Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara

Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara
Harga mulai 5rb an. Gratis ongkir DKI Jakarta

The Host - Bab 12

0 comments
Gagal

"Tak mungkin! Kau keliru! Salah total! Itu tidak mungkin!" Kutatap kejauhan. Aku dipenuhi rasa tak percaya yang segera berubah menjadi rasa ngeri.
Kemarin pagi aku sudah menyantap Twinkies hancur terakhir untuk sarapan. Kemarin siang aku menemukan puncak kembar itu dan berbelok ke timur lagi. Melanie telah memberiku formasi terakhir yang harus kutemukan. Kabar itu membuatku nyaris histeris karena kegirangan. Semalam aku menghabiskan air terakhir. Itu hari keempat.

Pagi ini terasa seperti ingatan kabur mengenai matahari yang membutakan dan harapan yang membuncah. Waktu hampir habis, dan aku mengamati garis langit untuk mencari petunjuk terakhir dengan perasaan panik yang semakin besar. Aku tak bisa melihat tempat mana pun yang cocok. Garis mendatar panjang puncak rata, diapit puncak - puncak tumpul di kiri-kanannya seperti dua pengawal. Hal semacam itu akan makan tempat, dan pegunungan di timur dan utara dipenuhi puncak bergerigi. Aku tak bisa melihat di mana puncak datar itu bersembunyi di antara puncak - puncak bergerigi tersebut.

Menjelang siang--dalam pandanganku matahari masih berada di timur--aku berhenti untuk beristirahat. Aku merasa sangat lemah, dan itu membuatku takut. Setiap otot tubuhku mulai nyeri, tapi bukan akibat semua perjalanan kaki ini. Aku bisa membedakan rasa nyeri akibat kelelahan, juga rasa nyeri akibat tidur di tanah, tapi berbeda dengan rasa nyeri baru ini. Tubuhku mengering dan rasa nyeri ini adalah karena otot-ototku memprotes siksaan itu. Aku tahu aku takkan bisa berjalan lebih jauh lagi.

Aku berbalik memunggungi timur, agar matahari menyingkir sejenak dari wajahku.
Dan saat itulah aku melihatnya. Garis mendatar panjang puncak rata, yang tak mungkin keliru dengan adanya dua puncak yang mengapitnya. It dia, sangat jauh di barat, sehingga tampak berkilau di atas fatamorgana. Mengapung, melayang - layang di atas padang gurun seperti awan gelap. Setiap langkah yang kuambil telah menuntunku ke arah keliru. Petunjuk terakhir jauh sekali di barat, lebih jauh daripada seluruh perjalanan yang telah kami tempuh.

"Mustahil," bisikku lagi.
Melanie membeku di kepalaku, tidak berpikir, kosong, mencoba mati-matian menolak pemahaman baru ini. Aku menunggunya, mataku menyusuri bentuk-bentuk yang tak diragukan lagi sangat kukenal itu, hingga beban mendadak kepasrahan dan kesedihan Melanie membuatku jatuh berlutut. Kepasrahan bisu Melanie menggema di kepalaku, menambahkan satu lapisan lagi di atas rasa nyeri itu. Napasku terengah-engah--tangisan tanpa suara, tanpa air mata. Matahari merayapi punggungku; panasnya menembus jauh ke dalam gelapnya rambutku.

Ketika aku berhasil memulihkan ketenangan, bayangan tubuhku hanya berupa lingkaran kecil di tanah. Dengan susah payah aku kembali berdiri. Batu-batu kecil tajam tertanam di kulit kakiku.
Aku tak mau repot-repot membersihkannya. Kutatap puncak rata melayang itu, yang mengejekku dari barat untuk waktu yang panas dan lama.



Dan akhirnya, tanpa benar-benar yakin mengapa aku melakukannya, aku mulai melangkah maju. Yang kuketahui hanya ini: akulah yang bergerak, bukan orang lain. Melanie begitu kecil di dalam otakku, berubah menjadi kapsul nyeri mungil yang membungkus erat dirinya sendiri. Takkan ada pertolongan darinya.
Langkah kakiku berbunyi keresek, keresek lambat melintasi tanah berkerikil.

"Ternyata dia hanya orang gila tua penipu," gumamku kepada diri sendiri. Getaran aneh mengguncang dadaku, dan suara batuk parau mengoyak tenggorokanku. Aliran batuk parau itu terus berlanjut. Ketika kurasakan mataku pedih karena air mata yang tak kunjung muncul, barulah kusadari aku tertawa.

"Tak pernah... tak pernah... ada apa-apa di luar sini!" Aku terengah-engah di antara serangan histeria. Aku terhuyung-huyung maju seakan mabuk, jejak-jejak kakiku memanjang tak teratur di belakangku.
Tidak. Melanie melepaskan diri dari kesedihan, untuk mempertahankan keyakinan yang masih dipegangnya. Aku yang keliru, atau semacam itu. Salahku.

Kini aku menertawakan Melanie. Suara itu terisap angin yang membakar.
Tunggu, tunggu, ujarnya. Ia mencoba menarik perhatianku dari kekonyolan semua ini. Kau tidak mengira... maksudku, kaupikir mereka juga mencobanya?

Ketakutan Melanie yang tak terduga menghentikan tawaku. Aku menelan udara panas, dadaku berdenyut-denyut akibat serangan mengerikan histeriaku. Ketika aku sudah bisa bernapas lagi, semua jejak humor menyedihkan itu lenyap. Secara naluriah mataku menyapu kekosongan padang gurun, mencari semacam bukti bahwa aku bukanlah orang pertama yang menyia-nyiakan hidup seperti ini. Dataran itu teramat sangat luas, tapi aku tak bisa menghentikan pencarian panikku. Aku mencari... mayat-mayat.

Tidak, tentu saja tidak. Melanie sudah menghibur dirinya sendiri. jared terlalu pintar. Ia takkan kemari tanpa persiapan, tidak seperti yang kita lakukan. Ia takkan menjerumuskan Jamie ke dalam bahaya.
Aku yakin kau benar, kataku. Aku juga ingin memiliki keyakinan sebesar itu. Aku yakin tak seorang pun di seluruh jagad raya ini bisa bertindak setolol ini. Lagi pula Jared mungkin tak pernah datang untuk menengok tempat ini. Ia mungkin tak pernah menemukan jawabannya. Kalau saja kau juga tak pernah menemukan jawabannya.

Kakiku terus bergerar. Nyaris tak kusadari tindakan itu. Sedikit sekali artinya dibandingkan jarak yang membentang di depan. Dan kalaupun kami secara ajaib diangkut ke bagian dasar puncak rata itu, lalu apa? Aku benar-benar yakin tak ada apa - apa di sana. Tak seorang pun menunggu di puncak rata itu untuk menyelamatkan kami.

"Kita akan mati," ujarku. Aku terkejut, karena tak ada ketakutan dalam suara parauku. Ini cuma kenyataan, persis kenyataan-kenyataan lainnya. Mataharinya panas. Padang gurunnya kering. Kami bakal mati.

Ya. Melanie juga tenang. Kematian ini lebih mudah diterima daripada kenyataan bahwa usaha - usaha kami telah dituntun kegilaan.
"Kematian tidak mengganggumu?"
Melanie berpikir sejenak sebelum menjawab.
Setidaknya aku mati saat mencoba. Dan aku menang. Aku tak pernah membocorkan keberadaan mereka. Aku tidak pernah menyakiti mereka. Aku berjuang sekeras mungkin untuk menemukan mereka. Aku mencoba memenuhi janjiku... Aku mati untuk mereka.

Aku menghitung sembilan belas langkah sebelum bisa menjawab. Sembilan belas bunyi gemersik lamban yang sia-sia melintasi pasir.

"Lalu, untuk apa aku mati?" aku bertanya-tanya, dan perasaan menusuk itu kembali memasuki saluran air mata keringku. "Kurasa karena aku tersesat, bukan? Itukan sebabnya?"

Aku menghitung 34 bunyi gemersik sebelum Melanie menemukan jawaban atas pertanyaanku.
Tidak, ujarnya. Tidak terasa seperti itu bagiku. Kurasa... Well, kurasa... mungkin kau mati untuk menjadi manusia. Nyaris tampak senyuman di dalam pikiran Melanie ketika mendengar makna ganda konyol frasa itu. Setelah semua planet dan inang yang kau tinggalkan, akhirnya kau menemukan tempat lain dan tubuh untuk mati. Kurasa kau telah menemukan rumahmu, Wanderer.
Sepuluh bunyi gemerisik.

Aku tak punya energi untuk kembali membuka mulut. Kalau begitu, sayang sekali aku tak bisa tinggal di sini lebih lama.
Aku meragukan jawaban Melanie. Mungkin ia sedang mencoba membuatku merasa lebih baik. Sebagai imbalan karena aku telah menyeretnya kemari untuk mati. Ia menang; ia tak pernah menghilang.

Langkah-langkahku mulai goyah. Otot-ototku berteriak memohon ampun, seakan aku punya cara untuk menghibur mereka. Kupikir aku akan berhenti tepat di sini, tapi Melanie, seperti biasa, lebih gigih daripadaku.

Kini aku bisa merasakan gadis ini, dan bukan hanya di dalam kepalaku, melainkan juga di dalam semua tungkaiku. Langkahku memanjang; jalanku semakin lurus. Dengan tekad baja Melanie menyeret bangkai tubuhku yang sudah setengah mati menuju tujuan yang mustahil.

Perjuangan sia-sia ini memunculkan kegembiraan tak terduga. Sama seperti aku bisa merasakan dirinya, Melanie juga bisa merasakan tubuhku. Tubuh kami, sekarang. Kelemahanku menyerahkan kendali kepadanya. Ia senang punya kebebasan untuk menggerakkan sepasang lengan dan kaki kami ke depan, tak peduli betapa sia-sia gerakan itu. Ia hanya senang karena bisa kembali melakukannya. Bahkan sakitnya kematian pelan yang kami alami mulai meredup jika dibandingkan kebebasan itu.

Menurutmu ada apa di luar sana? tanya Melanie ketika kami berjalan menuju kematian. Apa yang kaulihat setelah kita mati?
Tak ada, Kata itu hampa, tegas, dan yakin. Ada alasan mengapa kami menyebutnya kematian terakhir.
Jiwa tidak mempercayai kehidupan setelah kematian?
Kami punya begitu banyak kehidupan. Lebih dari itu akan... terasa berlebihan. Kami mengalami kematian kecil setiap kali meninggalkan inang. Kami hidup kembali dalam inang lain. Ketika aku mati di sini, itu adalah kematian terakhir.
Muncul keheningan yang panjang ketika kaki kami bergerak semakin lambat.

Bagaimana denganmu? tanyaku akhirnya. Masihkah kau memercayai sesuatu yang lebih, bahkan setelah semua ini? Pikiranku menggali ingatan-ingatan Melanie mengenai akhir dunia manusia.
Kelihatannya beberapa hal tak bisa mati.

Di benak kami wajah mereka tampak jelas dan dekat. Cinta yang kami rasakan untuk Jared dan Jamie memang terasa sangat permanen. Saat itu aku bertanya-tanya, apakah kematian cukup kuat untuk melarutkan sesuatu yang begitu penting dan tajam. Mungkin cinta ini akan terus hidup bersama Melanie, di suatu tempat negeri dongeng dengan gerbang mutiara. Bukan bersamaku.

Akan melegakan jika terbebas dari rasa cinta itu? Aku tak yakin. Rasanya seakan-akan cinta itu telah menjadi bagian diriku sekarang.
Kami hanya mampu bertahan beberapa jam. Bahkan kekuatan benak Melanie yang luar biasa tak bisa meminta lebih pada tubuh lemah kami. Kami nyaris tak bisa melihat. Sepertinya kami tak bisa menemukan oksigen di udara kering yang kami hidup dan embuskan kembali. Rasa nyeri membawa erangan-erangan parau keluar dari bibir kami.

Kau tak pernah mengalami hal seburuk ini. Dengan lemah kugoda Melanie, ketika kami terhuyung-huyung ke pohon sekering tongkat yang berdiri beberapa puluh sentimeter lebih tinggi dari pada semak rendah. Kami ingin mencapai alur - alur tipis keteduhan itu sebelum terjatuh.

Tidak, Melanie mengiyakan. Tak pernah seburuk ini.
Kami mencapai tujuan. Pohon mati itu menciptakan bayang-bayang berbentuk sarang laba-laba di atas kami, dan sepasang kaki kami berhenti bergerak. Kami duduk, tak pernah menginginkan matahari di wajah kami lagi. Kepala kami menoleh sendiri, mencari udara yang membakar. Kami menatap debu yang melayang beberapa senti dari lubang hidung, dan mendengarkan engahan napas kami.



Setelah beberapa saat, singkat atau lama kami tak tahu, kami memejamkan mata. Kelopak kami merah dan terang di dalam, Kami tak bisa merasakan jaring-jaring lemah keteduhan; mungkin bayang-bayang itu tak lagi menyentuh kami.

Berapa lama? tanyaku kepada Melanie.
Aku tak tahu. Aku belum pernah mati.
Satu jam? Lebih?
Tebakanmu sama bagusnya dengan tebakanku.
Di mana coyote itu, ketika kau benar-benar memerlukannya?
Mungkin kita beruntung... lolos dari mahluk buas bercakar atau semacam itu... Pikiran Melanie berhenti dengan kacau.

Itu percakapan terakhir kami. Terlalu berat untuk berkonsentrasi membentuk kata-kata. Lebih banyak kesakitan daripada yang semula kami kira. Semua otot di tubuh kami memberontak, mengerut dan mengejang ketika melawan kematian.


Kami tidak melawan. Kami hanyut dan menunggu. Tanpa pola tertentu, pikiran-pikiran kami keluar-masuk ingatan-ingatan. Ketika masih tersadar, kami menyenandungkan lagu ninabobo di dalam kepala. Itu lagu yang biasa kami senandungkan untuk menghibur Jamie ketika tanah terlalu keras, atau udara terlalu dingin, atau ketakutannya terlalu besar sehingga ia tak bisa tidur. Kami merasakan kepala Jamie menekan cekungan persis di bawah bahu kami, lalu merasakan bentuk punggungnya di bawah lengan kami. Lalu tampaknya seakan kepala kami-lah yang terbuai di atas bahu yang lebih bidang, dan lagu ninabobo lain menghibur kami.

Kelopak mata kami berubah hitam, tapi bukan karena kematian. Malam telah datang, dan ini membuat kami sedih. Tanpa panasnya hari, kami mungkin akan bertahan hidup lebih lama.
Gelap dan hening di dalam ruang tanpa waktu. Lalu terdengar suara.

Suara itu nyaris tidak membangunkan kami. Kami ragu, apakah itu hanya khayalan. Bagaimanapun itu mungkin coyote. Apakah kami menginginkannya? Kami tak tahu. Kami kehilangan serangkaian pikiran dan melupakan suara itu.


Sesuatu mengguncang-guncang kami, menarik sepasang lengan kami yang mati rasa, menyeret kami. Kami tak bisa membentuk kata-kata, untuk berharap agar kematian terjadi dengan cepat sekarang. Tapi itulah harapan kami. Kami menunggu gigitan. Tapi seretan itu berubah jadi dorongan, dan kami merasakan wajah kami berguling menghadap langit.

Cairan itu tertuang ke wajah kami--basah, sejuk, dan mustahil. Cairan itu menetes ke mata kami, membasuh pasir dari sana. Mata kami bergerak-gerak, mengerjap-ngerjap terkena tetesan.



Kami tidak memedulikan pasir di mata. Dagu kami terangkat, mencari-cari dengan putus asa. Mulut kami membuka dan menutup dengan kelemahan membabi buta dan menyedihkan, seperti burung yang baru saja menetas.

Kami mengira mendengar desah napas.
Lalu air mengalir ke dalam mulut dan kami meneguknya, lalu tersedak-sedak. Airnya menghilang ketika kami tersedak, dan sepasang tangan lemah kami menggapai-gapai mencarinya. Sesuatu yang berat dan datar menghantam punggung. Sampai kami bisa bernapas kembali. Sepasang tangan kami terus menjangkau udara, mencari air itu.

Kali ini kami benar-benar mendengar helaan napas.
Sesuatu ditekankan ke bibir kami yang pecah-pecah, lalu air kembali mengalir. Kami menenggaknya dengan rakus, kali ini berhati-hati agar tidak menarik napas. Bukannya kami peduli apakah akan tersedak, tapi kami tak ingin air itu diambil lagi.

Kami minum sampai perut kami kembung dan sakit. Airnya menetes, lalu berhenti. Kami berteriak parau memprotes. Pinggiran botol lain ditekankan ke bibir, dan kami meneguk kalap sampai airnya habis juga.
Perut kami bakal meledak jika minum lagi, tapi kami mengerjap dan mencoba memusatkan pandangan, untuk melihat apakah kami bisa menemukan lebih banyak air. Terlalu gelap; kami tak bisa melihat satu bintang pun. Lalu kami kembali mengerjap-ngerjapkan mata, menyadari kegelapan itu jauh lebih dekat daripada langit. Sesosok tubuh menjulang di dekat kami, lebih kelam daripada malam.

Terdengar suara samar kain bergesek dan pasir berpindah di bawah tumit. Sosok itu mencondongkan tubuh ke belakang, lalu kami mendengar bunyi robekan tajam--suara ritsleting yang memekakkan di dalam keheningan malam yang telak.

Cahaya mengiris mata kami bagai pisau. Kami mengerang kesakitan, tangan kami melayang ke atas untuk menutupi mata kami yang terpejam. Bahkan di balik kelopak mata sekalipun, cahaya itu terlalu terang. Cahayanya menghilang, dan kami merasakan desah napas berikutnya menimpa wajah kami.

Dengan hati-hati kami membuka mata, lebih buta daripada sebelumnya. Siapa pun yang sedang memandang kami, ia duduk sangat diam dan tidak mengatakan apa-apa. Kami mulai merasakan ketegangan, tapi perasaan itu begitu jauh, berada di luar diri kami. Sulit untuk memedulikan hal lain, kecuali air di dalam perut dan di mana kami bisa menemukan lebih banyak air lagi. Kami mencoba berkonsentrasi, untuk melihat siapa penyelamat kami.

Hal pertama yang kami ketahui, setelah bermenit-menit mengerjap-ngerjap dan menyipitkan mata, adalah warna putih tebal yang jatuh dari wajah gelap itu. Jutaan serpihan pucat di malam hari. Ketika kami memahami serpihan putih itu sebagai jenggot--seperti Sinterklas, pikir kami kacau--bagian-bagian lain wajah itu melengkapi ingatan kami. Semua pas: hidung besar dengan ujung terbelah, tulang pipi lebar, alis putih tebal, mata cekung di kulit keriput. Walaupun hanya bisa melihat wajahnya sedikit-sedikit, kami tahu bagaimana cahaya akan memaparkannya.



"Uncle Jeb." Terkejut kami berteriak parau, "Kau menemukan kami."
Uncle Jeb, yang berjongkok di sebelah kami, bergerak-gerak di atas tumitnya ketika kami mengucapkan namanya.

"Well," katanya, suara seraknya mendatangkan kembali ratusan kenangan. "Well, ini sangat dilematis."
---

The Host - Bab 11

0 comments
Dehidrasi

"Oke! Kau benar, kau benar!" Kuucapkan kata-kata itu keras-keras. Tak seorang pun akan mendengar.
Melanie tidak mengatakan, "Kubilang juga apa." Setidaknya tidak dengan begitu banyak kata. Tapi aku bisa merasakan tuduhannya dalam sikap diamnya.

Aku masih tidak rela meninggalkan mobil, walaupun kini benda itu tak berguna bagiku. Ketika bensinnya habis, kubiarkan mobil itu tetap melaju sampai menukik ke jurang dangkal--anak sungai yang tercipta akibat hujan lebat terakhir. Kini aku memandang lewat kaca depan, menatap dataran luas kosong dan merasakan perutku terpilin kepanikan.

Kita harus bergerak, Wanderer. Udara akan jadi semakin panas. Kalau aku tidak memboroskan lebih dari seperempat tangki bensin dengan berkeras menuju bagian dasar petunjuk kedua--dan menemukan ternyata petunjuk ketiga tidak terlihat lagi dari sana sehingga kami harus berputar dan kembali menelusuri jalan semula--kami pasti sudah jauh sekali menyusuri sungai berpasir ini, begitu dekat dengan tujuan kami selanjutnya. Berkat diriku, sekarang kami harus berjalan kaki.

Dengan gerakan ekstra hati-hati aku memasukkan air sebotol demi sebotol ke dalam tas. Kutambahkan granola-granola batangan yang tersisa dengan gerakan sama pelannya. Sementara itu Melanie ingin sekali aku bergegas. Ketidaksabarannya membuatku sulit berpikir, membuatku sulit berkonsentrasi pada apa pun. Misalnya apa yang akan terjadi pada kami.


Ayo, ayo, ayo, katanya berulang-ulang, sampai aku keluar dari mobil dengan kaku dan canggung. Punggungku berdenyut-denyut ketika menegakkan tubuh. Nyeri akibat tidur meringkuk semalam, bukan karena bobot tas. Tasnya tidak terlalu berat ketika aku menggunakan kedua bahu untuk mengangkatnya.

Sekarang tutupi mobilnya, perintah Melanie. Ia membayangkan diriku mematahkan dahan-dahan berduri tanaman creosote dan palo verde terdekat, lalu mengatur semua itu di atas kap perak mobil.

"Kenapa?"
Nada suara Melanie mengimplikasikan aku cukup tolol karena tidak mengerti. Supaya tak seorang pun menemukan kita. Tapi bagaimana jika aku ingin ditemukan? Bagaimana jika tidak ada apa-apa di luar sini, kecuali panas dan debu? Mustahil kita bisa pulang ke rumah?
Rumah?
ia bertanya sambil melemparkan gambaran-gambaran muram kepadaku: apartemen kosong di San Diego, ekspresi wajah Pencari yang paling menjijikkan, titik berlabel Tucson di peta... dan sekelebat ngarai merah yang lebih membahagiakan--gambaran yang lolos tanpa sengaja. Di manakah itu?


Aku berbalik memunggungi mobil, mengabaikan nasihat Melanie. Aku sudah terlibat terlalu jauh. Aku takkan menyerahkan semua harapan untuk kembali. Mungkin seseorang akan menemukan mobil itu, lalu menemukanku. Dengan mudah dan jujur aku bisa menjelaskan kepada regu penyelamat apa yang kulakukan di sini: aku tersesat. Aku kehilangan arah... kehilangan kontrol... kehilangan akal sehat.

Pertama-tama kuikuti sungai itu, dan kubiarkan tubuhku mengikuti irama langkah panjang alaminya. Itu bukan caraku melangkah di trotoar dalam perjalanan ke dan dari universitas. Sama sekali bukan gaya berjalanku. Tapi gaya itu cocok dengan tanah berbatu di sini, dan bisa dengan lancar menggerakanku maju dengan kecepatan mengejutkan, sampai aku terbiasa.

"Bagaimana kalau aku tidak pergi ke sini?" aku bertanya-tanya seraya berjalan semakin jauh memasuki tanah tandus padang gurun. "Bagaimana kalau Penyembuh Fords masih di Chicago? Bagaimana kalau jalanku tidak membawa kita lebih dekat kepada mereka?"

Yang membuatku tidak mungkin menolak rencana tolol ini adalah desakan itu, bujukan itu, pikiran bahwa Jared dan Jamie mungkin berada tepat di sini, di suatu tempat di tanah kosong ini.

Entahlah, aku Melanie. Kurasa aku masih akan tetap berusaha, tapi aku takut ketika jiwa-jiwa lain ada di dekatku. Aku masih takut. Memercayaimu bisa membunuh mereka berdua.
Kami sama-sama tersentak membayangkannya.
Tapi berada di sini, begitu dekat... Kelihatannya seolah aku harus berusaha. Kumohon--sekonyong-konyong Melanie memintaku, memohon, tak ada sisa-sisa kemarahan di dalam pikirannya--kumohon, jangan gunakan ini untuk melukai mereka. Kumohon.

"Aku tidak ingin... Aku tidak tahu apakah aku sanggup melukai mereka. Aku lebih suka..."
Apa? Mati sendiri? Daripada menyerahkan beberapa gelintir manusia kepada Pencari?

Sekali lagi kami tersentak membayangkannya. Tapi rasa jijikku terhadap gagasan itu menghibur Melanie. Dan itu jauh lebih menakutkan daripada menghibur Melanie.
Ketika sungai mulai berkelok terlalu jauh ke utara, Melanie menyarankan agar kami melupakan jalan setapak datar pucat itu dan mengambil jalan langsung ke petunjuk ketiga, yaitu tonjolan batu di timur yang seakan menunjuk, seperti jari, ke langit tak berawan.

Aku tak suka meninggalkan sungai, persis seperti penolakanku tadi untuk meninggalkan mobil. Aku bisa berbalik menyusuri kembali sungai ini sampai ke jalan, lalu menyusuri jalan untuk kembali ke jalan raya. Jaraknya berkilo-kilometer, dan akan makan waktu berhari-hari bagiku untuk melintasinya. Tapi setelah melangkah pergi dari sungai ini, secara resmi aku tersesat.

Yakinlah, Wanderer. Kita akan menemukan Uncle Jeb, atau ia akan menemukan kita.
Kalau ia masih hidup,
imbuhku. Aku mendesah ketika menyimpang dari jalan setapak sederhana itu menuju semak-semak yang sama persis di segala arah. Keyakinan bukanlah konsep yang kukenal. Aku tak tahu apakah aku memercayainya.
Bagaimana dengan percaya?
Kepada siapa? Kau?
Aku tertawa. Udara panas memanggang tenggorokanku ketika aku menghela napas.
Bayangkan saja, ujar Melanie, mengubah pokok pembicaraan, <i.mungkin malam ini kita akan berjumpa dengan mereka.


Kerinduan itu milik kami berdua. Gambaran wajah mereka--yang satu laki-laki, satunya anak-anak--muncul dari ingatan kami. Ketika berjalan lebih cepat, aku tidak yakin apakah diriku yang benar-benar memegang kendali atas gerakan itu.

Memang semakin panas--lalu semakin panas, lalu lebih panas lagi. Keringat membuat rambutku lepek dan T-Shirt kuning pucatku menempel tidak nyaman jika tersentuh. Di siang hari angin yang membakar bertiup semakin kencang, menyemburkan pasir ke wajah. Udara kering itu mengisap keringat, mengotori rambt dengan pasir, dan meniup T-Shirt-ku menjauhi tubuh; T-Shirt itu bergerak sekaku karton karena tempelan garam mengering. Aku terus berjalan.

Aku minum lebih sering daripada yang diinginkan Melanie. Ia menggerutu dalam setiap tegukan, mengancam bahwa kami akan jauh lebih memerlukan air itu besok. Tapi aku sudah begitu banyak menyerah kepadanya hari ini, sehinga tidak berminat mendengarkan. Aku minum ketika merasa haus, dan itu sangat sering.
Kakiku menggerakan tubuhku maju tanpa berpikir. Irama gemersik langkah kakiku menjadi musik latar belakang, rendah dan menjemukan.

Tak ada yang dilihat; satu semak yang terjalin rapuh tampak sama persis seperti semak berikutnya. Keseragaman itu membuatku bingung--yang benar-benar kusadari hanya siluet pegunungan dilatari langit putih pucat. Aku memperhatikan siluet itu setiap beberapa langkah, sampai mengenalnya begitu baik dan bisa menggambarkannya dengan mata terpejam.


Pemandangan tampak membeku di tempat. Aku terus-menerus menoleh ke sekeliling, mencari petunjuk keempat, seakan sudut pandangnya bakal berubah setelah langkah terakhir. Petunjuk keempat berupa puncak berbentuk kubah besar dengan secuil bagian yang hilang, yaitu lengkungan yang lenyap dari bagian sisinya. Petunjuk itu baru saja diperlihatkan Melanie kepadaku pagi ini. Aku berharap itulah petunjuk terakhir, karena kami beruntung seandainya bisa pergi sejauh itu. Tapi aku punya fisarat masih banyak lagi yang dirahasiakan Melanie dariku, dan akhir perjalanan kami masih teramat sangat jauh.


Aku mengudap granola-granola batangan sepanjang siang, dan dengan terlambat kusadari batang terakhir telah kuhabiskan.
Ketika matahari terbenam, malam turun dengan kecepatan yang sama seperti kemarin. Melanie siap. Ia telah menemukan tempat untuk berhenti.

Di sini, katanya. Kita harus menghindari tanaman cholla itu sejauh mungkin, Kau berguling-guling dalam tidurmu.
Ku bergidik mengamati kaktus yang tampak berbulu itu di dalam cahaya temaram.


Tanaman itu dipenuhi jarum sewarna tulang yang mirip bulu. Kau ingin aku tidur di tanah begitu saja? Tepat di sini?Kau melihat pilihan lain? Melanie merasakan kepanikanku, dan nada suaranya melembut, seakan iba. Begini, ini lebih baik daripada di dalam mobil. Setidaknya tanahnya datar. Udara terlalu panas, sehingga serangga - serangga takkan tertarik pada panas tubuhmu dan---

"Serangga?" sergahku keras-keras. "Serangga?"
Sekelebat muncul gambaran tak menyenangkan mengenai serangga yang tampak mematikan dan ular-ular yang bergelung di dalam ingatan-ingatan Melanie.
Jangan khawatir. Melanie mencoba menenangkanku ketika aku membungkuk sambil berjingkat, menjauhkan diri dari apa saja yang mungkin bersembunyi di dalam pasir di bawahku; mataku mencari jalan untuk meloloskan diri di dalam kegelapan. Tak ada yang bakal mengganggumu, kecuali kau mengganggunya lebih dulu. Bagaimanapun kau lebih besar daripada segala hal lain di luar sini. Ingatan lain berkelebat, kali ini anjing pemakan bangkai bertubuh sedang, coyote, melintas dalam pikiran kami.

"Sempurna," gerutuku. Aku berjongkok, walaupun masih merasa takut terhadap tanah hitam di bawahku. "Dibunuh anjing-anjing liar. Siapa sangka akan berakhir begitu... begitu sepele? Mengecewakan sekali. Mahluk buas bercakar di mists Planet. Pasti. Setidaknya akan lebih bermartabat jika dikalahkan mahluk itu."

Nada jawaban Melanie membuatku membayangkan ia sedang memutar bola mata. Jangan seperti bayi. Tak ada yang akan menyantapmu. Sekarang berbaring dan istirahatlah. Besok akan lebih sulit dapipada hari ini.
"Terima kasih untuk kabar baiknya," gerutuku. Melanie berubah jadi tiran. Ini mengingatkanku pada ungkapan manusia: Diberi hati minta ampela. Tapi aku merasa jauh lebih lelah daripada yang kusadari. Dan ketika dengan enggan aku duduk di tanah, mustahil bagiku untuk tidak berbaring di tanah kasar berkerikil itu dan membiarkan mataku terpejam.

Tampaknya baru beberapa menit berlalu ketika pagi menjelang. Terang menyilaukan, dan sudah cukup panas untuk membuatku berkeringat. Saat terbangun tubuhku berselimut kotoran dan kerikil; lengan kananku terjepit di bawah tubuh dan mati rasa. Kukibas-kibaskan rasa kebas itu, lalu aku merogoh tas untuk mencari air.
Melanie tidak setuju, tapi aku mengabaikannya. Aku mencari botol setengah kosong yang terakhir kuminum. Kugeledah botol-botol penuh dan kosong itu, sampai mulai melihat sebuah pola.
Dengan perasaan waswas yang semakin besar, aku mulai menghitung. Kuhitung dua kali. Botol kosongnya lebih banyak daripada jumlah botol penuh. Aku sudah menghabiskan lebih dari setengah persediaan airku.

Sudah kubilang, kau minum terlalu banyak.
Aku tidak menjawab Melanie, tapi kusandang tas tanpa mengambil minuman. Mulutku rasanya mengerikan: kering, berpasir dan seperti empedu. Aku mencoba mengabaikan semua itu, mencoba menghentikan lidahku yang sekasar ampelas agar tidak menjelajahi gigiku yang berpasir, lalu mulai berjalan.

Ketika matahari semakin tinggi dan panas di atasku, perutku lebih sulit untuk diabaikan daripada mulutku. Perutku memilin dan berkontraksi secara teratur, mengantisipasi hidangan yang tidak muncul-muncul. Di siang hari rasa lapar itu telah berubah dari tidak nyaman menjadi perih.

Ini belum apa-apa, dengan masam Melanie mengingatkan. Kita pernah lebih lapar lagi.
Kau yang pernah,
ujarku pedas. Saat ini aku tidak merasa ingin menjadi penonton bagi ingatan-ingatan mengenai daya tahan Melanie.

Aku sudah mulai putus asa ketika berita baik itu muncul. Ketika aku memutar kepala melintasi cakrawala dengan gerakan rutin setengah hati, bentuk membulat kubah seakan melompat ke hadapanku dari bagian tengah deretan puncak kecil di utara. Dari sini bagian yang hilang itu hanya berupa lekuk samar-samar.
Cukup dekat, Melanie memutuskan. Ia merasa sama gembiranya denganku, karena telah membuat kemajuan. Aku berbelok ke utara dengan bersemangat, langkah-langkah kakiku semakin panjang. Teruslah mencari petunjuk berikutnya. Melanie mengingat formasi lain dan aku langsung mulai memanjangkan kepala melihat sekeliling, walaupun tahu tak ada gunanya mencari petunjuk sedini ini.

Seharusnya di timur. Utara, lalu timur, lalu utara lagi. Itu polanya.
Pikiran akan menemukan petunjuk lain membuatku tetap bergerak, walaupun kakiku semakin lelah. Melanie mendorongku maju. Ia terus mengucapkan kata-kata penyemangat ketika aku melambat, dan memikirkan Jared dan Jamie ketika aku berubah apatis. Kemajuanku stabil. Setiap kali hendak minum aku menunggu sampai Melanie mengizinkan, walaupun bagian dalam tenggorokanku seakan melepuh.


Harus kuakui aku bangga terhadap diriku sendiri, karena bisa bersikap begitu gigih. Ketika jalan tanah muncul, rasanya seakan memperoleh imbalan. Jalanan itu memanjang ke utara, ke arah yang sedang kutuju, tapi Melanie bimbang.
Aku tidak menyukai penampilannya, sergahnya.
Jalanan itu hanya berupa garis pucat melewati semak, dan hanya terlihat karena teksturnya lebih halus dan tidak ada tanaman. Jejak-jejak lama roda kendaraan menciptakan lekukan ganda, membentuk lajur tunggal di tengahnya.

Seandainya jalan itu menuntun ke arah yang keliru, akan kita tinggalkan. Aku sudah berjalan menyusuri bagian tengah jejak roda. Lebih mudah daripada menembus semak creosote dan menghindari cholla.

Melanie tidak menyahut, tapi ketidaknyamanannya sedikit paranoid. Aku meneruskan pencarian formasi berikut--bentuk M sempurna, dua puncak kembar gunung berapi. Tapi aku juga mengamati padang gurun di sekitarku dengan lebih cermat.

Karena mengamati dengan cermat, aku sudah lama memperhatikan ada noktah abu-abu di kejauhan, sebelum mengetahui benda apa itu. Aku bertanya-tanya apakah mataku menipu, lalu mengerjap-ngerjapkannya untuk menyingkirkan debu yang memburamkan. Tampaknya itu warna yang keliru untuk batu, dan bentuknya kelewat padat untuk pohon. Kusipitkan mata karena silau, mencoba menebak.

Lalu aku kembali mengerjap-ngerjapkan mata, dan noktah itu mendadah berubah jadi bentuk terstruktur, dan jaraknya lebih dekat daripada yang kuperkirakan. Itu semacam rumah atau bangunan. Kecil dan tergerus cuaca menjadi abu-abu kusam.
Serangan panik Melanie membuatku melompat dari lajur itu dan bersembunyi di dalam semak-semak gundul.
Tunggu, ujarku. Aku yakin itu bangunan terlantar.
Dari mana kau tahu?
Melanie menahan diri sekuat tenaga, sampai aku harus berkonsentrasi pada kakiku untk bisa menggerakkannya maju.

Siapa yang mau tinggal di luar sini? Kami, para jiwa, hidup bermasyarakat. Kudengar nada pahit dalam penjelasanku, dan tahu itu karena tempatku sekarang berdiri--yang secara fisik dan metaforis berada di tengah antah-berantah. Mengapa aku tak lagi menjadi bagian anggota masyarakat jiwa? Mengapa aku merasa seakan... seakan tak ingin menjadi bagiannya? Pernahkah aku benar-benar menjadi bagian komunitas yang seharusnya adalah komunitasku sendiri, atau apakah itu alasan di balik serangkaian panjang kehidupan yang kujalani untuk sementara? Apakah aku memang selalu menyimpang, ataukah Melanie yang membuatku seperti ini? Apakah planet ini telah mengubahku, atau mengungkapkan siapa diriku sebenarnya?

Melanie tidak punya kesabaran untuk membahas krisis pribadiku. Ia menginginkanku menyingkir jauh-jauh dari bangunan itu secepat mungkin. Pikiran-pikirannya membetot dan memuntir pikiran-pikiranku, menarikku keluar dari lamunan.

Tenang, perintahku. Aku mencoba memusatkan pikiran-pikiranku sendiri, dan memisahkannya dari pikiran-pikiran Melanie. Seandainya ada yang benar-benar tinggal di sini, itu pasti manusia. Percayalah kepadaku dalam hal ini; tak ada pertapa di antara jiwa. Mungkin Uncle Jeb-mu--

Dengan kasar Melanie menolak pikiran itu. Tak seorang pun bisa bertahan hidup di tempat terbuka seperti ini. Bangsamu pasti sudah mencari tempat pemukiman dengan teliti. Siapa pun yang tinggal di sini, dia pasti telah kabur atau berubah menjadi salah satu bangsamu. Uncle Jeb pasti punya tempat persembunyian yang lebih baik.
Dan kalaupun orang yang tinggal di sini telah menjadi salah satu bangsaku,
ujarku meyakinkan Melanie, maka dia akan meninggalkan tempat ini. Hanya manusia yang mau hidup seperti ini... Aku berhenti, dan mendadak diserang ketakutan.

Apa? Melanie bereaksi kuat terhadap ketakutanku, membuat kami terpaku di tempat. Ia menelisik pikiran-pikiranku, mencari sesuatu yang pernah kulihat dan mencemaskanku.
Tapi tak ada hal baru yang kulihat. Melanie, bagaimana jika ada manusia di luar sini, tapi bukan Uncle Jeb, Jared dan Jamie? Bagaimana jika orang lain yang menemukan kita?
Melanie menyerap gagasan itu perlahan-lahan, merenungkannya dengan seksama. Kau benar. Mereka akan langsung membunuh kita. Tentu saja.

Aku mencoba menelan ludah, untuk membasuh rasa ngeri dari mulut keringku.

Takkan ada orang lain. Bagaimana mungkin, Melanie menyimpulkan.Bangsamu luar biasa cermat. Hanya orang yang sudah lama bersembunyi yang punya peluang. Jadi, ayo kita periksa. Kau yakin tak satu pun bangsamu di sini, dan aku yakin tak satu pun bangsaku di sini. Mungkin kita bisa menemukan sesuatu yang berguna, sesuatu yang bisa kita gunakan sebagai senjata.

Aku bergidik melihat pikiran-pikiran Melanie mengenai pisau tajam dan logam panjang yang bisa diubah menjadi pentungan.
Jangan pakai senjata.
Ugh. Bagaimana mungkin mahluk-mahluk penakut macam kau bisa mengalahkan kami?
Secara sembunyi-sembunyi dan dengan jumlah luar biasa. Siapa pun kalian, bahkan anak-anak kecil sekalipun, mereka seratus kali lebih membahayakan daripada salah satu dari kami. Tapi kalian mirip satu rayap di rumah semut. Ada jutaan jumlah kami, semua bekerja bersama-sama dengan keselarasan sempurna untuk mencapai tujuan.


Ketika menjelaskan keharmonisan itu, sekali lagi kurasakan kepanikan dan kebingungan menyeretku. Siapakah aku?
Kami tetap bersembunyi di balik cresote ketika mendekati bangunan kecil itu. Kelihatannya seperti rumah. Hanya gubuk kecil di pinggir jalan, tanpa petunjuk sama sekali mengenai kegunaan lainnya. Alasan mengapa lokasinya di sini masih misterius. Tempat ini tak menawarkan apa-apa, kecuali kekosongan dan panas.

Tidak ada tanda-tanda gubuk itu baru ditempati. Ambang pintunya menganga, tak berpintu, dan hanya beberapa pecahan kaca yang melekat di kusen jendela kosongnya. Debu berkumpul di ambang pintu dan menghambur ke dalam. Dinding-dinding kelabu tergerus cuaca itu tampak miring tertiup angin, seakan angin selalu bertiup dari arah yang sama di sini.

Aku berhasil menekan kecemasanku ketika berjalan ragu menuju ambang pintu kosong itu. Kami pasti sendirian di sini, sama seperti sepanjang hari ini, maupun sepanjang hari kemarin.

Keteduhan yang dijanjikan pintu masuk gelap itu menarikku maju, mengalahkan ketakutanku dengan daya tariknya. Aku masih mendengarkan dengan saksama, tapi kakiku bergerak maju dengan langkah-langkah cepat dan pasti. Aku melewati ambang pintu, lalu bergerak cepat ke salah satu sisinya, sehingga ada dinding di belakang punggungku. Tindakan ini kulakukan secara alami, hasil dari hari-hari menggelandang Melanie. Aku berdiri terpaku di sana, dicemaskan kebutaan, menunggu mataku menyesuaikan diri.

Gubuk kecil itu kosong, seperti sudah kami perkirakan. Tak ada tanda-tanda pernah ditempati, baik di dalam maupun di luar. Sebuah meja rusak berdiri miring dengan dua kaki masih utuh di tengah ruangan, ditemani kursi logam berkarat di sampingnya. Petak-petak beton terlihat dari lubang-lubang besar di karpet usang kotor. Dapur kecil memenuhi salah satu dinding, disertai tempat cuci piring berkarat, barisan lemari yang beberapa di antaranya tak berpintu, dan kulkas terbuka sepinggang yang bagian dalamnya hitam berjamur. Kerangka sofa tergeletak di dinding seberang, semua bantalnya hilang. Lukisan berbingkai anjing-anjing yang sedang bermain poker masih tergantung di atas sofa, tapi sedikit miring.

Seperti rumah, ujar Melanie. Ia merasa cukup lega sehingga bisa menyindirku. Hiasannya lebih banyak daripada hiasan di apartemenmu.
Aku sudah bergerak ke tempat cuci piring.
Terus saja bermimpi, imbuh Melanie.
Tentu saja merupakan pemborosan jika air tetap mengalir di tempat terpencil ini. Para jiwa menangani detail-detail semacam itu dan takkan meninggalkan keganjilan seperti ini. Tapi aku masih ingin memutar tombol-tombol keran kuno itu. Salah satunya patah di tanganku. Sudah karatan seluruhnya.

Selanjutnya aku beralih ke lemari, lalu berlutut di atas karpet menjijikan itu untuk mengintip hati-hati ke dalamnya. Kujauhkan tubuhku ketika membuka pintunya, khawatir telah mengganggu salah satu hewan padang gurun berbisa yang bersarang di dalamnya.

Lemari pertama kosong, tak berdinding belakang sehingga aku bisa melihat lembar-lembar kayu dinding luar. Lemari berikut tak berpintu, tapi ada tumpukan koran tua tertutup debu di dalamnya. Dengan penasaran kutarik selembar, kuguncang debunya ke lantai yang lebih berdebu, lalu kubaca tanggalnya.
Dari zaman manusia, pikirku. Bukannya aku membutuhkan tanggal untuk tahu.

"Seorang Lelaki Membakar Putrinya yang Berusia Tiga Tahun Sampai Mati," begitulah judul beritanya, disertai foto anak kecil pirang secantik malaikat. Dan ini bukan halaman depan. Kengerian yang dijelaskan di sini tak cukup menyeramkan untuk dijadikan liputan utama. Di bawah berita itu terpampang wajah lelaki yang menjadi buronan karena membunuh istri dan kedua anaknya dua tahun sebelum tanggal cetak koran; beritanya mengenai kemungkinan seseorang melihat lelaki itu di Meksiko. Dua orang terbunuh dan tiga terluka dalam kecelakaan yang melibatkan pengemudi mabuk. Penyidikan mengenai pemalsuan dan pembunuhan sehubungan dengan dugaan bunuh diri bankir lokal terkemuka. Pengakuan di bawah tekanan telah membebaskan seorang tersangka penganiaya anak. Hewan-hewan peliharaan ditemukan terbantai di tempat sampah.

Aku bergidik, kudorong koran itu menjauhiku, kembali ke dalam lemari gelap.
Itu semua perkecualian, bukan norma, ujar Melanie diam-diam. Ia berusaha agar kengerian reaksiku tadi tidak merembes ke dalam ingatan-ingatannya mengenai tahun-tahun itu, lalu mengubah ingatan-ingatan itu.
Tapi bisakah kau mengerti mengapa kami mengira diri kami mampu berbuat lebih baik? Mengapa kami mengira kalian mungkin tak patut memperoleh semua hal luar biasa di dunia ini?
Melanie menjawab masam, Kalau ingin membersihkan planet ini, kalian bisa meledakkannya.
Tak peduli apa yang diimpikan para penulis fiksi ilmiah kalian, kami benar-benar tidak memiliki teknologinya.

Melanie tidak menganggap gurauanku lucu.
Lagi pula, imbuhku, itu perbuatan sia-sia. Planet ini indah. Tentu saja dengan mengecualikan padang gurun mengerikan ini.
Kau tahu, itulah sebabnya kami menyadari keberadaan kalian di sini,
kata Melanie. Ia kembali mengingat judul-judul berita memuakkan itu. Ketika berita malam tidak berisi apa-apa, kecuali cerita-cerita kemanusiaan yang menggugah, ketika para pedofil dan pemadat berbaris di rumah sakit untuk menyerahkan diri, ketika semua berubah aman tenteram, saat itulah kalian mengungkapkan diri.
"Perubahan yang mengerikan!"
ujarku masam, beralih ke lemari berikut.

Aku menarik pintu kaku itu dan menemukan harta karun.
"Biscuit Crackers!" teriakku, meraih sekotak Saltines setengah penyok yang sudah kusam. Di belakangnya ada kotak lain, kotak yang tampaknya pernah terinjak. "Bolu Twinkies!" seruku.
"Lihat! desak Melanie. Di benakku ia menunjuk tiga botol pemutih berdebu di bagian belakang lemari.
Untuk apa pemutih? tanyaku. Aku sudah merobbek kotak crakers. Untuk dicipratkan ke mata orang? Atau botolnya untuk menghancurkan kepala mereka?

Yang membuatku senang, crackers itu masih di dalam plastik, walaupun sudah hancur jadi remah. Aku membuka sebungkus dan mulai memasukkan remah-remah itu ke dalam mulut dengan mengguncang-guncang bungkusnya, lalu kutelan crackers itu walaupun baru kukunyah sebentar. Aku tidak sabar ingin memasukkannya ke perut.

Buka sebotol dan cium baunya, perintah Melanie, mengabaikan komentarku tadi. Begitulah cara ayahku dulu menyimpan air di garasi. Residu pemutih menjaga airnya tidak ditumbuhi apa pun.
Sebentar. Aku menghabiskan sebungkus remah dan mulai membuka yang berikut. Sudah kedaluwarsa, tapi terasa harum di bandingkan rasa di dalam mulutku. Setelah menghabiskan bungkus ketiga, aku mulai menyadari garamnya membakar bibirku yang pecah-pecah dan sudut-sudut mulut.

Kukeluarkan salah satu botol pemutih. Kuharap Melanie benar. Kedua lenganku lemah dan gemetar, nyaris tak mampu mengangkat botol. Ini membuat kami khawatir. Seberapa jauh kondisi kami sudah memburuk? Seberapa jauh kami bisa pergi?

Tutup botolnya sangat kencang, sehingga aku mengira tutup itu sudah meleleh di tempat. Tapi akhirnya aku bisa memutarnya dengan gigi. Kucium mulut botol dengan hati-hati, karena aku benar-benar tak ingin pingsan akibat mencium bau pemutih. Bau kimianya sangat samar. Aku mencium lebih dalam Air. Pasti. Air lama, apak, tapi tetap air. Kuteguk sedikit. Bukan air sungai pegunungan yang segar, tapi terasa basah. Aku mulai menenggaknya dengan rakus.

Pelan-pelan, Melanie mengingatkan, dan aku harus menyetujuinya. kami beruntung menemukan tempat penyimpanan ini, tapi tak masuk akal jika kami memboroskannya. Lagi pula sekarang aku menginginkan makanan padat, setelah garamnya tidak terasa begitu menyakitkan. Aku beralih ke kotak Twinkies dan menjilati tiga bolu hancur dari bagian dalam bungkusnya.

Lemari terakhir kosong.
Setelah serangan lapar sedikit mereda, ketidaksabaran Melanie langsung merembes ke dalam pikiranku. Kali ini tanpa merasakan adanya perlawanan, cepat-cepat kumasukkan barang-barang curian itu ke tas. Botol-botol air kosong kukeluarkan dan kumasukkan ke bak cuci piring, sehingga ada ruang kosong. Botol-botol pembersih itu berat, tapi bobotnya menenangkan. Itu berarti malam ini aku tak lagi berbaring di lantai padang gurun. Kehausan dan kelaparan. Ketika energi gula mulai menembus pembuluh darahku, aku bergegas kembali ke teriknya siang.

---

The Host - Bab 10

0 comments
 Menyimpang

Bell listrik itu berdering, mengumumkan kedatangan pengunjung lain ke toko sederhana itu. Aku terkejut, merasa bersalah, dan menyembunyikan kepala ke balik rak yang sedang kami amati. Jangan bertingkah seperti kriminal, saran Melanie. Aku tidak bertingkah, jawabku singkat. Telapak tanganku terasa dingin dibalik lapisan tipis keringat, walaupun ruangan kecil itu cukup panas. Jendela lebar memasukkan terlalu banyak cahaya matahari, sehingga tak sanggup diimbangi penyejuk udara yang bersuara keras dan terengah-engah itu. Yang mana? Desakku. Yang lebih besar, jawab Melanie. Dari dua pilihan, aku meraih kemasan yang lebih besar. Tas kanvas yang nampaknya bisa memuat lebih banyak barang daripada yang mampu kubawa. Lalu aku berjalan ke pojok, ke rak air minum kemasan.

Kita bisa membawa tiga galon, Melanie memutuskan. Jadi kita punya waktu tiga hari untuk mencari mereka. Aku menghela napas panjang, mencoba mengatakan kepada diri sendiri bahwa aku tidak menyetujui hal ini. Aku hanya berusaha memperoleh lebih banyak koordinat dari Melanie. Itu saja. Setelah mendapatkan seluruh ceritanya aku akan mencari seseorang mungkin Pencari lain yang lebih tidak memuakkan dari pada Pencari yang ditugaskan untukku dan memberikan informasinya.

Aku hanya ingin bertindak cermat, janjiku kepada diri sendiri. Usaha canggungku untuk membohongi diri sendiri begitu menyedihkan, sehingga Melanie tidak menggubrisnya. Ia sama sekali tidak khawatir. Agaknya sudah terlambat bagiku seperti telah diingatkan Pencari.Mungkin seharusnya aku naik pesawat ulang-alik.Terlambat? Yang benar saja! Melanie menggerutu. Aku tidak bisa membuatmu melakukan apa pun yang tidak kauinginkan. Aku bahkan tak bisa mengangkat tangan! Pikiran Melanie adalah ungkapan perasaan frustasinya.

Aku menunduk memandangi tanganku yang berada di atas paha, dan tidak meraih kemasan air seperti yang ingin sekali dilakukan Melanie. Bisa kurasakan ketidaksabaran gadis ini, keinginan kuatnya untuk bergerak. Kembali berlari, seakan keberadaanku tak lebih dari sekedar gangguan singkat, periode kesia-siaan yang kini sudah berlalu.

Melanie mendengus di dalam benakku, lalu kembali serius. Ayo, desaknya. Ayo, cepat! Sebentar lagi gelap. Sambil mendesah kutarik botol-botol air yang disatukan dalam kemasan terbesar dari rak. Benda itu nyaris menghantam lantai, sebelum aku berhasil menangkapnya di pinggir rak yang lebih rendah. Rasanya seakan kedua lenganku terbetot setengah jalan dari persendian.
"Yang benar saja!" teriakku keras-keras.
Diam!

"Maaf?" tanya lelaki pendek bungkuk, pelanggan lain, dari ujung lorong.
"Uh--tidak apa-apa," gumamku, tanpa membalas pandangannya. "Ini lebih berat daripada perkiraanku."
"Perlu bantuan?" tawarnya.
"Tidak, tidak," jawabku cepat-cepat. "Aku akan mengambil yang lebih kecil saja."
Lelaki itu berbalik, mengamati berbagai keripik kentang.
Tidak, jangan, Melanie meyakinkanku. Aku pernah membawa yang lebih berat. Kau melembekkan kita, Wanderer, imbuhnya kesal.
Maaf, jawabku tanpa sadar. Kenyataan bahwa gadis ini memanggil namaku untuk pertama kalinya membuatku bingung.
Angkat dengan kedua kakimu.
Aku berjuang mengangkat kemasan botol-botol air minum itu, seraya bertanya-tanya seberapa jauh aku diharapkan membawanya. Setidaknya aku berhasil mengangkatnya ke kasir depan. dengan lega kupindahkan benda itu ke meja. Kuletakkan tas kanvas di atasnya, lalu kutambahkan sekotak granola batangan, sekotak donat, dan sekantong keripik dari rak terdekat.
Di padang gurun air jauh lebih penting daripada makanan, dan kita hanya bisa membawa--
Aku lapar,
selaku. Dan semua ini ringan.
Terserah. Itu kan punggungmu,
Melanie menggerutu. Lalu ia memerintahkanku, Ambil peta.
Kuletakkan peta yang ia inginkan--peta topografis daerah it--di meja bersama semua barang lain. Peta itu hanya untuk melengkapi sandiwara kami.

Kasirnya, lelaki ramah berambut putih, memindai kode bar barang-barangku.
"Mau mendaki?" tanyanya ramah.
"Gunungnya sangat indah."
"Pangkal jalan setapaknya berada persis di atas situ--" ujarnya, mulai menunjuk.
"Akan kucari," janjiku cepat-cepat. Kuambil beban berat yang tidak seimbang itu dari meja kasir.
"Turunlah sebelum gelap, Sayang. Kau tak ingin tersesat, bukan?"
"Pasti."

Melanie berprasangka buruk terhadap lelaki tua baik hati itu. Dia bersikap ramah. Ia benar-benar mengkhawatirkan keselamatanku, ujarku mengingatkan.
Kalian semua sangat menakutkan, tukas Melanie masam. Tak pernahkah kau diberitahu untuk tidak bicara dengan orang asing?
Kurasakan sentakan tajam rasa bersalah ketika menjawab. Tidak ada orang asing di antara bangsaku.
Aku tidak terbiasa tidak membayar barang-barang yang kubeli,
katanya, mengubah pokok pembicaraan. Apa gunanya barang-barang itu dipindai?
Untuk inventaris tentu saja. Haruskah ia mengingat semua barang yang kita ambil, ketika ia perlu memesan barang lagi? Lagi pula, apa gunanya uang jika semua orang benar-benar jujur?
Aku terdiam, kembali merasakan perasaan bersalah yang begitu kuat, sampai berubah menjadi rasa nyeri yang nyata. Semua orang, kecuali diriku tentu saja.
Melanie menghindar dari perasaan-perasaanku. Ia mengkhawatirkan kedalaman perasaan-perasaan itu, khawatir aku berubah pikiran. Ia malah memusatkan perhatian pada keinginan menggebunya untuk pergi dari sini, untuk bergerak menuju tujuannya. Kegelisahannya menembus tubuhku, dan aku berjalan lebih cepat.

Kubawa tumpukan barang itu ke mobil, lalu kuletakkan di tanah di samping pintu penumpang.
"Biar kubantu."
Aku mendongak, dan melihat lelaki pelanggan lain dari toko itu. Dengan membawa kantong plastik, ia berdiri di sampingku.
"Ah... terima kasih," ujarku akhirnya. Denyut nadiku berdentam-dentam di balik telinga.
Kami menunggu. Melanie tegang, seakan hendak lari, ketika lelaki itu mengangkat barang-barang kami ke mobil.
Tak ada yang perlu ditakuti. Dia juga bersikap baik.
Melanie terus mengawasi lelaki itu dengan penuh curiga.
"Terima kasih," ujarku sekali lagi, ketika lelaki itu menutup pintu.
"Sama-sama."
Lelaki itu berjalan menuju kendaraannya sendiri, tanpa menengok lagi kepada kami. Aku duduk dan meraih kantong keripik kentang.
Lihat peta, kata Melanie. Tunggu sampai dia lenyap dari pandangan.
Tak seorang pun mengawasi kita,
janjiku kepadanya. Tapi sambil mendesah kubuka lipatan peta dan makan dengan satu tangan. Mungkin mengetahui sedikit ke mana tujuan kita adalah ide bagus.

Ke mana tujuan kita? tanyaku kepada Melanie. Kita sudah menemukan titik awalnya, jadi sekarang bagaimana?
Lihat sekeliling,
perintahnya. Jika kita tidak bisa melihatnya dari sini, kita akan mencoba sisi selatan puncak.
Melihat apa?


Melanie meletakkan gambaran yang diingatnya ke hadapanku: garis zigzag kasar, empat garis turun-naik tajam, tapi anehnya ujung kelimanya tumpul, seakan patah. Kini aku bisa melihatnya, seperti yang seharusnya bisa kulihat, empat puncak gunung runcing berbatu-batu, dengan puncak kelima yang tampak patah...



Kutelurusi garis langit, dari timur ke barat melintasi cakrawala sebelah utara. Begitu mudah, sampai rasanya keliru, seakan aku baru menciptakan gambaran itu setelah melihat siluet gunung yang menciptakan garis timur laut cakrawala itu.
Itu dia. Melanie nyaris menyanyi dalam kegembiraannya. Ayo pergi! Ia ingin aku keluar dari mobil, berdiri, bergerak.
Aku menggeleng, kembali membungkuk melihat peta. Pematang gunung tampak sangat jauh, sehingga tak bisa kutebak berapa kilometer jaraknya dari tempat kami berada. Tak mungkin aku berjalan keluar dari tempat parkir ini dan memasuki padang gurun kosong, kecuali aku tak punya pilihan lain.

Ayo kita pikirkan secara rasional, saranku, seraya menelusurkan jari di sepanjang pita tipis di peta, ke jalan tak bernama yang menghubungkan jalan raya beberapa kilometer di timur, lalu secara umum berlanjut ke pematang itu.
Tentu, dengan puas Melanie mengiyakan. Semakin cepat semakin baik.
Dengan mudah kami menemukan jalanan tak beraspal itu. Jalanan itu hanya berupa hamparan kasar pucat tanah datar melewati semak-semak yang tersebar, dan nyaris tak cukup untuk dilewati satu kendaraan. Aku punya perasaan bahwa, di bagian tertentu, jalanan yang tak pernah digunakan itu akan dipenuhi tanaman; di suatu tempat lebih dipenuhi tanaman penting, dan bukan tanaman padang gurun yang perlu puluhan tahun untuk memulihkan diri setelah terinjak-injak. Rantai berkarat membentang melintasi jalan masuk. Salah satu ujung rantai disekrupkan pada tiang kayu, dan ujung satunya diikat longgar mengelilingi tiang lain. Aku bergerak cepat, melepaskan rantai itu dan menumpuknya di bawah tiang pertama, lalu bergegas kembali ke mobil yang mesinnya masih menyala, berharap tak seorang pun lewat dan berhenti untuk menawarkan bantuan. Jalan raya tetap kosong ketika aku menyetir ke jalana tanah itu, lalu bergegas kembali untuk membentangkan kembali rantainya.

Kami merasa tenang ketika jalanan aspal lenyap di belakang. Aku senang karena tampaknya tak ada yang harus kubohongi, entah dengan kata-kata atau diamku. Ketika sedang sendirian, aku tidak terlalu merasa seperti pengkhianatan.
Melanie benar-benar merasa seperti di rumah sendiri di sini, di tengah negeri antah-berantah. Ia mengenal semua tanaman berduri di sekeliling kami. Ia menggumamkan nama-namanya dan menyambut mereka seperti teman lama.
Creosote, ocotillo, cholla, pir berduri, mesquite...


Jauh dari jalan raya, jauh dari perangkap-perangkap peradaban padang gurun itu tampaknya memberikan hidup baru bagi Melanie. Walaupun menghargai laju mobil yang berguncang-guncang itu--kendaraan kami tidak memiliki karakteristik yang sesuai untuk perjalanan off-road ini, dan peredam kejutnya juga mengingatkan hal ini kepadaku dengan setiap lubang di tanah--Melanie ingin sekali berdiri di atas kaki sendiri, lalu lari melintasi padang gurun membara yang aman ini.

Mungkin kami harus berjalan kaki, dan itu terlalu cepat menurut seleraku. Tapi ketika saat itu tiba, aku ragu apakah Melanie akan merasa puas. Bila kurasakan keingingannya yang nyata di balik permukaan. Kebebasan. Menggerakan tubuh dengan irama langkah panjang yang dikenalnya, hanya dengan berbekal kemauan sebagai petunjuk. Sejenak kubiarkan diriku melihat penjara berupa kehidupan tanpa tubuh itu. Terangkut di dalam tapi tak mampu memengaruhi bentuk di sekitarmu. Terperangkap. Tidak memiliki pilihan.

Aku bergidik, dan kembali memusatkan perhatian pada jalanan kasar itu. Aku mencoba menyingkir dari gabungan rasa iba dan ngeri. Tak ada inang lain yang pernah membuatku merasa begitu bersalah karena keberadaanku. Tentu saja tak ada inang lain yang bertahan hidup untuk mengeluhkan situasinya.



Matahari mendekati ujung-ujung perbukitan sebelah utara ketika kami pertama kali bertengkar. Bayang-bayang panjang menciptakan pola-pola aneh melintasi jalanan, menyulitkanku untuk menghindari batu-batuan dan lubang-lubang.
Itu dia! Melanie merasa bangga ketika kami melihat formasi lain agak jauh di timur: gelombang lembut batu, disela tonjolan mendadak yang membentuk jari kurus ke langit.
Melanie ingin langsung berbelok ke semak-semak, tanpa peduli apa yang akan terjadi pada mobilnya.

Mungkin seharusnya kita terus berjalan sampai petunjuk pertama, ujarku. Jalanan tanah kecil itu berlanjut dengan membelok ke arah yang kira-kira tepat, dan aku takut meninggalkannya. Bagaimana lagi aku bisa menemukan jalan kembali menuju peradaban? Tidakkah aku akan kembali?

Kubayangkan Pencari, tepat pada saat ini, ketika matahari menyentuh garis zigzag gelap cakrawala barat. Apa yang dipikirkannya ketika aku tidak tiba di Tucson? Luapan kegembiraan membuatku tertawa keras-keras. Melanie juga menikmati gambaran Pencari dalam kegusaran dan kejengkelan. Perlu beberapa lama bagi perempuan itu untuk kembali ke San Diego, untuk mengetahui apakah semua ini adalah siasat untuk menyingkirkannya? Lalu langkah-langkah apa yang akan diambilnya ketika aku tak ada di sana? Ketika aku tak ada di mana-mana?

Aku hanya tak bisa membayangkan dengan jelas di mana aku akan berada saat itu.
Lihat, sungai kering. Cukup lebar untuk dilewati mobil--ayo kita telusuri, desak Melanie.
Aku tak yakin apakah kita sudah harus pergi ke arah itu.
Sebentar lagi gelap dan kita harus berhenti. Kau membuang-buang waktu,
teriak Melanie diam-diam dalam frustasinya.
Atau menghemat waktu, seandainya aku benar. Lagi pula, aku yang punya waktu, bukan?

Melanie tidak menjawab dengan kata-kata. Tampaknya ia menggeliat di dalam benakku, kembali menuju sungai yang mudah dicapai itu.
Aku yang melakukannya, jadi aku akan melakukannya dengan caraku.
Sebagai jawaban Melanie menggerutu tanpa kata.
Mengapa tidak kautunjukkan semua garisnya, saranku. Agar kita bisa tahu apakah ada yang terlihat sebelum malam tiba.
Tidak,
bentaknya. Aku akan melakukan bagian itu dengan caraku.
Kau kekanak-kanakan.


Sekali lagi Melanie menolak menjawab. Kulanjutkan perjalanan ke arah empat puncak runcing itu, dan ia merengut.
Ketika matahari menghilang di balik perbukitan, malam menyapu cepat seluruh pemandangan. Selama semenit padang gurun berwarna jingga matahari terbenam, lalu semuanya hitam. Aku memperlambat mobil, tanganku meraba-raba dasbor, mencari tombol lampu depan.

Apa kau sudah gila? desis Melanie. Tak tahukah kau betapa jelasnya lampu depan terlihat di luar sini? Bakal ada yang melihat kita.
Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?
Berharap sandaran tempat duduk itu bisa ditidurkan.

Kubiarkan mesin menyala ketika mencoba memikirkan pilihan-pilihan lain, selain tidur di mobil, dikelilingi kekosongan hitam malam padang gurun. Melanie menanti dengan sabar, tahu aku takkan menemukan satu pun pilihan lain.

Kau tahu, ini gila, ujarku. Aku memarkir mobil, memutar kunci, lalu mengeluarkan benda itu dari lubangnya. Benar-benar gila. Tak mungkin ada orang di luar sini. Kita tidak akan menemukan apa-apa. Dan kita akan tersesat jauh. Aku punya perasaan abstrak mengenai bahaya fisik yang ada dalam rencana kita: berjalan-jalan di udara panas tanpa rencana cadangan, tanpa jalan kembali. Aku tahu Melanie jauh lebih memahami bahaya itu, tapi ia merahasiakan detai-detailnya dariku.

Ia tidak menjawab tuduhan-tuduhanku. Tak satu pun masalah - masalah ini mengganggunya. Aku bisa melihat ia lebih suka berjalan-jalan sendiri di padang gurun seumur hidup, daripada kembali pada kehidupan yang kujalani sebelumnya. Tanpa ancaman dari Pencari sekalipun, ia lebih suka seperti ini.

Kutidurkan sandaran kursi sejauh mungkin. Tak bisa cukup jauh untuk mendatangkan kenyamanan. Aku ragu apakah bisa tidur, tapi banyak hal yang tak boleh kupikirkan, sehingga benakku kosong dan menjemukan. Melanie juga diam.
Kupejamkan mata, dan hanya menemukan sedikit perbedaan antara kelopak mataku dengan malam tak berbulan itu. Lalu ketidaksadaran menghanyutkanku dengan kemudahan tak terduga.

---

The Host - Bab 9

0 comments
Temuan 

Jamie

Aku menyetir cepat melewati persimpangan. I-10 ketika matahari jatuh di belakangku. Tak banyak yang kulihat, selain garis-garis putih kuning di aspal dan terkadang rambu hijau besar yang mengarahkanku semakin ke timur. Kini aku terburu-buru.

Tapi aku tidak yakin mengapa aku terburu-buru. Kurasa untuk keluar dari semua ini. Keluar dari rasa sakit, keluar dari kesedihan, keluar dari rasa nyeri akibat cinta yang hilang dan tak berpengharapan. Apakah itu berarti keluar dari tubuh ini? Aku tidak bisa memikirkan jawaban lain. Aku masih akan bertanya kepada Penyembuh, tapi rasanya seakan keputusan telah dibuat. Peloncat. Pengecut. Aku menguji kata-kata itu di dalam kepalaku, mencoba berdamai dengan mereka.

Seandainya bisa menemukan caranya, akan kujauhkan Melanie dari tangan Pencari. Akan sangat sulit. Tidak, itu bakal mustahil.
Akan kucoba.

Aku menjanjikan ini kepada Melanie, tapi ia tidak mendengarkan. Ia masih bermimpi. Menyerah, tampaknya, walaupun kini sudah terlambat untuk menyerahkan diri demi menolongku.

Kucoba menyingkir dari ngarai merah di dalam kepala Melanie, tapi aku tetap berada di sana. Tak peduli betapa keras usahaku untuk melihat mobil-mobil yang menderu di sampingku, pesawat-pesawat ulang alik yang meluncur menuju pangkalan, sejumput awan lembut yang melayang di atas kepalaku, aku tidak bisa benar-benar membebaskan diri dari mimpi-mimpi Melanie. Kuingat wajah Jared dari seribu sudut berbeda. Kusaksikan Jamie tumbuh mendadak, selalu berupa tulang berbalut kulit. Sepasang lenganku terasa nyeri, ingin memeluk mereka. Tidak, perasaan itu lebih tajam daripada rasa nyeri, pinggirannya tajam dan menyayat. Tak tertahankan. Aku harus keluar.

Aku menyetir setengah buta di sepanjang jalan bebas hambatan sempit dua lajur. Padang gurun itu tampak lebih monoton dan mati daripada sebelumnya. Lebih membosankan, lebih tidak berwarna. Hari ini aku belum makan, dan perutku bergemuruh ketika menyadari hal ini.

Pencari akan menungguku di sana. Lalu perutku bergolak, sejenak rasa lapar digantikan rasa mual. Otomatis kakiku terangkat dari pedal gas.

Kuperiksa peta di kursi di sampingku. Aku akan segera tiba di tempat perhentian kecil, di tempat bernama Picacho Peak. Mungkin aku akan berhenti untuk menyantap sesuatu di sana. Menunda pertemuan dengan Pencari selama beberapa saat yang berharga.



Ketika aku merenungkan nama yang tak kukenal ini, Picacho Peak, muncul reaksi tertahan aneh dari Melanie. Aku tak bisa memahaminya. Pernahkah ia ke sini? Aku mencari sebuah ingatan, penglihatan, atau semacam bau yang berhubungan, tapi tak bisa menemukan apa-apa. Picacho Peak. Sekali lagi muncul sedikit rasa tertarik yang ditekan Melanie. Apa arti kata-kata itu baginya? Ia mundur ke dalam ingatan-ingatan yang jauh, menghindariku.
Ini membuatku penasaran. Aku menyetir sedikit lebih cepat, bertanya-tanya apakah melihat tempat itu akan memicu timbulnya ingatan lain.

Puncak gunung tunggal--tidak besar berdasarkan standar normal, tapi menjulang di atas perbukitan rendah berbatu-batu yang lebih dekat denganku--mulai tampak bentuknya di cakrawala. Bentuk puncak itu aneh, tidak biasa. Melanie mengamatinya, yang semakin besar ketika kami mendekat, dan berpura-pura mengabaikannya.

Mengapa Melanie berpura-pura tidak peduli, padahal ia jelas tampak peduli? Aku terganggu oleh kekuatannya ketika mencoba mencari tahu. Tidak bisa kutemukan jalan apa pun untuk mengitari dinding kosong tua itu. Terasa lebih tebal daripada biasa, walaupun kukira dinding itu nyaris tiada.

Aku berusaha mengabaikan Melanie, tidak ingin memikirkan bahwa--bahwa ia semakin kuat. Sebagai gantinya kuamati puncak itu, kutelusuri bentuknya yang dilatari langit panas pucat. Ada sesuatu yang kukenal di sana. Sesuatu yang pasti kukenal, walaupun aku yakin tak satu pun dari kami pernah kemari sebelumnya.

Seakan mencoba mengalihkan perhatianku, Melanie menceburkan diri ke dalam ingatan yang sangat jelas mengenai Jared, membuatku terkejut.

Aku menggigil dalam jaketku, menegangkan mata untuk melihat kilau teredam matahari yang tenggelam di balik pepohonan besar berduri. Kukatakan pada diri sendiri bahwa udara tidak sedingin yang kupikirkan. Tubuhku hanya belum terbiasa.

Sepasang tangan yang sekonyong-konyong berada di bahuku tidak mengejutkanku, walaupun aku takut terhadap tempat yang tidak kukenal ini dan tidak mendengar Jared diam-diam mendekatiku. Bobot sepasang tangan itu teramat kukenal.

"Kau mudah dikejutkan."
Bahkan saat ini pun, ada senyuman di wajahnya.
"Sudah kulihat kedatanganmu sebelum kau mengambil langkah pertama," ujarku, tanpa membalikkan tubuh. "Aku punya mata di belakang kepala."
Jemari hangat membelai wajahku dari pelipis sampai dagu, menyeret api sepanjang permukaan kulitku.
"Kau mirip peri hutan yang bersembunyi di pepohonan," bisik Jared di telingaku. "Salah satu dari mereka. Sangat cantik, sehingga mestinya kau hanya khayalan."

"Kalau begitu kita harus menanam lebih banyak pohon di sekeliling kabin."
Jared terbahak, dan suara itu membuat mataku terpejam dan bibirku menyeringai lebar.
"Tak perlu," katanya. "Kau memang selalu kelihatan seperti itu."
"Itu kata lelaki terakhir di Bumi kepada perempuan terakhir di Bumi, di pengujung perpisahan mereka."
Senyumku memudar ketika bicara. Senyum tak bisa bertahan hari ini. Jared mendesah. Napasnya di pipiku cukup hangat jika dibandingkan dinginnya udara hutan.
"Jamie mungkin membenci implikasi perkataanmu itu."
"Jamie masih kanak-kanak. Kumohon, kumohon, jagalah keamanannya."
"Begini saja," tawar Jared. "Kau menjaga agar dirimu tetap aman, dan aku akan berbuat sebaik mungkin. Jika tidak, tak ada kesepakatan."

Itu hanya gurauan, tapi tak bisa kuanggap enteng. Begitu kami berpisah, tak ada jaminan. "Tak peduli apa yang terjadi," ujarku berkeras.
"Tak akan terjadi apa-apa. Jangan khawatir." Kata-kata itu nyaris tak berarti. Usaha yang sia-sia. Tapi suara Jared patut didengarkan, tak peduli apa pesannya.
"Oke."


Ia membalikkan tubuhku agar menghadapnya, dan kusandarkan kepala di dadanya. Aku tak tahu harus membandingkan aroma tubuh Jared dengan apa. Itu aroma miliknya sendiri, sama uniknya dengan bau semak juniper atau hujan padang gurun.

"Kau dan aku tidak akan kehilangan satu sama lain," janjinya. "aku akan selalu menemukanmu kembali." Khas Jared, ia tak bisa benar-benar serius selama lebih dari satu atau dua detak jantung. "Tak peduli betapa  pintarnya kau bersembunyi. Aku ahli dalam permainan petak umpet."
"Apakah kau akan selalu mencariku setelah hitungan kesepuluh?"
"Tanpa mengintip."
"Baiklah," gumamku. Kucoba untuk menyembunyikan kenyataan bahwa tenggorokanku tercekat.
"Jangan takut. Kau akan baik-baik saja. Kau kuat, kau cepat, dan kau pintar." Ia sedang mencoba meyakinkan dirinya juga.
Mengapa aku meninggalkan Jared? Kecil sekali kemungkinan Sharon masih manusia.
Tapi ketika kulihat wajah gadis itu di berita televisi, aku sangat yakin.

Itu hanya penjarahan biasa, salah satu dari ribuan penjarahan. Seperti biasa, jika kami merasa cukup terisolasi, merasa cukup aman, kami menyalakan TV sambil menjarah isi lemari dapur dan kulkas. Hanya untuk mendengarkan ramalan cuaca; tak banyak hiburan dalam laporan serbasempurna dan sangat membosankan yang disebut sebagai berita oleh parasit-parasit itu. Rambut Sharon-lah yang menarik perhatianku--kilau warna merah tua, nyaris merah jambu, yang hanya pernah kujumpai pada diri satu orang.



Masih bisa kulihat tatapan di wajah Sharon ketika mengintip kamera dari sudut mata. Tatapan yang mengatakan, Aku mencoba untuk tidak terlihat; jangan melihatku. Jalannya tak cukup lambat, ia berjuang terlalu keras untuk mempertahankan kesantaian langkahnya. Mencoba mati-matian untuk berbaur.

Tak ada perampas tubuh yang merasa perlu berbuat seperti itu. Sedang apakah Sharon? Berjalan-jalan seperti manusia di kota besar seperti Chicago? Adakah manusia lainnya? Mencoba mencari Sharon bahkan tidak tampak sebagai pilihan. Sungguh. jika kemungkinan ada lebih banyak manusia di luar sana, kami harus mencari mereka.

Dan aku harus pergi sendirian. Sharon akan lari dari semua orang lain, kecuali dariku. Well, ia akan lari dariku juga, tapi mungkin akan berhenti cukup lama agar aku bisa menjelaskan. Aku yakin aku tahu tempat rahasianya.

"Dan kau?" tanyaku kepada Jared dengan suara parau. Aku tak yakin apakah secara fisik aku bisa menanggungkan perpisahan yang sangat membayangi kami ini. "Akankah kau aman?"
"Surga maupun neraka takkan bisa memisahkanku darimu, Melanie."

Tanpa memberiku kesempatan untuk menghela napas atau mengusap air mata yang baru saja keluar, Melanie melemparkan ingatan lain kepadaku.

Jamie meringkuk di bawah lenganku, walaupun tidak pas seperti dulu. Ia harus melipat tubuhnya. Tungkai-tungkai panjang kurusnya menyembul keluar, membentuk sudut-sudut tajam. Lengannya mulai berubah liat dan berotot, tapi saat ini ia masih kanak-kanak, gemetar, nyaris ketakutan. Jared sedang memasukkan barang-barang ke dalam mobil. Jamie takkan menunjukkan rasa takut jika Jared di sini, Jamie ingin menjadi pemberani, ingin menjadi seperti Jared.

"Aku takut," bisiknya.
Kucium rambut Jamie yang segelap malam. Bahkan di sini, di antara pepohonan berbau damar tajam, bau rambutnya seperti debu dan matahari. Rasanya seakan Jamie adalah bagian dari diriku. Dan untuk memisahkan kami, seseorang harus merobek kulit yang menyatukan kami.
"Kau akan baik-baik saja bersama Jared." Aku harus terdengar berani, tak peduli aku merasa seperti itu atau tidak.
"Aku tahu itu. Aku mengkhawatirkanmu. Aku takut kau tidak akan kembali. Seperti Dad."

Aku tersentak. Ketika Dad tidak kembali, walaupun tubuhnya akhirnya mencoba menuntun para Pencari kepada kami, aku dilanda perasaan paling mengerikan, menakutkan, dan menyakitkan yang pernah kurasakan. Bagaimana jika aku melakukan hal yang sama lagi terhadap Jamie?

"Aku akan kembali. Aku selalu kembali."
"Aku tahu," ujarnya lagi.
Aku harus berani
"Aku janji, semua akan baik-baik saja. Aku janji, aku akan kembali. Kau tahu aku takkan mengingkari janji, Jamie. Apalagi janjiku kepadamu."
Guncangan tubuhnya mereda. Ia percaya. Ia memercayaiku.

Dan satu ingatan lagi:

Aku bisa mendengar mereka di lantai di bawahku. Mereka akan menemukanku dalam hitungan menit, atau detik. Kugoreskan kata-kata di atas robekan kertas koran kotor. Nyaris tak terbaca. Tapi jika Jared menemukannya, ia akan mengerti:
Tidak cukup cepat. Aku mencintaimu dan mencintai Jamie. Jangan pulang.

Bukan hanya menghancurkan hati mereka, tapi aku juga mencuri tempat pengungsian mereka. Kubayangkan rumah ngarai mungil kami ditinggalkan, kini untuk selamanya. Atau, jika tidak ditinggalkan, telah menjadi kuburan. Kulihat tubuhku menuntun para Pencari ke sana. Wajahku tersenyum ketika kami menangkap mereka di sana.

"Cukup," ujarku keras-keras, seraya menjauhkan diri dari lecutan rasa nyeri itu. "Cukup! Kau sudah menjelaskan maksudmu! Kini aku juga tak bisa hidup tanpa mereka. Apakah itu membuatmu senang? Itu tidak memberiku banyak pilihan, bukan? Hanya satu--menyingkirkanmu. Kau ingin Pencari berada di dalam tubuhmu? Ugh!" Aku ciut membayangkannya, seakan akulah yang akan menampung Pencari.

Ada pilihan lain, kata Melanie lembut.

"Benarkah?" desakku, dengan nada mengejek. "Tunjukkan."
Lihat dan amati.
Aku masih menatap puncak gunung. Puncak itu mendominasi pemandangan. Tonjolan mendadak batu karang, dikelilingi tanah datar bersemak-semak. Perhatian Melanie menarik mataku pada siluetnya, lalu menelusuri puncak bercabang dua yang tidak rata itu.

Lengkungan melandai kasar, lalu belokan tajam ke utara, belokan tajam lagi ke arah berlawanan, berputar lagi ke utara dan agak memanjang, lalu mendadak turun ke selatan, dan mendatar membentuk lengkungan melandai lain.
Bukan ke utara dan selatan seperti garis-garis yang selalu kulihat dalam potongan - potongan ingatan Melanie, melainkan ke atas dan ke bawah.

Profil puncak gunung.
 
Melanie memberiku jawabannya.

"Itu hanya garis - garis. Dan Uncle Jeb hanya lelaki tua gila. Tidak waras, sama seperti semua keluarga ayahku." aku mencoba merebut buku itu dari tangan Jared, tapi tampaknya ia nyaris tidak memperhatikan usahaku.
"Tidak waras, seperti ibu Sharon?" tanyanya, masih mengamati goresan-goresan gelap pencil yang mengotori sampul belakang album foto tua itu--satu-satunya benda yang belum hilang dalam semua pelarianku. Bahkan coret-coret yang ditinggalkan Uncle Jeb di sana saat kunjungan terakhirnya pun kini memiliki nilai sentimental.

"Tepat sekali." Seandainya Sharon masih hidup, itu pasti karena ibunya, Aunt Maggie yang sinting berhasil menyaingi Uncle Jeb dalam meraih julukan Yang Tergila dari si Gila Stryder Bersaudara. Ayahku hanya mendapat sedikit sentuhan kegilaan Stryder--ia tidak punya bunker rahasia di pekarangan belakang atau semacamnya. Semua saudara ayahku, baik perempuan maupun laki-laki, Aunt Maggie, Uncle Jeb, dan Uncle Guy, adalah penganut paling setia teori konspirasi. Uncle Guy sudah meninggal, sebelum yang lain menghilang selama penyerbuan mahluk-mahluk asing itu. Ia meninggal dalam kecelakaan mobil yang sangat biasa, sehingga Maggie dan Jeb berjuang menciptakan intrik untuk peristiwa itu.
Ayahku selalu menyebut mereka dengan penuh kasih sebagai Orang-Orang Sinting. "Kurasa sudah saatnya kita mengunjungki Orang-Orang Sinting." Dad mengumumkan. Lalu Mom akan menggerutu--dan itulah sebabnya pengumuman semacam itu jarang sekali terjadi.

Dalam salah satu kunjungan langka kami ke Chicago, Sharon menyelundupkanku ke dalam lubang persembunyian ibunya. Kami ketahuan--Aunt Maggie memasang ranjau di mana-mana. Sharon di marahi habis-habisan dan, walaupun aku sudah disumpah untuk merahasiakannya, kurasa Aunt Maggie akan membangun tempat perlindungan baru.

Tapi aku ingat dimana tempat persembunyian pertama itu. Kubayangkan Sharon kini berada di sana, menjalani kehidupan seperti Anne Frank di tengah kota musuh. Kami harus menemukan dan membawanya pulang.

Jared menyela lamunanku. "Tidak waras adalah jenis orang yang bakal bertahan hidup. Orang yang melihat Big Brother ketika ia tak di sana. Orang yang mencurigai seluruh umat manusia, sebelum mereka berubah membahayakan. Orang yang siap dengan tempat persembunyian." Jared nyengir, masih sambil mempelajari garis-garis itu. Lalu suaranya agak parau. "Orang seperti ayahku. Seandainya dia dan semua saudara laki-lakiku memilih bersembunyi dan tidak melawan... Well, mereka akan masih berada di sini."

Nada suaraku melembut mendengar rasa pedih dalam suara Jared.
"Oke, aku setuju dengan teori itu. Tapi garis - garis ini tak ada artinya."
"Ulangi lagi apa kata Uncle Jeb ketika menggambar garis-garis ini."


Aku mendesah. "Mereka sedang berselisih--Uncle Jeb dan ayahku. Uncle Jeb mencoba meyakinkan ayahku ada yang tidak beres. Dia mengatakan kepada ayahku untuk tidak memercayai siapa pun. Dad menertawakannya. Jeb meraih album foto ini dari meja dan mulai... bisa dibilang dia mengukirkan garis - garis itu di sampul belakangnya dengan pensil. Dad marah, mengatakan Mom bakal marah. Kata Jeb, 'ibu Linda meminta kalian semua datang berkunjung, bukan? Agak aneh, tanpa disangka-sangka? Dan dia sedikit marah ketika hanya Linda yang bisa datang? Sejujurnya Trev,kurasa Linda tidak akan terlalu keberatan ketika dia kembali. Oh, mungkin dia akan berpura-pura keberatan, tapi kau akan bisa mengetahui perbedaannya.' Saat itu perkataan Uncle Jeb tak masuk akal, tapi benar-benar membuat ayahku marah dan mengusirnya. Awalnya Jeb tak mau pergi. Dia terus-menerus mengingatkan kami untuk tidak menunggu sampai semuanya terlambat. Dia meraih bahuku dan menarikku ke sisinya. 'Jangan biarkan mereka menangkapmu, Sayang,' bisiknya. 'Ikuti garis-garis itu. Mulailah dari awal dan ikuti garis-garis itu. Uncle Jeb akan menyediakan tempat aman untukmu.' Saat itulah Dad mendorongnya keluar dari pintu."

Jared mengangguk-angguk tanpa sadar. Ia masih mempelajari garis-garis itu. "Awal...awal... seharusnya itu ada artinya."
"Benarkah? Itu hanya coret - coret, Jared. Tidak seperti peta--garis - garis itu bahkan tidak berhubungan."
"Tapi ada sesuatu mengenai garis pertama. Sesuatu yang kukenal. Aku bersumpah pernah melihatnya di suatu tempat."
Aku mendesah. "Mungkin Uncle Jeb menceritakannya kepada Aunt maggie. Mungkin Aunt Maggie punya petunjuk-petunjuk lebih baik."
"Mungkin," ujar Jared. Dan ia terus memandangi corat-coret Uncle Jeb.

Melanie menarikku kembali ke masa lalu, ke dalam ingatan yang jauh, jauh lebih lama--ingatan yang telah lama dilupakannya. Aku terkejut menyadari ingatan-ingatan ini, yang baru maupun lama, yang baru digabungkan olehnya setelah aku berada di sini. Itulah sebabnya garis-garis itu lolos dari pengontrolan ketatnya, walaupun sesungguhnya merupakan salah satu rahasia paling berharga--karena begitu pentingnya penemuan ini.

Dalam ingatan awal yang kabur ini, Melanie duduk di pangkuan ayahnya. Album yang sama--saat itu belum begitu compang-camping--terbuka di tangannya. Tangan Melanie mungil, jari-jarinya pendek gemuk. Aneh sekali mengingat tubuh ini ketika masih kecil.
Mereka sedang melihat halaman pertama.

"Kau ingat di mana ini?" tanya Dad, menunjuk foto abu-abu tua di bagian atas. Kertasnya lebih tipis daripada foto-foto lain, seakan telah aus--semakin pipih dan pipih dan pipih--semenjak kakek buyut mengambil foto itu.
"Di sinilah asal kita, keluarga Stryder." jawabku, mengulangi apa yang sudah diajarkan kepadaku.
"Benar. Itu peternakan tua Stryder. Kau pernah ke sana, tapi kujamin kau tidak ingat. Kurasa usiamu baru delapan belas bulan saat itu." Dad tertawa. "Sudah menjadi tanah Stryder sejak awal sekali..."

Lalu muncul ingatan mengenai foto itu sendiri. Gambar yang sudah dilihat Melanie ribuan kali, tanpa benar-benar melihatnya. Fotonya hitam-putih, dan telah memudar jadi abu-abu. Sebuah rumah ayu pedesaan kecil, jauh di sisi lain ladang padang gurun. Di latar depan tampak pagar kandang, dengan beberapa siluet kuda di antara pagar dan rumah. Lalu, di belakang semua itu, profil tajam yang tak asing lagi...

Serangkaian kata, sebuah catatan, digoreskan dengan pensil pada pinggiran putih di bagian atas foto:
Peternakan Stryder, 1904, dalam bayangan pagi...
"Picacho Peak," kataku pelan.

Jared juga akan menemukan jawaban itu, kalaupun mereka tak pernah menemukan Sharon. Aku tahu Jared akan menyatukan semua kepingan teka-teki itu. Ia lebih pintar dariku, dan ia punya fotonya; mungkin ia sudah melihat jawabannya, sebelum aku melihatnya. Mungkin ia berada sangat dekat...

Pikiran itu begitu memenuhi benak melanie dengan kerinduan dan kegembiraan, sehingga dinding kosong di kepalaku lenyap seluruhnya.

Kini aku melihat seluruh perjalanan itu, melihat perjalanan hati-hati Melanie, Jared, dan Jamie melintasi negara-negara bagian, selalu di malam hari, dengan kendaraan curian yang tidak mencolok. Makan waktu berminggu-minggu. Kulihat di mana Melanie meninggalkan mereka, di hutan cagar alam di luar kota, yang sangat berbeda dengan padang gurun kosong yang biasa mereka huni. Dalam beberapa hal hutan dingin tempat Jared dan Jamie bersembunyi dan menunggu itu terasa lebih aman. Dahan-dahan pepohonannya besar dan menutupi, tidak seperti tanaman kurus panjang di padang gurun yang hanya bisa sedikit menutupi. Tapi hutan itu juga lebih berbahaya, dengan bau-bau dan suara-suara asingnya.

Lalu perpisahan itu, ingatan yang begitu menyakitkan sehingga kami tersentak dan melewatkannya. Berikutnya muncul banguna terlantar tempat Melanie bersembunyi sambil mengamati rumah di seberang jalan, mencari peluang. Di sana, tersembunyi di balik dinding-dinding atau di dalam ruang bawah tanah rahasia, ia berharap bisa menemukan Sharon.

Seharusnya tak kubiarkan kau melihatnya, ujar Melanie. Suara pelan samar-samar itu mengungkapkan kelelahan. Serangan ingatan-ingatan ini, dan bujukan serta pemaksaan yang ia lakukan, telah melelahkannya. Kau akan menceritakan tempat persembunyian Sharon kepada mereka. Kau juga akan membunuhnya.
"Ya," jawabku keras-keras. "Aku harus melaksanakan tugasku."
Mengapa? Melanie bergumam, nyaris mengantuk. Kebahagiaan macam apa yang akan kaudapatkan?

Aku tak ingin berbantahan dengannya, jadi aku diam saja.
Gunung itu menjulang semakin tinggi di depan kami. Sebentar lagi kami akan berada di bawahnya. Aku bisa melihat tempat perhentian kecil dengan toko sederhana dan restoran cepat saji yang salah satu sisinya dibatasi lapangan beton--tempat parkir rumah-rumah mobil. Sekarang hanya beberapa yang dihuni, panas menjelang musim panas membuat segalanya terasa tidak nyaman.

Sekarang bagaimana? pikirku bertanya-tanya. Berhenti untuk makan siang larut atau makan malam kepagian? Memenuhi tangki bensin, lalu meneruskan perjalanan ke Tucson untuk mengungkapkan penemuan-penemuan baruku kepada Pencari?

Pikiran itu begitu memuakkan, sehingga rahanku terkatup menahan perut kosongku yang tiba-tiba bergolak. Refleks kuinjak rem. Mobil berdecit, lalu berhenti di tengah jalur. Aku beruntung; tak ada mobil yang menabrakku dari belakang. Juga tak ada pengemudi yang berhenti dan menawarkan pertolongan. Saat ini jalan raya kosong. Matahari menyinari trotoar, membuatnya berkilau, lalu menghilang di beberapa bagian.


Seharusnya gagasan untuk terus ke kanan dan melanjutkan perjalanan awalku takkan terasa seperti pengkhianatan. Bahasa pertamaku, bahasa asli jiwa yang hanya diucapkan di planet asal kami, tidak memiliki kata untuk pengkhianatan ata pengkhianat. Atau bahkan kesetiaan--karena, tanpa keberadaan lawan katanya, konsep itu tidak memiliki makna.

Namun aku merasa sangat bersalah ketika memikirkan Pencari. Rasanya eliru menceritakan apa yang kuketahui kepadanya. Bagaimana mungkin keliru? Kutentang pikiranku sendiri mati-matian. Jika aku berhenti di sini dan mendengarkan saran-saran menggairahkan inangku, aku benar-benar akan menjadi pengkhianat. Itu mustahil Aku adalah sesosok jiwa.

Namun aku tahu apa yang kuinginkan lebih kuat dan nyata daripada segala yang pernah kuinginkan dalam delapan kehidupan yang pernah kujalani. Gambaran wajah Jared menari-nari di balik kelopak mataku ketika aku mengedipkan mata karena silaunya matahari. Kali ini gambaran itu bukanlah ingatan Melanie, melainkan ingatanku akan ingatan Melanie. Kini gadis ini tidak memaksakan apa-apa kepadaku, Nyaris bisa kurasakan kehadirannya di dalam kepalaku ketika ia menunggu--kubayangkan ia menahan napas, seakan itu memungkinkan--agar aku mengambil keputusan.

Aku tak bisa memisahkan diriku dari hasrat tubuh ini. Itu aku, melebihi segala yang pernah kuinginkan. Apakah aku yang menginginkannya, atau tubuh ini? Apakah perbedaan itu ada artinya sekarang?

Di kaca spion kilau matahari yang memantul dari mobil di kejauhan tetangkap mataku.
Kupindahkan kakiku ke pedal gas, lalu perlahan-lahan menuju toko kecil di dalam bayangan puncak. Sesungguhnya hanya satu hal yang harus dilakukan.

---

Jual Nugget dan Sosis Sayur

Jual Nugget dan Sosis Sayur
Pemesanan via email : lwati111@gmail.com

The Host - Bab 12

0 comments
Gagal

"Tak mungkin! Kau keliru! Salah total! Itu tidak mungkin!" Kutatap kejauhan. Aku dipenuhi rasa tak percaya yang segera berubah menjadi rasa ngeri.
Kemarin pagi aku sudah menyantap Twinkies hancur terakhir untuk sarapan. Kemarin siang aku menemukan puncak kembar itu dan berbelok ke timur lagi. Melanie telah memberiku formasi terakhir yang harus kutemukan. Kabar itu membuatku nyaris histeris karena kegirangan. Semalam aku menghabiskan air terakhir. Itu hari keempat.

Pagi ini terasa seperti ingatan kabur mengenai matahari yang membutakan dan harapan yang membuncah. Waktu hampir habis, dan aku mengamati garis langit untuk mencari petunjuk terakhir dengan perasaan panik yang semakin besar. Aku tak bisa melihat tempat mana pun yang cocok. Garis mendatar panjang puncak rata, diapit puncak - puncak tumpul di kiri-kanannya seperti dua pengawal. Hal semacam itu akan makan tempat, dan pegunungan di timur dan utara dipenuhi puncak bergerigi. Aku tak bisa melihat di mana puncak datar itu bersembunyi di antara puncak - puncak bergerigi tersebut.

Menjelang siang--dalam pandanganku matahari masih berada di timur--aku berhenti untuk beristirahat. Aku merasa sangat lemah, dan itu membuatku takut. Setiap otot tubuhku mulai nyeri, tapi bukan akibat semua perjalanan kaki ini. Aku bisa membedakan rasa nyeri akibat kelelahan, juga rasa nyeri akibat tidur di tanah, tapi berbeda dengan rasa nyeri baru ini. Tubuhku mengering dan rasa nyeri ini adalah karena otot-ototku memprotes siksaan itu. Aku tahu aku takkan bisa berjalan lebih jauh lagi.

Aku berbalik memunggungi timur, agar matahari menyingkir sejenak dari wajahku.
Dan saat itulah aku melihatnya. Garis mendatar panjang puncak rata, yang tak mungkin keliru dengan adanya dua puncak yang mengapitnya. It dia, sangat jauh di barat, sehingga tampak berkilau di atas fatamorgana. Mengapung, melayang - layang di atas padang gurun seperti awan gelap. Setiap langkah yang kuambil telah menuntunku ke arah keliru. Petunjuk terakhir jauh sekali di barat, lebih jauh daripada seluruh perjalanan yang telah kami tempuh.

"Mustahil," bisikku lagi.
Melanie membeku di kepalaku, tidak berpikir, kosong, mencoba mati-matian menolak pemahaman baru ini. Aku menunggunya, mataku menyusuri bentuk-bentuk yang tak diragukan lagi sangat kukenal itu, hingga beban mendadak kepasrahan dan kesedihan Melanie membuatku jatuh berlutut. Kepasrahan bisu Melanie menggema di kepalaku, menambahkan satu lapisan lagi di atas rasa nyeri itu. Napasku terengah-engah--tangisan tanpa suara, tanpa air mata. Matahari merayapi punggungku; panasnya menembus jauh ke dalam gelapnya rambutku.

Ketika aku berhasil memulihkan ketenangan, bayangan tubuhku hanya berupa lingkaran kecil di tanah. Dengan susah payah aku kembali berdiri. Batu-batu kecil tajam tertanam di kulit kakiku.
Aku tak mau repot-repot membersihkannya. Kutatap puncak rata melayang itu, yang mengejekku dari barat untuk waktu yang panas dan lama.



Dan akhirnya, tanpa benar-benar yakin mengapa aku melakukannya, aku mulai melangkah maju. Yang kuketahui hanya ini: akulah yang bergerak, bukan orang lain. Melanie begitu kecil di dalam otakku, berubah menjadi kapsul nyeri mungil yang membungkus erat dirinya sendiri. Takkan ada pertolongan darinya.
Langkah kakiku berbunyi keresek, keresek lambat melintasi tanah berkerikil.

"Ternyata dia hanya orang gila tua penipu," gumamku kepada diri sendiri. Getaran aneh mengguncang dadaku, dan suara batuk parau mengoyak tenggorokanku. Aliran batuk parau itu terus berlanjut. Ketika kurasakan mataku pedih karena air mata yang tak kunjung muncul, barulah kusadari aku tertawa.

"Tak pernah... tak pernah... ada apa-apa di luar sini!" Aku terengah-engah di antara serangan histeria. Aku terhuyung-huyung maju seakan mabuk, jejak-jejak kakiku memanjang tak teratur di belakangku.
Tidak. Melanie melepaskan diri dari kesedihan, untuk mempertahankan keyakinan yang masih dipegangnya. Aku yang keliru, atau semacam itu. Salahku.

Kini aku menertawakan Melanie. Suara itu terisap angin yang membakar.
Tunggu, tunggu, ujarnya. Ia mencoba menarik perhatianku dari kekonyolan semua ini. Kau tidak mengira... maksudku, kaupikir mereka juga mencobanya?

Ketakutan Melanie yang tak terduga menghentikan tawaku. Aku menelan udara panas, dadaku berdenyut-denyut akibat serangan mengerikan histeriaku. Ketika aku sudah bisa bernapas lagi, semua jejak humor menyedihkan itu lenyap. Secara naluriah mataku menyapu kekosongan padang gurun, mencari semacam bukti bahwa aku bukanlah orang pertama yang menyia-nyiakan hidup seperti ini. Dataran itu teramat sangat luas, tapi aku tak bisa menghentikan pencarian panikku. Aku mencari... mayat-mayat.

Tidak, tentu saja tidak. Melanie sudah menghibur dirinya sendiri. jared terlalu pintar. Ia takkan kemari tanpa persiapan, tidak seperti yang kita lakukan. Ia takkan menjerumuskan Jamie ke dalam bahaya.
Aku yakin kau benar, kataku. Aku juga ingin memiliki keyakinan sebesar itu. Aku yakin tak seorang pun di seluruh jagad raya ini bisa bertindak setolol ini. Lagi pula Jared mungkin tak pernah datang untuk menengok tempat ini. Ia mungkin tak pernah menemukan jawabannya. Kalau saja kau juga tak pernah menemukan jawabannya.

Kakiku terus bergerar. Nyaris tak kusadari tindakan itu. Sedikit sekali artinya dibandingkan jarak yang membentang di depan. Dan kalaupun kami secara ajaib diangkut ke bagian dasar puncak rata itu, lalu apa? Aku benar-benar yakin tak ada apa - apa di sana. Tak seorang pun menunggu di puncak rata itu untuk menyelamatkan kami.

"Kita akan mati," ujarku. Aku terkejut, karena tak ada ketakutan dalam suara parauku. Ini cuma kenyataan, persis kenyataan-kenyataan lainnya. Mataharinya panas. Padang gurunnya kering. Kami bakal mati.

Ya. Melanie juga tenang. Kematian ini lebih mudah diterima daripada kenyataan bahwa usaha - usaha kami telah dituntun kegilaan.
"Kematian tidak mengganggumu?"
Melanie berpikir sejenak sebelum menjawab.
Setidaknya aku mati saat mencoba. Dan aku menang. Aku tak pernah membocorkan keberadaan mereka. Aku tidak pernah menyakiti mereka. Aku berjuang sekeras mungkin untuk menemukan mereka. Aku mencoba memenuhi janjiku... Aku mati untuk mereka.

Aku menghitung sembilan belas langkah sebelum bisa menjawab. Sembilan belas bunyi gemersik lamban yang sia-sia melintasi pasir.

"Lalu, untuk apa aku mati?" aku bertanya-tanya, dan perasaan menusuk itu kembali memasuki saluran air mata keringku. "Kurasa karena aku tersesat, bukan? Itukan sebabnya?"

Aku menghitung 34 bunyi gemersik sebelum Melanie menemukan jawaban atas pertanyaanku.
Tidak, ujarnya. Tidak terasa seperti itu bagiku. Kurasa... Well, kurasa... mungkin kau mati untuk menjadi manusia. Nyaris tampak senyuman di dalam pikiran Melanie ketika mendengar makna ganda konyol frasa itu. Setelah semua planet dan inang yang kau tinggalkan, akhirnya kau menemukan tempat lain dan tubuh untuk mati. Kurasa kau telah menemukan rumahmu, Wanderer.
Sepuluh bunyi gemerisik.

Aku tak punya energi untuk kembali membuka mulut. Kalau begitu, sayang sekali aku tak bisa tinggal di sini lebih lama.
Aku meragukan jawaban Melanie. Mungkin ia sedang mencoba membuatku merasa lebih baik. Sebagai imbalan karena aku telah menyeretnya kemari untuk mati. Ia menang; ia tak pernah menghilang.

Langkah-langkahku mulai goyah. Otot-ototku berteriak memohon ampun, seakan aku punya cara untuk menghibur mereka. Kupikir aku akan berhenti tepat di sini, tapi Melanie, seperti biasa, lebih gigih daripadaku.

Kini aku bisa merasakan gadis ini, dan bukan hanya di dalam kepalaku, melainkan juga di dalam semua tungkaiku. Langkahku memanjang; jalanku semakin lurus. Dengan tekad baja Melanie menyeret bangkai tubuhku yang sudah setengah mati menuju tujuan yang mustahil.

Perjuangan sia-sia ini memunculkan kegembiraan tak terduga. Sama seperti aku bisa merasakan dirinya, Melanie juga bisa merasakan tubuhku. Tubuh kami, sekarang. Kelemahanku menyerahkan kendali kepadanya. Ia senang punya kebebasan untuk menggerakkan sepasang lengan dan kaki kami ke depan, tak peduli betapa sia-sia gerakan itu. Ia hanya senang karena bisa kembali melakukannya. Bahkan sakitnya kematian pelan yang kami alami mulai meredup jika dibandingkan kebebasan itu.

Menurutmu ada apa di luar sana? tanya Melanie ketika kami berjalan menuju kematian. Apa yang kaulihat setelah kita mati?
Tak ada, Kata itu hampa, tegas, dan yakin. Ada alasan mengapa kami menyebutnya kematian terakhir.
Jiwa tidak mempercayai kehidupan setelah kematian?
Kami punya begitu banyak kehidupan. Lebih dari itu akan... terasa berlebihan. Kami mengalami kematian kecil setiap kali meninggalkan inang. Kami hidup kembali dalam inang lain. Ketika aku mati di sini, itu adalah kematian terakhir.
Muncul keheningan yang panjang ketika kaki kami bergerak semakin lambat.

Bagaimana denganmu? tanyaku akhirnya. Masihkah kau memercayai sesuatu yang lebih, bahkan setelah semua ini? Pikiranku menggali ingatan-ingatan Melanie mengenai akhir dunia manusia.
Kelihatannya beberapa hal tak bisa mati.

Di benak kami wajah mereka tampak jelas dan dekat. Cinta yang kami rasakan untuk Jared dan Jamie memang terasa sangat permanen. Saat itu aku bertanya-tanya, apakah kematian cukup kuat untuk melarutkan sesuatu yang begitu penting dan tajam. Mungkin cinta ini akan terus hidup bersama Melanie, di suatu tempat negeri dongeng dengan gerbang mutiara. Bukan bersamaku.

Akan melegakan jika terbebas dari rasa cinta itu? Aku tak yakin. Rasanya seakan-akan cinta itu telah menjadi bagian diriku sekarang.
Kami hanya mampu bertahan beberapa jam. Bahkan kekuatan benak Melanie yang luar biasa tak bisa meminta lebih pada tubuh lemah kami. Kami nyaris tak bisa melihat. Sepertinya kami tak bisa menemukan oksigen di udara kering yang kami hidup dan embuskan kembali. Rasa nyeri membawa erangan-erangan parau keluar dari bibir kami.

Kau tak pernah mengalami hal seburuk ini. Dengan lemah kugoda Melanie, ketika kami terhuyung-huyung ke pohon sekering tongkat yang berdiri beberapa puluh sentimeter lebih tinggi dari pada semak rendah. Kami ingin mencapai alur - alur tipis keteduhan itu sebelum terjatuh.

Tidak, Melanie mengiyakan. Tak pernah seburuk ini.
Kami mencapai tujuan. Pohon mati itu menciptakan bayang-bayang berbentuk sarang laba-laba di atas kami, dan sepasang kaki kami berhenti bergerak. Kami duduk, tak pernah menginginkan matahari di wajah kami lagi. Kepala kami menoleh sendiri, mencari udara yang membakar. Kami menatap debu yang melayang beberapa senti dari lubang hidung, dan mendengarkan engahan napas kami.



Setelah beberapa saat, singkat atau lama kami tak tahu, kami memejamkan mata. Kelopak kami merah dan terang di dalam, Kami tak bisa merasakan jaring-jaring lemah keteduhan; mungkin bayang-bayang itu tak lagi menyentuh kami.

Berapa lama? tanyaku kepada Melanie.
Aku tak tahu. Aku belum pernah mati.
Satu jam? Lebih?
Tebakanmu sama bagusnya dengan tebakanku.
Di mana coyote itu, ketika kau benar-benar memerlukannya?
Mungkin kita beruntung... lolos dari mahluk buas bercakar atau semacam itu... Pikiran Melanie berhenti dengan kacau.

Itu percakapan terakhir kami. Terlalu berat untuk berkonsentrasi membentuk kata-kata. Lebih banyak kesakitan daripada yang semula kami kira. Semua otot di tubuh kami memberontak, mengerut dan mengejang ketika melawan kematian.


Kami tidak melawan. Kami hanyut dan menunggu. Tanpa pola tertentu, pikiran-pikiran kami keluar-masuk ingatan-ingatan. Ketika masih tersadar, kami menyenandungkan lagu ninabobo di dalam kepala. Itu lagu yang biasa kami senandungkan untuk menghibur Jamie ketika tanah terlalu keras, atau udara terlalu dingin, atau ketakutannya terlalu besar sehingga ia tak bisa tidur. Kami merasakan kepala Jamie menekan cekungan persis di bawah bahu kami, lalu merasakan bentuk punggungnya di bawah lengan kami. Lalu tampaknya seakan kepala kami-lah yang terbuai di atas bahu yang lebih bidang, dan lagu ninabobo lain menghibur kami.

Kelopak mata kami berubah hitam, tapi bukan karena kematian. Malam telah datang, dan ini membuat kami sedih. Tanpa panasnya hari, kami mungkin akan bertahan hidup lebih lama.
Gelap dan hening di dalam ruang tanpa waktu. Lalu terdengar suara.

Suara itu nyaris tidak membangunkan kami. Kami ragu, apakah itu hanya khayalan. Bagaimanapun itu mungkin coyote. Apakah kami menginginkannya? Kami tak tahu. Kami kehilangan serangkaian pikiran dan melupakan suara itu.


Sesuatu mengguncang-guncang kami, menarik sepasang lengan kami yang mati rasa, menyeret kami. Kami tak bisa membentuk kata-kata, untuk berharap agar kematian terjadi dengan cepat sekarang. Tapi itulah harapan kami. Kami menunggu gigitan. Tapi seretan itu berubah jadi dorongan, dan kami merasakan wajah kami berguling menghadap langit.

Cairan itu tertuang ke wajah kami--basah, sejuk, dan mustahil. Cairan itu menetes ke mata kami, membasuh pasir dari sana. Mata kami bergerak-gerak, mengerjap-ngerjap terkena tetesan.



Kami tidak memedulikan pasir di mata. Dagu kami terangkat, mencari-cari dengan putus asa. Mulut kami membuka dan menutup dengan kelemahan membabi buta dan menyedihkan, seperti burung yang baru saja menetas.

Kami mengira mendengar desah napas.
Lalu air mengalir ke dalam mulut dan kami meneguknya, lalu tersedak-sedak. Airnya menghilang ketika kami tersedak, dan sepasang tangan lemah kami menggapai-gapai mencarinya. Sesuatu yang berat dan datar menghantam punggung. Sampai kami bisa bernapas kembali. Sepasang tangan kami terus menjangkau udara, mencari air itu.

Kali ini kami benar-benar mendengar helaan napas.
Sesuatu ditekankan ke bibir kami yang pecah-pecah, lalu air kembali mengalir. Kami menenggaknya dengan rakus, kali ini berhati-hati agar tidak menarik napas. Bukannya kami peduli apakah akan tersedak, tapi kami tak ingin air itu diambil lagi.

Kami minum sampai perut kami kembung dan sakit. Airnya menetes, lalu berhenti. Kami berteriak parau memprotes. Pinggiran botol lain ditekankan ke bibir, dan kami meneguk kalap sampai airnya habis juga.
Perut kami bakal meledak jika minum lagi, tapi kami mengerjap dan mencoba memusatkan pandangan, untuk melihat apakah kami bisa menemukan lebih banyak air. Terlalu gelap; kami tak bisa melihat satu bintang pun. Lalu kami kembali mengerjap-ngerjapkan mata, menyadari kegelapan itu jauh lebih dekat daripada langit. Sesosok tubuh menjulang di dekat kami, lebih kelam daripada malam.

Terdengar suara samar kain bergesek dan pasir berpindah di bawah tumit. Sosok itu mencondongkan tubuh ke belakang, lalu kami mendengar bunyi robekan tajam--suara ritsleting yang memekakkan di dalam keheningan malam yang telak.

Cahaya mengiris mata kami bagai pisau. Kami mengerang kesakitan, tangan kami melayang ke atas untuk menutupi mata kami yang terpejam. Bahkan di balik kelopak mata sekalipun, cahaya itu terlalu terang. Cahayanya menghilang, dan kami merasakan desah napas berikutnya menimpa wajah kami.

Dengan hati-hati kami membuka mata, lebih buta daripada sebelumnya. Siapa pun yang sedang memandang kami, ia duduk sangat diam dan tidak mengatakan apa-apa. Kami mulai merasakan ketegangan, tapi perasaan itu begitu jauh, berada di luar diri kami. Sulit untuk memedulikan hal lain, kecuali air di dalam perut dan di mana kami bisa menemukan lebih banyak air lagi. Kami mencoba berkonsentrasi, untuk melihat siapa penyelamat kami.

Hal pertama yang kami ketahui, setelah bermenit-menit mengerjap-ngerjap dan menyipitkan mata, adalah warna putih tebal yang jatuh dari wajah gelap itu. Jutaan serpihan pucat di malam hari. Ketika kami memahami serpihan putih itu sebagai jenggot--seperti Sinterklas, pikir kami kacau--bagian-bagian lain wajah itu melengkapi ingatan kami. Semua pas: hidung besar dengan ujung terbelah, tulang pipi lebar, alis putih tebal, mata cekung di kulit keriput. Walaupun hanya bisa melihat wajahnya sedikit-sedikit, kami tahu bagaimana cahaya akan memaparkannya.



"Uncle Jeb." Terkejut kami berteriak parau, "Kau menemukan kami."
Uncle Jeb, yang berjongkok di sebelah kami, bergerak-gerak di atas tumitnya ketika kami mengucapkan namanya.

"Well," katanya, suara seraknya mendatangkan kembali ratusan kenangan. "Well, ini sangat dilematis."
---

The Host - Bab 11

0 comments
Dehidrasi

"Oke! Kau benar, kau benar!" Kuucapkan kata-kata itu keras-keras. Tak seorang pun akan mendengar.
Melanie tidak mengatakan, "Kubilang juga apa." Setidaknya tidak dengan begitu banyak kata. Tapi aku bisa merasakan tuduhannya dalam sikap diamnya.

Aku masih tidak rela meninggalkan mobil, walaupun kini benda itu tak berguna bagiku. Ketika bensinnya habis, kubiarkan mobil itu tetap melaju sampai menukik ke jurang dangkal--anak sungai yang tercipta akibat hujan lebat terakhir. Kini aku memandang lewat kaca depan, menatap dataran luas kosong dan merasakan perutku terpilin kepanikan.

Kita harus bergerak, Wanderer. Udara akan jadi semakin panas. Kalau aku tidak memboroskan lebih dari seperempat tangki bensin dengan berkeras menuju bagian dasar petunjuk kedua--dan menemukan ternyata petunjuk ketiga tidak terlihat lagi dari sana sehingga kami harus berputar dan kembali menelusuri jalan semula--kami pasti sudah jauh sekali menyusuri sungai berpasir ini, begitu dekat dengan tujuan kami selanjutnya. Berkat diriku, sekarang kami harus berjalan kaki.

Dengan gerakan ekstra hati-hati aku memasukkan air sebotol demi sebotol ke dalam tas. Kutambahkan granola-granola batangan yang tersisa dengan gerakan sama pelannya. Sementara itu Melanie ingin sekali aku bergegas. Ketidaksabarannya membuatku sulit berpikir, membuatku sulit berkonsentrasi pada apa pun. Misalnya apa yang akan terjadi pada kami.


Ayo, ayo, ayo, katanya berulang-ulang, sampai aku keluar dari mobil dengan kaku dan canggung. Punggungku berdenyut-denyut ketika menegakkan tubuh. Nyeri akibat tidur meringkuk semalam, bukan karena bobot tas. Tasnya tidak terlalu berat ketika aku menggunakan kedua bahu untuk mengangkatnya.

Sekarang tutupi mobilnya, perintah Melanie. Ia membayangkan diriku mematahkan dahan-dahan berduri tanaman creosote dan palo verde terdekat, lalu mengatur semua itu di atas kap perak mobil.

"Kenapa?"
Nada suara Melanie mengimplikasikan aku cukup tolol karena tidak mengerti. Supaya tak seorang pun menemukan kita. Tapi bagaimana jika aku ingin ditemukan? Bagaimana jika tidak ada apa-apa di luar sini, kecuali panas dan debu? Mustahil kita bisa pulang ke rumah?
Rumah?
ia bertanya sambil melemparkan gambaran-gambaran muram kepadaku: apartemen kosong di San Diego, ekspresi wajah Pencari yang paling menjijikkan, titik berlabel Tucson di peta... dan sekelebat ngarai merah yang lebih membahagiakan--gambaran yang lolos tanpa sengaja. Di manakah itu?


Aku berbalik memunggungi mobil, mengabaikan nasihat Melanie. Aku sudah terlibat terlalu jauh. Aku takkan menyerahkan semua harapan untuk kembali. Mungkin seseorang akan menemukan mobil itu, lalu menemukanku. Dengan mudah dan jujur aku bisa menjelaskan kepada regu penyelamat apa yang kulakukan di sini: aku tersesat. Aku kehilangan arah... kehilangan kontrol... kehilangan akal sehat.

Pertama-tama kuikuti sungai itu, dan kubiarkan tubuhku mengikuti irama langkah panjang alaminya. Itu bukan caraku melangkah di trotoar dalam perjalanan ke dan dari universitas. Sama sekali bukan gaya berjalanku. Tapi gaya itu cocok dengan tanah berbatu di sini, dan bisa dengan lancar menggerakanku maju dengan kecepatan mengejutkan, sampai aku terbiasa.

"Bagaimana kalau aku tidak pergi ke sini?" aku bertanya-tanya seraya berjalan semakin jauh memasuki tanah tandus padang gurun. "Bagaimana kalau Penyembuh Fords masih di Chicago? Bagaimana kalau jalanku tidak membawa kita lebih dekat kepada mereka?"

Yang membuatku tidak mungkin menolak rencana tolol ini adalah desakan itu, bujukan itu, pikiran bahwa Jared dan Jamie mungkin berada tepat di sini, di suatu tempat di tanah kosong ini.

Entahlah, aku Melanie. Kurasa aku masih akan tetap berusaha, tapi aku takut ketika jiwa-jiwa lain ada di dekatku. Aku masih takut. Memercayaimu bisa membunuh mereka berdua.
Kami sama-sama tersentak membayangkannya.
Tapi berada di sini, begitu dekat... Kelihatannya seolah aku harus berusaha. Kumohon--sekonyong-konyong Melanie memintaku, memohon, tak ada sisa-sisa kemarahan di dalam pikirannya--kumohon, jangan gunakan ini untuk melukai mereka. Kumohon.

"Aku tidak ingin... Aku tidak tahu apakah aku sanggup melukai mereka. Aku lebih suka..."
Apa? Mati sendiri? Daripada menyerahkan beberapa gelintir manusia kepada Pencari?

Sekali lagi kami tersentak membayangkannya. Tapi rasa jijikku terhadap gagasan itu menghibur Melanie. Dan itu jauh lebih menakutkan daripada menghibur Melanie.
Ketika sungai mulai berkelok terlalu jauh ke utara, Melanie menyarankan agar kami melupakan jalan setapak datar pucat itu dan mengambil jalan langsung ke petunjuk ketiga, yaitu tonjolan batu di timur yang seakan menunjuk, seperti jari, ke langit tak berawan.

Aku tak suka meninggalkan sungai, persis seperti penolakanku tadi untuk meninggalkan mobil. Aku bisa berbalik menyusuri kembali sungai ini sampai ke jalan, lalu menyusuri jalan untuk kembali ke jalan raya. Jaraknya berkilo-kilometer, dan akan makan waktu berhari-hari bagiku untuk melintasinya. Tapi setelah melangkah pergi dari sungai ini, secara resmi aku tersesat.

Yakinlah, Wanderer. Kita akan menemukan Uncle Jeb, atau ia akan menemukan kita.
Kalau ia masih hidup,
imbuhku. Aku mendesah ketika menyimpang dari jalan setapak sederhana itu menuju semak-semak yang sama persis di segala arah. Keyakinan bukanlah konsep yang kukenal. Aku tak tahu apakah aku memercayainya.
Bagaimana dengan percaya?
Kepada siapa? Kau?
Aku tertawa. Udara panas memanggang tenggorokanku ketika aku menghela napas.
Bayangkan saja, ujar Melanie, mengubah pokok pembicaraan, <i.mungkin malam ini kita akan berjumpa dengan mereka.


Kerinduan itu milik kami berdua. Gambaran wajah mereka--yang satu laki-laki, satunya anak-anak--muncul dari ingatan kami. Ketika berjalan lebih cepat, aku tidak yakin apakah diriku yang benar-benar memegang kendali atas gerakan itu.

Memang semakin panas--lalu semakin panas, lalu lebih panas lagi. Keringat membuat rambutku lepek dan T-Shirt kuning pucatku menempel tidak nyaman jika tersentuh. Di siang hari angin yang membakar bertiup semakin kencang, menyemburkan pasir ke wajah. Udara kering itu mengisap keringat, mengotori rambt dengan pasir, dan meniup T-Shirt-ku menjauhi tubuh; T-Shirt itu bergerak sekaku karton karena tempelan garam mengering. Aku terus berjalan.

Aku minum lebih sering daripada yang diinginkan Melanie. Ia menggerutu dalam setiap tegukan, mengancam bahwa kami akan jauh lebih memerlukan air itu besok. Tapi aku sudah begitu banyak menyerah kepadanya hari ini, sehinga tidak berminat mendengarkan. Aku minum ketika merasa haus, dan itu sangat sering.
Kakiku menggerakan tubuhku maju tanpa berpikir. Irama gemersik langkah kakiku menjadi musik latar belakang, rendah dan menjemukan.

Tak ada yang dilihat; satu semak yang terjalin rapuh tampak sama persis seperti semak berikutnya. Keseragaman itu membuatku bingung--yang benar-benar kusadari hanya siluet pegunungan dilatari langit putih pucat. Aku memperhatikan siluet itu setiap beberapa langkah, sampai mengenalnya begitu baik dan bisa menggambarkannya dengan mata terpejam.


Pemandangan tampak membeku di tempat. Aku terus-menerus menoleh ke sekeliling, mencari petunjuk keempat, seakan sudut pandangnya bakal berubah setelah langkah terakhir. Petunjuk keempat berupa puncak berbentuk kubah besar dengan secuil bagian yang hilang, yaitu lengkungan yang lenyap dari bagian sisinya. Petunjuk itu baru saja diperlihatkan Melanie kepadaku pagi ini. Aku berharap itulah petunjuk terakhir, karena kami beruntung seandainya bisa pergi sejauh itu. Tapi aku punya fisarat masih banyak lagi yang dirahasiakan Melanie dariku, dan akhir perjalanan kami masih teramat sangat jauh.


Aku mengudap granola-granola batangan sepanjang siang, dan dengan terlambat kusadari batang terakhir telah kuhabiskan.
Ketika matahari terbenam, malam turun dengan kecepatan yang sama seperti kemarin. Melanie siap. Ia telah menemukan tempat untuk berhenti.

Di sini, katanya. Kita harus menghindari tanaman cholla itu sejauh mungkin, Kau berguling-guling dalam tidurmu.
Ku bergidik mengamati kaktus yang tampak berbulu itu di dalam cahaya temaram.


Tanaman itu dipenuhi jarum sewarna tulang yang mirip bulu. Kau ingin aku tidur di tanah begitu saja? Tepat di sini?Kau melihat pilihan lain? Melanie merasakan kepanikanku, dan nada suaranya melembut, seakan iba. Begini, ini lebih baik daripada di dalam mobil. Setidaknya tanahnya datar. Udara terlalu panas, sehingga serangga - serangga takkan tertarik pada panas tubuhmu dan---

"Serangga?" sergahku keras-keras. "Serangga?"
Sekelebat muncul gambaran tak menyenangkan mengenai serangga yang tampak mematikan dan ular-ular yang bergelung di dalam ingatan-ingatan Melanie.
Jangan khawatir. Melanie mencoba menenangkanku ketika aku membungkuk sambil berjingkat, menjauhkan diri dari apa saja yang mungkin bersembunyi di dalam pasir di bawahku; mataku mencari jalan untuk meloloskan diri di dalam kegelapan. Tak ada yang bakal mengganggumu, kecuali kau mengganggunya lebih dulu. Bagaimanapun kau lebih besar daripada segala hal lain di luar sini. Ingatan lain berkelebat, kali ini anjing pemakan bangkai bertubuh sedang, coyote, melintas dalam pikiran kami.

"Sempurna," gerutuku. Aku berjongkok, walaupun masih merasa takut terhadap tanah hitam di bawahku. "Dibunuh anjing-anjing liar. Siapa sangka akan berakhir begitu... begitu sepele? Mengecewakan sekali. Mahluk buas bercakar di mists Planet. Pasti. Setidaknya akan lebih bermartabat jika dikalahkan mahluk itu."

Nada jawaban Melanie membuatku membayangkan ia sedang memutar bola mata. Jangan seperti bayi. Tak ada yang akan menyantapmu. Sekarang berbaring dan istirahatlah. Besok akan lebih sulit dapipada hari ini.
"Terima kasih untuk kabar baiknya," gerutuku. Melanie berubah jadi tiran. Ini mengingatkanku pada ungkapan manusia: Diberi hati minta ampela. Tapi aku merasa jauh lebih lelah daripada yang kusadari. Dan ketika dengan enggan aku duduk di tanah, mustahil bagiku untuk tidak berbaring di tanah kasar berkerikil itu dan membiarkan mataku terpejam.

Tampaknya baru beberapa menit berlalu ketika pagi menjelang. Terang menyilaukan, dan sudah cukup panas untuk membuatku berkeringat. Saat terbangun tubuhku berselimut kotoran dan kerikil; lengan kananku terjepit di bawah tubuh dan mati rasa. Kukibas-kibaskan rasa kebas itu, lalu aku merogoh tas untuk mencari air.
Melanie tidak setuju, tapi aku mengabaikannya. Aku mencari botol setengah kosong yang terakhir kuminum. Kugeledah botol-botol penuh dan kosong itu, sampai mulai melihat sebuah pola.
Dengan perasaan waswas yang semakin besar, aku mulai menghitung. Kuhitung dua kali. Botol kosongnya lebih banyak daripada jumlah botol penuh. Aku sudah menghabiskan lebih dari setengah persediaan airku.

Sudah kubilang, kau minum terlalu banyak.
Aku tidak menjawab Melanie, tapi kusandang tas tanpa mengambil minuman. Mulutku rasanya mengerikan: kering, berpasir dan seperti empedu. Aku mencoba mengabaikan semua itu, mencoba menghentikan lidahku yang sekasar ampelas agar tidak menjelajahi gigiku yang berpasir, lalu mulai berjalan.

Ketika matahari semakin tinggi dan panas di atasku, perutku lebih sulit untuk diabaikan daripada mulutku. Perutku memilin dan berkontraksi secara teratur, mengantisipasi hidangan yang tidak muncul-muncul. Di siang hari rasa lapar itu telah berubah dari tidak nyaman menjadi perih.

Ini belum apa-apa, dengan masam Melanie mengingatkan. Kita pernah lebih lapar lagi.
Kau yang pernah,
ujarku pedas. Saat ini aku tidak merasa ingin menjadi penonton bagi ingatan-ingatan mengenai daya tahan Melanie.

Aku sudah mulai putus asa ketika berita baik itu muncul. Ketika aku memutar kepala melintasi cakrawala dengan gerakan rutin setengah hati, bentuk membulat kubah seakan melompat ke hadapanku dari bagian tengah deretan puncak kecil di utara. Dari sini bagian yang hilang itu hanya berupa lekuk samar-samar.
Cukup dekat, Melanie memutuskan. Ia merasa sama gembiranya denganku, karena telah membuat kemajuan. Aku berbelok ke utara dengan bersemangat, langkah-langkah kakiku semakin panjang. Teruslah mencari petunjuk berikutnya. Melanie mengingat formasi lain dan aku langsung mulai memanjangkan kepala melihat sekeliling, walaupun tahu tak ada gunanya mencari petunjuk sedini ini.

Seharusnya di timur. Utara, lalu timur, lalu utara lagi. Itu polanya.
Pikiran akan menemukan petunjuk lain membuatku tetap bergerak, walaupun kakiku semakin lelah. Melanie mendorongku maju. Ia terus mengucapkan kata-kata penyemangat ketika aku melambat, dan memikirkan Jared dan Jamie ketika aku berubah apatis. Kemajuanku stabil. Setiap kali hendak minum aku menunggu sampai Melanie mengizinkan, walaupun bagian dalam tenggorokanku seakan melepuh.


Harus kuakui aku bangga terhadap diriku sendiri, karena bisa bersikap begitu gigih. Ketika jalan tanah muncul, rasanya seakan memperoleh imbalan. Jalanan itu memanjang ke utara, ke arah yang sedang kutuju, tapi Melanie bimbang.
Aku tidak menyukai penampilannya, sergahnya.
Jalanan itu hanya berupa garis pucat melewati semak, dan hanya terlihat karena teksturnya lebih halus dan tidak ada tanaman. Jejak-jejak lama roda kendaraan menciptakan lekukan ganda, membentuk lajur tunggal di tengahnya.

Seandainya jalan itu menuntun ke arah yang keliru, akan kita tinggalkan. Aku sudah berjalan menyusuri bagian tengah jejak roda. Lebih mudah daripada menembus semak creosote dan menghindari cholla.

Melanie tidak menyahut, tapi ketidaknyamanannya sedikit paranoid. Aku meneruskan pencarian formasi berikut--bentuk M sempurna, dua puncak kembar gunung berapi. Tapi aku juga mengamati padang gurun di sekitarku dengan lebih cermat.

Karena mengamati dengan cermat, aku sudah lama memperhatikan ada noktah abu-abu di kejauhan, sebelum mengetahui benda apa itu. Aku bertanya-tanya apakah mataku menipu, lalu mengerjap-ngerjapkannya untuk menyingkirkan debu yang memburamkan. Tampaknya itu warna yang keliru untuk batu, dan bentuknya kelewat padat untuk pohon. Kusipitkan mata karena silau, mencoba menebak.

Lalu aku kembali mengerjap-ngerjapkan mata, dan noktah itu mendadah berubah jadi bentuk terstruktur, dan jaraknya lebih dekat daripada yang kuperkirakan. Itu semacam rumah atau bangunan. Kecil dan tergerus cuaca menjadi abu-abu kusam.
Serangan panik Melanie membuatku melompat dari lajur itu dan bersembunyi di dalam semak-semak gundul.
Tunggu, ujarku. Aku yakin itu bangunan terlantar.
Dari mana kau tahu?
Melanie menahan diri sekuat tenaga, sampai aku harus berkonsentrasi pada kakiku untk bisa menggerakkannya maju.

Siapa yang mau tinggal di luar sini? Kami, para jiwa, hidup bermasyarakat. Kudengar nada pahit dalam penjelasanku, dan tahu itu karena tempatku sekarang berdiri--yang secara fisik dan metaforis berada di tengah antah-berantah. Mengapa aku tak lagi menjadi bagian anggota masyarakat jiwa? Mengapa aku merasa seakan... seakan tak ingin menjadi bagiannya? Pernahkah aku benar-benar menjadi bagian komunitas yang seharusnya adalah komunitasku sendiri, atau apakah itu alasan di balik serangkaian panjang kehidupan yang kujalani untuk sementara? Apakah aku memang selalu menyimpang, ataukah Melanie yang membuatku seperti ini? Apakah planet ini telah mengubahku, atau mengungkapkan siapa diriku sebenarnya?

Melanie tidak punya kesabaran untuk membahas krisis pribadiku. Ia menginginkanku menyingkir jauh-jauh dari bangunan itu secepat mungkin. Pikiran-pikirannya membetot dan memuntir pikiran-pikiranku, menarikku keluar dari lamunan.

Tenang, perintahku. Aku mencoba memusatkan pikiran-pikiranku sendiri, dan memisahkannya dari pikiran-pikiran Melanie. Seandainya ada yang benar-benar tinggal di sini, itu pasti manusia. Percayalah kepadaku dalam hal ini; tak ada pertapa di antara jiwa. Mungkin Uncle Jeb-mu--

Dengan kasar Melanie menolak pikiran itu. Tak seorang pun bisa bertahan hidup di tempat terbuka seperti ini. Bangsamu pasti sudah mencari tempat pemukiman dengan teliti. Siapa pun yang tinggal di sini, dia pasti telah kabur atau berubah menjadi salah satu bangsamu. Uncle Jeb pasti punya tempat persembunyian yang lebih baik.
Dan kalaupun orang yang tinggal di sini telah menjadi salah satu bangsaku,
ujarku meyakinkan Melanie, maka dia akan meninggalkan tempat ini. Hanya manusia yang mau hidup seperti ini... Aku berhenti, dan mendadak diserang ketakutan.

Apa? Melanie bereaksi kuat terhadap ketakutanku, membuat kami terpaku di tempat. Ia menelisik pikiran-pikiranku, mencari sesuatu yang pernah kulihat dan mencemaskanku.
Tapi tak ada hal baru yang kulihat. Melanie, bagaimana jika ada manusia di luar sini, tapi bukan Uncle Jeb, Jared dan Jamie? Bagaimana jika orang lain yang menemukan kita?
Melanie menyerap gagasan itu perlahan-lahan, merenungkannya dengan seksama. Kau benar. Mereka akan langsung membunuh kita. Tentu saja.

Aku mencoba menelan ludah, untuk membasuh rasa ngeri dari mulut keringku.

Takkan ada orang lain. Bagaimana mungkin, Melanie menyimpulkan.Bangsamu luar biasa cermat. Hanya orang yang sudah lama bersembunyi yang punya peluang. Jadi, ayo kita periksa. Kau yakin tak satu pun bangsamu di sini, dan aku yakin tak satu pun bangsaku di sini. Mungkin kita bisa menemukan sesuatu yang berguna, sesuatu yang bisa kita gunakan sebagai senjata.

Aku bergidik melihat pikiran-pikiran Melanie mengenai pisau tajam dan logam panjang yang bisa diubah menjadi pentungan.
Jangan pakai senjata.
Ugh. Bagaimana mungkin mahluk-mahluk penakut macam kau bisa mengalahkan kami?
Secara sembunyi-sembunyi dan dengan jumlah luar biasa. Siapa pun kalian, bahkan anak-anak kecil sekalipun, mereka seratus kali lebih membahayakan daripada salah satu dari kami. Tapi kalian mirip satu rayap di rumah semut. Ada jutaan jumlah kami, semua bekerja bersama-sama dengan keselarasan sempurna untuk mencapai tujuan.


Ketika menjelaskan keharmonisan itu, sekali lagi kurasakan kepanikan dan kebingungan menyeretku. Siapakah aku?
Kami tetap bersembunyi di balik cresote ketika mendekati bangunan kecil itu. Kelihatannya seperti rumah. Hanya gubuk kecil di pinggir jalan, tanpa petunjuk sama sekali mengenai kegunaan lainnya. Alasan mengapa lokasinya di sini masih misterius. Tempat ini tak menawarkan apa-apa, kecuali kekosongan dan panas.

Tidak ada tanda-tanda gubuk itu baru ditempati. Ambang pintunya menganga, tak berpintu, dan hanya beberapa pecahan kaca yang melekat di kusen jendela kosongnya. Debu berkumpul di ambang pintu dan menghambur ke dalam. Dinding-dinding kelabu tergerus cuaca itu tampak miring tertiup angin, seakan angin selalu bertiup dari arah yang sama di sini.

Aku berhasil menekan kecemasanku ketika berjalan ragu menuju ambang pintu kosong itu. Kami pasti sendirian di sini, sama seperti sepanjang hari ini, maupun sepanjang hari kemarin.

Keteduhan yang dijanjikan pintu masuk gelap itu menarikku maju, mengalahkan ketakutanku dengan daya tariknya. Aku masih mendengarkan dengan saksama, tapi kakiku bergerak maju dengan langkah-langkah cepat dan pasti. Aku melewati ambang pintu, lalu bergerak cepat ke salah satu sisinya, sehingga ada dinding di belakang punggungku. Tindakan ini kulakukan secara alami, hasil dari hari-hari menggelandang Melanie. Aku berdiri terpaku di sana, dicemaskan kebutaan, menunggu mataku menyesuaikan diri.

Gubuk kecil itu kosong, seperti sudah kami perkirakan. Tak ada tanda-tanda pernah ditempati, baik di dalam maupun di luar. Sebuah meja rusak berdiri miring dengan dua kaki masih utuh di tengah ruangan, ditemani kursi logam berkarat di sampingnya. Petak-petak beton terlihat dari lubang-lubang besar di karpet usang kotor. Dapur kecil memenuhi salah satu dinding, disertai tempat cuci piring berkarat, barisan lemari yang beberapa di antaranya tak berpintu, dan kulkas terbuka sepinggang yang bagian dalamnya hitam berjamur. Kerangka sofa tergeletak di dinding seberang, semua bantalnya hilang. Lukisan berbingkai anjing-anjing yang sedang bermain poker masih tergantung di atas sofa, tapi sedikit miring.

Seperti rumah, ujar Melanie. Ia merasa cukup lega sehingga bisa menyindirku. Hiasannya lebih banyak daripada hiasan di apartemenmu.
Aku sudah bergerak ke tempat cuci piring.
Terus saja bermimpi, imbuh Melanie.
Tentu saja merupakan pemborosan jika air tetap mengalir di tempat terpencil ini. Para jiwa menangani detail-detail semacam itu dan takkan meninggalkan keganjilan seperti ini. Tapi aku masih ingin memutar tombol-tombol keran kuno itu. Salah satunya patah di tanganku. Sudah karatan seluruhnya.

Selanjutnya aku beralih ke lemari, lalu berlutut di atas karpet menjijikan itu untuk mengintip hati-hati ke dalamnya. Kujauhkan tubuhku ketika membuka pintunya, khawatir telah mengganggu salah satu hewan padang gurun berbisa yang bersarang di dalamnya.

Lemari pertama kosong, tak berdinding belakang sehingga aku bisa melihat lembar-lembar kayu dinding luar. Lemari berikut tak berpintu, tapi ada tumpukan koran tua tertutup debu di dalamnya. Dengan penasaran kutarik selembar, kuguncang debunya ke lantai yang lebih berdebu, lalu kubaca tanggalnya.
Dari zaman manusia, pikirku. Bukannya aku membutuhkan tanggal untuk tahu.

"Seorang Lelaki Membakar Putrinya yang Berusia Tiga Tahun Sampai Mati," begitulah judul beritanya, disertai foto anak kecil pirang secantik malaikat. Dan ini bukan halaman depan. Kengerian yang dijelaskan di sini tak cukup menyeramkan untuk dijadikan liputan utama. Di bawah berita itu terpampang wajah lelaki yang menjadi buronan karena membunuh istri dan kedua anaknya dua tahun sebelum tanggal cetak koran; beritanya mengenai kemungkinan seseorang melihat lelaki itu di Meksiko. Dua orang terbunuh dan tiga terluka dalam kecelakaan yang melibatkan pengemudi mabuk. Penyidikan mengenai pemalsuan dan pembunuhan sehubungan dengan dugaan bunuh diri bankir lokal terkemuka. Pengakuan di bawah tekanan telah membebaskan seorang tersangka penganiaya anak. Hewan-hewan peliharaan ditemukan terbantai di tempat sampah.

Aku bergidik, kudorong koran itu menjauhiku, kembali ke dalam lemari gelap.
Itu semua perkecualian, bukan norma, ujar Melanie diam-diam. Ia berusaha agar kengerian reaksiku tadi tidak merembes ke dalam ingatan-ingatannya mengenai tahun-tahun itu, lalu mengubah ingatan-ingatan itu.
Tapi bisakah kau mengerti mengapa kami mengira diri kami mampu berbuat lebih baik? Mengapa kami mengira kalian mungkin tak patut memperoleh semua hal luar biasa di dunia ini?
Melanie menjawab masam, Kalau ingin membersihkan planet ini, kalian bisa meledakkannya.
Tak peduli apa yang diimpikan para penulis fiksi ilmiah kalian, kami benar-benar tidak memiliki teknologinya.

Melanie tidak menganggap gurauanku lucu.
Lagi pula, imbuhku, itu perbuatan sia-sia. Planet ini indah. Tentu saja dengan mengecualikan padang gurun mengerikan ini.
Kau tahu, itulah sebabnya kami menyadari keberadaan kalian di sini,
kata Melanie. Ia kembali mengingat judul-judul berita memuakkan itu. Ketika berita malam tidak berisi apa-apa, kecuali cerita-cerita kemanusiaan yang menggugah, ketika para pedofil dan pemadat berbaris di rumah sakit untuk menyerahkan diri, ketika semua berubah aman tenteram, saat itulah kalian mengungkapkan diri.
"Perubahan yang mengerikan!"
ujarku masam, beralih ke lemari berikut.

Aku menarik pintu kaku itu dan menemukan harta karun.
"Biscuit Crackers!" teriakku, meraih sekotak Saltines setengah penyok yang sudah kusam. Di belakangnya ada kotak lain, kotak yang tampaknya pernah terinjak. "Bolu Twinkies!" seruku.
"Lihat! desak Melanie. Di benakku ia menunjuk tiga botol pemutih berdebu di bagian belakang lemari.
Untuk apa pemutih? tanyaku. Aku sudah merobbek kotak crakers. Untuk dicipratkan ke mata orang? Atau botolnya untuk menghancurkan kepala mereka?

Yang membuatku senang, crackers itu masih di dalam plastik, walaupun sudah hancur jadi remah. Aku membuka sebungkus dan mulai memasukkan remah-remah itu ke dalam mulut dengan mengguncang-guncang bungkusnya, lalu kutelan crackers itu walaupun baru kukunyah sebentar. Aku tidak sabar ingin memasukkannya ke perut.

Buka sebotol dan cium baunya, perintah Melanie, mengabaikan komentarku tadi. Begitulah cara ayahku dulu menyimpan air di garasi. Residu pemutih menjaga airnya tidak ditumbuhi apa pun.
Sebentar. Aku menghabiskan sebungkus remah dan mulai membuka yang berikut. Sudah kedaluwarsa, tapi terasa harum di bandingkan rasa di dalam mulutku. Setelah menghabiskan bungkus ketiga, aku mulai menyadari garamnya membakar bibirku yang pecah-pecah dan sudut-sudut mulut.

Kukeluarkan salah satu botol pemutih. Kuharap Melanie benar. Kedua lenganku lemah dan gemetar, nyaris tak mampu mengangkat botol. Ini membuat kami khawatir. Seberapa jauh kondisi kami sudah memburuk? Seberapa jauh kami bisa pergi?

Tutup botolnya sangat kencang, sehingga aku mengira tutup itu sudah meleleh di tempat. Tapi akhirnya aku bisa memutarnya dengan gigi. Kucium mulut botol dengan hati-hati, karena aku benar-benar tak ingin pingsan akibat mencium bau pemutih. Bau kimianya sangat samar. Aku mencium lebih dalam Air. Pasti. Air lama, apak, tapi tetap air. Kuteguk sedikit. Bukan air sungai pegunungan yang segar, tapi terasa basah. Aku mulai menenggaknya dengan rakus.

Pelan-pelan, Melanie mengingatkan, dan aku harus menyetujuinya. kami beruntung menemukan tempat penyimpanan ini, tapi tak masuk akal jika kami memboroskannya. Lagi pula sekarang aku menginginkan makanan padat, setelah garamnya tidak terasa begitu menyakitkan. Aku beralih ke kotak Twinkies dan menjilati tiga bolu hancur dari bagian dalam bungkusnya.

Lemari terakhir kosong.
Setelah serangan lapar sedikit mereda, ketidaksabaran Melanie langsung merembes ke dalam pikiranku. Kali ini tanpa merasakan adanya perlawanan, cepat-cepat kumasukkan barang-barang curian itu ke tas. Botol-botol air kosong kukeluarkan dan kumasukkan ke bak cuci piring, sehingga ada ruang kosong. Botol-botol pembersih itu berat, tapi bobotnya menenangkan. Itu berarti malam ini aku tak lagi berbaring di lantai padang gurun. Kehausan dan kelaparan. Ketika energi gula mulai menembus pembuluh darahku, aku bergegas kembali ke teriknya siang.

---

The Host - Bab 10

0 comments
 Menyimpang

Bell listrik itu berdering, mengumumkan kedatangan pengunjung lain ke toko sederhana itu. Aku terkejut, merasa bersalah, dan menyembunyikan kepala ke balik rak yang sedang kami amati. Jangan bertingkah seperti kriminal, saran Melanie. Aku tidak bertingkah, jawabku singkat. Telapak tanganku terasa dingin dibalik lapisan tipis keringat, walaupun ruangan kecil itu cukup panas. Jendela lebar memasukkan terlalu banyak cahaya matahari, sehingga tak sanggup diimbangi penyejuk udara yang bersuara keras dan terengah-engah itu. Yang mana? Desakku. Yang lebih besar, jawab Melanie. Dari dua pilihan, aku meraih kemasan yang lebih besar. Tas kanvas yang nampaknya bisa memuat lebih banyak barang daripada yang mampu kubawa. Lalu aku berjalan ke pojok, ke rak air minum kemasan.

Kita bisa membawa tiga galon, Melanie memutuskan. Jadi kita punya waktu tiga hari untuk mencari mereka. Aku menghela napas panjang, mencoba mengatakan kepada diri sendiri bahwa aku tidak menyetujui hal ini. Aku hanya berusaha memperoleh lebih banyak koordinat dari Melanie. Itu saja. Setelah mendapatkan seluruh ceritanya aku akan mencari seseorang mungkin Pencari lain yang lebih tidak memuakkan dari pada Pencari yang ditugaskan untukku dan memberikan informasinya.

Aku hanya ingin bertindak cermat, janjiku kepada diri sendiri. Usaha canggungku untuk membohongi diri sendiri begitu menyedihkan, sehingga Melanie tidak menggubrisnya. Ia sama sekali tidak khawatir. Agaknya sudah terlambat bagiku seperti telah diingatkan Pencari.Mungkin seharusnya aku naik pesawat ulang-alik.Terlambat? Yang benar saja! Melanie menggerutu. Aku tidak bisa membuatmu melakukan apa pun yang tidak kauinginkan. Aku bahkan tak bisa mengangkat tangan! Pikiran Melanie adalah ungkapan perasaan frustasinya.

Aku menunduk memandangi tanganku yang berada di atas paha, dan tidak meraih kemasan air seperti yang ingin sekali dilakukan Melanie. Bisa kurasakan ketidaksabaran gadis ini, keinginan kuatnya untuk bergerak. Kembali berlari, seakan keberadaanku tak lebih dari sekedar gangguan singkat, periode kesia-siaan yang kini sudah berlalu.

Melanie mendengus di dalam benakku, lalu kembali serius. Ayo, desaknya. Ayo, cepat! Sebentar lagi gelap. Sambil mendesah kutarik botol-botol air yang disatukan dalam kemasan terbesar dari rak. Benda itu nyaris menghantam lantai, sebelum aku berhasil menangkapnya di pinggir rak yang lebih rendah. Rasanya seakan kedua lenganku terbetot setengah jalan dari persendian.
"Yang benar saja!" teriakku keras-keras.
Diam!

"Maaf?" tanya lelaki pendek bungkuk, pelanggan lain, dari ujung lorong.
"Uh--tidak apa-apa," gumamku, tanpa membalas pandangannya. "Ini lebih berat daripada perkiraanku."
"Perlu bantuan?" tawarnya.
"Tidak, tidak," jawabku cepat-cepat. "Aku akan mengambil yang lebih kecil saja."
Lelaki itu berbalik, mengamati berbagai keripik kentang.
Tidak, jangan, Melanie meyakinkanku. Aku pernah membawa yang lebih berat. Kau melembekkan kita, Wanderer, imbuhnya kesal.
Maaf, jawabku tanpa sadar. Kenyataan bahwa gadis ini memanggil namaku untuk pertama kalinya membuatku bingung.
Angkat dengan kedua kakimu.
Aku berjuang mengangkat kemasan botol-botol air minum itu, seraya bertanya-tanya seberapa jauh aku diharapkan membawanya. Setidaknya aku berhasil mengangkatnya ke kasir depan. dengan lega kupindahkan benda itu ke meja. Kuletakkan tas kanvas di atasnya, lalu kutambahkan sekotak granola batangan, sekotak donat, dan sekantong keripik dari rak terdekat.
Di padang gurun air jauh lebih penting daripada makanan, dan kita hanya bisa membawa--
Aku lapar,
selaku. Dan semua ini ringan.
Terserah. Itu kan punggungmu,
Melanie menggerutu. Lalu ia memerintahkanku, Ambil peta.
Kuletakkan peta yang ia inginkan--peta topografis daerah it--di meja bersama semua barang lain. Peta itu hanya untuk melengkapi sandiwara kami.

Kasirnya, lelaki ramah berambut putih, memindai kode bar barang-barangku.
"Mau mendaki?" tanyanya ramah.
"Gunungnya sangat indah."
"Pangkal jalan setapaknya berada persis di atas situ--" ujarnya, mulai menunjuk.
"Akan kucari," janjiku cepat-cepat. Kuambil beban berat yang tidak seimbang itu dari meja kasir.
"Turunlah sebelum gelap, Sayang. Kau tak ingin tersesat, bukan?"
"Pasti."

Melanie berprasangka buruk terhadap lelaki tua baik hati itu. Dia bersikap ramah. Ia benar-benar mengkhawatirkan keselamatanku, ujarku mengingatkan.
Kalian semua sangat menakutkan, tukas Melanie masam. Tak pernahkah kau diberitahu untuk tidak bicara dengan orang asing?
Kurasakan sentakan tajam rasa bersalah ketika menjawab. Tidak ada orang asing di antara bangsaku.
Aku tidak terbiasa tidak membayar barang-barang yang kubeli,
katanya, mengubah pokok pembicaraan. Apa gunanya barang-barang itu dipindai?
Untuk inventaris tentu saja. Haruskah ia mengingat semua barang yang kita ambil, ketika ia perlu memesan barang lagi? Lagi pula, apa gunanya uang jika semua orang benar-benar jujur?
Aku terdiam, kembali merasakan perasaan bersalah yang begitu kuat, sampai berubah menjadi rasa nyeri yang nyata. Semua orang, kecuali diriku tentu saja.
Melanie menghindar dari perasaan-perasaanku. Ia mengkhawatirkan kedalaman perasaan-perasaan itu, khawatir aku berubah pikiran. Ia malah memusatkan perhatian pada keinginan menggebunya untuk pergi dari sini, untuk bergerak menuju tujuannya. Kegelisahannya menembus tubuhku, dan aku berjalan lebih cepat.

Kubawa tumpukan barang itu ke mobil, lalu kuletakkan di tanah di samping pintu penumpang.
"Biar kubantu."
Aku mendongak, dan melihat lelaki pelanggan lain dari toko itu. Dengan membawa kantong plastik, ia berdiri di sampingku.
"Ah... terima kasih," ujarku akhirnya. Denyut nadiku berdentam-dentam di balik telinga.
Kami menunggu. Melanie tegang, seakan hendak lari, ketika lelaki itu mengangkat barang-barang kami ke mobil.
Tak ada yang perlu ditakuti. Dia juga bersikap baik.
Melanie terus mengawasi lelaki itu dengan penuh curiga.
"Terima kasih," ujarku sekali lagi, ketika lelaki itu menutup pintu.
"Sama-sama."
Lelaki itu berjalan menuju kendaraannya sendiri, tanpa menengok lagi kepada kami. Aku duduk dan meraih kantong keripik kentang.
Lihat peta, kata Melanie. Tunggu sampai dia lenyap dari pandangan.
Tak seorang pun mengawasi kita,
janjiku kepadanya. Tapi sambil mendesah kubuka lipatan peta dan makan dengan satu tangan. Mungkin mengetahui sedikit ke mana tujuan kita adalah ide bagus.

Ke mana tujuan kita? tanyaku kepada Melanie. Kita sudah menemukan titik awalnya, jadi sekarang bagaimana?
Lihat sekeliling,
perintahnya. Jika kita tidak bisa melihatnya dari sini, kita akan mencoba sisi selatan puncak.
Melihat apa?


Melanie meletakkan gambaran yang diingatnya ke hadapanku: garis zigzag kasar, empat garis turun-naik tajam, tapi anehnya ujung kelimanya tumpul, seakan patah. Kini aku bisa melihatnya, seperti yang seharusnya bisa kulihat, empat puncak gunung runcing berbatu-batu, dengan puncak kelima yang tampak patah...



Kutelurusi garis langit, dari timur ke barat melintasi cakrawala sebelah utara. Begitu mudah, sampai rasanya keliru, seakan aku baru menciptakan gambaran itu setelah melihat siluet gunung yang menciptakan garis timur laut cakrawala itu.
Itu dia. Melanie nyaris menyanyi dalam kegembiraannya. Ayo pergi! Ia ingin aku keluar dari mobil, berdiri, bergerak.
Aku menggeleng, kembali membungkuk melihat peta. Pematang gunung tampak sangat jauh, sehingga tak bisa kutebak berapa kilometer jaraknya dari tempat kami berada. Tak mungkin aku berjalan keluar dari tempat parkir ini dan memasuki padang gurun kosong, kecuali aku tak punya pilihan lain.

Ayo kita pikirkan secara rasional, saranku, seraya menelusurkan jari di sepanjang pita tipis di peta, ke jalan tak bernama yang menghubungkan jalan raya beberapa kilometer di timur, lalu secara umum berlanjut ke pematang itu.
Tentu, dengan puas Melanie mengiyakan. Semakin cepat semakin baik.
Dengan mudah kami menemukan jalanan tak beraspal itu. Jalanan itu hanya berupa hamparan kasar pucat tanah datar melewati semak-semak yang tersebar, dan nyaris tak cukup untuk dilewati satu kendaraan. Aku punya perasaan bahwa, di bagian tertentu, jalanan yang tak pernah digunakan itu akan dipenuhi tanaman; di suatu tempat lebih dipenuhi tanaman penting, dan bukan tanaman padang gurun yang perlu puluhan tahun untuk memulihkan diri setelah terinjak-injak. Rantai berkarat membentang melintasi jalan masuk. Salah satu ujung rantai disekrupkan pada tiang kayu, dan ujung satunya diikat longgar mengelilingi tiang lain. Aku bergerak cepat, melepaskan rantai itu dan menumpuknya di bawah tiang pertama, lalu bergegas kembali ke mobil yang mesinnya masih menyala, berharap tak seorang pun lewat dan berhenti untuk menawarkan bantuan. Jalan raya tetap kosong ketika aku menyetir ke jalana tanah itu, lalu bergegas kembali untuk membentangkan kembali rantainya.

Kami merasa tenang ketika jalanan aspal lenyap di belakang. Aku senang karena tampaknya tak ada yang harus kubohongi, entah dengan kata-kata atau diamku. Ketika sedang sendirian, aku tidak terlalu merasa seperti pengkhianatan.
Melanie benar-benar merasa seperti di rumah sendiri di sini, di tengah negeri antah-berantah. Ia mengenal semua tanaman berduri di sekeliling kami. Ia menggumamkan nama-namanya dan menyambut mereka seperti teman lama.
Creosote, ocotillo, cholla, pir berduri, mesquite...


Jauh dari jalan raya, jauh dari perangkap-perangkap peradaban padang gurun itu tampaknya memberikan hidup baru bagi Melanie. Walaupun menghargai laju mobil yang berguncang-guncang itu--kendaraan kami tidak memiliki karakteristik yang sesuai untuk perjalanan off-road ini, dan peredam kejutnya juga mengingatkan hal ini kepadaku dengan setiap lubang di tanah--Melanie ingin sekali berdiri di atas kaki sendiri, lalu lari melintasi padang gurun membara yang aman ini.

Mungkin kami harus berjalan kaki, dan itu terlalu cepat menurut seleraku. Tapi ketika saat itu tiba, aku ragu apakah Melanie akan merasa puas. Bila kurasakan keingingannya yang nyata di balik permukaan. Kebebasan. Menggerakan tubuh dengan irama langkah panjang yang dikenalnya, hanya dengan berbekal kemauan sebagai petunjuk. Sejenak kubiarkan diriku melihat penjara berupa kehidupan tanpa tubuh itu. Terangkut di dalam tapi tak mampu memengaruhi bentuk di sekitarmu. Terperangkap. Tidak memiliki pilihan.

Aku bergidik, dan kembali memusatkan perhatian pada jalanan kasar itu. Aku mencoba menyingkir dari gabungan rasa iba dan ngeri. Tak ada inang lain yang pernah membuatku merasa begitu bersalah karena keberadaanku. Tentu saja tak ada inang lain yang bertahan hidup untuk mengeluhkan situasinya.



Matahari mendekati ujung-ujung perbukitan sebelah utara ketika kami pertama kali bertengkar. Bayang-bayang panjang menciptakan pola-pola aneh melintasi jalanan, menyulitkanku untuk menghindari batu-batuan dan lubang-lubang.
Itu dia! Melanie merasa bangga ketika kami melihat formasi lain agak jauh di timur: gelombang lembut batu, disela tonjolan mendadak yang membentuk jari kurus ke langit.
Melanie ingin langsung berbelok ke semak-semak, tanpa peduli apa yang akan terjadi pada mobilnya.

Mungkin seharusnya kita terus berjalan sampai petunjuk pertama, ujarku. Jalanan tanah kecil itu berlanjut dengan membelok ke arah yang kira-kira tepat, dan aku takut meninggalkannya. Bagaimana lagi aku bisa menemukan jalan kembali menuju peradaban? Tidakkah aku akan kembali?

Kubayangkan Pencari, tepat pada saat ini, ketika matahari menyentuh garis zigzag gelap cakrawala barat. Apa yang dipikirkannya ketika aku tidak tiba di Tucson? Luapan kegembiraan membuatku tertawa keras-keras. Melanie juga menikmati gambaran Pencari dalam kegusaran dan kejengkelan. Perlu beberapa lama bagi perempuan itu untuk kembali ke San Diego, untuk mengetahui apakah semua ini adalah siasat untuk menyingkirkannya? Lalu langkah-langkah apa yang akan diambilnya ketika aku tak ada di sana? Ketika aku tak ada di mana-mana?

Aku hanya tak bisa membayangkan dengan jelas di mana aku akan berada saat itu.
Lihat, sungai kering. Cukup lebar untuk dilewati mobil--ayo kita telusuri, desak Melanie.
Aku tak yakin apakah kita sudah harus pergi ke arah itu.
Sebentar lagi gelap dan kita harus berhenti. Kau membuang-buang waktu,
teriak Melanie diam-diam dalam frustasinya.
Atau menghemat waktu, seandainya aku benar. Lagi pula, aku yang punya waktu, bukan?

Melanie tidak menjawab dengan kata-kata. Tampaknya ia menggeliat di dalam benakku, kembali menuju sungai yang mudah dicapai itu.
Aku yang melakukannya, jadi aku akan melakukannya dengan caraku.
Sebagai jawaban Melanie menggerutu tanpa kata.
Mengapa tidak kautunjukkan semua garisnya, saranku. Agar kita bisa tahu apakah ada yang terlihat sebelum malam tiba.
Tidak,
bentaknya. Aku akan melakukan bagian itu dengan caraku.
Kau kekanak-kanakan.


Sekali lagi Melanie menolak menjawab. Kulanjutkan perjalanan ke arah empat puncak runcing itu, dan ia merengut.
Ketika matahari menghilang di balik perbukitan, malam menyapu cepat seluruh pemandangan. Selama semenit padang gurun berwarna jingga matahari terbenam, lalu semuanya hitam. Aku memperlambat mobil, tanganku meraba-raba dasbor, mencari tombol lampu depan.

Apa kau sudah gila? desis Melanie. Tak tahukah kau betapa jelasnya lampu depan terlihat di luar sini? Bakal ada yang melihat kita.
Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?
Berharap sandaran tempat duduk itu bisa ditidurkan.

Kubiarkan mesin menyala ketika mencoba memikirkan pilihan-pilihan lain, selain tidur di mobil, dikelilingi kekosongan hitam malam padang gurun. Melanie menanti dengan sabar, tahu aku takkan menemukan satu pun pilihan lain.

Kau tahu, ini gila, ujarku. Aku memarkir mobil, memutar kunci, lalu mengeluarkan benda itu dari lubangnya. Benar-benar gila. Tak mungkin ada orang di luar sini. Kita tidak akan menemukan apa-apa. Dan kita akan tersesat jauh. Aku punya perasaan abstrak mengenai bahaya fisik yang ada dalam rencana kita: berjalan-jalan di udara panas tanpa rencana cadangan, tanpa jalan kembali. Aku tahu Melanie jauh lebih memahami bahaya itu, tapi ia merahasiakan detai-detailnya dariku.

Ia tidak menjawab tuduhan-tuduhanku. Tak satu pun masalah - masalah ini mengganggunya. Aku bisa melihat ia lebih suka berjalan-jalan sendiri di padang gurun seumur hidup, daripada kembali pada kehidupan yang kujalani sebelumnya. Tanpa ancaman dari Pencari sekalipun, ia lebih suka seperti ini.

Kutidurkan sandaran kursi sejauh mungkin. Tak bisa cukup jauh untuk mendatangkan kenyamanan. Aku ragu apakah bisa tidur, tapi banyak hal yang tak boleh kupikirkan, sehingga benakku kosong dan menjemukan. Melanie juga diam.
Kupejamkan mata, dan hanya menemukan sedikit perbedaan antara kelopak mataku dengan malam tak berbulan itu. Lalu ketidaksadaran menghanyutkanku dengan kemudahan tak terduga.

---

The Host - Bab 9

0 comments
Temuan 

Jamie

Aku menyetir cepat melewati persimpangan. I-10 ketika matahari jatuh di belakangku. Tak banyak yang kulihat, selain garis-garis putih kuning di aspal dan terkadang rambu hijau besar yang mengarahkanku semakin ke timur. Kini aku terburu-buru.

Tapi aku tidak yakin mengapa aku terburu-buru. Kurasa untuk keluar dari semua ini. Keluar dari rasa sakit, keluar dari kesedihan, keluar dari rasa nyeri akibat cinta yang hilang dan tak berpengharapan. Apakah itu berarti keluar dari tubuh ini? Aku tidak bisa memikirkan jawaban lain. Aku masih akan bertanya kepada Penyembuh, tapi rasanya seakan keputusan telah dibuat. Peloncat. Pengecut. Aku menguji kata-kata itu di dalam kepalaku, mencoba berdamai dengan mereka.

Seandainya bisa menemukan caranya, akan kujauhkan Melanie dari tangan Pencari. Akan sangat sulit. Tidak, itu bakal mustahil.
Akan kucoba.

Aku menjanjikan ini kepada Melanie, tapi ia tidak mendengarkan. Ia masih bermimpi. Menyerah, tampaknya, walaupun kini sudah terlambat untuk menyerahkan diri demi menolongku.

Kucoba menyingkir dari ngarai merah di dalam kepala Melanie, tapi aku tetap berada di sana. Tak peduli betapa keras usahaku untuk melihat mobil-mobil yang menderu di sampingku, pesawat-pesawat ulang alik yang meluncur menuju pangkalan, sejumput awan lembut yang melayang di atas kepalaku, aku tidak bisa benar-benar membebaskan diri dari mimpi-mimpi Melanie. Kuingat wajah Jared dari seribu sudut berbeda. Kusaksikan Jamie tumbuh mendadak, selalu berupa tulang berbalut kulit. Sepasang lenganku terasa nyeri, ingin memeluk mereka. Tidak, perasaan itu lebih tajam daripada rasa nyeri, pinggirannya tajam dan menyayat. Tak tertahankan. Aku harus keluar.

Aku menyetir setengah buta di sepanjang jalan bebas hambatan sempit dua lajur. Padang gurun itu tampak lebih monoton dan mati daripada sebelumnya. Lebih membosankan, lebih tidak berwarna. Hari ini aku belum makan, dan perutku bergemuruh ketika menyadari hal ini.

Pencari akan menungguku di sana. Lalu perutku bergolak, sejenak rasa lapar digantikan rasa mual. Otomatis kakiku terangkat dari pedal gas.

Kuperiksa peta di kursi di sampingku. Aku akan segera tiba di tempat perhentian kecil, di tempat bernama Picacho Peak. Mungkin aku akan berhenti untuk menyantap sesuatu di sana. Menunda pertemuan dengan Pencari selama beberapa saat yang berharga.



Ketika aku merenungkan nama yang tak kukenal ini, Picacho Peak, muncul reaksi tertahan aneh dari Melanie. Aku tak bisa memahaminya. Pernahkah ia ke sini? Aku mencari sebuah ingatan, penglihatan, atau semacam bau yang berhubungan, tapi tak bisa menemukan apa-apa. Picacho Peak. Sekali lagi muncul sedikit rasa tertarik yang ditekan Melanie. Apa arti kata-kata itu baginya? Ia mundur ke dalam ingatan-ingatan yang jauh, menghindariku.
Ini membuatku penasaran. Aku menyetir sedikit lebih cepat, bertanya-tanya apakah melihat tempat itu akan memicu timbulnya ingatan lain.

Puncak gunung tunggal--tidak besar berdasarkan standar normal, tapi menjulang di atas perbukitan rendah berbatu-batu yang lebih dekat denganku--mulai tampak bentuknya di cakrawala. Bentuk puncak itu aneh, tidak biasa. Melanie mengamatinya, yang semakin besar ketika kami mendekat, dan berpura-pura mengabaikannya.

Mengapa Melanie berpura-pura tidak peduli, padahal ia jelas tampak peduli? Aku terganggu oleh kekuatannya ketika mencoba mencari tahu. Tidak bisa kutemukan jalan apa pun untuk mengitari dinding kosong tua itu. Terasa lebih tebal daripada biasa, walaupun kukira dinding itu nyaris tiada.

Aku berusaha mengabaikan Melanie, tidak ingin memikirkan bahwa--bahwa ia semakin kuat. Sebagai gantinya kuamati puncak itu, kutelusuri bentuknya yang dilatari langit panas pucat. Ada sesuatu yang kukenal di sana. Sesuatu yang pasti kukenal, walaupun aku yakin tak satu pun dari kami pernah kemari sebelumnya.

Seakan mencoba mengalihkan perhatianku, Melanie menceburkan diri ke dalam ingatan yang sangat jelas mengenai Jared, membuatku terkejut.

Aku menggigil dalam jaketku, menegangkan mata untuk melihat kilau teredam matahari yang tenggelam di balik pepohonan besar berduri. Kukatakan pada diri sendiri bahwa udara tidak sedingin yang kupikirkan. Tubuhku hanya belum terbiasa.

Sepasang tangan yang sekonyong-konyong berada di bahuku tidak mengejutkanku, walaupun aku takut terhadap tempat yang tidak kukenal ini dan tidak mendengar Jared diam-diam mendekatiku. Bobot sepasang tangan itu teramat kukenal.

"Kau mudah dikejutkan."
Bahkan saat ini pun, ada senyuman di wajahnya.
"Sudah kulihat kedatanganmu sebelum kau mengambil langkah pertama," ujarku, tanpa membalikkan tubuh. "Aku punya mata di belakang kepala."
Jemari hangat membelai wajahku dari pelipis sampai dagu, menyeret api sepanjang permukaan kulitku.
"Kau mirip peri hutan yang bersembunyi di pepohonan," bisik Jared di telingaku. "Salah satu dari mereka. Sangat cantik, sehingga mestinya kau hanya khayalan."

"Kalau begitu kita harus menanam lebih banyak pohon di sekeliling kabin."
Jared terbahak, dan suara itu membuat mataku terpejam dan bibirku menyeringai lebar.
"Tak perlu," katanya. "Kau memang selalu kelihatan seperti itu."
"Itu kata lelaki terakhir di Bumi kepada perempuan terakhir di Bumi, di pengujung perpisahan mereka."
Senyumku memudar ketika bicara. Senyum tak bisa bertahan hari ini. Jared mendesah. Napasnya di pipiku cukup hangat jika dibandingkan dinginnya udara hutan.
"Jamie mungkin membenci implikasi perkataanmu itu."
"Jamie masih kanak-kanak. Kumohon, kumohon, jagalah keamanannya."
"Begini saja," tawar Jared. "Kau menjaga agar dirimu tetap aman, dan aku akan berbuat sebaik mungkin. Jika tidak, tak ada kesepakatan."

Itu hanya gurauan, tapi tak bisa kuanggap enteng. Begitu kami berpisah, tak ada jaminan. "Tak peduli apa yang terjadi," ujarku berkeras.
"Tak akan terjadi apa-apa. Jangan khawatir." Kata-kata itu nyaris tak berarti. Usaha yang sia-sia. Tapi suara Jared patut didengarkan, tak peduli apa pesannya.
"Oke."


Ia membalikkan tubuhku agar menghadapnya, dan kusandarkan kepala di dadanya. Aku tak tahu harus membandingkan aroma tubuh Jared dengan apa. Itu aroma miliknya sendiri, sama uniknya dengan bau semak juniper atau hujan padang gurun.

"Kau dan aku tidak akan kehilangan satu sama lain," janjinya. "aku akan selalu menemukanmu kembali." Khas Jared, ia tak bisa benar-benar serius selama lebih dari satu atau dua detak jantung. "Tak peduli betapa  pintarnya kau bersembunyi. Aku ahli dalam permainan petak umpet."
"Apakah kau akan selalu mencariku setelah hitungan kesepuluh?"
"Tanpa mengintip."
"Baiklah," gumamku. Kucoba untuk menyembunyikan kenyataan bahwa tenggorokanku tercekat.
"Jangan takut. Kau akan baik-baik saja. Kau kuat, kau cepat, dan kau pintar." Ia sedang mencoba meyakinkan dirinya juga.
Mengapa aku meninggalkan Jared? Kecil sekali kemungkinan Sharon masih manusia.
Tapi ketika kulihat wajah gadis itu di berita televisi, aku sangat yakin.

Itu hanya penjarahan biasa, salah satu dari ribuan penjarahan. Seperti biasa, jika kami merasa cukup terisolasi, merasa cukup aman, kami menyalakan TV sambil menjarah isi lemari dapur dan kulkas. Hanya untuk mendengarkan ramalan cuaca; tak banyak hiburan dalam laporan serbasempurna dan sangat membosankan yang disebut sebagai berita oleh parasit-parasit itu. Rambut Sharon-lah yang menarik perhatianku--kilau warna merah tua, nyaris merah jambu, yang hanya pernah kujumpai pada diri satu orang.



Masih bisa kulihat tatapan di wajah Sharon ketika mengintip kamera dari sudut mata. Tatapan yang mengatakan, Aku mencoba untuk tidak terlihat; jangan melihatku. Jalannya tak cukup lambat, ia berjuang terlalu keras untuk mempertahankan kesantaian langkahnya. Mencoba mati-matian untuk berbaur.

Tak ada perampas tubuh yang merasa perlu berbuat seperti itu. Sedang apakah Sharon? Berjalan-jalan seperti manusia di kota besar seperti Chicago? Adakah manusia lainnya? Mencoba mencari Sharon bahkan tidak tampak sebagai pilihan. Sungguh. jika kemungkinan ada lebih banyak manusia di luar sana, kami harus mencari mereka.

Dan aku harus pergi sendirian. Sharon akan lari dari semua orang lain, kecuali dariku. Well, ia akan lari dariku juga, tapi mungkin akan berhenti cukup lama agar aku bisa menjelaskan. Aku yakin aku tahu tempat rahasianya.

"Dan kau?" tanyaku kepada Jared dengan suara parau. Aku tak yakin apakah secara fisik aku bisa menanggungkan perpisahan yang sangat membayangi kami ini. "Akankah kau aman?"
"Surga maupun neraka takkan bisa memisahkanku darimu, Melanie."

Tanpa memberiku kesempatan untuk menghela napas atau mengusap air mata yang baru saja keluar, Melanie melemparkan ingatan lain kepadaku.

Jamie meringkuk di bawah lenganku, walaupun tidak pas seperti dulu. Ia harus melipat tubuhnya. Tungkai-tungkai panjang kurusnya menyembul keluar, membentuk sudut-sudut tajam. Lengannya mulai berubah liat dan berotot, tapi saat ini ia masih kanak-kanak, gemetar, nyaris ketakutan. Jared sedang memasukkan barang-barang ke dalam mobil. Jamie takkan menunjukkan rasa takut jika Jared di sini, Jamie ingin menjadi pemberani, ingin menjadi seperti Jared.

"Aku takut," bisiknya.
Kucium rambut Jamie yang segelap malam. Bahkan di sini, di antara pepohonan berbau damar tajam, bau rambutnya seperti debu dan matahari. Rasanya seakan Jamie adalah bagian dari diriku. Dan untuk memisahkan kami, seseorang harus merobek kulit yang menyatukan kami.
"Kau akan baik-baik saja bersama Jared." Aku harus terdengar berani, tak peduli aku merasa seperti itu atau tidak.
"Aku tahu itu. Aku mengkhawatirkanmu. Aku takut kau tidak akan kembali. Seperti Dad."

Aku tersentak. Ketika Dad tidak kembali, walaupun tubuhnya akhirnya mencoba menuntun para Pencari kepada kami, aku dilanda perasaan paling mengerikan, menakutkan, dan menyakitkan yang pernah kurasakan. Bagaimana jika aku melakukan hal yang sama lagi terhadap Jamie?

"Aku akan kembali. Aku selalu kembali."
"Aku tahu," ujarnya lagi.
Aku harus berani
"Aku janji, semua akan baik-baik saja. Aku janji, aku akan kembali. Kau tahu aku takkan mengingkari janji, Jamie. Apalagi janjiku kepadamu."
Guncangan tubuhnya mereda. Ia percaya. Ia memercayaiku.

Dan satu ingatan lagi:

Aku bisa mendengar mereka di lantai di bawahku. Mereka akan menemukanku dalam hitungan menit, atau detik. Kugoreskan kata-kata di atas robekan kertas koran kotor. Nyaris tak terbaca. Tapi jika Jared menemukannya, ia akan mengerti:
Tidak cukup cepat. Aku mencintaimu dan mencintai Jamie. Jangan pulang.

Bukan hanya menghancurkan hati mereka, tapi aku juga mencuri tempat pengungsian mereka. Kubayangkan rumah ngarai mungil kami ditinggalkan, kini untuk selamanya. Atau, jika tidak ditinggalkan, telah menjadi kuburan. Kulihat tubuhku menuntun para Pencari ke sana. Wajahku tersenyum ketika kami menangkap mereka di sana.

"Cukup," ujarku keras-keras, seraya menjauhkan diri dari lecutan rasa nyeri itu. "Cukup! Kau sudah menjelaskan maksudmu! Kini aku juga tak bisa hidup tanpa mereka. Apakah itu membuatmu senang? Itu tidak memberiku banyak pilihan, bukan? Hanya satu--menyingkirkanmu. Kau ingin Pencari berada di dalam tubuhmu? Ugh!" Aku ciut membayangkannya, seakan akulah yang akan menampung Pencari.

Ada pilihan lain, kata Melanie lembut.

"Benarkah?" desakku, dengan nada mengejek. "Tunjukkan."
Lihat dan amati.
Aku masih menatap puncak gunung. Puncak itu mendominasi pemandangan. Tonjolan mendadak batu karang, dikelilingi tanah datar bersemak-semak. Perhatian Melanie menarik mataku pada siluetnya, lalu menelusuri puncak bercabang dua yang tidak rata itu.

Lengkungan melandai kasar, lalu belokan tajam ke utara, belokan tajam lagi ke arah berlawanan, berputar lagi ke utara dan agak memanjang, lalu mendadak turun ke selatan, dan mendatar membentuk lengkungan melandai lain.
Bukan ke utara dan selatan seperti garis-garis yang selalu kulihat dalam potongan - potongan ingatan Melanie, melainkan ke atas dan ke bawah.

Profil puncak gunung.
 
Melanie memberiku jawabannya.

"Itu hanya garis - garis. Dan Uncle Jeb hanya lelaki tua gila. Tidak waras, sama seperti semua keluarga ayahku." aku mencoba merebut buku itu dari tangan Jared, tapi tampaknya ia nyaris tidak memperhatikan usahaku.
"Tidak waras, seperti ibu Sharon?" tanyanya, masih mengamati goresan-goresan gelap pencil yang mengotori sampul belakang album foto tua itu--satu-satunya benda yang belum hilang dalam semua pelarianku. Bahkan coret-coret yang ditinggalkan Uncle Jeb di sana saat kunjungan terakhirnya pun kini memiliki nilai sentimental.

"Tepat sekali." Seandainya Sharon masih hidup, itu pasti karena ibunya, Aunt Maggie yang sinting berhasil menyaingi Uncle Jeb dalam meraih julukan Yang Tergila dari si Gila Stryder Bersaudara. Ayahku hanya mendapat sedikit sentuhan kegilaan Stryder--ia tidak punya bunker rahasia di pekarangan belakang atau semacamnya. Semua saudara ayahku, baik perempuan maupun laki-laki, Aunt Maggie, Uncle Jeb, dan Uncle Guy, adalah penganut paling setia teori konspirasi. Uncle Guy sudah meninggal, sebelum yang lain menghilang selama penyerbuan mahluk-mahluk asing itu. Ia meninggal dalam kecelakaan mobil yang sangat biasa, sehingga Maggie dan Jeb berjuang menciptakan intrik untuk peristiwa itu.
Ayahku selalu menyebut mereka dengan penuh kasih sebagai Orang-Orang Sinting. "Kurasa sudah saatnya kita mengunjungki Orang-Orang Sinting." Dad mengumumkan. Lalu Mom akan menggerutu--dan itulah sebabnya pengumuman semacam itu jarang sekali terjadi.

Dalam salah satu kunjungan langka kami ke Chicago, Sharon menyelundupkanku ke dalam lubang persembunyian ibunya. Kami ketahuan--Aunt Maggie memasang ranjau di mana-mana. Sharon di marahi habis-habisan dan, walaupun aku sudah disumpah untuk merahasiakannya, kurasa Aunt Maggie akan membangun tempat perlindungan baru.

Tapi aku ingat dimana tempat persembunyian pertama itu. Kubayangkan Sharon kini berada di sana, menjalani kehidupan seperti Anne Frank di tengah kota musuh. Kami harus menemukan dan membawanya pulang.

Jared menyela lamunanku. "Tidak waras adalah jenis orang yang bakal bertahan hidup. Orang yang melihat Big Brother ketika ia tak di sana. Orang yang mencurigai seluruh umat manusia, sebelum mereka berubah membahayakan. Orang yang siap dengan tempat persembunyian." Jared nyengir, masih sambil mempelajari garis-garis itu. Lalu suaranya agak parau. "Orang seperti ayahku. Seandainya dia dan semua saudara laki-lakiku memilih bersembunyi dan tidak melawan... Well, mereka akan masih berada di sini."

Nada suaraku melembut mendengar rasa pedih dalam suara Jared.
"Oke, aku setuju dengan teori itu. Tapi garis - garis ini tak ada artinya."
"Ulangi lagi apa kata Uncle Jeb ketika menggambar garis-garis ini."


Aku mendesah. "Mereka sedang berselisih--Uncle Jeb dan ayahku. Uncle Jeb mencoba meyakinkan ayahku ada yang tidak beres. Dia mengatakan kepada ayahku untuk tidak memercayai siapa pun. Dad menertawakannya. Jeb meraih album foto ini dari meja dan mulai... bisa dibilang dia mengukirkan garis - garis itu di sampul belakangnya dengan pensil. Dad marah, mengatakan Mom bakal marah. Kata Jeb, 'ibu Linda meminta kalian semua datang berkunjung, bukan? Agak aneh, tanpa disangka-sangka? Dan dia sedikit marah ketika hanya Linda yang bisa datang? Sejujurnya Trev,kurasa Linda tidak akan terlalu keberatan ketika dia kembali. Oh, mungkin dia akan berpura-pura keberatan, tapi kau akan bisa mengetahui perbedaannya.' Saat itu perkataan Uncle Jeb tak masuk akal, tapi benar-benar membuat ayahku marah dan mengusirnya. Awalnya Jeb tak mau pergi. Dia terus-menerus mengingatkan kami untuk tidak menunggu sampai semuanya terlambat. Dia meraih bahuku dan menarikku ke sisinya. 'Jangan biarkan mereka menangkapmu, Sayang,' bisiknya. 'Ikuti garis-garis itu. Mulailah dari awal dan ikuti garis-garis itu. Uncle Jeb akan menyediakan tempat aman untukmu.' Saat itulah Dad mendorongnya keluar dari pintu."

Jared mengangguk-angguk tanpa sadar. Ia masih mempelajari garis-garis itu. "Awal...awal... seharusnya itu ada artinya."
"Benarkah? Itu hanya coret - coret, Jared. Tidak seperti peta--garis - garis itu bahkan tidak berhubungan."
"Tapi ada sesuatu mengenai garis pertama. Sesuatu yang kukenal. Aku bersumpah pernah melihatnya di suatu tempat."
Aku mendesah. "Mungkin Uncle Jeb menceritakannya kepada Aunt maggie. Mungkin Aunt Maggie punya petunjuk-petunjuk lebih baik."
"Mungkin," ujar Jared. Dan ia terus memandangi corat-coret Uncle Jeb.

Melanie menarikku kembali ke masa lalu, ke dalam ingatan yang jauh, jauh lebih lama--ingatan yang telah lama dilupakannya. Aku terkejut menyadari ingatan-ingatan ini, yang baru maupun lama, yang baru digabungkan olehnya setelah aku berada di sini. Itulah sebabnya garis-garis itu lolos dari pengontrolan ketatnya, walaupun sesungguhnya merupakan salah satu rahasia paling berharga--karena begitu pentingnya penemuan ini.

Dalam ingatan awal yang kabur ini, Melanie duduk di pangkuan ayahnya. Album yang sama--saat itu belum begitu compang-camping--terbuka di tangannya. Tangan Melanie mungil, jari-jarinya pendek gemuk. Aneh sekali mengingat tubuh ini ketika masih kecil.
Mereka sedang melihat halaman pertama.

"Kau ingat di mana ini?" tanya Dad, menunjuk foto abu-abu tua di bagian atas. Kertasnya lebih tipis daripada foto-foto lain, seakan telah aus--semakin pipih dan pipih dan pipih--semenjak kakek buyut mengambil foto itu.
"Di sinilah asal kita, keluarga Stryder." jawabku, mengulangi apa yang sudah diajarkan kepadaku.
"Benar. Itu peternakan tua Stryder. Kau pernah ke sana, tapi kujamin kau tidak ingat. Kurasa usiamu baru delapan belas bulan saat itu." Dad tertawa. "Sudah menjadi tanah Stryder sejak awal sekali..."

Lalu muncul ingatan mengenai foto itu sendiri. Gambar yang sudah dilihat Melanie ribuan kali, tanpa benar-benar melihatnya. Fotonya hitam-putih, dan telah memudar jadi abu-abu. Sebuah rumah ayu pedesaan kecil, jauh di sisi lain ladang padang gurun. Di latar depan tampak pagar kandang, dengan beberapa siluet kuda di antara pagar dan rumah. Lalu, di belakang semua itu, profil tajam yang tak asing lagi...

Serangkaian kata, sebuah catatan, digoreskan dengan pensil pada pinggiran putih di bagian atas foto:
Peternakan Stryder, 1904, dalam bayangan pagi...
"Picacho Peak," kataku pelan.

Jared juga akan menemukan jawaban itu, kalaupun mereka tak pernah menemukan Sharon. Aku tahu Jared akan menyatukan semua kepingan teka-teki itu. Ia lebih pintar dariku, dan ia punya fotonya; mungkin ia sudah melihat jawabannya, sebelum aku melihatnya. Mungkin ia berada sangat dekat...

Pikiran itu begitu memenuhi benak melanie dengan kerinduan dan kegembiraan, sehingga dinding kosong di kepalaku lenyap seluruhnya.

Kini aku melihat seluruh perjalanan itu, melihat perjalanan hati-hati Melanie, Jared, dan Jamie melintasi negara-negara bagian, selalu di malam hari, dengan kendaraan curian yang tidak mencolok. Makan waktu berminggu-minggu. Kulihat di mana Melanie meninggalkan mereka, di hutan cagar alam di luar kota, yang sangat berbeda dengan padang gurun kosong yang biasa mereka huni. Dalam beberapa hal hutan dingin tempat Jared dan Jamie bersembunyi dan menunggu itu terasa lebih aman. Dahan-dahan pepohonannya besar dan menutupi, tidak seperti tanaman kurus panjang di padang gurun yang hanya bisa sedikit menutupi. Tapi hutan itu juga lebih berbahaya, dengan bau-bau dan suara-suara asingnya.

Lalu perpisahan itu, ingatan yang begitu menyakitkan sehingga kami tersentak dan melewatkannya. Berikutnya muncul banguna terlantar tempat Melanie bersembunyi sambil mengamati rumah di seberang jalan, mencari peluang. Di sana, tersembunyi di balik dinding-dinding atau di dalam ruang bawah tanah rahasia, ia berharap bisa menemukan Sharon.

Seharusnya tak kubiarkan kau melihatnya, ujar Melanie. Suara pelan samar-samar itu mengungkapkan kelelahan. Serangan ingatan-ingatan ini, dan bujukan serta pemaksaan yang ia lakukan, telah melelahkannya. Kau akan menceritakan tempat persembunyian Sharon kepada mereka. Kau juga akan membunuhnya.
"Ya," jawabku keras-keras. "Aku harus melaksanakan tugasku."
Mengapa? Melanie bergumam, nyaris mengantuk. Kebahagiaan macam apa yang akan kaudapatkan?

Aku tak ingin berbantahan dengannya, jadi aku diam saja.
Gunung itu menjulang semakin tinggi di depan kami. Sebentar lagi kami akan berada di bawahnya. Aku bisa melihat tempat perhentian kecil dengan toko sederhana dan restoran cepat saji yang salah satu sisinya dibatasi lapangan beton--tempat parkir rumah-rumah mobil. Sekarang hanya beberapa yang dihuni, panas menjelang musim panas membuat segalanya terasa tidak nyaman.

Sekarang bagaimana? pikirku bertanya-tanya. Berhenti untuk makan siang larut atau makan malam kepagian? Memenuhi tangki bensin, lalu meneruskan perjalanan ke Tucson untuk mengungkapkan penemuan-penemuan baruku kepada Pencari?

Pikiran itu begitu memuakkan, sehingga rahanku terkatup menahan perut kosongku yang tiba-tiba bergolak. Refleks kuinjak rem. Mobil berdecit, lalu berhenti di tengah jalur. Aku beruntung; tak ada mobil yang menabrakku dari belakang. Juga tak ada pengemudi yang berhenti dan menawarkan pertolongan. Saat ini jalan raya kosong. Matahari menyinari trotoar, membuatnya berkilau, lalu menghilang di beberapa bagian.


Seharusnya gagasan untuk terus ke kanan dan melanjutkan perjalanan awalku takkan terasa seperti pengkhianatan. Bahasa pertamaku, bahasa asli jiwa yang hanya diucapkan di planet asal kami, tidak memiliki kata untuk pengkhianatan ata pengkhianat. Atau bahkan kesetiaan--karena, tanpa keberadaan lawan katanya, konsep itu tidak memiliki makna.

Namun aku merasa sangat bersalah ketika memikirkan Pencari. Rasanya eliru menceritakan apa yang kuketahui kepadanya. Bagaimana mungkin keliru? Kutentang pikiranku sendiri mati-matian. Jika aku berhenti di sini dan mendengarkan saran-saran menggairahkan inangku, aku benar-benar akan menjadi pengkhianat. Itu mustahil Aku adalah sesosok jiwa.

Namun aku tahu apa yang kuinginkan lebih kuat dan nyata daripada segala yang pernah kuinginkan dalam delapan kehidupan yang pernah kujalani. Gambaran wajah Jared menari-nari di balik kelopak mataku ketika aku mengedipkan mata karena silaunya matahari. Kali ini gambaran itu bukanlah ingatan Melanie, melainkan ingatanku akan ingatan Melanie. Kini gadis ini tidak memaksakan apa-apa kepadaku, Nyaris bisa kurasakan kehadirannya di dalam kepalaku ketika ia menunggu--kubayangkan ia menahan napas, seakan itu memungkinkan--agar aku mengambil keputusan.

Aku tak bisa memisahkan diriku dari hasrat tubuh ini. Itu aku, melebihi segala yang pernah kuinginkan. Apakah aku yang menginginkannya, atau tubuh ini? Apakah perbedaan itu ada artinya sekarang?

Di kaca spion kilau matahari yang memantul dari mobil di kejauhan tetangkap mataku.
Kupindahkan kakiku ke pedal gas, lalu perlahan-lahan menuju toko kecil di dalam bayangan puncak. Sesungguhnya hanya satu hal yang harus dilakukan.

---