Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara

Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara
Harga mulai 5rb an. Gratis ongkir DKI Jakarta

The Host- Bab 32

1 comments


Disergap

Ruang-ruang gua sepi; matahari belum terbit. Di plaza utama cermin-cermin berwarna kelabu pucat dengan datangnya fajar.
Beberapa pakaianku masih di kamar Jamie dan Jared. Aku menyelinap masuk, senang karena tahu di mana Jared berada sekarang.
Jamie tidur nyenyak, meringkuk membentuk bola padat di pojok atas kasur. Ia biasanya tidak tidur begitu rapat, tapi saat ini ia punya alasan. Ian telentang di seluruh ruangan yang tersisa, kaki dan tangannya menggantung melewati tepi kasur, membentuk tonjolan di keempat sisinya.
Untuk alasan tertentu, ini menggelikan bagiku. Aku harus memasukkan kepalanku ke mulut untuk menahan tawa, lalu cepat – cepat menyambar kaus dan celana pendek tuaku yang diwarnai kotoran. Aku bergegas memasuki lorong, dengan masih menahan tawa.
Kau mabuk akibat kurang tidur, ujar Melanie. Kau perlu tidur.
Aku akan tidur nanti. Ketika… Aku tak bisa menyelesaikan pikiran itu. Aku langsung tersadar, dan segalanya kembali tenang.
Aku masih bergegas ketika menuju kamar mandi. Aku memercayai Doc, tapi… mungkin ia akan berubah pikiran. Mungkin Jared akan membantah apa yang kuinginkan. Aku tak bisa berlama-lama.
Kupikir aku mendengar sesuatu di belakangku ketika mencapai persimpangan gurita, tempat semua lorong tidur bertemu. Aku menoleh tapi tidak bisa melihat siapa-siapa dalam gua remang-remang itu. Orang-orang mulai bergerak. Sebentar lagi waktu sarapan tiba, lalu satu hari kerja lagi. Seandainya mereka sudah selesai dengan batang-batang jagung, tanah di lading-ladang timur perlu digemburkan. Mungkin aku akan punya waktu untuk membantu… nanti…
Aku mengikuti jalur yang kukenal menuju sungai-sungai bawah tanah. Pikiranku berada di jutaan tempat lain. Sepertinya aku tak bisa berkonsentrasi pada satu hal tertentu. Setiap kali aku mencoba memusatkan perhatian pada satu subjek—Walter, Jared, sarapan, tugas-tugas, mandi—pikiran lain akan menarik benakku dalam hitungan detik. Melanie benar; aku perlu tidur. Ia sama kacaunya. Pikirannya berputar-putar mengelilingi Jared, tapi tak satu pun yang bisa dipahaminya.
Aku sudah terbiasa dengan kamar mandinya. Kegelapan total itu tidak menggangguku lagi. Ada banyak tempat gelap di sini. Setengah dari hari terangku kuhabiskan dalam gelap. Dan aku begitu sering kemari. Tak ada sesuatu pun yang bersembunyi di bawah permukaan air, menunggu untuk menarikku ke dalamnya.
Tapi aku tahu aku tak punya waktu untuk berendam. Yang lain akan segera bangun, dan beberapa orang suka memulai hari mereka dengan tubuh bersih. Aku harus bergegas, membersihkan diri lebih dulu, lalu berpindah ke pakaianku. Aku menggosok kemejaku dengan ganas, berharap bisa menggosok bersih ingatanku mengenai dua malam terakhir ini.
Tanganku terasa perih ketika aku selesai. Retak-retak kering di buku-buku jariku paling terasa membakar. Kubilas semua di dalam air, tapi itu tak banyak membuat perbedaan. Aku mendesah, lalu keluar dari kolam untuk berpakaian. 


Aku meninggalkan pakaian kering di atas batu-batu yang berserakan di pojok belakang. Tanpa sengaja aku menendang sebuah batu, cukup keras hingga menyakiti kaki telanjangku, dan batu itu berkelotak ribut melintasi ruangan, memantul dari dinding, dan mendarat dengan suara plung dan berdeguk ke dalam kolam. Suaranya membuatku terlompat, walaupun tidak begitu keras jika dibandingkan dengan raungan sungai panas di luar.
Aku baru saja memasukkan kaki ke dalam sepatu tenis kotorku ketika giliranku selesai.
“Tok, tok,” panggil sebuah suara yang kukenal dari lubang masuk gelap.
“Selamat pagi, Ian,” sapaku. “Aku baru saja selesai. Tidurmu nyenyak?”
“Ian masih terlelap,” jawab suara Ian. “Tapi aku yakin itu takkan bertahan selamanya, jadi sebaiknya kita selesaikan saja ini.”
Serpihan-serpihan es memaku semua persendianku di tempat masing-masing. Aku tak bisa bergerak. Aku tak bisa bernapas.
Sudah pernah kuperhatikan sebelumnya, lalu kulupakan dalam minggu-minggu panjang ketidakhadiran Kyle. Ian dan kakaknya bukan hanya tampak sangat mirip, tapi—ketika Kyle bicara dengan volume normal, sesuatu yang jarang terjadi—suara mereka juga sama persis.
Tak ada udara. Aku terjebak di lubang gelap ini, dengan Kyle di lubang pintu. Tak ada jalan keluar.
Tetap tenang, teriak Melanie di dalam kepalaku.
Aku bisa melakukannya. Tidak ada udara untuk berteriak.
Dengar!
Kulakukan seperti yang diperintahkan Melanie, yaitu mencoba memusatkan perhatian, walaupun ketakutan menusuk kepalaku seperti jutaan tombak ramping es.
Aku tak bisa mendengar apa-apa. Apakah Kyle menunggu responku? Apakah diam-diam ia menyelinap ke dalam ruangan? Aku mendengarkan lebih saksama, tapi gemuruh sungai menutupi suara apa pun.
Cepat, ambil batu, perintah Melanie.
Mengapa?
Aku melihat diriku menghantamkan atu kasar ke kepala Kyle.
Aku tak bisa melakukannya!
Kalau begitu kita akan mati, Melanie menjawabku. Aku bisa melakukannya! Izinkan aku!
Harus ada cara lain, erangku, tapi kupaksakan kedua lututku yang membeku untuk menekuk. Kedua tanganku meraba-raba dalam gelap, lalu kembali dengan batu besar bergerigi dan segenggam kerikil.
Melawan atau lari.
Dalam keputusasaan aku mencoba membebaskan Melanie, mencoba membiarkannya keluar. Aku tidak bisa menemukan lubang pintu. Kedua tanganku, yang masih milikku, dengan sia-sia mencengkeram benda-benda yang tak pernah bisa kujadikan senjata.
Terdengar  suara tercebur pelan ketika sesuatu memasuki sungai yang mengalirkan air kolam ke dalam kakus. Hanya beberapa meter jaraknya.
Serahkan kedua tanganmu kepadaku!
Aku tidak tahu caranya! Ambil sajalah!
Aku mulai merayap pergi, merapat ke dinding, menuju lubang keluar. Melanie berjuang menemukan jalan keluar dari kepalaku, tapi ia juga tak bisa menemukan pintunya.
Kembali terdengar suara. Bukan di sungai yang jauh. Suara napas, di lubang keluar. Aku terpaku di tempat.
Mana Kyle?
Aku tak tahu! Sekali lagi aku tidak bisa mendengar apa-apa kecuali suara sungai. Apakah Kyle sendirian? Apakah seseorang sedang menunggu di lubang pintu, untuk menangkapku ketika Kyle menggiringku mengelilingi kolam? Seberapa dekat Kyle sekarang?
Kurasakan bulu kudukku meremang. Ada semacam tekanan di udara, seakan aku bisa merasakan gerakan-gerakan bisu kyle. Pintu. Aku setengah berbalik, kembali ke arah datangku. Menjauh dari tempatku mendengar suara napas.
Kyle tak bisa menunggu selamanya. Dari perkataannya yang sedikit, aku tahu ia terburu-buru. Seseorang bisa datang kapan saja. Tapi peluang ada di pihaknya. Lebih sedikit jumlah orang yang cenderung akan menghentikannya, jika dibandingkan jumlah mereka yang mungkin menganggap ini yang terbaik. Dan dari jumlah mereka yang cenderung menghentikannya, ada lebih sedikit lagi yang berpeluang melakukannya. Hanya Jeb dan senapannya yang bisa membuat perbedaan. Setidaknya Jared sama kuatnya dengan Kyle, tapi Kyle lebih termotivasi. Kini Jared mungkin tidak bersedia melawannya.
Kembali terdengar suara. Apakah itu langkah kaki di dekat pintu? Atau hanya imajinasiku? Berapa lama pergelakan diam-diam ini akan berlangsung? Tak bisa kutebak berapa banyak detik atau menit yang telah berlalu.
Bersiaplah. Melanie tahu penundaan itu akan segera berakhir. Ia ingin aku mencengkeram batu lebih erat.
Tapi aku akan menggunakan kesempatan untuk kabur lebih dulu. Aku bukan petarung efektif, meskipun aku bisa memaksa mencobanya. Bobot Kyle mungkin dua kali bobotku, dan jangkauan tangannya lebih panjang.
Kuangkat tanganku yang menggenggam kerikil, dan kuarahkan ke jalan belakang menuju kakus. Mungkin aku bisa membuat Kyle berpikir aku hendak bersembunyi dan mengharapkan pertolongan. Kulemparkan segenggam batu kecil itu, lalu aku menjauh dari kebisingan yang terdengar ketika batu-batu itu berkelotak menghantam dinding batu.
Kembali terdengar suara napas di pintu; suara langkah ringan menuju pancinganku. Aku berjalan merapat sepelan mungkin di sepanjang dinding.
Bagiamana jika ada dua orang?
Aku tak tahu.
Aku nyaris mencapai lubang keluar. Kalau saja aku bisa mencapai terowongan, pikirku. Aku bisa mengalahkan Kyle dalam berlari. Aku lebih ringan dan lebih cepat.
Kudengar suara langkah kaki, kali ini sangat jelas, mengusik sungai di belakang ruangan. Aku merayap lebih cepat.
Suara tercebur keras membuyarkan harapanku. Air menciprati kulitku, membuatku terkesiap. Air menciprati dinding dalam gelombang suara basah.
Ia datang lewat kolam! Lari!
Kebimbanganku hanya sedetik terlalu lama. Tangan yang besar mencengkeram betisku, menyambar pergelangan kakiku. Kusentakkan cengkeraman itu seraya terhuyung – huyung maju. Aku tersandung, dan momentum yang melempar tubuhku ke lantai membuat jemari Kyle menggelincir. Ia menangkap sepatu karetku. Aku menendangnya, meninggalkan sepatu itu di tangannya.
Aku jatuh, tapi Kyle juga jatuh. Itu memberiku cukup waktu untuk merangkak maju, membuat lututku robek terkena batu kasar.
Kyle menggeram, tangannya mencengkeram tumitku yang telanjang. Tangannya tergelincir; aku kembali meluncur bebas. Aku menggeliat maju, menyeret tubuhku dengan kepala masih di bawah, bisa terjatuh kapan saja, karena tubuhku bergerak nyaris sejajar dengan lantai. Aku menjaga keseimbanganku dengan tekad bulat.



Tak ada orang lain. Tak seorang pun akan menangkapku di lubang keluar menuju ruangan luar. Aku lari maju, harapan dan adrenalin membanjiri pembuluhku. Aku memasuki ruang bersungai dengan kecepatan penuh; satu-satunya perkiraanku adalah mencapai terowongan. Aku bisa mendengar napas Kyle yang berat tepat di belakangku, tapi tidak terlalu dekat. Dengan setiap langkah kudorong diriku semakin keras, kulempar tubuhku menjauh darinya.
Rasa nyeri menusuk kakiku, meremas-remasnya.
Di antara gemuruh sungai kudengar dua batu berat menghantam tanah dan berguling—batu yang tadi kucengkeram dan batu yang dilempar Kyle untuk melumpuhkanku. Kakiku terkilir, terpilin dan menjatuhkan tubuhku ke tanah. Dan pada detik yang sama Kyle menindihku.
Bobot tubuhnya membenturkan kepalaku ke batu dengan suara berdenging, dan menjepit tubuhku rata dengan lantai. Mustahil untuk bangkit.
Berteriaklah!
Udara berhembus keluar dari mulutku denganlengkingan yang mengejutkan kami. Jeritan tanpa kata itu lebih daripada yang kuharapkan—pasti seseorang bakal mendengarnya. Semoga orang itu Jeb. Semoga ia membawa senapan.

“Uhng!” protes Kyle. Tangannya cukup besar untuk menutupi sebagian besar wajahku. Telapak tangannya menekan mulutku, menghentikan teriakanku.


Lalu Kyle berguling, dan gerakan itu begitu mengejutkanku sehingga aku tak punya waktu untuk mencoba memanfaatkannya. Dengan cepat ia menarikku ke atas, ke bawah, lalu ke atas tubuhnya lagi. Aku pusing dan bingung, kepalaku masih berputar-putar, tapi aku langsung mengerti ketika wajahku menyentuh air.
Tangan Kyle mencengkeram tengkukku, membenamkan wajahku ke dalam sungai dangkal berair sejuk yang berliku-liku memasuki kolam mandi. Terlambat untuk menahan napas. Aku sudah menghirup banyak air.
Tubuhku berubah panic ketika air menyerang paru-paruku. Gerak meronta-ronta tubuhku lebih kuat daripada yang diharapkan Kyle. Semua tungkaiku menyentak dan menendang ke segala arah, dan cengkeraman Kyle di leherku tergelincir. Ia mencoba mencengkeram lebih erat, dan semacam insting membuatku mengangkat tubuh ke arahnya, bukan menjauhinya seperti yang ia harapkan. Aku hanya mengangkat tubuhku setengah kaki lebih dekat, tapi tindakan itu membuat daguku keluar dari sungai, dan cukup bagi mulutku untuk mengeluarkan kembali sebagian air serta menarik napas.
Kyle berjuang mendorongku kembali ke sungai, tapi aku menggeliat-geliat dan mengganjalkan tubuhku di bawahnya, sehingga bobot tubuhnya sendiri mengkhianatinya. Aku masih bereaksi terhadap air di dalam paru-paruku, terbatuk-batuk dan menggelepar – gelepar di luar kendali.
“Cukup!” raung Kyle.
Ia menjauh dariku, dan aku mencoba menyeret tubuhku menjauhinya.
“Oh, tidak, tidak boleh!” Kyle meludah lewat sela-sela gigi.
Sudah berakhir, dan aku tahu itu.
Ada sesuatu yang salah dengan kakiku yang terluka. Mati rasa, dan aku tak bisa menyuruhnya melakukan apa yang kuinginkan. Aku hanya bisa menyeret tubuhku di sepanjang lantai dengan sepasang lengan dan satu kaki. Aku bahkan tak mampu melakukannya dengan baik karena masih terbatuk-batuk keras. Terlalu berat bagiku untuk kembali menjerit.
Kyle meraih pergelangan tanganku dan menarikku berdiri. Bobotku membuat kakiku goyah, dan aku merosot menimpa tubuhnya.
Kyle mencengkeram pergelangan tanganku dengan sebelah tangannya, lalu tangan yang lain membelit pinggangku. Ia menarikku dari lantai, ke sisinya, seperti karung goni kaku. Aku menggeliat, dan kakiku yang tidak cedera menendang udara kosong.
“Ayo kita selesaikan.”
Kyle melompati sungai kecil itu dengan cekatan, lalu menyeretku menuju lubang terdekat di lantai gua. Uap dari mata air panas menyapu wajahku. Kyle hendak melemparku ke lubang gelap panas itu dan membiarkan air mendidih menarikku ke dalam tanah seraya membakarku.
Aku meronta panic. Lututku menghantam salah satu kolom batu yang longgar, dan kukaitkan kakiku di sana. Aku mencoba menyentakkan tubuh agar terlepas dari cengkeramannya. Kyle menarikku seraya menggeram tidak sabar.
Setidaknya tindakanku cukup mengendurkan cengkeramannya, sehingga aku bisa melakukan satu gerakan lagi. Pernah berhasil sebelumnya, jadi kucoba lagi. Bukannya mencoba membebaskan diri, aku malah berputar dan membelitkan kedua kakiku di pinggang Kyle. Kukaitkan pergelangan kakiku yang tidak cedera pada pergelangan kakiku yang lain, mencoba mengabaikan rasa sakit sehingga kedua kakiku bisa mencengkeram dengan baik.
“Lepaskan aku, kau—“ Kyle berjuang melepaskan diri, dan aku menarik satu pergelangan tanganku. Kubelitkan lengan itu di lehernya, dan kucengkeram rambut tebalnya. Seandainya aku terjatuh ke sungai hitam itu, ia akan jatuh bersamaku.
Kyle mendesis dan berhenti menarik kakiku cukup lama untuk memukul pinggangku.
Aku menghela napas kesakitan, tapi sebelah tanganku berhasil meraih rambutnya.
Kyle membelitkan kedua lengannya di tubuhku, seakan kami sedang berpelukan dan bukan bergulat untuk saling membunuh. Lalu Kyle meraih pinggangku dari dua sisi, dan dengan segenap tenaga melepaskan diri dari cengkeramanku.
Rambut Kyle mulai tercerabut di kedua tanganku, tapi ia hanya menggeram dan semakin kuat menarik tubuhnya.
Aku bisa mendengar air panas bergemuruh di dekatku, sepertinya tepat di bawahku. Uap membumbung membentuk awan tebal, dan sejenak aku tak bisa melihat apa-apa kecuali wajah Kyle yang menyeringai marah, mirip sesuatu yang buas dan tak kenal ampun.
Kurasakan kakiku yang cedera menyerah. Aku mencoba semakin merapat pada Kyle, tapi kekuatannya yang luar biasa menang melawan keputusasaanku. Sebentar lagi ia akan terlepas dariku, dan aku jatuh ke dalam uap mendesis itu, lalu lenyap.
Jared! Jamie! Pikiran itu, penderitaan itu milik kami berdua—aku dan Melanie. Mereka takkan pernah tahu apa yang terjadi padaku. Ian. Jeb. Doc. Walter. Tak ada ucapan selamat tinggal.
Dengan cepat Kyle melompat ke udara, lalu jatuh dengan bunyi berdebum. Akibatnya persis seperti yang ia inginkan: kedua kakiku lepas dari tubuhnya.
Tapi sebelum Kyle bisa memanfaatkan tindakannya, muncul akibat lain.
Terdengar suara patah yang memekakkan telinga. Kupikir seluruh gua runtuh. Lantai bergetar di bawah kami.
Kyle terkesiap, lalu melompat mundur, dengan membawaku-karena kedua tanganku masih mencengkeram rambutnya—bersamanya. Disertai lebih banyak lagi suara patah dan geraman, batu di bawah kaki Kyle mulai longsor.
Bobot gabungan kami telah mematahkan bibir lubang yang rapuh. Ketika Kyle terhuyung-huyung menjauh, retakan lantai mengikuti langkah kakinya yang berat, dan bergerak lebih cepat daripadanya.
Sepetak lantai lenyap dari bawah tumit Kyle, menjatuhkan tubuhnya dengan bunyi berdebum. Bobotku mendorong tubuh Kyle ke belakang dengan keras, dan kepalanya membentur keras pilar batu. Sepasang lengannya terlepas dariku, terkulai.
Suara lantai retak berubah jadi geraman tertahan. Bisa kurasakan getarannya di bawah tubuh Kyle.
Aku berada di atas dada Kyle. Kaki kami menggantung di atas ruang kosong, uap air mengembun menjadi jutaan tetes air di kulit kami.
“Kyle?”
Tak ada jawaban.
Aku takut untuk bergerak.
Kau harus menyingkir darinya. Kalian terlalu berat. Hati-hati—gunakan pilarnya. Menjauhlah dari lubang.
Seraya mengerang ketakutan, merasa terlalu ngeri untuk berpikir bagi diriku sendiri, aku melakukan perintah Melanie. Kubebaskan jemariku dari rambut Kyle, lalu terhuyung-huyung turun dari tubuhnya yang tidak sadarkan diri, menggunakan pilar sebagai jangkar untuk menarikku maju. Rasanya cukup stabil, tapi lantai masih mengerang di bawah kami.
Kutarik tubuhku melewati pilar, menuju lantai di baliknya. Tanahnya tetap kokoh di bawah sepasang tangan dan lututku, tapi aku merangkak lebih jauh, menuju keamanan terowongan jalan keluar.
Kembali terdengar suara retakan, dan aku menoleh. Satu kaki Kyle turun semakin dalam ketika batu di bawahnya lepas. Kali ini aku mendengar bunyi tercebur saat bongkahan batu menyentuh sungai di bawah sana. Tanah bergetar di bawah bobot tubuh Kyle.
Ia akan terjatuh, pikirku tersadar.


Bagus, geram Melanie.
Tapi…
Jika ia terjatuh, ia tidak bisa membunuh kita, Wanda. Jika ia tidak terjatuh, ia akan membunuh kita.
Aku tidak bisa…
Ya, kau bisa. Berjalanlah pergi. Tidakkah kau ingin hidup?
Memang. Aku ingin hidup.
Kyle bisa saja menghilang. Dan jika demikian, kemungkinan tak seorang pun akan menyakitiku lagi. Setidaknya di antara orang-orang di sini. Masih ada Pencari yag harus dipikirkan, tapi mungkin suatu hari nanti ia akan menyerah, lalu aku bisa tinggal di sini seterusnya bersama manusia-manusia yang kucintai…
Kakiku berdenyut-denyut, rasa sakit menggantikan sebagian mati rasanya. Cairan hangat menetes dari bibirku. Kurasakan kelembapan itu tanpa berpikir, lalu kusadari itu darahku.
Berjalanlah pergi, Wanda. Aku ingin hidup. Aku juga menginginkan  pilihan.
Bisa kurasakan getaran-getarannya dari tempatku berdiri. Sepetak lantai lagi tercebur ke sungai. Bobot tubuh Kyle bergeser, dan ia meluncur satu senti menuju lubang.
Biarkan ia pergi.
Kutatap wajah lelaki yang akan mati itu—lelaki yang menginginkan kematianku. Dalam ketidaksadarannya, wajah Kyle tak lagi menyerupai hewan marah. Ekspresinya tenang, nyaris damai.
Kemiripannya dengan adiknya sangat jelas terlihat.
Tidak! Protes Melanie.
Aku merangkak mendekati Kyle, perlahan-lahan, merasakan tanah dengan cermat setiap kali bergerak satu senti. Aku terlalu takut untuk merangkak lebih jauh dari pilar, jadi kukaitkan kakiku yang tidak cedera di sana. Pilar itu kembali menjadi jangkar, dan aku membungkuk untuk menyisipkan sebelah tanganku ke bawah lengan Kyle dan sebelah lagi ke atas dadanya.


Aku menarik begitu keras sampai kedua lenganku nyaris copot dari persendian, tapi Kyle tidak bergerak. Ketika lantai terus hancur menjadi serpihan-serpihan kecil, aku mendengar suara seperti pasir menetes di dalam jam pasir.
Aku kembali menarik tubuh Kyle, tapi suara menetes itu semakin gencar. Hanya itu hasil yang kuperoleh. Menggeser bobot Kyle membuat lantai hancur lebih cepat.


Tepat ketika aku sedang memikirkan hal itu, sebongkah batu besar terjun ke dalam sungai, menumbangkan keseimbangan Kyle yang rapuh. Ia mulai terjatuh.
“Tidak!” teriakku. Lengkingan itu kembali meledak dari tenggorokanku. Kuratakan tubuhku dengan pilar, dan aku berhasil menjepit tubuh Kyle ke balik pilar. Kurangkulkan kedua tanganku pada bahunya yang bidang. Lenganku nyeri.
“Tolong!” teriakku. “Tolong! Tolong!”

The Host - Bab 31

0 comments


Dibutuhkan

Aku terpaku, lalu cepat-cepat mengengok ke belakang untuk melihat apakah ada orang di belakangku.
“Gladys mendiang istrinya,” bisik Jamie pelan. “Dia tidak berhasil lolos.”
“Gladys,” ujar Walter kepadaku, tanpa menyadari reaksiku. “Percayakah kau, aku lolos dan malah mengidap kanker? Apa gunanya? Aku tak pernah sakit sepanjang hidupku…” Suaranya menghilang sampai aku tak bisa mendengarnya, tapi bibirnya terus bergerak. Ia terlalu lemah untuk mengangkat tangan; jemarinya merayap sendiri ke pinggir dipan, ke arahku.
Ian menyikutku agar maju.
“Aku harus apa?” bisikku. Keringat yang membasahi keningku tak ada hubungannya dengan udara panas yang lembap itu.
“…Granpa hidup sampai seratus satu tahun.” Walter tersengal-sengal, suaranya kembali terdengar. “Tak seorang pun pernah mengidap kanker dalam keluargaku, bahkan juga sepupu-sepupuku. Tapi Aunt Regan-mu mengidap kanker kulit, kan?”
Walter memandangku dengan penuh kepercayaan, menanti jawaban. Ian mendorong punggungku.
“Um…,” gumamku.
“Mungkin itu bibi Bill,” sela Walter.
Dengan panic aku melirik Ian yang mengangkat bahu. “Tolong,” bisikku kepadanya.
Ian member isyarat padaku untuk meraih jemari Walter yang masih mencari-cari.
Kulit Walter seputih kapur dan tembus pandang. Bisa kulihat denyut lemah darah di dalam pembuluh biru di punggung tangannya. Aku mengangkat tangannya dengan hati-hati, mencemaskan tulang-tulang kurus yang kata Jamie sangat raputh. Terasa sangat ringan, seakan berongga.
“Ah, Gladdie, berat sekali hidup tanpamu. Ini tempat menyenangkan, kau akan suka, bahkan setelah kepergianku. Banyak orang untuk diajak bicara—aku tahu betapa kau perlu bercakap-cakap…” Volume suara Walter merendah sampai aku tak bisa memahami kata-katanya lagi, tapi bibirnya masih membentuk kata-kata yang ingin ia ucapkan kepada istrinya. Bibirnya terus bergerak, walaupun matanya terpejam dan kepalanya terkulai ke samping.
Ian menemukan lagi lap basah dan mulai mengusap wajah mengilat Walter.
“Aku tidak pintar dalam… dalam berbohong,” bisikku. Kuamati bibir Walter yang bergumam, untuk memastikan ia tidak sedang mendengarkanku. “Aku tidak ingin mengecewakannya.”
“Kau tak perlu mengatakan apa pun,” ujar Ian meyakinkanku. “Dia tidak cukup sadar untuk peduli.”
“Apakah aku mirip istrinya?”
“Sama sekali tidak—aku pernah melihat fotonya. Gemuk pendek dan berambut merah.”
“Sini, biar aku saja yang melakukannya.”
Ian menyerahkan lap itu kepadaku, dan aku mengusap keringat dari leher Walter. Tangan yang sibuk selalu membuatku merasa lebih nyaman. Walter terus bergumam, Kurasa aku mendengarnya berkata, “Terima kasih, Gladdie, enak sekali.”
Aku tidak memperhatikan dengkur Doc sudah berhenti. Suaranya yang kukenal tiba-tiba terdengar di belakangku. Nadanya sangat lembut hingga tidak mengejutkanku.
“Bagaimana keadaannya?”
“Mengigau,” bisik Ian. “Karena brendi atau karena rasa sakit?”
“Kurasa lebih dikarenakan rasa sakitnya. Aku bersedia menukar lengan kananku untuk mendapatkan morfin.”
“Mungkin Jared akan kembali membawa keajaiban,” saran Ian.
“Mungkin,” desah Doc.
Aku mengusap wajah pucat Walter sambil melamun, dan kini aku mendengarkan dengan lebih saksama, tapi mereka tidak membicarakan Jared lagi.
Tidak ada di sini, bisik Melanie.
Sedang mencari pertolongan untuk Walter, ujarku mengiyakan.
Sendirian, imbuhnya.
Kuingat saat terakhir aku bertemu Jared—ciuman itu, keyakinan itu… Mungkin ia perlu menyendiri beberapa waktu.
Kuharap ia tidak berada di luar sana, dan kembali meyakinkan dirinya kau aktris yang sangat berbakat-sekaligus-Pencari…
Itu mungkin saja.
Melanie menggeram dalam kebisuan.
Ian dan Doc bergumam dengan suara rendah, membicarakan hal-hal remeh. Yang terutama, Ian menceritakan kepada Doc mengenai apa yang terjadi di ruang-ruang gua.
“Ada apa dengan wajah Wanda?” bisik Doc, walaupun aku masih bisa  dengan mudah mendengarnya.
“Kurang-lebih sama,” jawab Ian dengan nada kesal.
Doc menghembuskan napas dengan tidak senang, lalu berdecak.
Ian sedikit bercerita mengenai kelasku yang canggung malam ini, mengenai pertanyaan-pertanyaan Geoffrey.
“Akan menyenangkan seandainya Melanie dikuasai Penyembuh,” renung Doc.
Aku mengernyit, tapi mereka berada di belakangku dan mungkin tidak memperhatikan.
“Kita beruntung Wanda yang menguasainya,” gumam Ian membelaku. “Tak ada—“
“Aku tahu,” sela Doc, yang selalu berbaik hati. “Kurasa yang seharusnya kukatakan adalah, sayang sekali Wanda tidak terlalu tertarik pada pengobatan.”
“Maaf,” gumamku. Aku memang ceroboh, memetik manfaat kesehatan yang sempurna tanpa pernah penasaran mengenai penyebabnya.
Sebuah tangan menyentuh bahuku. “Kau tak perlu meminta maaf untuk apa pun,” ujar Ian.
Jamie diam saja. Aku menoleh dan melihatnya meringkuk di dipan yang tadi ditiduri Doc.
“Sudah malam,” ujar Doc. “Walter tidak akan ke mana-mana mala mini. Kalian harus tidur.”
“Kami akan kembali,” janji Ian. “Katakan saja, apa yang bisa kami bawa untuk kalian berdua.”
Kuletakkan tangan Walter, lalu kutepuk dengan hati-hati. Mata Walter langsung terbuka, lalu ia memusatkan pandangan dengan lebih banyak kesadaran daripada sebelumnya.
“Kau mau pergi?” Tanya Walter tersengal. “Apakah kau harus pergi secepat ini?”
Cepat-cepat kuraih lagi tangannya. “Tidak. Aku tidak perlu pergi.”
Walter tersenyum dan kembali memejamkan mata. Jemarinya mencengeram jemariku dengan tenaganya yang rapuh.
Ian mendesah.
“Kau bisa pergi,” kataku kepadanya. “Aku tidak keberatan. Bawa Jamie kembali ke tempat tidurnya.”
Ian melirik ke sekeliling ruangan. “Tunggu sebentar,” ujarnya. Lalu ia meraih dipan yang terdekat dengannya. Tidak berat—ia mengangkatnya dengan mudah dan meletakkannya di samping dipan Walter. Kurentangkan tanganku sejauh mungkin, berusaha untuk tidak mengejutkan Walter, sehingga Ian bisa mengatur dipan itu dibawah lenganku. Lalu Ian mengangkat tubuhku dengan sama mudahnya, dan meletakkanku di dipan di samping Walter. Mata Walter tetap terpejam. Diam-diam aku menghela napas dengan terkejut, terperangah melihat betapa Ian bisa meletakkan kedua tangannya dengan santai di tubuhku—seakan aku manusia.
Ian mengarahkan dagunya ke tnagan Walter yang mencengkeram erat tanganku. “Kau bisa tidur dengan tangan seperti itu?”
“Ya, aku yakin bisa.”
“Kalau begitu, selamat tidur.” Ia tersenyum kepadaku, lalu berbalik dan mengangkat Jamie dari dipan lain. “Ayo pergi, Nak,” gumamnya. Ia menggendong anak itu tanpa susah payah, seolah Jamie masih bayi. Langkah pelan Ian terdengar sayup-sayup di kejauhan, lalu aku tak bisa mendengarnya lagi.
Doc menguap, lalu duduk di belakang meja yang disusunnya dari peti-peti kayu dan pintu alumunium. DIbawanya lampu suram itu bersamanya. Wajah Walter terlalu gelap untuk dilihat, dan itu membuatku gelisah. Rasanya seakan ia sudah pergi. Aku menghibur diri dengan jemarinya yang masih menggenggam erat jemariku.
Doc mulai membongkar-bongkar kertas, bersenandung dengan suara nyaris tak terdengar. Aku tertidur mendengar suara gemersik lembut itu.
Walter mengenaliku keesokan paginya.
Ia terbangun ketika Ian muncul untuk menemaniku kembali. Ladang jagung harus dibersihkan dari batang-batang jagung tua. Aku berjanji kepada Doc untuk membawakannya sarapan sebelum mulai bekerja. Hal terakhir yang kulakukan adalah melepaskan dengan hati-hati jemariku yang mati rasa, membebaskannya dari cengkeraman Walter.
Mata Walter terbuka. “Wanda,” bisiknya.
“Walter?” Aku tak yakin berapa lama ia akan mengenaliku, atau apakah ia akan ingat kejadian semalam. Tangannya mencengkeram udara kosong, jadi kuserahkan tangan kiriku, tangan yang tidak mati rasa.
“Kau datang menengokku. Baik sekali. Aku tahu… dengan kepulangan mereka… pasti berat… bagimu… Wajahmu…”
Tampaknya Walter mengalami kesulitan untuk memerintahkan bibirnya membentuk kata-kata, dan matanya berubah-ubah antara terfokus dan tidak. Betapa baik hatinya; kata-kata pertamanya untukku penuh dengan kekhawatirkan.
“Semuanya baik-baik saja, Walter. Bagaimana denganmu?”
“Ah—“ Ia mengerang pelan. “Tidak begitu… Doc?”
“Aku di sini,” gumam Doc, persis di belakangku.
“Punya minuman keras lagi?” Tanya Walter terengah-engah.
“Tentu saja.”
Doc sudah siap. Ia mendekatkan mulut sebuah botol kaca tebal ke bibir Walter yang terbuka, lalu dengan hati-hati menuangkan cairan cokelat gelap itu dalam bentuk tetesan pelan ke dalam mulutnya. Walter mengernyit ketika setiap tegukan membakar tenggorokannya. Sebagian cairan menetes dari sudut mulutnya ke atas bantal. Baunya menusuk hidungku.
“Sudah lebih baik?” Tanya Doc, setelah menuang cairan itu perlahan-lahan untuk waktu lama.
Walter mengerang. Kedengarannya ia tidak setuju. Matanya terpejam.
“Lagi?” Tanya Doc.
Walter menyeringai, lalu mengerang.
Doc memaki dengan suara berbisik. “Mana Jared?” gumamnya.
Aku mengejang mendengar nama itu. Melanie bergerak, lalu kembali melamun.
Wajah Walter mengendur. Kepalanya mendongak ke belakang.
“Walter?” bisikku.
“Dia terlalu kesakitan untuk tetap tersadar. Biarkan saja,” ujar Doc.
Tenggorokanku tercekat. “Apa yang bisa kulakukan?”
Suara Doc terdengar putus asa. “Sama seperti yang bisa kulakukan. Tak ada. Aku tak berguna.”
“Jangan begitu, Doc,” gumam Ian. “Ini bukan salahmu. Dunia tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tak seorang pun berharap lebih darimu.”
Bahuku merosot. Tidak, dunia mereka memang tak lagi berjalan sebagaimana mestinya.
Satu jari mengetuk lenganku. “Ayo, pergi,” bisik Ian.
Aku mengangguk dan mulai menarik tanganku untuk membebaskannya.
Mata Walter berputar, lalu terbuka, tanpa melihat apa-apa. “Gladdie? Kau di sini?” tanyanya.
“Um… aku di sini,” jawabku bimbang, membiarkan jemari Walter mencengkeram jemariku.
Ian mengangkat bahu. “Akan kubawakan makanan untuk kalian,” bisikknya, lalu pergi.
Dengan cemas aku menunggu Ian kembali. Kesadaran Walter yang lemah membuatku takut. Ia menggumamkan nama Gladys berulang kali, tapi tampaknya tidak memerlukan apa-apa dariku, dan aku bersyukur karenanya. Setelah beberapa saat, mungkin setengah jam, aku mulai menantikan langkah Ian di terowongan, bertanya-tanya apa yang membuatnya begitu lama.
Setelah tadi Doc berdiri di samping meja, menatap kekosongan dengan bahu merosot. Mudah untuk melihat betapa ia merasa dirinya tak berguna.
Lalu aku benar-benar mendengar sesuatu, tapi bukan langkah kaki.
“Apa itu?” tanyaku kepada Doc dengan suara berbisik; Walter sudah kembali tenang, mungkin tak sadarkan diri. Aku tidak ingin mengganggunya.
Doc berbalik memandangku, memiringkan kepala untuk mendengarkan.
Suara itu seperti nada monoton aneh, bagaikan ketukan pelan cepat. Kupikir suara itu terdengar sedikit lebih keras, tapi kemudian berubah pelan lagi.
“Aneh,” ujar Doc. “Kedengarannya hampir seperti…” Ia terdiam, keningnya mengernyit berkonsentrasi ketika suara tak dikenal itu menghilang.
Kami mendengarkan dengan saksama, terdengar suara langkah yang masih di kejauhan. Suaranya tidak sesuai dengan harapan kami, yaitu langkah teratur kedatangan Ian. Langkah ini lari—tidak, lari cepat.
Doc langsung bereaksi terhadap suara mencemaskan itu. Ia cepat-cepat lari keluar menjumpai Ian. Aku juga berharap bisa mengetahui masalahnya, tapi tak ingin mencemaskan Walter dengan mencoba membebaskan tanganku lagi. Jadi aku mendengarkan baik-baik.
“Brandt?” Kudengar Doc berkata terkejut.
“Mana mahluk itu? Mana mahluk itu?” desak Brandt terengah-engah. Suara langkah berlari itu hanya berhenti sedetik, lalu kembali terdengar, walaupun larinya tidak secepat sebelumnya.
“Kau ngomong apa?” Tanya Doc.
“Parasit itu!” desis Brandt tidak sabar, dengan cemas, ketika memasuki lubang masuk melengkung.
Brandt bukan lelaki bertubuh besar seperti Kyle atau Ian. Mungkin ia hanya beberapa senti lebih tinggi dariku, tapi tubuhnya kekar dan padat seperti badak. Matanya menyapu ruangan; pandangannya yang menusuk terpusat ke wajahku selama setengah detik, lalu beralih ke sosok Walter yang tak sadarkan diri, lalu melesat mengelilingi ruangan, dan berakhir kembali di wajahku.
Doc berhasil menyusul Brandt. Jemari Doc yang panjang mencengkeram bahu Brandt, tepat ketika lelaki yang lebih kekar itu maju satu langkah ke arahku.
“Kau mau apa?” Tanya Doc. Suaranya mirip geraman.
Sebelum Brandt menjawab, suara aneh itu kembali terdengar, awalnya pelan lalu sangat keras, kemudian mendadak berubah pelan kembali, sampai kami terpaku. Ketukan-ketukan itu berkesinambungan, mengguncang udara ketika suaranya terdengar paling keras.
“Apakah itu—apakah itu helicopter?” Tanya Doc berbisik.
“Ya,” bisik Brandt menjawab. “Itu Pencari—Pencari yang sama dengan sebelumnya. Sedang mencari mahluk itu.” Ia mneyentakkan dagunya ke arahku.


Tenggorokanku tiba-tiba tercekat—aliran napas yang bergerak melewatinya berubah pendek dan lemah, tidak mencukupi. Aku merasa pening.
Jangan. Jangan sekarang. Kumohon.
Ada apa dengan Pencari itu? Mel menggeram di dalam kepalaku. Mengapa ia terus mengganggu kita?
Kita tidak bisa membiarkannya melukai mereka!
Tapi bagaimana cara kita menghentikannya?
Aku tak tahu. Ini semua salahku!
Salahku juga, Wanda. Salah kita.
“Kau yakin?” Tanya Doc.
“Ketika Pencari itu berkeliaran, Kyle bisa melihatnya dengan jelas lewat binocular. Pencari yang sama dengan yang pernah dilihatnya sebelumnya.”
“Apakah dia mencari di sini?” Suara Doc tiba-tiba terdengar ketakutan. Ia setengah berputar, matanya melirik lubang keluar. “Mana Sharon?”
Brandt menggeleng. “Pencari itu hanya menyapu wilayah. Di mulai dari Picacho, lalu menyebar ke mana-mana. Sepertinya tidak memusatkan perhatian pada sesuatu di dekat sini. DIa berputar-putar beberapa kali di tempat kita membuang mobil itu.”
“Sharon?” Tanya Doc lagi.
“Dia bersama anak-anak dan Lucina. Mereka baik-baik saja. Kaum lelaki sedang mengemasi barang-barang, kalau-kalau kita harus bergerak malam ini. Tapi menurut Jeb itu tak mungkin.”
Doc menghembuskan napas, lalu berjalan ke mejanya. Ia bersandar di sana, seakan baru saja lari jarak jauh. “Jadi sebenarnya tak ada sesuatu yang baru,” gumamnya.
“Tidak. Kita hanya harus bersembunyi selama beberapa hari,” ujar Brandt meyakinkan Doc. Matanya kembali melirik sekeliling ruangan, dan setiap detiknya beralih kepadaku. “Punya tali?” tanyanya kepada Doc. Ia menarik ujung seprai salah satu dipan yang kosong, lalu menelitinya.
“Tali?” Tanya Doc datar.
“Untuk parasit itu. Kyle mengirimku ke sini untuk mengamankannya.”
Tanpa sadar otot-ototku berkontraksi; tanganku mencengkeram jemari Walter terlalu erat, dan ia mengerang. Aku mencoba memaksakan tanganku agar tetap santai, seraya tetap mengarahkan pandangan pada wajah keras Brandt. Ia sedang menunggu Doc, penuh harap.
“Kau di sini untuk mengamankan Wanda?” Tanya Doc. Suaranya kembali mengeras. “Dan apa yang membuatmu berpikir tindakan itu diperlukan?”
“Ayolah, Doc. Jangan tolol. Kau punya beberapa lubang ventilasi besar di sini, dan banyak logam reflektif.” Brandt menunjuk lemari arsip di dinding yang jauh. “Jika kau membiarkan perhatianmu berkelana selama setengah menit, dia akan mengirimkan sinyal kepada Pencari itu.”
Aku menghela napas dengan terkejut; suaranya terdengar keras di dalam ruang yang hening itu.
“Benar, kan?” ujar Brandt. “Kurasa itu salah satu rencananya.”
Aku ingin membenamkan diri ke bawah batu, bersembunyi dari mata menonjol kejam Pencari-ku, tapi Brandt malah membayangkan aku ingin menuntun Pencari masuk. Membawanya kemari untuk membunuh Jared, Jeb, Ian… Rasanya aku kepingin muntah.
“Kau bisa pergi, Brandt,” ujar Doc dingin. “Aku akan mengawasi Wanda.”
Brandt mengangkat sebelah alisnya. “Ada apa dengan kalian? Denganmu, Ian, Trudy, dan yang lainnya? Seolah kalian semua terhipnotis. Seolah mata kalian reflektif, aku terpaksa bertanya-tanya…”
“Silahkan bertanya-tanya sesukamu, Brandt. Tapi keluarlah dari sini.”k
Brandt menggeleng. “Aku harus melakukan sesuatu.”
Doc menghampiri Brandt, lalu berhenti ketika sudah berada di antara aku dan Brandt. Ia bersedekap.
“Kau tidak akan menyentuhnya.”
Baling-baling helicopter yang berdentam-dentam terdengar di kejauhan. Kami diam tak bergerak, menahan napas, sampai suara itu menghilang.
Brandt menggeleng ketika keadaan kembali hening. Ia tidak bicara; hanya berjalan menuju meja dan mengangkat kursi Doc. Ia membawanya ke dinding di samping lemari arsip, menghujamkannya ke tanah, lalu duduk dengan mengempaskan tubuh, membuat kaki-kaki logam kursi itu berderit di batu. Ia membungkuk, kedua tangan di lutut, menatapku. Hering sedang menunggu kelinci sekarat berhenti bergerak.
Rahang Doc menegang, menciptakan suara letupan kecil.
“Gladys,” gumam Walter, tersadar dari ketidaksadarannya. “Kau di sini.”
Terlalu menggelisahkan bagiku untuk bicara, dengan brandt mengawasi, jadi aku hanya menepuk-nepuk tangan Walter. Mata berkabutnya meneliti wajahku, melihat raut wajah yang tak hadir di sana.
“Sakit, Gladdie. Sakit sekali.”
“Aku tahu,” bisikku. “Doc?”
Doc sudah ada di sana, dengan brendi di tangan. “Buka mulutmu, Walter.”
Suara helicopter berdentam pelan; jauh, tapi masih terlalu dekat. Doc tersentak, dan beberapa tetes brendi menciprati tanganku.
Hari yang mengerikan. Yang terburuk dalam kehidupanku di planet ini, bahkan bila hari pertamaku di gua dan hari terakhirku di padang gurun—hanya beberapa jam dari kematian masuk hitungan.


Helikopter itu berputar dan berputar. Terkadang setelah lebih dari satu jam berlalu dan aku mengira helicopter itu sudah pergi, suara itu kembali terdengar, dan aku melihat wajah keras kepala Pencari dalam benakku, matanya yang menonjol meneliti padang gurun kosong, mencari semacam tanda keberadaan manusia. Aku berusaha membuatnya pergi, berkonsentrasi penuh pada ingatan-ingatanku mengenai dataran padang gurun yang tak berwarna dan tak menarik, seakan aku bisa memastikan Pencari tidak melihat apa-apa, seakan aku bisa memaksanya pergi.
Brandt tak pernah mengalihkan pandangan curiganya dariku. Aku bisa terus merasakannya, walaupun jarang memandangnya. Suasana sedikit membaik ketika Ian kembali dengan sarapan sekaligus makan siang. Tubuhnya sangat kotor, akibat berkemas-kemas untuk menghadapi evakuasi—apa pun arti kata itu. Apakah mereka tahu hendak pergi ke mana? Ian memberengut marah, sampai terlihat seperti Kyle, ketika Brandt menjelaskan dengan singkat mengapa ia berada di sana. Lalu Ian menyeret dipan kosong lain ke sampingku, sehingga ia bisa duduk di hadapan Brandt dan menghalangi pandangannya.
Helikopter dan sikap Brandt yang penuh curiga—keduanya tidak begitu buruk. Pada hari biasa—seandainya hari semacam itu benar-benar masih ada—salah satunya mungkin kelihatan menyiksa. Hari ini semuanya tak berarti.
Siangnya Doc sudah memberikan Walter brendi terakhir. Tampaknya baru beberapa menit berlalu ketika Walter menggeliat-geliat, mengerang, dan terengah-engah. Jemarinya membuat jemariku memar dan luka. Tapi kalau aku menariknya, erangan Walter berubah jadi jeritan melengking. Sekali aku keluar untuk ke kamar mandi. Brandt mengikutiku, dan itu membuat Ian merasa harus ikut juga. Saat kami kembali—setelah nyaris berlari sepanjang jalan—jeritan Walter tak lagi terdengar seperti jeritan manusia. Wajah Doc cekung penuh penderitaan. Walter berubah tenang setelah aku bicara dengannya sejenak, membiarkannya mengira istrinya ada di dekatnya. Itu kebohongan yang mudah, kebohongan yang baik. Brandt mengeluarkan sedikit suara-suara jengkel, tapi aku tahu kemarahannya keliru. Tak ada yang penting selain rasa sakit Walter.
Tapi erangan dan geliatan itu berlanjut, dan Brandt mondar-mandir di salah satu ujung ruangan, berusaha menyingkir sejauh mungkin dari suara itu.
Jamie datang mencariku, membawakan makanan cukup untuk empat orang, ketika cahaya di atas kepala berubah mendekati jingga. Aku tidak membiarkan Jamie tetap tinggal; aku meminta Ian membawanya kembali ke dapur untuk makan, dan meminta Ian berjanji untuk mengawasinya semalaman agar ia tidak menyelinap lagi kemari. Walter menjerit ketika geliatan tubuhnya menggerakkan kakinya yang patah, dan suaranya nyaris tak tertahankan. Jamie tak boleh memasukkan malam ini ke dalam ingatannya, seperti yang pasti terjadi denganku dan Doc. Mungkin juga Brandt, walaupun ia berusaha keras mengabaikan Walter. Ia menutup telinga dan menyenandungkan nada-nada sumbang.
Doc tidak berusaha menjauhkan diri dari penderitaan Walter yang mengerikan. Ia malah menderita bersamanya. Teriakan Walter menggoreskan guratan-guratan mendalam di wajah Doc, seperti cakar yang menggaruk kulit.
Rasanya aneh melhat kedalaman kasih sayang seperti itu di dalam diri seorang manusia, terutama Doc. Pandanganku terhadapnya takkan bisa sama lagi, setelah menyaksikannya menghadapi rasa sakit Walter. Begitu besar kasih sayang Doc sehingga tampaknya ia mengalami pendarahan di dalam. Ketika kuamati, mustahil bagiku untuk percaya Doc jahat. Mustahil lelaki itu penyiksa. Kucoba mengingat-ingat, perkataan apa yang mendukung dugaanku—adakah seseorang yang menegaskan tuduhanku? Kurasa tidak. Agaknya aku telah salah menyimpulkan dalam ketakutanku.
Aku ragu apakah bisa kembali mencurigai Doc setelah hari penuh mimpi buruk ini. Namun aku selalu menganggap rumah sakit ini tempat mengerikan.
Ketika cahaya matahari terakhir menghilang, begitu juga helikopternya. Kami duduk dalam gelap, tak berani menyalakan apa pun, bahkan lampu biru suram itu. Perlu beberapa jam sebelum salah satu dari kami percaya perburuan itu telah berakhir. Brandt orang pertama yang menerimanya; ia juga sudah muak dengan rumah sakit itu.
“Masuk akal jika Pencari itu menyerah,” gumam Brandt, seraya beringsut ke lubang luar. “Tak ada yang bisa dilihat di malam hari. Aku akan pergi membawa lampumu, Doc, sehingga parasit peliharaan Jeb tak bisa merencanakan apa-apa.”
Doc tidak menjawab, bahkan tidak memandangi kepergian lelaki pemarah itu.
“Hentikanlah, Gladdie, hentikanlah!” Walter memohon kepadaku. Aku mengusap keringat dari wajahnya, sementara ia meremukkan tanganku.
Waktu tampaknya melambat, lalu berhenti. Malam kelam itu rasanya takkan pernah berakhir. Jeritan Walter semakin lama semakin sering, semakin lama semakin menyiksa.
Melanie berada sangat jauh. Ia tahu dirinya tak bisa melakukan apa pun yang berguna. Aku pasti juga akan bersembunyi, kalau saja Walter tidak membutuhkanku. Aku sendirian di dalam kepalaku—persis seperti yang pernah kuinginkan. Membuatku merasa tersesat.
Akhirnya cahaya abu-abu suram mulai merayap masuk lewat lubang-lubang ventilasi jauh di atas kepala. Aku melayang-layang di ambang tidur, erangan dan jeritan Walter membuatku terjaga. Aku bisa mendengar dengkuran Doc di belakangku. Aku gembira karena ia bisa melarikan diri sejenak.
Aku tidak menengar Jared masuk. Aku sedang menggumamkan penghiburan lemah yang nyaris tak terdengar, mencoba menenangkan Walter.
“Aku di sini, aku di sini,” gumamku, ketika Walter meneriakkan nama istrinya. “Sst, tidak apa-apa.” Kata-kata itu tak berarti. Tapi setidaknya aku mengatakan sesuatu, dan sepertinya suaraku benar-benar menenangkan jeritan-jeritan terburuk Walter.
Aku tak tahu sudah berapa lama Jared mengamatiku dan Walter, sebelum aku menyadari kehadirannya. Mestinya sudah agak lama. Aku yakin reaksi pertamanya adalah marah. Tapi ketika aku mendengarnya bisara, suaranya tenang.
“Doc,” kata Jared, dan aku mendengar dipan di belakangku berguncang. “Doc, bangun.”
Kutarik tanganku, lalu aku berputar bingung, untuk melihat wajah yang sesuai dengan suara yang tak mungkin keliru itu.
Mata Jared memandangku ketika mengguncang-guncang bahu Doc yang sedang tidur. Mustahil untuk membaca mata itu dalam cahaya suram. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apa pun.
Melanie melompat ke dalam kesadaran. Ia meneliti wajah Jared, mencoba membaca pikiran-pikiran di balik topeng itu.
“Gladdie! Jangan pergi! Jangan!” teriakan Walter membuat Doc langsung melompat berdiri, nyaris menggulingkan dipan.
Aku kembali berputar menghadap Walter, lalu menyorongkan tanganku yang sakit ke dalam jemarinya yang mencari-cari.
“Ssst, ssst! Walter, aku di sini. Aku tidak akan pergi. Aku tak akan pergi, aku berjanji.”
Walter berubah tenang, merengek-rengek seperti anak kecil. Kuusapkan lap basah di keningnya; tangisnya berhenti, berubah jadi desahan.
“Ada apa ini?” gumam Jared di belakangku.
“Wanda adalah penghilang nyeri terbaik yang bisa kutemukan,” ujar Doc lelah.
“Well, aku menemukan yang lebih baik daripada Pencari jinak.”
Perutku mengejang, dan Melanie mendesis di dalam kepalaku. Tolol sekali, benar-benar keras kepala, geramnya. Ia takkan percaya, kalaupun kau mengatakan matahari terbenam di barat.
Tapi Doc tak memedulikan sindiran Jared tadi. “Kau menemukan sesuatu!”
“Morfin—tak banyak. Aku bisa pulang lebih cepat seandainya Pencari tidak menghalangiku di luar sana.”
Doc langsung beraksi. Aku mendengarnya menggeledah sesuatu yang seperti kertas, lalu berteriak gembira. “Jared, kau pembawa mukjizat!”
“Doc, tunggu seben…”
Tapi Doc sudah berada di sampingku, wajah kuyunya berseri-seri oleh harapan. Kedua tangannya sibuk dengan jarum suntik kecil. Ia menyuntikkan jarum mungil itu ke lipatan di siku Walter, di lengan yang terhubung dengan tanganku. Aku berpaling. Betapa ngeri rasanya menusukkan sesuatu ke kulit Walter.
Tapi aku tak bisa membantah hasilnya. Dalam setengah menit sekujur tubuh Walter berubah santai, melebur jadi tumpukan daging kendur di atas kasur tipis. Napasnya berubah dari keras dan tersengal menjadi pelan dan teratur. Tangannya mengendur, membebaskan tanganku.
Aku memijat-mijat tangan kiriku dengan tangan kanan, mencoba mengalirkan darah ke ujung jari-jariku lagi. Sedikit rasa tertusuk-tusuk mengikuti aliran darah di bawah kulitku.
“Uh, Doc, tidak cukup untuk itu,” gumam Jared.
Aku mendongak dari wajah Walter yang akhirnya damai. Jared memunggungiku, tapi bisa kulihat keterkejutan di raut wajah Doc.
“Cukup untuk apa? Aku takkan menyimpan ini untuk berjaga-jaga, Jared. Aku yakin kita berharap bisa memilikinya lagi, dan dengan segera, tapi aku takkan membiarkan Walter berteriak kesakitan sementara aku punya cara untuk menolongnya!”
“Bukan itu maksudku, “ ujar Jared. Ia selalu bicara seperti itu ketika sudah memikirkan sesuatu masak-masak. Pelan dan teratur, seperti napas Walter.
“Cukup untuk menghentikan rasa sakit selama kira-kira tiga atau empat hari. Itu saja,” ujar Jared. “Kalau kau memberinya dalam dosis teratur.”
Aku tidak memahami ucapan Jared, tapi Doc paham.
“Ah,” desah Doc. Ia berpaling dan memandang Walter, kulihat lingkaran baru air mata mulai menggenang di kelopak bawah matanya. Ia membuka mulut untuk bicara, tapi tak ada yang keluar.
Aku ingin tahu apa yang sedang mereka bicarakan, tapi kehadiran Jared membuatku diam, mengembalikan keengganan bicara yang sudah jarang kurasakan.
“Kau tak bisa menyelamatkannya. Kau hanya bisa menyelamatkannya dari rasa sakit, Doc.”
“Aku tahu,” ujar Doc. Suaranya parau, seakan menahan tangis. “Kau benar.”k
Apa yang terjadi? Tanyaku. Mumpung Melanie masih berkeliaran, sebaiknya aku memanfaatkannya.
Mereka hendak membunuh Walter, ujarnya tanpa emosi. Ada cukup banyak morfin untuk membuatnya overdosis.
Helaan napas terkejutku terdengar keras di dalam ruangan hening itu, tapi sebenarnya aku hanya menarik napas. Aku tidak mendongak untuk melihat reaksi kedua lelaki sehat itu. Air mataku sendiri menggenang ketika aku membungkuk di atas bantal Walter.
Tidak, pikirku, tidak. Belum saatnya. Tidak.
Kau lebih suka Walter mati dengan berteriak?
Aku hanya… aku tidak tahan terhadap… bagian akhirnya. Begitu telak. Aku takkan pernah berjumpa dengan temanku lagi.
Berapa banyak temanmu yang lain yang pernah kau kunjungi kembali, Wanderer?
Aku belum pernah punya teman-teman seperti ini.
Semua temanku di planet-planet lain mengabur jadi satu di dalam benakku. Semua jiwa begitu serupa, nyaris bisa saling ditukar dengan cara tertentu. Walter jelas adalah dirinya sendiri. Ketika ia pergi tak seorang pun bisa mengisi tempatnya.
Aku membuai kepala Walter dengan kedua lenganku,membiarkan air mataku jatuh ke atas kulitnya. Aku mencoba menahan tangis, tapi tangisan itu tetap saja keluar—lebih berupa ratapan daripada isakan.
Aku tahu. Pengalaman pertama lagi, bisik Melanie. Dan terdengar iba dalam suaranya. Iba terhadapku—itu juga pengalaman pertama.
“Wanda?” panggil Doc.
Aku hanya menggeleng, tak mampu menjawab.
“Kurasa kau sudah terlalu lama di sini,” ujarnya. Kurasakan tangan Doc, ringan dan hangat, di bahuku. “Kau harus istirahat.”
Kembali aku menggeleng, masih meratap pelan.
“Kau lelah,” kata Doc. “Pergilah mandi, regangkan kakimu. Makanlah sesuatu.”
Aku melotot pada Doc. “Apakah Walter aka nada di sini ketika aku kembali?” gumamku di antara air mata.
Mata Doc menegang penuh kecemasan. “Kau menginginkan itu?”
“Aku menginginkan kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal. Dia temanku.”
Doc menepuk-nepuk lenganku. “Aku tahu, Wanda. Aku tahu. Dia temanku juga. Aku tidak terburu-buru. Pergilah mencari udara segar, lalu kembalilah. Walter akan tidur sejenak.”
Kubaca wajah lelah Doc, dan aku memercayai ketulusan yang terpampang di sana.
Aku mengangguk, lalu perlahan-lahan meletakkan kembali kepala Walter ke atas bantal. Kalau aku pergi sebentar dari tempat ini, mungkin aku akan menemukan cara untuk menghadapi peristiwa ini. Aku tak yakin bagaimana—aku tak punya pengalaman mengucapkan selamat tinggal yang sesungguhnya.
Karena sedang jatuh cinta kepada Jared, maka tak peduli betapa enggannya, aku harus memandang wajah Jared sebelum pergi. Mel juga menginginkan hal ini. Tapi entah bagaimana aku berharap ia bisa mengecualikan diriku dari prosesnya.
Jared sedang menatapku. Aku punya perasaan matanya telah terarah kepadaku untuk waktu lama. Wajahnya cukup tenang, tapi kembali tampak terkejut dan curiga di sana. Itu membuatku lelah. Apa gunanya berpura-pura sekarang, kalaupun aku pembohong yang begitu berbakat? Walter takkan pernah membelaku lagi. Aku tak bisa memengaruhinya lagi.
Kubalas tatapan Jared selama satu detik yang terasa lama, lalu berbalik untuk bergegas menyusuri koridor gelap gulita yang tampak lebih cerah daripada ekspresi Jared.

Jual Nugget dan Sosis Sayur

Jual Nugget dan Sosis Sayur
Pemesanan via email : lwati111@gmail.com

The Host- Bab 32

1 comments


Disergap

Ruang-ruang gua sepi; matahari belum terbit. Di plaza utama cermin-cermin berwarna kelabu pucat dengan datangnya fajar.
Beberapa pakaianku masih di kamar Jamie dan Jared. Aku menyelinap masuk, senang karena tahu di mana Jared berada sekarang.
Jamie tidur nyenyak, meringkuk membentuk bola padat di pojok atas kasur. Ia biasanya tidak tidur begitu rapat, tapi saat ini ia punya alasan. Ian telentang di seluruh ruangan yang tersisa, kaki dan tangannya menggantung melewati tepi kasur, membentuk tonjolan di keempat sisinya.
Untuk alasan tertentu, ini menggelikan bagiku. Aku harus memasukkan kepalanku ke mulut untuk menahan tawa, lalu cepat – cepat menyambar kaus dan celana pendek tuaku yang diwarnai kotoran. Aku bergegas memasuki lorong, dengan masih menahan tawa.
Kau mabuk akibat kurang tidur, ujar Melanie. Kau perlu tidur.
Aku akan tidur nanti. Ketika… Aku tak bisa menyelesaikan pikiran itu. Aku langsung tersadar, dan segalanya kembali tenang.
Aku masih bergegas ketika menuju kamar mandi. Aku memercayai Doc, tapi… mungkin ia akan berubah pikiran. Mungkin Jared akan membantah apa yang kuinginkan. Aku tak bisa berlama-lama.
Kupikir aku mendengar sesuatu di belakangku ketika mencapai persimpangan gurita, tempat semua lorong tidur bertemu. Aku menoleh tapi tidak bisa melihat siapa-siapa dalam gua remang-remang itu. Orang-orang mulai bergerak. Sebentar lagi waktu sarapan tiba, lalu satu hari kerja lagi. Seandainya mereka sudah selesai dengan batang-batang jagung, tanah di lading-ladang timur perlu digemburkan. Mungkin aku akan punya waktu untuk membantu… nanti…
Aku mengikuti jalur yang kukenal menuju sungai-sungai bawah tanah. Pikiranku berada di jutaan tempat lain. Sepertinya aku tak bisa berkonsentrasi pada satu hal tertentu. Setiap kali aku mencoba memusatkan perhatian pada satu subjek—Walter, Jared, sarapan, tugas-tugas, mandi—pikiran lain akan menarik benakku dalam hitungan detik. Melanie benar; aku perlu tidur. Ia sama kacaunya. Pikirannya berputar-putar mengelilingi Jared, tapi tak satu pun yang bisa dipahaminya.
Aku sudah terbiasa dengan kamar mandinya. Kegelapan total itu tidak menggangguku lagi. Ada banyak tempat gelap di sini. Setengah dari hari terangku kuhabiskan dalam gelap. Dan aku begitu sering kemari. Tak ada sesuatu pun yang bersembunyi di bawah permukaan air, menunggu untuk menarikku ke dalamnya.
Tapi aku tahu aku tak punya waktu untuk berendam. Yang lain akan segera bangun, dan beberapa orang suka memulai hari mereka dengan tubuh bersih. Aku harus bergegas, membersihkan diri lebih dulu, lalu berpindah ke pakaianku. Aku menggosok kemejaku dengan ganas, berharap bisa menggosok bersih ingatanku mengenai dua malam terakhir ini.
Tanganku terasa perih ketika aku selesai. Retak-retak kering di buku-buku jariku paling terasa membakar. Kubilas semua di dalam air, tapi itu tak banyak membuat perbedaan. Aku mendesah, lalu keluar dari kolam untuk berpakaian. 


Aku meninggalkan pakaian kering di atas batu-batu yang berserakan di pojok belakang. Tanpa sengaja aku menendang sebuah batu, cukup keras hingga menyakiti kaki telanjangku, dan batu itu berkelotak ribut melintasi ruangan, memantul dari dinding, dan mendarat dengan suara plung dan berdeguk ke dalam kolam. Suaranya membuatku terlompat, walaupun tidak begitu keras jika dibandingkan dengan raungan sungai panas di luar.
Aku baru saja memasukkan kaki ke dalam sepatu tenis kotorku ketika giliranku selesai.
“Tok, tok,” panggil sebuah suara yang kukenal dari lubang masuk gelap.
“Selamat pagi, Ian,” sapaku. “Aku baru saja selesai. Tidurmu nyenyak?”
“Ian masih terlelap,” jawab suara Ian. “Tapi aku yakin itu takkan bertahan selamanya, jadi sebaiknya kita selesaikan saja ini.”
Serpihan-serpihan es memaku semua persendianku di tempat masing-masing. Aku tak bisa bergerak. Aku tak bisa bernapas.
Sudah pernah kuperhatikan sebelumnya, lalu kulupakan dalam minggu-minggu panjang ketidakhadiran Kyle. Ian dan kakaknya bukan hanya tampak sangat mirip, tapi—ketika Kyle bicara dengan volume normal, sesuatu yang jarang terjadi—suara mereka juga sama persis.
Tak ada udara. Aku terjebak di lubang gelap ini, dengan Kyle di lubang pintu. Tak ada jalan keluar.
Tetap tenang, teriak Melanie di dalam kepalaku.
Aku bisa melakukannya. Tidak ada udara untuk berteriak.
Dengar!
Kulakukan seperti yang diperintahkan Melanie, yaitu mencoba memusatkan perhatian, walaupun ketakutan menusuk kepalaku seperti jutaan tombak ramping es.
Aku tak bisa mendengar apa-apa. Apakah Kyle menunggu responku? Apakah diam-diam ia menyelinap ke dalam ruangan? Aku mendengarkan lebih saksama, tapi gemuruh sungai menutupi suara apa pun.
Cepat, ambil batu, perintah Melanie.
Mengapa?
Aku melihat diriku menghantamkan atu kasar ke kepala Kyle.
Aku tak bisa melakukannya!
Kalau begitu kita akan mati, Melanie menjawabku. Aku bisa melakukannya! Izinkan aku!
Harus ada cara lain, erangku, tapi kupaksakan kedua lututku yang membeku untuk menekuk. Kedua tanganku meraba-raba dalam gelap, lalu kembali dengan batu besar bergerigi dan segenggam kerikil.
Melawan atau lari.
Dalam keputusasaan aku mencoba membebaskan Melanie, mencoba membiarkannya keluar. Aku tidak bisa menemukan lubang pintu. Kedua tanganku, yang masih milikku, dengan sia-sia mencengkeram benda-benda yang tak pernah bisa kujadikan senjata.
Terdengar  suara tercebur pelan ketika sesuatu memasuki sungai yang mengalirkan air kolam ke dalam kakus. Hanya beberapa meter jaraknya.
Serahkan kedua tanganmu kepadaku!
Aku tidak tahu caranya! Ambil sajalah!
Aku mulai merayap pergi, merapat ke dinding, menuju lubang keluar. Melanie berjuang menemukan jalan keluar dari kepalaku, tapi ia juga tak bisa menemukan pintunya.
Kembali terdengar suara. Bukan di sungai yang jauh. Suara napas, di lubang keluar. Aku terpaku di tempat.
Mana Kyle?
Aku tak tahu! Sekali lagi aku tidak bisa mendengar apa-apa kecuali suara sungai. Apakah Kyle sendirian? Apakah seseorang sedang menunggu di lubang pintu, untuk menangkapku ketika Kyle menggiringku mengelilingi kolam? Seberapa dekat Kyle sekarang?
Kurasakan bulu kudukku meremang. Ada semacam tekanan di udara, seakan aku bisa merasakan gerakan-gerakan bisu kyle. Pintu. Aku setengah berbalik, kembali ke arah datangku. Menjauh dari tempatku mendengar suara napas.
Kyle tak bisa menunggu selamanya. Dari perkataannya yang sedikit, aku tahu ia terburu-buru. Seseorang bisa datang kapan saja. Tapi peluang ada di pihaknya. Lebih sedikit jumlah orang yang cenderung akan menghentikannya, jika dibandingkan jumlah mereka yang mungkin menganggap ini yang terbaik. Dan dari jumlah mereka yang cenderung menghentikannya, ada lebih sedikit lagi yang berpeluang melakukannya. Hanya Jeb dan senapannya yang bisa membuat perbedaan. Setidaknya Jared sama kuatnya dengan Kyle, tapi Kyle lebih termotivasi. Kini Jared mungkin tidak bersedia melawannya.
Kembali terdengar suara. Apakah itu langkah kaki di dekat pintu? Atau hanya imajinasiku? Berapa lama pergelakan diam-diam ini akan berlangsung? Tak bisa kutebak berapa banyak detik atau menit yang telah berlalu.
Bersiaplah. Melanie tahu penundaan itu akan segera berakhir. Ia ingin aku mencengkeram batu lebih erat.
Tapi aku akan menggunakan kesempatan untuk kabur lebih dulu. Aku bukan petarung efektif, meskipun aku bisa memaksa mencobanya. Bobot Kyle mungkin dua kali bobotku, dan jangkauan tangannya lebih panjang.
Kuangkat tanganku yang menggenggam kerikil, dan kuarahkan ke jalan belakang menuju kakus. Mungkin aku bisa membuat Kyle berpikir aku hendak bersembunyi dan mengharapkan pertolongan. Kulemparkan segenggam batu kecil itu, lalu aku menjauh dari kebisingan yang terdengar ketika batu-batu itu berkelotak menghantam dinding batu.
Kembali terdengar suara napas di pintu; suara langkah ringan menuju pancinganku. Aku berjalan merapat sepelan mungkin di sepanjang dinding.
Bagiamana jika ada dua orang?
Aku tak tahu.
Aku nyaris mencapai lubang keluar. Kalau saja aku bisa mencapai terowongan, pikirku. Aku bisa mengalahkan Kyle dalam berlari. Aku lebih ringan dan lebih cepat.
Kudengar suara langkah kaki, kali ini sangat jelas, mengusik sungai di belakang ruangan. Aku merayap lebih cepat.
Suara tercebur keras membuyarkan harapanku. Air menciprati kulitku, membuatku terkesiap. Air menciprati dinding dalam gelombang suara basah.
Ia datang lewat kolam! Lari!
Kebimbanganku hanya sedetik terlalu lama. Tangan yang besar mencengkeram betisku, menyambar pergelangan kakiku. Kusentakkan cengkeraman itu seraya terhuyung – huyung maju. Aku tersandung, dan momentum yang melempar tubuhku ke lantai membuat jemari Kyle menggelincir. Ia menangkap sepatu karetku. Aku menendangnya, meninggalkan sepatu itu di tangannya.
Aku jatuh, tapi Kyle juga jatuh. Itu memberiku cukup waktu untuk merangkak maju, membuat lututku robek terkena batu kasar.
Kyle menggeram, tangannya mencengkeram tumitku yang telanjang. Tangannya tergelincir; aku kembali meluncur bebas. Aku menggeliat maju, menyeret tubuhku dengan kepala masih di bawah, bisa terjatuh kapan saja, karena tubuhku bergerak nyaris sejajar dengan lantai. Aku menjaga keseimbanganku dengan tekad bulat.



Tak ada orang lain. Tak seorang pun akan menangkapku di lubang keluar menuju ruangan luar. Aku lari maju, harapan dan adrenalin membanjiri pembuluhku. Aku memasuki ruang bersungai dengan kecepatan penuh; satu-satunya perkiraanku adalah mencapai terowongan. Aku bisa mendengar napas Kyle yang berat tepat di belakangku, tapi tidak terlalu dekat. Dengan setiap langkah kudorong diriku semakin keras, kulempar tubuhku menjauh darinya.
Rasa nyeri menusuk kakiku, meremas-remasnya.
Di antara gemuruh sungai kudengar dua batu berat menghantam tanah dan berguling—batu yang tadi kucengkeram dan batu yang dilempar Kyle untuk melumpuhkanku. Kakiku terkilir, terpilin dan menjatuhkan tubuhku ke tanah. Dan pada detik yang sama Kyle menindihku.
Bobot tubuhnya membenturkan kepalaku ke batu dengan suara berdenging, dan menjepit tubuhku rata dengan lantai. Mustahil untuk bangkit.
Berteriaklah!
Udara berhembus keluar dari mulutku denganlengkingan yang mengejutkan kami. Jeritan tanpa kata itu lebih daripada yang kuharapkan—pasti seseorang bakal mendengarnya. Semoga orang itu Jeb. Semoga ia membawa senapan.

“Uhng!” protes Kyle. Tangannya cukup besar untuk menutupi sebagian besar wajahku. Telapak tangannya menekan mulutku, menghentikan teriakanku.


Lalu Kyle berguling, dan gerakan itu begitu mengejutkanku sehingga aku tak punya waktu untuk mencoba memanfaatkannya. Dengan cepat ia menarikku ke atas, ke bawah, lalu ke atas tubuhnya lagi. Aku pusing dan bingung, kepalaku masih berputar-putar, tapi aku langsung mengerti ketika wajahku menyentuh air.
Tangan Kyle mencengkeram tengkukku, membenamkan wajahku ke dalam sungai dangkal berair sejuk yang berliku-liku memasuki kolam mandi. Terlambat untuk menahan napas. Aku sudah menghirup banyak air.
Tubuhku berubah panic ketika air menyerang paru-paruku. Gerak meronta-ronta tubuhku lebih kuat daripada yang diharapkan Kyle. Semua tungkaiku menyentak dan menendang ke segala arah, dan cengkeraman Kyle di leherku tergelincir. Ia mencoba mencengkeram lebih erat, dan semacam insting membuatku mengangkat tubuh ke arahnya, bukan menjauhinya seperti yang ia harapkan. Aku hanya mengangkat tubuhku setengah kaki lebih dekat, tapi tindakan itu membuat daguku keluar dari sungai, dan cukup bagi mulutku untuk mengeluarkan kembali sebagian air serta menarik napas.
Kyle berjuang mendorongku kembali ke sungai, tapi aku menggeliat-geliat dan mengganjalkan tubuhku di bawahnya, sehingga bobot tubuhnya sendiri mengkhianatinya. Aku masih bereaksi terhadap air di dalam paru-paruku, terbatuk-batuk dan menggelepar – gelepar di luar kendali.
“Cukup!” raung Kyle.
Ia menjauh dariku, dan aku mencoba menyeret tubuhku menjauhinya.
“Oh, tidak, tidak boleh!” Kyle meludah lewat sela-sela gigi.
Sudah berakhir, dan aku tahu itu.
Ada sesuatu yang salah dengan kakiku yang terluka. Mati rasa, dan aku tak bisa menyuruhnya melakukan apa yang kuinginkan. Aku hanya bisa menyeret tubuhku di sepanjang lantai dengan sepasang lengan dan satu kaki. Aku bahkan tak mampu melakukannya dengan baik karena masih terbatuk-batuk keras. Terlalu berat bagiku untuk kembali menjerit.
Kyle meraih pergelangan tanganku dan menarikku berdiri. Bobotku membuat kakiku goyah, dan aku merosot menimpa tubuhnya.
Kyle mencengkeram pergelangan tanganku dengan sebelah tangannya, lalu tangan yang lain membelit pinggangku. Ia menarikku dari lantai, ke sisinya, seperti karung goni kaku. Aku menggeliat, dan kakiku yang tidak cedera menendang udara kosong.
“Ayo kita selesaikan.”
Kyle melompati sungai kecil itu dengan cekatan, lalu menyeretku menuju lubang terdekat di lantai gua. Uap dari mata air panas menyapu wajahku. Kyle hendak melemparku ke lubang gelap panas itu dan membiarkan air mendidih menarikku ke dalam tanah seraya membakarku.
Aku meronta panic. Lututku menghantam salah satu kolom batu yang longgar, dan kukaitkan kakiku di sana. Aku mencoba menyentakkan tubuh agar terlepas dari cengkeramannya. Kyle menarikku seraya menggeram tidak sabar.
Setidaknya tindakanku cukup mengendurkan cengkeramannya, sehingga aku bisa melakukan satu gerakan lagi. Pernah berhasil sebelumnya, jadi kucoba lagi. Bukannya mencoba membebaskan diri, aku malah berputar dan membelitkan kedua kakiku di pinggang Kyle. Kukaitkan pergelangan kakiku yang tidak cedera pada pergelangan kakiku yang lain, mencoba mengabaikan rasa sakit sehingga kedua kakiku bisa mencengkeram dengan baik.
“Lepaskan aku, kau—“ Kyle berjuang melepaskan diri, dan aku menarik satu pergelangan tanganku. Kubelitkan lengan itu di lehernya, dan kucengkeram rambut tebalnya. Seandainya aku terjatuh ke sungai hitam itu, ia akan jatuh bersamaku.
Kyle mendesis dan berhenti menarik kakiku cukup lama untuk memukul pinggangku.
Aku menghela napas kesakitan, tapi sebelah tanganku berhasil meraih rambutnya.
Kyle membelitkan kedua lengannya di tubuhku, seakan kami sedang berpelukan dan bukan bergulat untuk saling membunuh. Lalu Kyle meraih pinggangku dari dua sisi, dan dengan segenap tenaga melepaskan diri dari cengkeramanku.
Rambut Kyle mulai tercerabut di kedua tanganku, tapi ia hanya menggeram dan semakin kuat menarik tubuhnya.
Aku bisa mendengar air panas bergemuruh di dekatku, sepertinya tepat di bawahku. Uap membumbung membentuk awan tebal, dan sejenak aku tak bisa melihat apa-apa kecuali wajah Kyle yang menyeringai marah, mirip sesuatu yang buas dan tak kenal ampun.
Kurasakan kakiku yang cedera menyerah. Aku mencoba semakin merapat pada Kyle, tapi kekuatannya yang luar biasa menang melawan keputusasaanku. Sebentar lagi ia akan terlepas dariku, dan aku jatuh ke dalam uap mendesis itu, lalu lenyap.
Jared! Jamie! Pikiran itu, penderitaan itu milik kami berdua—aku dan Melanie. Mereka takkan pernah tahu apa yang terjadi padaku. Ian. Jeb. Doc. Walter. Tak ada ucapan selamat tinggal.
Dengan cepat Kyle melompat ke udara, lalu jatuh dengan bunyi berdebum. Akibatnya persis seperti yang ia inginkan: kedua kakiku lepas dari tubuhnya.
Tapi sebelum Kyle bisa memanfaatkan tindakannya, muncul akibat lain.
Terdengar suara patah yang memekakkan telinga. Kupikir seluruh gua runtuh. Lantai bergetar di bawah kami.
Kyle terkesiap, lalu melompat mundur, dengan membawaku-karena kedua tanganku masih mencengkeram rambutnya—bersamanya. Disertai lebih banyak lagi suara patah dan geraman, batu di bawah kaki Kyle mulai longsor.
Bobot gabungan kami telah mematahkan bibir lubang yang rapuh. Ketika Kyle terhuyung-huyung menjauh, retakan lantai mengikuti langkah kakinya yang berat, dan bergerak lebih cepat daripadanya.
Sepetak lantai lenyap dari bawah tumit Kyle, menjatuhkan tubuhnya dengan bunyi berdebum. Bobotku mendorong tubuh Kyle ke belakang dengan keras, dan kepalanya membentur keras pilar batu. Sepasang lengannya terlepas dariku, terkulai.
Suara lantai retak berubah jadi geraman tertahan. Bisa kurasakan getarannya di bawah tubuh Kyle.
Aku berada di atas dada Kyle. Kaki kami menggantung di atas ruang kosong, uap air mengembun menjadi jutaan tetes air di kulit kami.
“Kyle?”
Tak ada jawaban.
Aku takut untuk bergerak.
Kau harus menyingkir darinya. Kalian terlalu berat. Hati-hati—gunakan pilarnya. Menjauhlah dari lubang.
Seraya mengerang ketakutan, merasa terlalu ngeri untuk berpikir bagi diriku sendiri, aku melakukan perintah Melanie. Kubebaskan jemariku dari rambut Kyle, lalu terhuyung-huyung turun dari tubuhnya yang tidak sadarkan diri, menggunakan pilar sebagai jangkar untuk menarikku maju. Rasanya cukup stabil, tapi lantai masih mengerang di bawah kami.
Kutarik tubuhku melewati pilar, menuju lantai di baliknya. Tanahnya tetap kokoh di bawah sepasang tangan dan lututku, tapi aku merangkak lebih jauh, menuju keamanan terowongan jalan keluar.
Kembali terdengar suara retakan, dan aku menoleh. Satu kaki Kyle turun semakin dalam ketika batu di bawahnya lepas. Kali ini aku mendengar bunyi tercebur saat bongkahan batu menyentuh sungai di bawah sana. Tanah bergetar di bawah bobot tubuh Kyle.
Ia akan terjatuh, pikirku tersadar.


Bagus, geram Melanie.
Tapi…
Jika ia terjatuh, ia tidak bisa membunuh kita, Wanda. Jika ia tidak terjatuh, ia akan membunuh kita.
Aku tidak bisa…
Ya, kau bisa. Berjalanlah pergi. Tidakkah kau ingin hidup?
Memang. Aku ingin hidup.
Kyle bisa saja menghilang. Dan jika demikian, kemungkinan tak seorang pun akan menyakitiku lagi. Setidaknya di antara orang-orang di sini. Masih ada Pencari yag harus dipikirkan, tapi mungkin suatu hari nanti ia akan menyerah, lalu aku bisa tinggal di sini seterusnya bersama manusia-manusia yang kucintai…
Kakiku berdenyut-denyut, rasa sakit menggantikan sebagian mati rasanya. Cairan hangat menetes dari bibirku. Kurasakan kelembapan itu tanpa berpikir, lalu kusadari itu darahku.
Berjalanlah pergi, Wanda. Aku ingin hidup. Aku juga menginginkan  pilihan.
Bisa kurasakan getaran-getarannya dari tempatku berdiri. Sepetak lantai lagi tercebur ke sungai. Bobot tubuh Kyle bergeser, dan ia meluncur satu senti menuju lubang.
Biarkan ia pergi.
Kutatap wajah lelaki yang akan mati itu—lelaki yang menginginkan kematianku. Dalam ketidaksadarannya, wajah Kyle tak lagi menyerupai hewan marah. Ekspresinya tenang, nyaris damai.
Kemiripannya dengan adiknya sangat jelas terlihat.
Tidak! Protes Melanie.
Aku merangkak mendekati Kyle, perlahan-lahan, merasakan tanah dengan cermat setiap kali bergerak satu senti. Aku terlalu takut untuk merangkak lebih jauh dari pilar, jadi kukaitkan kakiku yang tidak cedera di sana. Pilar itu kembali menjadi jangkar, dan aku membungkuk untuk menyisipkan sebelah tanganku ke bawah lengan Kyle dan sebelah lagi ke atas dadanya.


Aku menarik begitu keras sampai kedua lenganku nyaris copot dari persendian, tapi Kyle tidak bergerak. Ketika lantai terus hancur menjadi serpihan-serpihan kecil, aku mendengar suara seperti pasir menetes di dalam jam pasir.
Aku kembali menarik tubuh Kyle, tapi suara menetes itu semakin gencar. Hanya itu hasil yang kuperoleh. Menggeser bobot Kyle membuat lantai hancur lebih cepat.


Tepat ketika aku sedang memikirkan hal itu, sebongkah batu besar terjun ke dalam sungai, menumbangkan keseimbangan Kyle yang rapuh. Ia mulai terjatuh.
“Tidak!” teriakku. Lengkingan itu kembali meledak dari tenggorokanku. Kuratakan tubuhku dengan pilar, dan aku berhasil menjepit tubuh Kyle ke balik pilar. Kurangkulkan kedua tanganku pada bahunya yang bidang. Lenganku nyeri.
“Tolong!” teriakku. “Tolong! Tolong!”

The Host - Bab 31

0 comments


Dibutuhkan

Aku terpaku, lalu cepat-cepat mengengok ke belakang untuk melihat apakah ada orang di belakangku.
“Gladys mendiang istrinya,” bisik Jamie pelan. “Dia tidak berhasil lolos.”
“Gladys,” ujar Walter kepadaku, tanpa menyadari reaksiku. “Percayakah kau, aku lolos dan malah mengidap kanker? Apa gunanya? Aku tak pernah sakit sepanjang hidupku…” Suaranya menghilang sampai aku tak bisa mendengarnya, tapi bibirnya terus bergerak. Ia terlalu lemah untuk mengangkat tangan; jemarinya merayap sendiri ke pinggir dipan, ke arahku.
Ian menyikutku agar maju.
“Aku harus apa?” bisikku. Keringat yang membasahi keningku tak ada hubungannya dengan udara panas yang lembap itu.
“…Granpa hidup sampai seratus satu tahun.” Walter tersengal-sengal, suaranya kembali terdengar. “Tak seorang pun pernah mengidap kanker dalam keluargaku, bahkan juga sepupu-sepupuku. Tapi Aunt Regan-mu mengidap kanker kulit, kan?”
Walter memandangku dengan penuh kepercayaan, menanti jawaban. Ian mendorong punggungku.
“Um…,” gumamku.
“Mungkin itu bibi Bill,” sela Walter.
Dengan panic aku melirik Ian yang mengangkat bahu. “Tolong,” bisikku kepadanya.
Ian member isyarat padaku untuk meraih jemari Walter yang masih mencari-cari.
Kulit Walter seputih kapur dan tembus pandang. Bisa kulihat denyut lemah darah di dalam pembuluh biru di punggung tangannya. Aku mengangkat tangannya dengan hati-hati, mencemaskan tulang-tulang kurus yang kata Jamie sangat raputh. Terasa sangat ringan, seakan berongga.
“Ah, Gladdie, berat sekali hidup tanpamu. Ini tempat menyenangkan, kau akan suka, bahkan setelah kepergianku. Banyak orang untuk diajak bicara—aku tahu betapa kau perlu bercakap-cakap…” Volume suara Walter merendah sampai aku tak bisa memahami kata-katanya lagi, tapi bibirnya masih membentuk kata-kata yang ingin ia ucapkan kepada istrinya. Bibirnya terus bergerak, walaupun matanya terpejam dan kepalanya terkulai ke samping.
Ian menemukan lagi lap basah dan mulai mengusap wajah mengilat Walter.
“Aku tidak pintar dalam… dalam berbohong,” bisikku. Kuamati bibir Walter yang bergumam, untuk memastikan ia tidak sedang mendengarkanku. “Aku tidak ingin mengecewakannya.”
“Kau tak perlu mengatakan apa pun,” ujar Ian meyakinkanku. “Dia tidak cukup sadar untuk peduli.”
“Apakah aku mirip istrinya?”
“Sama sekali tidak—aku pernah melihat fotonya. Gemuk pendek dan berambut merah.”
“Sini, biar aku saja yang melakukannya.”
Ian menyerahkan lap itu kepadaku, dan aku mengusap keringat dari leher Walter. Tangan yang sibuk selalu membuatku merasa lebih nyaman. Walter terus bergumam, Kurasa aku mendengarnya berkata, “Terima kasih, Gladdie, enak sekali.”
Aku tidak memperhatikan dengkur Doc sudah berhenti. Suaranya yang kukenal tiba-tiba terdengar di belakangku. Nadanya sangat lembut hingga tidak mengejutkanku.
“Bagaimana keadaannya?”
“Mengigau,” bisik Ian. “Karena brendi atau karena rasa sakit?”
“Kurasa lebih dikarenakan rasa sakitnya. Aku bersedia menukar lengan kananku untuk mendapatkan morfin.”
“Mungkin Jared akan kembali membawa keajaiban,” saran Ian.
“Mungkin,” desah Doc.
Aku mengusap wajah pucat Walter sambil melamun, dan kini aku mendengarkan dengan lebih saksama, tapi mereka tidak membicarakan Jared lagi.
Tidak ada di sini, bisik Melanie.
Sedang mencari pertolongan untuk Walter, ujarku mengiyakan.
Sendirian, imbuhnya.
Kuingat saat terakhir aku bertemu Jared—ciuman itu, keyakinan itu… Mungkin ia perlu menyendiri beberapa waktu.
Kuharap ia tidak berada di luar sana, dan kembali meyakinkan dirinya kau aktris yang sangat berbakat-sekaligus-Pencari…
Itu mungkin saja.
Melanie menggeram dalam kebisuan.
Ian dan Doc bergumam dengan suara rendah, membicarakan hal-hal remeh. Yang terutama, Ian menceritakan kepada Doc mengenai apa yang terjadi di ruang-ruang gua.
“Ada apa dengan wajah Wanda?” bisik Doc, walaupun aku masih bisa  dengan mudah mendengarnya.
“Kurang-lebih sama,” jawab Ian dengan nada kesal.
Doc menghembuskan napas dengan tidak senang, lalu berdecak.
Ian sedikit bercerita mengenai kelasku yang canggung malam ini, mengenai pertanyaan-pertanyaan Geoffrey.
“Akan menyenangkan seandainya Melanie dikuasai Penyembuh,” renung Doc.
Aku mengernyit, tapi mereka berada di belakangku dan mungkin tidak memperhatikan.
“Kita beruntung Wanda yang menguasainya,” gumam Ian membelaku. “Tak ada—“
“Aku tahu,” sela Doc, yang selalu berbaik hati. “Kurasa yang seharusnya kukatakan adalah, sayang sekali Wanda tidak terlalu tertarik pada pengobatan.”
“Maaf,” gumamku. Aku memang ceroboh, memetik manfaat kesehatan yang sempurna tanpa pernah penasaran mengenai penyebabnya.
Sebuah tangan menyentuh bahuku. “Kau tak perlu meminta maaf untuk apa pun,” ujar Ian.
Jamie diam saja. Aku menoleh dan melihatnya meringkuk di dipan yang tadi ditiduri Doc.
“Sudah malam,” ujar Doc. “Walter tidak akan ke mana-mana mala mini. Kalian harus tidur.”
“Kami akan kembali,” janji Ian. “Katakan saja, apa yang bisa kami bawa untuk kalian berdua.”
Kuletakkan tangan Walter, lalu kutepuk dengan hati-hati. Mata Walter langsung terbuka, lalu ia memusatkan pandangan dengan lebih banyak kesadaran daripada sebelumnya.
“Kau mau pergi?” Tanya Walter tersengal. “Apakah kau harus pergi secepat ini?”
Cepat-cepat kuraih lagi tangannya. “Tidak. Aku tidak perlu pergi.”
Walter tersenyum dan kembali memejamkan mata. Jemarinya mencengeram jemariku dengan tenaganya yang rapuh.
Ian mendesah.
“Kau bisa pergi,” kataku kepadanya. “Aku tidak keberatan. Bawa Jamie kembali ke tempat tidurnya.”
Ian melirik ke sekeliling ruangan. “Tunggu sebentar,” ujarnya. Lalu ia meraih dipan yang terdekat dengannya. Tidak berat—ia mengangkatnya dengan mudah dan meletakkannya di samping dipan Walter. Kurentangkan tanganku sejauh mungkin, berusaha untuk tidak mengejutkan Walter, sehingga Ian bisa mengatur dipan itu dibawah lenganku. Lalu Ian mengangkat tubuhku dengan sama mudahnya, dan meletakkanku di dipan di samping Walter. Mata Walter tetap terpejam. Diam-diam aku menghela napas dengan terkejut, terperangah melihat betapa Ian bisa meletakkan kedua tangannya dengan santai di tubuhku—seakan aku manusia.
Ian mengarahkan dagunya ke tnagan Walter yang mencengkeram erat tanganku. “Kau bisa tidur dengan tangan seperti itu?”
“Ya, aku yakin bisa.”
“Kalau begitu, selamat tidur.” Ia tersenyum kepadaku, lalu berbalik dan mengangkat Jamie dari dipan lain. “Ayo pergi, Nak,” gumamnya. Ia menggendong anak itu tanpa susah payah, seolah Jamie masih bayi. Langkah pelan Ian terdengar sayup-sayup di kejauhan, lalu aku tak bisa mendengarnya lagi.
Doc menguap, lalu duduk di belakang meja yang disusunnya dari peti-peti kayu dan pintu alumunium. DIbawanya lampu suram itu bersamanya. Wajah Walter terlalu gelap untuk dilihat, dan itu membuatku gelisah. Rasanya seakan ia sudah pergi. Aku menghibur diri dengan jemarinya yang masih menggenggam erat jemariku.
Doc mulai membongkar-bongkar kertas, bersenandung dengan suara nyaris tak terdengar. Aku tertidur mendengar suara gemersik lembut itu.
Walter mengenaliku keesokan paginya.
Ia terbangun ketika Ian muncul untuk menemaniku kembali. Ladang jagung harus dibersihkan dari batang-batang jagung tua. Aku berjanji kepada Doc untuk membawakannya sarapan sebelum mulai bekerja. Hal terakhir yang kulakukan adalah melepaskan dengan hati-hati jemariku yang mati rasa, membebaskannya dari cengkeraman Walter.
Mata Walter terbuka. “Wanda,” bisiknya.
“Walter?” Aku tak yakin berapa lama ia akan mengenaliku, atau apakah ia akan ingat kejadian semalam. Tangannya mencengkeram udara kosong, jadi kuserahkan tangan kiriku, tangan yang tidak mati rasa.
“Kau datang menengokku. Baik sekali. Aku tahu… dengan kepulangan mereka… pasti berat… bagimu… Wajahmu…”
Tampaknya Walter mengalami kesulitan untuk memerintahkan bibirnya membentuk kata-kata, dan matanya berubah-ubah antara terfokus dan tidak. Betapa baik hatinya; kata-kata pertamanya untukku penuh dengan kekhawatirkan.
“Semuanya baik-baik saja, Walter. Bagaimana denganmu?”
“Ah—“ Ia mengerang pelan. “Tidak begitu… Doc?”
“Aku di sini,” gumam Doc, persis di belakangku.
“Punya minuman keras lagi?” Tanya Walter terengah-engah.
“Tentu saja.”
Doc sudah siap. Ia mendekatkan mulut sebuah botol kaca tebal ke bibir Walter yang terbuka, lalu dengan hati-hati menuangkan cairan cokelat gelap itu dalam bentuk tetesan pelan ke dalam mulutnya. Walter mengernyit ketika setiap tegukan membakar tenggorokannya. Sebagian cairan menetes dari sudut mulutnya ke atas bantal. Baunya menusuk hidungku.
“Sudah lebih baik?” Tanya Doc, setelah menuang cairan itu perlahan-lahan untuk waktu lama.
Walter mengerang. Kedengarannya ia tidak setuju. Matanya terpejam.
“Lagi?” Tanya Doc.
Walter menyeringai, lalu mengerang.
Doc memaki dengan suara berbisik. “Mana Jared?” gumamnya.
Aku mengejang mendengar nama itu. Melanie bergerak, lalu kembali melamun.
Wajah Walter mengendur. Kepalanya mendongak ke belakang.
“Walter?” bisikku.
“Dia terlalu kesakitan untuk tetap tersadar. Biarkan saja,” ujar Doc.
Tenggorokanku tercekat. “Apa yang bisa kulakukan?”
Suara Doc terdengar putus asa. “Sama seperti yang bisa kulakukan. Tak ada. Aku tak berguna.”
“Jangan begitu, Doc,” gumam Ian. “Ini bukan salahmu. Dunia tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tak seorang pun berharap lebih darimu.”
Bahuku merosot. Tidak, dunia mereka memang tak lagi berjalan sebagaimana mestinya.
Satu jari mengetuk lenganku. “Ayo, pergi,” bisik Ian.
Aku mengangguk dan mulai menarik tanganku untuk membebaskannya.
Mata Walter berputar, lalu terbuka, tanpa melihat apa-apa. “Gladdie? Kau di sini?” tanyanya.
“Um… aku di sini,” jawabku bimbang, membiarkan jemari Walter mencengkeram jemariku.
Ian mengangkat bahu. “Akan kubawakan makanan untuk kalian,” bisikknya, lalu pergi.
Dengan cemas aku menunggu Ian kembali. Kesadaran Walter yang lemah membuatku takut. Ia menggumamkan nama Gladys berulang kali, tapi tampaknya tidak memerlukan apa-apa dariku, dan aku bersyukur karenanya. Setelah beberapa saat, mungkin setengah jam, aku mulai menantikan langkah Ian di terowongan, bertanya-tanya apa yang membuatnya begitu lama.
Setelah tadi Doc berdiri di samping meja, menatap kekosongan dengan bahu merosot. Mudah untuk melihat betapa ia merasa dirinya tak berguna.
Lalu aku benar-benar mendengar sesuatu, tapi bukan langkah kaki.
“Apa itu?” tanyaku kepada Doc dengan suara berbisik; Walter sudah kembali tenang, mungkin tak sadarkan diri. Aku tidak ingin mengganggunya.
Doc berbalik memandangku, memiringkan kepala untuk mendengarkan.
Suara itu seperti nada monoton aneh, bagaikan ketukan pelan cepat. Kupikir suara itu terdengar sedikit lebih keras, tapi kemudian berubah pelan lagi.
“Aneh,” ujar Doc. “Kedengarannya hampir seperti…” Ia terdiam, keningnya mengernyit berkonsentrasi ketika suara tak dikenal itu menghilang.
Kami mendengarkan dengan saksama, terdengar suara langkah yang masih di kejauhan. Suaranya tidak sesuai dengan harapan kami, yaitu langkah teratur kedatangan Ian. Langkah ini lari—tidak, lari cepat.
Doc langsung bereaksi terhadap suara mencemaskan itu. Ia cepat-cepat lari keluar menjumpai Ian. Aku juga berharap bisa mengetahui masalahnya, tapi tak ingin mencemaskan Walter dengan mencoba membebaskan tanganku lagi. Jadi aku mendengarkan baik-baik.
“Brandt?” Kudengar Doc berkata terkejut.
“Mana mahluk itu? Mana mahluk itu?” desak Brandt terengah-engah. Suara langkah berlari itu hanya berhenti sedetik, lalu kembali terdengar, walaupun larinya tidak secepat sebelumnya.
“Kau ngomong apa?” Tanya Doc.
“Parasit itu!” desis Brandt tidak sabar, dengan cemas, ketika memasuki lubang masuk melengkung.
Brandt bukan lelaki bertubuh besar seperti Kyle atau Ian. Mungkin ia hanya beberapa senti lebih tinggi dariku, tapi tubuhnya kekar dan padat seperti badak. Matanya menyapu ruangan; pandangannya yang menusuk terpusat ke wajahku selama setengah detik, lalu beralih ke sosok Walter yang tak sadarkan diri, lalu melesat mengelilingi ruangan, dan berakhir kembali di wajahku.
Doc berhasil menyusul Brandt. Jemari Doc yang panjang mencengkeram bahu Brandt, tepat ketika lelaki yang lebih kekar itu maju satu langkah ke arahku.
“Kau mau apa?” Tanya Doc. Suaranya mirip geraman.
Sebelum Brandt menjawab, suara aneh itu kembali terdengar, awalnya pelan lalu sangat keras, kemudian mendadak berubah pelan kembali, sampai kami terpaku. Ketukan-ketukan itu berkesinambungan, mengguncang udara ketika suaranya terdengar paling keras.
“Apakah itu—apakah itu helicopter?” Tanya Doc berbisik.
“Ya,” bisik Brandt menjawab. “Itu Pencari—Pencari yang sama dengan sebelumnya. Sedang mencari mahluk itu.” Ia mneyentakkan dagunya ke arahku.


Tenggorokanku tiba-tiba tercekat—aliran napas yang bergerak melewatinya berubah pendek dan lemah, tidak mencukupi. Aku merasa pening.
Jangan. Jangan sekarang. Kumohon.
Ada apa dengan Pencari itu? Mel menggeram di dalam kepalaku. Mengapa ia terus mengganggu kita?
Kita tidak bisa membiarkannya melukai mereka!
Tapi bagaimana cara kita menghentikannya?
Aku tak tahu. Ini semua salahku!
Salahku juga, Wanda. Salah kita.
“Kau yakin?” Tanya Doc.
“Ketika Pencari itu berkeliaran, Kyle bisa melihatnya dengan jelas lewat binocular. Pencari yang sama dengan yang pernah dilihatnya sebelumnya.”
“Apakah dia mencari di sini?” Suara Doc tiba-tiba terdengar ketakutan. Ia setengah berputar, matanya melirik lubang keluar. “Mana Sharon?”
Brandt menggeleng. “Pencari itu hanya menyapu wilayah. Di mulai dari Picacho, lalu menyebar ke mana-mana. Sepertinya tidak memusatkan perhatian pada sesuatu di dekat sini. DIa berputar-putar beberapa kali di tempat kita membuang mobil itu.”
“Sharon?” Tanya Doc lagi.
“Dia bersama anak-anak dan Lucina. Mereka baik-baik saja. Kaum lelaki sedang mengemasi barang-barang, kalau-kalau kita harus bergerak malam ini. Tapi menurut Jeb itu tak mungkin.”
Doc menghembuskan napas, lalu berjalan ke mejanya. Ia bersandar di sana, seakan baru saja lari jarak jauh. “Jadi sebenarnya tak ada sesuatu yang baru,” gumamnya.
“Tidak. Kita hanya harus bersembunyi selama beberapa hari,” ujar Brandt meyakinkan Doc. Matanya kembali melirik sekeliling ruangan, dan setiap detiknya beralih kepadaku. “Punya tali?” tanyanya kepada Doc. Ia menarik ujung seprai salah satu dipan yang kosong, lalu menelitinya.
“Tali?” Tanya Doc datar.
“Untuk parasit itu. Kyle mengirimku ke sini untuk mengamankannya.”
Tanpa sadar otot-ototku berkontraksi; tanganku mencengkeram jemari Walter terlalu erat, dan ia mengerang. Aku mencoba memaksakan tanganku agar tetap santai, seraya tetap mengarahkan pandangan pada wajah keras Brandt. Ia sedang menunggu Doc, penuh harap.
“Kau di sini untuk mengamankan Wanda?” Tanya Doc. Suaranya kembali mengeras. “Dan apa yang membuatmu berpikir tindakan itu diperlukan?”
“Ayolah, Doc. Jangan tolol. Kau punya beberapa lubang ventilasi besar di sini, dan banyak logam reflektif.” Brandt menunjuk lemari arsip di dinding yang jauh. “Jika kau membiarkan perhatianmu berkelana selama setengah menit, dia akan mengirimkan sinyal kepada Pencari itu.”
Aku menghela napas dengan terkejut; suaranya terdengar keras di dalam ruang yang hening itu.
“Benar, kan?” ujar Brandt. “Kurasa itu salah satu rencananya.”
Aku ingin membenamkan diri ke bawah batu, bersembunyi dari mata menonjol kejam Pencari-ku, tapi Brandt malah membayangkan aku ingin menuntun Pencari masuk. Membawanya kemari untuk membunuh Jared, Jeb, Ian… Rasanya aku kepingin muntah.
“Kau bisa pergi, Brandt,” ujar Doc dingin. “Aku akan mengawasi Wanda.”
Brandt mengangkat sebelah alisnya. “Ada apa dengan kalian? Denganmu, Ian, Trudy, dan yang lainnya? Seolah kalian semua terhipnotis. Seolah mata kalian reflektif, aku terpaksa bertanya-tanya…”
“Silahkan bertanya-tanya sesukamu, Brandt. Tapi keluarlah dari sini.”k
Brandt menggeleng. “Aku harus melakukan sesuatu.”
Doc menghampiri Brandt, lalu berhenti ketika sudah berada di antara aku dan Brandt. Ia bersedekap.
“Kau tidak akan menyentuhnya.”
Baling-baling helicopter yang berdentam-dentam terdengar di kejauhan. Kami diam tak bergerak, menahan napas, sampai suara itu menghilang.
Brandt menggeleng ketika keadaan kembali hening. Ia tidak bicara; hanya berjalan menuju meja dan mengangkat kursi Doc. Ia membawanya ke dinding di samping lemari arsip, menghujamkannya ke tanah, lalu duduk dengan mengempaskan tubuh, membuat kaki-kaki logam kursi itu berderit di batu. Ia membungkuk, kedua tangan di lutut, menatapku. Hering sedang menunggu kelinci sekarat berhenti bergerak.
Rahang Doc menegang, menciptakan suara letupan kecil.
“Gladys,” gumam Walter, tersadar dari ketidaksadarannya. “Kau di sini.”
Terlalu menggelisahkan bagiku untuk bicara, dengan brandt mengawasi, jadi aku hanya menepuk-nepuk tangan Walter. Mata berkabutnya meneliti wajahku, melihat raut wajah yang tak hadir di sana.
“Sakit, Gladdie. Sakit sekali.”
“Aku tahu,” bisikku. “Doc?”
Doc sudah ada di sana, dengan brendi di tangan. “Buka mulutmu, Walter.”
Suara helicopter berdentam pelan; jauh, tapi masih terlalu dekat. Doc tersentak, dan beberapa tetes brendi menciprati tanganku.
Hari yang mengerikan. Yang terburuk dalam kehidupanku di planet ini, bahkan bila hari pertamaku di gua dan hari terakhirku di padang gurun—hanya beberapa jam dari kematian masuk hitungan.


Helikopter itu berputar dan berputar. Terkadang setelah lebih dari satu jam berlalu dan aku mengira helicopter itu sudah pergi, suara itu kembali terdengar, dan aku melihat wajah keras kepala Pencari dalam benakku, matanya yang menonjol meneliti padang gurun kosong, mencari semacam tanda keberadaan manusia. Aku berusaha membuatnya pergi, berkonsentrasi penuh pada ingatan-ingatanku mengenai dataran padang gurun yang tak berwarna dan tak menarik, seakan aku bisa memastikan Pencari tidak melihat apa-apa, seakan aku bisa memaksanya pergi.
Brandt tak pernah mengalihkan pandangan curiganya dariku. Aku bisa terus merasakannya, walaupun jarang memandangnya. Suasana sedikit membaik ketika Ian kembali dengan sarapan sekaligus makan siang. Tubuhnya sangat kotor, akibat berkemas-kemas untuk menghadapi evakuasi—apa pun arti kata itu. Apakah mereka tahu hendak pergi ke mana? Ian memberengut marah, sampai terlihat seperti Kyle, ketika Brandt menjelaskan dengan singkat mengapa ia berada di sana. Lalu Ian menyeret dipan kosong lain ke sampingku, sehingga ia bisa duduk di hadapan Brandt dan menghalangi pandangannya.
Helikopter dan sikap Brandt yang penuh curiga—keduanya tidak begitu buruk. Pada hari biasa—seandainya hari semacam itu benar-benar masih ada—salah satunya mungkin kelihatan menyiksa. Hari ini semuanya tak berarti.
Siangnya Doc sudah memberikan Walter brendi terakhir. Tampaknya baru beberapa menit berlalu ketika Walter menggeliat-geliat, mengerang, dan terengah-engah. Jemarinya membuat jemariku memar dan luka. Tapi kalau aku menariknya, erangan Walter berubah jadi jeritan melengking. Sekali aku keluar untuk ke kamar mandi. Brandt mengikutiku, dan itu membuat Ian merasa harus ikut juga. Saat kami kembali—setelah nyaris berlari sepanjang jalan—jeritan Walter tak lagi terdengar seperti jeritan manusia. Wajah Doc cekung penuh penderitaan. Walter berubah tenang setelah aku bicara dengannya sejenak, membiarkannya mengira istrinya ada di dekatnya. Itu kebohongan yang mudah, kebohongan yang baik. Brandt mengeluarkan sedikit suara-suara jengkel, tapi aku tahu kemarahannya keliru. Tak ada yang penting selain rasa sakit Walter.
Tapi erangan dan geliatan itu berlanjut, dan Brandt mondar-mandir di salah satu ujung ruangan, berusaha menyingkir sejauh mungkin dari suara itu.
Jamie datang mencariku, membawakan makanan cukup untuk empat orang, ketika cahaya di atas kepala berubah mendekati jingga. Aku tidak membiarkan Jamie tetap tinggal; aku meminta Ian membawanya kembali ke dapur untuk makan, dan meminta Ian berjanji untuk mengawasinya semalaman agar ia tidak menyelinap lagi kemari. Walter menjerit ketika geliatan tubuhnya menggerakkan kakinya yang patah, dan suaranya nyaris tak tertahankan. Jamie tak boleh memasukkan malam ini ke dalam ingatannya, seperti yang pasti terjadi denganku dan Doc. Mungkin juga Brandt, walaupun ia berusaha keras mengabaikan Walter. Ia menutup telinga dan menyenandungkan nada-nada sumbang.
Doc tidak berusaha menjauhkan diri dari penderitaan Walter yang mengerikan. Ia malah menderita bersamanya. Teriakan Walter menggoreskan guratan-guratan mendalam di wajah Doc, seperti cakar yang menggaruk kulit.
Rasanya aneh melhat kedalaman kasih sayang seperti itu di dalam diri seorang manusia, terutama Doc. Pandanganku terhadapnya takkan bisa sama lagi, setelah menyaksikannya menghadapi rasa sakit Walter. Begitu besar kasih sayang Doc sehingga tampaknya ia mengalami pendarahan di dalam. Ketika kuamati, mustahil bagiku untuk percaya Doc jahat. Mustahil lelaki itu penyiksa. Kucoba mengingat-ingat, perkataan apa yang mendukung dugaanku—adakah seseorang yang menegaskan tuduhanku? Kurasa tidak. Agaknya aku telah salah menyimpulkan dalam ketakutanku.
Aku ragu apakah bisa kembali mencurigai Doc setelah hari penuh mimpi buruk ini. Namun aku selalu menganggap rumah sakit ini tempat mengerikan.
Ketika cahaya matahari terakhir menghilang, begitu juga helikopternya. Kami duduk dalam gelap, tak berani menyalakan apa pun, bahkan lampu biru suram itu. Perlu beberapa jam sebelum salah satu dari kami percaya perburuan itu telah berakhir. Brandt orang pertama yang menerimanya; ia juga sudah muak dengan rumah sakit itu.
“Masuk akal jika Pencari itu menyerah,” gumam Brandt, seraya beringsut ke lubang luar. “Tak ada yang bisa dilihat di malam hari. Aku akan pergi membawa lampumu, Doc, sehingga parasit peliharaan Jeb tak bisa merencanakan apa-apa.”
Doc tidak menjawab, bahkan tidak memandangi kepergian lelaki pemarah itu.
“Hentikanlah, Gladdie, hentikanlah!” Walter memohon kepadaku. Aku mengusap keringat dari wajahnya, sementara ia meremukkan tanganku.
Waktu tampaknya melambat, lalu berhenti. Malam kelam itu rasanya takkan pernah berakhir. Jeritan Walter semakin lama semakin sering, semakin lama semakin menyiksa.
Melanie berada sangat jauh. Ia tahu dirinya tak bisa melakukan apa pun yang berguna. Aku pasti juga akan bersembunyi, kalau saja Walter tidak membutuhkanku. Aku sendirian di dalam kepalaku—persis seperti yang pernah kuinginkan. Membuatku merasa tersesat.
Akhirnya cahaya abu-abu suram mulai merayap masuk lewat lubang-lubang ventilasi jauh di atas kepala. Aku melayang-layang di ambang tidur, erangan dan jeritan Walter membuatku terjaga. Aku bisa mendengar dengkuran Doc di belakangku. Aku gembira karena ia bisa melarikan diri sejenak.
Aku tidak menengar Jared masuk. Aku sedang menggumamkan penghiburan lemah yang nyaris tak terdengar, mencoba menenangkan Walter.
“Aku di sini, aku di sini,” gumamku, ketika Walter meneriakkan nama istrinya. “Sst, tidak apa-apa.” Kata-kata itu tak berarti. Tapi setidaknya aku mengatakan sesuatu, dan sepertinya suaraku benar-benar menenangkan jeritan-jeritan terburuk Walter.
Aku tak tahu sudah berapa lama Jared mengamatiku dan Walter, sebelum aku menyadari kehadirannya. Mestinya sudah agak lama. Aku yakin reaksi pertamanya adalah marah. Tapi ketika aku mendengarnya bisara, suaranya tenang.
“Doc,” kata Jared, dan aku mendengar dipan di belakangku berguncang. “Doc, bangun.”
Kutarik tanganku, lalu aku berputar bingung, untuk melihat wajah yang sesuai dengan suara yang tak mungkin keliru itu.
Mata Jared memandangku ketika mengguncang-guncang bahu Doc yang sedang tidur. Mustahil untuk membaca mata itu dalam cahaya suram. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apa pun.
Melanie melompat ke dalam kesadaran. Ia meneliti wajah Jared, mencoba membaca pikiran-pikiran di balik topeng itu.
“Gladdie! Jangan pergi! Jangan!” teriakan Walter membuat Doc langsung melompat berdiri, nyaris menggulingkan dipan.
Aku kembali berputar menghadap Walter, lalu menyorongkan tanganku yang sakit ke dalam jemarinya yang mencari-cari.
“Ssst, ssst! Walter, aku di sini. Aku tidak akan pergi. Aku tak akan pergi, aku berjanji.”
Walter berubah tenang, merengek-rengek seperti anak kecil. Kuusapkan lap basah di keningnya; tangisnya berhenti, berubah jadi desahan.
“Ada apa ini?” gumam Jared di belakangku.
“Wanda adalah penghilang nyeri terbaik yang bisa kutemukan,” ujar Doc lelah.
“Well, aku menemukan yang lebih baik daripada Pencari jinak.”
Perutku mengejang, dan Melanie mendesis di dalam kepalaku. Tolol sekali, benar-benar keras kepala, geramnya. Ia takkan percaya, kalaupun kau mengatakan matahari terbenam di barat.
Tapi Doc tak memedulikan sindiran Jared tadi. “Kau menemukan sesuatu!”
“Morfin—tak banyak. Aku bisa pulang lebih cepat seandainya Pencari tidak menghalangiku di luar sana.”
Doc langsung beraksi. Aku mendengarnya menggeledah sesuatu yang seperti kertas, lalu berteriak gembira. “Jared, kau pembawa mukjizat!”
“Doc, tunggu seben…”
Tapi Doc sudah berada di sampingku, wajah kuyunya berseri-seri oleh harapan. Kedua tangannya sibuk dengan jarum suntik kecil. Ia menyuntikkan jarum mungil itu ke lipatan di siku Walter, di lengan yang terhubung dengan tanganku. Aku berpaling. Betapa ngeri rasanya menusukkan sesuatu ke kulit Walter.
Tapi aku tak bisa membantah hasilnya. Dalam setengah menit sekujur tubuh Walter berubah santai, melebur jadi tumpukan daging kendur di atas kasur tipis. Napasnya berubah dari keras dan tersengal menjadi pelan dan teratur. Tangannya mengendur, membebaskan tanganku.
Aku memijat-mijat tangan kiriku dengan tangan kanan, mencoba mengalirkan darah ke ujung jari-jariku lagi. Sedikit rasa tertusuk-tusuk mengikuti aliran darah di bawah kulitku.
“Uh, Doc, tidak cukup untuk itu,” gumam Jared.
Aku mendongak dari wajah Walter yang akhirnya damai. Jared memunggungiku, tapi bisa kulihat keterkejutan di raut wajah Doc.
“Cukup untuk apa? Aku takkan menyimpan ini untuk berjaga-jaga, Jared. Aku yakin kita berharap bisa memilikinya lagi, dan dengan segera, tapi aku takkan membiarkan Walter berteriak kesakitan sementara aku punya cara untuk menolongnya!”
“Bukan itu maksudku, “ ujar Jared. Ia selalu bicara seperti itu ketika sudah memikirkan sesuatu masak-masak. Pelan dan teratur, seperti napas Walter.
“Cukup untuk menghentikan rasa sakit selama kira-kira tiga atau empat hari. Itu saja,” ujar Jared. “Kalau kau memberinya dalam dosis teratur.”
Aku tidak memahami ucapan Jared, tapi Doc paham.
“Ah,” desah Doc. Ia berpaling dan memandang Walter, kulihat lingkaran baru air mata mulai menggenang di kelopak bawah matanya. Ia membuka mulut untuk bicara, tapi tak ada yang keluar.
Aku ingin tahu apa yang sedang mereka bicarakan, tapi kehadiran Jared membuatku diam, mengembalikan keengganan bicara yang sudah jarang kurasakan.
“Kau tak bisa menyelamatkannya. Kau hanya bisa menyelamatkannya dari rasa sakit, Doc.”
“Aku tahu,” ujar Doc. Suaranya parau, seakan menahan tangis. “Kau benar.”k
Apa yang terjadi? Tanyaku. Mumpung Melanie masih berkeliaran, sebaiknya aku memanfaatkannya.
Mereka hendak membunuh Walter, ujarnya tanpa emosi. Ada cukup banyak morfin untuk membuatnya overdosis.
Helaan napas terkejutku terdengar keras di dalam ruangan hening itu, tapi sebenarnya aku hanya menarik napas. Aku tidak mendongak untuk melihat reaksi kedua lelaki sehat itu. Air mataku sendiri menggenang ketika aku membungkuk di atas bantal Walter.
Tidak, pikirku, tidak. Belum saatnya. Tidak.
Kau lebih suka Walter mati dengan berteriak?
Aku hanya… aku tidak tahan terhadap… bagian akhirnya. Begitu telak. Aku takkan pernah berjumpa dengan temanku lagi.
Berapa banyak temanmu yang lain yang pernah kau kunjungi kembali, Wanderer?
Aku belum pernah punya teman-teman seperti ini.
Semua temanku di planet-planet lain mengabur jadi satu di dalam benakku. Semua jiwa begitu serupa, nyaris bisa saling ditukar dengan cara tertentu. Walter jelas adalah dirinya sendiri. Ketika ia pergi tak seorang pun bisa mengisi tempatnya.
Aku membuai kepala Walter dengan kedua lenganku,membiarkan air mataku jatuh ke atas kulitnya. Aku mencoba menahan tangis, tapi tangisan itu tetap saja keluar—lebih berupa ratapan daripada isakan.
Aku tahu. Pengalaman pertama lagi, bisik Melanie. Dan terdengar iba dalam suaranya. Iba terhadapku—itu juga pengalaman pertama.
“Wanda?” panggil Doc.
Aku hanya menggeleng, tak mampu menjawab.
“Kurasa kau sudah terlalu lama di sini,” ujarnya. Kurasakan tangan Doc, ringan dan hangat, di bahuku. “Kau harus istirahat.”
Kembali aku menggeleng, masih meratap pelan.
“Kau lelah,” kata Doc. “Pergilah mandi, regangkan kakimu. Makanlah sesuatu.”
Aku melotot pada Doc. “Apakah Walter aka nada di sini ketika aku kembali?” gumamku di antara air mata.
Mata Doc menegang penuh kecemasan. “Kau menginginkan itu?”
“Aku menginginkan kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal. Dia temanku.”
Doc menepuk-nepuk lenganku. “Aku tahu, Wanda. Aku tahu. Dia temanku juga. Aku tidak terburu-buru. Pergilah mencari udara segar, lalu kembalilah. Walter akan tidur sejenak.”
Kubaca wajah lelah Doc, dan aku memercayai ketulusan yang terpampang di sana.
Aku mengangguk, lalu perlahan-lahan meletakkan kembali kepala Walter ke atas bantal. Kalau aku pergi sebentar dari tempat ini, mungkin aku akan menemukan cara untuk menghadapi peristiwa ini. Aku tak yakin bagaimana—aku tak punya pengalaman mengucapkan selamat tinggal yang sesungguhnya.
Karena sedang jatuh cinta kepada Jared, maka tak peduli betapa enggannya, aku harus memandang wajah Jared sebelum pergi. Mel juga menginginkan hal ini. Tapi entah bagaimana aku berharap ia bisa mengecualikan diriku dari prosesnya.
Jared sedang menatapku. Aku punya perasaan matanya telah terarah kepadaku untuk waktu lama. Wajahnya cukup tenang, tapi kembali tampak terkejut dan curiga di sana. Itu membuatku lelah. Apa gunanya berpura-pura sekarang, kalaupun aku pembohong yang begitu berbakat? Walter takkan pernah membelaku lagi. Aku tak bisa memengaruhinya lagi.
Kubalas tatapan Jared selama satu detik yang terasa lama, lalu berbalik untuk bergegas menyusuri koridor gelap gulita yang tampak lebih cerah daripada ekspresi Jared.