Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara

Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara
Harga mulai 5rb an. Gratis ongkir DKI Jakarta

99 Cahaya di Langit Eropa - Overture

Sebuah kota di Eropa Barat, 11 September 1683
Malam semakin merayap, dingin pada akhir musim panas yang semakin memuncak. Laki-laki tua itu menunggu di dalam barak.
Seharusnya hari ini adalah hari yang paling ditunggu-tunggu untuk melancarkan aksinya. Semua sudah terencana rapi. Penantian hampir 100 tahun akhirnya akan segera terwujud. Dia akan dielu-elukan sebagai panglima perang paling besar pada zamannya.
Namun, mendung yang kelam di langit membuat dirinya menangguhkan niat. Dia mempunyai firasat buruk. Hujan akan memporak-porandakan semua rencana yang sudah tersusun rapi.  Dia tidak mau menghantam musuh saat hari hujan, mengulang kesalahan panglima perang sebelumnya.
Laki-laki itu terduduk di atas kursi kayu mempelajari sebuah peta. Dia membelai-belai jenggotnya yang panjang sambil mengangguk - angguk sendiri. Matanya tak berkedip memandang titik-titik di atas peta. Selain titik-titik itu, deretan garis yang menghubungkan titik-titik itu juga membuatnya tersenyum puas. Puas oleh gambaran peta yang baru saja diberikan oleh penasihatnya.
Peta pengepungan sebuah kota.
Seorang laki-laki lain tiba-tiba masuk ke dalam barak. Dia membawa pesan penting.
"Panglima, lapor!" seru laki-laki tadi saat menghadap laki-laki tua itu di barak.
"Penasihat, apa yang akan kausampaikan?
Kuharap berita baik," kata laki-laki tua itu.
"Siap Panglima, tinggal satu titik lagi. Pasukan kita sudah membuat terowongan bawah tanah di sini separuh jalan," kata sang penasihat menunjuk salah satu deret garis yang menghubungkan titik-titik di atas peta.
"Hingga hari ini kita sudah berhasil membuat 257 terowongan  ke pusat kota. Orang-orang terbaik telah kita tempatkan. Ahli peledak juga telah kita perintahkan untuk siap sedia. Jika tak ada aral melintang, besok adalah hari bersejarah bagi kita semua," tambah penasihat itu mantap, menerangkan kemajuan rencana penyerangan.
"Berapa prajurit Sipahi dan Janissari yang kita punya untuk melakukan serangan?"
"Tujuh ribu orang lebih, Panglima."
"Lalu, bagaimana kondisi kavaleri kita hingga saat ini?"
Kita kehilangan banyak, tetapi tak sebanyak lawan. Tujuh puluh tujuh ribu tentara sudah termobilisasi di depan benteng lawan."
"Jangan pernah lengah. Awasi terus sepanjang benteng. Jangan biarkan satu orang pun keluar dari sela-sela benteng. Kita akan kepung mereka sampai mereka kelaparan. Jika sampai ada yang akan melarikan diri, tangkap dan kita interogasi mereka!" perintah laki-laki tua itu lantang. Dia diam sejenak setelah penasihatnya berkata "Siap" dengan mantap. Lalu ada hening di sana.
"Bagaimana dengan mata-mata kemarin yang tertangkap?" tanya laki-laki tua itu lagi.
"Sudah dipancung. Bahasa Turki mereka bagus, tapi mereka gagal menerjemahkan sand-sandi dari pasukan kita," jawab penasihat itu dengan tegas.
"Kalau begitu, simpan energi kita. Sebelum siang kita gempur lawan! Jangan memulai serangan kecuali ada serangan dari dalam benteng. Tuhan bersama kita!" tutup laki-laki tua itu sambil mengibaskan tangannya ke arah penasihatnya. Sebuah tanda agar penasihatnya keluar dari barak.
"Siap, Panglima. Tuhan bersama kita," timpal penasihat itu. Namun, penasihat itu tak beranjak. Masih ada sesuatu yang ingin disampaikannya.
"...Mmm... Panglima... Apakah Panglima juga berkenan mendengar berita lainnya? Hanya saja berita ini sedikit kurang baik...," ucap penasihat itu terbata-bata.
Mata laki-laki tua itu tiba-tiba melotot. Dia seperti tak percaya. Ini adalah detik-detik yang menentukan. Seharusnya tak ada lagi berita buruk!
Laki-laki tua itu tak menjawab penasihatnya. Penasihatnya pun tak berani bersuara sedikit pun. Dia menunduk penuh ketakutan. Namun dia tahu, pesan ini harus disampaikan kepada orang yang paling bertanggung jawab dalam misi penaklukan ini.
"Katakan!" Suara berat laki-laki tua itu akhirnya keluar juga. Penasihatnya yang beberapa menit bergeming dalam posisinya akhirnya angkat bicara.
"Mereka tidak menyerang, Panglima. Tetapi anak buah kita melihat tembakan api terus-menerus dilontarkan ke udara dari dalam benteng," jawab penasihat itu dengan satu tarikan napas. Dia seperti tak tahu harus menjawab apa jika ditanya pemimpinnya tentang hal aneh itu.
Lontaran sekam berapi. Ada dua kemungkinan, sandi untuk pasukan bantuan... atau pertanda penyerahan diri... Tapi jika itu adalah penyerahan diri, seharusnya, seorang kurir sudah dikirim ke dalam barak. Jadi ini adalah...
Hanya itu yang ada di pikiran laki-laki tua itu. Orang-orang di dalam kota itu telah meminta bala bantuan dari luar!
Laki-laki tua itu bangkit dari tempat duduknya yang empuk, berjalan di depan penasihatnya yang masih berdiri tertegun. Lalu dia berlari keluar barak nyamannya, menyingkap tirai, lalu menatap bebas pemandangan yang ada di depannya.
Sebuah benteng kokoh nan tinggi menjulang berdiri di hadapannya. Laki-laki tua itu terus memandang sekeliling. Dengan pencahayaan lampu - lampu api yang dipasang di tiap-tiap barak kecil milik pasukannya, laki-laki itu berjalan sendiri di tengah rintik hujan. Pandangannya kali ini tak terbatas. Kota yang dia kepung ini telah dia pelajari seluk-beluknya berbulan-bulan. Laki-laki tua itu yakin tak ada yang tercecer dari rencananya, hingga dia menyadari sesuatu hal... kota ini dikepung oleh perbukitan tinggi!
Lalu dia teringat sesuatu lagi... dua mata-mata musuh yang tertangkap. Jika musuh mengirim mata-mata, mereka tentu tak akan mengirim hanya satu atau dua. mereka pasti memperbanyak kemungkinan...
Mungkinkah ada mata-mata musuh lain yang berhasil meloloskan diri dari puluhan ribu barak di luar benteng ini hingga mencapai bukit itu? Laki-laki tua itu bergetar. Dia tak percaya telah melakukan sebuah kesalahan besar. Laki-laki tua itu terduduk lagi di singasananya dalam barak itu. DIa tak bisa tidur nyenyak.

http://ceritanovelonline.blogspot.com/

12 September 1683
Pagi telah menyongsong, namun salak anjing-anjing pemburu masih terdengar bersahutan. Seolah mereka ahli nujum yang menyampaikan hal buruk yang akan terjadi.
Laki-laki tua itu keluar dari barak lagi. Dia termenung memandang sekeliling. Hatinya bergejolak dasyat.
Siapakah sebenarnya yang aku bela dalam perang ini? Diriku sendiri? Sultanku? Agamaku? Atau ketamakanku?
Tidak ada yang berubah dari benteng yang tinggi kokoh itu. Rakyat berhasil membuat benteng terkuat dan termegah yang pernah ada di Eropa.
Nyala lampu api gantung semakin redup. Laki-laki tua itu membuka lipatan peta strategi pertempuran tadi malam. Titik-titik di peta dari kulit sapi itu menggambarkan bastion benteng kota yang bagian bawahnya dipasangi bubuk peledak. Jika dia menyeru "serbu" pada pasukannya, bastion-bastion benteng akan langsung meledak.
Di dalam benteng, tiba-tiba sebuah loncatan api terpelanting ke udara beberapa kali. SInyal permintaan bantuan dari dalam benteng kembali diletupkan.
Laki-laki tua itu menengok ke arah bukit di belakangnya. Bukit itu satu-satunya belantara yang tidak pernah dia perhitungkan. Dia berpikir cepat. Dia yakin musuhnya telah meminta bantuan dari luar, namun bantuan itu belum kunjung tiba. Jika perhitungannya benar, bantuan itu seharusnya akan datang hari ini. Artinya, dia harus lebih dulu menaklukan kota sebelum orang-orang kota mendapatkan bantuan dari luar.
Dia berketatapan hati. Sebelum matahari tergelincir, kota berbenteng itu harus digenggam!
Tapi agaknya semua sudah terlambat. Penasihatnya datang tergopoh-gopoh kepadanya.
"Panglima, pasukan gabungan Polandia dan Jerman mengirim pesan kepada kita. Mereka telah mengepung kita dari balik bukit, meminta kita mundur. Mohon maafkan hamba. Hamba tak bisa menjawab berapa kekuatan pasukan mereka."
Rasa panik tiba-tiba menyerang laki-laki tua itu. Tubuhnya bergetar lagi. Dia sadar, kini dirinya yang sebenarnya sedang dikepung musuh. Dari 2 arah! Musuh di dalam benteng dan musuh dari luar benteng.
Laki-laki tua itu tercenung. Dia gundah. Tapi baginya, ini semua adalah titik tanpa kembali. Dia takkan mundur barang selangkah pun.
"Bagikan pasukan menjadi 2! Siapkan semua Janissari dan Sipahi untuk menghadapi aliansi mereka di bukit. Sisanya menyerbu benteng bersamaku! Sekarang ini juga, perintahkan penyerbuah! Allah bersama kita..."

http://ceritanovelonline.blogspot.com/
 
Allah bersama kita
Itulah kata-kata terakhir laki-laki tua itu sebelum akhirnya dia menghunus pedang bersama pasukan kavalerinya, menghantam apa saja yang dilewatinya. Membakar semua rumah dan gubuk penduduk. Suara meriam dari pasukan artileri bergedebum-debum menggetarkan bumi dan langit siang itu. lalu suara ledakan dari bawah tanah pun berdentum menyobek permukaan tanah dan meruntuhkan bastion-bastion benteng.
Laki-laki tua itu sudah benar memperhitungkan semuanya. Hari ini adalah hari yang tenang tanpa hujan dan angin. Semua bubuk peledak juga meledak sesuai target. Namun kali ini, di atas kudanya, tiba-tiba dia merasa lemah. Teriakan "Allahu Akbar" yang terus dia kumandangkan dengan ribuan pasukannya tiba-tiba melemah. Matanya berkunang-kunang.
Tidak ada yang salah dengan semua rencana ini. Tapi ada rasa bersalah yang tiba-tiba menjalari dirinya. Sebuah bisikan datang dari lubuk hatinya. Seperti suara orang-orang yang datang dari alam masa depan. Suara anak, cucu, dan cicitnya yang belum hadir di muka bumi ini. Suara-suara itu memintanya untuk menangguhkan penaklukan kota ini.
Tapi laki-laki tua itu tak bisa berpikir jernih lagi. Di atas kudanya dia baru menyadari apa sebenarnya yang dia bela.
Laki-laki tua itu terus memacu kudanya, namun pandangan matanya semakin kabur. Jantungnya berdegup kencang. Kontrolnya terhadap kuda begitu limbung. Dia terperosok ke dalam parit yang dibuatnya sendiri. Jatuh terjerembab ke dasar parit dalam.
Sangat dalam...

0 comments:

Post a Comment

Jual Nugget dan Sosis Sayur

Jual Nugget dan Sosis Sayur
Pemesanan via email : lwati111@gmail.com

99 Cahaya di Langit Eropa - Overture

Sebuah kota di Eropa Barat, 11 September 1683
Malam semakin merayap, dingin pada akhir musim panas yang semakin memuncak. Laki-laki tua itu menunggu di dalam barak.
Seharusnya hari ini adalah hari yang paling ditunggu-tunggu untuk melancarkan aksinya. Semua sudah terencana rapi. Penantian hampir 100 tahun akhirnya akan segera terwujud. Dia akan dielu-elukan sebagai panglima perang paling besar pada zamannya.
Namun, mendung yang kelam di langit membuat dirinya menangguhkan niat. Dia mempunyai firasat buruk. Hujan akan memporak-porandakan semua rencana yang sudah tersusun rapi.  Dia tidak mau menghantam musuh saat hari hujan, mengulang kesalahan panglima perang sebelumnya.
Laki-laki itu terduduk di atas kursi kayu mempelajari sebuah peta. Dia membelai-belai jenggotnya yang panjang sambil mengangguk - angguk sendiri. Matanya tak berkedip memandang titik-titik di atas peta. Selain titik-titik itu, deretan garis yang menghubungkan titik-titik itu juga membuatnya tersenyum puas. Puas oleh gambaran peta yang baru saja diberikan oleh penasihatnya.
Peta pengepungan sebuah kota.
Seorang laki-laki lain tiba-tiba masuk ke dalam barak. Dia membawa pesan penting.
"Panglima, lapor!" seru laki-laki tadi saat menghadap laki-laki tua itu di barak.
"Penasihat, apa yang akan kausampaikan?
Kuharap berita baik," kata laki-laki tua itu.
"Siap Panglima, tinggal satu titik lagi. Pasukan kita sudah membuat terowongan bawah tanah di sini separuh jalan," kata sang penasihat menunjuk salah satu deret garis yang menghubungkan titik-titik di atas peta.
"Hingga hari ini kita sudah berhasil membuat 257 terowongan  ke pusat kota. Orang-orang terbaik telah kita tempatkan. Ahli peledak juga telah kita perintahkan untuk siap sedia. Jika tak ada aral melintang, besok adalah hari bersejarah bagi kita semua," tambah penasihat itu mantap, menerangkan kemajuan rencana penyerangan.
"Berapa prajurit Sipahi dan Janissari yang kita punya untuk melakukan serangan?"
"Tujuh ribu orang lebih, Panglima."
"Lalu, bagaimana kondisi kavaleri kita hingga saat ini?"
Kita kehilangan banyak, tetapi tak sebanyak lawan. Tujuh puluh tujuh ribu tentara sudah termobilisasi di depan benteng lawan."
"Jangan pernah lengah. Awasi terus sepanjang benteng. Jangan biarkan satu orang pun keluar dari sela-sela benteng. Kita akan kepung mereka sampai mereka kelaparan. Jika sampai ada yang akan melarikan diri, tangkap dan kita interogasi mereka!" perintah laki-laki tua itu lantang. Dia diam sejenak setelah penasihatnya berkata "Siap" dengan mantap. Lalu ada hening di sana.
"Bagaimana dengan mata-mata kemarin yang tertangkap?" tanya laki-laki tua itu lagi.
"Sudah dipancung. Bahasa Turki mereka bagus, tapi mereka gagal menerjemahkan sand-sandi dari pasukan kita," jawab penasihat itu dengan tegas.
"Kalau begitu, simpan energi kita. Sebelum siang kita gempur lawan! Jangan memulai serangan kecuali ada serangan dari dalam benteng. Tuhan bersama kita!" tutup laki-laki tua itu sambil mengibaskan tangannya ke arah penasihatnya. Sebuah tanda agar penasihatnya keluar dari barak.
"Siap, Panglima. Tuhan bersama kita," timpal penasihat itu. Namun, penasihat itu tak beranjak. Masih ada sesuatu yang ingin disampaikannya.
"...Mmm... Panglima... Apakah Panglima juga berkenan mendengar berita lainnya? Hanya saja berita ini sedikit kurang baik...," ucap penasihat itu terbata-bata.
Mata laki-laki tua itu tiba-tiba melotot. Dia seperti tak percaya. Ini adalah detik-detik yang menentukan. Seharusnya tak ada lagi berita buruk!
Laki-laki tua itu tak menjawab penasihatnya. Penasihatnya pun tak berani bersuara sedikit pun. Dia menunduk penuh ketakutan. Namun dia tahu, pesan ini harus disampaikan kepada orang yang paling bertanggung jawab dalam misi penaklukan ini.
"Katakan!" Suara berat laki-laki tua itu akhirnya keluar juga. Penasihatnya yang beberapa menit bergeming dalam posisinya akhirnya angkat bicara.
"Mereka tidak menyerang, Panglima. Tetapi anak buah kita melihat tembakan api terus-menerus dilontarkan ke udara dari dalam benteng," jawab penasihat itu dengan satu tarikan napas. Dia seperti tak tahu harus menjawab apa jika ditanya pemimpinnya tentang hal aneh itu.
Lontaran sekam berapi. Ada dua kemungkinan, sandi untuk pasukan bantuan... atau pertanda penyerahan diri... Tapi jika itu adalah penyerahan diri, seharusnya, seorang kurir sudah dikirim ke dalam barak. Jadi ini adalah...
Hanya itu yang ada di pikiran laki-laki tua itu. Orang-orang di dalam kota itu telah meminta bala bantuan dari luar!
Laki-laki tua itu bangkit dari tempat duduknya yang empuk, berjalan di depan penasihatnya yang masih berdiri tertegun. Lalu dia berlari keluar barak nyamannya, menyingkap tirai, lalu menatap bebas pemandangan yang ada di depannya.
Sebuah benteng kokoh nan tinggi menjulang berdiri di hadapannya. Laki-laki tua itu terus memandang sekeliling. Dengan pencahayaan lampu - lampu api yang dipasang di tiap-tiap barak kecil milik pasukannya, laki-laki itu berjalan sendiri di tengah rintik hujan. Pandangannya kali ini tak terbatas. Kota yang dia kepung ini telah dia pelajari seluk-beluknya berbulan-bulan. Laki-laki tua itu yakin tak ada yang tercecer dari rencananya, hingga dia menyadari sesuatu hal... kota ini dikepung oleh perbukitan tinggi!
Lalu dia teringat sesuatu lagi... dua mata-mata musuh yang tertangkap. Jika musuh mengirim mata-mata, mereka tentu tak akan mengirim hanya satu atau dua. mereka pasti memperbanyak kemungkinan...
Mungkinkah ada mata-mata musuh lain yang berhasil meloloskan diri dari puluhan ribu barak di luar benteng ini hingga mencapai bukit itu? Laki-laki tua itu bergetar. Dia tak percaya telah melakukan sebuah kesalahan besar. Laki-laki tua itu terduduk lagi di singasananya dalam barak itu. DIa tak bisa tidur nyenyak.

http://ceritanovelonline.blogspot.com/

12 September 1683
Pagi telah menyongsong, namun salak anjing-anjing pemburu masih terdengar bersahutan. Seolah mereka ahli nujum yang menyampaikan hal buruk yang akan terjadi.
Laki-laki tua itu keluar dari barak lagi. Dia termenung memandang sekeliling. Hatinya bergejolak dasyat.
Siapakah sebenarnya yang aku bela dalam perang ini? Diriku sendiri? Sultanku? Agamaku? Atau ketamakanku?
Tidak ada yang berubah dari benteng yang tinggi kokoh itu. Rakyat berhasil membuat benteng terkuat dan termegah yang pernah ada di Eropa.
Nyala lampu api gantung semakin redup. Laki-laki tua itu membuka lipatan peta strategi pertempuran tadi malam. Titik-titik di peta dari kulit sapi itu menggambarkan bastion benteng kota yang bagian bawahnya dipasangi bubuk peledak. Jika dia menyeru "serbu" pada pasukannya, bastion-bastion benteng akan langsung meledak.
Di dalam benteng, tiba-tiba sebuah loncatan api terpelanting ke udara beberapa kali. SInyal permintaan bantuan dari dalam benteng kembali diletupkan.
Laki-laki tua itu menengok ke arah bukit di belakangnya. Bukit itu satu-satunya belantara yang tidak pernah dia perhitungkan. Dia berpikir cepat. Dia yakin musuhnya telah meminta bantuan dari luar, namun bantuan itu belum kunjung tiba. Jika perhitungannya benar, bantuan itu seharusnya akan datang hari ini. Artinya, dia harus lebih dulu menaklukan kota sebelum orang-orang kota mendapatkan bantuan dari luar.
Dia berketatapan hati. Sebelum matahari tergelincir, kota berbenteng itu harus digenggam!
Tapi agaknya semua sudah terlambat. Penasihatnya datang tergopoh-gopoh kepadanya.
"Panglima, pasukan gabungan Polandia dan Jerman mengirim pesan kepada kita. Mereka telah mengepung kita dari balik bukit, meminta kita mundur. Mohon maafkan hamba. Hamba tak bisa menjawab berapa kekuatan pasukan mereka."
Rasa panik tiba-tiba menyerang laki-laki tua itu. Tubuhnya bergetar lagi. Dia sadar, kini dirinya yang sebenarnya sedang dikepung musuh. Dari 2 arah! Musuh di dalam benteng dan musuh dari luar benteng.
Laki-laki tua itu tercenung. Dia gundah. Tapi baginya, ini semua adalah titik tanpa kembali. Dia takkan mundur barang selangkah pun.
"Bagikan pasukan menjadi 2! Siapkan semua Janissari dan Sipahi untuk menghadapi aliansi mereka di bukit. Sisanya menyerbu benteng bersamaku! Sekarang ini juga, perintahkan penyerbuah! Allah bersama kita..."

http://ceritanovelonline.blogspot.com/
 
Allah bersama kita
Itulah kata-kata terakhir laki-laki tua itu sebelum akhirnya dia menghunus pedang bersama pasukan kavalerinya, menghantam apa saja yang dilewatinya. Membakar semua rumah dan gubuk penduduk. Suara meriam dari pasukan artileri bergedebum-debum menggetarkan bumi dan langit siang itu. lalu suara ledakan dari bawah tanah pun berdentum menyobek permukaan tanah dan meruntuhkan bastion-bastion benteng.
Laki-laki tua itu sudah benar memperhitungkan semuanya. Hari ini adalah hari yang tenang tanpa hujan dan angin. Semua bubuk peledak juga meledak sesuai target. Namun kali ini, di atas kudanya, tiba-tiba dia merasa lemah. Teriakan "Allahu Akbar" yang terus dia kumandangkan dengan ribuan pasukannya tiba-tiba melemah. Matanya berkunang-kunang.
Tidak ada yang salah dengan semua rencana ini. Tapi ada rasa bersalah yang tiba-tiba menjalari dirinya. Sebuah bisikan datang dari lubuk hatinya. Seperti suara orang-orang yang datang dari alam masa depan. Suara anak, cucu, dan cicitnya yang belum hadir di muka bumi ini. Suara-suara itu memintanya untuk menangguhkan penaklukan kota ini.
Tapi laki-laki tua itu tak bisa berpikir jernih lagi. Di atas kudanya dia baru menyadari apa sebenarnya yang dia bela.
Laki-laki tua itu terus memacu kudanya, namun pandangan matanya semakin kabur. Jantungnya berdegup kencang. Kontrolnya terhadap kuda begitu limbung. Dia terperosok ke dalam parit yang dibuatnya sendiri. Jatuh terjerembab ke dasar parit dalam.
Sangat dalam...

0 comments on "99 Cahaya di Langit Eropa - Overture"

Post a Comment