Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara

Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara
Harga mulai 5rb an. Gratis ongkir DKI Jakarta

The Host - Bab 7

Dikonfrontasi

"Ya, Faces Sunward?" tanyaku. Aku bersyukur atas tangan teracung yang menyela kuliahku. Tidak seperti biasa, aku merasa kurang nyaman berada di balik mimbar. Kekuatan terbesarku, satu-satunya kualifikasiku yang sesungguhnya--tubuh inangku hanya memiliki sedikit pendidikan formal, karena telah menjadi buron sejak awal remaja--adalah pengalaman pribadi yang biasanya menjadi dasar kuliahku. Ini kuliah sejarah awal dunia pertamaku semester ini, yang bahan-bahannya tidak bisa kutarik dari ingatan apa pun. Aku yakin para mahasiswaku menyadari perbedaannya.

"Maaf menyela, tapi..." Lelaki berambut putih itu terdiam sejenak, berjuang menyuarakan pertanyaannya. "Saya ragu apakah saya mengerti. Apakah Fire-tasters--Pengecap Api--benar-bener... mencerna asap dari para Walking Flowers--Bunga Berjalan--yang terbakar? Seperti makanan?" Ia mencoba menekan kengerian dalam nada suaranya. Tak sepantasnya sesosok jiwa menghakimi jiwa yang lain. Tapi aku tidak terkejut mendengar reaksi keras Faces Sunward atas nasib bentuk kehidupan lain yang serupa di dunia lain, mengingat latar belakangnya di Planet of the Flowers.

Beberapa jiwa membenamkan diri dalam urusan-urusan dunia mana pun yang mereka huni, dan mengabaikan sisa jagad raya. Dan itu selalu menakjubkan bagiku. Tapi mungkin saja Faces Sunward berada dalam keadaan hibernasi ketika Fire World menjadi tenar.

"Ya, mereka menerima nutrisi-nutrisi penting dari asap ini. Disitulah letak dilema fundamental dan kontroversi Fire World--serta alasan mengapa planet itu belum ditutup, walaupun sudah cukup banyak waktu untuk menghuninya secara penuh. Juga ada masalah tingginya persentase relokasi.

"Ketika Fire World ditemukan, pertama-tama diperkirakan bahwa spesies yang dominan, Fire-Tasters, adalah satu-satunya bentuk kehidupan cerdas yang ada di sana. Fire-Tasters tidak menganggap Walking Flowers setara dengan mereka--sebuah prasangka kultural--sehingga perlu beberapa saat, bahkan setelah gelombang pendudukan pertama, sebelum para jiwa menyadari mereka

membunuh mahluk cerdas. Sejak itu para ilmuwan Fire world memusatkan usaha mereka untuk menemukan pengganti makanan Fire-

Tasters. Laba-laba diangkut ke sana untuk membantu, tapi planet-planet itu terpisah ratusan tahun cahaya jauhnya. Jika rintangan ini sudah teratasi, dan aku yakin itu takkan lama lagi, ada harapan bahwa Walking Flowers juga bisa diasimilasi.

Sementara itu, sebagian besar kebrutalan telah dihilangkan dari sana. Bagian pembakaran hidup-hidup tentu saja, juga aspek-aspek lainnya."

"Bagaimana mereka bisa...," Faces Sunward terdiam, tak mampu menyelesaikan kalimat.
Suara lain melengkapi pikiran Faces Sunward. "Tampaknya itu ekosistem yang sangat kejam. Mengapa planet itu tidak ditinggalkan?"

"Tentu saja itu telah diperdebatkan, Robert. Tapi kita takkan meninggalkan planet begitu saja. Banyak jiwa sudah menghuni Fire World. Mereka tidak akan dicerabut melawan kehendak mereka." Aku mengalihkan pandang, kembali pada catatan-catatanku, mencoba mengakhiri diskusi sampingan ini.

"Tapi itu biadab!"

Secara fisik Robert lebih muda daripada sebagian besar mahasiswa lain--sesungguhnya lebih mendekati usiaku dibandingkan dengan yang lain. Dan ia benar-benar kanak-kanak dalam arti sesungguhnya. Bumi adalah dunia pertamanya--dalam kasus ini, sesungguhnya sang Ibu juga penghuni Bumi, sebelum ia menyerahkan diri. Dan tampaknya Robert tak punya perpektif sebanyak jiwa-jiwa lebih tua yang telah banyak berkelana. Aku ingin tahu bagaimana rasanya dilahirkan dalam sensasi dan emosi meluap-luap inang-inang ini, tanpa dibekali pengetahuan terdahulu sebagai penyeimbang. Akan sulit menemukan objektivitas. Aku mencoba mengingat-ingat hal ini, dan bersikap ekstra sabar ketika menjawab pertanyaannya.


depan. Dia bisa mengimbangi kekurangan pengetahuanku mengenai topik ini. Flame Tender--Penjinak Api, yang baru saja datang ke planet ini, akan berada di sini untuk memberi penjelasan yang lebih pribadi mengenai pendudukan Fire World. Aku tahu kalian akan memperlakukan Flame Tender dengan baik sebagaimana kalian memperlakukanku, dan menghargai inangnya yang masih sangat muda. Terima kasih ats waktu kalian."


Kelas bubar dengan lambat, banyak mahasiswa menyisihkan sedikit waktu untuk mengobrol sambil mmembereskan barang-barang.

Perkataan Kathy mengenai persahabatan melintas di kepalaku, tapi aku tidak merasa ingin bergabung dengan salah satu dari mereka. Mereka orang asing.

Itukah yang kurasakan? Ataukah itu perasaan Melanie? Sulit dikatakan. Mungkin pada dasarnya aku antisosial. Kurasa sejarah pribadiku mendukung teori itu. Aku tak pernah membentuk ikatan yang cukup kuat, sehingga mempertahankan keberadaanku di planet mana pun selama lebih dari satu kehidupan.
Kuamati Robert dan Faces Sunward yang tetap berada di pintu kelas, terlibat diskusi yang tampaknya serius. Aku bisa menebak subjeknya.

"Cerita-cerita mengenai Fire World menghebohkan."
Aku memulai dengan ringan.
Pencari berdiri di dekat sikuku. Wanita itu biasanya mengumumkan kedatangannya dengan ketukan cepat sepatu bersol kerasnya.

Kini aku menunduk, dan melihat kali ini ia mengenakan sepatu karet--hitam tentu saja. Ia semakin mungil tanpa beberapa senti tambahannya itu.

"Bukan subjek favoritku," ujarku datar. "Aku lebih suka menceritakan pengalaman langsung."
"Muncul reaksi--reaksi keras dari kelas."
"Ya."

Pencari memandangku penuh harap, seakan menunggu lebih banyak lagi. Aku membereskan catatan-catatanku dan berbalik untuk meletakkan semuanya ke dalam tas.
"Kelihatannya kau juga bereaksi."

Hati-hati kuletakkan kertas-kertasku ke dalam tas, tanpa berbalik.
"Aku ingin tahu mengapa kau tidak menjawab pertanyaan itu."
Muncul keheningan ketika ia menunggu jawaban. Aku tidak menjawab.
"Jadi... mengapa kau tidak menjawab pertanyaan itu?"
Aku berbalik, tanpa menutupi ketidaksabaran di wajahku. "Karena itu tidak berhubungan dengan pelajarannya, karena Robert perlu belajar bersikap sopan, dan karena itu bukan urusan orang lain."

Kusampirkan tas di bahu, lalu berjalan ke pintu. Pencari tetap di sampingku, bergegas mengimbangi kakiku yang lebih panjang. Kami berjalan menyusuri lorong dalam keheningan. Di luar, di tempat matahari tengah hari menyinari partikel-partikel debu di dalam udara asin, barulah ia kembali bicara.

"Menurutmu kau akan menetap, Wanderer? Di planet ini, mungkin?  Tampaknya kau punya ketertarikan terhadap... perasaan mereka. "

Aku tersinggung dengan penghinaan tersembunyi dalam nada suaranya. Aku bahkan tak yakin bagaimana ia menghinaku, tapi jelas ia melakukannya. Melanie bergerak-gerak kesal.
"Apa sih maksudmu?"
"Katakan, Wanderer. Apakah kau mengasihani mereka?"
"Siapa?" tanyaku datar. "Walking Flowers?"
"Bukan, manusia."

Aku berhenti berjalan, dan Pencari langsung berhenti di sampingku. Kami hanya beberapa blok dari apartemenku, dan aku telah bergegas dengan harapan bisa lolos darinya, walaupun kemungkinan besar ia akan mengundang dirinya sendiri masuk. Tapi pertanyaannya mengejutkanku.
"Manusia?"
"Ya. Apakah kau mengasihani mereka?"
"Apakah kau tidak?"
"Tidak. Mereka bangsa yang cukup brutal. Mereka beruntung bisa bertahan hidup selama ini."
"Tidak semua manusia buruk."
"Itu kecenderungan genetik. Kebrutalan adalah bagian tak terpisahkan spesies mereka. Tapi tampaknya kau mengasihani mereka."
"Bukankah mereka kehilangan banyak?" Aku menunjuk sekeliling. Kami berdiri di tempat yang menyerupai taman, dilatari dua bangunan asrama yang berselimut tanaman merambat. Warna hijau tua tanaman itu sangat sedap dipandang, terutama dilatari warna merah pudar batu bata tua. Udaranya lembut menyenangkan, dan bau laut memberi sedikit rasa asin pada aroma semanis madu bunga-bungaan di semak-semak. Angin sepoi-sepoi membelai kulit telanjangku. "Di dalam kehidupan-kehidupan lain, kau tidak bisa merasakan segalanya begitu hidup. Tidakkah kau mengasihani siapa pun yang kehilangan semua ini?" Raut wajah Pencari tetap datar, tidak berubah. Aku mencoba membuatnya mengerti, membuatnya merenungkan sudut pandang lain. "Kau pernah tinggal di dunia mana saja?"
Ia bimbang, lalu menegakkan bahu. "Tak pernah. Aku hanya pernah tinggal di Bumi."


Itu mengejutkanku. Ia sama kanak-kananknya dengan Robert. "Hanya satu planet? Dan kau memilih menjadi Pencari dalam kehidupan pertamamu?"
Ia mengangguk, dagunya terangkat.
"Wah. Wah, itu urusanmu." Aku mulai berjalan lagi. Jika aku menghormati privasinya, mungkin ia akan melakukan hal yang sama terhadapku.

"Aku bicara dengan Penghibur-mu."
Dan mungkin tidak, pikir Melanie masam.
"Apa?" Aku terkesiap.
"Kurasa kau punya lebih banyak masalah, selain kesulitan mengakses informasi yang kuperlukan. Sudahkah kaupertimbangkan untuk mencoba inang lain yang lebih patuh? Penghibur menyarankan itu, bukan?"
"Kathy tidak akan bercerita apa-apa kepadamu!"

Wajah Pencari tampak bangga. "Dia tak perlu menjawab. Aku sangat pintar membaca ekspresi manusia. Aku bisa tahu kapan pertanyaan-pertanyaanku mengenai sasaran."
"Kau lancang sekali! Hubungan antara jiwa dengan Penghiburnya--"
"Sakral. Ya aku tahu teorinya. Tapi sarana investigasi yang bisa diterima tampaknya tidak berhasil untuk kasusmu. Aku harus lebih kreatif."
"Kaupikir aku menyembunyikan sesuatu darimu?" desakku.
Aku terlalu marah, sehingga tidak mengontrol nada kebencian dalam suaraku. "Kaupikir aku mengungkapkannya kepada Penghibur-ku?"

Kemarahan tidak mengusik Pencari. Mungkin, mengingat kepribadiannya yang aneh, ia terbiasa dengan reaksi-reaksi semacam itu.

"Tidak. Kurasa kau menceritakan apa yang kauketahui kepadaku... Tapi kurasa kau tidak berusaha sekeras mungkin. Aku pernah melihatnya. Kau semakin bersimpati terhadap inangmu. Kau membiarkan ingatan-ingatannya secara tidak sadar mengarahkan keinginan - keinginanmu sendiri. Mungkin saat ini sudah terlambat. Kurasa akan lebih nyaman bagimu jika pindah, dan mungkin jiwa lain akan lebih beruntung menghadapi inang itu."

"Hah!" teriakku. "Melanie akan menyantapnya hidup-hidup!"

Raut wajah si Pencari langsung membeku.
Ia sama sekali tidak tahu, tak peduli apa yang menurutnya ia pahami dari Kathy. Ia mengira pengaruh Melanie berasal dari ingatan-ingatan, dan itu terjadi di luar kesadaran.

"Menurutku sangat menarik, karena kau bicara seakan-akan inang itu masih ada sekarang."

Aku mengabaikan perkataannya, mencoba berpura-pura tidak salah bicara. "Jika kau mengira jiwa lain akan lebih beruntung dalam membongkar rahasia-rahasianya, kau keliru."
"Hanya ada satu cara untuk tahu."
"Kau sudah punya calon?" tanyaku. Suaraku kaku karena kebencian.
Ia nyengir. "Aku sudah mendapat izin untuk mencobanya. Tak akan makan waktu lama. Mereka akan menyimpankan inangku yang sekaranng ini untukku."

Aku harus menghela napas dalam-dalam. Aku gemetaran, dan Melanie begitu penuh kebencian sehingga tak mampu berkata-kata. Gagasan Pencari berada di dalam tubuhku, walaupun aku tahu aku takkan berada di sana, begitu menjijikkan sampai aku merasakan kembalinya rasa mual yang kualami minggu lalu.

"Sangat disayangkan bagi investigasimu, karena aku bukan peloncat."

Mata Pencari menyipit. "Well, itu jelas membuat tugas ini berlarut-larut. Sejarah tak pernah menarik bagiku, tapi tampaknya sekarang aku mendaftar untuk seluruh mata kuliah."

"Kau baru saja bilang mungkin sudah terlambat untuk memperoleh lebih banyak lagi dari ingatan-ingatannya," ujarku mengingatkan, seraya berjuang menjaga ketenangan suaraku. "Mengapa kau tidak pulang saja ke tempat asalmu?"

Ia mengangkat bahu dan tersenyum kaku. "Aku yakin sudah terlambat... untuk informasi yang diberikan secara sukarela. Tapi kalaupun kau tidak mau bekerja sama, tetap saja gadis itu akan menuntunku kepada mereka."

"Menuntunmu?"
"Setelah dia mengambil seluruh kendali. Dan kau tidak lebih baik daripada si lemah itu, yang dlunya bernama Racing Song dan kini Kevin. Kau ingat? Yang menyerang Penyembuh?"

Aku menatap Pencari, dengan mata melotot, lubang hidung mengembang.
"Ya, mungkin ini hanya masalah waktu. Penghibur-mu tidak mengungkapkan statistiknya kepadamu, bukan? Well, kalaupun dia melakukannya, dia takkan punya informasi terakhir yang bisa kami peroleh. Tingkat kesuksesan jangka panjang untuk situasi-situasi seperti kasusmu--yaitu setelah inang manusia mulai melawan--adalah di bawah dua puluh persen. Tahukan kau itu sangat buruk? Inang-inang itu mengubah informasi yang mereka berikan kepada para penghuni potensial. Takkan ada lagi inang dewasa yang ditawarkan. Risikonya terlalu besar. Kami telah kehilangan banyak jiwa. Tak lama lagi gadis itu akan bicara denganmu, bicara melalui dirimu, mengendalikan keputusan-keputusanmu."

Aku belum bergerak satu senti pun atau mengendurkan satu otot pun. Pencari mencondongkan tubuh, berjingkat untuk mendekatkan wajahnya ke wajahku. Nada suaranya berubah rendah dan lembut, dalam usahanya untuk meyakinkanku.

"Itukah yang kauinginkan, Wanderer? Kalah? Menghilang, terhapus kesadaran lain? Menjadi tak lebih baik daripada tubuh inang?"

Aku tak mampu bernapas.

"Hanya akan semakin parah. Kau tidak akan menjadi dirimu lagi. Dia akan mengalahkanmu, dan kau akan menghilang. Mungkin seseorang akan ikut campur... Mungkin mereka akan memindahkanmu, seperti yang mereka lakukan terhadap Kevin. Dan kau akan menjadi anak kecil bernama Melanie, yang lebih suka mengutak-atik mobil daripada menggubah musik. Atau apa pun pekerjaan gadis itu."

"Tingkat kesuksesannya di bawah dua puluh persen?" bisikku.
Pencari mengangguk, mencoba menyembunyikan senyuman.
"Kau akan kehilangan dirimu sendiri, Wanderer. Semua dunia yang pernah kausaksikan, semua pengalaman yang pernah kau alami--semua sia-sia. Kulihat di dalam arsipmu bahwa kau berpotensi menjadi Ibu. Jika kau menyerahkan diri untuk menjadi Ibu, setidaknya tidak semuanya bakal sia-sia. Mengapa menyia-nyiakan diri? Sudahkah kaupertimbangkan untuk menjadi Ibu?"

Kusentakkan tubuhku menjauhinya. Wajahku memerah.
"Maaf, " gumam Pencari. Wajahnya berubah gelap. "Itu tidak sopan. Lupakan perkataanku."

"Aku pulang. Jangan membuntuti."
"Aku harus, Wanderer. Ini pekerjaanku."
"Mengapa kau begitu peduli terhadap beberapa gelintir manusia yang tersisa? Mengapa? Bagaimana lagi caramu menilai pekerjaanmu? Kita sudah menang! Sudah saatnya bagimu untuk membaur ke dalam masyarakat dan melakukan hal yang produktif."

Pertanyaan-pertanyaanku, tuduhan-tuduhan tersiratku, tidak mengganggu Pencari.

"Di mana pun dunia mereka menyentuh dunia kita, di situlah terdapat kematian." Pencari mengucapkan kata-kata itu dengan tenang, dan sejenak aku melihat orang yang berbeda di wajahnya. Dengan terkejut kusadari ia sangat meyakini tindakannya. Sebagian diriku tadinya menyangka ia memilih pekerjaan sebagai Pencari hanya karena diam-diam ia menyukai kekerasan. "Kalau Jared atau Jamie-mu menghilangkan satu jiwa saja, itu sudah terlalu banyak. Sampai kedamaian total tercipta di planet ini, pekerjaanku bisa dibenarkan. Selama masih ada Jared-Jared yang bertahan hidup, aku diperlukan untuk melindungi bangsa kita. Selama masih ada Melanie-Melanie yang memperbudak jiwa...

Aku berbalik memunggungi Pencari, lalu berjalan menuju apartemen dengan langkah-langkah panjang yang akan memaksanya berlari jika ingin mengimbangiku.


"Jangan kehilangan dirimu sendiri, Wanderer!" teriaknya sambil mengejarku. "Waktu berjalan cepat bagimu!" Ia diam sejenak, lalu berteriak lebih keras lagi. "Harap beritahu, kapan aku harus memanggilmu Melanie!"

Suara Pencari berangsur lenyap ketika jarak di antara kami bertambah lebar. Aku tahu ia akan membuntutiku dengan kecepatannya sendiri. Dalam seminggu terakhir yang tidak nyaman ini--melihat wajah Pencari di belakang setiap kelas, mendengar langkah kakinya di belakangku di trotoar setiap hari--tak ada artinya jika dibandingkan dengan apa yang bakal terjadi. Ia akan menyengsarakan hidupku.

Rasanya seakan Melanie sedang melonjak-lonjak hebat di dinding bagian dalam tengkorak kepalaku.

Ayo, kita lakukan sesuatu agar Pencari dipecat. Laporkan kepada mereka yang berkedudukan lebih tinggi darinya bahwa ia melakukan sesuatu yang tidak bisa diterima. Menyerang kita. Nanti tinggal kata-kata kita melawan kata-katanya...

Itu dunia manusia, ujarku mengingatkan gadis itu. Dan aku nyaris merasa sedih, karena tak punya akses terhadap pilihan semacam itu. Tak ada yang berkedudukan lebih tinggi, dalam pengertian seperti itu. Semua bekerja bersama-sama dengan kedudukan setara. Ada yang bertugas menerima laporan untuk menjaga keteraturan informasi, dan ada para dewan yang membuat keputusan mengenai informasi tadi, tapi mereka tidak akan memindahkan Pencari dari tugas yang diinginkan Pencari sendiri. Kau tahu, cara kerjanya seperti--"

Siapa peduli bagaimana cara kerjanya, jika hal itu tidak membantu kita? Aku tahu--ayo, kita bunuh dia! Gambaran mengerikan sepasang tanganku mencekik leher Pencari memenuhi kepalaku.
Tindakan semacam itulah yang menjadi alasan mengapa bangsaku sebaiknya dibiarkan menangani tempat ini.
Jangan sombong. Kau akan sama menikmatinya sepertiku. Gambaran itu kembali, wajah Pencari berubah biru dalam khayalan kami, tapi kali ini diiringi gelombang kegembiraan yang dahsyat.





Itu kau, bukan aku. Ucapanku benar; gambaran itu memualkanku. Tapi ucapanku itu juga sangat mendekati kekeliruan--karena aku akan sangat senang seandainya tak pernah berjumpa Pencari lagi.

Apa yang harus kita lakukan sekarang? Aku tidak akan menyerah. Kau tidak akan menyerah. Dan Pencari keparat itu pasti tidak akan menyerah!
Aku tidak menjawab pertanyaan Melanie. Aku tidak siap menjawabnya.

Muncul keheningan sejenak di kepalaku. Itu menyenangkan. Aku berharap keheningan itu bisa bertahan. Tapi hanya ada satu cara untuk membeli kedamaianku. Bersediakah aku mebayar harganya? Masihkah aku punya pilihan?

Perlahan-lahan Melanie berubah tenang. Pikirannya menerawang ketika aku melewati pintu depan, dan untuk pertama kali kukunci pintu dengan memutar kunci--benda kuno manusia yang tidak berguna di dunia damai.

Aku tidak pernah memikirkan bagaimana cara kalian meneruskan spesies kalian. Aku tidak tahu kalau seperti itu. 
Kami melakukannya dengan sangat serius, seperti yang bisa kau bayangkan. Terima kasih atas perhatiannya. Melanie tidak terganggu oleh kentalnya ironi dalam pikiran itu.

Ia masih merenungkan pengetahuan baru ini ketika aku menyalakan komputer dan mulai mencari pesawat ulang-alik. Sejenak kemudian barulah ia menyadari apa yang sedang kulakukan.

Kita mau ke mana? Pikiran itu diwarnai sedikit kepanikan. Aku merasakan kesadaran Melanie mulai menggeledah kepalaku, dengan sentuhan seperti sapuan lembut bulu-bulu, mencari sesuatu yang mungkin kurahasiakan darinya.

Kuputuskan untuk memberitahunya. Aku mau pergi ke Chicago. 

Kepanikan itu membesar. Mengapa?

Aku akan menemui Penyembuh. Aku tidak mempercayai Pencari. Aku ingin bicara dengan Penyembuh sebelum membuat keputusan. 

Hening sejenak, sebelum Melanie kembali bicara.

Keputusan untuk membunuhku?
Ya, benar. 

---

0 comments:

Post a Comment

Jual Nugget dan Sosis Sayur

Jual Nugget dan Sosis Sayur
Pemesanan via email : lwati111@gmail.com

The Host - Bab 7

Dikonfrontasi

"Ya, Faces Sunward?" tanyaku. Aku bersyukur atas tangan teracung yang menyela kuliahku. Tidak seperti biasa, aku merasa kurang nyaman berada di balik mimbar. Kekuatan terbesarku, satu-satunya kualifikasiku yang sesungguhnya--tubuh inangku hanya memiliki sedikit pendidikan formal, karena telah menjadi buron sejak awal remaja--adalah pengalaman pribadi yang biasanya menjadi dasar kuliahku. Ini kuliah sejarah awal dunia pertamaku semester ini, yang bahan-bahannya tidak bisa kutarik dari ingatan apa pun. Aku yakin para mahasiswaku menyadari perbedaannya.

"Maaf menyela, tapi..." Lelaki berambut putih itu terdiam sejenak, berjuang menyuarakan pertanyaannya. "Saya ragu apakah saya mengerti. Apakah Fire-tasters--Pengecap Api--benar-bener... mencerna asap dari para Walking Flowers--Bunga Berjalan--yang terbakar? Seperti makanan?" Ia mencoba menekan kengerian dalam nada suaranya. Tak sepantasnya sesosok jiwa menghakimi jiwa yang lain. Tapi aku tidak terkejut mendengar reaksi keras Faces Sunward atas nasib bentuk kehidupan lain yang serupa di dunia lain, mengingat latar belakangnya di Planet of the Flowers.

Beberapa jiwa membenamkan diri dalam urusan-urusan dunia mana pun yang mereka huni, dan mengabaikan sisa jagad raya. Dan itu selalu menakjubkan bagiku. Tapi mungkin saja Faces Sunward berada dalam keadaan hibernasi ketika Fire World menjadi tenar.

"Ya, mereka menerima nutrisi-nutrisi penting dari asap ini. Disitulah letak dilema fundamental dan kontroversi Fire World--serta alasan mengapa planet itu belum ditutup, walaupun sudah cukup banyak waktu untuk menghuninya secara penuh. Juga ada masalah tingginya persentase relokasi.

"Ketika Fire World ditemukan, pertama-tama diperkirakan bahwa spesies yang dominan, Fire-Tasters, adalah satu-satunya bentuk kehidupan cerdas yang ada di sana. Fire-Tasters tidak menganggap Walking Flowers setara dengan mereka--sebuah prasangka kultural--sehingga perlu beberapa saat, bahkan setelah gelombang pendudukan pertama, sebelum para jiwa menyadari mereka

membunuh mahluk cerdas. Sejak itu para ilmuwan Fire world memusatkan usaha mereka untuk menemukan pengganti makanan Fire-

Tasters. Laba-laba diangkut ke sana untuk membantu, tapi planet-planet itu terpisah ratusan tahun cahaya jauhnya. Jika rintangan ini sudah teratasi, dan aku yakin itu takkan lama lagi, ada harapan bahwa Walking Flowers juga bisa diasimilasi.

Sementara itu, sebagian besar kebrutalan telah dihilangkan dari sana. Bagian pembakaran hidup-hidup tentu saja, juga aspek-aspek lainnya."

"Bagaimana mereka bisa...," Faces Sunward terdiam, tak mampu menyelesaikan kalimat.
Suara lain melengkapi pikiran Faces Sunward. "Tampaknya itu ekosistem yang sangat kejam. Mengapa planet itu tidak ditinggalkan?"

"Tentu saja itu telah diperdebatkan, Robert. Tapi kita takkan meninggalkan planet begitu saja. Banyak jiwa sudah menghuni Fire World. Mereka tidak akan dicerabut melawan kehendak mereka." Aku mengalihkan pandang, kembali pada catatan-catatanku, mencoba mengakhiri diskusi sampingan ini.

"Tapi itu biadab!"

Secara fisik Robert lebih muda daripada sebagian besar mahasiswa lain--sesungguhnya lebih mendekati usiaku dibandingkan dengan yang lain. Dan ia benar-benar kanak-kanak dalam arti sesungguhnya. Bumi adalah dunia pertamanya--dalam kasus ini, sesungguhnya sang Ibu juga penghuni Bumi, sebelum ia menyerahkan diri. Dan tampaknya Robert tak punya perpektif sebanyak jiwa-jiwa lebih tua yang telah banyak berkelana. Aku ingin tahu bagaimana rasanya dilahirkan dalam sensasi dan emosi meluap-luap inang-inang ini, tanpa dibekali pengetahuan terdahulu sebagai penyeimbang. Akan sulit menemukan objektivitas. Aku mencoba mengingat-ingat hal ini, dan bersikap ekstra sabar ketika menjawab pertanyaannya.


depan. Dia bisa mengimbangi kekurangan pengetahuanku mengenai topik ini. Flame Tender--Penjinak Api, yang baru saja datang ke planet ini, akan berada di sini untuk memberi penjelasan yang lebih pribadi mengenai pendudukan Fire World. Aku tahu kalian akan memperlakukan Flame Tender dengan baik sebagaimana kalian memperlakukanku, dan menghargai inangnya yang masih sangat muda. Terima kasih ats waktu kalian."


Kelas bubar dengan lambat, banyak mahasiswa menyisihkan sedikit waktu untuk mengobrol sambil mmembereskan barang-barang.

Perkataan Kathy mengenai persahabatan melintas di kepalaku, tapi aku tidak merasa ingin bergabung dengan salah satu dari mereka. Mereka orang asing.

Itukah yang kurasakan? Ataukah itu perasaan Melanie? Sulit dikatakan. Mungkin pada dasarnya aku antisosial. Kurasa sejarah pribadiku mendukung teori itu. Aku tak pernah membentuk ikatan yang cukup kuat, sehingga mempertahankan keberadaanku di planet mana pun selama lebih dari satu kehidupan.
Kuamati Robert dan Faces Sunward yang tetap berada di pintu kelas, terlibat diskusi yang tampaknya serius. Aku bisa menebak subjeknya.

"Cerita-cerita mengenai Fire World menghebohkan."
Aku memulai dengan ringan.
Pencari berdiri di dekat sikuku. Wanita itu biasanya mengumumkan kedatangannya dengan ketukan cepat sepatu bersol kerasnya.

Kini aku menunduk, dan melihat kali ini ia mengenakan sepatu karet--hitam tentu saja. Ia semakin mungil tanpa beberapa senti tambahannya itu.

"Bukan subjek favoritku," ujarku datar. "Aku lebih suka menceritakan pengalaman langsung."
"Muncul reaksi--reaksi keras dari kelas."
"Ya."

Pencari memandangku penuh harap, seakan menunggu lebih banyak lagi. Aku membereskan catatan-catatanku dan berbalik untuk meletakkan semuanya ke dalam tas.
"Kelihatannya kau juga bereaksi."

Hati-hati kuletakkan kertas-kertasku ke dalam tas, tanpa berbalik.
"Aku ingin tahu mengapa kau tidak menjawab pertanyaan itu."
Muncul keheningan ketika ia menunggu jawaban. Aku tidak menjawab.
"Jadi... mengapa kau tidak menjawab pertanyaan itu?"
Aku berbalik, tanpa menutupi ketidaksabaran di wajahku. "Karena itu tidak berhubungan dengan pelajarannya, karena Robert perlu belajar bersikap sopan, dan karena itu bukan urusan orang lain."

Kusampirkan tas di bahu, lalu berjalan ke pintu. Pencari tetap di sampingku, bergegas mengimbangi kakiku yang lebih panjang. Kami berjalan menyusuri lorong dalam keheningan. Di luar, di tempat matahari tengah hari menyinari partikel-partikel debu di dalam udara asin, barulah ia kembali bicara.

"Menurutmu kau akan menetap, Wanderer? Di planet ini, mungkin?  Tampaknya kau punya ketertarikan terhadap... perasaan mereka. "

Aku tersinggung dengan penghinaan tersembunyi dalam nada suaranya. Aku bahkan tak yakin bagaimana ia menghinaku, tapi jelas ia melakukannya. Melanie bergerak-gerak kesal.
"Apa sih maksudmu?"
"Katakan, Wanderer. Apakah kau mengasihani mereka?"
"Siapa?" tanyaku datar. "Walking Flowers?"
"Bukan, manusia."

Aku berhenti berjalan, dan Pencari langsung berhenti di sampingku. Kami hanya beberapa blok dari apartemenku, dan aku telah bergegas dengan harapan bisa lolos darinya, walaupun kemungkinan besar ia akan mengundang dirinya sendiri masuk. Tapi pertanyaannya mengejutkanku.
"Manusia?"
"Ya. Apakah kau mengasihani mereka?"
"Apakah kau tidak?"
"Tidak. Mereka bangsa yang cukup brutal. Mereka beruntung bisa bertahan hidup selama ini."
"Tidak semua manusia buruk."
"Itu kecenderungan genetik. Kebrutalan adalah bagian tak terpisahkan spesies mereka. Tapi tampaknya kau mengasihani mereka."
"Bukankah mereka kehilangan banyak?" Aku menunjuk sekeliling. Kami berdiri di tempat yang menyerupai taman, dilatari dua bangunan asrama yang berselimut tanaman merambat. Warna hijau tua tanaman itu sangat sedap dipandang, terutama dilatari warna merah pudar batu bata tua. Udaranya lembut menyenangkan, dan bau laut memberi sedikit rasa asin pada aroma semanis madu bunga-bungaan di semak-semak. Angin sepoi-sepoi membelai kulit telanjangku. "Di dalam kehidupan-kehidupan lain, kau tidak bisa merasakan segalanya begitu hidup. Tidakkah kau mengasihani siapa pun yang kehilangan semua ini?" Raut wajah Pencari tetap datar, tidak berubah. Aku mencoba membuatnya mengerti, membuatnya merenungkan sudut pandang lain. "Kau pernah tinggal di dunia mana saja?"
Ia bimbang, lalu menegakkan bahu. "Tak pernah. Aku hanya pernah tinggal di Bumi."


Itu mengejutkanku. Ia sama kanak-kananknya dengan Robert. "Hanya satu planet? Dan kau memilih menjadi Pencari dalam kehidupan pertamamu?"
Ia mengangguk, dagunya terangkat.
"Wah. Wah, itu urusanmu." Aku mulai berjalan lagi. Jika aku menghormati privasinya, mungkin ia akan melakukan hal yang sama terhadapku.

"Aku bicara dengan Penghibur-mu."
Dan mungkin tidak, pikir Melanie masam.
"Apa?" Aku terkesiap.
"Kurasa kau punya lebih banyak masalah, selain kesulitan mengakses informasi yang kuperlukan. Sudahkah kaupertimbangkan untuk mencoba inang lain yang lebih patuh? Penghibur menyarankan itu, bukan?"
"Kathy tidak akan bercerita apa-apa kepadamu!"

Wajah Pencari tampak bangga. "Dia tak perlu menjawab. Aku sangat pintar membaca ekspresi manusia. Aku bisa tahu kapan pertanyaan-pertanyaanku mengenai sasaran."
"Kau lancang sekali! Hubungan antara jiwa dengan Penghiburnya--"
"Sakral. Ya aku tahu teorinya. Tapi sarana investigasi yang bisa diterima tampaknya tidak berhasil untuk kasusmu. Aku harus lebih kreatif."
"Kaupikir aku menyembunyikan sesuatu darimu?" desakku.
Aku terlalu marah, sehingga tidak mengontrol nada kebencian dalam suaraku. "Kaupikir aku mengungkapkannya kepada Penghibur-ku?"

Kemarahan tidak mengusik Pencari. Mungkin, mengingat kepribadiannya yang aneh, ia terbiasa dengan reaksi-reaksi semacam itu.

"Tidak. Kurasa kau menceritakan apa yang kauketahui kepadaku... Tapi kurasa kau tidak berusaha sekeras mungkin. Aku pernah melihatnya. Kau semakin bersimpati terhadap inangmu. Kau membiarkan ingatan-ingatannya secara tidak sadar mengarahkan keinginan - keinginanmu sendiri. Mungkin saat ini sudah terlambat. Kurasa akan lebih nyaman bagimu jika pindah, dan mungkin jiwa lain akan lebih beruntung menghadapi inang itu."

"Hah!" teriakku. "Melanie akan menyantapnya hidup-hidup!"

Raut wajah si Pencari langsung membeku.
Ia sama sekali tidak tahu, tak peduli apa yang menurutnya ia pahami dari Kathy. Ia mengira pengaruh Melanie berasal dari ingatan-ingatan, dan itu terjadi di luar kesadaran.

"Menurutku sangat menarik, karena kau bicara seakan-akan inang itu masih ada sekarang."

Aku mengabaikan perkataannya, mencoba berpura-pura tidak salah bicara. "Jika kau mengira jiwa lain akan lebih beruntung dalam membongkar rahasia-rahasianya, kau keliru."
"Hanya ada satu cara untuk tahu."
"Kau sudah punya calon?" tanyaku. Suaraku kaku karena kebencian.
Ia nyengir. "Aku sudah mendapat izin untuk mencobanya. Tak akan makan waktu lama. Mereka akan menyimpankan inangku yang sekaranng ini untukku."

Aku harus menghela napas dalam-dalam. Aku gemetaran, dan Melanie begitu penuh kebencian sehingga tak mampu berkata-kata. Gagasan Pencari berada di dalam tubuhku, walaupun aku tahu aku takkan berada di sana, begitu menjijikkan sampai aku merasakan kembalinya rasa mual yang kualami minggu lalu.

"Sangat disayangkan bagi investigasimu, karena aku bukan peloncat."

Mata Pencari menyipit. "Well, itu jelas membuat tugas ini berlarut-larut. Sejarah tak pernah menarik bagiku, tapi tampaknya sekarang aku mendaftar untuk seluruh mata kuliah."

"Kau baru saja bilang mungkin sudah terlambat untuk memperoleh lebih banyak lagi dari ingatan-ingatannya," ujarku mengingatkan, seraya berjuang menjaga ketenangan suaraku. "Mengapa kau tidak pulang saja ke tempat asalmu?"

Ia mengangkat bahu dan tersenyum kaku. "Aku yakin sudah terlambat... untuk informasi yang diberikan secara sukarela. Tapi kalaupun kau tidak mau bekerja sama, tetap saja gadis itu akan menuntunku kepada mereka."

"Menuntunmu?"
"Setelah dia mengambil seluruh kendali. Dan kau tidak lebih baik daripada si lemah itu, yang dlunya bernama Racing Song dan kini Kevin. Kau ingat? Yang menyerang Penyembuh?"

Aku menatap Pencari, dengan mata melotot, lubang hidung mengembang.
"Ya, mungkin ini hanya masalah waktu. Penghibur-mu tidak mengungkapkan statistiknya kepadamu, bukan? Well, kalaupun dia melakukannya, dia takkan punya informasi terakhir yang bisa kami peroleh. Tingkat kesuksesan jangka panjang untuk situasi-situasi seperti kasusmu--yaitu setelah inang manusia mulai melawan--adalah di bawah dua puluh persen. Tahukan kau itu sangat buruk? Inang-inang itu mengubah informasi yang mereka berikan kepada para penghuni potensial. Takkan ada lagi inang dewasa yang ditawarkan. Risikonya terlalu besar. Kami telah kehilangan banyak jiwa. Tak lama lagi gadis itu akan bicara denganmu, bicara melalui dirimu, mengendalikan keputusan-keputusanmu."

Aku belum bergerak satu senti pun atau mengendurkan satu otot pun. Pencari mencondongkan tubuh, berjingkat untuk mendekatkan wajahnya ke wajahku. Nada suaranya berubah rendah dan lembut, dalam usahanya untuk meyakinkanku.

"Itukah yang kauinginkan, Wanderer? Kalah? Menghilang, terhapus kesadaran lain? Menjadi tak lebih baik daripada tubuh inang?"

Aku tak mampu bernapas.

"Hanya akan semakin parah. Kau tidak akan menjadi dirimu lagi. Dia akan mengalahkanmu, dan kau akan menghilang. Mungkin seseorang akan ikut campur... Mungkin mereka akan memindahkanmu, seperti yang mereka lakukan terhadap Kevin. Dan kau akan menjadi anak kecil bernama Melanie, yang lebih suka mengutak-atik mobil daripada menggubah musik. Atau apa pun pekerjaan gadis itu."

"Tingkat kesuksesannya di bawah dua puluh persen?" bisikku.
Pencari mengangguk, mencoba menyembunyikan senyuman.
"Kau akan kehilangan dirimu sendiri, Wanderer. Semua dunia yang pernah kausaksikan, semua pengalaman yang pernah kau alami--semua sia-sia. Kulihat di dalam arsipmu bahwa kau berpotensi menjadi Ibu. Jika kau menyerahkan diri untuk menjadi Ibu, setidaknya tidak semuanya bakal sia-sia. Mengapa menyia-nyiakan diri? Sudahkah kaupertimbangkan untuk menjadi Ibu?"

Kusentakkan tubuhku menjauhinya. Wajahku memerah.
"Maaf, " gumam Pencari. Wajahnya berubah gelap. "Itu tidak sopan. Lupakan perkataanku."

"Aku pulang. Jangan membuntuti."
"Aku harus, Wanderer. Ini pekerjaanku."
"Mengapa kau begitu peduli terhadap beberapa gelintir manusia yang tersisa? Mengapa? Bagaimana lagi caramu menilai pekerjaanmu? Kita sudah menang! Sudah saatnya bagimu untuk membaur ke dalam masyarakat dan melakukan hal yang produktif."

Pertanyaan-pertanyaanku, tuduhan-tuduhan tersiratku, tidak mengganggu Pencari.

"Di mana pun dunia mereka menyentuh dunia kita, di situlah terdapat kematian." Pencari mengucapkan kata-kata itu dengan tenang, dan sejenak aku melihat orang yang berbeda di wajahnya. Dengan terkejut kusadari ia sangat meyakini tindakannya. Sebagian diriku tadinya menyangka ia memilih pekerjaan sebagai Pencari hanya karena diam-diam ia menyukai kekerasan. "Kalau Jared atau Jamie-mu menghilangkan satu jiwa saja, itu sudah terlalu banyak. Sampai kedamaian total tercipta di planet ini, pekerjaanku bisa dibenarkan. Selama masih ada Jared-Jared yang bertahan hidup, aku diperlukan untuk melindungi bangsa kita. Selama masih ada Melanie-Melanie yang memperbudak jiwa...

Aku berbalik memunggungi Pencari, lalu berjalan menuju apartemen dengan langkah-langkah panjang yang akan memaksanya berlari jika ingin mengimbangiku.


"Jangan kehilangan dirimu sendiri, Wanderer!" teriaknya sambil mengejarku. "Waktu berjalan cepat bagimu!" Ia diam sejenak, lalu berteriak lebih keras lagi. "Harap beritahu, kapan aku harus memanggilmu Melanie!"

Suara Pencari berangsur lenyap ketika jarak di antara kami bertambah lebar. Aku tahu ia akan membuntutiku dengan kecepatannya sendiri. Dalam seminggu terakhir yang tidak nyaman ini--melihat wajah Pencari di belakang setiap kelas, mendengar langkah kakinya di belakangku di trotoar setiap hari--tak ada artinya jika dibandingkan dengan apa yang bakal terjadi. Ia akan menyengsarakan hidupku.

Rasanya seakan Melanie sedang melonjak-lonjak hebat di dinding bagian dalam tengkorak kepalaku.

Ayo, kita lakukan sesuatu agar Pencari dipecat. Laporkan kepada mereka yang berkedudukan lebih tinggi darinya bahwa ia melakukan sesuatu yang tidak bisa diterima. Menyerang kita. Nanti tinggal kata-kata kita melawan kata-katanya...

Itu dunia manusia, ujarku mengingatkan gadis itu. Dan aku nyaris merasa sedih, karena tak punya akses terhadap pilihan semacam itu. Tak ada yang berkedudukan lebih tinggi, dalam pengertian seperti itu. Semua bekerja bersama-sama dengan kedudukan setara. Ada yang bertugas menerima laporan untuk menjaga keteraturan informasi, dan ada para dewan yang membuat keputusan mengenai informasi tadi, tapi mereka tidak akan memindahkan Pencari dari tugas yang diinginkan Pencari sendiri. Kau tahu, cara kerjanya seperti--"

Siapa peduli bagaimana cara kerjanya, jika hal itu tidak membantu kita? Aku tahu--ayo, kita bunuh dia! Gambaran mengerikan sepasang tanganku mencekik leher Pencari memenuhi kepalaku.
Tindakan semacam itulah yang menjadi alasan mengapa bangsaku sebaiknya dibiarkan menangani tempat ini.
Jangan sombong. Kau akan sama menikmatinya sepertiku. Gambaran itu kembali, wajah Pencari berubah biru dalam khayalan kami, tapi kali ini diiringi gelombang kegembiraan yang dahsyat.





Itu kau, bukan aku. Ucapanku benar; gambaran itu memualkanku. Tapi ucapanku itu juga sangat mendekati kekeliruan--karena aku akan sangat senang seandainya tak pernah berjumpa Pencari lagi.

Apa yang harus kita lakukan sekarang? Aku tidak akan menyerah. Kau tidak akan menyerah. Dan Pencari keparat itu pasti tidak akan menyerah!
Aku tidak menjawab pertanyaan Melanie. Aku tidak siap menjawabnya.

Muncul keheningan sejenak di kepalaku. Itu menyenangkan. Aku berharap keheningan itu bisa bertahan. Tapi hanya ada satu cara untuk membeli kedamaianku. Bersediakah aku mebayar harganya? Masihkah aku punya pilihan?

Perlahan-lahan Melanie berubah tenang. Pikirannya menerawang ketika aku melewati pintu depan, dan untuk pertama kali kukunci pintu dengan memutar kunci--benda kuno manusia yang tidak berguna di dunia damai.

Aku tidak pernah memikirkan bagaimana cara kalian meneruskan spesies kalian. Aku tidak tahu kalau seperti itu. 
Kami melakukannya dengan sangat serius, seperti yang bisa kau bayangkan. Terima kasih atas perhatiannya. Melanie tidak terganggu oleh kentalnya ironi dalam pikiran itu.

Ia masih merenungkan pengetahuan baru ini ketika aku menyalakan komputer dan mulai mencari pesawat ulang-alik. Sejenak kemudian barulah ia menyadari apa yang sedang kulakukan.

Kita mau ke mana? Pikiran itu diwarnai sedikit kepanikan. Aku merasakan kesadaran Melanie mulai menggeledah kepalaku, dengan sentuhan seperti sapuan lembut bulu-bulu, mencari sesuatu yang mungkin kurahasiakan darinya.

Kuputuskan untuk memberitahunya. Aku mau pergi ke Chicago. 

Kepanikan itu membesar. Mengapa?

Aku akan menemui Penyembuh. Aku tidak mempercayai Pencari. Aku ingin bicara dengan Penyembuh sebelum membuat keputusan. 

Hening sejenak, sebelum Melanie kembali bicara.

Keputusan untuk membunuhku?
Ya, benar. 

---

0 comments on "The Host - Bab 7"

Post a Comment