Sungai yang menginspirasi Johann Strauss menciptakan lagu waltz The Blue Danube.
Simfoni abadi musik klasik itu ternyata berawal dari sungai bening di hadapanku kali itu. Waltz The Blue Danube benar-benar menggambarkan aliran sungai yang menginspirasinya. Airnya terkadang tenang, terkadang bercipratan. Persis permainan partitur waltz The Blue Danube yang kadang bergerak lembut legato dan berlompatan staccato.
http://ceritanovelonline.blogspot.com
Teng... teng... teng...
Nun jauh di kota Wina sana, lonceng gereja berbunyi bertalu-talu. Gereja kecil yang ada di Kahlenberg pun tak mau kalah menyahut. Suara loncengnya berdentang berkali-kali.
Waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore.
Matahari semakin menenggelamkan diri ke peristirahatannya. Ekor sinarnya yang berwarna semburat jingga terlihat begitu anggun. Suguhan lukisan alam yang semakin indah pada senja hari. Dari mataku aku mengindera 3 horizon panorama.
Paling atas adalah langit gelap dan matahari yang terbenam. Di tengah adalah bangunan-bangunan tinggi bercahaya yang kuyakini sebagian besar adalah gedung pencakar langit di kompleks markas PBB, gereja, dan menara pemancar. Paling bawah adalah Sungai Danube, simfoni gemercik airnya bisa terdengar dari atas Bukit Kahlenberg. Komposisi pemandangan yang langka di mataku.
Aku berusaha menikmati keindahan sore di lereng Kahlenberg. Sampai aku tersadar ada sesuatu yang hilang pada senja itu. Sesuatu yang akrab kudengar menjelang matahari terbenam, tapi kali ini tiada.
Fatma memecah keheningan, sontak menyadarkanku dari lamunan. Dia seperti tahu apa yang sedang kulamunkan senja itu.
"Kau tidak bisa mendengarnya, kan Hanum? Nun jauh di sana, di tepi Sungai Danube, ada masjid. Kalau mendekat, kita bisa mendengar azan dari masjid itu."
Segera aku raih kameraku kembali, kufokuskan lensanya ke bangunan tersebut. Dengan zoom in maksimal dalam pencahayaan sangat kurang, aku melihat bangunan berwarna hijau dengan kubah blenduk dan minaret.
Fatma memberitahuku, masjid itu bernama Vienna Islamic Center, pusat peribadatan umat Islam terbesar di Wina.
Seorang muazin pasti sedang memanggil umat Islam untuk shalat magrib sore ini, gumamku dalam hati. Hanya saja suaranya dikalahkan lonceng gereja di jagat Wina yang berdengung-dengung.
Sanubariku tiba-tiba tergerak, lalu kupejamkan mata.
Konsentrasiku kupusatkan pada suatu kata, seolah aku mendengarnya dengan jelas, dan mengikutinya. Allahu akbar...Allahu akbar...
Begitulah rasanya. Lalu kuresapi hafalan doa seusai panggilan shalat. Sebersit perasaan rindu kampung halaman karena rindu suara azan tiba-tiba menerpaku. Sudah beberapa minggu telingaku tak dihampiri suara kebesaran Tuhan di Eropa ini.
Rasa rindu yang menggejala itu perlahan hilang saat bulu romaku serempak berdiri. Bukan karena ketakutan, tapi kedinginan. Matahari sudah benar-benar menghilang. Panorama Wina sudah stabil dengan cahaya lampu yang itu-itu saja. Kabut malam yang tebal mulai menyaput deretan bangunan dan menara di Wina. Manusia yang berkerumun juga sudah mulai rontok meninggalkan pagar batas Kahlenberg, menyisakan aku, Fatma, dan Ayse.
"Lebih baik kita langsung ke dalam bangunan saja, Fatma. Lihat Ayse, sepertinya dia tak kuat menahan hawa sedingin ini," kataku tak tega melihat hidung Ayse mulai basah karena ingus. Satu-satunya bangunan yang kumaksud tak lain adalah Saint Joseph, gereja berwarna kuning keemasan. Selain sebuah kafetaria, gereja itu menjadi satu-satunya alternatif tempat berlindung dari hawa dingin yang menusuk. Aku berlari menggendong Ayse menuju gereja tanpa menghiraukan ibunya. Sejenak baru kusadari bahwa Fatma adalah muslimah berjilbab. Muslimah yang hanya mungkin kurang nyaman memasuki tempat ibadah agama lain.
Kutengok kepalaku ke belakang, mencari keberadaan Fatma. Ternyata dia lari tergopoh-gopoh tepat di belakangku.
"Fatma, kurasa...mmm...sebaiknya kita menghangatkan diri di kafe." Pernyataanku membuat Fatma sedikit masygul.
"Kenapa? Sudah terlanjur berlari kemari. Sebaiknya kita masuk dulu ke gereja. DI dalam banyak patung dan relief yang artistik. Kau perlu mengabadikannya dengan kameramu. Setelah itu, baru kita bersantai di kafe. Lekas masuk!"
Tak menduga jawaban Fatma, aku memasuki gerbang gereja Saint Joseph.
Kami beruntung hari itu. Gereja tersebut tak biasa dibuka untuk umum, tapi hari itu misa tengah berlangsung. Jemaah yang sebagian besar beruban alias berusia lanjut tampak khidmat mendengarkan khotbah dan sesekali menyanyikan lagu bersama. Beberapa rombongan jemaah mengalir berdatangan dan langsung mengambil tempat. Lalu kami?
Kami tidak sendiri. Ternyata banyak turis yang juga kedinginan seperti kami. Masuk ke gereja bukan untuk berdoa, melainkan karena tak kuat lagi menahan dingin. Gereja menjadi penyelamatnya. Para turis berdiri di area luar misa dan tanpa malu-malu menjepret objek-objek menarik dalam gereja. Hal ini boleh dilakukan dengan satu syaarat, tanpa blitz. Aku pun tak mau ketinggalan mengabadikan setiap sudut gereja yang berumur ratusan tahun itu. Tapi, tanganku seakan beku tak bisa digerakkan. Gambar yang kuambil menjadi gurat-gurat tak jelas. Dingin masih berdiam diri dalam kepalan tangan dan jari-jariku.
"Aku tahu cara menghangatkan badan yang paling efektif dalam gereja," sekali lagi Fatma seperti bisa membaca kegelisahanku. Gelisah karena tanganku bagai batu. Lalu dengan sigap dia memperagakan cara cepat menaikan suhu tubuh manusia dalam gereja. Mengayun-ayunkan jari jemarinya mengawang di atas lilin - lilin yang menerangi remang Saint Joseph, kemudian dengan cepat menariknya kembali.
Aku mengikuti Fatma. Kukibas-kibaskan kedua tanganku di atas api lilin-lilin yang sebenarnya ditujukan untuk berdoa. Beberapa saat, jari-jariku yang membeku mulai menghangat. Dan dari ujung jari-jari itu, kalor panas mulai merambat masuk ke dalam tubuhku. Di dekat beranda lilin itu ada sebuah gelas porselen dengan tulisan 50 cent Euro. Kumasukkan koin 50 cent Euro ke dalam gelas porselen tersebut. Tanda terima kasih karena lilin-lilin tersebut telah memberiku kehangatan.
Kulihat Fatma yang masih menggendong Ayse sambil sesekali mengusap hidung Ayse yang dialiri ingus. Dia begitu antusias mengambil gambar di setiap sudut gereja lewat kameera yang kutitipkan padanya. Sebuah perasaan yang tak bisa kugambarkan seketika menghinggapi diriku. Tentang Fatma dan seluruh sikapnya hari ini. Sikapnya yang membantah kekhawatiranku terhadap prinsipnya tentang Islam.
Dia begitu ringan memahami agamanya tanpa menyulitkan dirinya sendiri. Jelas, tidak semua orang muslim mempunyai pandangan sama, bahwa mereka boleh memasuki tempat ibadah umat agama lain. Tapi bagi Fatma, semua itu berpulang pada niat dalam hati. Niat saat itu tentu untuk mencari perlindungan diri dari serangan hawa dingin.
Kahlenberg adalah sebuah bukit atau pegunungan di Wina, Austria yang mengitari 7 negara Eropa. Dari Kahlenberg, orang bisa melongok cantiknya Wina dari ketinggian, dari pojok A sampai Z. Sesuai namanya, kahlenberg, "Kahl" dalam bahasa Jerman berarti telanjang, sementara "berg" pegunungan. Jadi, kira-kira maksud si pemberi nama pegunungan ini kala itu adalah dari sini orang bisa menelanjangi kota Wina seutuhnya tanpa batas.
Untuk menuju Kahlenberg, aku dan Fatma hanya perlu mengambil bus dari pusat kota dengan tiket biasa, bukan tiket khusus. Hanya dengan 1,8 Euro--atau sekitar 22 ribu rupiah--sesuai plot jadwal yang aku baca di halte, kami akan menempuh perjalanan dalam waktu 1 jam hingga mencapai titik tertinggi Wina dengan 20 halte bus di antaranya.
Ketika bus mulai berjalan, aku merasakan sebuah intuisi yang dalam. Perjalanan ke Kahlenberg ini pasti perjalanan yang memikat, aku yakin.
Tepat pukul 17.30 kami turun dari bus di sebuah halte sepi di atas bukit. Udara menjadi dingin karena kehangatan pemanas di bus hilang seketika dari tubuhku. Tapi, rasa dingin itu menjadi sirna tak terasa tatkala mataku menangkap pemandangan gunung nan asri. Kami melangkah mendekati pagar pembatas di sepanjang bukit. Pagar itu melingkar membentengi dua bukit kecil yang ditebas menyerupai tembok. Berdiri di belakangnya memungkinkan kita melihat kota Wina seutuhnya. Wina yang menyambut datangnya senja. Terlihat pemandangan luar biasa indah yang mencuri perhatianku. Kugendong Ayse mendekati pagar pembatas Kahlenberg.
Matahari sudah semakin memerah menuju peraduan, membuat bangunan dan gedung serempak menyalakan lampu. Momen tersebut sayang bila dilewatkan. Kamera di balik mantelku sudah kukeluarkan, siap menjepret detik-detik berubahnya suasana malam di Wina. Kilatan sinar dari kameraku langsung membuncah berkali-kali mengabadikan panorama senja itu. Ayse yang terus berada dalam pelukanku sesekali kubiarkan mencoba memencet-mencet tombol capture.
Diafragma kameraku menangkap sebuah objek yang membuatku bertanya-tanya. Sederhana, tetapi dia memberikan pengaruh besar terhadap horizon pemandangan kota Wina. Sebuah sungai yang membelah kota Wina menjadi dua. Aku baru sadar, inilah sungai yang terkenal itu. Donau atau Danube. Sungai yang menginspirasi Johann Strauss menciptakan lagu waltz The Blue Danube.
Simfoni abadi musik klasik itu ternyata berawal dari sungai bening di hadapanku kali itu. Waltz The Blue Danube benar-benar menggambarkan aliran sungai yang menginspirasinya. Airnya terkadang tenang, terkadang bercipratan. Persis permainan partitur waltz The Blue Danube yang kadang bergerak lembut legato dan berlompatan staccato.
http://ceritanovelonline.blogspot.com
Teng... teng... teng...
Nun jauh di kota Wina sana, lonceng gereja berbunyi bertalu-talu. Gereja kecil yang ada di Kahlenberg pun tak mau kalah menyahut. Suara loncengnya berdentang berkali-kali.
Waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore.
Matahari semakin menenggelamkan diri ke peristirahatannya. Ekor sinarnya yang berwarna semburat jingga terlihat begitu anggun. Suguhan lukisan alam yang semakin indah pada senja hari. Dari mataku aku mengindera 3 horizon panorama.
Paling atas adalah langit gelap dan matahari yang terbenam. Di tengah adalah bangunan-bangunan tinggi bercahaya yang kuyakini sebagian besar adalah gedung pencakar langit di kompleks markas PBB, gereja, dan menara pemancar. Paling bawah adalah Sungai Danube, simfoni gemercik airnya bisa terdengar dari atas Bukit Kahlenberg. Komposisi pemandangan yang langka di mataku.
Aku berusaha menikmati keindahan sore di lereng Kahlenberg. Sampai aku tersadar ada sesuatu yang hilang pada senja itu. Sesuatu yang akrab kudengar menjelang matahari terbenam, tapi kali ini tiada.
Fatma memecah keheningan, sontak menyadarkanku dari lamunan. Dia seperti tahu apa yang sedang kulamunkan senja itu.
"Kau tidak bisa mendengarnya, kan Hanum? Nun jauh di sana, di tepi Sungai Danube, ada masjid. Kalau mendekat, kita bisa mendengar azan dari masjid itu."
Segera aku raih kameraku kembali, kufokuskan lensanya ke bangunan tersebut. Dengan zoom in maksimal dalam pencahayaan sangat kurang, aku melihat bangunan berwarna hijau dengan kubah blenduk dan minaret.
Fatma memberitahuku, masjid itu bernama Vienna Islamic Center, pusat peribadatan umat Islam terbesar di Wina.
Seorang muazin pasti sedang memanggil umat Islam untuk shalat magrib sore ini, gumamku dalam hati. Hanya saja suaranya dikalahkan lonceng gereja di jagat Wina yang berdengung-dengung.
Sanubariku tiba-tiba tergerak, lalu kupejamkan mata.
Konsentrasiku kupusatkan pada suatu kata, seolah aku mendengarnya dengan jelas, dan mengikutinya. Allahu akbar...Allahu akbar...
Begitulah rasanya. Lalu kuresapi hafalan doa seusai panggilan shalat. Sebersit perasaan rindu kampung halaman karena rindu suara azan tiba-tiba menerpaku. Sudah beberapa minggu telingaku tak dihampiri suara kebesaran Tuhan di Eropa ini.
Rasa rindu yang menggejala itu perlahan hilang saat bulu romaku serempak berdiri. Bukan karena ketakutan, tapi kedinginan. Matahari sudah benar-benar menghilang. Panorama Wina sudah stabil dengan cahaya lampu yang itu-itu saja. Kabut malam yang tebal mulai menyaput deretan bangunan dan menara di Wina. Manusia yang berkerumun juga sudah mulai rontok meninggalkan pagar batas Kahlenberg, menyisakan aku, Fatma, dan Ayse.
"Lebih baik kita langsung ke dalam bangunan saja, Fatma. Lihat Ayse, sepertinya dia tak kuat menahan hawa sedingin ini," kataku tak tega melihat hidung Ayse mulai basah karena ingus. Satu-satunya bangunan yang kumaksud tak lain adalah Saint Joseph, gereja berwarna kuning keemasan. Selain sebuah kafetaria, gereja itu menjadi satu-satunya alternatif tempat berlindung dari hawa dingin yang menusuk. Aku berlari menggendong Ayse menuju gereja tanpa menghiraukan ibunya. Sejenak baru kusadari bahwa Fatma adalah muslimah berjilbab. Muslimah yang hanya mungkin kurang nyaman memasuki tempat ibadah agama lain.
Kutengok kepalaku ke belakang, mencari keberadaan Fatma. Ternyata dia lari tergopoh-gopoh tepat di belakangku.
"Fatma, kurasa...mmm...sebaiknya kita menghangatkan diri di kafe." Pernyataanku membuat Fatma sedikit masygul.
"Kenapa? Sudah terlanjur berlari kemari. Sebaiknya kita masuk dulu ke gereja. DI dalam banyak patung dan relief yang artistik. Kau perlu mengabadikannya dengan kameramu. Setelah itu, baru kita bersantai di kafe. Lekas masuk!"
Tak menduga jawaban Fatma, aku memasuki gerbang gereja Saint Joseph.
Kami beruntung hari itu. Gereja tersebut tak biasa dibuka untuk umum, tapi hari itu misa tengah berlangsung. Jemaah yang sebagian besar beruban alias berusia lanjut tampak khidmat mendengarkan khotbah dan sesekali menyanyikan lagu bersama. Beberapa rombongan jemaah mengalir berdatangan dan langsung mengambil tempat. Lalu kami?
Kami tidak sendiri. Ternyata banyak turis yang juga kedinginan seperti kami. Masuk ke gereja bukan untuk berdoa, melainkan karena tak kuat lagi menahan dingin. Gereja menjadi penyelamatnya. Para turis berdiri di area luar misa dan tanpa malu-malu menjepret objek-objek menarik dalam gereja. Hal ini boleh dilakukan dengan satu syaarat, tanpa blitz. Aku pun tak mau ketinggalan mengabadikan setiap sudut gereja yang berumur ratusan tahun itu. Tapi, tanganku seakan beku tak bisa digerakkan. Gambar yang kuambil menjadi gurat-gurat tak jelas. Dingin masih berdiam diri dalam kepalan tangan dan jari-jariku.
"Aku tahu cara menghangatkan badan yang paling efektif dalam gereja," sekali lagi Fatma seperti bisa membaca kegelisahanku. Gelisah karena tanganku bagai batu. Lalu dengan sigap dia memperagakan cara cepat menaikan suhu tubuh manusia dalam gereja. Mengayun-ayunkan jari jemarinya mengawang di atas lilin - lilin yang menerangi remang Saint Joseph, kemudian dengan cepat menariknya kembali.
Aku mengikuti Fatma. Kukibas-kibaskan kedua tanganku di atas api lilin-lilin yang sebenarnya ditujukan untuk berdoa. Beberapa saat, jari-jariku yang membeku mulai menghangat. Dan dari ujung jari-jari itu, kalor panas mulai merambat masuk ke dalam tubuhku. Di dekat beranda lilin itu ada sebuah gelas porselen dengan tulisan 50 cent Euro. Kumasukkan koin 50 cent Euro ke dalam gelas porselen tersebut. Tanda terima kasih karena lilin-lilin tersebut telah memberiku kehangatan.
Kulihat Fatma yang masih menggendong Ayse sambil sesekali mengusap hidung Ayse yang dialiri ingus. Dia begitu antusias mengambil gambar di setiap sudut gereja lewat kameera yang kutitipkan padanya. Sebuah perasaan yang tak bisa kugambarkan seketika menghinggapi diriku. Tentang Fatma dan seluruh sikapnya hari ini. Sikapnya yang membantah kekhawatiranku terhadap prinsipnya tentang Islam.
Dia begitu ringan memahami agamanya tanpa menyulitkan dirinya sendiri. Jelas, tidak semua orang muslim mempunyai pandangan sama, bahwa mereka boleh memasuki tempat ibadah umat agama lain. Tapi bagi Fatma, semua itu berpulang pada niat dalam hati. Niat saat itu tentu untuk mencari perlindungan diri dari serangan hawa dingin.
0 comments:
Post a Comment