Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara

Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara
Harga mulai 5rb an. Gratis ongkir DKI Jakarta

The Host- Bab 34

DIMAKAMKAN



Jared menerjang maju, menjauhiku. Dengan suara gedebuk keras, tinjunya menghantam wajah Kyle.
Mata Kyle berputar ke belakang, mulutnya terbuka.
Selama beberapa detik ruangan sangat hening.
“Um,” ujar Doc pelan, “secara medis, aku tak yakin apakah itu tindakan yang paling membantu untuk kondisinya.”
“Tapi aku merasa lebih baik,” jawab Jared muram.
Doc tersenyum kecil. “Well, beberapa menit ketidaksadaran mungkin takkan membunuhnya.”
Doc mulai memeriksa bagian bawah kelopak mata Kyle lagi, mengukur denyut nadinya…
“Apa yang terjadi?” Wes berada di dekat kepalaku, berbisik.
“Kyle mencoba membunuh makhluk itu,” jawab Jared, sebelum aku bisa menjawab. “Tidak mengejutkan, bukan?”
“Memang,” gumamku.
Wes memandang Jared.
“Tampaknya altruisme muncul lebih alami pada mahluk itu dibandingkan kebohongan,” ujar Jared.
“Apakah kau sedang mencoba bersikap menjengkelkan?” desakku.
Kesabaranku bukannya berkurang, melainkan lenyap seluruhnya. Sudah berapa lama aku tidak tidur? Satu-satunya yang lebih menyakitkan daripada kakiku adalah kepalaku. Setiap tarikan napas membuat sisi tubuhku sakit. Kusadari, dengan agak terkejut, bahwa suasana hatiku benar-benar buruk. “Karena seandainya demikian, maka yakinlah, kau berhasil.”
Jared dan Wes memandangku dengan mata terkejut. Aku yakin, seandainya bisa melihat yang lain, ekspresi mereka juga bakal serupa. Mungkin Jeb tidak. Ia ahli dalam memperlihatkan wajah tanpa ekspresi.
“Aku perempuan,” keluhku. “Istilah ‘mahluk itu’ benar-benar membuatku jengkel.”
Jared mengerjap terkejut. Lalu wajahnya kembali membentuk garis-garis keras. “Karena tubuh yang kau kenakan?”
Wes memelototinya.
“Karena aku perempuan,” desisku.
“Berdasarkan definisi siapa?”
“Bagaimana kalau definisimu? Pada spesiesku, akulah yang melahirkan. Bukankah itu cukup perempuan bagimu?”
Perkataanku langsung membungkam Jared. Aku nyaris merasa bangga terhadap diriku sendiri.
Memang sudah seharusnya, ujar Melanie setuju. Ia keliru, dan bersikap menjengkelkan soal itu.
Terima kasih.
Sebagai sesame perempuan, kita harus bersatu.
“Itu kisah yang belum pernah kauceritakan kepada kami,” gumam Wes, sementara Jared berjuang mencari bantahan. “Bagaimana cara kerjanya?”
Wajah zaitun Wes semakin gelap, seakan ia baru saja menyadari kata-kata itu telah diucapkan keras-keras. “Maksudku, kurasa kau tidak perlu menjawab jika pertanyaanku tidak sopan.”
Aku tertawa. Suasana hatiku berganti-ganti dengan liar, tak terkendali. Mabuk karena kurang tidur, seperti kata Melanie. “Tidak, kau  menanyakan sesuatu… yang tidak pantas. Kami tidak punya pengaturan terperinci… dan rumit… seperti spesies kalian.” Aku kembali tertawa, lalu merasakan wajahku menghangat. Kuingat dengan sangat jelas betapa rumitnya pengaturan itu.
Jangan berpikir kotor.
Itu pikiranmu, ujarku mengingatkan Melanie.
Aku mendesah. “Hanya ada beberapa dari kami yang menjadi… Ibu. Itu sebutan mereka untuk kami. Bukan ibu yang sesungguhnya, tapi kami berpotensi menjadi Ibu…” Aku kembali serius, merenungkannya. Tak ada ibu, tak ada ibu yang bertahan hidup, yang ada hanyalah ingatan-ingatan tentang mereka.
“Kau punya potensi itu?” tanya Jared kaku.
Aku tahu yang lain mendengarkan. Bahkan Doc menghentikan tindakannya meletakkan telinga di dada Kyle.
Aku tidak menjawab pertanyaan Jared. “Kami… agak menyerupai kawanan lebah, atau semut. Banyak sekali anggota keluarga yang tidak memiliki jenis kelamin, lalu ada ratu…”
“Ratu?” ulang Wes, memandangku dengan ekspresi aneh.
“Bukan seperti itu. Tapi hanya ada satu ibu untuk setiap lima sampai sepuluh ribu bangsaku. Terkadang kurang dari itu. Tak ada peraturan yang ketat.”
“Ada berapa banyak pejantan?” tanya Wes.
“Oh, tidak—tidak ada pejantan. Tidak. Sudah kubilang, prosesnya lebih sederhana.”
Mereka menungguku menjelaskan. Aku menelan ludah. Seharusnya aku tidak mengangkat topic ini. Aku tak ingin membicarakannya lagi. Apakah benar-benar menjadi masalah jika Jared memanggilku “mahluk itu”?
Mereka masih menunggu. Aku memberengut, tapi lalu bicara. Akulah yang memulai topic ini. “Ibu… membelah diri. Setiap… selnya—kurasa bisa kaubilang begitu, walaupun struktur kami tidak sama seperti struktur kalian—menjadi jiwa yang baru. Setiap jiwa yang baru membawa sedikit ingatan ibunya—sebagian dari ibunya yang tertinggal.”
“Berapa banyak sel?” tanya Doc penasaran. “Berapa banyak anak?”
Aku mengangkat bahu. “Sekitar satu juta.”
Sejauh pandanganku, semua mata membelalak dan tampak sedikit lebih liar. Aku mencoba untuk tidak merasa terlukka ketika Wes menjauh dariku.
Doc bersiul pelan. Ia satu-satunya yang masih tertarik untuk melanjutkan. Aaron dan Andy menunjukkan ekspresi cemas, bingung. Mereka belum pernah mendengarku mengajar. Belum pernah mendengarku bicara begitu banyak.
“Kapan itu terjadi? Adakah semacam katalisator?” tanya Doc.
“Itu pilihan. Pilihan sukarela,” jawabku. “Satu-satunya cara kami untuk memilih kematian dengan sukarela. Semacam pertukaran, demi generasi baru.”
“Kau bisa memilihnya sekarang? Membelah semua selmu, begitu saja?”
“Tidak persis seperti itu, tapi ya.”
“Rumitkah?”
“Yang rumit adalah keputusannya. Prosesnya… menyakitkan.”
“Menyakitkan?”
Mengapa Doc harus seterkejut itu? Bukankah hal yang sama terjadi pada bangsanya?
Dasar laki-laki, dengus Melanie.
“Menyiksa,” jawabku. “Kami semua ingat apa yang dialami ibu kami.”
Doc mengusap-usap dagu, terpukau. “Aku ingin tahu, itu jalur evolusi macam apa… menghasilkan masyarakat lebah dengan ratu yang bunuh diri…” Ia terhanyut dalam rangkaian pikiran yang lain.
“Altruisme,” gumam Wes.
“Hmm,” ujar Doc. “Ya, tepat.”
Kupejamkan mata, berharap mulutku tetap mengatup. Kepalaku pening. Apakah aku hanya lelah atau apakah itu karena luka di kepalaku?
“Oh,” gumam Doc. “Tidurmu bahkan lebih sedikit daripada tidurku, bukan, Wanda? Kami harus membiarkanmu istirahat.”
“Aku baik-baik saja,” gumamku, tanpa membuka mata.
“Hebat sekali,” bisik seseorang. “Kita punya mahluk luar angkasa, ibu ratu terkutuk, yang tinggal bersama kita. Dia bisa meledak menjadi sejuta serangga baru setiap saat.”
“Sst.”
“Mereka takkan bisa melukai kalian,” ujarku, kepada siapa pun yang baru saja bicara, tanpa membuka mata. “Tanpa tubuh inang, mereka mati dengan cepat.” Aku mengernyit, membayangkan kedukaan yang tak terbayangkan. Sejuta jiwa mungil tak berdaya, bayi perak mungil, layu…
Tak seorang pun berkomentar, tapi bisa kurasakan kelegaan mereka.
Aku lelah sekali. Aku tak peduli Kyle berada satu meter dariku. Aku tak eduli dua di antara para lelaki di ruangan ini akan membela Kyle jika ia sudah tersadar. Aku tidak memedulikan apa pun, kecuali tidur.
Tentu saja Walter terbangun tepat pada saat itu.
“Uuuh,” erangnya, hanya berupa bisikan. “Gladdie?”
Sambil mengerang aku berguling ke arahnya. Rasa sakit di kakiku membuatku mengernyit, tapi aku tak mampu memutar tubuh. Kuulurkan tangan, dan kutemukan tangannya.
“Di sini,” bisikku.
“Ahhh.” Walter mendesah penuh kelegaan.
Doc menyuruh para lelaki yang mulai memprotes untuk diam.
“Wanda telah mengorbankan tidur dan kedamaiannya untuk membantu mengurangi Walter mengurangi rasa sakit. Kedua tangannya memar-memar akibat memegangi tangan Walter. Apa yang sudah kalian perbuat untuk Walter?”
Walter kembali mengerang. Suaranya mula-mula rendah dan parau, tapi dengan cepat berubah jadi erangan bernada tinggi.
Doc mengernyit. “Aaron, Andy, Wes… maukah kaliah, ah, memanggilkan Sharon untukku?”
“Kami semua?”
“Minggat sana,” Jeb menerjemahkan.
(catatanku: “I really love uncle Jeb… hehehe”)
Satu-satunya jawaban yang terdengar hanyalah suara kaki terseret ketika mereka pergi.
“Wanda,” bisik Doc di dekat telingaku. “Walter kesakitan. Aku tak bisa membiarkannya sadar sepenuhnya.”
Kucoba untuk bernapas teratur. “Lebih baik baginya jika dia tidak mengenaliku. Lebih baik baginya jika dia mengira Gladdie berada di sini.”
Kubuka mataku. Jeb berada di samping Walter—wajah Walter masih tampak seakan sedang tidur.
“Selamat tinggal, Walt,” ujar Jeb. “Sampai bertemu di dunia lain.”
Ia melangkah mundur.
“Kau lelaki baik. Semua orang akan merasa kehilangan,” gumam Jared.
Doc membuka bungkusan morfin lagi. Kertasnya bergemersik.
“Gladdie?” isak Walter. “Sakit sekali.”
“Ssst. Tak lama lagi sakitnya akan hilang. Doc akan menghentikannya.”
“Gladdie?”
“Ya?”
“Aku mencintaimu, Gladdie. Aku mencintaimu sepanjang hidupku.”
“Aku tahu, Walter. Aku—aku juga mencintaimu. Kau tahu betapa aku mencintaimu.”
Walter mendesah.
Kupejamkan mata ketika Doc membungkuk di atas tubuh Walter dengan membawa jarum suntik.
“Selamat tidur, Sobat,” gumam Doc.
Jemari Walter berubah santai, lemas. Kugenggam kedua tangannya—kini akulah yang menggayuti Walter.
Menit demi menit berlalu dan semuanya hening, kecuali suara napasku ang tersendat, cenderung terisak pelan.
Seseorang menepuk bahuku. “Dia sudah pergi, Wanda,” ujar Doc. Suaranya parau. “Dia sudah tidak kesakitan.”
Doc melepaskan tanganku dari tangan Walter, dan perlahan-lahan menggulingkan tubuhku dari posisi ganjil menjadi posisi yang lebih tidak menyiksa. Tapi hanya sedikit bedanya. Setelah aku tahu Walter takkan terganggu, tangisku tak lagi pelan. Kupegangi pinggangku yang berdenyut-denyut.
“Oh, silahkan. Kalau itu membuatmu senang,” gumam Jared dengan nada menggerutu. Aku mencoba membuka mata, tapi tak bisa melakukannya.
Sesuatu menusuk lenganku. Aku tak ingat lenganku terluka. Dan di tempat aneh, hanya di siku bagian dalam…
Morfin, bisik Melanie.
Kami sudah mulai tak sadarkan diri. Aku mencoba untuk merasa takut, tapi tak bisa. Aku sudah pergi terlalu jauh.
Tak seorang pun mengucapkan selamat tinggal, pikirku. Aku tak bisa mengharapkan Jared… Tapi Jeb… Doc… Ian taka da di sini…
Tak seorang pun mati, janji Melanie kepadaku. Kali ini kau hanya tidur…
#
Ketika aku terbangun, langit-langit di atasku suram diterangi cahaya bintang. Malam hari. Ada banyak bintang. Aku bertanya-tanya di mana aku berada. Tak ada penghalang-penghalang hitam, taka da potongan langit-langit di dalam pandanganku. Hanya bintang dan bintang dan bintang…
Angin mengipasi wajahku. Baunya seperti… debu dan… sesuatu yang tak bisa kupahami. Ketidakhadiran. Bau apak itu tak ada. Tak ada Sulfur, dan udara sangat kering.
“Wanda?” bisik seseorang, seraya menyentuh pipiku yang tidak cedera.
Mataku menemukan wajah Ian, pucat dalam cahaya bintang, membungkuk di atas tubuhku. Tangan Ian yang menyentuh kulitku lebih sejuk daripada angina sepoi-sepoi. Tapi udara sangat kering, sampai terasa tidak nyaman. Di mana aku?
“Wanda? Kau sudah bangun? Mereka tidak mau menungu lebih lama.”
Aku berbisik, karena Ian juga berbisik. “Apa?”
“Mereka sudah mulai. Aku tahu, kau pasti ingin berada di sini.”
“Dia sudah sadar?” tanya Jeb.
“Apa yang sudah dimulai?” tanyaku.
“Pemakaman Walter.”
Aku mencoba duduk, tapi tubuhku lemah. Tangan Ian berpindah ke keningku, membaringkanku.
Kugerakkan kepalaku di bawah telapak tangannya, mencoba melihat…
Aku berada di luar.
Di luar.
Di kiriku tumpukan batu kasar tak beraturan membentuk gunung kecil, lengkap dengan semak-semak pendeknya. Di kananku dataran padang gurun membentang sampai lenyap dalam kegelapan. Aku menunduk, memandang melewati kakiku, dan melihat kerumunan manusia yang merasa tidak nyaman di udara terbuka. Aku tahu persis apa yang mereka rasakan. Terekspos.
Aku mencoba bangkit. Aku ingin berada lebih dekat, untuk menyaksikan. Tangan Ian menahanku.
“Tenanglah,” katanya. “Jangan mencoba berdiri.”
“Bantu aku,” ujarku memohon.
“Wanda?”
Aku mendengar suara Jamie, lalu melihatnya, rambutnya memantul-mantul ketika ia berlari ke tempatku terbaring.
“Mereka tidak menunggu,” ujar Jamie kepada Ian. “Sebentar lagi selesai.”
“Bantu aku berdiri,” kataku.
Jamie meraih tanganku, tapi Ian menggeleng. “Aku bisa.”
Ian menyelipkan kedua lengannya ke bawah tubuhku, dengan sangat berhati-hati, untuk menghindari tempat-tempat yang paling sakit. Ia mengangkatku dari tanah, kepalaku berputar-putar seperti kapal nyaris karam. Aku mengerang.
“Apa yang dilakukan Doc kepadaku?”
“Dia memberimu sedikit morfin yang tersisa, sehingga bisa memeriksa tanpa menyakitimu. Lagi pula kau perlu tidur.”
Aku memberengut, tidak setuju. “Bukankah orang lain akan lebih memerlukan morfin itu?”
“Sst,” ujar Ian, dan aku bisa mendengar suara rendah di kejauhan. Kutolehkan kepalaku.
Aku bisa melihat kumpulan manusia itu lagi. Mereka berdiri di mulut lubang terbuka, rendah, dan gelap, yang dibentuk angina di bawah tumpukan batu yang tampak tidak stabil. Mereka berdiri dalam barisan tak teratur, menghadap gua teduh itu.
Aku mengenali suara Trudy.
“Walter selalu melihat sisi cerah segala sesuatu. Ia bisa melihat sisi cerah lubang hitam. Itu akan kurindukan.”
Kulihat sesosok tubuh melangkah maju, kulihat ayunan kepang rambut hitam keabu-auan ketika sosok itu bergerak, dan aku menyaksikan Trudy melempar segenggam sesuatu ke dalam gelap. Pasir menyebar dari jemarinya, jatuh ke tanah dengan bunyi berdesis perlahan.
Trudy kembali dan berdiri di samping suaminya. Geoffrey bergerak menjauhinya, melangkah maju ke lubang hitam.
“Kini dia akan bertemu Gladys-nya. Dia lebih berbahagia di tempatnya sekarang.” Geoffrey melempar segenggam pasir.
Ian membopongku ke kanan barisan, cukup dekat untuk melihat ke dalam gua suram itu. Ada lubang yang lebih gelap di hadapan kami, bentuknya persegi panjang besar, dan seluruh populasi manusia itu berdiri mengelilinginya, membentuk setengah lingkaran tak beraturan.
Semua ada di sana—semua orang.
Kyle melangkah maju.
Aku gemetar, dan Ian meremas pelan tanganku.
Kyle tidak memandang kea rah kami. Kulihat wajahnya dari samping; mata kanannya bengkak sampai nyaris menutup.
“Walter mati sebagai manusia,” ujar Kyle. “Tak seorang pun dari kami bisa meminta lebih dari itu.” Ia melempar segenggam pasir ke lubang gelap itu.
Lalu Kyle kembali bergabung dengan kelompok itu.
Jared berdiri di sampingnya. Ia melangkah sebentar, berhenti di bibir makam Walter.
“Walter sangat baik hati. Tak seorang pun dari kami bisa menandinginya.” Ia melemparkan pasirnya.
Jamie melangkah maju, Jared menepuk bahunya saat mereka berpapasan.
“Walter pemberani,” ujar Jamie. “Dia tidak takut mati, dia tidak takut hidup, dan… dia tidak takut untuk percaya. Dia membuat keputusan-keputusannya sendiri, dan dia membuat keputusan-keputusan yang baik.” Jamie melemparkan pasirnya. Ia berbalik, berjalan kembali, sepanjang itu matanya terpaku padaku.
“Giliranmtimuu,” bisik Jamie, ketika sudah ada di sampingku.
Andy sudah bergerak maju, dengan sekop di tangan.
“Tunggu,” ujar Jamie, dengan suara rendah yang terdengar di dalam keheningan. “Wanda dan Ian belum mengucapkan apa-apa.”
“Kita harus saling menghormati,” ujar Jeb, suaranya lebih keras daripada suara Jamie. Rasanya terlalu keras buatku.
Insting pertamaku adalah memberi isyarat pada Andy untuk melanjutkan, dan meminta Ian membawaku pergi. Ini duka manusia, bukan dukaku.
Tapi aku memang berduka. Dan aku memang ingin mengatakan sesuatu.
“Ian, bantu aku mengambil pasir.”
Ian berjongkok sehingga aku bisa mengambil segenggam kerikil di kaki kami. Ia memindahkan bobot tubuhku ke lututnya, sehingga ia bisa mengambil pasir juga. Lalu ia menegakkan tubuh dan membopongku ke tepi makam.
Aku tidak bisa melihat ke dalam lubang. Tampak gelap di bawah naungan batu, dan sepertinya makam itu sangat dalam. Ian mulai bicara sebelum aku bisa melakukannya.
“Walter manusia terbaik dan paling bijak,” ujarnya, lalu ia menyebarkan pasirnya ke lubang. Rasanya lama sekali sebelum aku mendengar pasir itu berdesis menimpa dasar lubang.
Ian menunduk memandangku.                  
Suasana benar-benar hening di malam berpenerangan cahaya bintang itu. Bahkan angin pun tenang. Aku berbisik, tapi aku tahu suaraku terdengar semua orang.
“Tak ada kebencian di dalam hatimu,” bisikku. “Keberadaanmu membuktikan kami keliru. Kami tak punya hak untuk mengambil duniamu darimu, Walter. Kuharap dongeng-dongengmu benar. Kuharap kau menemukan Gladdie-mu.”
Kubiarkan batu-batu itu bergulir dari jemariku, dan kutunggu sampai aku mendengar batu-batu itu jatuh dengan bunyi pelan di atas tubuh Walter yang tampak samar-samar dalam kuburan gelap dan dalam itu.
Begitu Ian melangkah mundur, Andy langsung bekerja. Ia menyekop gundukan tanah pucat berdebu yang menumpuk beberapa puluh sentimeter jauhnya, lalu memasukkannya ke lubang. Muatan sekop itu jatuh dengan bunyi berdebum, bukan berdesis. Suaranya membuatku kecut.
Aaron melangkah melewati kami dengan sekop lain. Ian berbalik perlahan-lahan dan membopongku pergi untuk memberi mereka tempat. Bunyi berdebum keras tanah yang jatuh menggema di belakang kami. Suara-suara  rendah mulai terdengar. Aku mendengar suara langkah ketika orang-orang berkumpul, berdesak-desakan untuk membahas pemakaman itu.
Aku benar-benar memandang Ian untuk pertama kali ketika ia berjalan kembali ke Kasur gelap di tanah terbuka itu. Ekspresinya seakan salah tempat, dan bukan miliknya. Wajah Ian dikotori debu pucat, ekspresinya lelah, dan aku pernah melihat wajahnya seperti itu sebelumnya. Aku tak bisa ingat kapan, ketika Ian meletakkanku kembali ke atas Kasur dan perhatianku teralihkan. Apa yang seharusnya kulakukan di luar sini, di tempat terbuka? Tidur? Doc berada persis di belakang kami; Doc dan Ian sama-sama berlutut di pasir di sebelahku.
“Bagaimana perasaanmu?” tanya Doc, meraba bagian samping tubuhku.
Aku ingin duduk, tapi Ian menekan bahuku ketika aku mencoba.
“Aku baik-baik saja. Kurasa aku bisa berjalan…”
“Tak perlu memaksakan diri. Istirahatkan kaki itu selama beberapa hari, oke?” Doc menarik kelopak mataku ke atas, dan menyorotkan senter mungilnya ke sana. Mata kananku melihat refleksi cemerlang yang menari-nari di wajah Doc. Doc mengalihkan pandangan dari cahaya itu, menjauh beberapa senti. Tangan Ian di bahuku tetap tidak bergerak. Itu mengejutkanku.
“Hmm. Itu tidak membantu diagnosis, bukan? Bagaimana kepalamu?” tanya Doc.
“Sedikit pening. Tapi kurasa karena obat-obatan yang kau berikan kepadaku, bukan karena lukanya. Aku tidak suka obat-obatan itu—kurasa aku lebih suka merasakan sakit.”
Doc meringis. Begitu juga Ian.
“Apa?” desakku.
“Aku hendak membuatmu tak sadarkan diri lagi, Wanda. Maaf.”
“Tapi… mengapa?” bisikku. “Aku tidak sesakit itu. Aku tidak ingin—“
“Kami harus membawamu kembali ke dalam,” ujar Ian, menyelaku. Suaranya rendah, seakan tak ingin yang lain mendengar. Aku bisa mendengar suara-suara di belakang kami, menggema pelan dari batu-batu. “Kami berjanji… kau akan tidak sadarkan diri.”
“Tutup saja mataku lagi.”
Doc mengeluarkan jarum suntik mungil dari saku. Isinya tinggal seperempat. Aku menjauh, mendekatkan diri pada Ian. Tangannya di bahuku menahanku.
“Kau mengenal gua itu dengan sangat baik,” gumam Doc. “Mereka tak ingin kau punya peluang untuk menebak…”
“Tapi ke mana aku akan pergi?” bisikku. Suaraku panic. “Kalaupun aku tahu jalan keluar? Mengapa aku ingin pergi sekarang?”
“Kalau itu menenangkan pikiran mereka…,” ujar Ian.
Doc meraih pergelangan tanganku, dan aku tidak melawan. Aku berpaling ketika jarum menusuk kulitku. Kupandang Ian. Matanya kelam dalam gelap, dan menegang ketika aku menuduhnya sebagai pengkhianat dengan tatapanku.
“Maaf,” gumam Ian. Itu hal terakhir yang kudengar.







0 comments:

Post a Comment

Jual Nugget dan Sosis Sayur

Jual Nugget dan Sosis Sayur
Pemesanan via email : lwati111@gmail.com

The Host- Bab 34

DIMAKAMKAN



Jared menerjang maju, menjauhiku. Dengan suara gedebuk keras, tinjunya menghantam wajah Kyle.
Mata Kyle berputar ke belakang, mulutnya terbuka.
Selama beberapa detik ruangan sangat hening.
“Um,” ujar Doc pelan, “secara medis, aku tak yakin apakah itu tindakan yang paling membantu untuk kondisinya.”
“Tapi aku merasa lebih baik,” jawab Jared muram.
Doc tersenyum kecil. “Well, beberapa menit ketidaksadaran mungkin takkan membunuhnya.”
Doc mulai memeriksa bagian bawah kelopak mata Kyle lagi, mengukur denyut nadinya…
“Apa yang terjadi?” Wes berada di dekat kepalaku, berbisik.
“Kyle mencoba membunuh makhluk itu,” jawab Jared, sebelum aku bisa menjawab. “Tidak mengejutkan, bukan?”
“Memang,” gumamku.
Wes memandang Jared.
“Tampaknya altruisme muncul lebih alami pada mahluk itu dibandingkan kebohongan,” ujar Jared.
“Apakah kau sedang mencoba bersikap menjengkelkan?” desakku.
Kesabaranku bukannya berkurang, melainkan lenyap seluruhnya. Sudah berapa lama aku tidak tidur? Satu-satunya yang lebih menyakitkan daripada kakiku adalah kepalaku. Setiap tarikan napas membuat sisi tubuhku sakit. Kusadari, dengan agak terkejut, bahwa suasana hatiku benar-benar buruk. “Karena seandainya demikian, maka yakinlah, kau berhasil.”
Jared dan Wes memandangku dengan mata terkejut. Aku yakin, seandainya bisa melihat yang lain, ekspresi mereka juga bakal serupa. Mungkin Jeb tidak. Ia ahli dalam memperlihatkan wajah tanpa ekspresi.
“Aku perempuan,” keluhku. “Istilah ‘mahluk itu’ benar-benar membuatku jengkel.”
Jared mengerjap terkejut. Lalu wajahnya kembali membentuk garis-garis keras. “Karena tubuh yang kau kenakan?”
Wes memelototinya.
“Karena aku perempuan,” desisku.
“Berdasarkan definisi siapa?”
“Bagaimana kalau definisimu? Pada spesiesku, akulah yang melahirkan. Bukankah itu cukup perempuan bagimu?”
Perkataanku langsung membungkam Jared. Aku nyaris merasa bangga terhadap diriku sendiri.
Memang sudah seharusnya, ujar Melanie setuju. Ia keliru, dan bersikap menjengkelkan soal itu.
Terima kasih.
Sebagai sesame perempuan, kita harus bersatu.
“Itu kisah yang belum pernah kauceritakan kepada kami,” gumam Wes, sementara Jared berjuang mencari bantahan. “Bagaimana cara kerjanya?”
Wajah zaitun Wes semakin gelap, seakan ia baru saja menyadari kata-kata itu telah diucapkan keras-keras. “Maksudku, kurasa kau tidak perlu menjawab jika pertanyaanku tidak sopan.”
Aku tertawa. Suasana hatiku berganti-ganti dengan liar, tak terkendali. Mabuk karena kurang tidur, seperti kata Melanie. “Tidak, kau  menanyakan sesuatu… yang tidak pantas. Kami tidak punya pengaturan terperinci… dan rumit… seperti spesies kalian.” Aku kembali tertawa, lalu merasakan wajahku menghangat. Kuingat dengan sangat jelas betapa rumitnya pengaturan itu.
Jangan berpikir kotor.
Itu pikiranmu, ujarku mengingatkan Melanie.
Aku mendesah. “Hanya ada beberapa dari kami yang menjadi… Ibu. Itu sebutan mereka untuk kami. Bukan ibu yang sesungguhnya, tapi kami berpotensi menjadi Ibu…” Aku kembali serius, merenungkannya. Tak ada ibu, tak ada ibu yang bertahan hidup, yang ada hanyalah ingatan-ingatan tentang mereka.
“Kau punya potensi itu?” tanya Jared kaku.
Aku tahu yang lain mendengarkan. Bahkan Doc menghentikan tindakannya meletakkan telinga di dada Kyle.
Aku tidak menjawab pertanyaan Jared. “Kami… agak menyerupai kawanan lebah, atau semut. Banyak sekali anggota keluarga yang tidak memiliki jenis kelamin, lalu ada ratu…”
“Ratu?” ulang Wes, memandangku dengan ekspresi aneh.
“Bukan seperti itu. Tapi hanya ada satu ibu untuk setiap lima sampai sepuluh ribu bangsaku. Terkadang kurang dari itu. Tak ada peraturan yang ketat.”
“Ada berapa banyak pejantan?” tanya Wes.
“Oh, tidak—tidak ada pejantan. Tidak. Sudah kubilang, prosesnya lebih sederhana.”
Mereka menungguku menjelaskan. Aku menelan ludah. Seharusnya aku tidak mengangkat topic ini. Aku tak ingin membicarakannya lagi. Apakah benar-benar menjadi masalah jika Jared memanggilku “mahluk itu”?
Mereka masih menunggu. Aku memberengut, tapi lalu bicara. Akulah yang memulai topic ini. “Ibu… membelah diri. Setiap… selnya—kurasa bisa kaubilang begitu, walaupun struktur kami tidak sama seperti struktur kalian—menjadi jiwa yang baru. Setiap jiwa yang baru membawa sedikit ingatan ibunya—sebagian dari ibunya yang tertinggal.”
“Berapa banyak sel?” tanya Doc penasaran. “Berapa banyak anak?”
Aku mengangkat bahu. “Sekitar satu juta.”
Sejauh pandanganku, semua mata membelalak dan tampak sedikit lebih liar. Aku mencoba untuk tidak merasa terlukka ketika Wes menjauh dariku.
Doc bersiul pelan. Ia satu-satunya yang masih tertarik untuk melanjutkan. Aaron dan Andy menunjukkan ekspresi cemas, bingung. Mereka belum pernah mendengarku mengajar. Belum pernah mendengarku bicara begitu banyak.
“Kapan itu terjadi? Adakah semacam katalisator?” tanya Doc.
“Itu pilihan. Pilihan sukarela,” jawabku. “Satu-satunya cara kami untuk memilih kematian dengan sukarela. Semacam pertukaran, demi generasi baru.”
“Kau bisa memilihnya sekarang? Membelah semua selmu, begitu saja?”
“Tidak persis seperti itu, tapi ya.”
“Rumitkah?”
“Yang rumit adalah keputusannya. Prosesnya… menyakitkan.”
“Menyakitkan?”
Mengapa Doc harus seterkejut itu? Bukankah hal yang sama terjadi pada bangsanya?
Dasar laki-laki, dengus Melanie.
“Menyiksa,” jawabku. “Kami semua ingat apa yang dialami ibu kami.”
Doc mengusap-usap dagu, terpukau. “Aku ingin tahu, itu jalur evolusi macam apa… menghasilkan masyarakat lebah dengan ratu yang bunuh diri…” Ia terhanyut dalam rangkaian pikiran yang lain.
“Altruisme,” gumam Wes.
“Hmm,” ujar Doc. “Ya, tepat.”
Kupejamkan mata, berharap mulutku tetap mengatup. Kepalaku pening. Apakah aku hanya lelah atau apakah itu karena luka di kepalaku?
“Oh,” gumam Doc. “Tidurmu bahkan lebih sedikit daripada tidurku, bukan, Wanda? Kami harus membiarkanmu istirahat.”
“Aku baik-baik saja,” gumamku, tanpa membuka mata.
“Hebat sekali,” bisik seseorang. “Kita punya mahluk luar angkasa, ibu ratu terkutuk, yang tinggal bersama kita. Dia bisa meledak menjadi sejuta serangga baru setiap saat.”
“Sst.”
“Mereka takkan bisa melukai kalian,” ujarku, kepada siapa pun yang baru saja bicara, tanpa membuka mata. “Tanpa tubuh inang, mereka mati dengan cepat.” Aku mengernyit, membayangkan kedukaan yang tak terbayangkan. Sejuta jiwa mungil tak berdaya, bayi perak mungil, layu…
Tak seorang pun berkomentar, tapi bisa kurasakan kelegaan mereka.
Aku lelah sekali. Aku tak peduli Kyle berada satu meter dariku. Aku tak eduli dua di antara para lelaki di ruangan ini akan membela Kyle jika ia sudah tersadar. Aku tidak memedulikan apa pun, kecuali tidur.
Tentu saja Walter terbangun tepat pada saat itu.
“Uuuh,” erangnya, hanya berupa bisikan. “Gladdie?”
Sambil mengerang aku berguling ke arahnya. Rasa sakit di kakiku membuatku mengernyit, tapi aku tak mampu memutar tubuh. Kuulurkan tangan, dan kutemukan tangannya.
“Di sini,” bisikku.
“Ahhh.” Walter mendesah penuh kelegaan.
Doc menyuruh para lelaki yang mulai memprotes untuk diam.
“Wanda telah mengorbankan tidur dan kedamaiannya untuk membantu mengurangi Walter mengurangi rasa sakit. Kedua tangannya memar-memar akibat memegangi tangan Walter. Apa yang sudah kalian perbuat untuk Walter?”
Walter kembali mengerang. Suaranya mula-mula rendah dan parau, tapi dengan cepat berubah jadi erangan bernada tinggi.
Doc mengernyit. “Aaron, Andy, Wes… maukah kaliah, ah, memanggilkan Sharon untukku?”
“Kami semua?”
“Minggat sana,” Jeb menerjemahkan.
(catatanku: “I really love uncle Jeb… hehehe”)
Satu-satunya jawaban yang terdengar hanyalah suara kaki terseret ketika mereka pergi.
“Wanda,” bisik Doc di dekat telingaku. “Walter kesakitan. Aku tak bisa membiarkannya sadar sepenuhnya.”
Kucoba untuk bernapas teratur. “Lebih baik baginya jika dia tidak mengenaliku. Lebih baik baginya jika dia mengira Gladdie berada di sini.”
Kubuka mataku. Jeb berada di samping Walter—wajah Walter masih tampak seakan sedang tidur.
“Selamat tinggal, Walt,” ujar Jeb. “Sampai bertemu di dunia lain.”
Ia melangkah mundur.
“Kau lelaki baik. Semua orang akan merasa kehilangan,” gumam Jared.
Doc membuka bungkusan morfin lagi. Kertasnya bergemersik.
“Gladdie?” isak Walter. “Sakit sekali.”
“Ssst. Tak lama lagi sakitnya akan hilang. Doc akan menghentikannya.”
“Gladdie?”
“Ya?”
“Aku mencintaimu, Gladdie. Aku mencintaimu sepanjang hidupku.”
“Aku tahu, Walter. Aku—aku juga mencintaimu. Kau tahu betapa aku mencintaimu.”
Walter mendesah.
Kupejamkan mata ketika Doc membungkuk di atas tubuh Walter dengan membawa jarum suntik.
“Selamat tidur, Sobat,” gumam Doc.
Jemari Walter berubah santai, lemas. Kugenggam kedua tangannya—kini akulah yang menggayuti Walter.
Menit demi menit berlalu dan semuanya hening, kecuali suara napasku ang tersendat, cenderung terisak pelan.
Seseorang menepuk bahuku. “Dia sudah pergi, Wanda,” ujar Doc. Suaranya parau. “Dia sudah tidak kesakitan.”
Doc melepaskan tanganku dari tangan Walter, dan perlahan-lahan menggulingkan tubuhku dari posisi ganjil menjadi posisi yang lebih tidak menyiksa. Tapi hanya sedikit bedanya. Setelah aku tahu Walter takkan terganggu, tangisku tak lagi pelan. Kupegangi pinggangku yang berdenyut-denyut.
“Oh, silahkan. Kalau itu membuatmu senang,” gumam Jared dengan nada menggerutu. Aku mencoba membuka mata, tapi tak bisa melakukannya.
Sesuatu menusuk lenganku. Aku tak ingat lenganku terluka. Dan di tempat aneh, hanya di siku bagian dalam…
Morfin, bisik Melanie.
Kami sudah mulai tak sadarkan diri. Aku mencoba untuk merasa takut, tapi tak bisa. Aku sudah pergi terlalu jauh.
Tak seorang pun mengucapkan selamat tinggal, pikirku. Aku tak bisa mengharapkan Jared… Tapi Jeb… Doc… Ian taka da di sini…
Tak seorang pun mati, janji Melanie kepadaku. Kali ini kau hanya tidur…
#
Ketika aku terbangun, langit-langit di atasku suram diterangi cahaya bintang. Malam hari. Ada banyak bintang. Aku bertanya-tanya di mana aku berada. Tak ada penghalang-penghalang hitam, taka da potongan langit-langit di dalam pandanganku. Hanya bintang dan bintang dan bintang…
Angin mengipasi wajahku. Baunya seperti… debu dan… sesuatu yang tak bisa kupahami. Ketidakhadiran. Bau apak itu tak ada. Tak ada Sulfur, dan udara sangat kering.
“Wanda?” bisik seseorang, seraya menyentuh pipiku yang tidak cedera.
Mataku menemukan wajah Ian, pucat dalam cahaya bintang, membungkuk di atas tubuhku. Tangan Ian yang menyentuh kulitku lebih sejuk daripada angina sepoi-sepoi. Tapi udara sangat kering, sampai terasa tidak nyaman. Di mana aku?
“Wanda? Kau sudah bangun? Mereka tidak mau menungu lebih lama.”
Aku berbisik, karena Ian juga berbisik. “Apa?”
“Mereka sudah mulai. Aku tahu, kau pasti ingin berada di sini.”
“Dia sudah sadar?” tanya Jeb.
“Apa yang sudah dimulai?” tanyaku.
“Pemakaman Walter.”
Aku mencoba duduk, tapi tubuhku lemah. Tangan Ian berpindah ke keningku, membaringkanku.
Kugerakkan kepalaku di bawah telapak tangannya, mencoba melihat…
Aku berada di luar.
Di luar.
Di kiriku tumpukan batu kasar tak beraturan membentuk gunung kecil, lengkap dengan semak-semak pendeknya. Di kananku dataran padang gurun membentang sampai lenyap dalam kegelapan. Aku menunduk, memandang melewati kakiku, dan melihat kerumunan manusia yang merasa tidak nyaman di udara terbuka. Aku tahu persis apa yang mereka rasakan. Terekspos.
Aku mencoba bangkit. Aku ingin berada lebih dekat, untuk menyaksikan. Tangan Ian menahanku.
“Tenanglah,” katanya. “Jangan mencoba berdiri.”
“Bantu aku,” ujarku memohon.
“Wanda?”
Aku mendengar suara Jamie, lalu melihatnya, rambutnya memantul-mantul ketika ia berlari ke tempatku terbaring.
“Mereka tidak menunggu,” ujar Jamie kepada Ian. “Sebentar lagi selesai.”
“Bantu aku berdiri,” kataku.
Jamie meraih tanganku, tapi Ian menggeleng. “Aku bisa.”
Ian menyelipkan kedua lengannya ke bawah tubuhku, dengan sangat berhati-hati, untuk menghindari tempat-tempat yang paling sakit. Ia mengangkatku dari tanah, kepalaku berputar-putar seperti kapal nyaris karam. Aku mengerang.
“Apa yang dilakukan Doc kepadaku?”
“Dia memberimu sedikit morfin yang tersisa, sehingga bisa memeriksa tanpa menyakitimu. Lagi pula kau perlu tidur.”
Aku memberengut, tidak setuju. “Bukankah orang lain akan lebih memerlukan morfin itu?”
“Sst,” ujar Ian, dan aku bisa mendengar suara rendah di kejauhan. Kutolehkan kepalaku.
Aku bisa melihat kumpulan manusia itu lagi. Mereka berdiri di mulut lubang terbuka, rendah, dan gelap, yang dibentuk angina di bawah tumpukan batu yang tampak tidak stabil. Mereka berdiri dalam barisan tak teratur, menghadap gua teduh itu.
Aku mengenali suara Trudy.
“Walter selalu melihat sisi cerah segala sesuatu. Ia bisa melihat sisi cerah lubang hitam. Itu akan kurindukan.”
Kulihat sesosok tubuh melangkah maju, kulihat ayunan kepang rambut hitam keabu-auan ketika sosok itu bergerak, dan aku menyaksikan Trudy melempar segenggam sesuatu ke dalam gelap. Pasir menyebar dari jemarinya, jatuh ke tanah dengan bunyi berdesis perlahan.
Trudy kembali dan berdiri di samping suaminya. Geoffrey bergerak menjauhinya, melangkah maju ke lubang hitam.
“Kini dia akan bertemu Gladys-nya. Dia lebih berbahagia di tempatnya sekarang.” Geoffrey melempar segenggam pasir.
Ian membopongku ke kanan barisan, cukup dekat untuk melihat ke dalam gua suram itu. Ada lubang yang lebih gelap di hadapan kami, bentuknya persegi panjang besar, dan seluruh populasi manusia itu berdiri mengelilinginya, membentuk setengah lingkaran tak beraturan.
Semua ada di sana—semua orang.
Kyle melangkah maju.
Aku gemetar, dan Ian meremas pelan tanganku.
Kyle tidak memandang kea rah kami. Kulihat wajahnya dari samping; mata kanannya bengkak sampai nyaris menutup.
“Walter mati sebagai manusia,” ujar Kyle. “Tak seorang pun dari kami bisa meminta lebih dari itu.” Ia melempar segenggam pasir ke lubang gelap itu.
Lalu Kyle kembali bergabung dengan kelompok itu.
Jared berdiri di sampingnya. Ia melangkah sebentar, berhenti di bibir makam Walter.
“Walter sangat baik hati. Tak seorang pun dari kami bisa menandinginya.” Ia melemparkan pasirnya.
Jamie melangkah maju, Jared menepuk bahunya saat mereka berpapasan.
“Walter pemberani,” ujar Jamie. “Dia tidak takut mati, dia tidak takut hidup, dan… dia tidak takut untuk percaya. Dia membuat keputusan-keputusannya sendiri, dan dia membuat keputusan-keputusan yang baik.” Jamie melemparkan pasirnya. Ia berbalik, berjalan kembali, sepanjang itu matanya terpaku padaku.
“Giliranmtimuu,” bisik Jamie, ketika sudah ada di sampingku.
Andy sudah bergerak maju, dengan sekop di tangan.
“Tunggu,” ujar Jamie, dengan suara rendah yang terdengar di dalam keheningan. “Wanda dan Ian belum mengucapkan apa-apa.”
“Kita harus saling menghormati,” ujar Jeb, suaranya lebih keras daripada suara Jamie. Rasanya terlalu keras buatku.
Insting pertamaku adalah memberi isyarat pada Andy untuk melanjutkan, dan meminta Ian membawaku pergi. Ini duka manusia, bukan dukaku.
Tapi aku memang berduka. Dan aku memang ingin mengatakan sesuatu.
“Ian, bantu aku mengambil pasir.”
Ian berjongkok sehingga aku bisa mengambil segenggam kerikil di kaki kami. Ia memindahkan bobot tubuhku ke lututnya, sehingga ia bisa mengambil pasir juga. Lalu ia menegakkan tubuh dan membopongku ke tepi makam.
Aku tidak bisa melihat ke dalam lubang. Tampak gelap di bawah naungan batu, dan sepertinya makam itu sangat dalam. Ian mulai bicara sebelum aku bisa melakukannya.
“Walter manusia terbaik dan paling bijak,” ujarnya, lalu ia menyebarkan pasirnya ke lubang. Rasanya lama sekali sebelum aku mendengar pasir itu berdesis menimpa dasar lubang.
Ian menunduk memandangku.                  
Suasana benar-benar hening di malam berpenerangan cahaya bintang itu. Bahkan angin pun tenang. Aku berbisik, tapi aku tahu suaraku terdengar semua orang.
“Tak ada kebencian di dalam hatimu,” bisikku. “Keberadaanmu membuktikan kami keliru. Kami tak punya hak untuk mengambil duniamu darimu, Walter. Kuharap dongeng-dongengmu benar. Kuharap kau menemukan Gladdie-mu.”
Kubiarkan batu-batu itu bergulir dari jemariku, dan kutunggu sampai aku mendengar batu-batu itu jatuh dengan bunyi pelan di atas tubuh Walter yang tampak samar-samar dalam kuburan gelap dan dalam itu.
Begitu Ian melangkah mundur, Andy langsung bekerja. Ia menyekop gundukan tanah pucat berdebu yang menumpuk beberapa puluh sentimeter jauhnya, lalu memasukkannya ke lubang. Muatan sekop itu jatuh dengan bunyi berdebum, bukan berdesis. Suaranya membuatku kecut.
Aaron melangkah melewati kami dengan sekop lain. Ian berbalik perlahan-lahan dan membopongku pergi untuk memberi mereka tempat. Bunyi berdebum keras tanah yang jatuh menggema di belakang kami. Suara-suara  rendah mulai terdengar. Aku mendengar suara langkah ketika orang-orang berkumpul, berdesak-desakan untuk membahas pemakaman itu.
Aku benar-benar memandang Ian untuk pertama kali ketika ia berjalan kembali ke Kasur gelap di tanah terbuka itu. Ekspresinya seakan salah tempat, dan bukan miliknya. Wajah Ian dikotori debu pucat, ekspresinya lelah, dan aku pernah melihat wajahnya seperti itu sebelumnya. Aku tak bisa ingat kapan, ketika Ian meletakkanku kembali ke atas Kasur dan perhatianku teralihkan. Apa yang seharusnya kulakukan di luar sini, di tempat terbuka? Tidur? Doc berada persis di belakang kami; Doc dan Ian sama-sama berlutut di pasir di sebelahku.
“Bagaimana perasaanmu?” tanya Doc, meraba bagian samping tubuhku.
Aku ingin duduk, tapi Ian menekan bahuku ketika aku mencoba.
“Aku baik-baik saja. Kurasa aku bisa berjalan…”
“Tak perlu memaksakan diri. Istirahatkan kaki itu selama beberapa hari, oke?” Doc menarik kelopak mataku ke atas, dan menyorotkan senter mungilnya ke sana. Mata kananku melihat refleksi cemerlang yang menari-nari di wajah Doc. Doc mengalihkan pandangan dari cahaya itu, menjauh beberapa senti. Tangan Ian di bahuku tetap tidak bergerak. Itu mengejutkanku.
“Hmm. Itu tidak membantu diagnosis, bukan? Bagaimana kepalamu?” tanya Doc.
“Sedikit pening. Tapi kurasa karena obat-obatan yang kau berikan kepadaku, bukan karena lukanya. Aku tidak suka obat-obatan itu—kurasa aku lebih suka merasakan sakit.”
Doc meringis. Begitu juga Ian.
“Apa?” desakku.
“Aku hendak membuatmu tak sadarkan diri lagi, Wanda. Maaf.”
“Tapi… mengapa?” bisikku. “Aku tidak sesakit itu. Aku tidak ingin—“
“Kami harus membawamu kembali ke dalam,” ujar Ian, menyelaku. Suaranya rendah, seakan tak ingin yang lain mendengar. Aku bisa mendengar suara-suara di belakang kami, menggema pelan dari batu-batu. “Kami berjanji… kau akan tidak sadarkan diri.”
“Tutup saja mataku lagi.”
Doc mengeluarkan jarum suntik mungil dari saku. Isinya tinggal seperempat. Aku menjauh, mendekatkan diri pada Ian. Tangannya di bahuku menahanku.
“Kau mengenal gua itu dengan sangat baik,” gumam Doc. “Mereka tak ingin kau punya peluang untuk menebak…”
“Tapi ke mana aku akan pergi?” bisikku. Suaraku panic. “Kalaupun aku tahu jalan keluar? Mengapa aku ingin pergi sekarang?”
“Kalau itu menenangkan pikiran mereka…,” ujar Ian.
Doc meraih pergelangan tanganku, dan aku tidak melawan. Aku berpaling ketika jarum menusuk kulitku. Kupandang Ian. Matanya kelam dalam gelap, dan menegang ketika aku menuduhnya sebagai pengkhianat dengan tatapanku.
“Maaf,” gumam Ian. Itu hal terakhir yang kudengar.







0 comments on "The Host- Bab 34"

Post a Comment