Dibebaskan
Jeb membiarkanku menangis habis-habisan tanpa menggangguku. Ia tidak berkomentar ketika kemudian aku terisak-isak. Ketika aku sudah diam selama kira-kira setengah jam, barulah ia bicara.
"Kau masih terjaga?"
Aku tidak menjawab. Aku sudah sangat terbiasa dengan kesunyian.
"Kau ingin keluar dan meregangkan tubuh?" tawanya. "Memikirkan lubang tolol itu saja sudah membuatku sakit punggung."
Ironisnya, mengingat waktu satu minggu yang kuhabiskan dalam kesunyian yang membuatku sinting, aku malah merasa tak ingin ditemani. Tapi tawaran Jeb tidak mampu kutolak. Sebelum aku bisa memikirkannya, kedua tanganku sudah menarikku melewati lubang keluar.
Jeb sedang duduk bersila di atas kasur. Kuamati reaksinya ketika aku mengguncang-guncang lengan dan kaki serta memutar bahu, tapi ia tetap memejamkan mata. Seperti saat Jamie berkunjung, ia tampak sedang tidur.
Sudah berapa lama sejak aku melihat Jamie? Dan bagaimana keadaannya sekarang? Hatiku yang sudah nyeri sedikit berguncang secara menyakitkan.
"Sudah merasa lebih baik?" tanya Jeb. Matanya terbuka.
Aku mengangkat bahu.
"Kau tahu, semua akan baik-baik saja." Ia nyengir lebar sekali, hingga wajahnya meregang. "Hal-hal yang kukatakan kepada Jared... Well, aku tak mau mengatakan aku berbohong, karena semua itu benar, jika kau memandangnya dari sudut tertentu. Tapi dari sudut lain, semua itu tidak terlalu benar, dan lebih tepat jika dibilang itu yang perlu didengar Jared."
Aku hanya menatap Jeb, tidak memahami sepatah kata pun yang ia ucapkan.
"Bagaimanapun, Jared perlu istirahat dari ini. Bukan darimu, Nak," imbuhnya cepat-cepat, "tapi dari situasi ini. Dia akan mendapat perspektif baru selama kepergiannya."
Aku bertanya-tanya, bagaimana mungkin Jeb bisa tahu persis kata-kata dan frasa-frasa apa yang bakal menyakitiku. Dan, terlebih lagi, mengapa Jeb peduli seandainya kata-katanya menyakitiku, atau bahkan seandainya punggungku sakit dan berdenyut-denyut? Kebaikan hatinya terhadapku terasa menakutkan, karena tak bisa dipahami. Setidaknya tindakan-tindakan Jared masuk akal. Usaha pembunuhan Kyle dan Ian, kegairahan dokter itu untuk menyakitiku--semua perilaku itu juga logis. Bukan kebaikan hati. Apa yang diinginkan Jeb dariku?
"Jangan murung begitu," desak Jeb. "Ini ada sisi baiknya. Jared benar-benar keras kepala soal kau. Dan, karena sekarang dia sudah tak lagi terlibat, seharusnya segalanya lebih nyaman."
Alisku berkerut ketika mencoba memahami maksud Jeb.
"Misalnya," lanjut Jeb. "Ruangan ini biasanya kami gunakan untuk gudang. Nah, ketika Jared dan sobat-sobatnya kembali, kita memerlukan tempat untuk meletakkan semua barang yang mereka bawa pulang. Jadi, sekarang kita harus mencari tempat baru untukmu juga. Tempat yang lebih besar, mungkin? Yang memiliki tempat tidur?" Ia kembali tersenyum ketika mengiming-imingiku.
Aku menunggunya berhenti bicara dan mengatakan kepadaku ia bergurau.
Tapi mata Jeb--yang sewarna jins pudar--berubah amat, sangat lembut. Sesuatu mengenai ekspresi di dalam matanya kembali membuat tenggorokanku tercekat.
"Kau tak perlu kembali ke lubang itu, Sayang. Bagian terburuknya sudah lewat."
Aku mendapati diriku tak bisa meragukan tatapan tulus di wajah Jeb. Untuk kedua kali dalam waktu satu jam, kuletakkan wajah ke dalam tangan dan aku menangis.
Jeb bangkit berdiri dan menepuk-nepuk bahuku dengan canggung. Tampaknya ia tidak nyaman dengan air mata. "Sudah, sudah," gumamnya.
Kali ini aku bisa menguasai diri lebih cepat. Ketika aku mengusap mataku yang basah dan tersenyum ragu kepadanya, Jeb mengangguk setuju.
"Gadis baik," ujarnya, kembali menepuk-nepukku. "Nah, kita harus tetap di sini, sampai yakin Jared sudah benar-benar pergi dan tak bisa memergoki kita." Ia nyengir penuh persekongkolan. "Lalu kita akan bersenang-senang!"
Seingatku, gagasan Jeb untuk bersenang-senang biasanya berhubungan dengan perselisihan bersenjata.
Jeb tergelak melihat ekspresi wajahku. "Jangan khawatir. Sementara menunggu, kau sebaiknya mencoba beristirahat. Aku berani bertaruh, kasur tipis itu pun akan terasa sangat nyaman untukmu saat ini."
Kupandang wajah Jeb, lalu kasur di lantai, lalu kupandang lagi wajahnya.
"Ayolah," ujarnya. "Kelihatannya kau bisa memanfaatkan tidur yang nyaman. Aku akan menjagamu."
Dengan terharu, diiringi kelembaban baru di mataku, kujatuhkan tubuhku ke kasur dan kuletakkan kepalaku pada bantal. Serasa surga, walaupun Jeb menyebutnya tipis. Aku meregangkan sekujur tubuhku, meluruskan jari-jari kaki, dan menjangkau ke atas dengan jari-jari tangan. Aku mendengar sendi-sendiku berkeretak. Lalu kubiarkan diriku luruh ke dalam kasur. Rasanya seakan kasur itu memelukku, menghapuskan semua bagian yang sakit. Aku mendesah.
"Menyenangkan melihatmu seperti itu," gumam Jeb. "Ketika mengetahui seseorang menderita di bawah atap rumahmu sendiri, rasanya seperti gatal yang tidak bisa kaugaruk."
Jeb menjatuhkan diri ke lantai beberapa meter dariku, dan mulai bersenandung pelan. Aku sudah tertidur sebelum ia menyelesaikan bait pertama.
Ketika terbangun, aku tahu aku telah tidur nyenyak lama sekali--lebih lama daripada sebelumnya, semenjak datang kemari. Tak ada rasa sakit, tak ada gangguan-gangguan mengerikan. Seharusnya aku merasa sangat nyaman, tapi terbangun di atas bantal mengingatkanku bahwa Jared sudah pergi. Baunya masih seperti bau Jared. Dan dalam artian yang baik, tidak seperti bau tubuhku.
Jared kembali menjadi mimpi, desah Melanie pilu.
Aku hanya bisa mengingat mimpiku samar-samar, tapi aku tahu itu berhubungan dengan Jared, seperti yang biasa terjadi ketika aku bisa tidur cukup nyenyak hingga bermimpi.
"Pagi, Nak," sapa Jeb. Ia terdengar ceria.
Kubuka kelopak mataku untuk memandangnya. Apakah ia duduk bersandar di dinding semalamam? Ia tidak tampak lelah, tapi mendadak aku merasa bersalah karena telah memonopoli akomodasi yang lebih baik.
"Nah, mereka sudah lama pergi," ujar Jeb antusias. "Bagaimana kalau kita berjalan-jalan? Tanpa sadar ia membelai senapan yang menggantung di pinggangnya.
Mataku terbuka lebih lebar, menatapnya tak percaya. Jalan-jalan?
"Nah, jangan takut kepadaku. Tak seorang pun akan mengganggumu. Dan akhirnya kau toh harus bisa ke mana-mana sendiri di sekitar sini."
Jeb mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri.
Aku menyambutnya. Kepalaku berputar-putar ketika aku mencoba memahami perkataan Jeb. Aku harus bisa ke mana-mana sendiri di sekitar sini? Mengapa? Dan apa yang dimaksudkannya dengan "akhirnya"? Berapa lama ia mengharapkanku bertahan hidup?
Jeb menarikku berdiri dan menuntunku berjalan.
Aku sudah lupa bagaimana rasanya bergerak melewati terowongan-terowongan gelap itu dengan tangan yang menuntunku. Begitu mudah--nyaris tidak memerlukan konsentrasi sama sekali.
"Baiklah," gumam Jeb. "Mungkin sayap kanan dulu. Memberikan tempat yang layak untukmu. Lalu dapur..." Ia terus merencanakan turnya, melanjutkan ketika kami melangkah melewati celah sempit itu ke dalam terowongan terang menuju ruang besar yang bahkan lebih terang lagi. Ketika terdengar suara-suara, mulutku berubah kering. Jeb terus mengajakku bicara, entah tidak menyadari atau mengabaikan ketakutanku.
"Aku berani bertaruh, wortel-wortelnya mulai tumbuh hari ini," ujar Jeb, ketika menuntunku ke plaza utama. Cahayanya membutakan. Aku tak bisa melihat siapa yang berada di sana, tapi bisa merasakan tatapan mereka yang tertuju kepadaku. Keheningan mendadak itu terasa mengancam, seperti biasa.
"Yep," jawab Jeb pada diri sendiri. "Nah, bagiku mereka selalu tampak sangat indah. Hijau musim semi yang menyenangkan seperti itu enak dilihat."
Ia berhenti, lalu merentangkan tangan, mengundangku melihat. Aku menyipitkan mata ke arah yang ditunjukkannya, tapi terus-menerus melirik ke sekeliling ruangan ketika menunggu mataku menyesuaikan diri. Perlu sejenak, tapi kemudian aku melihat apa yang dibicarakan Jeb. Aku juga melihat ada sekitar lima belas orang di sini hari ini, dan mereka juga sibuk mengerjakan hal lain.
Bidang persegi empat luas dan gelap yang memenuhi bagian tengah ruang gua besar itu tak lagi gelap. Setengah bidang itu ditutupi warna hijau musim semi, persis yang dikatakan Jeb. Cantik. Dan menakjubkan.
Tak heran tak seorang pun berdiri di bagian yang itu. Ternyata itu kebun.
"Wortel?" bisikku.
Jeb menjawab dengan volume normal. "Setengah bagian yang sedang tumbuh menghijau ini. Setengahnya lagi bayam. Akan kelihatan dalam beberapa hari."
Orang-orang di dalam ruangan telah kembali bekerja, sambil sesekali mengintipku, tapi mereka terutama berkonsentrasi dengan apa yang sedang mereka lakukan. Cukup mudah untuk memahami kegiatan mereka--dengan gerobak besar dan slang-slang--setelah kebun itu kukenali.
"Irigasi?" bisikku kembali.
"Benar. Air cepat sekali mengering di udara sepanas ini."
Aku mengangguk mengiyakan. Kurasa masih pagi, tapi aku sudah berkeringat. Panas yang berasal dari cahaya luar biasa di atas kepala itu menyesakkan di dalam ruang-ruang gua. Kucoba untuk meneliti kembali langit-langit, tapi cahayanya kelewat terang untuk ditatap.
Kutarik lengan baju Jeb, lalu aku menyipit memandang cahaya menyilaukan itu. "Bagaimana caranya?"
Jeb tersenyum, senang dengan rasa penasaranku. "Sama seperti yang dilakukan pesulap--dengan cermin-cermin, Nak. Ratusan jumlahnya. Perlu waktu cukup lama bagiku untuk memasang semuanya di sana. Menyenangkan punya banyak tangan ekstra di sekitar sini, saat cermin - cermin itu perlu dibersihkan. Lihat, hanya ada empat ventilasi kecil di langit-langit, dan cahayanya tak memadai untuk mewujudkan apa yang ada di dalam benakku. Bagaimana menurutmu?"
Ia membusungkan dada lagi, kembali merasa bangga.
"Hebat," bisikku. "Mengagumkan."
Jeb nyengir lalu mengangguk, menikmati reaksiku.
"Ayo terus," sarannya. "Banyak yang harus dilakukan hari ini."
Ia menuntunku ke terowongan baru, lorong lebar yang terbentuk alami dan memanjang dari gua besar itu. Ini daerah baru. Semua ototku menegang. Aku bergerak maju dengan kaki kaku dan lutut lurus.
Jeb menepuk-nepuk tanganku, tapi juga mengabaikan kekhawatiranku. "Sebagian besar bagian ini berisi kamar tidur dan semacam gudang. Di sini lorong-lorongnya lebih dekat dengan permukaan, jadi lebih mudah memperoleh cahaya."
Ia menunjuk celah sempit terang pada langit-langit terowongan di atas kepala. Celah itu memancarkan bintik cahaya seukuran tangan di lantai.
Kami sampai di pertigaan yang luas--sebenarnya bukan pertigaan, karena terlalu banyak cabang. Percabangan lorong-lorong yang menyerupai gurita.
"Ketiga dari kiri," ujar Jeb, memandangku penuh harap.
"Ketiga dari kiri?" ulangku.
"Benar. Jangan lupa. Mudah tersesat di sekitar sini, dan itu tidak aman untukmu. Orang-orang lebih suka langsung menikammu daripada menunjukkan arah yang benar."
Aku bergidik. "Terima kasih," gumamku, diam-diam menyindirnya.
Jeb tertawa, seakan jawabanku membuatnya senang. "Tak ada gunanya mengabaikan kebenaran. Menyebutkannya keras-keras tidak akan membuatnya semakin buruk."
Takkan membuatnya semakin baik juga. Tapi aku diam saja. Aku mulai sedikit gembira. Sangat menyenangkan punya seseorang yang bicara denganku lagi. Jeb bisa dibilang teman menarik.
"Satu, dua, tiga," hitungnya, lalu ia menuntunku menyusuri lorong ketiga dari kiri. Kami mulai melewati lubang-lubang masuk bulat yang ditutupi berbagai pintu seadanya. Beberapa di antaranya diberi tirai dari lembaran kain berpola; yang lainnya ditutupi lembaran besar karton yang disatukan dengan selotip. Ada satu lubang yang ditutupi dua pintu asli--yang satu dari kayu bercat merah, satunya lagi dari logam abu-abu.
"Tujuh," hitung Jeb, lalu berhenti di depan lubang yang agak kecil, yang titik tertingginya hanya beberapa senti dari kepalaku.
Lubang yang ini menutupi privasinya dengan tirai hijau muda cantik--jenis tirai yang biasanya membagi ruangan di dalam ruang tamu elegan. Ada pola bunga-bunga sakura yang dibordir di atas kain sutranya.
"Ini satu - satunya ruangan yang terpikir olehku saat ini. Satu-satunya yang dilengkapi dengan layak untuk ditempati manusia. Bakal kosong selama beberapa minggu, dan kami akan memikirkan sesuatu yang lebih baik untukmu ketika ruangan ini kembali diperlukan."
Jeb menyibak tirai, dan cahaya yang lebih terang--jika dibandingkan dengan cahaya di lorong--menyambut kami.
Ruangan yang diperlihatkan Jeb memberiku perasaan vertigo aneh--mungkin karena ruangannya sangat tinggi tapi tidak terlalu lebar. Berdiri di dalamnya seperti di dalam menara atau lumbung. Bukannya aku pernah berada di tempat-tempat semacam itu, tapi semua itu perbandingan yang dibuat Melanie. Langit-langitnya, yang tingginya dua kali lebarnya, berupa labirin retakan. Seperti jalinan cahaya yang merambat, celah-celah itu nyaris melingkar penuh. Ini kelihatan berbahaya bagiku. Tidak stabil. Tapi ketika menuntunku semakin dalam Jeb tidak menunjukkan perasaan takut kalau-kalau langit - langitnya runtuh.
Ada kasur berukuruan besar di lantai, ketiga sisinya berjarak sekitar satu meter dari dinding. Dua bantal dan dua selimut diatur dalam dua konfigurasi terpisah di atas masing - masing setengah bagian kasur, sehingga ruangan ini tampaknya ditempati dua orang. Tiang kayu tebal--bentuknya menyerupai pegangan garukan tanah--ditelattak horisontal setinggi bahu pada dinding yang jauh, dan masing-masing ujungnya dimasukkan ke dua dari lubang-lubang yang menyerupai keju Swiss di batu. Di atasnya tersampir beberapa kaus dan dua jins. Bangku kayu bersandar di dinding di samping rak pakaian seadanya itu, dan di lantai di bawahnya ada tumpukan buku bacaan lusuh.
"Siapa?" tanyaku kepada Jeb, kembali berbisik. Ruangan ini jelas milik orang, sehingga aku tak lagi merasa hanya sendirian bersama Jeb.
"Salah seorang dari mereka yang sedang pergi menjarah. Takkan kembali selama beberapa waktu. Kami akan mencari tempat lain untukmu ketika dia kembali."
Aku tidak suka itu. Bukan tidak suka kamarnya, tapi gagasan tinggal di dalamnya. Kehadiran si pemilik sangat terasa, walaupun barang-barang miliknya sederhana. Tak peduli siapa pun orangnya, ia takkan senang melihatku di sini. Ia akan membencinya.
Jeb tampaknya bisa membaca pikiranku--atau mungkin ekspresiku cukup jelas sehingga ia tidak perlu menebaknya.
"Nah, nah," katanya. "Jangan khawatir soal itu. Ini rumahku, dan ini salah satu kamar tamuku. Aku yang menentukan siapa tamuku dan siapa yang bukan. Saat ini kau tamjku, dan aku menawarkan kamar ini kepadamu."
Aku masih tidak menyukai gagasan itu, tapi juga tidak ingin membuat Jeb jengkel. Aku bersumpah takkan mengusik sesuatu pun, walaupun itu berarti tidur di lantai.
"Well, ayo kita lanjutkan. Jangan lupa: ketiga dari kiri, lubang ketujuh."
"Tirai hijau," imbuhku.
"Benar sekali."
Jeb membawaku kembali melewati ruangan dengan kebun besar, mengitari pinggirannya ke sisi seberang, dan melewati lubang terowongan terbesar. Ketika kami melewati orang-orang yang sedang mengitari kebun, mereka mengejang lalu berbalik, takut kalau aku berada di balik punggung mereka.
Terowongan ini berpenerangan baik. Celah-celah bercahaya terang muncul dengan jarak terlalu teratur, sehingga tak mungkin alami.
"Kini kita semakin mendekati permukaan. Lebih kering, tapi juga lebih panas."
Aku langsung merasakannya. kini kami tidak sedang direbus, tapi dipanggang. Udara lebih tidak apak dan menyesakkan. Aku bisa merasakan debu padang gurun.
Terdengar lebih banyak suara di depan sana. Aku mencoba menguatkan diri menghadapi reaksi yang tak terhindarkan. Seandainya Jeb bersikeras memperlakukanku seperti... seperti manusia, seperti tamu yang disambut dengan gembira, aku harus membiasakan diri. Tak ada alasan untuk terus-menerus merasa mual. Bagaimanapunk, perutku mulai bergolak tidak senang.
"Ini menuju dapur," ujar Jeb.
Pertama-tama aku mengira kami berada di terowongan lain penuh orang. Aku merapat ke dinding, mencoba menjaga jarak.
Dapurnya berupa koridor panjang berlangit-langit tinggi, lebih tinggi dibandingkan luasnya, seperti kamar baruku. Cahayanya terang dan panas. Bukan celah-celah sempit di batu tebal, tapi tempat ini punya lubang-lubang besar terbuka.
"Tentu saja kami tidak bisa memasak di siang hari. Asap. Kau tahu, kan? Jadi, kami lebih sering menggunakan tempat ini sebagai ruang makan, hingga malam tiba."
Semua percakapan mendadak berhenti, sehingga kata-kata Jeb bisa didengar jelas oleh semua orang. Aku mencoba bersembunyi di belakang Jeb, tapi ia terus berjalan semakin jauh.
Kami mengganggu sarapan, atau mungkin makan siang.
Para manusia--hampir dua puluh jumlahnya menurut hitungan cepatku--berada sangat dekat di sini. Tidak seperti di ruang gua yang besar itu. Aku ingin terus memandangi lantai, tapi tak bisa menghentikan mataku agar tidak menjelajahi ruangan. Untuk berjaga-jaga. Aku bisa merasakan tubuhku menegang, siap kabur, walaupun aku tak tahu harus lari ke mana.
Di kedua sisi lorong ada tumpukan-tumpukan batu yang memanjang. Sebagian besar batu vulkanik ungu kasar, dengan semacam substansi yang berwarna lebih muda--semen?--di sela-selanya. Substansi itu berfungsi sebagai pelapis, merekatkan batu-batu itu. Di atas tumpukan-tumpukan ini terdapat batu-batu brebeda, lebih cokelat dan datar. Semua juga direkatkan menjadi satu dengan pelapis abu-abu muda. Produk akhirnya adalah permukaan yang relatif rata, seperti meja atau meja dapur. Jelas itulan kegunaan tumpukan-tumpukan batu itu.
Semua manusia duduk di atasnya, sebagian bersandar di sana. Aku mengenali roti-roti bulat yang mereka pegang di antara meja dan mulut mereka. Mereka terpaku tak percaya ketika melihat Jeb dan tur satu orangnya.
Beberapa di antara mereka kukenal. Sharon, Maggie, dan Doc adalah kelompok yang paling dekat denganku. Sepupu Melanie dan bibinya itu memelototi Jeb dengan marah. Aku punya keyakinan aneh bahwa, walaupun aku berdiri jungkir balik dan meneriakkan lagu-lagu dari ingatan Melanie sekeras mungkin, mereka masih tidak mau memandangku. Tapi dokter itu memandangku dengan rasa penasaran yang jujur dan agak ramah, membuat bagian dalam tulang-tulangku sangat dingin.
Di ujung belakang ruangan berbentuk aula itu aku mengenali sosok lelaki jangkung berambut sehitam tinta. Jantungku tergeragap. Kupikir Jared mengajak kakak-beradik jahat itu bersamanya, untuk sedikit meringankan tugas Jeb mempertahankan hidupku. Tapi setidaknya itu si adik, Ian, yang akhir-akhir ini mulai punya hati nurani. Ia tak seburuk Kyle. Namun penghiburan ini tidak memperlambat denyut nadiku yang berpacu.
"Semua sudah kenyang secepat ini?" sindir Jeb keras-keras.
"Kehilangan nafsu makan," gumam Maggie.
"Bagaimana denganmu?" tanya Jeb, menoleh kepadaku. "Kau lapar?"
Gerutuan pelan terdengar di antara manusia-manusia itu.
Aku menggeleng--gerakan pelan tapi panik. Aku bahkan tak tahu apakah aku merasa lapar, tapi aku tahu aku tak bisa makan di hadapan sekerumunan orang yang dengan senang hati bersedia menyantapku.
"Well, aku lapar," gumam Jeb. Ia berjalan menyusuri lorog di antara meja, tapi aku tidak mengikutinya. Aku tak tahan dengan pikiran berada dalam jangkauan mudah orang-orang itu. Aku tetap merapat ke dinding, di tempatku berdiri. Hanya Sharon dan Maggie yang mengamati Jeb mendekati wadah plastik besar di meja dan mengambil sekerat roti. Yang lain mengamatiku. Aku yakin, seandainya aku bergerak satu senti saja, mereka akan menerkamku. Kucoba untuk tidak bernapas.
"Well, ayo jalan terus," saran Jeb dengan mulut penuh roti, ketika berjalan kembalik kepadaku. "Kelihatannya tak seorang pun bisa berkonsentrasi pada makan siangnya. Orang-orang ini mudah terganggu."
Aku sedang mengamati manusia-manusia itu, menunggu gerakan mendadak. Setelah mengenali beberapa di antaranya, aku tidak benar-benar memandang wajah mereka sehingga tidak memperhatikan Jamie sampai ia berdiri.
Jamie sekepala lebih pendek daripada orang-orang dewasa di salah satu sisinya, tapi lebih tinggi daripada dua anak lebih kecil yang duduk di meja di sisinya yang lain. Dengan ringan Jamie melompat turun dari kursi dan membuntuti Jeb. Wajahnya tegang, serius, seakan sedang mencoba memecahkan persamaan matematika yang sulit di kepalanya. ia mengamatiku dengan mata sipitnya ketika mendekat di belakang Jeb. Kini bukan aku satu-satunya yang menahan napas di dalam ruangan ini. Tatapan yang lain berpindah-pindah antara aku dan adik Melanie.
Oh, Jamie, ujar Melanie. Ia membenci raut dewasa di wajah Jamie, dan mungkin kebencianku bahkan lebih besar. Perasaan bersalahku lebih besar daripada perasaan Melanie, karena telah meletakkan raut seperti itu di sana.
Kalau saja kita bisa menyingkirkan ekspresi itu, desah Melanie.
Sudah terlambat. Sekarang apa yang bisa kita lakukan untuk membuatnya lebih baik?
Aku tidak mengajukan pertanyaan itu untuk memperoleh jawaban, tapi kudapati diriku mencari-cari jawabannya, begitu pula Melanie. Kami tidak menemukan apa-apa dengan memikirkannya dalam waktu sesingkat itu. Aku yakin tak ada yang bisa ditemukan. Tapi kami sama-sama tahu bahwa kami akan kembali mencari, ketika sudah menyelesaikan tur tolol ini dan punya kesempatan memikirkannya. Seandainya kami bisa bertahan hidup selama itu.
"Kau mau apa, Nak?" tanya Jeb tanpa memandang Jamie.
"Hanya ingin tahu kau sedang apa," jawab Jamie. Suaranya berusaha tidak peduli, tapi gagal.
Jeb berhenti ketika tiba di dekatku, lalu berbalik memandang Jamie. "Aku membawanya berkeliling tempat ini. Persis seperti yang kulakukan terhadap semua pendatang baru."
"Boleh ikut?" tanya Jamie.
Kulihat Sharon menggeleng kuat-kuat dengan wajah marah. Jeb mengabaikannya.
"Tak masalah bagiku... jika kau bisa menjaga sikap."
Jamie mengangkat bahu. "Tak masalah."
Lalu aku terpaksa bergerak--untuk menyatukan jari-jari tanganku di depan tubuh. Aku ingin sekali menyingkirkan rambut Jamie yang berantakan dari matanya, kemudian memeluk lehernya. Aku yakin itu perbuatan yang tidak akan berjalan baik.
"Ayo," ujar Jeb kepada kami berdua. Ia membawa kami keluar melalui jalan masuk tadi. Jeb berjalan di salah satu sisiku, Jamie di sisi yang lain. Tampaknya Jamie mencoba menatap lantai, tapi ia terus-menerus melirik wajahku--persis seperti yang kulakukan, karena aku tak tahan untuk tidak melirik wajahnya. Ketika mata kami bertemu, kami selalu bergegas mengalihkan pandang.
Kami sudah menyusuri setengah ruang besar itu ketika mendengar langkah di belakang kami. Reaksiku begitu spontan dan tanpa berpikir. Aku bergerak cepat ke salah satu sisi terowongan, menarik Jamie dengan sebelah lengan, sehingga aku berada di antara dirinya dan apa pun yang mendekatiku.
"Hei!" protes Jamie, tapi ia tidak menyingkirkan lenganku.
Jeb sama cepatnya. Senapan itu berputar keluar secepat kilat dari tali pengikatnya.
Ian dan Doc sama-sama mengangkat tangan.
"Kami juga bisa menjaga sikap," ujar Doc. Sulit untuk percaya lelaki bersuara lembut dengan raut wajah ramah ini adalah penyiksa tetap. Ia jauh lebih menakutkan bagiku, karena raut wajahnya sangat baik. Kau bakal waspada di malam yang gelap dan mengancam. Kau akan siaga. Tapi di hari yang terang dan cerah? Bagaimana kau bisa tahu kapan kau harus lari, jika tidak mengetahui tempat berbahaya yang harus kauhindari?
Jeb menyipit memandang Ian, moncong senapannya bergeser mengikuti pandangannya.
"Aku tidak mau membuat masalah, Jeb. Aku akan bersikap sama baiknya dengan Doc."
"Baiklah," jawab Jeb singkat, seraya menyimpan senapan. "Tapi jangan mengujiku. Aku sudah lama sekali tidak menembak orang dan aku agak merindukan kegairahan itu."
Aku terkesiap. Semua mendengarnya, dan berpaling untuk melihat wajahku yang ketakutan. Doc-lah yang pertama tertawa, tapi bahkan Jamie pun langsung bergabung.
"Hanya bergurau," bisik Jamie kepadaku. Tangannya bergerak dari sisi tubuhnya, seakan hendak meraih tanganku. Tapi ia cepat-cepat memasukkan tangannya ke saku celana pendeknya. Kubiarkan lenganku--yang masih terentang dengan gaya melindungi di depan tubuhnya--terjatuh juga.
"Well, jangan membuang-buang waktu," ujar Jeb, masih sedikit masam. "Kalian harus bergegas, karena aku tak mau menunggu. Sebelum selesai bicara, ia sudah mulai berjalan.
Jual Nugget dan Sosis Sayur
The Host - Bab 20
Dibebaskan
Jeb membiarkanku menangis habis-habisan tanpa menggangguku. Ia tidak berkomentar ketika kemudian aku terisak-isak. Ketika aku sudah diam selama kira-kira setengah jam, barulah ia bicara.
"Kau masih terjaga?"
Aku tidak menjawab. Aku sudah sangat terbiasa dengan kesunyian.
"Kau ingin keluar dan meregangkan tubuh?" tawanya. "Memikirkan lubang tolol itu saja sudah membuatku sakit punggung."
Ironisnya, mengingat waktu satu minggu yang kuhabiskan dalam kesunyian yang membuatku sinting, aku malah merasa tak ingin ditemani. Tapi tawaran Jeb tidak mampu kutolak. Sebelum aku bisa memikirkannya, kedua tanganku sudah menarikku melewati lubang keluar.
Jeb sedang duduk bersila di atas kasur. Kuamati reaksinya ketika aku mengguncang-guncang lengan dan kaki serta memutar bahu, tapi ia tetap memejamkan mata. Seperti saat Jamie berkunjung, ia tampak sedang tidur.
Sudah berapa lama sejak aku melihat Jamie? Dan bagaimana keadaannya sekarang? Hatiku yang sudah nyeri sedikit berguncang secara menyakitkan.
"Sudah merasa lebih baik?" tanya Jeb. Matanya terbuka.
Aku mengangkat bahu.
"Kau tahu, semua akan baik-baik saja." Ia nyengir lebar sekali, hingga wajahnya meregang. "Hal-hal yang kukatakan kepada Jared... Well, aku tak mau mengatakan aku berbohong, karena semua itu benar, jika kau memandangnya dari sudut tertentu. Tapi dari sudut lain, semua itu tidak terlalu benar, dan lebih tepat jika dibilang itu yang perlu didengar Jared."
Aku hanya menatap Jeb, tidak memahami sepatah kata pun yang ia ucapkan.
"Bagaimanapun, Jared perlu istirahat dari ini. Bukan darimu, Nak," imbuhnya cepat-cepat, "tapi dari situasi ini. Dia akan mendapat perspektif baru selama kepergiannya."
Aku bertanya-tanya, bagaimana mungkin Jeb bisa tahu persis kata-kata dan frasa-frasa apa yang bakal menyakitiku. Dan, terlebih lagi, mengapa Jeb peduli seandainya kata-katanya menyakitiku, atau bahkan seandainya punggungku sakit dan berdenyut-denyut? Kebaikan hatinya terhadapku terasa menakutkan, karena tak bisa dipahami. Setidaknya tindakan-tindakan Jared masuk akal. Usaha pembunuhan Kyle dan Ian, kegairahan dokter itu untuk menyakitiku--semua perilaku itu juga logis. Bukan kebaikan hati. Apa yang diinginkan Jeb dariku?
"Jangan murung begitu," desak Jeb. "Ini ada sisi baiknya. Jared benar-benar keras kepala soal kau. Dan, karena sekarang dia sudah tak lagi terlibat, seharusnya segalanya lebih nyaman."
Alisku berkerut ketika mencoba memahami maksud Jeb.
"Misalnya," lanjut Jeb. "Ruangan ini biasanya kami gunakan untuk gudang. Nah, ketika Jared dan sobat-sobatnya kembali, kita memerlukan tempat untuk meletakkan semua barang yang mereka bawa pulang. Jadi, sekarang kita harus mencari tempat baru untukmu juga. Tempat yang lebih besar, mungkin? Yang memiliki tempat tidur?" Ia kembali tersenyum ketika mengiming-imingiku.
Aku menunggunya berhenti bicara dan mengatakan kepadaku ia bergurau.
Tapi mata Jeb--yang sewarna jins pudar--berubah amat, sangat lembut. Sesuatu mengenai ekspresi di dalam matanya kembali membuat tenggorokanku tercekat.
"Kau tak perlu kembali ke lubang itu, Sayang. Bagian terburuknya sudah lewat."
Aku mendapati diriku tak bisa meragukan tatapan tulus di wajah Jeb. Untuk kedua kali dalam waktu satu jam, kuletakkan wajah ke dalam tangan dan aku menangis.
Jeb bangkit berdiri dan menepuk-nepuk bahuku dengan canggung. Tampaknya ia tidak nyaman dengan air mata. "Sudah, sudah," gumamnya.
Kali ini aku bisa menguasai diri lebih cepat. Ketika aku mengusap mataku yang basah dan tersenyum ragu kepadanya, Jeb mengangguk setuju.
"Gadis baik," ujarnya, kembali menepuk-nepukku. "Nah, kita harus tetap di sini, sampai yakin Jared sudah benar-benar pergi dan tak bisa memergoki kita." Ia nyengir penuh persekongkolan. "Lalu kita akan bersenang-senang!"
Seingatku, gagasan Jeb untuk bersenang-senang biasanya berhubungan dengan perselisihan bersenjata.
Jeb tergelak melihat ekspresi wajahku. "Jangan khawatir. Sementara menunggu, kau sebaiknya mencoba beristirahat. Aku berani bertaruh, kasur tipis itu pun akan terasa sangat nyaman untukmu saat ini."
Kupandang wajah Jeb, lalu kasur di lantai, lalu kupandang lagi wajahnya.
"Ayolah," ujarnya. "Kelihatannya kau bisa memanfaatkan tidur yang nyaman. Aku akan menjagamu."
Dengan terharu, diiringi kelembaban baru di mataku, kujatuhkan tubuhku ke kasur dan kuletakkan kepalaku pada bantal. Serasa surga, walaupun Jeb menyebutnya tipis. Aku meregangkan sekujur tubuhku, meluruskan jari-jari kaki, dan menjangkau ke atas dengan jari-jari tangan. Aku mendengar sendi-sendiku berkeretak. Lalu kubiarkan diriku luruh ke dalam kasur. Rasanya seakan kasur itu memelukku, menghapuskan semua bagian yang sakit. Aku mendesah.
"Menyenangkan melihatmu seperti itu," gumam Jeb. "Ketika mengetahui seseorang menderita di bawah atap rumahmu sendiri, rasanya seperti gatal yang tidak bisa kaugaruk."
Jeb menjatuhkan diri ke lantai beberapa meter dariku, dan mulai bersenandung pelan. Aku sudah tertidur sebelum ia menyelesaikan bait pertama.
Ketika terbangun, aku tahu aku telah tidur nyenyak lama sekali--lebih lama daripada sebelumnya, semenjak datang kemari. Tak ada rasa sakit, tak ada gangguan-gangguan mengerikan. Seharusnya aku merasa sangat nyaman, tapi terbangun di atas bantal mengingatkanku bahwa Jared sudah pergi. Baunya masih seperti bau Jared. Dan dalam artian yang baik, tidak seperti bau tubuhku.
Jared kembali menjadi mimpi, desah Melanie pilu.
Aku hanya bisa mengingat mimpiku samar-samar, tapi aku tahu itu berhubungan dengan Jared, seperti yang biasa terjadi ketika aku bisa tidur cukup nyenyak hingga bermimpi.
"Pagi, Nak," sapa Jeb. Ia terdengar ceria.
Kubuka kelopak mataku untuk memandangnya. Apakah ia duduk bersandar di dinding semalamam? Ia tidak tampak lelah, tapi mendadak aku merasa bersalah karena telah memonopoli akomodasi yang lebih baik.
"Nah, mereka sudah lama pergi," ujar Jeb antusias. "Bagaimana kalau kita berjalan-jalan? Tanpa sadar ia membelai senapan yang menggantung di pinggangnya.
Mataku terbuka lebih lebar, menatapnya tak percaya. Jalan-jalan?
"Nah, jangan takut kepadaku. Tak seorang pun akan mengganggumu. Dan akhirnya kau toh harus bisa ke mana-mana sendiri di sekitar sini."
Jeb mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri.
Aku menyambutnya. Kepalaku berputar-putar ketika aku mencoba memahami perkataan Jeb. Aku harus bisa ke mana-mana sendiri di sekitar sini? Mengapa? Dan apa yang dimaksudkannya dengan "akhirnya"? Berapa lama ia mengharapkanku bertahan hidup?
Jeb menarikku berdiri dan menuntunku berjalan.
Aku sudah lupa bagaimana rasanya bergerak melewati terowongan-terowongan gelap itu dengan tangan yang menuntunku. Begitu mudah--nyaris tidak memerlukan konsentrasi sama sekali.
"Baiklah," gumam Jeb. "Mungkin sayap kanan dulu. Memberikan tempat yang layak untukmu. Lalu dapur..." Ia terus merencanakan turnya, melanjutkan ketika kami melangkah melewati celah sempit itu ke dalam terowongan terang menuju ruang besar yang bahkan lebih terang lagi. Ketika terdengar suara-suara, mulutku berubah kering. Jeb terus mengajakku bicara, entah tidak menyadari atau mengabaikan ketakutanku.
"Aku berani bertaruh, wortel-wortelnya mulai tumbuh hari ini," ujar Jeb, ketika menuntunku ke plaza utama. Cahayanya membutakan. Aku tak bisa melihat siapa yang berada di sana, tapi bisa merasakan tatapan mereka yang tertuju kepadaku. Keheningan mendadak itu terasa mengancam, seperti biasa.
"Yep," jawab Jeb pada diri sendiri. "Nah, bagiku mereka selalu tampak sangat indah. Hijau musim semi yang menyenangkan seperti itu enak dilihat."
Ia berhenti, lalu merentangkan tangan, mengundangku melihat. Aku menyipitkan mata ke arah yang ditunjukkannya, tapi terus-menerus melirik ke sekeliling ruangan ketika menunggu mataku menyesuaikan diri. Perlu sejenak, tapi kemudian aku melihat apa yang dibicarakan Jeb. Aku juga melihat ada sekitar lima belas orang di sini hari ini, dan mereka juga sibuk mengerjakan hal lain.
Bidang persegi empat luas dan gelap yang memenuhi bagian tengah ruang gua besar itu tak lagi gelap. Setengah bidang itu ditutupi warna hijau musim semi, persis yang dikatakan Jeb. Cantik. Dan menakjubkan.
Tak heran tak seorang pun berdiri di bagian yang itu. Ternyata itu kebun.
"Wortel?" bisikku.
Jeb menjawab dengan volume normal. "Setengah bagian yang sedang tumbuh menghijau ini. Setengahnya lagi bayam. Akan kelihatan dalam beberapa hari."
Orang-orang di dalam ruangan telah kembali bekerja, sambil sesekali mengintipku, tapi mereka terutama berkonsentrasi dengan apa yang sedang mereka lakukan. Cukup mudah untuk memahami kegiatan mereka--dengan gerobak besar dan slang-slang--setelah kebun itu kukenali.
"Irigasi?" bisikku kembali.
"Benar. Air cepat sekali mengering di udara sepanas ini."
Aku mengangguk mengiyakan. Kurasa masih pagi, tapi aku sudah berkeringat. Panas yang berasal dari cahaya luar biasa di atas kepala itu menyesakkan di dalam ruang-ruang gua. Kucoba untuk meneliti kembali langit-langit, tapi cahayanya kelewat terang untuk ditatap.
Kutarik lengan baju Jeb, lalu aku menyipit memandang cahaya menyilaukan itu. "Bagaimana caranya?"
Jeb tersenyum, senang dengan rasa penasaranku. "Sama seperti yang dilakukan pesulap--dengan cermin-cermin, Nak. Ratusan jumlahnya. Perlu waktu cukup lama bagiku untuk memasang semuanya di sana. Menyenangkan punya banyak tangan ekstra di sekitar sini, saat cermin - cermin itu perlu dibersihkan. Lihat, hanya ada empat ventilasi kecil di langit-langit, dan cahayanya tak memadai untuk mewujudkan apa yang ada di dalam benakku. Bagaimana menurutmu?"
Ia membusungkan dada lagi, kembali merasa bangga.
"Hebat," bisikku. "Mengagumkan."
Jeb nyengir lalu mengangguk, menikmati reaksiku.
"Ayo terus," sarannya. "Banyak yang harus dilakukan hari ini."
Ia menuntunku ke terowongan baru, lorong lebar yang terbentuk alami dan memanjang dari gua besar itu. Ini daerah baru. Semua ototku menegang. Aku bergerak maju dengan kaki kaku dan lutut lurus.
Jeb menepuk-nepuk tanganku, tapi juga mengabaikan kekhawatiranku. "Sebagian besar bagian ini berisi kamar tidur dan semacam gudang. Di sini lorong-lorongnya lebih dekat dengan permukaan, jadi lebih mudah memperoleh cahaya."
Ia menunjuk celah sempit terang pada langit-langit terowongan di atas kepala. Celah itu memancarkan bintik cahaya seukuran tangan di lantai.
Kami sampai di pertigaan yang luas--sebenarnya bukan pertigaan, karena terlalu banyak cabang. Percabangan lorong-lorong yang menyerupai gurita.
"Ketiga dari kiri," ujar Jeb, memandangku penuh harap.
"Ketiga dari kiri?" ulangku.
"Benar. Jangan lupa. Mudah tersesat di sekitar sini, dan itu tidak aman untukmu. Orang-orang lebih suka langsung menikammu daripada menunjukkan arah yang benar."
Aku bergidik. "Terima kasih," gumamku, diam-diam menyindirnya.
Jeb tertawa, seakan jawabanku membuatnya senang. "Tak ada gunanya mengabaikan kebenaran. Menyebutkannya keras-keras tidak akan membuatnya semakin buruk."
Takkan membuatnya semakin baik juga. Tapi aku diam saja. Aku mulai sedikit gembira. Sangat menyenangkan punya seseorang yang bicara denganku lagi. Jeb bisa dibilang teman menarik.
"Satu, dua, tiga," hitungnya, lalu ia menuntunku menyusuri lorong ketiga dari kiri. Kami mulai melewati lubang-lubang masuk bulat yang ditutupi berbagai pintu seadanya. Beberapa di antaranya diberi tirai dari lembaran kain berpola; yang lainnya ditutupi lembaran besar karton yang disatukan dengan selotip. Ada satu lubang yang ditutupi dua pintu asli--yang satu dari kayu bercat merah, satunya lagi dari logam abu-abu.
"Tujuh," hitung Jeb, lalu berhenti di depan lubang yang agak kecil, yang titik tertingginya hanya beberapa senti dari kepalaku.
Lubang yang ini menutupi privasinya dengan tirai hijau muda cantik--jenis tirai yang biasanya membagi ruangan di dalam ruang tamu elegan. Ada pola bunga-bunga sakura yang dibordir di atas kain sutranya.
"Ini satu - satunya ruangan yang terpikir olehku saat ini. Satu-satunya yang dilengkapi dengan layak untuk ditempati manusia. Bakal kosong selama beberapa minggu, dan kami akan memikirkan sesuatu yang lebih baik untukmu ketika ruangan ini kembali diperlukan."
Jeb menyibak tirai, dan cahaya yang lebih terang--jika dibandingkan dengan cahaya di lorong--menyambut kami.
Ruangan yang diperlihatkan Jeb memberiku perasaan vertigo aneh--mungkin karena ruangannya sangat tinggi tapi tidak terlalu lebar. Berdiri di dalamnya seperti di dalam menara atau lumbung. Bukannya aku pernah berada di tempat-tempat semacam itu, tapi semua itu perbandingan yang dibuat Melanie. Langit-langitnya, yang tingginya dua kali lebarnya, berupa labirin retakan. Seperti jalinan cahaya yang merambat, celah-celah itu nyaris melingkar penuh. Ini kelihatan berbahaya bagiku. Tidak stabil. Tapi ketika menuntunku semakin dalam Jeb tidak menunjukkan perasaan takut kalau-kalau langit - langitnya runtuh.
Ada kasur berukuruan besar di lantai, ketiga sisinya berjarak sekitar satu meter dari dinding. Dua bantal dan dua selimut diatur dalam dua konfigurasi terpisah di atas masing - masing setengah bagian kasur, sehingga ruangan ini tampaknya ditempati dua orang. Tiang kayu tebal--bentuknya menyerupai pegangan garukan tanah--ditelattak horisontal setinggi bahu pada dinding yang jauh, dan masing-masing ujungnya dimasukkan ke dua dari lubang-lubang yang menyerupai keju Swiss di batu. Di atasnya tersampir beberapa kaus dan dua jins. Bangku kayu bersandar di dinding di samping rak pakaian seadanya itu, dan di lantai di bawahnya ada tumpukan buku bacaan lusuh.
"Siapa?" tanyaku kepada Jeb, kembali berbisik. Ruangan ini jelas milik orang, sehingga aku tak lagi merasa hanya sendirian bersama Jeb.
"Salah seorang dari mereka yang sedang pergi menjarah. Takkan kembali selama beberapa waktu. Kami akan mencari tempat lain untukmu ketika dia kembali."
Aku tidak suka itu. Bukan tidak suka kamarnya, tapi gagasan tinggal di dalamnya. Kehadiran si pemilik sangat terasa, walaupun barang-barang miliknya sederhana. Tak peduli siapa pun orangnya, ia takkan senang melihatku di sini. Ia akan membencinya.
Jeb tampaknya bisa membaca pikiranku--atau mungkin ekspresiku cukup jelas sehingga ia tidak perlu menebaknya.
"Nah, nah," katanya. "Jangan khawatir soal itu. Ini rumahku, dan ini salah satu kamar tamuku. Aku yang menentukan siapa tamuku dan siapa yang bukan. Saat ini kau tamjku, dan aku menawarkan kamar ini kepadamu."
Aku masih tidak menyukai gagasan itu, tapi juga tidak ingin membuat Jeb jengkel. Aku bersumpah takkan mengusik sesuatu pun, walaupun itu berarti tidur di lantai.
"Well, ayo kita lanjutkan. Jangan lupa: ketiga dari kiri, lubang ketujuh."
"Tirai hijau," imbuhku.
"Benar sekali."
Jeb membawaku kembali melewati ruangan dengan kebun besar, mengitari pinggirannya ke sisi seberang, dan melewati lubang terowongan terbesar. Ketika kami melewati orang-orang yang sedang mengitari kebun, mereka mengejang lalu berbalik, takut kalau aku berada di balik punggung mereka.
Terowongan ini berpenerangan baik. Celah-celah bercahaya terang muncul dengan jarak terlalu teratur, sehingga tak mungkin alami.
"Kini kita semakin mendekati permukaan. Lebih kering, tapi juga lebih panas."
Aku langsung merasakannya. kini kami tidak sedang direbus, tapi dipanggang. Udara lebih tidak apak dan menyesakkan. Aku bisa merasakan debu padang gurun.
Terdengar lebih banyak suara di depan sana. Aku mencoba menguatkan diri menghadapi reaksi yang tak terhindarkan. Seandainya Jeb bersikeras memperlakukanku seperti... seperti manusia, seperti tamu yang disambut dengan gembira, aku harus membiasakan diri. Tak ada alasan untuk terus-menerus merasa mual. Bagaimanapunk, perutku mulai bergolak tidak senang.
"Ini menuju dapur," ujar Jeb.
Pertama-tama aku mengira kami berada di terowongan lain penuh orang. Aku merapat ke dinding, mencoba menjaga jarak.
Dapurnya berupa koridor panjang berlangit-langit tinggi, lebih tinggi dibandingkan luasnya, seperti kamar baruku. Cahayanya terang dan panas. Bukan celah-celah sempit di batu tebal, tapi tempat ini punya lubang-lubang besar terbuka.
"Tentu saja kami tidak bisa memasak di siang hari. Asap. Kau tahu, kan? Jadi, kami lebih sering menggunakan tempat ini sebagai ruang makan, hingga malam tiba."
Semua percakapan mendadak berhenti, sehingga kata-kata Jeb bisa didengar jelas oleh semua orang. Aku mencoba bersembunyi di belakang Jeb, tapi ia terus berjalan semakin jauh.
Kami mengganggu sarapan, atau mungkin makan siang.
Para manusia--hampir dua puluh jumlahnya menurut hitungan cepatku--berada sangat dekat di sini. Tidak seperti di ruang gua yang besar itu. Aku ingin terus memandangi lantai, tapi tak bisa menghentikan mataku agar tidak menjelajahi ruangan. Untuk berjaga-jaga. Aku bisa merasakan tubuhku menegang, siap kabur, walaupun aku tak tahu harus lari ke mana.
Di kedua sisi lorong ada tumpukan-tumpukan batu yang memanjang. Sebagian besar batu vulkanik ungu kasar, dengan semacam substansi yang berwarna lebih muda--semen?--di sela-selanya. Substansi itu berfungsi sebagai pelapis, merekatkan batu-batu itu. Di atas tumpukan-tumpukan ini terdapat batu-batu brebeda, lebih cokelat dan datar. Semua juga direkatkan menjadi satu dengan pelapis abu-abu muda. Produk akhirnya adalah permukaan yang relatif rata, seperti meja atau meja dapur. Jelas itulan kegunaan tumpukan-tumpukan batu itu.
Semua manusia duduk di atasnya, sebagian bersandar di sana. Aku mengenali roti-roti bulat yang mereka pegang di antara meja dan mulut mereka. Mereka terpaku tak percaya ketika melihat Jeb dan tur satu orangnya.
Beberapa di antara mereka kukenal. Sharon, Maggie, dan Doc adalah kelompok yang paling dekat denganku. Sepupu Melanie dan bibinya itu memelototi Jeb dengan marah. Aku punya keyakinan aneh bahwa, walaupun aku berdiri jungkir balik dan meneriakkan lagu-lagu dari ingatan Melanie sekeras mungkin, mereka masih tidak mau memandangku. Tapi dokter itu memandangku dengan rasa penasaran yang jujur dan agak ramah, membuat bagian dalam tulang-tulangku sangat dingin.
Di ujung belakang ruangan berbentuk aula itu aku mengenali sosok lelaki jangkung berambut sehitam tinta. Jantungku tergeragap. Kupikir Jared mengajak kakak-beradik jahat itu bersamanya, untuk sedikit meringankan tugas Jeb mempertahankan hidupku. Tapi setidaknya itu si adik, Ian, yang akhir-akhir ini mulai punya hati nurani. Ia tak seburuk Kyle. Namun penghiburan ini tidak memperlambat denyut nadiku yang berpacu.
"Semua sudah kenyang secepat ini?" sindir Jeb keras-keras.
"Kehilangan nafsu makan," gumam Maggie.
"Bagaimana denganmu?" tanya Jeb, menoleh kepadaku. "Kau lapar?"
Gerutuan pelan terdengar di antara manusia-manusia itu.
Aku menggeleng--gerakan pelan tapi panik. Aku bahkan tak tahu apakah aku merasa lapar, tapi aku tahu aku tak bisa makan di hadapan sekerumunan orang yang dengan senang hati bersedia menyantapku.
"Well, aku lapar," gumam Jeb. Ia berjalan menyusuri lorog di antara meja, tapi aku tidak mengikutinya. Aku tak tahan dengan pikiran berada dalam jangkauan mudah orang-orang itu. Aku tetap merapat ke dinding, di tempatku berdiri. Hanya Sharon dan Maggie yang mengamati Jeb mendekati wadah plastik besar di meja dan mengambil sekerat roti. Yang lain mengamatiku. Aku yakin, seandainya aku bergerak satu senti saja, mereka akan menerkamku. Kucoba untuk tidak bernapas.
"Well, ayo jalan terus," saran Jeb dengan mulut penuh roti, ketika berjalan kembalik kepadaku. "Kelihatannya tak seorang pun bisa berkonsentrasi pada makan siangnya. Orang-orang ini mudah terganggu."
Aku sedang mengamati manusia-manusia itu, menunggu gerakan mendadak. Setelah mengenali beberapa di antaranya, aku tidak benar-benar memandang wajah mereka sehingga tidak memperhatikan Jamie sampai ia berdiri.
Jamie sekepala lebih pendek daripada orang-orang dewasa di salah satu sisinya, tapi lebih tinggi daripada dua anak lebih kecil yang duduk di meja di sisinya yang lain. Dengan ringan Jamie melompat turun dari kursi dan membuntuti Jeb. Wajahnya tegang, serius, seakan sedang mencoba memecahkan persamaan matematika yang sulit di kepalanya. ia mengamatiku dengan mata sipitnya ketika mendekat di belakang Jeb. Kini bukan aku satu-satunya yang menahan napas di dalam ruangan ini. Tatapan yang lain berpindah-pindah antara aku dan adik Melanie.
Oh, Jamie, ujar Melanie. Ia membenci raut dewasa di wajah Jamie, dan mungkin kebencianku bahkan lebih besar. Perasaan bersalahku lebih besar daripada perasaan Melanie, karena telah meletakkan raut seperti itu di sana.
Kalau saja kita bisa menyingkirkan ekspresi itu, desah Melanie.
Sudah terlambat. Sekarang apa yang bisa kita lakukan untuk membuatnya lebih baik?
Aku tidak mengajukan pertanyaan itu untuk memperoleh jawaban, tapi kudapati diriku mencari-cari jawabannya, begitu pula Melanie. Kami tidak menemukan apa-apa dengan memikirkannya dalam waktu sesingkat itu. Aku yakin tak ada yang bisa ditemukan. Tapi kami sama-sama tahu bahwa kami akan kembali mencari, ketika sudah menyelesaikan tur tolol ini dan punya kesempatan memikirkannya. Seandainya kami bisa bertahan hidup selama itu.
"Kau mau apa, Nak?" tanya Jeb tanpa memandang Jamie.
"Hanya ingin tahu kau sedang apa," jawab Jamie. Suaranya berusaha tidak peduli, tapi gagal.
Jeb berhenti ketika tiba di dekatku, lalu berbalik memandang Jamie. "Aku membawanya berkeliling tempat ini. Persis seperti yang kulakukan terhadap semua pendatang baru."
"Boleh ikut?" tanya Jamie.
Kulihat Sharon menggeleng kuat-kuat dengan wajah marah. Jeb mengabaikannya.
"Tak masalah bagiku... jika kau bisa menjaga sikap."
Jamie mengangkat bahu. "Tak masalah."
Lalu aku terpaksa bergerak--untuk menyatukan jari-jari tanganku di depan tubuh. Aku ingin sekali menyingkirkan rambut Jamie yang berantakan dari matanya, kemudian memeluk lehernya. Aku yakin itu perbuatan yang tidak akan berjalan baik.
"Ayo," ujar Jeb kepada kami berdua. Ia membawa kami keluar melalui jalan masuk tadi. Jeb berjalan di salah satu sisiku, Jamie di sisi yang lain. Tampaknya Jamie mencoba menatap lantai, tapi ia terus-menerus melirik wajahku--persis seperti yang kulakukan, karena aku tak tahan untuk tidak melirik wajahnya. Ketika mata kami bertemu, kami selalu bergegas mengalihkan pandang.
Kami sudah menyusuri setengah ruang besar itu ketika mendengar langkah di belakang kami. Reaksiku begitu spontan dan tanpa berpikir. Aku bergerak cepat ke salah satu sisi terowongan, menarik Jamie dengan sebelah lengan, sehingga aku berada di antara dirinya dan apa pun yang mendekatiku.
"Hei!" protes Jamie, tapi ia tidak menyingkirkan lenganku.
Jeb sama cepatnya. Senapan itu berputar keluar secepat kilat dari tali pengikatnya.
Ian dan Doc sama-sama mengangkat tangan.
"Kami juga bisa menjaga sikap," ujar Doc. Sulit untuk percaya lelaki bersuara lembut dengan raut wajah ramah ini adalah penyiksa tetap. Ia jauh lebih menakutkan bagiku, karena raut wajahnya sangat baik. Kau bakal waspada di malam yang gelap dan mengancam. Kau akan siaga. Tapi di hari yang terang dan cerah? Bagaimana kau bisa tahu kapan kau harus lari, jika tidak mengetahui tempat berbahaya yang harus kauhindari?
Jeb menyipit memandang Ian, moncong senapannya bergeser mengikuti pandangannya.
"Aku tidak mau membuat masalah, Jeb. Aku akan bersikap sama baiknya dengan Doc."
"Baiklah," jawab Jeb singkat, seraya menyimpan senapan. "Tapi jangan mengujiku. Aku sudah lama sekali tidak menembak orang dan aku agak merindukan kegairahan itu."
Aku terkesiap. Semua mendengarnya, dan berpaling untuk melihat wajahku yang ketakutan. Doc-lah yang pertama tertawa, tapi bahkan Jamie pun langsung bergabung.
"Hanya bergurau," bisik Jamie kepadaku. Tangannya bergerak dari sisi tubuhnya, seakan hendak meraih tanganku. Tapi ia cepat-cepat memasukkan tangannya ke saku celana pendeknya. Kubiarkan lenganku--yang masih terentang dengan gaya melindungi di depan tubuhnya--terjatuh juga.
"Well, jangan membuang-buang waktu," ujar Jeb, masih sedikit masam. "Kalian harus bergegas, karena aku tak mau menunggu. Sebelum selesai bicara, ia sudah mulai berjalan.
Jeb membiarkanku menangis habis-habisan tanpa menggangguku. Ia tidak berkomentar ketika kemudian aku terisak-isak. Ketika aku sudah diam selama kira-kira setengah jam, barulah ia bicara.
"Kau masih terjaga?"
Aku tidak menjawab. Aku sudah sangat terbiasa dengan kesunyian.
"Kau ingin keluar dan meregangkan tubuh?" tawanya. "Memikirkan lubang tolol itu saja sudah membuatku sakit punggung."
Ironisnya, mengingat waktu satu minggu yang kuhabiskan dalam kesunyian yang membuatku sinting, aku malah merasa tak ingin ditemani. Tapi tawaran Jeb tidak mampu kutolak. Sebelum aku bisa memikirkannya, kedua tanganku sudah menarikku melewati lubang keluar.
Jeb sedang duduk bersila di atas kasur. Kuamati reaksinya ketika aku mengguncang-guncang lengan dan kaki serta memutar bahu, tapi ia tetap memejamkan mata. Seperti saat Jamie berkunjung, ia tampak sedang tidur.
Sudah berapa lama sejak aku melihat Jamie? Dan bagaimana keadaannya sekarang? Hatiku yang sudah nyeri sedikit berguncang secara menyakitkan.
"Sudah merasa lebih baik?" tanya Jeb. Matanya terbuka.
Aku mengangkat bahu.
"Kau tahu, semua akan baik-baik saja." Ia nyengir lebar sekali, hingga wajahnya meregang. "Hal-hal yang kukatakan kepada Jared... Well, aku tak mau mengatakan aku berbohong, karena semua itu benar, jika kau memandangnya dari sudut tertentu. Tapi dari sudut lain, semua itu tidak terlalu benar, dan lebih tepat jika dibilang itu yang perlu didengar Jared."
Aku hanya menatap Jeb, tidak memahami sepatah kata pun yang ia ucapkan.
"Bagaimanapun, Jared perlu istirahat dari ini. Bukan darimu, Nak," imbuhnya cepat-cepat, "tapi dari situasi ini. Dia akan mendapat perspektif baru selama kepergiannya."
Aku bertanya-tanya, bagaimana mungkin Jeb bisa tahu persis kata-kata dan frasa-frasa apa yang bakal menyakitiku. Dan, terlebih lagi, mengapa Jeb peduli seandainya kata-katanya menyakitiku, atau bahkan seandainya punggungku sakit dan berdenyut-denyut? Kebaikan hatinya terhadapku terasa menakutkan, karena tak bisa dipahami. Setidaknya tindakan-tindakan Jared masuk akal. Usaha pembunuhan Kyle dan Ian, kegairahan dokter itu untuk menyakitiku--semua perilaku itu juga logis. Bukan kebaikan hati. Apa yang diinginkan Jeb dariku?
"Jangan murung begitu," desak Jeb. "Ini ada sisi baiknya. Jared benar-benar keras kepala soal kau. Dan, karena sekarang dia sudah tak lagi terlibat, seharusnya segalanya lebih nyaman."
Alisku berkerut ketika mencoba memahami maksud Jeb.
"Misalnya," lanjut Jeb. "Ruangan ini biasanya kami gunakan untuk gudang. Nah, ketika Jared dan sobat-sobatnya kembali, kita memerlukan tempat untuk meletakkan semua barang yang mereka bawa pulang. Jadi, sekarang kita harus mencari tempat baru untukmu juga. Tempat yang lebih besar, mungkin? Yang memiliki tempat tidur?" Ia kembali tersenyum ketika mengiming-imingiku.
Aku menunggunya berhenti bicara dan mengatakan kepadaku ia bergurau.
Tapi mata Jeb--yang sewarna jins pudar--berubah amat, sangat lembut. Sesuatu mengenai ekspresi di dalam matanya kembali membuat tenggorokanku tercekat.
"Kau tak perlu kembali ke lubang itu, Sayang. Bagian terburuknya sudah lewat."
Aku mendapati diriku tak bisa meragukan tatapan tulus di wajah Jeb. Untuk kedua kali dalam waktu satu jam, kuletakkan wajah ke dalam tangan dan aku menangis.
Jeb bangkit berdiri dan menepuk-nepuk bahuku dengan canggung. Tampaknya ia tidak nyaman dengan air mata. "Sudah, sudah," gumamnya.
Kali ini aku bisa menguasai diri lebih cepat. Ketika aku mengusap mataku yang basah dan tersenyum ragu kepadanya, Jeb mengangguk setuju.
"Gadis baik," ujarnya, kembali menepuk-nepukku. "Nah, kita harus tetap di sini, sampai yakin Jared sudah benar-benar pergi dan tak bisa memergoki kita." Ia nyengir penuh persekongkolan. "Lalu kita akan bersenang-senang!"
Seingatku, gagasan Jeb untuk bersenang-senang biasanya berhubungan dengan perselisihan bersenjata.
Jeb tergelak melihat ekspresi wajahku. "Jangan khawatir. Sementara menunggu, kau sebaiknya mencoba beristirahat. Aku berani bertaruh, kasur tipis itu pun akan terasa sangat nyaman untukmu saat ini."
Kupandang wajah Jeb, lalu kasur di lantai, lalu kupandang lagi wajahnya.
"Ayolah," ujarnya. "Kelihatannya kau bisa memanfaatkan tidur yang nyaman. Aku akan menjagamu."
Dengan terharu, diiringi kelembaban baru di mataku, kujatuhkan tubuhku ke kasur dan kuletakkan kepalaku pada bantal. Serasa surga, walaupun Jeb menyebutnya tipis. Aku meregangkan sekujur tubuhku, meluruskan jari-jari kaki, dan menjangkau ke atas dengan jari-jari tangan. Aku mendengar sendi-sendiku berkeretak. Lalu kubiarkan diriku luruh ke dalam kasur. Rasanya seakan kasur itu memelukku, menghapuskan semua bagian yang sakit. Aku mendesah.
"Menyenangkan melihatmu seperti itu," gumam Jeb. "Ketika mengetahui seseorang menderita di bawah atap rumahmu sendiri, rasanya seperti gatal yang tidak bisa kaugaruk."
Jeb menjatuhkan diri ke lantai beberapa meter dariku, dan mulai bersenandung pelan. Aku sudah tertidur sebelum ia menyelesaikan bait pertama.
Ketika terbangun, aku tahu aku telah tidur nyenyak lama sekali--lebih lama daripada sebelumnya, semenjak datang kemari. Tak ada rasa sakit, tak ada gangguan-gangguan mengerikan. Seharusnya aku merasa sangat nyaman, tapi terbangun di atas bantal mengingatkanku bahwa Jared sudah pergi. Baunya masih seperti bau Jared. Dan dalam artian yang baik, tidak seperti bau tubuhku.
Jared kembali menjadi mimpi, desah Melanie pilu.
Aku hanya bisa mengingat mimpiku samar-samar, tapi aku tahu itu berhubungan dengan Jared, seperti yang biasa terjadi ketika aku bisa tidur cukup nyenyak hingga bermimpi.
"Pagi, Nak," sapa Jeb. Ia terdengar ceria.
Kubuka kelopak mataku untuk memandangnya. Apakah ia duduk bersandar di dinding semalamam? Ia tidak tampak lelah, tapi mendadak aku merasa bersalah karena telah memonopoli akomodasi yang lebih baik.
"Nah, mereka sudah lama pergi," ujar Jeb antusias. "Bagaimana kalau kita berjalan-jalan? Tanpa sadar ia membelai senapan yang menggantung di pinggangnya.
Mataku terbuka lebih lebar, menatapnya tak percaya. Jalan-jalan?
"Nah, jangan takut kepadaku. Tak seorang pun akan mengganggumu. Dan akhirnya kau toh harus bisa ke mana-mana sendiri di sekitar sini."
Jeb mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri.
Aku menyambutnya. Kepalaku berputar-putar ketika aku mencoba memahami perkataan Jeb. Aku harus bisa ke mana-mana sendiri di sekitar sini? Mengapa? Dan apa yang dimaksudkannya dengan "akhirnya"? Berapa lama ia mengharapkanku bertahan hidup?
Jeb menarikku berdiri dan menuntunku berjalan.
Aku sudah lupa bagaimana rasanya bergerak melewati terowongan-terowongan gelap itu dengan tangan yang menuntunku. Begitu mudah--nyaris tidak memerlukan konsentrasi sama sekali.
"Baiklah," gumam Jeb. "Mungkin sayap kanan dulu. Memberikan tempat yang layak untukmu. Lalu dapur..." Ia terus merencanakan turnya, melanjutkan ketika kami melangkah melewati celah sempit itu ke dalam terowongan terang menuju ruang besar yang bahkan lebih terang lagi. Ketika terdengar suara-suara, mulutku berubah kering. Jeb terus mengajakku bicara, entah tidak menyadari atau mengabaikan ketakutanku.
"Aku berani bertaruh, wortel-wortelnya mulai tumbuh hari ini," ujar Jeb, ketika menuntunku ke plaza utama. Cahayanya membutakan. Aku tak bisa melihat siapa yang berada di sana, tapi bisa merasakan tatapan mereka yang tertuju kepadaku. Keheningan mendadak itu terasa mengancam, seperti biasa.
"Yep," jawab Jeb pada diri sendiri. "Nah, bagiku mereka selalu tampak sangat indah. Hijau musim semi yang menyenangkan seperti itu enak dilihat."
Ia berhenti, lalu merentangkan tangan, mengundangku melihat. Aku menyipitkan mata ke arah yang ditunjukkannya, tapi terus-menerus melirik ke sekeliling ruangan ketika menunggu mataku menyesuaikan diri. Perlu sejenak, tapi kemudian aku melihat apa yang dibicarakan Jeb. Aku juga melihat ada sekitar lima belas orang di sini hari ini, dan mereka juga sibuk mengerjakan hal lain.
Bidang persegi empat luas dan gelap yang memenuhi bagian tengah ruang gua besar itu tak lagi gelap. Setengah bidang itu ditutupi warna hijau musim semi, persis yang dikatakan Jeb. Cantik. Dan menakjubkan.
Tak heran tak seorang pun berdiri di bagian yang itu. Ternyata itu kebun.
"Wortel?" bisikku.
Jeb menjawab dengan volume normal. "Setengah bagian yang sedang tumbuh menghijau ini. Setengahnya lagi bayam. Akan kelihatan dalam beberapa hari."
Orang-orang di dalam ruangan telah kembali bekerja, sambil sesekali mengintipku, tapi mereka terutama berkonsentrasi dengan apa yang sedang mereka lakukan. Cukup mudah untuk memahami kegiatan mereka--dengan gerobak besar dan slang-slang--setelah kebun itu kukenali.
"Irigasi?" bisikku kembali.
"Benar. Air cepat sekali mengering di udara sepanas ini."
Aku mengangguk mengiyakan. Kurasa masih pagi, tapi aku sudah berkeringat. Panas yang berasal dari cahaya luar biasa di atas kepala itu menyesakkan di dalam ruang-ruang gua. Kucoba untuk meneliti kembali langit-langit, tapi cahayanya kelewat terang untuk ditatap.
Kutarik lengan baju Jeb, lalu aku menyipit memandang cahaya menyilaukan itu. "Bagaimana caranya?"
Jeb tersenyum, senang dengan rasa penasaranku. "Sama seperti yang dilakukan pesulap--dengan cermin-cermin, Nak. Ratusan jumlahnya. Perlu waktu cukup lama bagiku untuk memasang semuanya di sana. Menyenangkan punya banyak tangan ekstra di sekitar sini, saat cermin - cermin itu perlu dibersihkan. Lihat, hanya ada empat ventilasi kecil di langit-langit, dan cahayanya tak memadai untuk mewujudkan apa yang ada di dalam benakku. Bagaimana menurutmu?"
Ia membusungkan dada lagi, kembali merasa bangga.
"Hebat," bisikku. "Mengagumkan."
Jeb nyengir lalu mengangguk, menikmati reaksiku.
"Ayo terus," sarannya. "Banyak yang harus dilakukan hari ini."
Ia menuntunku ke terowongan baru, lorong lebar yang terbentuk alami dan memanjang dari gua besar itu. Ini daerah baru. Semua ototku menegang. Aku bergerak maju dengan kaki kaku dan lutut lurus.
Jeb menepuk-nepuk tanganku, tapi juga mengabaikan kekhawatiranku. "Sebagian besar bagian ini berisi kamar tidur dan semacam gudang. Di sini lorong-lorongnya lebih dekat dengan permukaan, jadi lebih mudah memperoleh cahaya."
Ia menunjuk celah sempit terang pada langit-langit terowongan di atas kepala. Celah itu memancarkan bintik cahaya seukuran tangan di lantai.
Kami sampai di pertigaan yang luas--sebenarnya bukan pertigaan, karena terlalu banyak cabang. Percabangan lorong-lorong yang menyerupai gurita.
"Ketiga dari kiri," ujar Jeb, memandangku penuh harap.
"Ketiga dari kiri?" ulangku.
"Benar. Jangan lupa. Mudah tersesat di sekitar sini, dan itu tidak aman untukmu. Orang-orang lebih suka langsung menikammu daripada menunjukkan arah yang benar."
Aku bergidik. "Terima kasih," gumamku, diam-diam menyindirnya.
Jeb tertawa, seakan jawabanku membuatnya senang. "Tak ada gunanya mengabaikan kebenaran. Menyebutkannya keras-keras tidak akan membuatnya semakin buruk."
Takkan membuatnya semakin baik juga. Tapi aku diam saja. Aku mulai sedikit gembira. Sangat menyenangkan punya seseorang yang bicara denganku lagi. Jeb bisa dibilang teman menarik.
"Satu, dua, tiga," hitungnya, lalu ia menuntunku menyusuri lorong ketiga dari kiri. Kami mulai melewati lubang-lubang masuk bulat yang ditutupi berbagai pintu seadanya. Beberapa di antaranya diberi tirai dari lembaran kain berpola; yang lainnya ditutupi lembaran besar karton yang disatukan dengan selotip. Ada satu lubang yang ditutupi dua pintu asli--yang satu dari kayu bercat merah, satunya lagi dari logam abu-abu.
"Tujuh," hitung Jeb, lalu berhenti di depan lubang yang agak kecil, yang titik tertingginya hanya beberapa senti dari kepalaku.
Lubang yang ini menutupi privasinya dengan tirai hijau muda cantik--jenis tirai yang biasanya membagi ruangan di dalam ruang tamu elegan. Ada pola bunga-bunga sakura yang dibordir di atas kain sutranya.
"Ini satu - satunya ruangan yang terpikir olehku saat ini. Satu-satunya yang dilengkapi dengan layak untuk ditempati manusia. Bakal kosong selama beberapa minggu, dan kami akan memikirkan sesuatu yang lebih baik untukmu ketika ruangan ini kembali diperlukan."
Jeb menyibak tirai, dan cahaya yang lebih terang--jika dibandingkan dengan cahaya di lorong--menyambut kami.
Ruangan yang diperlihatkan Jeb memberiku perasaan vertigo aneh--mungkin karena ruangannya sangat tinggi tapi tidak terlalu lebar. Berdiri di dalamnya seperti di dalam menara atau lumbung. Bukannya aku pernah berada di tempat-tempat semacam itu, tapi semua itu perbandingan yang dibuat Melanie. Langit-langitnya, yang tingginya dua kali lebarnya, berupa labirin retakan. Seperti jalinan cahaya yang merambat, celah-celah itu nyaris melingkar penuh. Ini kelihatan berbahaya bagiku. Tidak stabil. Tapi ketika menuntunku semakin dalam Jeb tidak menunjukkan perasaan takut kalau-kalau langit - langitnya runtuh.
Ada kasur berukuruan besar di lantai, ketiga sisinya berjarak sekitar satu meter dari dinding. Dua bantal dan dua selimut diatur dalam dua konfigurasi terpisah di atas masing - masing setengah bagian kasur, sehingga ruangan ini tampaknya ditempati dua orang. Tiang kayu tebal--bentuknya menyerupai pegangan garukan tanah--ditelattak horisontal setinggi bahu pada dinding yang jauh, dan masing-masing ujungnya dimasukkan ke dua dari lubang-lubang yang menyerupai keju Swiss di batu. Di atasnya tersampir beberapa kaus dan dua jins. Bangku kayu bersandar di dinding di samping rak pakaian seadanya itu, dan di lantai di bawahnya ada tumpukan buku bacaan lusuh.
"Siapa?" tanyaku kepada Jeb, kembali berbisik. Ruangan ini jelas milik orang, sehingga aku tak lagi merasa hanya sendirian bersama Jeb.
"Salah seorang dari mereka yang sedang pergi menjarah. Takkan kembali selama beberapa waktu. Kami akan mencari tempat lain untukmu ketika dia kembali."
Aku tidak suka itu. Bukan tidak suka kamarnya, tapi gagasan tinggal di dalamnya. Kehadiran si pemilik sangat terasa, walaupun barang-barang miliknya sederhana. Tak peduli siapa pun orangnya, ia takkan senang melihatku di sini. Ia akan membencinya.
Jeb tampaknya bisa membaca pikiranku--atau mungkin ekspresiku cukup jelas sehingga ia tidak perlu menebaknya.
"Nah, nah," katanya. "Jangan khawatir soal itu. Ini rumahku, dan ini salah satu kamar tamuku. Aku yang menentukan siapa tamuku dan siapa yang bukan. Saat ini kau tamjku, dan aku menawarkan kamar ini kepadamu."
Aku masih tidak menyukai gagasan itu, tapi juga tidak ingin membuat Jeb jengkel. Aku bersumpah takkan mengusik sesuatu pun, walaupun itu berarti tidur di lantai.
"Well, ayo kita lanjutkan. Jangan lupa: ketiga dari kiri, lubang ketujuh."
"Tirai hijau," imbuhku.
"Benar sekali."
Jeb membawaku kembali melewati ruangan dengan kebun besar, mengitari pinggirannya ke sisi seberang, dan melewati lubang terowongan terbesar. Ketika kami melewati orang-orang yang sedang mengitari kebun, mereka mengejang lalu berbalik, takut kalau aku berada di balik punggung mereka.
Terowongan ini berpenerangan baik. Celah-celah bercahaya terang muncul dengan jarak terlalu teratur, sehingga tak mungkin alami.
"Kini kita semakin mendekati permukaan. Lebih kering, tapi juga lebih panas."
Aku langsung merasakannya. kini kami tidak sedang direbus, tapi dipanggang. Udara lebih tidak apak dan menyesakkan. Aku bisa merasakan debu padang gurun.
Terdengar lebih banyak suara di depan sana. Aku mencoba menguatkan diri menghadapi reaksi yang tak terhindarkan. Seandainya Jeb bersikeras memperlakukanku seperti... seperti manusia, seperti tamu yang disambut dengan gembira, aku harus membiasakan diri. Tak ada alasan untuk terus-menerus merasa mual. Bagaimanapunk, perutku mulai bergolak tidak senang.
"Ini menuju dapur," ujar Jeb.
Pertama-tama aku mengira kami berada di terowongan lain penuh orang. Aku merapat ke dinding, mencoba menjaga jarak.
Dapurnya berupa koridor panjang berlangit-langit tinggi, lebih tinggi dibandingkan luasnya, seperti kamar baruku. Cahayanya terang dan panas. Bukan celah-celah sempit di batu tebal, tapi tempat ini punya lubang-lubang besar terbuka.
"Tentu saja kami tidak bisa memasak di siang hari. Asap. Kau tahu, kan? Jadi, kami lebih sering menggunakan tempat ini sebagai ruang makan, hingga malam tiba."
Semua percakapan mendadak berhenti, sehingga kata-kata Jeb bisa didengar jelas oleh semua orang. Aku mencoba bersembunyi di belakang Jeb, tapi ia terus berjalan semakin jauh.
Kami mengganggu sarapan, atau mungkin makan siang.
Para manusia--hampir dua puluh jumlahnya menurut hitungan cepatku--berada sangat dekat di sini. Tidak seperti di ruang gua yang besar itu. Aku ingin terus memandangi lantai, tapi tak bisa menghentikan mataku agar tidak menjelajahi ruangan. Untuk berjaga-jaga. Aku bisa merasakan tubuhku menegang, siap kabur, walaupun aku tak tahu harus lari ke mana.
Di kedua sisi lorong ada tumpukan-tumpukan batu yang memanjang. Sebagian besar batu vulkanik ungu kasar, dengan semacam substansi yang berwarna lebih muda--semen?--di sela-selanya. Substansi itu berfungsi sebagai pelapis, merekatkan batu-batu itu. Di atas tumpukan-tumpukan ini terdapat batu-batu brebeda, lebih cokelat dan datar. Semua juga direkatkan menjadi satu dengan pelapis abu-abu muda. Produk akhirnya adalah permukaan yang relatif rata, seperti meja atau meja dapur. Jelas itulan kegunaan tumpukan-tumpukan batu itu.
Semua manusia duduk di atasnya, sebagian bersandar di sana. Aku mengenali roti-roti bulat yang mereka pegang di antara meja dan mulut mereka. Mereka terpaku tak percaya ketika melihat Jeb dan tur satu orangnya.
Beberapa di antara mereka kukenal. Sharon, Maggie, dan Doc adalah kelompok yang paling dekat denganku. Sepupu Melanie dan bibinya itu memelototi Jeb dengan marah. Aku punya keyakinan aneh bahwa, walaupun aku berdiri jungkir balik dan meneriakkan lagu-lagu dari ingatan Melanie sekeras mungkin, mereka masih tidak mau memandangku. Tapi dokter itu memandangku dengan rasa penasaran yang jujur dan agak ramah, membuat bagian dalam tulang-tulangku sangat dingin.
Di ujung belakang ruangan berbentuk aula itu aku mengenali sosok lelaki jangkung berambut sehitam tinta. Jantungku tergeragap. Kupikir Jared mengajak kakak-beradik jahat itu bersamanya, untuk sedikit meringankan tugas Jeb mempertahankan hidupku. Tapi setidaknya itu si adik, Ian, yang akhir-akhir ini mulai punya hati nurani. Ia tak seburuk Kyle. Namun penghiburan ini tidak memperlambat denyut nadiku yang berpacu.
"Semua sudah kenyang secepat ini?" sindir Jeb keras-keras.
"Kehilangan nafsu makan," gumam Maggie.
"Bagaimana denganmu?" tanya Jeb, menoleh kepadaku. "Kau lapar?"
Gerutuan pelan terdengar di antara manusia-manusia itu.
Aku menggeleng--gerakan pelan tapi panik. Aku bahkan tak tahu apakah aku merasa lapar, tapi aku tahu aku tak bisa makan di hadapan sekerumunan orang yang dengan senang hati bersedia menyantapku.
"Well, aku lapar," gumam Jeb. Ia berjalan menyusuri lorog di antara meja, tapi aku tidak mengikutinya. Aku tak tahan dengan pikiran berada dalam jangkauan mudah orang-orang itu. Aku tetap merapat ke dinding, di tempatku berdiri. Hanya Sharon dan Maggie yang mengamati Jeb mendekati wadah plastik besar di meja dan mengambil sekerat roti. Yang lain mengamatiku. Aku yakin, seandainya aku bergerak satu senti saja, mereka akan menerkamku. Kucoba untuk tidak bernapas.
"Well, ayo jalan terus," saran Jeb dengan mulut penuh roti, ketika berjalan kembalik kepadaku. "Kelihatannya tak seorang pun bisa berkonsentrasi pada makan siangnya. Orang-orang ini mudah terganggu."
Aku sedang mengamati manusia-manusia itu, menunggu gerakan mendadak. Setelah mengenali beberapa di antaranya, aku tidak benar-benar memandang wajah mereka sehingga tidak memperhatikan Jamie sampai ia berdiri.
Jamie sekepala lebih pendek daripada orang-orang dewasa di salah satu sisinya, tapi lebih tinggi daripada dua anak lebih kecil yang duduk di meja di sisinya yang lain. Dengan ringan Jamie melompat turun dari kursi dan membuntuti Jeb. Wajahnya tegang, serius, seakan sedang mencoba memecahkan persamaan matematika yang sulit di kepalanya. ia mengamatiku dengan mata sipitnya ketika mendekat di belakang Jeb. Kini bukan aku satu-satunya yang menahan napas di dalam ruangan ini. Tatapan yang lain berpindah-pindah antara aku dan adik Melanie.
Oh, Jamie, ujar Melanie. Ia membenci raut dewasa di wajah Jamie, dan mungkin kebencianku bahkan lebih besar. Perasaan bersalahku lebih besar daripada perasaan Melanie, karena telah meletakkan raut seperti itu di sana.
Kalau saja kita bisa menyingkirkan ekspresi itu, desah Melanie.
Sudah terlambat. Sekarang apa yang bisa kita lakukan untuk membuatnya lebih baik?
Aku tidak mengajukan pertanyaan itu untuk memperoleh jawaban, tapi kudapati diriku mencari-cari jawabannya, begitu pula Melanie. Kami tidak menemukan apa-apa dengan memikirkannya dalam waktu sesingkat itu. Aku yakin tak ada yang bisa ditemukan. Tapi kami sama-sama tahu bahwa kami akan kembali mencari, ketika sudah menyelesaikan tur tolol ini dan punya kesempatan memikirkannya. Seandainya kami bisa bertahan hidup selama itu.
"Kau mau apa, Nak?" tanya Jeb tanpa memandang Jamie.
"Hanya ingin tahu kau sedang apa," jawab Jamie. Suaranya berusaha tidak peduli, tapi gagal.
Jeb berhenti ketika tiba di dekatku, lalu berbalik memandang Jamie. "Aku membawanya berkeliling tempat ini. Persis seperti yang kulakukan terhadap semua pendatang baru."
"Boleh ikut?" tanya Jamie.
Kulihat Sharon menggeleng kuat-kuat dengan wajah marah. Jeb mengabaikannya.
"Tak masalah bagiku... jika kau bisa menjaga sikap."
Jamie mengangkat bahu. "Tak masalah."
Lalu aku terpaksa bergerak--untuk menyatukan jari-jari tanganku di depan tubuh. Aku ingin sekali menyingkirkan rambut Jamie yang berantakan dari matanya, kemudian memeluk lehernya. Aku yakin itu perbuatan yang tidak akan berjalan baik.
"Ayo," ujar Jeb kepada kami berdua. Ia membawa kami keluar melalui jalan masuk tadi. Jeb berjalan di salah satu sisiku, Jamie di sisi yang lain. Tampaknya Jamie mencoba menatap lantai, tapi ia terus-menerus melirik wajahku--persis seperti yang kulakukan, karena aku tak tahan untuk tidak melirik wajahnya. Ketika mata kami bertemu, kami selalu bergegas mengalihkan pandang.
Kami sudah menyusuri setengah ruang besar itu ketika mendengar langkah di belakang kami. Reaksiku begitu spontan dan tanpa berpikir. Aku bergerak cepat ke salah satu sisi terowongan, menarik Jamie dengan sebelah lengan, sehingga aku berada di antara dirinya dan apa pun yang mendekatiku.
"Hei!" protes Jamie, tapi ia tidak menyingkirkan lenganku.
Jeb sama cepatnya. Senapan itu berputar keluar secepat kilat dari tali pengikatnya.
Ian dan Doc sama-sama mengangkat tangan.
"Kami juga bisa menjaga sikap," ujar Doc. Sulit untuk percaya lelaki bersuara lembut dengan raut wajah ramah ini adalah penyiksa tetap. Ia jauh lebih menakutkan bagiku, karena raut wajahnya sangat baik. Kau bakal waspada di malam yang gelap dan mengancam. Kau akan siaga. Tapi di hari yang terang dan cerah? Bagaimana kau bisa tahu kapan kau harus lari, jika tidak mengetahui tempat berbahaya yang harus kauhindari?
Jeb menyipit memandang Ian, moncong senapannya bergeser mengikuti pandangannya.
"Aku tidak mau membuat masalah, Jeb. Aku akan bersikap sama baiknya dengan Doc."
"Baiklah," jawab Jeb singkat, seraya menyimpan senapan. "Tapi jangan mengujiku. Aku sudah lama sekali tidak menembak orang dan aku agak merindukan kegairahan itu."
Aku terkesiap. Semua mendengarnya, dan berpaling untuk melihat wajahku yang ketakutan. Doc-lah yang pertama tertawa, tapi bahkan Jamie pun langsung bergabung.
"Hanya bergurau," bisik Jamie kepadaku. Tangannya bergerak dari sisi tubuhnya, seakan hendak meraih tanganku. Tapi ia cepat-cepat memasukkan tangannya ke saku celana pendeknya. Kubiarkan lenganku--yang masih terentang dengan gaya melindungi di depan tubuhnya--terjatuh juga.
"Well, jangan membuang-buang waktu," ujar Jeb, masih sedikit masam. "Kalian harus bergegas, karena aku tak mau menunggu. Sebelum selesai bicara, ia sudah mulai berjalan.
0 comments:
Post a Comment