Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara

Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara
Harga mulai 5rb an. Gratis ongkir DKI Jakarta

99 Cahaya di Langit Eropa - Bab 1

Hari itu, medio Maret 2008, adalah hari-hari pertamaku menginjak bumi Eropa. Aku mengikuti suamiku Rangga yang mendapatkan beasiswa studi doktoral di Wina, Austria.
Aku datang menyusul 4 bulan setelah suamiku menyelesaikan semua administrasi untuk bisa mengundangku. Sebagai pendatang baru, aku bertekad untuk menghabiskan waktuku dengan berjalan-jalan mengelilingi kota Wina sambil menunggu panggilan kerja di kampus Rangga.
Pada Maret, seharusnya hawa sudah lebih menghangat. Seharusnya pegawai pertamanan mulai menanam bunga warna-warni di alun-alun dan di setiap sudut kota. Seharusnya burung-burung sudah berkicau menyambut matahari yang terlalu irit cahaya pada 6 bulan sebelumnya. Tetapi nyatanya itu tidak terjadi. Tuhan Yang Merajai perubahan alam membuat manusia kecele akan hitung-hitungan cuaca di Eropa. Hawa Maret kali itu dingin tak terkira menusuk tulang. Angin perubahan musim berembus memperburuk keadaan. Burung - burung enggan bernyanyi karena tenggorokan mereka kering dan gatal.
Penghangat di bawah jok bus yang aku tumpangi tak kuasa menantang udara dingin kali itu. Aku terus berusaha menyusutkan badan di dalam mantel musim dinginku. mantel yang cukup tebal dan seharusnya bisa melindungiku dari hawa dingin. Toh aku tetap merinding kedinginan.
"Itu karena suhu tubuhmu masih dalam penyesuaian, Hanum," kata Fatma yang duduk di sebelahku. Kuperkenalkan, Fatma Pasha. Kawan seperjalananku ke sebuah tempat baru di Wina.
Baru dua minggu kami berkenalan. Dan pucuk dicinta ulam tiba, dia seakan tahu aku perlu seorang penunjuk jalan untuk menyusuri sudut-sudut kota Wina.

 
Fatma adalah kawan baruku di kelas Bahasa Jerman di sebuah kursus singkat yang diselenggarakan oleh pemerintah Austria. Di dalam kelas, kami bertemu dengan para pendatang lain di Austria. Sebagian besar murid di kelas itu adalah para pendatang dari Eropa Timur. Hanya aku dan Fatma yang berwajah nonbule.
Meski Fatma juga pemula dalam bahasa Jerman, aku bersandar padanya untuk urusan jalan-jalan kali ini. Peta Wina sudah lekat diingatnya karena dia jauh lebih lama tinggal di Wina untuk ikut suaminya. Lucunya, meski sudah 3 tahun tinggal di Austria, dia masih harus mengenyam kursus Jerman level A1 sepertiku. Bagaimana mungkin?
Alasannya satu, dia tak punya kegiatan yang mendekatkannya pada komunikasi bahasa Jerman sehari-hari. Dia tak bekerja, dia juga tak bersekolah.
"Karena ini, Hanum," ucap Fatma sambil mengarahkan telunjuknya ke kepala.
"Mungkin...," Fatma berhenti bicara seolah mencari ide di kepalanya. "Karena aku berhijab. Aku tak pernah mendapatkan balasan dari perusahaan tempat aku melayangkan lamaran pekerjaan. Jika harus bersekolah, aku tak mampu mengeluarkan biaya," ucap Fatma lirih.
Itulah Fatma, potret seorang imigran Turki di Austria. Pada usia produktif 29 tahun, dia jatuh bangun mengalami puluhan surat lamaran pekerjaan. Karena sehelai kain penutup tempurung kepala yang tampak dalam pas foto curriculum vitae-nya, dia tertolak untuk bekerja secara profesional. paling tidak, itulah pengakuan Fatma kepadaku.
Kami bercakap-cakap lama dalam bus. Sesekali Fatma mencoba mengalihkan pembicaraan dengan menunjukkan padaku panorama di luar jendela. Indah memang pemandangan kali itu. Kali pertama aku melihat gunungan tipis putih membubuh di atas daun-daun yang berusaha kembali bersemi. Putih seperti bunga es dala kulkas. Sebagian besar telah mengeras menjadi kristal es. Setiap ban bus melindasnya, bunyi gemeretak pun berdecak-decak. Oh, ini yang namanya salju.
Salju kali itu adalah yang pertama kulihat di Eropa. Tapi salju ini bukanlah salju segar yang diluruhkan langit tadi malam. Salju ini salju terakhir yang masih berusaha bertahan di tengah asumsi musim semi yang akan segera tiba. Hamparan sisa-sisa salju yang berserakan di daun-daun ini hampir saja membuatku terbuai. Melupakan sebuah pertanyaan yang sempat hinggap di kepala tentang dilema yang dialami Fatma, sebelum akhirnya pertanyaan itu kembali berkelebat di otakku.
"Fatma, maaf jika aku menyinggungmu. Kenapa kau tak berpikir, mungkin mmm...kualifikasimu kurang sesuai, atau pengalaman kerjamu kurang sehingga perusahaan di sini tidak menerimamu?" ucapku terbata-bata. Terbata-bata karena takut menyinggung perasaannya. Terbata-bata karena memang kemampuan bahasa Jermanku masih berada di dasar laut.
"Ah, tadinya kupikir juga demikian, Hanum. Sampai kuturunkan pilihanku. Katakan padaku, apakah profesionalitas dan kompetensi sangat dibutuhkan sekadar untuk menjadi portir dalam dapur?"
Aku terdiam. Portir di dapur. Aku melihat diriku sendiri. Aku sendiri tak berjilbab. Bagaimanapun, aku akan berpikir berkali-kali untuk mengambil pekerjaan sehari-hari mengangkat-angkat barang berat, atau gampangnya menjadi buruh kasar perempuan. Namun untuk Fatma, meski dia telah rela menjadi buruh agar tetap bisa bekerja, perusahaan-perusahaan di Austria tetap menolaknya.
Entah mengapa aku tertarik berdiskusi tentang isu jilbab dan pekerjaan ini dengan Fatma. Rasanya penasaran saja. Di Indonesia, perempuan berjilbab bisa berkarier sampai puncak. Di Eropa? Apalagi di Austria? Bagi Fatma, meski mendapatkan izin bekerja dari pemerintah dan juga dari suaminya, tetap tak ada artinya. Musykil perusaan di Austria mau menerimanya. Dia harus mengubur dalam-dalam harapan menjadi perempuan yang mengenal dunia kerja Sekarang tekadnya hanya satu: menjadi perempuan solehah yang menjaga keluarga dan keharmonisan rumah tangga. Itu saja, katanya.
"Fatma, kauambil sisi baiknya. Jika kau bekerja, siapa yang akan mengurusnya?" tanganku menunjuk bocah perempuan yang tertidur lelap di sebelahnya, yang tak lain adalah Ayse, anak Fatma yang berusia 3 tahun. Fatma tersenyum sambil mengelus-elus rambut putri semata wayangnya. Dia menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. Aku tahu dia sedang berpikir bahwa perkataanku mungkin ada benarnya.
http://ceritanovelonline.blogspot.com
Perjalanan ke tempat baru di Austria ini adalah ide Fatma saat pertemuan hari pertama di kelas bahasa Jerman. Aku selalu yakin, berkenalan dengan orang baru itu harus dengan cara yang mengesankan. Bagiku kalimat: "Hai, namaku Hanum. Namamu siapa? Senang berrkenalan denganmu" terdengar sangat membosankan. Kurang memberi impresi terhadap calon kawan.
Karena itu kusorongkan coklat bergambar sapi terlilit lonceng kepada Fatma yang duduk di sebelahku, "Magst du schokolade. Maukah kau cokelat ini?" tanyaku sambil mempraktikan bahasa Jerman dasarku. Kubuka sedikit kecemasan cokelat yang langsung  menyembulkan batang-batang cokelat dari balik lapisan dalamnya.
"Ah, Milka!" Fatma tampaknya kenal akrab dengan nama cokelat ini.
"Ich mag Milka gern. Aber...danke, Ich faste. Saya sangat suka cokelat Milka. Tapi...terima kasih, saya sedang berpuasa," jawab Fatma santun.
Tadinya aku agak kecewa karena penawaranku ditolaknya. Namun aku senang, karena penolakannya didasarkan sebuah ibadah yang aku tahu benar maknanya. Sejurus kemudian, kututup lagi kemasan cokelat yang sudah terlanjut robek itu, lalu kujulurkan kembali kepada Fatma.
"Ambillah untuk berbuka puasa nanti. Kau berpuasa Senin-Kamis, ya?"
Fatma terlihat begitu girang mendengar responku yang paham tentang puasa yang dilakoninya. Dengan bahasa Jerman seadanya, jadilah kami kawan dekat sejak itu. Fatma menjadi rahmat buatku. Rahmat pertemanan dari sebatang cokelat.

 

Setiap istirahat kelas yang berdurasi 15 menit, Fatma mengajakku shalat zuhur berjamaah. Awalnya aku kebingungan, mana mungkin institusi sekuler semacam kursus bahasa ini menyediakan langgar atau mushala? Tidak mudah menemukan tempat ibadah shalat di Eropa. Namun Fatma panjang akal. Dia menemukan sebuah tempat--walau kurang representatif untuk shalat, tetapi suasana di sana cukup khidmat--yaitu ruang penitipan bayi dan anak para peserta kursus bahasa. Setiap kali kursus, kami berdua shalat zuhur, menyempil di antara bayi dan balita yang tengah tergeletak tertidur pulas. Dengkuran dan dengusan lirih bayi mungil justru membuat shalat kami semakin khusyuk.
Karena aku muslimah, Fatma merasa mempunyai saudara dekat di kelas tersebut. Karena itu juga dia merelakan waktu akhir pekannya untuk mengajakku berkeliling kota. Memamerkan kota Wina kepada pendatang baru, tepatnya.
"Kau pernah melihat kecantikan kota Wina dari atas gunung, Hanum? Kalau belum, esok selesai kelas kau harus melihatnya!" Itulah ajakan jalan-jalan Fatma pertama kali di kelas.

0 comments:

Post a Comment

Jual Nugget dan Sosis Sayur

Jual Nugget dan Sosis Sayur
Pemesanan via email : lwati111@gmail.com

99 Cahaya di Langit Eropa - Bab 1

Hari itu, medio Maret 2008, adalah hari-hari pertamaku menginjak bumi Eropa. Aku mengikuti suamiku Rangga yang mendapatkan beasiswa studi doktoral di Wina, Austria.
Aku datang menyusul 4 bulan setelah suamiku menyelesaikan semua administrasi untuk bisa mengundangku. Sebagai pendatang baru, aku bertekad untuk menghabiskan waktuku dengan berjalan-jalan mengelilingi kota Wina sambil menunggu panggilan kerja di kampus Rangga.
Pada Maret, seharusnya hawa sudah lebih menghangat. Seharusnya pegawai pertamanan mulai menanam bunga warna-warni di alun-alun dan di setiap sudut kota. Seharusnya burung-burung sudah berkicau menyambut matahari yang terlalu irit cahaya pada 6 bulan sebelumnya. Tetapi nyatanya itu tidak terjadi. Tuhan Yang Merajai perubahan alam membuat manusia kecele akan hitung-hitungan cuaca di Eropa. Hawa Maret kali itu dingin tak terkira menusuk tulang. Angin perubahan musim berembus memperburuk keadaan. Burung - burung enggan bernyanyi karena tenggorokan mereka kering dan gatal.
Penghangat di bawah jok bus yang aku tumpangi tak kuasa menantang udara dingin kali itu. Aku terus berusaha menyusutkan badan di dalam mantel musim dinginku. mantel yang cukup tebal dan seharusnya bisa melindungiku dari hawa dingin. Toh aku tetap merinding kedinginan.
"Itu karena suhu tubuhmu masih dalam penyesuaian, Hanum," kata Fatma yang duduk di sebelahku. Kuperkenalkan, Fatma Pasha. Kawan seperjalananku ke sebuah tempat baru di Wina.
Baru dua minggu kami berkenalan. Dan pucuk dicinta ulam tiba, dia seakan tahu aku perlu seorang penunjuk jalan untuk menyusuri sudut-sudut kota Wina.

 
Fatma adalah kawan baruku di kelas Bahasa Jerman di sebuah kursus singkat yang diselenggarakan oleh pemerintah Austria. Di dalam kelas, kami bertemu dengan para pendatang lain di Austria. Sebagian besar murid di kelas itu adalah para pendatang dari Eropa Timur. Hanya aku dan Fatma yang berwajah nonbule.
Meski Fatma juga pemula dalam bahasa Jerman, aku bersandar padanya untuk urusan jalan-jalan kali ini. Peta Wina sudah lekat diingatnya karena dia jauh lebih lama tinggal di Wina untuk ikut suaminya. Lucunya, meski sudah 3 tahun tinggal di Austria, dia masih harus mengenyam kursus Jerman level A1 sepertiku. Bagaimana mungkin?
Alasannya satu, dia tak punya kegiatan yang mendekatkannya pada komunikasi bahasa Jerman sehari-hari. Dia tak bekerja, dia juga tak bersekolah.
"Karena ini, Hanum," ucap Fatma sambil mengarahkan telunjuknya ke kepala.
"Mungkin...," Fatma berhenti bicara seolah mencari ide di kepalanya. "Karena aku berhijab. Aku tak pernah mendapatkan balasan dari perusahaan tempat aku melayangkan lamaran pekerjaan. Jika harus bersekolah, aku tak mampu mengeluarkan biaya," ucap Fatma lirih.
Itulah Fatma, potret seorang imigran Turki di Austria. Pada usia produktif 29 tahun, dia jatuh bangun mengalami puluhan surat lamaran pekerjaan. Karena sehelai kain penutup tempurung kepala yang tampak dalam pas foto curriculum vitae-nya, dia tertolak untuk bekerja secara profesional. paling tidak, itulah pengakuan Fatma kepadaku.
Kami bercakap-cakap lama dalam bus. Sesekali Fatma mencoba mengalihkan pembicaraan dengan menunjukkan padaku panorama di luar jendela. Indah memang pemandangan kali itu. Kali pertama aku melihat gunungan tipis putih membubuh di atas daun-daun yang berusaha kembali bersemi. Putih seperti bunga es dala kulkas. Sebagian besar telah mengeras menjadi kristal es. Setiap ban bus melindasnya, bunyi gemeretak pun berdecak-decak. Oh, ini yang namanya salju.
Salju kali itu adalah yang pertama kulihat di Eropa. Tapi salju ini bukanlah salju segar yang diluruhkan langit tadi malam. Salju ini salju terakhir yang masih berusaha bertahan di tengah asumsi musim semi yang akan segera tiba. Hamparan sisa-sisa salju yang berserakan di daun-daun ini hampir saja membuatku terbuai. Melupakan sebuah pertanyaan yang sempat hinggap di kepala tentang dilema yang dialami Fatma, sebelum akhirnya pertanyaan itu kembali berkelebat di otakku.
"Fatma, maaf jika aku menyinggungmu. Kenapa kau tak berpikir, mungkin mmm...kualifikasimu kurang sesuai, atau pengalaman kerjamu kurang sehingga perusahaan di sini tidak menerimamu?" ucapku terbata-bata. Terbata-bata karena takut menyinggung perasaannya. Terbata-bata karena memang kemampuan bahasa Jermanku masih berada di dasar laut.
"Ah, tadinya kupikir juga demikian, Hanum. Sampai kuturunkan pilihanku. Katakan padaku, apakah profesionalitas dan kompetensi sangat dibutuhkan sekadar untuk menjadi portir dalam dapur?"
Aku terdiam. Portir di dapur. Aku melihat diriku sendiri. Aku sendiri tak berjilbab. Bagaimanapun, aku akan berpikir berkali-kali untuk mengambil pekerjaan sehari-hari mengangkat-angkat barang berat, atau gampangnya menjadi buruh kasar perempuan. Namun untuk Fatma, meski dia telah rela menjadi buruh agar tetap bisa bekerja, perusahaan-perusahaan di Austria tetap menolaknya.
Entah mengapa aku tertarik berdiskusi tentang isu jilbab dan pekerjaan ini dengan Fatma. Rasanya penasaran saja. Di Indonesia, perempuan berjilbab bisa berkarier sampai puncak. Di Eropa? Apalagi di Austria? Bagi Fatma, meski mendapatkan izin bekerja dari pemerintah dan juga dari suaminya, tetap tak ada artinya. Musykil perusaan di Austria mau menerimanya. Dia harus mengubur dalam-dalam harapan menjadi perempuan yang mengenal dunia kerja Sekarang tekadnya hanya satu: menjadi perempuan solehah yang menjaga keluarga dan keharmonisan rumah tangga. Itu saja, katanya.
"Fatma, kauambil sisi baiknya. Jika kau bekerja, siapa yang akan mengurusnya?" tanganku menunjuk bocah perempuan yang tertidur lelap di sebelahnya, yang tak lain adalah Ayse, anak Fatma yang berusia 3 tahun. Fatma tersenyum sambil mengelus-elus rambut putri semata wayangnya. Dia menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. Aku tahu dia sedang berpikir bahwa perkataanku mungkin ada benarnya.
http://ceritanovelonline.blogspot.com
Perjalanan ke tempat baru di Austria ini adalah ide Fatma saat pertemuan hari pertama di kelas bahasa Jerman. Aku selalu yakin, berkenalan dengan orang baru itu harus dengan cara yang mengesankan. Bagiku kalimat: "Hai, namaku Hanum. Namamu siapa? Senang berrkenalan denganmu" terdengar sangat membosankan. Kurang memberi impresi terhadap calon kawan.
Karena itu kusorongkan coklat bergambar sapi terlilit lonceng kepada Fatma yang duduk di sebelahku, "Magst du schokolade. Maukah kau cokelat ini?" tanyaku sambil mempraktikan bahasa Jerman dasarku. Kubuka sedikit kecemasan cokelat yang langsung  menyembulkan batang-batang cokelat dari balik lapisan dalamnya.
"Ah, Milka!" Fatma tampaknya kenal akrab dengan nama cokelat ini.
"Ich mag Milka gern. Aber...danke, Ich faste. Saya sangat suka cokelat Milka. Tapi...terima kasih, saya sedang berpuasa," jawab Fatma santun.
Tadinya aku agak kecewa karena penawaranku ditolaknya. Namun aku senang, karena penolakannya didasarkan sebuah ibadah yang aku tahu benar maknanya. Sejurus kemudian, kututup lagi kemasan cokelat yang sudah terlanjut robek itu, lalu kujulurkan kembali kepada Fatma.
"Ambillah untuk berbuka puasa nanti. Kau berpuasa Senin-Kamis, ya?"
Fatma terlihat begitu girang mendengar responku yang paham tentang puasa yang dilakoninya. Dengan bahasa Jerman seadanya, jadilah kami kawan dekat sejak itu. Fatma menjadi rahmat buatku. Rahmat pertemanan dari sebatang cokelat.

 

Setiap istirahat kelas yang berdurasi 15 menit, Fatma mengajakku shalat zuhur berjamaah. Awalnya aku kebingungan, mana mungkin institusi sekuler semacam kursus bahasa ini menyediakan langgar atau mushala? Tidak mudah menemukan tempat ibadah shalat di Eropa. Namun Fatma panjang akal. Dia menemukan sebuah tempat--walau kurang representatif untuk shalat, tetapi suasana di sana cukup khidmat--yaitu ruang penitipan bayi dan anak para peserta kursus bahasa. Setiap kali kursus, kami berdua shalat zuhur, menyempil di antara bayi dan balita yang tengah tergeletak tertidur pulas. Dengkuran dan dengusan lirih bayi mungil justru membuat shalat kami semakin khusyuk.
Karena aku muslimah, Fatma merasa mempunyai saudara dekat di kelas tersebut. Karena itu juga dia merelakan waktu akhir pekannya untuk mengajakku berkeliling kota. Memamerkan kota Wina kepada pendatang baru, tepatnya.
"Kau pernah melihat kecantikan kota Wina dari atas gunung, Hanum? Kalau belum, esok selesai kelas kau harus melihatnya!" Itulah ajakan jalan-jalan Fatma pertama kali di kelas.

0 comments on "99 Cahaya di Langit Eropa - Bab 1"

Post a Comment