Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara

Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara
Harga mulai 5rb an. Gratis ongkir DKI Jakarta

The Host - Bab 19

Ditinggalkan

"Siapa Pencari berpakaian serbahitam itu? Mengapa dia masih mencari?" Teriakan Jared memekakkan telinga, menggema ke arahku dari semua jurusan.
Aku bersembunyi di balik kedua tanganku, menunggu pukulan pertama.
"Ah--Jared?" gumam Ian. "Mungkin kau harus membiarkanku..."
"Jangan ikut campur!"
 
Suara Ian semakin dekat, dan batu-batu berkeretak ketika ia mencoba mengikuti Jared ke dalam ruangan kecil yang sudah kelewat sesak itu. "Tidakkah kaulihat mahluk itu terlalu takut untuk bicara? Biarkan dia --"
Aku mendengar sesuatu menggores lantai ketika Jared bergerak, lalu terdengar suara gedebuk. Ian memaki. Aku mengintip dari sela-sela jari. Ian tak lagi terlihat dan Jared memunggungiku.

Ian meludah dan mengerang. "Itu yang kedua," gerutunya. Dan aku mengerti pukulan yang seharusnya ditujukan kepadaku telah dialihkan dengan ikut campurnya Ian.
"Aku siap memberikan yang ketiga," gumam Jared. Tapi ia berbalik menghadapku dengan membawa lampu. Ia meraih lampu itu dengan tangan yang memukul Ian. Gua nyaris berkilau setelah begitu banyak kegelapan.
Jared kembali bicara kepadaku. Ia mengamati wajahku di dalam penerangan baru itu, dan membuat setiap kata menjadi kalimat. "Siapa. Pencari. Itu."

Aku menjatuhkan kedua tanganku dan menatap ke dalam mata tak berbelaskasihan itu. Aku terganggu  melihat seseorang menderita karena kebisuanku--walaupun orang itu pernah mencoba membunuhku. Seharusnya bukan begini cara kerja penyiksaan.
Ekspresi Jared goyah ketika membaca perubahan di wajahku. "Aku tidak perlu menyakitimu," ujarnya pelan, tidak terlalu yakin. "Tapi aku harus mendapat jawaban atas pertanyaanku."
Ini bahkan bukan pertanyaan yang benar. Bukan rahasia yang harus kulindungi.
"Katakan," desak Jared. Matanya sarat frustasi dan ketidakbahagiaan mendalam.
Apakah aku benar-benar pengecut? Aku lebih suka percaya diriku pengecut, lebih suka prcaya ketakutanku terhadap rasa sakit mengalahkan segala hal lain. Alasan sesungguhnya aku membuka mulut untuk bicara, jauh lebih menyedihkan.
Aku ingin menyenangkan Jared. Ingin menyenangkan manusia yang teramat sangat membenciku ini.
"Pencari," kataku memulai. Suaraku kasar dan parau; sudah lama sekali aku tidak bicara.
Jared menyela tak sabar. "Kami sudah tahu dia Pencari."
"Bukan, bukan sekedar Pencari," bisikku. "Dia Pencari-ku."
"Apa maksudmu Pencari-mu?"
"Pencari yang ditugaskan untukku, untuk mengikutiku. Dialah alasan--" Aku menahan diri, tepat sebelum mengucapkan kata yang akan mengakibatkan kematian bagi kami. Tepat sebelum aku mengucapkan kata kami. Itu kebenaran sejati yang akan dipandang Jared sebagai kebohongan sejati, yaitu mempermainkan hasrat-hasrat terdalamnya, lukanya yang paling dalam. ia takkan pernah bisa melihat bahwa mungkin saja keinginannya terkabul. ia hanya akan melihat sosok pembohong berbahaya yang menatap lewat mata yang dicintainya.
"Alasan?" tanya Jared cepat.
"Alasan aku melarikan diri." Aku menghembuskan napas. "Alasan aku datang kemari."
Tidak benar seluruhnya, tapi juga tidak bohong seluruhnya.

Jared menatapku, mulutnya setengah terbuka, ketika mencoba mencerna perkataanku. Dari sudut mata aku melihat Ian mengintip lewat lubang gua. Mata biru cemerlangnya membelalak terkejut. Ada darah, berwarna gelap, di bibir pucatnya.
"Kau melarikan diri dari Pencari? Tapi kau salah satu dari mereka!" Jared berjuang menenangkan diri, kembali pada interogasinya. "Mengapa dia mengikutimu? Mau apa dia?"
Wajah Jared mengeras. "Dan kau mencoba menuntunnya kemari?"
Aku menggeleng, "Aku tidak... aku..." Bagaimana aku bisa menjelaskannya? Jared takkan pernah menerima kebenaran itu.
"Apa?"
"Aku... aku tak ingin memberitahunya. Aku tidak menyukainya."
Jared mengerjap-ngerjapkan mata, kembali bingung. "Bukankah kalian semua harus saling menyukai?"
"Memang seharusnya begitu," ujarku mengakui. Dan wajahku memerah malu.
"Siapa yang kauberitau mengenai tempat ini?" tanya Ian lewat bahu Jared. Jared menggerutu, tapi tetap mengarahkan pandangannya kepadaku.
"Tidak ada. Aku tidak tahu... aku hanya melihat garis-garis itu. Garis-garis di album. Aku menggambarkannya untuk Pencari... tapi kami tidak memahaminya. Dia masih mengira garis-garis itu adalah peta perjalanan." Tampaknya aku tidak bisa berhenti bicara. Kucoba untuk menjaga kata-kataku keluar perlahan, untuk melindungi diri dari salah bicara.


"Apa maksudmu tidak memahami garis-garis itu? Kau ada di sini." Tangan Jared terayun ke arahku, tapi jatuh sebelum menempuh jarak singkat itu.
"Aku... aku punya masalah dengan... dengan... ingatan gadis itu. Aku tidak mengerti... aku tidak bisa mengakses segalanya. Ada dinding-dinding. Itulah sebabnya Pencari itu ditugaskan untukku, untuk menungguku mengungkapkan informasi-informasi lainnya." Terlalu berlebihan, terlalu berlebihan. Aku menggigit lidah.
Ian dan Jared bertukar pandang. Mereka tak pernah mendengar hal seperti ini sebelumnya. Mereka tidak memercayaiku, tapi ingin sekali percaya itu memungkinkan. Mereka terlalu menginginkannya, dan itu membuat mereka takut.
Suara Jared menyalak, mendadak kasar. "Kau bisa mengakses kabinku?"
"Setelah lama sekali."
"Lalu kau melaporkannya kepada Pencari."
"Tidak."
"Tidak? Kenapa tidak?"
"Karena... saat aku bisa mengingatnya... aku tidak ingin melapor kepadanya."

 
Mata Ian membelalak dan membeku.
Suara Jared berubah rendah, nyaris lembut. Jauh lebih membahayakan daripada teriakannya. "Mengapa kau tidak ingin melapor kepadanya?"
Rahangku terkatup erat. Ini memang bukan rahasia yang itu, tapi tetap saja Jared harus memaksaku untuk mengatakannya. Saat ini kegigihanku untuk menahan lidah tidak terlalu berhubungan dengan menjaga diri, tapi lebih berhubungan dengan sejenis kebanggaan dan keengganan tolol. Aku tidak akan mengatakannya kepada lelaki ini, lelaki yang membenciku karena aku mencintainya.
Jared mengamati kilau tekad di mataku, dan tampaknya ia paham apa yang harus dilakukannya untuk memperoleh jawaban. Ia memutuskan untuk melewati pertanyaan itu--mungkin untuk ditanyakan kembali nanti, disimpan untuk saat terakhir, kalau-kalau aku tak bisa lagi menjawab pertanyaan apa pun, ketika ia sudah selesai denganku.

"Mengapa kau tak bisa mengakses segalanya? Apakah itu... normal?"
Pertanyaan in juga sangat berbahaya. Untuk pertama kali, sejauh ini, aku mengucapkan kebohongan absolut.
"Dia jatuh dari tempat yang sangat tinggi. Tubuhnya rusak."
Tak mudah bagiku berbohong. Kebohongan ini tampak jelas. Jared dan Ian sama-sama bereaksi terhadap nada palsu itu. Kepala Jared miring ke satu sisi; sebelah alis Ian yang sehitam tinta terangkat.
"Mengapa Pencari yang ini tidak menyerah seperti yang lain?" tanya Ian.
Mendadak aku merasa lelah. Aku tahu mereka bisa meneruskan interogasi ini semalaman, akan meneruskan interogasi ini semalaman jika aku menjawab terus, dan akhirnya aku akan melakukan kesalahan. Aku bersandar di dinding dan memejamkan mata.
"Aku tak tahu," bisikku. "Dia tidak seperti jiwa-jiwa lainnnya. Dia... menjengkelkan."
Ian tertawa singkat--dengan suara terkejut.
"Dan kau--apakah kau seperti... jiwa-jiwa lainnya?" tanya Jared.
Aku membuka mata dan menatapnya dengan lelah untuk waktu lama. Pertanyaan tolol, pikirku. Lalu kupejamkan mata rapat-rapat, kubenamkan wajahku pada lutut, dan kulekukan kedua lenganku di kepala.
Entah Jared mengerti aku sudah selesai bicara, atau tubuhnya mengeluh terlalu keras sehingga tak bisa ia abaikan. Ia menggerutu beberapa kali ketika menjejalkan tubuh untuk keluar dari lubangku, dengan membawa lampu bersamanya, lalu mengerang pelan ketika menggeliat.
"Itu di luar dugaan," bisik Ian.
"Bohong, tentu saja." Jared menjawabnya. Kata-kata mereka nyaris tak terdengar. Mungkin mereka tidak menyadari, betapa suara menggema kembali kepadaku di dalam sini. "Tapi... aku tidak mengerti dia ingin kita percaya bagian mana ceritanya--kemana dia mencoba menuntun kita."
"Kurasa dia tidak berbohong. Well, kecuali sekali itu. Apakah kau memperhatikan?"
"Bagian dari sandiwaranya."
"Jared, kapan kau pernah bertemu parasit yang bisa berbohong mengenai apa saja? Kecuali Pencari, tentu saja."
"Jadi, itulah dia."
"Kau serius?"
"Itu penjelasan terbaik."
"Dia--mahluk itu sangat jauh berbeda dengan Pencari yang pernah kujumpai. Seandainya ada Pencari yang tahu cara menemukan kita, dia pasti sudah membawa satu pasukan kemari."
"Dan mereka tidak akan menemukan apa-apa. Tapi ia--mahluk itu berhasil masuk, bukan?"
"Hampir terbunuh setengah lusin kali--"
"Tapi masih bernapas, kan?"
Mereka diam untuk waktu lama. Begitu lama, sampai aku mulai berpikir untuk melepaskan diri dari posisi meringkuk seperti bola padat yang sedang kulakukan. Tapi aku tak ingin menciptakan suara apa pun ketika membaringkan tubuh. Aku berharap Ian pergi, sehingga aku bisa tidur. Adrenalin yang menguap dari sistemku membuatku sangat lelah.
"Kurasa aku akan bicara dengan Jeb," bisik Ian akhirnya.
"Oh, itu ide hebat." Suara Jared kental dengan sindiran.
"Kau ingat malam pertama itu? Ketika mahluk itu melompat di antara kau dan Kyle? Itu aneh."
"Dia hanya mencoba mencari cara untuk tetap hidup, untuk kabur..."
"Dengan memberi Kyle lampu hijau untuk membunuhnya? Rencana bagus."
"Itu berhasil."
"Senapan Jeb-lah yang berhasil. Tahukah dia, Jeb akan berbuat seperti itu?"

"Pikiranmu melantur, Ian. Itulah yang dia inginkan."
"Kurasa kau keliru. Aku tidak tahu mengapa... tapi kurasa dia sama sekali tidak ingin kita memedulikan dia." Aku mendengar Ian bangkit berdiri. "Kau tahu apa yang benar-benar membingungkan?" gumamnya. Suaranya tak lagi berbisik.
"Apa?"
"Aku merasa bersalah--sangat bersalah--ketika melihatnya menciut ketakutan karena kita. Ketika melihat memar-memar hitam di lehernya."
"Kau tidak bisa membiarkan mahluk itu membuatmu merasa seperti itu." Mendadak Jared merasa terusik. "Dia bukan manusia. Jangan lupa itu."
"Hanya karena dia bukan manusia, apakah menurutmu dia tidak merasa kesakitan?" tanya Ian. Suaranya menghilang di kejauhan. "Dan apakah dia tidak merasa seperti gadis yang baru saja dihajar--dihajar oleh kita?"
"Kuasai dirimu," desis Jared kepada Ian.
"Sampai nanti, Jared."
Jared tidak bersantai lama setelah Ian pergi. Ia berjalan sejenak, mondar-mandir di depan gua, lalu duduk di kasur, menghalangi cahayaku, dan bergumam tanpa bisa dimengerti kepada dirinya sendiri. Aku menyerah menunggunya tidur. Kuregangkan tubuhku sebisa mungkin di atas lantai yang menyerupai mengkuk itu. jared terlompat ketika gerakanku menimbulkan suara, lalu dia mulai bergumam sendiri lagi.
"Bersalah," gerutunya kasar. "Membiarkan mahluk itu memengaruhi Ian. Seperti Jeb, seperti Jamie. Ini tak bisa kubiarkan berlanjut. Tolol untuk membiarkannya hidup."
Lenganku merinding, tapi aku mencoba mengabaikannya. jika aku merasa panik setiap kali jared berpikir hendak membunuhku, aku takkan memperoleh kedamaian. Aku berguling menelungkup, membengkokkan tulang punggungku ke arah sebaliknya. Jared kembali tersentak, lalu berubah diam. Aku yakin ia masih sibuk berpikir, ketika akhirnya aku tertidur.
#

Ketika aku terbangun, Jared sedang duduk di kasur yang sama, di tempat yang bisa kulihat, dengan siku di lutut dan kepala bersandar pada satu kepalan tangan.
Rasanya aku hanya tidur kurang dari satu atau dua jam, tapi tubuhku terlalu pegal untuk langsung mencoba tidur lagi. AKu malah merengungkan kunjungan Ian, dan merasa khawatir Jared akan bekerja lebih keras lagi untuk mengasingkanku setelah reaksi aneh Ian. Mengapa Ian tak bisa menutup mulut mengenai perasaan bersalahnya? Seandainya ia tahu dirinya bisa merasa bersalah, mengapa pula ia berkeliaran mencekiki orang? Melanie juga jengkel terhadap Ian, dan gelisah memikirkan akibat penyesalan Ian.

Kekhawatiran kami terganggu hanya beberapa menit setelahnya.
"Ini aku," kudengar Jeb menyapa. "Jangan panik."
Jared mengokang senapan.
"Ayo tembak aku, nak. Ayo." Suara Jeb semakin dekat, bersamaan dengan setiap kata yang diucapkannya.
Jared mendesah, lalu meletakkan senapan. "Pergilah."
"Perlu bicara denganmu," ujar Jeb. Ia terengah-engah ketika duduk di hadapan Jared. "Hei, apa kabar," sapanya ke arahku, seraya mengangguk.
"Kau tahu betapa aku sangt membenci perbuatan itu," gumam Jared.
"Yep."
"Ian sudah menceritakan soal para Pencari--"
"Aku tahu. Aku baru saja bicara dengannya soal itu."
"Bagus. Lalu kau mau apa?"
"Bukan apa yang kumau, tapi apa yang diperlukan semua orang. Kita hampir kehabisan segalanya. Kita perlu pasokan perbekalan yang benar-benar lengkap."
"Oh," gumam Jared; bukan topik ini yang membuatnya tegang. Setelah diam sejenak, ia berkata, "Kirim Kyle."
"Oke," ujar Jeb santai. Ia berpegangan pada dinding ketika kembali berdiri.
Jared mendesah. Tampaknya ia hanya menggertak. Ia langsung membantah ketika Jeb menerima sarannya. "Jangan. jangan Kyle. Dia terlalu..."
Jeb tergelak. "Terakhir kali keluar sendirian, dia nyaris menjerumuskan kita ke dalam masalah, kan? Dia bukan orang yang berpikiran panjang. Kalau begitu, Ian?"
"Dia terlalu berpikiran panjang."
"Brandt?"
"Dia kurang bagus untuk perjalanan panjang. Mulai panik setelah beberapa minggu. Membuat kesalahan-kesalahan."
"Oke, kalau begitu siapa?"
Detik-detik berlalu, dan kudengar Jared menghela napas panjang beberapa kali. Setiap kali menghela napas, ia seakan hendak memberi Jeb jawaban, tapi lalu ia hanya mengembuskan napas dan tidak mengatakan apa-apa.
"Ian dan Kyle bersama-sama?" tanya Jeb. "Mungkin mereka bisa saling menyeimbangkan."
Jared menggeram. "Seperti terakhir kali? Oke, oke, aku tahu aku yang harus pergi."
"Kau yang terbaik," Jeb mengiyakan. "Kau mengubah hidup kami dengan kemunculanmu di sini."
Aku dan Melanie sama-sama mengangguk sendiri. Ini tidak mengejutkan bagi kami.
Jared ajaib. Aku dan Jamie benar-benar aman ketika naluri Jared menuntun kami; kami tak pernah tertangkap. Seandainya Jared yang berada di Chicago waktu itu, aku yakin ia akan berhasil dengan baik.
Jared menyentakkan bahunya ke arahku. "Bagaimana dengan...?"
"Aku akan mengawasinya sebisaku. Dan aku berharap kau membawa Kyle. Itu akan membantu."
"Tak akan memadai--Kyle pergi dan kau mengawasi mahluk itu sebisamu. Dia ... tak akan bertahan lama."
Jeb mengangkat bahu. "Akan kulakukan yang terbaik. Hanya itu yang bisa kulakukan."
Jared mulai menggeleng perlahan-lahan.

"Berapa lama kau bisa tinggal di bawah sini?" tanya Jeb kepadanya.
"Aku tak tahu," bisik Jared.
Muncul keheningan panjang. Setelah beberapa menit, Jeb mulai bersiul tanpa nada.
Akhirnya Jared menghembuskan napas panjang. Aku tak sadar ia sedang menahan napas.
"Aku berangkat malam ini." Kata-kata Jared lambat, pasrah, tapi juga lega. Suaranya sedikit berubah, agak kurang defensif. Seakan ia sedang menjalani transisi, untuk kembali kepada siapa dirinya di sini sebelum kemunculanku. Ia membiarkan satu tanggung jawab lepas dari bahunya, lalu memikul tanggung jawab lain yang lebih menyenangkan sebagai gantinya.

Jared menyerah dalam usahanya untuk menjaga agar aku tetap hidup, dan membiarkan alam--atau tepatnya keadilan massa--yang memutuskan. Ketika ia kembali nanti, dan aku sudah mati, ia takkan meminta pertanggungjawaban kepada siapa pun. Ia tidak akan berduka. Semua ini bisa kudengar dalam empat kata yang diucapkannya tadi.
Aku tahun istilah berlebihan yang digunakan manusia untuk melukiskan penderitaan--patah hati. Melanie ingat dirinya sendiri pernah mengucapkan frasa itu. Tapi aku selalu menganggap istilah ini hiperbolis, yaitu penjelasan tradisional untuk sesuatu yang tidak memiliki kaitan fisiologis nyata--misalnya bertangan dingin. Jadi aku tidak mengharapkan munculnya rasa nyeri di dadaku. Rasa mual, ya. Bengkak di tenggorokanku, ya. Dan ya, air mata membakar mataku. Tapi, apa nama sensasi terkoyak yang kurasakan persis di bawah rusukku ini? Tak masuk akal.
Dan bukan hanya terkoyak, tapi terpilin dan tertarik ke segala arah. Hati Melanie juga hancur, dan itu sensasi terpisah, seakan kami menumbuhkan organ baru untuk mengimbangi kesadaran ganda kami. Hati ganda untuk benak ganda. Rasa sakitnya dua kali lipat.
Jared pergi, tangis Melanie. Kita takkan pernah melihatnya lagi. Ia tidak mempertanyakan kenyataan bahwa kami bakal mati.
Aku ingin menangis bersama Melanie, tapi harus ada yang tetap tenang. Kugigit tanganku untuk menahan keluarnya erangan itu.
"Mungkin itu yang terbaik," ujar Jeb.
"Aku perlu menyiapkan beberapa hal..." Benak Jared sudah jauh, jauh sekali dari koridor menyesakkan ini.
"Kalau begitu aku akan menggantikanmu di sini. Selamat jalan."
"Terima kasih. Kurasa sampai jumpa, kapan pun aku berjumpa denganmu lagi, Jeb."
"Kurasa begitu."
Jared menyerahkan kembali senapan itu kepada Jeb, bangkit berdiri, lalu membersihkan debu di pakaiannya dengan gerakan tak sadar. Lalu ia pergi, bergegas menyusuri lorong dengan langkah cepat yang kukenal. Benaknya memikirkan hal-hal lain. Ia sama sekali tidak melirik ke arahku, sama sekali tidak memikirkan nasibku lagi.
Kudengar suara langkah Jared semakin sayup lalu lenyap. Lalu aku melupakan keberadaan Jeb. Kutekankan wajah ke dalam kedua tanganku, dan aku menangis tersedu-sedu.

0 comments:

Post a Comment

Jual Nugget dan Sosis Sayur

Jual Nugget dan Sosis Sayur
Pemesanan via email : lwati111@gmail.com

The Host - Bab 19

Ditinggalkan

"Siapa Pencari berpakaian serbahitam itu? Mengapa dia masih mencari?" Teriakan Jared memekakkan telinga, menggema ke arahku dari semua jurusan.
Aku bersembunyi di balik kedua tanganku, menunggu pukulan pertama.
"Ah--Jared?" gumam Ian. "Mungkin kau harus membiarkanku..."
"Jangan ikut campur!"
 
Suara Ian semakin dekat, dan batu-batu berkeretak ketika ia mencoba mengikuti Jared ke dalam ruangan kecil yang sudah kelewat sesak itu. "Tidakkah kaulihat mahluk itu terlalu takut untuk bicara? Biarkan dia --"
Aku mendengar sesuatu menggores lantai ketika Jared bergerak, lalu terdengar suara gedebuk. Ian memaki. Aku mengintip dari sela-sela jari. Ian tak lagi terlihat dan Jared memunggungiku.

Ian meludah dan mengerang. "Itu yang kedua," gerutunya. Dan aku mengerti pukulan yang seharusnya ditujukan kepadaku telah dialihkan dengan ikut campurnya Ian.
"Aku siap memberikan yang ketiga," gumam Jared. Tapi ia berbalik menghadapku dengan membawa lampu. Ia meraih lampu itu dengan tangan yang memukul Ian. Gua nyaris berkilau setelah begitu banyak kegelapan.
Jared kembali bicara kepadaku. Ia mengamati wajahku di dalam penerangan baru itu, dan membuat setiap kata menjadi kalimat. "Siapa. Pencari. Itu."

Aku menjatuhkan kedua tanganku dan menatap ke dalam mata tak berbelaskasihan itu. Aku terganggu  melihat seseorang menderita karena kebisuanku--walaupun orang itu pernah mencoba membunuhku. Seharusnya bukan begini cara kerja penyiksaan.
Ekspresi Jared goyah ketika membaca perubahan di wajahku. "Aku tidak perlu menyakitimu," ujarnya pelan, tidak terlalu yakin. "Tapi aku harus mendapat jawaban atas pertanyaanku."
Ini bahkan bukan pertanyaan yang benar. Bukan rahasia yang harus kulindungi.
"Katakan," desak Jared. Matanya sarat frustasi dan ketidakbahagiaan mendalam.
Apakah aku benar-benar pengecut? Aku lebih suka percaya diriku pengecut, lebih suka prcaya ketakutanku terhadap rasa sakit mengalahkan segala hal lain. Alasan sesungguhnya aku membuka mulut untuk bicara, jauh lebih menyedihkan.
Aku ingin menyenangkan Jared. Ingin menyenangkan manusia yang teramat sangat membenciku ini.
"Pencari," kataku memulai. Suaraku kasar dan parau; sudah lama sekali aku tidak bicara.
Jared menyela tak sabar. "Kami sudah tahu dia Pencari."
"Bukan, bukan sekedar Pencari," bisikku. "Dia Pencari-ku."
"Apa maksudmu Pencari-mu?"
"Pencari yang ditugaskan untukku, untuk mengikutiku. Dialah alasan--" Aku menahan diri, tepat sebelum mengucapkan kata yang akan mengakibatkan kematian bagi kami. Tepat sebelum aku mengucapkan kata kami. Itu kebenaran sejati yang akan dipandang Jared sebagai kebohongan sejati, yaitu mempermainkan hasrat-hasrat terdalamnya, lukanya yang paling dalam. ia takkan pernah bisa melihat bahwa mungkin saja keinginannya terkabul. ia hanya akan melihat sosok pembohong berbahaya yang menatap lewat mata yang dicintainya.
"Alasan?" tanya Jared cepat.
"Alasan aku melarikan diri." Aku menghembuskan napas. "Alasan aku datang kemari."
Tidak benar seluruhnya, tapi juga tidak bohong seluruhnya.

Jared menatapku, mulutnya setengah terbuka, ketika mencoba mencerna perkataanku. Dari sudut mata aku melihat Ian mengintip lewat lubang gua. Mata biru cemerlangnya membelalak terkejut. Ada darah, berwarna gelap, di bibir pucatnya.
"Kau melarikan diri dari Pencari? Tapi kau salah satu dari mereka!" Jared berjuang menenangkan diri, kembali pada interogasinya. "Mengapa dia mengikutimu? Mau apa dia?"
Wajah Jared mengeras. "Dan kau mencoba menuntunnya kemari?"
Aku menggeleng, "Aku tidak... aku..." Bagaimana aku bisa menjelaskannya? Jared takkan pernah menerima kebenaran itu.
"Apa?"
"Aku... aku tak ingin memberitahunya. Aku tidak menyukainya."
Jared mengerjap-ngerjapkan mata, kembali bingung. "Bukankah kalian semua harus saling menyukai?"
"Memang seharusnya begitu," ujarku mengakui. Dan wajahku memerah malu.
"Siapa yang kauberitau mengenai tempat ini?" tanya Ian lewat bahu Jared. Jared menggerutu, tapi tetap mengarahkan pandangannya kepadaku.
"Tidak ada. Aku tidak tahu... aku hanya melihat garis-garis itu. Garis-garis di album. Aku menggambarkannya untuk Pencari... tapi kami tidak memahaminya. Dia masih mengira garis-garis itu adalah peta perjalanan." Tampaknya aku tidak bisa berhenti bicara. Kucoba untuk menjaga kata-kataku keluar perlahan, untuk melindungi diri dari salah bicara.


"Apa maksudmu tidak memahami garis-garis itu? Kau ada di sini." Tangan Jared terayun ke arahku, tapi jatuh sebelum menempuh jarak singkat itu.
"Aku... aku punya masalah dengan... dengan... ingatan gadis itu. Aku tidak mengerti... aku tidak bisa mengakses segalanya. Ada dinding-dinding. Itulah sebabnya Pencari itu ditugaskan untukku, untuk menungguku mengungkapkan informasi-informasi lainnya." Terlalu berlebihan, terlalu berlebihan. Aku menggigit lidah.
Ian dan Jared bertukar pandang. Mereka tak pernah mendengar hal seperti ini sebelumnya. Mereka tidak memercayaiku, tapi ingin sekali percaya itu memungkinkan. Mereka terlalu menginginkannya, dan itu membuat mereka takut.
Suara Jared menyalak, mendadak kasar. "Kau bisa mengakses kabinku?"
"Setelah lama sekali."
"Lalu kau melaporkannya kepada Pencari."
"Tidak."
"Tidak? Kenapa tidak?"
"Karena... saat aku bisa mengingatnya... aku tidak ingin melapor kepadanya."

 
Mata Ian membelalak dan membeku.
Suara Jared berubah rendah, nyaris lembut. Jauh lebih membahayakan daripada teriakannya. "Mengapa kau tidak ingin melapor kepadanya?"
Rahangku terkatup erat. Ini memang bukan rahasia yang itu, tapi tetap saja Jared harus memaksaku untuk mengatakannya. Saat ini kegigihanku untuk menahan lidah tidak terlalu berhubungan dengan menjaga diri, tapi lebih berhubungan dengan sejenis kebanggaan dan keengganan tolol. Aku tidak akan mengatakannya kepada lelaki ini, lelaki yang membenciku karena aku mencintainya.
Jared mengamati kilau tekad di mataku, dan tampaknya ia paham apa yang harus dilakukannya untuk memperoleh jawaban. Ia memutuskan untuk melewati pertanyaan itu--mungkin untuk ditanyakan kembali nanti, disimpan untuk saat terakhir, kalau-kalau aku tak bisa lagi menjawab pertanyaan apa pun, ketika ia sudah selesai denganku.

"Mengapa kau tak bisa mengakses segalanya? Apakah itu... normal?"
Pertanyaan in juga sangat berbahaya. Untuk pertama kali, sejauh ini, aku mengucapkan kebohongan absolut.
"Dia jatuh dari tempat yang sangat tinggi. Tubuhnya rusak."
Tak mudah bagiku berbohong. Kebohongan ini tampak jelas. Jared dan Ian sama-sama bereaksi terhadap nada palsu itu. Kepala Jared miring ke satu sisi; sebelah alis Ian yang sehitam tinta terangkat.
"Mengapa Pencari yang ini tidak menyerah seperti yang lain?" tanya Ian.
Mendadak aku merasa lelah. Aku tahu mereka bisa meneruskan interogasi ini semalaman, akan meneruskan interogasi ini semalaman jika aku menjawab terus, dan akhirnya aku akan melakukan kesalahan. Aku bersandar di dinding dan memejamkan mata.
"Aku tak tahu," bisikku. "Dia tidak seperti jiwa-jiwa lainnnya. Dia... menjengkelkan."
Ian tertawa singkat--dengan suara terkejut.
"Dan kau--apakah kau seperti... jiwa-jiwa lainnya?" tanya Jared.
Aku membuka mata dan menatapnya dengan lelah untuk waktu lama. Pertanyaan tolol, pikirku. Lalu kupejamkan mata rapat-rapat, kubenamkan wajahku pada lutut, dan kulekukan kedua lenganku di kepala.
Entah Jared mengerti aku sudah selesai bicara, atau tubuhnya mengeluh terlalu keras sehingga tak bisa ia abaikan. Ia menggerutu beberapa kali ketika menjejalkan tubuh untuk keluar dari lubangku, dengan membawa lampu bersamanya, lalu mengerang pelan ketika menggeliat.
"Itu di luar dugaan," bisik Ian.
"Bohong, tentu saja." Jared menjawabnya. Kata-kata mereka nyaris tak terdengar. Mungkin mereka tidak menyadari, betapa suara menggema kembali kepadaku di dalam sini. "Tapi... aku tidak mengerti dia ingin kita percaya bagian mana ceritanya--kemana dia mencoba menuntun kita."
"Kurasa dia tidak berbohong. Well, kecuali sekali itu. Apakah kau memperhatikan?"
"Bagian dari sandiwaranya."
"Jared, kapan kau pernah bertemu parasit yang bisa berbohong mengenai apa saja? Kecuali Pencari, tentu saja."
"Jadi, itulah dia."
"Kau serius?"
"Itu penjelasan terbaik."
"Dia--mahluk itu sangat jauh berbeda dengan Pencari yang pernah kujumpai. Seandainya ada Pencari yang tahu cara menemukan kita, dia pasti sudah membawa satu pasukan kemari."
"Dan mereka tidak akan menemukan apa-apa. Tapi ia--mahluk itu berhasil masuk, bukan?"
"Hampir terbunuh setengah lusin kali--"
"Tapi masih bernapas, kan?"
Mereka diam untuk waktu lama. Begitu lama, sampai aku mulai berpikir untuk melepaskan diri dari posisi meringkuk seperti bola padat yang sedang kulakukan. Tapi aku tak ingin menciptakan suara apa pun ketika membaringkan tubuh. Aku berharap Ian pergi, sehingga aku bisa tidur. Adrenalin yang menguap dari sistemku membuatku sangat lelah.
"Kurasa aku akan bicara dengan Jeb," bisik Ian akhirnya.
"Oh, itu ide hebat." Suara Jared kental dengan sindiran.
"Kau ingat malam pertama itu? Ketika mahluk itu melompat di antara kau dan Kyle? Itu aneh."
"Dia hanya mencoba mencari cara untuk tetap hidup, untuk kabur..."
"Dengan memberi Kyle lampu hijau untuk membunuhnya? Rencana bagus."
"Itu berhasil."
"Senapan Jeb-lah yang berhasil. Tahukah dia, Jeb akan berbuat seperti itu?"

"Pikiranmu melantur, Ian. Itulah yang dia inginkan."
"Kurasa kau keliru. Aku tidak tahu mengapa... tapi kurasa dia sama sekali tidak ingin kita memedulikan dia." Aku mendengar Ian bangkit berdiri. "Kau tahu apa yang benar-benar membingungkan?" gumamnya. Suaranya tak lagi berbisik.
"Apa?"
"Aku merasa bersalah--sangat bersalah--ketika melihatnya menciut ketakutan karena kita. Ketika melihat memar-memar hitam di lehernya."
"Kau tidak bisa membiarkan mahluk itu membuatmu merasa seperti itu." Mendadak Jared merasa terusik. "Dia bukan manusia. Jangan lupa itu."
"Hanya karena dia bukan manusia, apakah menurutmu dia tidak merasa kesakitan?" tanya Ian. Suaranya menghilang di kejauhan. "Dan apakah dia tidak merasa seperti gadis yang baru saja dihajar--dihajar oleh kita?"
"Kuasai dirimu," desis Jared kepada Ian.
"Sampai nanti, Jared."
Jared tidak bersantai lama setelah Ian pergi. Ia berjalan sejenak, mondar-mandir di depan gua, lalu duduk di kasur, menghalangi cahayaku, dan bergumam tanpa bisa dimengerti kepada dirinya sendiri. Aku menyerah menunggunya tidur. Kuregangkan tubuhku sebisa mungkin di atas lantai yang menyerupai mengkuk itu. jared terlompat ketika gerakanku menimbulkan suara, lalu dia mulai bergumam sendiri lagi.
"Bersalah," gerutunya kasar. "Membiarkan mahluk itu memengaruhi Ian. Seperti Jeb, seperti Jamie. Ini tak bisa kubiarkan berlanjut. Tolol untuk membiarkannya hidup."
Lenganku merinding, tapi aku mencoba mengabaikannya. jika aku merasa panik setiap kali jared berpikir hendak membunuhku, aku takkan memperoleh kedamaian. Aku berguling menelungkup, membengkokkan tulang punggungku ke arah sebaliknya. Jared kembali tersentak, lalu berubah diam. Aku yakin ia masih sibuk berpikir, ketika akhirnya aku tertidur.
#

Ketika aku terbangun, Jared sedang duduk di kasur yang sama, di tempat yang bisa kulihat, dengan siku di lutut dan kepala bersandar pada satu kepalan tangan.
Rasanya aku hanya tidur kurang dari satu atau dua jam, tapi tubuhku terlalu pegal untuk langsung mencoba tidur lagi. AKu malah merengungkan kunjungan Ian, dan merasa khawatir Jared akan bekerja lebih keras lagi untuk mengasingkanku setelah reaksi aneh Ian. Mengapa Ian tak bisa menutup mulut mengenai perasaan bersalahnya? Seandainya ia tahu dirinya bisa merasa bersalah, mengapa pula ia berkeliaran mencekiki orang? Melanie juga jengkel terhadap Ian, dan gelisah memikirkan akibat penyesalan Ian.

Kekhawatiran kami terganggu hanya beberapa menit setelahnya.
"Ini aku," kudengar Jeb menyapa. "Jangan panik."
Jared mengokang senapan.
"Ayo tembak aku, nak. Ayo." Suara Jeb semakin dekat, bersamaan dengan setiap kata yang diucapkannya.
Jared mendesah, lalu meletakkan senapan. "Pergilah."
"Perlu bicara denganmu," ujar Jeb. Ia terengah-engah ketika duduk di hadapan Jared. "Hei, apa kabar," sapanya ke arahku, seraya mengangguk.
"Kau tahu betapa aku sangt membenci perbuatan itu," gumam Jared.
"Yep."
"Ian sudah menceritakan soal para Pencari--"
"Aku tahu. Aku baru saja bicara dengannya soal itu."
"Bagus. Lalu kau mau apa?"
"Bukan apa yang kumau, tapi apa yang diperlukan semua orang. Kita hampir kehabisan segalanya. Kita perlu pasokan perbekalan yang benar-benar lengkap."
"Oh," gumam Jared; bukan topik ini yang membuatnya tegang. Setelah diam sejenak, ia berkata, "Kirim Kyle."
"Oke," ujar Jeb santai. Ia berpegangan pada dinding ketika kembali berdiri.
Jared mendesah. Tampaknya ia hanya menggertak. Ia langsung membantah ketika Jeb menerima sarannya. "Jangan. jangan Kyle. Dia terlalu..."
Jeb tergelak. "Terakhir kali keluar sendirian, dia nyaris menjerumuskan kita ke dalam masalah, kan? Dia bukan orang yang berpikiran panjang. Kalau begitu, Ian?"
"Dia terlalu berpikiran panjang."
"Brandt?"
"Dia kurang bagus untuk perjalanan panjang. Mulai panik setelah beberapa minggu. Membuat kesalahan-kesalahan."
"Oke, kalau begitu siapa?"
Detik-detik berlalu, dan kudengar Jared menghela napas panjang beberapa kali. Setiap kali menghela napas, ia seakan hendak memberi Jeb jawaban, tapi lalu ia hanya mengembuskan napas dan tidak mengatakan apa-apa.
"Ian dan Kyle bersama-sama?" tanya Jeb. "Mungkin mereka bisa saling menyeimbangkan."
Jared menggeram. "Seperti terakhir kali? Oke, oke, aku tahu aku yang harus pergi."
"Kau yang terbaik," Jeb mengiyakan. "Kau mengubah hidup kami dengan kemunculanmu di sini."
Aku dan Melanie sama-sama mengangguk sendiri. Ini tidak mengejutkan bagi kami.
Jared ajaib. Aku dan Jamie benar-benar aman ketika naluri Jared menuntun kami; kami tak pernah tertangkap. Seandainya Jared yang berada di Chicago waktu itu, aku yakin ia akan berhasil dengan baik.
Jared menyentakkan bahunya ke arahku. "Bagaimana dengan...?"
"Aku akan mengawasinya sebisaku. Dan aku berharap kau membawa Kyle. Itu akan membantu."
"Tak akan memadai--Kyle pergi dan kau mengawasi mahluk itu sebisamu. Dia ... tak akan bertahan lama."
Jeb mengangkat bahu. "Akan kulakukan yang terbaik. Hanya itu yang bisa kulakukan."
Jared mulai menggeleng perlahan-lahan.

"Berapa lama kau bisa tinggal di bawah sini?" tanya Jeb kepadanya.
"Aku tak tahu," bisik Jared.
Muncul keheningan panjang. Setelah beberapa menit, Jeb mulai bersiul tanpa nada.
Akhirnya Jared menghembuskan napas panjang. Aku tak sadar ia sedang menahan napas.
"Aku berangkat malam ini." Kata-kata Jared lambat, pasrah, tapi juga lega. Suaranya sedikit berubah, agak kurang defensif. Seakan ia sedang menjalani transisi, untuk kembali kepada siapa dirinya di sini sebelum kemunculanku. Ia membiarkan satu tanggung jawab lepas dari bahunya, lalu memikul tanggung jawab lain yang lebih menyenangkan sebagai gantinya.

Jared menyerah dalam usahanya untuk menjaga agar aku tetap hidup, dan membiarkan alam--atau tepatnya keadilan massa--yang memutuskan. Ketika ia kembali nanti, dan aku sudah mati, ia takkan meminta pertanggungjawaban kepada siapa pun. Ia tidak akan berduka. Semua ini bisa kudengar dalam empat kata yang diucapkannya tadi.
Aku tahun istilah berlebihan yang digunakan manusia untuk melukiskan penderitaan--patah hati. Melanie ingat dirinya sendiri pernah mengucapkan frasa itu. Tapi aku selalu menganggap istilah ini hiperbolis, yaitu penjelasan tradisional untuk sesuatu yang tidak memiliki kaitan fisiologis nyata--misalnya bertangan dingin. Jadi aku tidak mengharapkan munculnya rasa nyeri di dadaku. Rasa mual, ya. Bengkak di tenggorokanku, ya. Dan ya, air mata membakar mataku. Tapi, apa nama sensasi terkoyak yang kurasakan persis di bawah rusukku ini? Tak masuk akal.
Dan bukan hanya terkoyak, tapi terpilin dan tertarik ke segala arah. Hati Melanie juga hancur, dan itu sensasi terpisah, seakan kami menumbuhkan organ baru untuk mengimbangi kesadaran ganda kami. Hati ganda untuk benak ganda. Rasa sakitnya dua kali lipat.
Jared pergi, tangis Melanie. Kita takkan pernah melihatnya lagi. Ia tidak mempertanyakan kenyataan bahwa kami bakal mati.
Aku ingin menangis bersama Melanie, tapi harus ada yang tetap tenang. Kugigit tanganku untuk menahan keluarnya erangan itu.
"Mungkin itu yang terbaik," ujar Jeb.
"Aku perlu menyiapkan beberapa hal..." Benak Jared sudah jauh, jauh sekali dari koridor menyesakkan ini.
"Kalau begitu aku akan menggantikanmu di sini. Selamat jalan."
"Terima kasih. Kurasa sampai jumpa, kapan pun aku berjumpa denganmu lagi, Jeb."
"Kurasa begitu."
Jared menyerahkan kembali senapan itu kepada Jeb, bangkit berdiri, lalu membersihkan debu di pakaiannya dengan gerakan tak sadar. Lalu ia pergi, bergegas menyusuri lorong dengan langkah cepat yang kukenal. Benaknya memikirkan hal-hal lain. Ia sama sekali tidak melirik ke arahku, sama sekali tidak memikirkan nasibku lagi.
Kudengar suara langkah Jared semakin sayup lalu lenyap. Lalu aku melupakan keberadaan Jeb. Kutekankan wajah ke dalam kedua tanganku, dan aku menangis tersedu-sedu.

0 comments on "The Host - Bab 19"

Post a Comment