Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara

Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara
Harga mulai 5rb an. Gratis ongkir DKI Jakarta

The Host - Bab 11

Dehidrasi

"Oke! Kau benar, kau benar!" Kuucapkan kata-kata itu keras-keras. Tak seorang pun akan mendengar.
Melanie tidak mengatakan, "Kubilang juga apa." Setidaknya tidak dengan begitu banyak kata. Tapi aku bisa merasakan tuduhannya dalam sikap diamnya.

Aku masih tidak rela meninggalkan mobil, walaupun kini benda itu tak berguna bagiku. Ketika bensinnya habis, kubiarkan mobil itu tetap melaju sampai menukik ke jurang dangkal--anak sungai yang tercipta akibat hujan lebat terakhir. Kini aku memandang lewat kaca depan, menatap dataran luas kosong dan merasakan perutku terpilin kepanikan.

Kita harus bergerak, Wanderer. Udara akan jadi semakin panas. Kalau aku tidak memboroskan lebih dari seperempat tangki bensin dengan berkeras menuju bagian dasar petunjuk kedua--dan menemukan ternyata petunjuk ketiga tidak terlihat lagi dari sana sehingga kami harus berputar dan kembali menelusuri jalan semula--kami pasti sudah jauh sekali menyusuri sungai berpasir ini, begitu dekat dengan tujuan kami selanjutnya. Berkat diriku, sekarang kami harus berjalan kaki.

Dengan gerakan ekstra hati-hati aku memasukkan air sebotol demi sebotol ke dalam tas. Kutambahkan granola-granola batangan yang tersisa dengan gerakan sama pelannya. Sementara itu Melanie ingin sekali aku bergegas. Ketidaksabarannya membuatku sulit berpikir, membuatku sulit berkonsentrasi pada apa pun. Misalnya apa yang akan terjadi pada kami.


Ayo, ayo, ayo, katanya berulang-ulang, sampai aku keluar dari mobil dengan kaku dan canggung. Punggungku berdenyut-denyut ketika menegakkan tubuh. Nyeri akibat tidur meringkuk semalam, bukan karena bobot tas. Tasnya tidak terlalu berat ketika aku menggunakan kedua bahu untuk mengangkatnya.

Sekarang tutupi mobilnya, perintah Melanie. Ia membayangkan diriku mematahkan dahan-dahan berduri tanaman creosote dan palo verde terdekat, lalu mengatur semua itu di atas kap perak mobil.

"Kenapa?"
Nada suara Melanie mengimplikasikan aku cukup tolol karena tidak mengerti. Supaya tak seorang pun menemukan kita. Tapi bagaimana jika aku ingin ditemukan? Bagaimana jika tidak ada apa-apa di luar sini, kecuali panas dan debu? Mustahil kita bisa pulang ke rumah?
Rumah?
ia bertanya sambil melemparkan gambaran-gambaran muram kepadaku: apartemen kosong di San Diego, ekspresi wajah Pencari yang paling menjijikkan, titik berlabel Tucson di peta... dan sekelebat ngarai merah yang lebih membahagiakan--gambaran yang lolos tanpa sengaja. Di manakah itu?


Aku berbalik memunggungi mobil, mengabaikan nasihat Melanie. Aku sudah terlibat terlalu jauh. Aku takkan menyerahkan semua harapan untuk kembali. Mungkin seseorang akan menemukan mobil itu, lalu menemukanku. Dengan mudah dan jujur aku bisa menjelaskan kepada regu penyelamat apa yang kulakukan di sini: aku tersesat. Aku kehilangan arah... kehilangan kontrol... kehilangan akal sehat.

Pertama-tama kuikuti sungai itu, dan kubiarkan tubuhku mengikuti irama langkah panjang alaminya. Itu bukan caraku melangkah di trotoar dalam perjalanan ke dan dari universitas. Sama sekali bukan gaya berjalanku. Tapi gaya itu cocok dengan tanah berbatu di sini, dan bisa dengan lancar menggerakanku maju dengan kecepatan mengejutkan, sampai aku terbiasa.

"Bagaimana kalau aku tidak pergi ke sini?" aku bertanya-tanya seraya berjalan semakin jauh memasuki tanah tandus padang gurun. "Bagaimana kalau Penyembuh Fords masih di Chicago? Bagaimana kalau jalanku tidak membawa kita lebih dekat kepada mereka?"

Yang membuatku tidak mungkin menolak rencana tolol ini adalah desakan itu, bujukan itu, pikiran bahwa Jared dan Jamie mungkin berada tepat di sini, di suatu tempat di tanah kosong ini.

Entahlah, aku Melanie. Kurasa aku masih akan tetap berusaha, tapi aku takut ketika jiwa-jiwa lain ada di dekatku. Aku masih takut. Memercayaimu bisa membunuh mereka berdua.
Kami sama-sama tersentak membayangkannya.
Tapi berada di sini, begitu dekat... Kelihatannya seolah aku harus berusaha. Kumohon--sekonyong-konyong Melanie memintaku, memohon, tak ada sisa-sisa kemarahan di dalam pikirannya--kumohon, jangan gunakan ini untuk melukai mereka. Kumohon.

"Aku tidak ingin... Aku tidak tahu apakah aku sanggup melukai mereka. Aku lebih suka..."
Apa? Mati sendiri? Daripada menyerahkan beberapa gelintir manusia kepada Pencari?

Sekali lagi kami tersentak membayangkannya. Tapi rasa jijikku terhadap gagasan itu menghibur Melanie. Dan itu jauh lebih menakutkan daripada menghibur Melanie.
Ketika sungai mulai berkelok terlalu jauh ke utara, Melanie menyarankan agar kami melupakan jalan setapak datar pucat itu dan mengambil jalan langsung ke petunjuk ketiga, yaitu tonjolan batu di timur yang seakan menunjuk, seperti jari, ke langit tak berawan.

Aku tak suka meninggalkan sungai, persis seperti penolakanku tadi untuk meninggalkan mobil. Aku bisa berbalik menyusuri kembali sungai ini sampai ke jalan, lalu menyusuri jalan untuk kembali ke jalan raya. Jaraknya berkilo-kilometer, dan akan makan waktu berhari-hari bagiku untuk melintasinya. Tapi setelah melangkah pergi dari sungai ini, secara resmi aku tersesat.

Yakinlah, Wanderer. Kita akan menemukan Uncle Jeb, atau ia akan menemukan kita.
Kalau ia masih hidup,
imbuhku. Aku mendesah ketika menyimpang dari jalan setapak sederhana itu menuju semak-semak yang sama persis di segala arah. Keyakinan bukanlah konsep yang kukenal. Aku tak tahu apakah aku memercayainya.
Bagaimana dengan percaya?
Kepada siapa? Kau?
Aku tertawa. Udara panas memanggang tenggorokanku ketika aku menghela napas.
Bayangkan saja, ujar Melanie, mengubah pokok pembicaraan, <i.mungkin malam ini kita akan berjumpa dengan mereka.


Kerinduan itu milik kami berdua. Gambaran wajah mereka--yang satu laki-laki, satunya anak-anak--muncul dari ingatan kami. Ketika berjalan lebih cepat, aku tidak yakin apakah diriku yang benar-benar memegang kendali atas gerakan itu.

Memang semakin panas--lalu semakin panas, lalu lebih panas lagi. Keringat membuat rambutku lepek dan T-Shirt kuning pucatku menempel tidak nyaman jika tersentuh. Di siang hari angin yang membakar bertiup semakin kencang, menyemburkan pasir ke wajah. Udara kering itu mengisap keringat, mengotori rambt dengan pasir, dan meniup T-Shirt-ku menjauhi tubuh; T-Shirt itu bergerak sekaku karton karena tempelan garam mengering. Aku terus berjalan.

Aku minum lebih sering daripada yang diinginkan Melanie. Ia menggerutu dalam setiap tegukan, mengancam bahwa kami akan jauh lebih memerlukan air itu besok. Tapi aku sudah begitu banyak menyerah kepadanya hari ini, sehinga tidak berminat mendengarkan. Aku minum ketika merasa haus, dan itu sangat sering.
Kakiku menggerakan tubuhku maju tanpa berpikir. Irama gemersik langkah kakiku menjadi musik latar belakang, rendah dan menjemukan.

Tak ada yang dilihat; satu semak yang terjalin rapuh tampak sama persis seperti semak berikutnya. Keseragaman itu membuatku bingung--yang benar-benar kusadari hanya siluet pegunungan dilatari langit putih pucat. Aku memperhatikan siluet itu setiap beberapa langkah, sampai mengenalnya begitu baik dan bisa menggambarkannya dengan mata terpejam.


Pemandangan tampak membeku di tempat. Aku terus-menerus menoleh ke sekeliling, mencari petunjuk keempat, seakan sudut pandangnya bakal berubah setelah langkah terakhir. Petunjuk keempat berupa puncak berbentuk kubah besar dengan secuil bagian yang hilang, yaitu lengkungan yang lenyap dari bagian sisinya. Petunjuk itu baru saja diperlihatkan Melanie kepadaku pagi ini. Aku berharap itulah petunjuk terakhir, karena kami beruntung seandainya bisa pergi sejauh itu. Tapi aku punya fisarat masih banyak lagi yang dirahasiakan Melanie dariku, dan akhir perjalanan kami masih teramat sangat jauh.


Aku mengudap granola-granola batangan sepanjang siang, dan dengan terlambat kusadari batang terakhir telah kuhabiskan.
Ketika matahari terbenam, malam turun dengan kecepatan yang sama seperti kemarin. Melanie siap. Ia telah menemukan tempat untuk berhenti.

Di sini, katanya. Kita harus menghindari tanaman cholla itu sejauh mungkin, Kau berguling-guling dalam tidurmu.
Ku bergidik mengamati kaktus yang tampak berbulu itu di dalam cahaya temaram.


Tanaman itu dipenuhi jarum sewarna tulang yang mirip bulu. Kau ingin aku tidur di tanah begitu saja? Tepat di sini?Kau melihat pilihan lain? Melanie merasakan kepanikanku, dan nada suaranya melembut, seakan iba. Begini, ini lebih baik daripada di dalam mobil. Setidaknya tanahnya datar. Udara terlalu panas, sehingga serangga - serangga takkan tertarik pada panas tubuhmu dan---

"Serangga?" sergahku keras-keras. "Serangga?"
Sekelebat muncul gambaran tak menyenangkan mengenai serangga yang tampak mematikan dan ular-ular yang bergelung di dalam ingatan-ingatan Melanie.
Jangan khawatir. Melanie mencoba menenangkanku ketika aku membungkuk sambil berjingkat, menjauhkan diri dari apa saja yang mungkin bersembunyi di dalam pasir di bawahku; mataku mencari jalan untuk meloloskan diri di dalam kegelapan. Tak ada yang bakal mengganggumu, kecuali kau mengganggunya lebih dulu. Bagaimanapun kau lebih besar daripada segala hal lain di luar sini. Ingatan lain berkelebat, kali ini anjing pemakan bangkai bertubuh sedang, coyote, melintas dalam pikiran kami.

"Sempurna," gerutuku. Aku berjongkok, walaupun masih merasa takut terhadap tanah hitam di bawahku. "Dibunuh anjing-anjing liar. Siapa sangka akan berakhir begitu... begitu sepele? Mengecewakan sekali. Mahluk buas bercakar di mists Planet. Pasti. Setidaknya akan lebih bermartabat jika dikalahkan mahluk itu."

Nada jawaban Melanie membuatku membayangkan ia sedang memutar bola mata. Jangan seperti bayi. Tak ada yang akan menyantapmu. Sekarang berbaring dan istirahatlah. Besok akan lebih sulit dapipada hari ini.
"Terima kasih untuk kabar baiknya," gerutuku. Melanie berubah jadi tiran. Ini mengingatkanku pada ungkapan manusia: Diberi hati minta ampela. Tapi aku merasa jauh lebih lelah daripada yang kusadari. Dan ketika dengan enggan aku duduk di tanah, mustahil bagiku untuk tidak berbaring di tanah kasar berkerikil itu dan membiarkan mataku terpejam.

Tampaknya baru beberapa menit berlalu ketika pagi menjelang. Terang menyilaukan, dan sudah cukup panas untuk membuatku berkeringat. Saat terbangun tubuhku berselimut kotoran dan kerikil; lengan kananku terjepit di bawah tubuh dan mati rasa. Kukibas-kibaskan rasa kebas itu, lalu aku merogoh tas untuk mencari air.
Melanie tidak setuju, tapi aku mengabaikannya. Aku mencari botol setengah kosong yang terakhir kuminum. Kugeledah botol-botol penuh dan kosong itu, sampai mulai melihat sebuah pola.
Dengan perasaan waswas yang semakin besar, aku mulai menghitung. Kuhitung dua kali. Botol kosongnya lebih banyak daripada jumlah botol penuh. Aku sudah menghabiskan lebih dari setengah persediaan airku.

Sudah kubilang, kau minum terlalu banyak.
Aku tidak menjawab Melanie, tapi kusandang tas tanpa mengambil minuman. Mulutku rasanya mengerikan: kering, berpasir dan seperti empedu. Aku mencoba mengabaikan semua itu, mencoba menghentikan lidahku yang sekasar ampelas agar tidak menjelajahi gigiku yang berpasir, lalu mulai berjalan.

Ketika matahari semakin tinggi dan panas di atasku, perutku lebih sulit untuk diabaikan daripada mulutku. Perutku memilin dan berkontraksi secara teratur, mengantisipasi hidangan yang tidak muncul-muncul. Di siang hari rasa lapar itu telah berubah dari tidak nyaman menjadi perih.

Ini belum apa-apa, dengan masam Melanie mengingatkan. Kita pernah lebih lapar lagi.
Kau yang pernah,
ujarku pedas. Saat ini aku tidak merasa ingin menjadi penonton bagi ingatan-ingatan mengenai daya tahan Melanie.

Aku sudah mulai putus asa ketika berita baik itu muncul. Ketika aku memutar kepala melintasi cakrawala dengan gerakan rutin setengah hati, bentuk membulat kubah seakan melompat ke hadapanku dari bagian tengah deretan puncak kecil di utara. Dari sini bagian yang hilang itu hanya berupa lekuk samar-samar.
Cukup dekat, Melanie memutuskan. Ia merasa sama gembiranya denganku, karena telah membuat kemajuan. Aku berbelok ke utara dengan bersemangat, langkah-langkah kakiku semakin panjang. Teruslah mencari petunjuk berikutnya. Melanie mengingat formasi lain dan aku langsung mulai memanjangkan kepala melihat sekeliling, walaupun tahu tak ada gunanya mencari petunjuk sedini ini.

Seharusnya di timur. Utara, lalu timur, lalu utara lagi. Itu polanya.
Pikiran akan menemukan petunjuk lain membuatku tetap bergerak, walaupun kakiku semakin lelah. Melanie mendorongku maju. Ia terus mengucapkan kata-kata penyemangat ketika aku melambat, dan memikirkan Jared dan Jamie ketika aku berubah apatis. Kemajuanku stabil. Setiap kali hendak minum aku menunggu sampai Melanie mengizinkan, walaupun bagian dalam tenggorokanku seakan melepuh.


Harus kuakui aku bangga terhadap diriku sendiri, karena bisa bersikap begitu gigih. Ketika jalan tanah muncul, rasanya seakan memperoleh imbalan. Jalanan itu memanjang ke utara, ke arah yang sedang kutuju, tapi Melanie bimbang.
Aku tidak menyukai penampilannya, sergahnya.
Jalanan itu hanya berupa garis pucat melewati semak, dan hanya terlihat karena teksturnya lebih halus dan tidak ada tanaman. Jejak-jejak lama roda kendaraan menciptakan lekukan ganda, membentuk lajur tunggal di tengahnya.

Seandainya jalan itu menuntun ke arah yang keliru, akan kita tinggalkan. Aku sudah berjalan menyusuri bagian tengah jejak roda. Lebih mudah daripada menembus semak creosote dan menghindari cholla.

Melanie tidak menyahut, tapi ketidaknyamanannya sedikit paranoid. Aku meneruskan pencarian formasi berikut--bentuk M sempurna, dua puncak kembar gunung berapi. Tapi aku juga mengamati padang gurun di sekitarku dengan lebih cermat.

Karena mengamati dengan cermat, aku sudah lama memperhatikan ada noktah abu-abu di kejauhan, sebelum mengetahui benda apa itu. Aku bertanya-tanya apakah mataku menipu, lalu mengerjap-ngerjapkannya untuk menyingkirkan debu yang memburamkan. Tampaknya itu warna yang keliru untuk batu, dan bentuknya kelewat padat untuk pohon. Kusipitkan mata karena silau, mencoba menebak.

Lalu aku kembali mengerjap-ngerjapkan mata, dan noktah itu mendadah berubah jadi bentuk terstruktur, dan jaraknya lebih dekat daripada yang kuperkirakan. Itu semacam rumah atau bangunan. Kecil dan tergerus cuaca menjadi abu-abu kusam.
Serangan panik Melanie membuatku melompat dari lajur itu dan bersembunyi di dalam semak-semak gundul.
Tunggu, ujarku. Aku yakin itu bangunan terlantar.
Dari mana kau tahu?
Melanie menahan diri sekuat tenaga, sampai aku harus berkonsentrasi pada kakiku untk bisa menggerakkannya maju.

Siapa yang mau tinggal di luar sini? Kami, para jiwa, hidup bermasyarakat. Kudengar nada pahit dalam penjelasanku, dan tahu itu karena tempatku sekarang berdiri--yang secara fisik dan metaforis berada di tengah antah-berantah. Mengapa aku tak lagi menjadi bagian anggota masyarakat jiwa? Mengapa aku merasa seakan... seakan tak ingin menjadi bagiannya? Pernahkah aku benar-benar menjadi bagian komunitas yang seharusnya adalah komunitasku sendiri, atau apakah itu alasan di balik serangkaian panjang kehidupan yang kujalani untuk sementara? Apakah aku memang selalu menyimpang, ataukah Melanie yang membuatku seperti ini? Apakah planet ini telah mengubahku, atau mengungkapkan siapa diriku sebenarnya?

Melanie tidak punya kesabaran untuk membahas krisis pribadiku. Ia menginginkanku menyingkir jauh-jauh dari bangunan itu secepat mungkin. Pikiran-pikirannya membetot dan memuntir pikiran-pikiranku, menarikku keluar dari lamunan.

Tenang, perintahku. Aku mencoba memusatkan pikiran-pikiranku sendiri, dan memisahkannya dari pikiran-pikiran Melanie. Seandainya ada yang benar-benar tinggal di sini, itu pasti manusia. Percayalah kepadaku dalam hal ini; tak ada pertapa di antara jiwa. Mungkin Uncle Jeb-mu--

Dengan kasar Melanie menolak pikiran itu. Tak seorang pun bisa bertahan hidup di tempat terbuka seperti ini. Bangsamu pasti sudah mencari tempat pemukiman dengan teliti. Siapa pun yang tinggal di sini, dia pasti telah kabur atau berubah menjadi salah satu bangsamu. Uncle Jeb pasti punya tempat persembunyian yang lebih baik.
Dan kalaupun orang yang tinggal di sini telah menjadi salah satu bangsaku,
ujarku meyakinkan Melanie, maka dia akan meninggalkan tempat ini. Hanya manusia yang mau hidup seperti ini... Aku berhenti, dan mendadak diserang ketakutan.

Apa? Melanie bereaksi kuat terhadap ketakutanku, membuat kami terpaku di tempat. Ia menelisik pikiran-pikiranku, mencari sesuatu yang pernah kulihat dan mencemaskanku.
Tapi tak ada hal baru yang kulihat. Melanie, bagaimana jika ada manusia di luar sini, tapi bukan Uncle Jeb, Jared dan Jamie? Bagaimana jika orang lain yang menemukan kita?
Melanie menyerap gagasan itu perlahan-lahan, merenungkannya dengan seksama. Kau benar. Mereka akan langsung membunuh kita. Tentu saja.

Aku mencoba menelan ludah, untuk membasuh rasa ngeri dari mulut keringku.

Takkan ada orang lain. Bagaimana mungkin, Melanie menyimpulkan.Bangsamu luar biasa cermat. Hanya orang yang sudah lama bersembunyi yang punya peluang. Jadi, ayo kita periksa. Kau yakin tak satu pun bangsamu di sini, dan aku yakin tak satu pun bangsaku di sini. Mungkin kita bisa menemukan sesuatu yang berguna, sesuatu yang bisa kita gunakan sebagai senjata.

Aku bergidik melihat pikiran-pikiran Melanie mengenai pisau tajam dan logam panjang yang bisa diubah menjadi pentungan.
Jangan pakai senjata.
Ugh. Bagaimana mungkin mahluk-mahluk penakut macam kau bisa mengalahkan kami?
Secara sembunyi-sembunyi dan dengan jumlah luar biasa. Siapa pun kalian, bahkan anak-anak kecil sekalipun, mereka seratus kali lebih membahayakan daripada salah satu dari kami. Tapi kalian mirip satu rayap di rumah semut. Ada jutaan jumlah kami, semua bekerja bersama-sama dengan keselarasan sempurna untuk mencapai tujuan.


Ketika menjelaskan keharmonisan itu, sekali lagi kurasakan kepanikan dan kebingungan menyeretku. Siapakah aku?
Kami tetap bersembunyi di balik cresote ketika mendekati bangunan kecil itu. Kelihatannya seperti rumah. Hanya gubuk kecil di pinggir jalan, tanpa petunjuk sama sekali mengenai kegunaan lainnya. Alasan mengapa lokasinya di sini masih misterius. Tempat ini tak menawarkan apa-apa, kecuali kekosongan dan panas.

Tidak ada tanda-tanda gubuk itu baru ditempati. Ambang pintunya menganga, tak berpintu, dan hanya beberapa pecahan kaca yang melekat di kusen jendela kosongnya. Debu berkumpul di ambang pintu dan menghambur ke dalam. Dinding-dinding kelabu tergerus cuaca itu tampak miring tertiup angin, seakan angin selalu bertiup dari arah yang sama di sini.

Aku berhasil menekan kecemasanku ketika berjalan ragu menuju ambang pintu kosong itu. Kami pasti sendirian di sini, sama seperti sepanjang hari ini, maupun sepanjang hari kemarin.

Keteduhan yang dijanjikan pintu masuk gelap itu menarikku maju, mengalahkan ketakutanku dengan daya tariknya. Aku masih mendengarkan dengan saksama, tapi kakiku bergerak maju dengan langkah-langkah cepat dan pasti. Aku melewati ambang pintu, lalu bergerak cepat ke salah satu sisinya, sehingga ada dinding di belakang punggungku. Tindakan ini kulakukan secara alami, hasil dari hari-hari menggelandang Melanie. Aku berdiri terpaku di sana, dicemaskan kebutaan, menunggu mataku menyesuaikan diri.

Gubuk kecil itu kosong, seperti sudah kami perkirakan. Tak ada tanda-tanda pernah ditempati, baik di dalam maupun di luar. Sebuah meja rusak berdiri miring dengan dua kaki masih utuh di tengah ruangan, ditemani kursi logam berkarat di sampingnya. Petak-petak beton terlihat dari lubang-lubang besar di karpet usang kotor. Dapur kecil memenuhi salah satu dinding, disertai tempat cuci piring berkarat, barisan lemari yang beberapa di antaranya tak berpintu, dan kulkas terbuka sepinggang yang bagian dalamnya hitam berjamur. Kerangka sofa tergeletak di dinding seberang, semua bantalnya hilang. Lukisan berbingkai anjing-anjing yang sedang bermain poker masih tergantung di atas sofa, tapi sedikit miring.

Seperti rumah, ujar Melanie. Ia merasa cukup lega sehingga bisa menyindirku. Hiasannya lebih banyak daripada hiasan di apartemenmu.
Aku sudah bergerak ke tempat cuci piring.
Terus saja bermimpi, imbuh Melanie.
Tentu saja merupakan pemborosan jika air tetap mengalir di tempat terpencil ini. Para jiwa menangani detail-detail semacam itu dan takkan meninggalkan keganjilan seperti ini. Tapi aku masih ingin memutar tombol-tombol keran kuno itu. Salah satunya patah di tanganku. Sudah karatan seluruhnya.

Selanjutnya aku beralih ke lemari, lalu berlutut di atas karpet menjijikan itu untuk mengintip hati-hati ke dalamnya. Kujauhkan tubuhku ketika membuka pintunya, khawatir telah mengganggu salah satu hewan padang gurun berbisa yang bersarang di dalamnya.

Lemari pertama kosong, tak berdinding belakang sehingga aku bisa melihat lembar-lembar kayu dinding luar. Lemari berikut tak berpintu, tapi ada tumpukan koran tua tertutup debu di dalamnya. Dengan penasaran kutarik selembar, kuguncang debunya ke lantai yang lebih berdebu, lalu kubaca tanggalnya.
Dari zaman manusia, pikirku. Bukannya aku membutuhkan tanggal untuk tahu.

"Seorang Lelaki Membakar Putrinya yang Berusia Tiga Tahun Sampai Mati," begitulah judul beritanya, disertai foto anak kecil pirang secantik malaikat. Dan ini bukan halaman depan. Kengerian yang dijelaskan di sini tak cukup menyeramkan untuk dijadikan liputan utama. Di bawah berita itu terpampang wajah lelaki yang menjadi buronan karena membunuh istri dan kedua anaknya dua tahun sebelum tanggal cetak koran; beritanya mengenai kemungkinan seseorang melihat lelaki itu di Meksiko. Dua orang terbunuh dan tiga terluka dalam kecelakaan yang melibatkan pengemudi mabuk. Penyidikan mengenai pemalsuan dan pembunuhan sehubungan dengan dugaan bunuh diri bankir lokal terkemuka. Pengakuan di bawah tekanan telah membebaskan seorang tersangka penganiaya anak. Hewan-hewan peliharaan ditemukan terbantai di tempat sampah.

Aku bergidik, kudorong koran itu menjauhiku, kembali ke dalam lemari gelap.
Itu semua perkecualian, bukan norma, ujar Melanie diam-diam. Ia berusaha agar kengerian reaksiku tadi tidak merembes ke dalam ingatan-ingatannya mengenai tahun-tahun itu, lalu mengubah ingatan-ingatan itu.
Tapi bisakah kau mengerti mengapa kami mengira diri kami mampu berbuat lebih baik? Mengapa kami mengira kalian mungkin tak patut memperoleh semua hal luar biasa di dunia ini?
Melanie menjawab masam, Kalau ingin membersihkan planet ini, kalian bisa meledakkannya.
Tak peduli apa yang diimpikan para penulis fiksi ilmiah kalian, kami benar-benar tidak memiliki teknologinya.

Melanie tidak menganggap gurauanku lucu.
Lagi pula, imbuhku, itu perbuatan sia-sia. Planet ini indah. Tentu saja dengan mengecualikan padang gurun mengerikan ini.
Kau tahu, itulah sebabnya kami menyadari keberadaan kalian di sini,
kata Melanie. Ia kembali mengingat judul-judul berita memuakkan itu. Ketika berita malam tidak berisi apa-apa, kecuali cerita-cerita kemanusiaan yang menggugah, ketika para pedofil dan pemadat berbaris di rumah sakit untuk menyerahkan diri, ketika semua berubah aman tenteram, saat itulah kalian mengungkapkan diri.
"Perubahan yang mengerikan!"
ujarku masam, beralih ke lemari berikut.

Aku menarik pintu kaku itu dan menemukan harta karun.
"Biscuit Crackers!" teriakku, meraih sekotak Saltines setengah penyok yang sudah kusam. Di belakangnya ada kotak lain, kotak yang tampaknya pernah terinjak. "Bolu Twinkies!" seruku.
"Lihat! desak Melanie. Di benakku ia menunjuk tiga botol pemutih berdebu di bagian belakang lemari.
Untuk apa pemutih? tanyaku. Aku sudah merobbek kotak crakers. Untuk dicipratkan ke mata orang? Atau botolnya untuk menghancurkan kepala mereka?

Yang membuatku senang, crackers itu masih di dalam plastik, walaupun sudah hancur jadi remah. Aku membuka sebungkus dan mulai memasukkan remah-remah itu ke dalam mulut dengan mengguncang-guncang bungkusnya, lalu kutelan crackers itu walaupun baru kukunyah sebentar. Aku tidak sabar ingin memasukkannya ke perut.

Buka sebotol dan cium baunya, perintah Melanie, mengabaikan komentarku tadi. Begitulah cara ayahku dulu menyimpan air di garasi. Residu pemutih menjaga airnya tidak ditumbuhi apa pun.
Sebentar. Aku menghabiskan sebungkus remah dan mulai membuka yang berikut. Sudah kedaluwarsa, tapi terasa harum di bandingkan rasa di dalam mulutku. Setelah menghabiskan bungkus ketiga, aku mulai menyadari garamnya membakar bibirku yang pecah-pecah dan sudut-sudut mulut.

Kukeluarkan salah satu botol pemutih. Kuharap Melanie benar. Kedua lenganku lemah dan gemetar, nyaris tak mampu mengangkat botol. Ini membuat kami khawatir. Seberapa jauh kondisi kami sudah memburuk? Seberapa jauh kami bisa pergi?

Tutup botolnya sangat kencang, sehingga aku mengira tutup itu sudah meleleh di tempat. Tapi akhirnya aku bisa memutarnya dengan gigi. Kucium mulut botol dengan hati-hati, karena aku benar-benar tak ingin pingsan akibat mencium bau pemutih. Bau kimianya sangat samar. Aku mencium lebih dalam Air. Pasti. Air lama, apak, tapi tetap air. Kuteguk sedikit. Bukan air sungai pegunungan yang segar, tapi terasa basah. Aku mulai menenggaknya dengan rakus.

Pelan-pelan, Melanie mengingatkan, dan aku harus menyetujuinya. kami beruntung menemukan tempat penyimpanan ini, tapi tak masuk akal jika kami memboroskannya. Lagi pula sekarang aku menginginkan makanan padat, setelah garamnya tidak terasa begitu menyakitkan. Aku beralih ke kotak Twinkies dan menjilati tiga bolu hancur dari bagian dalam bungkusnya.

Lemari terakhir kosong.
Setelah serangan lapar sedikit mereda, ketidaksabaran Melanie langsung merembes ke dalam pikiranku. Kali ini tanpa merasakan adanya perlawanan, cepat-cepat kumasukkan barang-barang curian itu ke tas. Botol-botol air kosong kukeluarkan dan kumasukkan ke bak cuci piring, sehingga ada ruang kosong. Botol-botol pembersih itu berat, tapi bobotnya menenangkan. Itu berarti malam ini aku tak lagi berbaring di lantai padang gurun. Kehausan dan kelaparan. Ketika energi gula mulai menembus pembuluh darahku, aku bergegas kembali ke teriknya siang.

---

0 comments:

Post a Comment

Jual Nugget dan Sosis Sayur

Jual Nugget dan Sosis Sayur
Pemesanan via email : lwati111@gmail.com

The Host - Bab 11

Dehidrasi

"Oke! Kau benar, kau benar!" Kuucapkan kata-kata itu keras-keras. Tak seorang pun akan mendengar.
Melanie tidak mengatakan, "Kubilang juga apa." Setidaknya tidak dengan begitu banyak kata. Tapi aku bisa merasakan tuduhannya dalam sikap diamnya.

Aku masih tidak rela meninggalkan mobil, walaupun kini benda itu tak berguna bagiku. Ketika bensinnya habis, kubiarkan mobil itu tetap melaju sampai menukik ke jurang dangkal--anak sungai yang tercipta akibat hujan lebat terakhir. Kini aku memandang lewat kaca depan, menatap dataran luas kosong dan merasakan perutku terpilin kepanikan.

Kita harus bergerak, Wanderer. Udara akan jadi semakin panas. Kalau aku tidak memboroskan lebih dari seperempat tangki bensin dengan berkeras menuju bagian dasar petunjuk kedua--dan menemukan ternyata petunjuk ketiga tidak terlihat lagi dari sana sehingga kami harus berputar dan kembali menelusuri jalan semula--kami pasti sudah jauh sekali menyusuri sungai berpasir ini, begitu dekat dengan tujuan kami selanjutnya. Berkat diriku, sekarang kami harus berjalan kaki.

Dengan gerakan ekstra hati-hati aku memasukkan air sebotol demi sebotol ke dalam tas. Kutambahkan granola-granola batangan yang tersisa dengan gerakan sama pelannya. Sementara itu Melanie ingin sekali aku bergegas. Ketidaksabarannya membuatku sulit berpikir, membuatku sulit berkonsentrasi pada apa pun. Misalnya apa yang akan terjadi pada kami.


Ayo, ayo, ayo, katanya berulang-ulang, sampai aku keluar dari mobil dengan kaku dan canggung. Punggungku berdenyut-denyut ketika menegakkan tubuh. Nyeri akibat tidur meringkuk semalam, bukan karena bobot tas. Tasnya tidak terlalu berat ketika aku menggunakan kedua bahu untuk mengangkatnya.

Sekarang tutupi mobilnya, perintah Melanie. Ia membayangkan diriku mematahkan dahan-dahan berduri tanaman creosote dan palo verde terdekat, lalu mengatur semua itu di atas kap perak mobil.

"Kenapa?"
Nada suara Melanie mengimplikasikan aku cukup tolol karena tidak mengerti. Supaya tak seorang pun menemukan kita. Tapi bagaimana jika aku ingin ditemukan? Bagaimana jika tidak ada apa-apa di luar sini, kecuali panas dan debu? Mustahil kita bisa pulang ke rumah?
Rumah?
ia bertanya sambil melemparkan gambaran-gambaran muram kepadaku: apartemen kosong di San Diego, ekspresi wajah Pencari yang paling menjijikkan, titik berlabel Tucson di peta... dan sekelebat ngarai merah yang lebih membahagiakan--gambaran yang lolos tanpa sengaja. Di manakah itu?


Aku berbalik memunggungi mobil, mengabaikan nasihat Melanie. Aku sudah terlibat terlalu jauh. Aku takkan menyerahkan semua harapan untuk kembali. Mungkin seseorang akan menemukan mobil itu, lalu menemukanku. Dengan mudah dan jujur aku bisa menjelaskan kepada regu penyelamat apa yang kulakukan di sini: aku tersesat. Aku kehilangan arah... kehilangan kontrol... kehilangan akal sehat.

Pertama-tama kuikuti sungai itu, dan kubiarkan tubuhku mengikuti irama langkah panjang alaminya. Itu bukan caraku melangkah di trotoar dalam perjalanan ke dan dari universitas. Sama sekali bukan gaya berjalanku. Tapi gaya itu cocok dengan tanah berbatu di sini, dan bisa dengan lancar menggerakanku maju dengan kecepatan mengejutkan, sampai aku terbiasa.

"Bagaimana kalau aku tidak pergi ke sini?" aku bertanya-tanya seraya berjalan semakin jauh memasuki tanah tandus padang gurun. "Bagaimana kalau Penyembuh Fords masih di Chicago? Bagaimana kalau jalanku tidak membawa kita lebih dekat kepada mereka?"

Yang membuatku tidak mungkin menolak rencana tolol ini adalah desakan itu, bujukan itu, pikiran bahwa Jared dan Jamie mungkin berada tepat di sini, di suatu tempat di tanah kosong ini.

Entahlah, aku Melanie. Kurasa aku masih akan tetap berusaha, tapi aku takut ketika jiwa-jiwa lain ada di dekatku. Aku masih takut. Memercayaimu bisa membunuh mereka berdua.
Kami sama-sama tersentak membayangkannya.
Tapi berada di sini, begitu dekat... Kelihatannya seolah aku harus berusaha. Kumohon--sekonyong-konyong Melanie memintaku, memohon, tak ada sisa-sisa kemarahan di dalam pikirannya--kumohon, jangan gunakan ini untuk melukai mereka. Kumohon.

"Aku tidak ingin... Aku tidak tahu apakah aku sanggup melukai mereka. Aku lebih suka..."
Apa? Mati sendiri? Daripada menyerahkan beberapa gelintir manusia kepada Pencari?

Sekali lagi kami tersentak membayangkannya. Tapi rasa jijikku terhadap gagasan itu menghibur Melanie. Dan itu jauh lebih menakutkan daripada menghibur Melanie.
Ketika sungai mulai berkelok terlalu jauh ke utara, Melanie menyarankan agar kami melupakan jalan setapak datar pucat itu dan mengambil jalan langsung ke petunjuk ketiga, yaitu tonjolan batu di timur yang seakan menunjuk, seperti jari, ke langit tak berawan.

Aku tak suka meninggalkan sungai, persis seperti penolakanku tadi untuk meninggalkan mobil. Aku bisa berbalik menyusuri kembali sungai ini sampai ke jalan, lalu menyusuri jalan untuk kembali ke jalan raya. Jaraknya berkilo-kilometer, dan akan makan waktu berhari-hari bagiku untuk melintasinya. Tapi setelah melangkah pergi dari sungai ini, secara resmi aku tersesat.

Yakinlah, Wanderer. Kita akan menemukan Uncle Jeb, atau ia akan menemukan kita.
Kalau ia masih hidup,
imbuhku. Aku mendesah ketika menyimpang dari jalan setapak sederhana itu menuju semak-semak yang sama persis di segala arah. Keyakinan bukanlah konsep yang kukenal. Aku tak tahu apakah aku memercayainya.
Bagaimana dengan percaya?
Kepada siapa? Kau?
Aku tertawa. Udara panas memanggang tenggorokanku ketika aku menghela napas.
Bayangkan saja, ujar Melanie, mengubah pokok pembicaraan, <i.mungkin malam ini kita akan berjumpa dengan mereka.


Kerinduan itu milik kami berdua. Gambaran wajah mereka--yang satu laki-laki, satunya anak-anak--muncul dari ingatan kami. Ketika berjalan lebih cepat, aku tidak yakin apakah diriku yang benar-benar memegang kendali atas gerakan itu.

Memang semakin panas--lalu semakin panas, lalu lebih panas lagi. Keringat membuat rambutku lepek dan T-Shirt kuning pucatku menempel tidak nyaman jika tersentuh. Di siang hari angin yang membakar bertiup semakin kencang, menyemburkan pasir ke wajah. Udara kering itu mengisap keringat, mengotori rambt dengan pasir, dan meniup T-Shirt-ku menjauhi tubuh; T-Shirt itu bergerak sekaku karton karena tempelan garam mengering. Aku terus berjalan.

Aku minum lebih sering daripada yang diinginkan Melanie. Ia menggerutu dalam setiap tegukan, mengancam bahwa kami akan jauh lebih memerlukan air itu besok. Tapi aku sudah begitu banyak menyerah kepadanya hari ini, sehinga tidak berminat mendengarkan. Aku minum ketika merasa haus, dan itu sangat sering.
Kakiku menggerakan tubuhku maju tanpa berpikir. Irama gemersik langkah kakiku menjadi musik latar belakang, rendah dan menjemukan.

Tak ada yang dilihat; satu semak yang terjalin rapuh tampak sama persis seperti semak berikutnya. Keseragaman itu membuatku bingung--yang benar-benar kusadari hanya siluet pegunungan dilatari langit putih pucat. Aku memperhatikan siluet itu setiap beberapa langkah, sampai mengenalnya begitu baik dan bisa menggambarkannya dengan mata terpejam.


Pemandangan tampak membeku di tempat. Aku terus-menerus menoleh ke sekeliling, mencari petunjuk keempat, seakan sudut pandangnya bakal berubah setelah langkah terakhir. Petunjuk keempat berupa puncak berbentuk kubah besar dengan secuil bagian yang hilang, yaitu lengkungan yang lenyap dari bagian sisinya. Petunjuk itu baru saja diperlihatkan Melanie kepadaku pagi ini. Aku berharap itulah petunjuk terakhir, karena kami beruntung seandainya bisa pergi sejauh itu. Tapi aku punya fisarat masih banyak lagi yang dirahasiakan Melanie dariku, dan akhir perjalanan kami masih teramat sangat jauh.


Aku mengudap granola-granola batangan sepanjang siang, dan dengan terlambat kusadari batang terakhir telah kuhabiskan.
Ketika matahari terbenam, malam turun dengan kecepatan yang sama seperti kemarin. Melanie siap. Ia telah menemukan tempat untuk berhenti.

Di sini, katanya. Kita harus menghindari tanaman cholla itu sejauh mungkin, Kau berguling-guling dalam tidurmu.
Ku bergidik mengamati kaktus yang tampak berbulu itu di dalam cahaya temaram.


Tanaman itu dipenuhi jarum sewarna tulang yang mirip bulu. Kau ingin aku tidur di tanah begitu saja? Tepat di sini?Kau melihat pilihan lain? Melanie merasakan kepanikanku, dan nada suaranya melembut, seakan iba. Begini, ini lebih baik daripada di dalam mobil. Setidaknya tanahnya datar. Udara terlalu panas, sehingga serangga - serangga takkan tertarik pada panas tubuhmu dan---

"Serangga?" sergahku keras-keras. "Serangga?"
Sekelebat muncul gambaran tak menyenangkan mengenai serangga yang tampak mematikan dan ular-ular yang bergelung di dalam ingatan-ingatan Melanie.
Jangan khawatir. Melanie mencoba menenangkanku ketika aku membungkuk sambil berjingkat, menjauhkan diri dari apa saja yang mungkin bersembunyi di dalam pasir di bawahku; mataku mencari jalan untuk meloloskan diri di dalam kegelapan. Tak ada yang bakal mengganggumu, kecuali kau mengganggunya lebih dulu. Bagaimanapun kau lebih besar daripada segala hal lain di luar sini. Ingatan lain berkelebat, kali ini anjing pemakan bangkai bertubuh sedang, coyote, melintas dalam pikiran kami.

"Sempurna," gerutuku. Aku berjongkok, walaupun masih merasa takut terhadap tanah hitam di bawahku. "Dibunuh anjing-anjing liar. Siapa sangka akan berakhir begitu... begitu sepele? Mengecewakan sekali. Mahluk buas bercakar di mists Planet. Pasti. Setidaknya akan lebih bermartabat jika dikalahkan mahluk itu."

Nada jawaban Melanie membuatku membayangkan ia sedang memutar bola mata. Jangan seperti bayi. Tak ada yang akan menyantapmu. Sekarang berbaring dan istirahatlah. Besok akan lebih sulit dapipada hari ini.
"Terima kasih untuk kabar baiknya," gerutuku. Melanie berubah jadi tiran. Ini mengingatkanku pada ungkapan manusia: Diberi hati minta ampela. Tapi aku merasa jauh lebih lelah daripada yang kusadari. Dan ketika dengan enggan aku duduk di tanah, mustahil bagiku untuk tidak berbaring di tanah kasar berkerikil itu dan membiarkan mataku terpejam.

Tampaknya baru beberapa menit berlalu ketika pagi menjelang. Terang menyilaukan, dan sudah cukup panas untuk membuatku berkeringat. Saat terbangun tubuhku berselimut kotoran dan kerikil; lengan kananku terjepit di bawah tubuh dan mati rasa. Kukibas-kibaskan rasa kebas itu, lalu aku merogoh tas untuk mencari air.
Melanie tidak setuju, tapi aku mengabaikannya. Aku mencari botol setengah kosong yang terakhir kuminum. Kugeledah botol-botol penuh dan kosong itu, sampai mulai melihat sebuah pola.
Dengan perasaan waswas yang semakin besar, aku mulai menghitung. Kuhitung dua kali. Botol kosongnya lebih banyak daripada jumlah botol penuh. Aku sudah menghabiskan lebih dari setengah persediaan airku.

Sudah kubilang, kau minum terlalu banyak.
Aku tidak menjawab Melanie, tapi kusandang tas tanpa mengambil minuman. Mulutku rasanya mengerikan: kering, berpasir dan seperti empedu. Aku mencoba mengabaikan semua itu, mencoba menghentikan lidahku yang sekasar ampelas agar tidak menjelajahi gigiku yang berpasir, lalu mulai berjalan.

Ketika matahari semakin tinggi dan panas di atasku, perutku lebih sulit untuk diabaikan daripada mulutku. Perutku memilin dan berkontraksi secara teratur, mengantisipasi hidangan yang tidak muncul-muncul. Di siang hari rasa lapar itu telah berubah dari tidak nyaman menjadi perih.

Ini belum apa-apa, dengan masam Melanie mengingatkan. Kita pernah lebih lapar lagi.
Kau yang pernah,
ujarku pedas. Saat ini aku tidak merasa ingin menjadi penonton bagi ingatan-ingatan mengenai daya tahan Melanie.

Aku sudah mulai putus asa ketika berita baik itu muncul. Ketika aku memutar kepala melintasi cakrawala dengan gerakan rutin setengah hati, bentuk membulat kubah seakan melompat ke hadapanku dari bagian tengah deretan puncak kecil di utara. Dari sini bagian yang hilang itu hanya berupa lekuk samar-samar.
Cukup dekat, Melanie memutuskan. Ia merasa sama gembiranya denganku, karena telah membuat kemajuan. Aku berbelok ke utara dengan bersemangat, langkah-langkah kakiku semakin panjang. Teruslah mencari petunjuk berikutnya. Melanie mengingat formasi lain dan aku langsung mulai memanjangkan kepala melihat sekeliling, walaupun tahu tak ada gunanya mencari petunjuk sedini ini.

Seharusnya di timur. Utara, lalu timur, lalu utara lagi. Itu polanya.
Pikiran akan menemukan petunjuk lain membuatku tetap bergerak, walaupun kakiku semakin lelah. Melanie mendorongku maju. Ia terus mengucapkan kata-kata penyemangat ketika aku melambat, dan memikirkan Jared dan Jamie ketika aku berubah apatis. Kemajuanku stabil. Setiap kali hendak minum aku menunggu sampai Melanie mengizinkan, walaupun bagian dalam tenggorokanku seakan melepuh.


Harus kuakui aku bangga terhadap diriku sendiri, karena bisa bersikap begitu gigih. Ketika jalan tanah muncul, rasanya seakan memperoleh imbalan. Jalanan itu memanjang ke utara, ke arah yang sedang kutuju, tapi Melanie bimbang.
Aku tidak menyukai penampilannya, sergahnya.
Jalanan itu hanya berupa garis pucat melewati semak, dan hanya terlihat karena teksturnya lebih halus dan tidak ada tanaman. Jejak-jejak lama roda kendaraan menciptakan lekukan ganda, membentuk lajur tunggal di tengahnya.

Seandainya jalan itu menuntun ke arah yang keliru, akan kita tinggalkan. Aku sudah berjalan menyusuri bagian tengah jejak roda. Lebih mudah daripada menembus semak creosote dan menghindari cholla.

Melanie tidak menyahut, tapi ketidaknyamanannya sedikit paranoid. Aku meneruskan pencarian formasi berikut--bentuk M sempurna, dua puncak kembar gunung berapi. Tapi aku juga mengamati padang gurun di sekitarku dengan lebih cermat.

Karena mengamati dengan cermat, aku sudah lama memperhatikan ada noktah abu-abu di kejauhan, sebelum mengetahui benda apa itu. Aku bertanya-tanya apakah mataku menipu, lalu mengerjap-ngerjapkannya untuk menyingkirkan debu yang memburamkan. Tampaknya itu warna yang keliru untuk batu, dan bentuknya kelewat padat untuk pohon. Kusipitkan mata karena silau, mencoba menebak.

Lalu aku kembali mengerjap-ngerjapkan mata, dan noktah itu mendadah berubah jadi bentuk terstruktur, dan jaraknya lebih dekat daripada yang kuperkirakan. Itu semacam rumah atau bangunan. Kecil dan tergerus cuaca menjadi abu-abu kusam.
Serangan panik Melanie membuatku melompat dari lajur itu dan bersembunyi di dalam semak-semak gundul.
Tunggu, ujarku. Aku yakin itu bangunan terlantar.
Dari mana kau tahu?
Melanie menahan diri sekuat tenaga, sampai aku harus berkonsentrasi pada kakiku untk bisa menggerakkannya maju.

Siapa yang mau tinggal di luar sini? Kami, para jiwa, hidup bermasyarakat. Kudengar nada pahit dalam penjelasanku, dan tahu itu karena tempatku sekarang berdiri--yang secara fisik dan metaforis berada di tengah antah-berantah. Mengapa aku tak lagi menjadi bagian anggota masyarakat jiwa? Mengapa aku merasa seakan... seakan tak ingin menjadi bagiannya? Pernahkah aku benar-benar menjadi bagian komunitas yang seharusnya adalah komunitasku sendiri, atau apakah itu alasan di balik serangkaian panjang kehidupan yang kujalani untuk sementara? Apakah aku memang selalu menyimpang, ataukah Melanie yang membuatku seperti ini? Apakah planet ini telah mengubahku, atau mengungkapkan siapa diriku sebenarnya?

Melanie tidak punya kesabaran untuk membahas krisis pribadiku. Ia menginginkanku menyingkir jauh-jauh dari bangunan itu secepat mungkin. Pikiran-pikirannya membetot dan memuntir pikiran-pikiranku, menarikku keluar dari lamunan.

Tenang, perintahku. Aku mencoba memusatkan pikiran-pikiranku sendiri, dan memisahkannya dari pikiran-pikiran Melanie. Seandainya ada yang benar-benar tinggal di sini, itu pasti manusia. Percayalah kepadaku dalam hal ini; tak ada pertapa di antara jiwa. Mungkin Uncle Jeb-mu--

Dengan kasar Melanie menolak pikiran itu. Tak seorang pun bisa bertahan hidup di tempat terbuka seperti ini. Bangsamu pasti sudah mencari tempat pemukiman dengan teliti. Siapa pun yang tinggal di sini, dia pasti telah kabur atau berubah menjadi salah satu bangsamu. Uncle Jeb pasti punya tempat persembunyian yang lebih baik.
Dan kalaupun orang yang tinggal di sini telah menjadi salah satu bangsaku,
ujarku meyakinkan Melanie, maka dia akan meninggalkan tempat ini. Hanya manusia yang mau hidup seperti ini... Aku berhenti, dan mendadak diserang ketakutan.

Apa? Melanie bereaksi kuat terhadap ketakutanku, membuat kami terpaku di tempat. Ia menelisik pikiran-pikiranku, mencari sesuatu yang pernah kulihat dan mencemaskanku.
Tapi tak ada hal baru yang kulihat. Melanie, bagaimana jika ada manusia di luar sini, tapi bukan Uncle Jeb, Jared dan Jamie? Bagaimana jika orang lain yang menemukan kita?
Melanie menyerap gagasan itu perlahan-lahan, merenungkannya dengan seksama. Kau benar. Mereka akan langsung membunuh kita. Tentu saja.

Aku mencoba menelan ludah, untuk membasuh rasa ngeri dari mulut keringku.

Takkan ada orang lain. Bagaimana mungkin, Melanie menyimpulkan.Bangsamu luar biasa cermat. Hanya orang yang sudah lama bersembunyi yang punya peluang. Jadi, ayo kita periksa. Kau yakin tak satu pun bangsamu di sini, dan aku yakin tak satu pun bangsaku di sini. Mungkin kita bisa menemukan sesuatu yang berguna, sesuatu yang bisa kita gunakan sebagai senjata.

Aku bergidik melihat pikiran-pikiran Melanie mengenai pisau tajam dan logam panjang yang bisa diubah menjadi pentungan.
Jangan pakai senjata.
Ugh. Bagaimana mungkin mahluk-mahluk penakut macam kau bisa mengalahkan kami?
Secara sembunyi-sembunyi dan dengan jumlah luar biasa. Siapa pun kalian, bahkan anak-anak kecil sekalipun, mereka seratus kali lebih membahayakan daripada salah satu dari kami. Tapi kalian mirip satu rayap di rumah semut. Ada jutaan jumlah kami, semua bekerja bersama-sama dengan keselarasan sempurna untuk mencapai tujuan.


Ketika menjelaskan keharmonisan itu, sekali lagi kurasakan kepanikan dan kebingungan menyeretku. Siapakah aku?
Kami tetap bersembunyi di balik cresote ketika mendekati bangunan kecil itu. Kelihatannya seperti rumah. Hanya gubuk kecil di pinggir jalan, tanpa petunjuk sama sekali mengenai kegunaan lainnya. Alasan mengapa lokasinya di sini masih misterius. Tempat ini tak menawarkan apa-apa, kecuali kekosongan dan panas.

Tidak ada tanda-tanda gubuk itu baru ditempati. Ambang pintunya menganga, tak berpintu, dan hanya beberapa pecahan kaca yang melekat di kusen jendela kosongnya. Debu berkumpul di ambang pintu dan menghambur ke dalam. Dinding-dinding kelabu tergerus cuaca itu tampak miring tertiup angin, seakan angin selalu bertiup dari arah yang sama di sini.

Aku berhasil menekan kecemasanku ketika berjalan ragu menuju ambang pintu kosong itu. Kami pasti sendirian di sini, sama seperti sepanjang hari ini, maupun sepanjang hari kemarin.

Keteduhan yang dijanjikan pintu masuk gelap itu menarikku maju, mengalahkan ketakutanku dengan daya tariknya. Aku masih mendengarkan dengan saksama, tapi kakiku bergerak maju dengan langkah-langkah cepat dan pasti. Aku melewati ambang pintu, lalu bergerak cepat ke salah satu sisinya, sehingga ada dinding di belakang punggungku. Tindakan ini kulakukan secara alami, hasil dari hari-hari menggelandang Melanie. Aku berdiri terpaku di sana, dicemaskan kebutaan, menunggu mataku menyesuaikan diri.

Gubuk kecil itu kosong, seperti sudah kami perkirakan. Tak ada tanda-tanda pernah ditempati, baik di dalam maupun di luar. Sebuah meja rusak berdiri miring dengan dua kaki masih utuh di tengah ruangan, ditemani kursi logam berkarat di sampingnya. Petak-petak beton terlihat dari lubang-lubang besar di karpet usang kotor. Dapur kecil memenuhi salah satu dinding, disertai tempat cuci piring berkarat, barisan lemari yang beberapa di antaranya tak berpintu, dan kulkas terbuka sepinggang yang bagian dalamnya hitam berjamur. Kerangka sofa tergeletak di dinding seberang, semua bantalnya hilang. Lukisan berbingkai anjing-anjing yang sedang bermain poker masih tergantung di atas sofa, tapi sedikit miring.

Seperti rumah, ujar Melanie. Ia merasa cukup lega sehingga bisa menyindirku. Hiasannya lebih banyak daripada hiasan di apartemenmu.
Aku sudah bergerak ke tempat cuci piring.
Terus saja bermimpi, imbuh Melanie.
Tentu saja merupakan pemborosan jika air tetap mengalir di tempat terpencil ini. Para jiwa menangani detail-detail semacam itu dan takkan meninggalkan keganjilan seperti ini. Tapi aku masih ingin memutar tombol-tombol keran kuno itu. Salah satunya patah di tanganku. Sudah karatan seluruhnya.

Selanjutnya aku beralih ke lemari, lalu berlutut di atas karpet menjijikan itu untuk mengintip hati-hati ke dalamnya. Kujauhkan tubuhku ketika membuka pintunya, khawatir telah mengganggu salah satu hewan padang gurun berbisa yang bersarang di dalamnya.

Lemari pertama kosong, tak berdinding belakang sehingga aku bisa melihat lembar-lembar kayu dinding luar. Lemari berikut tak berpintu, tapi ada tumpukan koran tua tertutup debu di dalamnya. Dengan penasaran kutarik selembar, kuguncang debunya ke lantai yang lebih berdebu, lalu kubaca tanggalnya.
Dari zaman manusia, pikirku. Bukannya aku membutuhkan tanggal untuk tahu.

"Seorang Lelaki Membakar Putrinya yang Berusia Tiga Tahun Sampai Mati," begitulah judul beritanya, disertai foto anak kecil pirang secantik malaikat. Dan ini bukan halaman depan. Kengerian yang dijelaskan di sini tak cukup menyeramkan untuk dijadikan liputan utama. Di bawah berita itu terpampang wajah lelaki yang menjadi buronan karena membunuh istri dan kedua anaknya dua tahun sebelum tanggal cetak koran; beritanya mengenai kemungkinan seseorang melihat lelaki itu di Meksiko. Dua orang terbunuh dan tiga terluka dalam kecelakaan yang melibatkan pengemudi mabuk. Penyidikan mengenai pemalsuan dan pembunuhan sehubungan dengan dugaan bunuh diri bankir lokal terkemuka. Pengakuan di bawah tekanan telah membebaskan seorang tersangka penganiaya anak. Hewan-hewan peliharaan ditemukan terbantai di tempat sampah.

Aku bergidik, kudorong koran itu menjauhiku, kembali ke dalam lemari gelap.
Itu semua perkecualian, bukan norma, ujar Melanie diam-diam. Ia berusaha agar kengerian reaksiku tadi tidak merembes ke dalam ingatan-ingatannya mengenai tahun-tahun itu, lalu mengubah ingatan-ingatan itu.
Tapi bisakah kau mengerti mengapa kami mengira diri kami mampu berbuat lebih baik? Mengapa kami mengira kalian mungkin tak patut memperoleh semua hal luar biasa di dunia ini?
Melanie menjawab masam, Kalau ingin membersihkan planet ini, kalian bisa meledakkannya.
Tak peduli apa yang diimpikan para penulis fiksi ilmiah kalian, kami benar-benar tidak memiliki teknologinya.

Melanie tidak menganggap gurauanku lucu.
Lagi pula, imbuhku, itu perbuatan sia-sia. Planet ini indah. Tentu saja dengan mengecualikan padang gurun mengerikan ini.
Kau tahu, itulah sebabnya kami menyadari keberadaan kalian di sini,
kata Melanie. Ia kembali mengingat judul-judul berita memuakkan itu. Ketika berita malam tidak berisi apa-apa, kecuali cerita-cerita kemanusiaan yang menggugah, ketika para pedofil dan pemadat berbaris di rumah sakit untuk menyerahkan diri, ketika semua berubah aman tenteram, saat itulah kalian mengungkapkan diri.
"Perubahan yang mengerikan!"
ujarku masam, beralih ke lemari berikut.

Aku menarik pintu kaku itu dan menemukan harta karun.
"Biscuit Crackers!" teriakku, meraih sekotak Saltines setengah penyok yang sudah kusam. Di belakangnya ada kotak lain, kotak yang tampaknya pernah terinjak. "Bolu Twinkies!" seruku.
"Lihat! desak Melanie. Di benakku ia menunjuk tiga botol pemutih berdebu di bagian belakang lemari.
Untuk apa pemutih? tanyaku. Aku sudah merobbek kotak crakers. Untuk dicipratkan ke mata orang? Atau botolnya untuk menghancurkan kepala mereka?

Yang membuatku senang, crackers itu masih di dalam plastik, walaupun sudah hancur jadi remah. Aku membuka sebungkus dan mulai memasukkan remah-remah itu ke dalam mulut dengan mengguncang-guncang bungkusnya, lalu kutelan crackers itu walaupun baru kukunyah sebentar. Aku tidak sabar ingin memasukkannya ke perut.

Buka sebotol dan cium baunya, perintah Melanie, mengabaikan komentarku tadi. Begitulah cara ayahku dulu menyimpan air di garasi. Residu pemutih menjaga airnya tidak ditumbuhi apa pun.
Sebentar. Aku menghabiskan sebungkus remah dan mulai membuka yang berikut. Sudah kedaluwarsa, tapi terasa harum di bandingkan rasa di dalam mulutku. Setelah menghabiskan bungkus ketiga, aku mulai menyadari garamnya membakar bibirku yang pecah-pecah dan sudut-sudut mulut.

Kukeluarkan salah satu botol pemutih. Kuharap Melanie benar. Kedua lenganku lemah dan gemetar, nyaris tak mampu mengangkat botol. Ini membuat kami khawatir. Seberapa jauh kondisi kami sudah memburuk? Seberapa jauh kami bisa pergi?

Tutup botolnya sangat kencang, sehingga aku mengira tutup itu sudah meleleh di tempat. Tapi akhirnya aku bisa memutarnya dengan gigi. Kucium mulut botol dengan hati-hati, karena aku benar-benar tak ingin pingsan akibat mencium bau pemutih. Bau kimianya sangat samar. Aku mencium lebih dalam Air. Pasti. Air lama, apak, tapi tetap air. Kuteguk sedikit. Bukan air sungai pegunungan yang segar, tapi terasa basah. Aku mulai menenggaknya dengan rakus.

Pelan-pelan, Melanie mengingatkan, dan aku harus menyetujuinya. kami beruntung menemukan tempat penyimpanan ini, tapi tak masuk akal jika kami memboroskannya. Lagi pula sekarang aku menginginkan makanan padat, setelah garamnya tidak terasa begitu menyakitkan. Aku beralih ke kotak Twinkies dan menjilati tiga bolu hancur dari bagian dalam bungkusnya.

Lemari terakhir kosong.
Setelah serangan lapar sedikit mereda, ketidaksabaran Melanie langsung merembes ke dalam pikiranku. Kali ini tanpa merasakan adanya perlawanan, cepat-cepat kumasukkan barang-barang curian itu ke tas. Botol-botol air kosong kukeluarkan dan kumasukkan ke bak cuci piring, sehingga ada ruang kosong. Botol-botol pembersih itu berat, tapi bobotnya menenangkan. Itu berarti malam ini aku tak lagi berbaring di lantai padang gurun. Kehausan dan kelaparan. Ketika energi gula mulai menembus pembuluh darahku, aku bergegas kembali ke teriknya siang.

---

0 comments on "The Host - Bab 11"

Post a Comment