Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara

Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara
Harga mulai 5rb an. Gratis ongkir DKI Jakarta

The Host - Bab 28

0 comments
Bingung

Rasanya membingungkan ketika terbangun di dalam kegelapan total. Pada bulan-bulan terakhir aku terbiasa melihat matahari yang mengatakan hari sudah pagi. Pertama-tama aku mengira hari masih malam, tapi perasaan menyengat di wajahku dan rasa nyeri di punggungku mengingatkanku di mana aku berada.

Di sampingku, aku bisa mendengar suara napas pelan teratur. Tidak membuatku takut, karena itu suara yang paling kukenal di sini. Aku tidak terkejut melihat Jamie menyelinap kembali untuk tidur di sampingku semalam.
Mungkin perubahan pada napaskulah yang membangunkannya, atau mungkin itu hanya karena jadwal kami telah selaras. Tapi beberapa detik setelah aku terbangun, Jamie sedikit menghela napas terkejut.
"Wanda?" bisiknya.
"Aku di sini."
Ia menghela napas lega.
"Gelap sekali di sini," ujarnya.
"Ya."
"Menurutmu sudah waktunya sarapan?"
"Aku tak tahu."
"Aku lapar. Ayo, kita lihat."
Aku tidak menjawab.
Jamie mengartikan kebisuanku dengan benar, karena ia tertegun.
"Kau tidak perlu bersembunyi di sini, Wanda," ujarnya sungguh-sungguh, setelah sejenak menungguku bicara. "Semalam aku bicara dengan Jared. Dia akan berhenti mengganggumu--dia berjanji."
Aku nyaris tersenyum. Menggangguku.
"Maukah kau pergi bersamaku?" desak Jamie. Tangannya menemukan tanganku.
"Kau benar-benar ingin aku melakukan itu?" tanyaku pelan.
"Ya. Semuanya akan sama seperti sebelumnya."
Mel? Apakah ini yang terbaik?
Aku tak tahu. Melanie bingung. Ia tahu dirinya tak bisa bersikap objektif; ia ingin berjumpa dengan Jared.
Kau tahu, itu sinting.
Tidak sesinting kenyataan bahwa kau ingin bertemu dengannya juga.
"Baiklah, Jamie," ujarku setuju. "Tapi jangan sedih kalau keadaan tidak sama seperti sebelumnya, oke? Kalau segalanya jadi buruk... Well, jangan terkejut."
"Semua akan baik-baik saja. Nanti kaulihat sendiri."
Kubiarkan Jamie menuntunku keluar dari kegelapan dengan menarik tanganku yang masih digenggamnya. Aku menguatkan diri ketika kami memasuki ruang gua dengan kebun besar itu. Aku tak bisa memastikan reaksi semua orang terhadapku hari ini. Siapa yang tahu, perkataan apa yang terucap ketika aku tidur?
Tapi kebun kosong, walaupun matahari bersinar cera di langit pagi. Cahaya matahari memantul dari ratusan cermin, sejenak membutakanku.
Jamie tidak tertarik pada ruang gua kosong itu. Matanya memandang wajahku, dan ia menghela napas tajam lewat sela-sela gigi ketika cahaya menyentuh pipiku.
"Oh," ujar Jamie terkejut. "Kau baik-baik saja? Apakah rasanya sakit sekali?"
Kusentuh ringan wajahku. Kulitnya terasa kasar--kotoran yang mengeras dalam darah. Rasanya berdenyut-denyut ketika tersapu jari.
"Tidak apa-apa," bisikku. Ruang gua kosong itu membuatku cemas--aku tak ingin bicara terlalu keras. "Di mana semua orang?"
Jamie mengangkat bahu, tatapannya masih tegang ketika meneliti wajahku. "Sibuk, kurasa," Ia tidak merendahkan suaranya.
Ini mengingatkanku pada kejadian semalam, pada rahasia yang tak mau diceritakannya kepadaku. Alisku bertaut.
Menurutmu apa yang tidak diceritakannya kepada kita?
Kita sama-sama tak tahu, Wanda.
Kau manusia. Bukankah kau seharusnya punya intuisi atau semacam itu?
Intuisi? Intuisiku mengatakan kita tidak mengenal tempat ini sebaik yang kita sangka, ujar Melanie.
Kami merenungkan ucapan penuh ancaman itu.
Rasanya nyaris melegakan ketika aku mendengar suara-suara normal di waktu makan yang berasal dari koridor dapur. Tak ada orang tertentu yang ingin kujumpai--tentu saja selain kerinduan sinting untuk bertemu Jared. Tapi terowongan-terowongan yang sepi, ditambah pengetahuan bahwa ada sesuatu yang dirahasiakan dariku, membuatku gelisah.
Dapurnya bahkan tidak terisi setengahnya---itu hal yang aneh di pagi seperti ini. Tapi itu nyaris tidak kuperhatikan, karena aroma dari oven batu mengalahkan semua pikiran lain.
"Oooh," erang Jamie. "Telur!"
Jamie menarikku lebih cepat, dan aku sama sekali tidak keberatan mengikutinya. Kami bergegas, perut keroncongan, menuju meja di dekat oven. Di sana Lucina, sang ibu, berdiri dengan sendok sayur plastik di tangan. Biasanya sarapan bisa diambil sendiri, tapi biasanya sarapan hanya terdiri atas roti bulat keras.
Lucina hanya memandang Jamie ketika bicara, "Satu jam yang lalu rasanya lebih enak."
"Sekarang pun tetap enak," jawab Jamie antusias. "Semua sudah makan?"
"Hampir semua. Kurasa mereka membawa nampan mereka ke tempat Doc, dan yang lain..." Lucina berhenti, mataknya melirikku untuk pertama kali. Jamie melirikku juga. Aku tidak memahami ekspresi Lucina. Ekspresi itu menghilang begitu cepat, digantikan sesuatu yang lain ketika ia meneliti bekas-bekas luka baru di wajahku.
"Berapa banyak yang tersisa?" tanya Jamie. Kini kegairahannya terdengar sedikit dipaksakan.
Lucina berbalik lalu membungkuk, menarik panci logam dari batu-batu panas di bagian bawah oven dengan sendok sayur. "Berapa banyak yang kauinginkan, Jamie? Ada banyak," ujarnya tanpa berbalik.
"Anggap saja aku Kyle," kata jamie sambil tertawa.
"Seukuran porsi Kyle kalau begitu," ujar Lucina. Tapi ketika ia tersenyum, matanya tampak muram.
Lucina mengisi satu mangkuk sup dengan telur orak-arik, berdiri, lalu menyerahkannya kepada Jamie.
Lucina kembali melirikku, dan kupahami apa arti pandangan ini.
"Ayo, duduk di sana, Jamie," kataku, menariknya pergi dari meja.
Jamie menatap takjub. "Kau tidak mau ini?"
"Tidak. Aku--" aku hendak mengatakan "baik-baik saja," tapi perutku yang keroncongan membangkang.
"Wanda?" Jamie memandangku, lalu ganti menatap Lucina yang bersedekap.
"Aku makan roti saja," gumamku, mencoba menarik Jamie pergi.
"Tidak. Lucina, apa masalahnya?" Jamie memandang Lucina penuh harap. Lucina tidak bergerak. "Kalau kau sudah selesai bertugas, aku akan menggantikanmu," saran Jamie. matanya menyipit dan mulutnya membentuk garis tegas.
Lucina mengangkat bahu, lalu meletakkan sendok sayur di meja batu. Ia berjalan pergi perlahan-lahan, tanpa memandangku lagi.
"Jamie," gumamku, berbisik cepat. "Makanan ini bukan untukku. Jared dan yang lain tidak mempertaruhkan nyawa supaya aku bisa makan telur untuk sarapan. Roti tidak apa-apa."
"Jangan tolol, Wanda," ujar Jamie. "Kau tinggal di sini sekarang, sama seperti kami semua. Tak seorang pun keberatan ketika kau mencucikan pakaian atau memanggangkan roti mereka. Lagi pula telur-telur ini tidak tahan lama. Kalau tidak kausantap, telur-telur ini akan terbuang."
Kurasakan semua mata di dalam ruangan menatap punggungku.
"Mungkin itu lebih baik untuk sebagian mereka ," ujarku lebih pelan. Tak seorang pun, kecuali Jamie, yang bisa mendengarnya.
"Biar saja," gerutu Jamie. Ia melompati meja dan mengisi satu mangkuk lagi dengan telur, lalu menyorongkannya kepadaku. "Kau harus menghabiskannya," ujarnya tegas.
Kupandang mangkuk itu. Air liurku menetes. Kudorong telur itu menjauh beberapa senti dariku, lalu bersedekap.
Jamie memberengut. "Baiklah," ujarnya. Lalu ia mendorong mangkuknya sendiri. "Kau tidak makan. Aku tidak makan." Perutnya bergemuruh keras. Ia bersedekap.
Kami bertatapan selama dua menit yang terasa lama, perut sama-sama keroncongan ketika kami mencium aroma telur. Sesekali Jamie melirik mangkuknya. Itulah yang membuatku mengalah--melihat hasrat di matanya.
"Baiklah," ujarku. Kuselipkan mangkuk itu ke tangan Jamie, lalu mengambil mangkukku. Ia baru menyentuh makanannya setelah aku mulai menyuap. Kutahan eranganku ketika rasa telur memenuhi lidah. Aku tahu telur dingin itu bukan makanan terbaik yang pernah kurasakan, tapi seperti itulah rasanya. Tubuh ini hidup untuk saat ini.
Jamie mengalami reaksi yang sama. Ia menjejalkan telur itu ke mulut begitu cepat hingga sepertinya tak punya waktu untuk bernapas. Aku mengawasinya untuk memastikan ia tidak tersedak.
Aku makan lebih pelan, berharap bisa meyakinkan Jamie untuk menyantap sebagian jatahku setelah ia selesai.
Ketika perselisihan kecil kami berakhir dan perutku kenyang, barulah aku memperhatikan atmosfer di dapur. Dengan kegembiraan mendapat telur untuk sarapan setelah berbulan-bulan mendapat asupan itu-itu saja, aku mengharapkan semacam perasaan gembira. Tapi suasana muram dan semua percakapan dilakukan berbisik-bisik. Apakah ini reaksi atas kejadian semalam? Kuteliti ruangan, mencoba mengerti.
Orang-orang memang memandangiku, ada beberapa di sana-sini, tapi bukan hanya mereka yang berbisik-bisik serius. Yang lain sama sekali tidak menggubrisku. Lagi pula kelihatannya tak seorang pun tampak marah, atau merasa bersalah, atau tegang, atau segala emosi lainnya yang kuharapkan.
Tidak, mereka sedih. Keputusasaan terukir di setiap wajah di dalam ruangan ini.
Sharon orang terakhir yang kuamati. Ia makan di pojok, sendirian seperti biasa. Ia begitu tenang ketika menyantap sarapan dengan gerakan mekanis, sehingga pertama-tama kau tidak melihat air mata membasahi wajahnya. Air mata itu berjatuhan ke dalam makanannya. Tapi ia tetap makan, seakan tidak memperhatikan sama sekali.
"Apakah terjadi sesuatu pada Doc?" bisikku kepada Jamie. Mendadak aku merasa takut. Aku ingin tahu apakah aku bersikap paranoid--mungkin ini tak ada hubungannya denganku. Kesedihan di dalam ruangan sepertinya merupakan bagian drama lain manusia yang tidak menyertakanku. Inikah yang menyibukkan semua orang? Apakah telah terjadi kecelakaan?
Jamie memandang Sharon, lalu menghela napas sebelum menjawab. "Tidak, Doc baik-baik saja."
"Aunt Maggie? Apakah dia terluka?"
Jamie menggeleng.
"Di mana Walter?" desakku, masih berbisik. Kecemasan menggerogotiku ketika aku memikirkan hal buruk menimpa salah seorang temanku di sini, bahkan mereka yang membenciku.
"Aku tidak tahu. Aku yakin dia baik-baik saja."
Kini kusadari Jamie sama sedihnya seperti semua orang lainnya di sini.
"Ada apa, Jamie? Mengapa kau sedih?"
Jamie menunduk memandangi telurnya. Kini ia sengaja makan pelan-pelan, dan tidak menjawabku.
Ia menghabiskan makanannya tanpa bicara. Kucoba memberikan telurku kepadanya, tapi ia melotot begitu mengerikan sehingga aku mengambil makanan itu kembali dan menghabiskannya.
Kami meletakkan mangkuk kami di dalam ember plastik besar tempat piring kotor. Isinya begitu penuh, sehingga kuambil ember itu dari meja. Aku tak yakin apa yang terjadi di gua hari ini, tapi mestinya mencuci piring adalah pekerjaan aman.
Jamie mengikuti di samping, matanya waspada. Aku tidak menyukainya. Aku takkan membiarkan Jamie bertindak seperti pengawal pribadi, seandainya itu diperlukan. Tapi kemudian, ketika kami berjalan mengitari pinggiran ladang besar itu, pengawal pribadi tetapku menemukanku, jadi tak ada gunanya lagi melarang Jamie.
Tubuh Ian kotor. Debu cokelat muda menutupinya dari kepala sampai kaki, warnanya lebih gelap di tempat-tempat basah oleh keringat. Galur-galur cokelat yang menodai wajahnya tidak menutupi kelelahan di sana. Aku tidak terkejut melihat ia sama sedihnya seperti yang lain. Tapi debunya membuatku penasaran. Bukan debu hitam keungunan yang ada di gua. Pagi ini Ian berada di luar.
"Ini dia," gumam Ian, ketika melihat kami. Ia berjalan cepat, kedua kaki panjangnya menempuh jarak dengan langkah-langkah gelisah. Ketika sudah menyusul kami, ia tidak memperlambat langkah, tapi menggamit sikuku dan menuntunku bergegas, "Ayo, bersembunyi di sini sejenak."
Ian menarikku ke dalam mulut terowongan sempit yang menuju ke ladang timur--di sana jagungnya hampir siap dipanen. Ia tidak menuntunku jauh, hanya ke dalam kegelapan, agar kami tidak terlihat dari ruang besar itu. Kurasakan Jamie menyentuh ringan tanganku yang bebas.
Setelah setengah menit suara-suara pelan menggema dari ruang gua besar itu. Suara-suara itu tidak bersemangat--muram, sama tertekannya seperti semua wajah yang kuamati pagi ini. Suara - suara itu bergerak melewati kami, di dekat celah tempat kami bersembunyi. Tangan Ian menegang di sikuku, jemarinya menekan tempat lunak di atas tulangku. Kukenali suara Jared dan Kyle. Melanie berubah tegang di luar kendaliku, lagi pula kendaliku memang lemah. Kami ingin melihat wajah Jared. Untunglah Ian menahan kami.
"...tidak tahu mengapa kita membiarkannya terus berusaha. Jika sudah berakhir, maka sudah berakhir," ujar Jared.
"Dia benar-benar mengira bisa berhasil kali ini. Dia begitu yakin... Oh, well. Semua ini layak dilakukan kalau suatu hari nanti dia mendapatkan jawabannya," kata Kyle tidak setuju.
"Kalau," dengus Jared. "Kurasa kita beruntung menemukan brendi itu. Doc pasti bakal menghabiskan seluruhnya malam ini, jika melihat kecepatannya minum."
"Dia akan segera tak sadarkan diri," ujar Kyle, suaranya mulai menghilang di kejauhan. "Kuharap Sharon akan..." Lalu aku tak bisa mendengar mereka lagi.
Ian menunggu sampai suara-suara itu menghilang seluruhnya, lalu menunggu beberapa menit lagi, sebelum akhirnya melepaskan lenganku.
"Jared sudah berjanji," gumam Jamie kepadanya.
"Ya, tapi Kyle tidak," jawab Ian.
Mereka kembali memasuki cahaya. Aku mengikuti perlahan-lahan di belakang mereka, tak yakin apa yang kurasakan.
Untuk pertama kali Ian mengamati apa yang kubawa. "Tidak ada cuci piring sekarang," katanya. "Beri mereka kesempatan untuk bersih-bersih dan melanjutkan kehidupan."
Aku hendak bertanya mengapa Ian begitu kotor. Tapi mungkin, seperti Jamie, ia akan menolak untuk menjawab. Aku berbalik menatap terowongan yang menuju sungai-sungai, berspekulasi.
Ia mengeluarkan suara marah--ia baru saja melihat wajahku.
Ian mengangkat tangan, seakan hendak mengangkat daguku, tapi aku menjauh dan ia menjatuhkan tangannya.
"Itu membuatku mual," ujarnya. Suaranya benar-benar terdengar mual. "Dan yang lebih parah lagi, aku tahu seandainya ikut pergi menjarah, mungkin akulah yang bakal melakukannya..."
Aku menggeleng. "Tidak apa-apa, Ian."
"Aku tidak setuju dengan itu," gumamnya. Lalu ia bicara kepada Jamie. "Mungkin kau harus pergi ke sekolah. Lebih baik kita membuat segalanya kembali normal secepat mungkin."
Jamie mengerang. "Hari ini Sharon akan seperti mimpi buruk."
Ian nyengir. "Waktunya untuk berkorban demi tim, Nak. Aku tidak iri padamu."
Jamie mendesah, menendang debu. "Jaga Wanda".
"Pasti."
Jamie berlalu, melirik ke belakang setiap beberapa menit, sampai ia menghilang ke dalam terowongan lain.
"Ayo, berikan kepadaku," ujar Ian, menarik ember berisi piring-piring dari tanganku, sebelum aku bisa bereaksi.
"Tidak terlalu berat untukku," kataku.
Ian nyengir. "Aku merasa tolol berdiri di sini dengan tangan kosong, sementara kau menyeret-nyeret ini. Anggap saja kesopanan. Ayo--ayo kita pergi bersantai di suatu tempat terpencil sampai semuanya beres."
Kata-katanya membuatku cemas, dan aku mengikutinya tanpa bicara. Mengapa harus bersikap sopan padaku?
Ian berjalan terus sampai ke ladang jagung. Ia melangkah di bagian rendah pematang, di antara batang-batang tanaman. Aku mengikuti di belakangnya sampai ia berhenti di suatu tempat di tengah ladang. Ia meletakkan ember berisi piring-piring itu, lalu duduk di tanah.
"Well, ini tempat terpencil," ujarku, seraya duduk bersila di tanah di sampingnya. "Tapi bukankah kita seharusnya bekerja?"
"Kau bekerja terlalu keras, Wanda. Hanya kau yang tidak pernah mengambil hari libur."
"Lebih baik daripada menganggur," gumamku.
"Semua orang libur hari ini, jadi sebaiknya kau libur juga."
Aku memandang Ian penasaran. Cahaya dari cermin-cermin memantulkan bayang-bayang ganda pada batang-batang tanaman jagung yang bersilangan di wajahnya seperti loreng zebra. Di balik garis-garis dan kotoran itu, wajah pucat Ian tampak lelah.
"Kau tampak seperti habis bekerja."
Matanya menegang. "Tapi sekarang aku beristirahat."
"Jamie tidak mau menceritakan apa yang terjadi," gumamku.
"Ya. Aku juga." Ian mendesah. "Lagi pula, kau pasti tak suka mendengarnya."
Aku menatap tanah, memandang tanah cokelat dan ungu gelap sementara perutku terpilin dan terkocok. Aku tak bisa memikirkan hal yang lebih buruk daripada tidak tahu, tapi mungkin itu hanya karena aku tidak punya imajinasi.
"Rasanya tidak adil, "ujar Ian setelah terdiam sejenak," karena aku tidak mau menjawab pertanyaanmu,  tapi apakah kau keberatan jika aku yang bertanya?"
Kusambut upayanya mengalihkan perhatian. "Silahkan."
Ian tidak langsung bicara, jadi aku mendongak untuk mengetahui alasan keraguannya. Ia menunduk, memandangi kotoran di punggung tangannya.
"Aku tahu kau bukan pembohong. Kini aku tahu itu," ujarnya pelan. "Aku akan percaya, apa pun jawabanmu."
Aku kembali menunggu, sementara Ian terus menatap kotoran di kulitnya.
"Sebelumnya aku tidak mempercayai cerita Jeb, tapi dia dan Doc sangat yakin... Wanda?" tanyanya, mencongak memandangku. "Apakah dia masih di dalam sana bersamamu? Gadis yang tubuhnya kaupakai?"
Ini bukan lagi rahasia--Jamie dan Jeb mengetahui kebenarannya. Ini juga bukan rahasia yang benar-benar penting. Bagaimanapun, aku percaya Ian takkan mengoceh kepada siapa pun yang hendak membunuhku karenanya. "Ya," jawabku. "Melanie masih ada di sini."
Ian mengangguk pelan. "Bagaimana rasanya? Bagimu? Baginya?"
"Membuat... frustasi, bagi kami berdua. Mulanya aku bersedia menyerahkan apa saja agar dia menghilang seperti seharusnya. Tapi kini aku... aku sudah terbiasa dengannya." Aku tersenyum masam. "Terkadang menyenangkan mempunyai teman. Ini lebih sulit bagi Melanie. Dalam banyak hal dia seperti tawanan. Terkurung di dalam kepalaku. Tapi dia lebih suka ditawan daripada menghilang."
"Aku tidak tahu ada pilihan semacam itu."
"Awalnya tidak ada. Perlawanan dimulai ketika bangsamu menyadari apa yang terjadi. Sepertinya itulah kuncinya--mengetahui apa yang bakal terjadi. Manusia yang diambil secara mendadak tidak memberikan perlawanan."
"Jadi, seandainya aku tertangkap?"
Kuamati ekspresi garang Ian--api di dalam mata cemerlangnya.
"Kurasa kau takkan menghilang. Tapi segalanya sudah berubah. Kini jika menangkap manusia dewasa, mereka tidak akan menawarkannya sebagai inang. Terlalu banyak masalah." Aku kembali tersenyum sedikit. "Masalah-masalah seperti yang kualami. Menjadi lembek, bersimpati terhadap inangku, kehilangan arah..."
Ian merenungkannya untuk waktu lama, sesekali memandang wajahku, sesekali memandangi batang-batang tanaman jagung, sesekali tidak memandang apa-apa.
"Lalu apa yang akan mereka lakukan padaku seandainya mereka menangkapku sekarang?" tanyanya akhirnya.
"Kurasa mereka masih akan melakukan penyisipan. Mencoba  memperoleh informasi. Mungkin mereka akan menyisipkan Pencari di dalam tubuhmu.
Ian bergidik.
"Tapi mereka takkan menggunakanmu sebagai inang. Tak peduli apakah mereka memperoleh informasi atau tidak, kau akan dibuang." Sulit mnegucapkan kata itu. Gagasan itu membuatku mual. Ini aneh, karena biasanya segala sesuatu yang berhubungan dengan manusialah yang membuatku mual. Tapi aku tak pernah memandang situasinya dari perspektif tubuh ini; tak ada planet yang memaksaku melakukan hal itu. Tubuh yang tidak berfungsi dengan baik akan segera dibuang, tanpa rasa sakit, karena tubuh itu sudah tidak berguna, sebagaimana halnya mobil mogok. Apa gunanya menyimpannya? Ada juga kondisi-kondisi benak yang membuat tubuh tak bisa digunakan: ketergantungan mental yang membahayakan, keinginan jahat, hal-hal yang tak bisa disembuhkan dan membuat tubuh tak aman bagi yang lan. Atau tentu saja benak dengan kemauan yang terlalu kuat untuk dienyahkan. Penyimpangan yang hanya terjadi di planet ini.
Sebelumnya aku tak pernahh menyadari salahnya menganggap roh yang tak terkalahkan sebagai kecacatan. Tapi kini hal itu tampak jelas bagiku, ketika memandang mata Ian.
"Dan seandainya mereka menangkapmu?" tanyanya.
"Seaindainya mereka menyadari sapa diriku... seandainya ada yang masih mencariku..." Aku membayangkan Pencari-ku, lalu bergidik. "Mereka akan mengeluarkanku dan menyisipkanku di dalam inang lain--seseorang yang masih muda, yang mudah dikendalikan. Mereka akan berharap aku bisa kembali menjadi diriku. Mungkin mereka akan mengirimku ke luar planet--menyingkirkanku dari pengaruh-pengaruh jahat."
"Apakah kau akan kembali menjadi dirimu?"
Aku membalas tatapan Ian. "Aku adalah aku. Aku belum menyerahkan diri kepada Melanie. Perasaanku akan sama seperti yang kini kurasakan, bahkan ketika aku menjadi Beruang atau Bunga."
"Mereka tidak akan membuangmu?"
"Sama sekali tidak. Bangsa kami tidak mengenal hukuman mati. Atau hukuman apa pun. Sungguh. Apa pun yang mereka lakukan, itu adalah untuk menyelamatkanku. Dulu aku selalu menganggap cara lain memang tak diperlukan, tapi kini aku memiliki diriku sendiri sebagai bukti untuk menentang teori itu. Mungkin membuangku adalah tindakan benar. Aku pengkhianat, bukan?"
Ian mengerutkan bibir. "Kurasa lebih tepat disebut ekspatriat. Kau belum mengkhianati mereka; kau hanya meninggalkan masyarakat mereka."
Kami kembali terdiam. Aku ingin mempercayai kebenaran perkataan Ian. Aku merenungkan kata ekspatriat, mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa aku tidak lebih buruk daripada itu.
Ian mengembuskan napas cukup keras sehingga aku terlompat. "Kalau Doc sudah sadar, kita akan memintanya memeriksa wajahmu." Ia mengulurkan tangan dan meletakkannya di daguku. Kali ini aku tidak menarik diri. Ia memalingkan kepalaku sehingga bisa meneliti luka itu.
"Tidak perlu. Aku yakin penampilan lukanya lebih buruk daripada yang sebenarnya."
"Kuharap begitu--kelihatannya mengerikan." Ian mendesah.
"Kurasa kita sudah cukup lama bersembunyi. Pasti Kyle sudah besih dan tak sadarkan diri. Perlu bantuan mencuci piring?"
Ian tidak membiarkanku mencuci piring di sungai kecil seperti yang biasa kulakukan. Ia bersikeras kami pergi ke kamar mandi gelap, karena di sana aku tak terlihat. Aku menggosok piring di ujung dangkal kolam gelap, sementara Ian membersihkan kotoran yang tertinggal di tubuhnya akibat pekerjaan misteriusnya. Lalu ia membantuku dengan mangkuk-mangkuk kotor terakhir.
Ketika kami sudah selesai, ia mendampingiku kembali ke dapur, yang mulai dipenuhi kerumunan orang yang makan siang. Ada lebih banyak hidangan makanan segar: iris-irisan roti putih empuk, keju cheddar berbau tajam, lingkaran-lingkaran sosis bologna merah dadu menggiurkan. Orang - orang menyantap dengan lahap, walaupun keputusasaan masih tampak pada bahu-bahu yang merosot, pada tidak adanya senyuman atau tawa.
Jamie menungguku di meja kami yang biasa. Dua tumpuk roti lapis tergeletak di hadapannya, tapi ia tidak makan. Lengannya terlipat. Ian mengamati ekspresi Jamie dengan penasaran, tapi ia pergi mengambil makanan tanpa bertanya.
Aku memutar bola mata melihat kekeraskepalaan Jamie, lalu mulai makan. Begitu aku mengunyah, Jamie langsung makan. Ian kembali dengan cepat, dan kami makan sambil membisu. Hidangannya sangat lezat, sehingga sulit membayangkan perlu mengobrol--atau melakukan apa pun yang bisa mengosongkan mulut kami.
Aku berhenti ketika sudah menambah satu kali, tapi Jamie dan Ian makan sampai mengerang kesakitan. Ian seolah hendak pingsan. Matanya berjuang untuk tetap terbuka.
"Kembalilah ke sekolah, Nak," ujarnya kepada Jamie.
Jamie mengamati Ian. "Mungkin aku harus mengambil alih..."
"Pergilah ke sekolah," ujarku cepat-cepat. Aku ingin Jamie berada dalam jarak aman dariku hari ini.
"Sampai jumpa lagi, oke? Jangan mengkhawatirkan... apa pun."
"Pasti." Satu kata bohong tidak bakal ketahuan. Atau mungkin aku hanya kembali bersikap sarkastis.
Setelah Jamie pergi, aku berbalik kepada Ian yang mengantuk. "Pergilah beristirahat. Aku akan baik-baik saja—aku akan tidur di suatu tempat yang tidak mencolok. Di tengah ladang jagung atau semacamnya.”
“Di mana kau tidur semalam?” Tanya Ian. Matanya tampak tajam di bawah kelopaknya yang setengah tertutup.
“Mengapa?”
“Sekarang aku bisa tidur di sana, dan kau bisa tampak tidak mencolok di sampingku.”
Kami hanya bergumam, dan kini nyaris berbisik. Tak seorang pun memperhatikan.
“Kau tak bisa mengawasiku setiap detik.”
“Berani bertaruh?”
Aku mengangkat bahu, menyerah. “Aku kembali ke… ke lubang. Tempat aku dulu ditawan.”
Ian mengernyit; ia tidak menyukainya. Tapi ia bangkit berdiri dan menuntunku kembali ke koridor gudang. Plaza utama kembali sibuk, dipenuhi orang yang bergerak di sekitar kebun. Semuanya muram, mata mereka memandang kaki.
Ketika kami sendirian di terowongan hitam itu, aku mencoba membantah Ian lagi.
“Ian, apa gunanya ini? Bukankah Jamie akan semakin terluka jika aku hidup lebih lama? Akhirnya akan lebih baik baginya jika—“
“Jangan berpikir seperti itu, Wanda. Kami bukan binatang. Kematianmu bukan hal yang tak terhindarkan.”
“Kurasa kau memang bukan binatang,” ujarku pelan.
“Terima kasih, walaupun aku tidak memaksudkannya sebagai tuduhan. Aku takkan menyalahkanmu, seandainya kau beranggapan seperti itu.”


Itulah akhir percakapan kami; saat itu kami sama-sama melihat cahaya biru pucat yang memantul samar dari sekitar belokan berikutnya di dalam terowongan.
“Sst,” bisik Ian. “Tunggu di sini.”
Ian mendorong bahuku dengan lembut, mencoba menahanku agar tetap berada di tempatku berdiri. Lalu ia melangkah maju, tanpa berusaha menyembunyikan suara langkahnya. Ia menghilang di belokan.
“Jared?” Kudengar Ian berkata, pura-pura terkejut.
Jantungku terasa berat; sensasinya lebih cenderung nyeri daripada takut.
“Aku tahu mahluk itu bersamamu,” jawab Jared. Ia meninggikan suara, sehingga siapa pun yang berada di antara tempat ini dan plaza utama akan mendengarnya. “Keluarlah, keluarlah, di mana pun kau berada,” panggilnya. Suaranya dingin dan mengejek.




The Host-Bab 27

0 comments


Bimbang


Aku meraba-raba jalanku untuk kembali ke lubang penjara. Sudah berminggu-minggu berlalu sejak aku menyusuri koridor yang satu ini. AKu belum pernah kembali sejak pagi setelah Jared pergi dan Jeb membebaskank. Bagiku sepertinya di sinilah tempat tinggalku, selama aku masih hidup dan Jared berada di dalam gua.
Kini tak ada cahaya suram menyambutku. Aku cukup yakin hampir tiba di sana--belokan-belokannya belum begitu kukenal. Kubiarkan tangan kiriku meraba-raba dinding serendah mungkin, mencari-cari lubang itu sambil merayap maju. Aku belum memutuskan untuk merangkak kembali ke dalam lubang sempit itu, tapi setidaknya lubang itu memberiku titik referensi, memberitahukan bahwa aku berada di tempatku seharusnya.
Ternyata aku tak bisa menghuni selku.
Tepat ketika jari-jariku mengusap pinggiran kasar di bagian atas lubang, kakiku menabrak penghalang dan aku tersandung, jatuh berlutut. Kuulurkan tangan untuk menopang tubuh, tapi keduanya mendarat dengan bunyi berderak dan berkeretak, memecahkan sesuatu yang bukan batu dan seharusnya tak ada di sini.
Suara itu mengejutkanku. Benda tak terduga itu membuatku takut. Mungkin aku salah belok dan sama sekali tidak berada di dekat lubang. Mungkin aku berada di tempat tinggal seseorang. Kuingat-ingat perjalanan terakhirku, bertanya-tanya bagaimana aku bisa begitu bingung. Sementara itu aku menunggu semacam reaksi atas jatuhku yang berisik. Aku diam tak bergerak di dalam kegelapan.
Tak ada apa-apa--tak ada reaksi, tak ada suara. Yang ada hanya kegelapan, kepengapan, dan kelembapan seperti biasa. Keadaan sangat hening, sehingga aku tahu aku pasti sendirian.
Dengan hati-hati, seraya berusaha mengeluarkan sesedikit mungkin suara, kuteliti keadaan sekelilingku.
Tanganku terperangkap di dalam sesuatu. Aku menarik agar benda itu terlepas, lalu meraba kontur yang terasa seperti kotak karton-kotak karton dengan lembaran plastik tipis berkeresak di atasnya yang telah ditembus kedua tanganku. Aku meraba-raba ke dalam kotak dan menemukan selapis plastik keresek lagi--bentuk-bentuk persegi empat kecil yang menciptakan banyak suara ketika kupegang. Cepat-cepat aku mundur, takut menarik perhatian.
Aku ingat tadi merasa telah menemukan bagian atas lubang. Aku meraba-raba sebelah kiriku, dan menemukan lebih banyak tumpukan kotak karton. Ak berusaha mencari bagian atas tumpukan, dan harus berdiri untuk bisa melakukannya. Tumpukannya setinggi kepala. Aku meraba-raba sampai menemukan dinding, lalu menemukan lubang, persis di tempat yang kuduga sebagai letaknya. Aku mencoba memanjat masuk, memastikan itu benar-benar tempat yang sama--sedetik saja berada di lantai melengkung itu, dan aku bakal tahu pasti--tapi aku tidak bisa masuk lebih jauh ke lubang. Bagian dalamnya juga disesaki kotak.
Karena terhalang aku menjelajah dengan dua tangan, bergerak kembali ke lorong. Kusadari aku tak bisa pergi lebih jauh menyusuri lorong. Bagian itu juga penuh kotak karton misterius.
Ketika aku meraba-raba sepanjang lantai, mencoba untuk mengerti, kutemukan sesuatu yang berbeda. Ada kain kasar seperti goni--karung berisi sesuatu yang berat, yang bergeser dengan suara berdesis pelan ketika kusikut. Kuremas-remas karung itu dengan dua tangan. Suara berdesis pelan itu lebih tidak membuatku takut dibandingkan keresek plastik. Suara ini sepertinya tak memungkinkan orang lain menyadari kehadiranku.
Mendadak semua jadi jelas. Baunyalah yang menjelaskan semua itu. Ketika materi mirip pasir di dalam karung itu kumain-mainkan, aku mencium bau yang kukenal. Mengingatkanku pada dapur kosongku di San Diego, pada lemari rendah di bagian kiri tempat cuci piring. Di dalam benak bisa kulihat dengan sangat jelas karung beras, cangkir pengukur plastik yang kugunakan untuk mengeluarkan beras, serta barisan-barisan makanan kaleng di belakangnya.
Setelah kusadari bahwa aku menyentuh sekarung beras, aku mengerti. Ternyata aku berada di tempat yang benar. Bukankah Jeb pernah bilang mereka menggunakan tempat ini sebagai gudang? Dan bukankah Jared baru saja kembali dari penjarahan panjangnya? Kini semua barang--yang dicuri para penjarah itu selama berminggu-minggu kepergian mereka--diletakkan di tempat terpencil ini sampai saatnya digunakan.
Banyak pikiran berkelebat serentak di benakku.
Pertama, kusadari aku dikelilingi makanan. Bukan hanya roti kasar dan sup bawang encer, melainkan makanan. Di suatu tempat di antara tumpukan ini mungkin ada selai kacang. Biskuit chocolate chip. Keripik ketnag. Cheetos.
Bahkan ketika aku membayangkan menemukan makanan-makanan itu, membayangkan mencicipinya lagi, merasa kenyang untuk pertama kali sejak meninggalkan peradaban, aku merasa bersalah karena memikirkannya. Jared tidak mempertaruhkan nyawa dan menghabiskan berminggu-minggu dengan bersembunyi dan mencuri untuk memberiku makan. Makanan ini untuk orang-orang lain.
Aku juga khawatir kemungkinan ini belum seluruh hasil curian. Bagaimana jika mereka punya lebih banyak kotak yang harus disimpan? Apakah orang yang membawa kotak-kotak itu nanti Jared dan Kyle? Sama sekali tidak diperlukan imajinasi untuk membayangkan adegan yang bakal terjadi seandainya mereka menemukanku di sini.
Tapi bukankah itu alasanku berada di sini? Bukankah itu alasan aku perlu sendirian untuk memikirkannya?
Aku bersandar di dinding. Karung beras itu menjadi bantal yang lumayan. Kupejamkan mata--walaupun itu tak diperlukan di dalam kegelapan sehitam tinta ini--dan siap berkonsultasi.
Oke, Mel. Sekarang bagaimana?
Aku senang mendapati Melanie masih terbangun dan siaga. Perlawanan mendatangkan kekuatannya. Ia hanya menghilang ketika segalanya berjalan baik.
Prioritas, ujar Melanie memutuskan. Apa yang terpenting bagi kita? Tetap hidup? Atau Jamie?
Ia tahu jawabannya. Jamie, jawabku menegaskan, seraya mendesah keras. Suara napasku berbisik kembali dari dinding-dinding hitam.
Setuju. Kita mungkin bisa bertahan untuk sementara waktu, seandainya kita membiarkan Jeb dan Ian melindungi kita. Akankah itu membantu Jamie?
Mungkin. Apakah ia lebih terluka kalau kita menyerah begitu saja? Atau kalau kita membiarkan hal ini berlarut-larut, hanya untuk berakhir dengan buruk, hal yang tampaknya tak terhindarkan?
Melanie tidak suka itu. Aku bisa merasakannya berpikir keras, mencari alternatif-alternatif.
Mencoba kabur, saranku.
Mustahil, Melanie memutuskan. Lagi pula, apa yang akan kita lakukan di luar sana? Apa yang bisa kita katakan kepada mereka?
Kami sama-sama membayangkannya--bagaimana aku bisa menjelaskan ketidakhadiranku selama berbulan-bulan? Aku bisa berbohong, mengarang semacam cerita alternatif, atau mengatakan tidak ingat. Tapi aku membayangkan wajah skeptis Pencari, dengan mata menonjolnya yang bekilat-kilat curiga, dan aku tahu usaha-usaha cerobohku untuk berdalih bakal gagal.
Mereka akan mengira aku mengambil alih, ujar Melani setuju. Lalu mereka akan mengeluarkanmu dan memasukkan Pencari.
Aku menggeliat, seakan posisi baru di lantai batu bisa menjauhkanku dari gagasan itu, dan aku bergidik. Lalu kuikuti pikiran itu sampai kepada kesimpulannya. Pencari akan memberitahu mereka tentang tempat ini, dan para Pencari akan datang.
Kengerian melanda kami.
Benar, lanjutku. Jadi, mustahil untuk kabur.
Benar, bisik Melanie. Emosi membuat pikirannya tidak stabil.
Jadi keputusannya adalah ... cepat atau lambat. Mana yang lebih tidak melukai Jamie?
Tampaknya selama memusatkan diri pada hal-hal praktis, setidaknya aku bisa menjaga pembahasan dari sisiku agar tetap resmi dan tanpa perasaan. Melanie mencoba meniru usahaku.
Aku tidak yakin. Di satu sisi semakin lama kita bertiga bersama-sama, secara logis akan semakin berat--perpisahan itu bagi Jamie. Tapi sekali lagi, kalau kita tidak melawan, seandainya kita menyerah begitu saja... Jamie tidak bakal senang. Ia akan merasa kita mengkhianatinya.
Jadi... cepat. Tapi kita harus berusaha sebaik mungkin agar tidak mati?
Melawan habis-habisan, tegas Melanie muram.
Melawan. Hebat. Aku mencoba membayangkannya--menghadapi kekerasan dengan kekerasan. Mengangkat tangan untuk memukul seseorang. Aku bisa membentuk kata-kata itu, tapi tidak bisa membayangkannya.
Kau bisa melakukannya, Melanie menguatkan. Aku akan membantumu.
Terima kasih, tapi tidak. Pasti ada cara lain.
Aku tidak memahamimu, Wanda. Kau telah meninggalkan spesiesmu, kau siap mati demi adikku, kau jatuh cinta kepada lelaki yang kucintai dan hendak membunuh kita, tapi kau tak mau melepaskan kebiasaan-kebiasaan yang sungguh tidak praktis di sini.
Aku adalah aku, Mel. Aku tidak bisa mengubahnya, walaupun segala hal lainnya mungkin berubah. Kau mempertahankan dirimu. Biarkan aku melakukan hal yang sama.
Tapi kalau kita mau--
Melanie hendak melanjutkan perdebatannya denganku, tapi kami terganggu. Suara langkah terseret, sepatu di atas batu, menggema dari suatu tempat di koridor.
Aku terpaku--segenap fungsi tubuhku berhenti, kecuali jantung yang bahkan berdenyut terputus-putus--dan mendengarkan. Aku tidak bisa berharap cukup lama bahwa suara itu hanya khayalanku. Dalam hitungan detik aku bisa mendengar lebih banyak langkah kaki yang perlahan-lahan menghampiriku.
Melanie tetap tenang, sedangkan aku menyerah pada kepanikan.
Berdirilah, perintah melanie.
Mengapa?
Kau tidak mau melawan, tapi kau bisa lari. Kau harus berusaha melakukan sesuatu--demi Jamie.
Aku bernapas lagi, menjaga napasku tetap pelan dan pendek. Perlahan-lahan aku bergerak maju, sampai bediri di atas tumit. Adrenalin mengalir melalui otot-ototku yang bergelenyar dan melentur dibuatnya. Aku bisa lari lebih cepat daripada sebagian besar orang yang mencoba menangkapku, tapi aku harus lari ke mana?
"Wanda?" terdengar bisikan pelan seseorang. "Wanda? Kau di sini? Ini aku."
Suaranya pecah, dan aku mengenalinya.
"Jamie!" seruku parau. "Apa yang kaulakukan? Sudah kubilang aku perlu sendirian."
Kelegaan jelas terdengar di dalam suaranya, yang kini lebih keras daripada bisikan. "Semua mencarimu. Well, kau tahulah. Trudy, Lily, dan Wess--semua orang yang itu. Tapi kami tak bisa membiarkan siapa pun tahu apa yang sedang kami lakukan. Tak seorang pun boleh tahu kau menghilang. Jeb kembali membawa senapannya. Ian bersama Doc. Jika Doc sudah punya waktu, dia akan bicara dengan Jared dan Kyle. Semua orang mendengarkan perkataan Doc. Jadi kau tidak perlu bersembunyi. Semua orang sibuk, dan mungkin kau lelah..."
Sambil menjelaskan, Jamie terus bergerak maju sampai jemarinya menemukan lenganku, lalu tanganku.
"Aku tidak benar-benar bersembunyi, Jamie. Sudah kubilang, aku harus berpikir."
"Kau bisa berpikir bersama Jeb di sana, bukan?"
"Kau mau aku pergi ke mana? Kembali ke kamar Jared? Inilah tempatku seharusnya."
"Tidak lagi." Nada keras kepala yang kukenal muncul di dalam suaranya.
"Mengapa semua orang begitu sibuk?" tanyaku, mengalihkan perhatiannya. "Doc sedang apa?"
Usahaku tidak berhasil; Jamie tidak menjawab.
Setelah semenit kebisuan, kusentuh pipinya. "Dengar, kau harus bersama Jeb. Katakan pada yang lain untuk berhenti mencariku. Aku akan tetap di sini untuk sementara waktu."
"Kau tidak boleh tidur di sini."
"Aku sudah pernah melakukannya."
Kurasakan kepala jamie menggeleng di tanganku.
"Setidaknya aku akan mengambil kasur-kasur dan bantal."
"Aku hanya perlu satu."
"Aku tidak akan tidur dengan Jared selama dia masih begitu menjengkelkan."
Aku menggeram di dalam hati. "Kalau begitu kau akan tidur bersama Jeb dan dengkurannya. Tempatmu adalah bersama mereka, bukan aku."
"Tempatku adalah di mana pun yang kuinginkan."
Ancaman Kyle akan menemukanku di sini sangat memberati benakku. Tapi membantah hanya akan membuat Jamie merasa bertanggung jawab untuk melindungiku.
"Baiklah, tapi kau harus minta izin kepada Jeb."
"Nanti. Aku tidak akan mengganggu Jeb malam ini."
"Apa yang dilakukan Jeb?"
Jamie tidak menjawab. Saat itulah kusadari ia tadi juga sengaja tidak menjawab pertanyaanku. Ada sesuatu yang tak ingn diceritakannya kepadaku. Mungkin yang lain juga sibuk berusaha menemukanku. Mungkin kepulangan Jared telah mengembalikan mereka pada pendapat mereka semula tentangku. Tampaknya memang seperti itu di dapur tadi, ketika mereka menunduk dan melirikku diam-diam dengan pandangan bersalah.
"Ada apa, Jamie?" desakku.
"Tidak boleh kukatakan kepadamu," gumamnya. "Dan aku memang takkan bilang." Jamie memeluk pinggangku erat-erat, wajahnya ditekankan ke bahuku. "Semua akan baik-baik saja," janjinya parau.
Aku menepuk-nepuk punggung Jamie dan menelusurkan jemariku pada rambut acak-acakannya. "Oke," ujarku, menyetujui kebisuannya. Bagaimanapun aku juga punya rahasia-rahasia, bukan? "Jangan khawatir, Jamie. Apa pun itu, segalanya akan selesai dengan sangat baik. Kau akan baik-baik saja." Ketika mengucapkannya, aku sangat berharap itu benar.
"Aku tidak tahu harus berharap apa," bisiknya.
Aku menatap kegelapan tanpa memandang apa pun--mencoba memahami apa yang tak ingin dikatakan Jamie--dan mataku menangkap kilau samar di ujung jauh lorong. Suram, tapi jelas terlihat di dalam gua hitam.
"Sst," desahku. "Ada orang. Cepat, sembunyilah di balik kotak."
Kepala Jamie langsung mendongak ke arah cahaya kuning yang semakin terang itu. Aku menunggu suara langkah yang menyertainya, tapi tidak mendengar apa-apa.
"Aku tidak akan bersembunyi," bisik Jamie. "Pergilah ke belakangku, Wanda."
"Tidak!"
"Jamie!" seru Jared. "Aku tahu kau di belakang sana!"
Kedua kakiku terasa hampa, membeku. Mengapa harus Jared? Akan jauh lebih mudah bagi Jamie, seandainya Kyle yang membunuhku.
"Pergi!" sahut Jamie lantang.
Cahaya kuning itu mendekat secepat kilat, dan berubah jadi lingkaran di dinding yang jauh.
Jared melangkah dari pojok, senter di tangannya bergerak-gerak menyapu lantai batu. Ia sudah bersih, mengenakan kemeja merah pudah yang kukenal--pakaian itu tergantung di kamar yang kutempati berminggu-minggu, sehingga sangat kukenal. Wajah Jared juga kukenal--ekspresinya sama persis dengan ketika aku pertama kali muncul di sini.
Cahaya senter menimpa wajahku dan membutakanku. Aku tahu cahaya itu memantul dengan cemerlang dari warna perak di balik mataku, karena kurasakan Jamie terlompat--hanya sedikit terkejut, lalu ia memelukku lebih erat daripada sebelumnya.
"Menyingkirlah darinya!" raung Jared.
"Diam!" sergah Jamie. "Kau tidak mengenalnya! Jangan ganggu dia!"
Jamie menggayutiku, sementara aku mencoba melepaskan kedua tangannya.
Jared menerjang seperti banteng mengamuk. Ia mencengkeram punggung kemeja Jamie dengan sebelah tangan dan menariknya dariku. Lalu diguncang-guncangnya Jamie seraya berteriak.
"Kau tolol! Tidakkah kaulihat bagaimana dia memanfaatkanmu?"
Secara insting kusorongkan tubuhku ke ruang sempit di antara mereka. Seperti kuharapkan, gerakanku membuat Jared melepaskan Jamie. Aku tidak menginginkan atau memerlukan terjadinya hal lain--betapa aroma Jared  yang kukenal menerpa seluruh indraku, betapa kontur dadanya terasa di kedua tanganku.
"Jangan ganggu Jamie," ujarku. Kali ini aku berharap bisa jadi lebih seperti yang diinginkan Melanie--kedua tanganku tampak keras dan suaraku lantang.
Jared menangkap kedua pergelangan tanganku dengan sebelah tangan, lalu melemparku ke dinding. Dampaknya mengejutkanku, membuatku tak bisa bernapas. Tubuhku memantul dari dinding batu ke lantai, lalu kembali mendarat di atas kotak-kotak itu, menciptakan suara berdebum gemersik ketika merobek lebih banyak cellophane.
Kepalaku berdenyut-denyut. Aku tergeletak dengan posisi tertekuk janggal di atas kotak-kotak itu, dan sejenak kulihat cahaya-cahaya aneh berseliweran di depan mataku.
"Pengecut!" teriak Jamie kepada Jared. "Dia tidak akan melukaimu, bahkan untuk menyelamatkan dirinya sendiri! Mengapa kau tidak bisa membiarkannya saja?"
Aku mendengar kotak-kotak bergeser, dan merasakan sepasang tangan Jamie di lenganku. "Wanda? Kau baik-baik saja, Wanda?"
"Ya." Aku mendesah, mengabaikan denyut-denyut di kepalaku. Aku bisa melihat wajah khawatir Jamie melayang-layang di atas tubuhku dalam kilau senter yang agaknya telah dijatuhkan Jared.
"Sekarang kau harus pergi, Jamie," bisikku. "Lari."
Jamie menggeleng kuat-kuat.
"Menjauhlah dari mahluk itu!" sergah Jared.
Aku menyaksikan ketika Jared mencengkeram bahu Jamie dan menarik anak itu dari posisi jongkoknya. Kotak-kotak yang tersenggol menjatuhiku seperti longsoran salju kecil. Aku berguling menjauh, menutupi kepala dengan kedua lengan. Sebuah kotak berat menimpa tubuhku, tepat di antara tulang belikatku, dan aku berteriak kesakitan.
"Berhentilah menyakitinya!" teriak Jamie.
Terdengar suara berderak keras, dan helaan napas terkejut seseorang.
Aku berjuang melepaskan diri dari bawah kotak berat, lalu bangkit dengan bertumpu pada kedua sikuku. Kepalaku pening.
Jared menutupi hidungnya dengan sebelah tangan, sesuatu yang gelap mengalir ke bibirnya. Matanya membelalak terkejut. Jamie berdiri di hadapannya dengan kedua tangan terkepal dan wajah menyeringai marah.
Ketika Jared menatapnya terkejut, ekspresi Jamie perlahan-lahan luruh, digantikan ekspresi terluka--perasaan terluka dan terkhianati yang begitu mendalam, mengalahkan ekspresi Jared ketika berada di dapur tadi.
"Kau bukan lelaki yang kukenal," bisik Jamie. Ia memandang Jared seakan Jared sangat jauh, seakan ada dinding di antara mereka dan Jamie benar-benar terisolasi di tempatnya.
Mata Jamie berkaca-kaca, dan ia berpaling, merasa malu menunjukkan kelemahannya di depan Jared. Dengan gerakan tersentak-sentak cepat, ia berjalan pergi.
Kita sudah berusaha, pikir Melanie sedih. Jantungnya nyeri memikirkan anak itu, walaupun ia sangat menginginkan tatapanku kembali kepada Jared. Kuberi Melanie apa yang ia inginkan.
Jared tidak memandangku. Ia menatap kegelapan tempat Jamie menghilang. Tangannya masih menutupi hidung.
"Aw, sialan!" serunya tiba-tiba. "Jamie!" kembalilah ke sini!"
Tak ada jawaban.
Jared melirikku dengan tatapan dingin--aku terenyak, walaupun sepertinya kemarahannya telah memudar. Lalu ia membungkuk mengambil senter dan bergegas mengejar Jamie, menendang kotak yang menghalangi jalannya.
"Maaf, oke? Jangan menangis, Nak!" Dengan marah Jared meneriakkan lebih banyak permintaan maaf. Ia berbelok dan meninggalkanku terbaring dalam kegelapan.
Untuk waku lama kau hanya bisa mencoba bernapas. Aku berkonsentrasi pada udara yang mengalir masuk, lalu keluar, lalu masuk. Setelah merasa telah menguasai gerakan itu, aku berusaha bangkit dari lantai. Perlu beberapa detik untuk mengingat bagaimana cara menggerakkan kakiku. Dan, bahkan setelah itu pun, sepasang kakiku masih gemetaran dan nyaris roboh, sehingga aku kembali duduk bersandar pada dinding, memerosotkan tubuh sampai menemukan bantal berasku. Aku duduk lunglai di sana, menilai keadaanku.
Tak ada yang patah--kecuali mungkin hidung Jared. Aku menggeleng pelan. Jamie dan Jared tak boleh berkelahi. Aku menyebabkan begitu banyak kekacauan dan ketidakbahagiaan bagi mereka. Aku mendesah dan kembali menilai keadaanku. Ada bagian sangat nyeri di tengah punggungku, dan satu sisi wajahku terasa kasar serta lembab di bagian yang menabrak dinding. Rasanya menyengat ketika kusentuh, dan meninggalkan cairan hangat di jari-jariku. Tapi itulah bagian terburuk. Semua memar dan lecet lainnya tidak parah.
Ketika menyadari hal itu, secara tak terduga diriku dikuasai kelegaan.
Aku masih hidup. Jared mendapat peluang untuk membunuhku, tapi belum melakukannya. Jadi, kerusakan apa pun yang kutimbulkan pada hubungan mereka, mungkin itu amsih bisa diperbaiki.
Hari yang panjang. Harinya sudah panjang, bahkan sebelum Jared dan yang lain muncul. Dan itu rasanya seperti sudah ribuan tahun yang lalu. Kupejamkan mata, dan aku terlelap di atas beras.

Jual Nugget dan Sosis Sayur

Jual Nugget dan Sosis Sayur
Pemesanan via email : lwati111@gmail.com

The Host - Bab 28

0 comments
Bingung

Rasanya membingungkan ketika terbangun di dalam kegelapan total. Pada bulan-bulan terakhir aku terbiasa melihat matahari yang mengatakan hari sudah pagi. Pertama-tama aku mengira hari masih malam, tapi perasaan menyengat di wajahku dan rasa nyeri di punggungku mengingatkanku di mana aku berada.

Di sampingku, aku bisa mendengar suara napas pelan teratur. Tidak membuatku takut, karena itu suara yang paling kukenal di sini. Aku tidak terkejut melihat Jamie menyelinap kembali untuk tidur di sampingku semalam.
Mungkin perubahan pada napaskulah yang membangunkannya, atau mungkin itu hanya karena jadwal kami telah selaras. Tapi beberapa detik setelah aku terbangun, Jamie sedikit menghela napas terkejut.
"Wanda?" bisiknya.
"Aku di sini."
Ia menghela napas lega.
"Gelap sekali di sini," ujarnya.
"Ya."
"Menurutmu sudah waktunya sarapan?"
"Aku tak tahu."
"Aku lapar. Ayo, kita lihat."
Aku tidak menjawab.
Jamie mengartikan kebisuanku dengan benar, karena ia tertegun.
"Kau tidak perlu bersembunyi di sini, Wanda," ujarnya sungguh-sungguh, setelah sejenak menungguku bicara. "Semalam aku bicara dengan Jared. Dia akan berhenti mengganggumu--dia berjanji."
Aku nyaris tersenyum. Menggangguku.
"Maukah kau pergi bersamaku?" desak Jamie. Tangannya menemukan tanganku.
"Kau benar-benar ingin aku melakukan itu?" tanyaku pelan.
"Ya. Semuanya akan sama seperti sebelumnya."
Mel? Apakah ini yang terbaik?
Aku tak tahu. Melanie bingung. Ia tahu dirinya tak bisa bersikap objektif; ia ingin berjumpa dengan Jared.
Kau tahu, itu sinting.
Tidak sesinting kenyataan bahwa kau ingin bertemu dengannya juga.
"Baiklah, Jamie," ujarku setuju. "Tapi jangan sedih kalau keadaan tidak sama seperti sebelumnya, oke? Kalau segalanya jadi buruk... Well, jangan terkejut."
"Semua akan baik-baik saja. Nanti kaulihat sendiri."
Kubiarkan Jamie menuntunku keluar dari kegelapan dengan menarik tanganku yang masih digenggamnya. Aku menguatkan diri ketika kami memasuki ruang gua dengan kebun besar itu. Aku tak bisa memastikan reaksi semua orang terhadapku hari ini. Siapa yang tahu, perkataan apa yang terucap ketika aku tidur?
Tapi kebun kosong, walaupun matahari bersinar cera di langit pagi. Cahaya matahari memantul dari ratusan cermin, sejenak membutakanku.
Jamie tidak tertarik pada ruang gua kosong itu. Matanya memandang wajahku, dan ia menghela napas tajam lewat sela-sela gigi ketika cahaya menyentuh pipiku.
"Oh," ujar Jamie terkejut. "Kau baik-baik saja? Apakah rasanya sakit sekali?"
Kusentuh ringan wajahku. Kulitnya terasa kasar--kotoran yang mengeras dalam darah. Rasanya berdenyut-denyut ketika tersapu jari.
"Tidak apa-apa," bisikku. Ruang gua kosong itu membuatku cemas--aku tak ingin bicara terlalu keras. "Di mana semua orang?"
Jamie mengangkat bahu, tatapannya masih tegang ketika meneliti wajahku. "Sibuk, kurasa," Ia tidak merendahkan suaranya.
Ini mengingatkanku pada kejadian semalam, pada rahasia yang tak mau diceritakannya kepadaku. Alisku bertaut.
Menurutmu apa yang tidak diceritakannya kepada kita?
Kita sama-sama tak tahu, Wanda.
Kau manusia. Bukankah kau seharusnya punya intuisi atau semacam itu?
Intuisi? Intuisiku mengatakan kita tidak mengenal tempat ini sebaik yang kita sangka, ujar Melanie.
Kami merenungkan ucapan penuh ancaman itu.
Rasanya nyaris melegakan ketika aku mendengar suara-suara normal di waktu makan yang berasal dari koridor dapur. Tak ada orang tertentu yang ingin kujumpai--tentu saja selain kerinduan sinting untuk bertemu Jared. Tapi terowongan-terowongan yang sepi, ditambah pengetahuan bahwa ada sesuatu yang dirahasiakan dariku, membuatku gelisah.
Dapurnya bahkan tidak terisi setengahnya---itu hal yang aneh di pagi seperti ini. Tapi itu nyaris tidak kuperhatikan, karena aroma dari oven batu mengalahkan semua pikiran lain.
"Oooh," erang Jamie. "Telur!"
Jamie menarikku lebih cepat, dan aku sama sekali tidak keberatan mengikutinya. Kami bergegas, perut keroncongan, menuju meja di dekat oven. Di sana Lucina, sang ibu, berdiri dengan sendok sayur plastik di tangan. Biasanya sarapan bisa diambil sendiri, tapi biasanya sarapan hanya terdiri atas roti bulat keras.
Lucina hanya memandang Jamie ketika bicara, "Satu jam yang lalu rasanya lebih enak."
"Sekarang pun tetap enak," jawab Jamie antusias. "Semua sudah makan?"
"Hampir semua. Kurasa mereka membawa nampan mereka ke tempat Doc, dan yang lain..." Lucina berhenti, mataknya melirikku untuk pertama kali. Jamie melirikku juga. Aku tidak memahami ekspresi Lucina. Ekspresi itu menghilang begitu cepat, digantikan sesuatu yang lain ketika ia meneliti bekas-bekas luka baru di wajahku.
"Berapa banyak yang tersisa?" tanya Jamie. Kini kegairahannya terdengar sedikit dipaksakan.
Lucina berbalik lalu membungkuk, menarik panci logam dari batu-batu panas di bagian bawah oven dengan sendok sayur. "Berapa banyak yang kauinginkan, Jamie? Ada banyak," ujarnya tanpa berbalik.
"Anggap saja aku Kyle," kata jamie sambil tertawa.
"Seukuran porsi Kyle kalau begitu," ujar Lucina. Tapi ketika ia tersenyum, matanya tampak muram.
Lucina mengisi satu mangkuk sup dengan telur orak-arik, berdiri, lalu menyerahkannya kepada Jamie.
Lucina kembali melirikku, dan kupahami apa arti pandangan ini.
"Ayo, duduk di sana, Jamie," kataku, menariknya pergi dari meja.
Jamie menatap takjub. "Kau tidak mau ini?"
"Tidak. Aku--" aku hendak mengatakan "baik-baik saja," tapi perutku yang keroncongan membangkang.
"Wanda?" Jamie memandangku, lalu ganti menatap Lucina yang bersedekap.
"Aku makan roti saja," gumamku, mencoba menarik Jamie pergi.
"Tidak. Lucina, apa masalahnya?" Jamie memandang Lucina penuh harap. Lucina tidak bergerak. "Kalau kau sudah selesai bertugas, aku akan menggantikanmu," saran Jamie. matanya menyipit dan mulutnya membentuk garis tegas.
Lucina mengangkat bahu, lalu meletakkan sendok sayur di meja batu. Ia berjalan pergi perlahan-lahan, tanpa memandangku lagi.
"Jamie," gumamku, berbisik cepat. "Makanan ini bukan untukku. Jared dan yang lain tidak mempertaruhkan nyawa supaya aku bisa makan telur untuk sarapan. Roti tidak apa-apa."
"Jangan tolol, Wanda," ujar Jamie. "Kau tinggal di sini sekarang, sama seperti kami semua. Tak seorang pun keberatan ketika kau mencucikan pakaian atau memanggangkan roti mereka. Lagi pula telur-telur ini tidak tahan lama. Kalau tidak kausantap, telur-telur ini akan terbuang."
Kurasakan semua mata di dalam ruangan menatap punggungku.
"Mungkin itu lebih baik untuk sebagian mereka ," ujarku lebih pelan. Tak seorang pun, kecuali Jamie, yang bisa mendengarnya.
"Biar saja," gerutu Jamie. Ia melompati meja dan mengisi satu mangkuk lagi dengan telur, lalu menyorongkannya kepadaku. "Kau harus menghabiskannya," ujarnya tegas.
Kupandang mangkuk itu. Air liurku menetes. Kudorong telur itu menjauh beberapa senti dariku, lalu bersedekap.
Jamie memberengut. "Baiklah," ujarnya. Lalu ia mendorong mangkuknya sendiri. "Kau tidak makan. Aku tidak makan." Perutnya bergemuruh keras. Ia bersedekap.
Kami bertatapan selama dua menit yang terasa lama, perut sama-sama keroncongan ketika kami mencium aroma telur. Sesekali Jamie melirik mangkuknya. Itulah yang membuatku mengalah--melihat hasrat di matanya.
"Baiklah," ujarku. Kuselipkan mangkuk itu ke tangan Jamie, lalu mengambil mangkukku. Ia baru menyentuh makanannya setelah aku mulai menyuap. Kutahan eranganku ketika rasa telur memenuhi lidah. Aku tahu telur dingin itu bukan makanan terbaik yang pernah kurasakan, tapi seperti itulah rasanya. Tubuh ini hidup untuk saat ini.
Jamie mengalami reaksi yang sama. Ia menjejalkan telur itu ke mulut begitu cepat hingga sepertinya tak punya waktu untuk bernapas. Aku mengawasinya untuk memastikan ia tidak tersedak.
Aku makan lebih pelan, berharap bisa meyakinkan Jamie untuk menyantap sebagian jatahku setelah ia selesai.
Ketika perselisihan kecil kami berakhir dan perutku kenyang, barulah aku memperhatikan atmosfer di dapur. Dengan kegembiraan mendapat telur untuk sarapan setelah berbulan-bulan mendapat asupan itu-itu saja, aku mengharapkan semacam perasaan gembira. Tapi suasana muram dan semua percakapan dilakukan berbisik-bisik. Apakah ini reaksi atas kejadian semalam? Kuteliti ruangan, mencoba mengerti.
Orang-orang memang memandangiku, ada beberapa di sana-sini, tapi bukan hanya mereka yang berbisik-bisik serius. Yang lain sama sekali tidak menggubrisku. Lagi pula kelihatannya tak seorang pun tampak marah, atau merasa bersalah, atau tegang, atau segala emosi lainnya yang kuharapkan.
Tidak, mereka sedih. Keputusasaan terukir di setiap wajah di dalam ruangan ini.
Sharon orang terakhir yang kuamati. Ia makan di pojok, sendirian seperti biasa. Ia begitu tenang ketika menyantap sarapan dengan gerakan mekanis, sehingga pertama-tama kau tidak melihat air mata membasahi wajahnya. Air mata itu berjatuhan ke dalam makanannya. Tapi ia tetap makan, seakan tidak memperhatikan sama sekali.
"Apakah terjadi sesuatu pada Doc?" bisikku kepada Jamie. Mendadak aku merasa takut. Aku ingin tahu apakah aku bersikap paranoid--mungkin ini tak ada hubungannya denganku. Kesedihan di dalam ruangan sepertinya merupakan bagian drama lain manusia yang tidak menyertakanku. Inikah yang menyibukkan semua orang? Apakah telah terjadi kecelakaan?
Jamie memandang Sharon, lalu menghela napas sebelum menjawab. "Tidak, Doc baik-baik saja."
"Aunt Maggie? Apakah dia terluka?"
Jamie menggeleng.
"Di mana Walter?" desakku, masih berbisik. Kecemasan menggerogotiku ketika aku memikirkan hal buruk menimpa salah seorang temanku di sini, bahkan mereka yang membenciku.
"Aku tidak tahu. Aku yakin dia baik-baik saja."
Kini kusadari Jamie sama sedihnya seperti semua orang lainnya di sini.
"Ada apa, Jamie? Mengapa kau sedih?"
Jamie menunduk memandangi telurnya. Kini ia sengaja makan pelan-pelan, dan tidak menjawabku.
Ia menghabiskan makanannya tanpa bicara. Kucoba memberikan telurku kepadanya, tapi ia melotot begitu mengerikan sehingga aku mengambil makanan itu kembali dan menghabiskannya.
Kami meletakkan mangkuk kami di dalam ember plastik besar tempat piring kotor. Isinya begitu penuh, sehingga kuambil ember itu dari meja. Aku tak yakin apa yang terjadi di gua hari ini, tapi mestinya mencuci piring adalah pekerjaan aman.
Jamie mengikuti di samping, matanya waspada. Aku tidak menyukainya. Aku takkan membiarkan Jamie bertindak seperti pengawal pribadi, seandainya itu diperlukan. Tapi kemudian, ketika kami berjalan mengitari pinggiran ladang besar itu, pengawal pribadi tetapku menemukanku, jadi tak ada gunanya lagi melarang Jamie.
Tubuh Ian kotor. Debu cokelat muda menutupinya dari kepala sampai kaki, warnanya lebih gelap di tempat-tempat basah oleh keringat. Galur-galur cokelat yang menodai wajahnya tidak menutupi kelelahan di sana. Aku tidak terkejut melihat ia sama sedihnya seperti yang lain. Tapi debunya membuatku penasaran. Bukan debu hitam keungunan yang ada di gua. Pagi ini Ian berada di luar.
"Ini dia," gumam Ian, ketika melihat kami. Ia berjalan cepat, kedua kaki panjangnya menempuh jarak dengan langkah-langkah gelisah. Ketika sudah menyusul kami, ia tidak memperlambat langkah, tapi menggamit sikuku dan menuntunku bergegas, "Ayo, bersembunyi di sini sejenak."
Ian menarikku ke dalam mulut terowongan sempit yang menuju ke ladang timur--di sana jagungnya hampir siap dipanen. Ia tidak menuntunku jauh, hanya ke dalam kegelapan, agar kami tidak terlihat dari ruang besar itu. Kurasakan Jamie menyentuh ringan tanganku yang bebas.
Setelah setengah menit suara-suara pelan menggema dari ruang gua besar itu. Suara-suara itu tidak bersemangat--muram, sama tertekannya seperti semua wajah yang kuamati pagi ini. Suara - suara itu bergerak melewati kami, di dekat celah tempat kami bersembunyi. Tangan Ian menegang di sikuku, jemarinya menekan tempat lunak di atas tulangku. Kukenali suara Jared dan Kyle. Melanie berubah tegang di luar kendaliku, lagi pula kendaliku memang lemah. Kami ingin melihat wajah Jared. Untunglah Ian menahan kami.
"...tidak tahu mengapa kita membiarkannya terus berusaha. Jika sudah berakhir, maka sudah berakhir," ujar Jared.
"Dia benar-benar mengira bisa berhasil kali ini. Dia begitu yakin... Oh, well. Semua ini layak dilakukan kalau suatu hari nanti dia mendapatkan jawabannya," kata Kyle tidak setuju.
"Kalau," dengus Jared. "Kurasa kita beruntung menemukan brendi itu. Doc pasti bakal menghabiskan seluruhnya malam ini, jika melihat kecepatannya minum."
"Dia akan segera tak sadarkan diri," ujar Kyle, suaranya mulai menghilang di kejauhan. "Kuharap Sharon akan..." Lalu aku tak bisa mendengar mereka lagi.
Ian menunggu sampai suara-suara itu menghilang seluruhnya, lalu menunggu beberapa menit lagi, sebelum akhirnya melepaskan lenganku.
"Jared sudah berjanji," gumam Jamie kepadanya.
"Ya, tapi Kyle tidak," jawab Ian.
Mereka kembali memasuki cahaya. Aku mengikuti perlahan-lahan di belakang mereka, tak yakin apa yang kurasakan.
Untuk pertama kali Ian mengamati apa yang kubawa. "Tidak ada cuci piring sekarang," katanya. "Beri mereka kesempatan untuk bersih-bersih dan melanjutkan kehidupan."
Aku hendak bertanya mengapa Ian begitu kotor. Tapi mungkin, seperti Jamie, ia akan menolak untuk menjawab. Aku berbalik menatap terowongan yang menuju sungai-sungai, berspekulasi.
Ia mengeluarkan suara marah--ia baru saja melihat wajahku.
Ian mengangkat tangan, seakan hendak mengangkat daguku, tapi aku menjauh dan ia menjatuhkan tangannya.
"Itu membuatku mual," ujarnya. Suaranya benar-benar terdengar mual. "Dan yang lebih parah lagi, aku tahu seandainya ikut pergi menjarah, mungkin akulah yang bakal melakukannya..."
Aku menggeleng. "Tidak apa-apa, Ian."
"Aku tidak setuju dengan itu," gumamnya. Lalu ia bicara kepada Jamie. "Mungkin kau harus pergi ke sekolah. Lebih baik kita membuat segalanya kembali normal secepat mungkin."
Jamie mengerang. "Hari ini Sharon akan seperti mimpi buruk."
Ian nyengir. "Waktunya untuk berkorban demi tim, Nak. Aku tidak iri padamu."
Jamie mendesah, menendang debu. "Jaga Wanda".
"Pasti."
Jamie berlalu, melirik ke belakang setiap beberapa menit, sampai ia menghilang ke dalam terowongan lain.
"Ayo, berikan kepadaku," ujar Ian, menarik ember berisi piring-piring dari tanganku, sebelum aku bisa bereaksi.
"Tidak terlalu berat untukku," kataku.
Ian nyengir. "Aku merasa tolol berdiri di sini dengan tangan kosong, sementara kau menyeret-nyeret ini. Anggap saja kesopanan. Ayo--ayo kita pergi bersantai di suatu tempat terpencil sampai semuanya beres."
Kata-katanya membuatku cemas, dan aku mengikutinya tanpa bicara. Mengapa harus bersikap sopan padaku?
Ian berjalan terus sampai ke ladang jagung. Ia melangkah di bagian rendah pematang, di antara batang-batang tanaman. Aku mengikuti di belakangnya sampai ia berhenti di suatu tempat di tengah ladang. Ia meletakkan ember berisi piring-piring itu, lalu duduk di tanah.
"Well, ini tempat terpencil," ujarku, seraya duduk bersila di tanah di sampingnya. "Tapi bukankah kita seharusnya bekerja?"
"Kau bekerja terlalu keras, Wanda. Hanya kau yang tidak pernah mengambil hari libur."
"Lebih baik daripada menganggur," gumamku.
"Semua orang libur hari ini, jadi sebaiknya kau libur juga."
Aku memandang Ian penasaran. Cahaya dari cermin-cermin memantulkan bayang-bayang ganda pada batang-batang tanaman jagung yang bersilangan di wajahnya seperti loreng zebra. Di balik garis-garis dan kotoran itu, wajah pucat Ian tampak lelah.
"Kau tampak seperti habis bekerja."
Matanya menegang. "Tapi sekarang aku beristirahat."
"Jamie tidak mau menceritakan apa yang terjadi," gumamku.
"Ya. Aku juga." Ian mendesah. "Lagi pula, kau pasti tak suka mendengarnya."
Aku menatap tanah, memandang tanah cokelat dan ungu gelap sementara perutku terpilin dan terkocok. Aku tak bisa memikirkan hal yang lebih buruk daripada tidak tahu, tapi mungkin itu hanya karena aku tidak punya imajinasi.
"Rasanya tidak adil, "ujar Ian setelah terdiam sejenak," karena aku tidak mau menjawab pertanyaanmu,  tapi apakah kau keberatan jika aku yang bertanya?"
Kusambut upayanya mengalihkan perhatian. "Silahkan."
Ian tidak langsung bicara, jadi aku mendongak untuk mengetahui alasan keraguannya. Ia menunduk, memandangi kotoran di punggung tangannya.
"Aku tahu kau bukan pembohong. Kini aku tahu itu," ujarnya pelan. "Aku akan percaya, apa pun jawabanmu."
Aku kembali menunggu, sementara Ian terus menatap kotoran di kulitnya.
"Sebelumnya aku tidak mempercayai cerita Jeb, tapi dia dan Doc sangat yakin... Wanda?" tanyanya, mencongak memandangku. "Apakah dia masih di dalam sana bersamamu? Gadis yang tubuhnya kaupakai?"
Ini bukan lagi rahasia--Jamie dan Jeb mengetahui kebenarannya. Ini juga bukan rahasia yang benar-benar penting. Bagaimanapun, aku percaya Ian takkan mengoceh kepada siapa pun yang hendak membunuhku karenanya. "Ya," jawabku. "Melanie masih ada di sini."
Ian mengangguk pelan. "Bagaimana rasanya? Bagimu? Baginya?"
"Membuat... frustasi, bagi kami berdua. Mulanya aku bersedia menyerahkan apa saja agar dia menghilang seperti seharusnya. Tapi kini aku... aku sudah terbiasa dengannya." Aku tersenyum masam. "Terkadang menyenangkan mempunyai teman. Ini lebih sulit bagi Melanie. Dalam banyak hal dia seperti tawanan. Terkurung di dalam kepalaku. Tapi dia lebih suka ditawan daripada menghilang."
"Aku tidak tahu ada pilihan semacam itu."
"Awalnya tidak ada. Perlawanan dimulai ketika bangsamu menyadari apa yang terjadi. Sepertinya itulah kuncinya--mengetahui apa yang bakal terjadi. Manusia yang diambil secara mendadak tidak memberikan perlawanan."
"Jadi, seandainya aku tertangkap?"
Kuamati ekspresi garang Ian--api di dalam mata cemerlangnya.
"Kurasa kau takkan menghilang. Tapi segalanya sudah berubah. Kini jika menangkap manusia dewasa, mereka tidak akan menawarkannya sebagai inang. Terlalu banyak masalah." Aku kembali tersenyum sedikit. "Masalah-masalah seperti yang kualami. Menjadi lembek, bersimpati terhadap inangku, kehilangan arah..."
Ian merenungkannya untuk waktu lama, sesekali memandang wajahku, sesekali memandangi batang-batang tanaman jagung, sesekali tidak memandang apa-apa.
"Lalu apa yang akan mereka lakukan padaku seandainya mereka menangkapku sekarang?" tanyanya akhirnya.
"Kurasa mereka masih akan melakukan penyisipan. Mencoba  memperoleh informasi. Mungkin mereka akan menyisipkan Pencari di dalam tubuhmu.
Ian bergidik.
"Tapi mereka takkan menggunakanmu sebagai inang. Tak peduli apakah mereka memperoleh informasi atau tidak, kau akan dibuang." Sulit mnegucapkan kata itu. Gagasan itu membuatku mual. Ini aneh, karena biasanya segala sesuatu yang berhubungan dengan manusialah yang membuatku mual. Tapi aku tak pernah memandang situasinya dari perspektif tubuh ini; tak ada planet yang memaksaku melakukan hal itu. Tubuh yang tidak berfungsi dengan baik akan segera dibuang, tanpa rasa sakit, karena tubuh itu sudah tidak berguna, sebagaimana halnya mobil mogok. Apa gunanya menyimpannya? Ada juga kondisi-kondisi benak yang membuat tubuh tak bisa digunakan: ketergantungan mental yang membahayakan, keinginan jahat, hal-hal yang tak bisa disembuhkan dan membuat tubuh tak aman bagi yang lan. Atau tentu saja benak dengan kemauan yang terlalu kuat untuk dienyahkan. Penyimpangan yang hanya terjadi di planet ini.
Sebelumnya aku tak pernahh menyadari salahnya menganggap roh yang tak terkalahkan sebagai kecacatan. Tapi kini hal itu tampak jelas bagiku, ketika memandang mata Ian.
"Dan seandainya mereka menangkapmu?" tanyanya.
"Seaindainya mereka menyadari sapa diriku... seandainya ada yang masih mencariku..." Aku membayangkan Pencari-ku, lalu bergidik. "Mereka akan mengeluarkanku dan menyisipkanku di dalam inang lain--seseorang yang masih muda, yang mudah dikendalikan. Mereka akan berharap aku bisa kembali menjadi diriku. Mungkin mereka akan mengirimku ke luar planet--menyingkirkanku dari pengaruh-pengaruh jahat."
"Apakah kau akan kembali menjadi dirimu?"
Aku membalas tatapan Ian. "Aku adalah aku. Aku belum menyerahkan diri kepada Melanie. Perasaanku akan sama seperti yang kini kurasakan, bahkan ketika aku menjadi Beruang atau Bunga."
"Mereka tidak akan membuangmu?"
"Sama sekali tidak. Bangsa kami tidak mengenal hukuman mati. Atau hukuman apa pun. Sungguh. Apa pun yang mereka lakukan, itu adalah untuk menyelamatkanku. Dulu aku selalu menganggap cara lain memang tak diperlukan, tapi kini aku memiliki diriku sendiri sebagai bukti untuk menentang teori itu. Mungkin membuangku adalah tindakan benar. Aku pengkhianat, bukan?"
Ian mengerutkan bibir. "Kurasa lebih tepat disebut ekspatriat. Kau belum mengkhianati mereka; kau hanya meninggalkan masyarakat mereka."
Kami kembali terdiam. Aku ingin mempercayai kebenaran perkataan Ian. Aku merenungkan kata ekspatriat, mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa aku tidak lebih buruk daripada itu.
Ian mengembuskan napas cukup keras sehingga aku terlompat. "Kalau Doc sudah sadar, kita akan memintanya memeriksa wajahmu." Ia mengulurkan tangan dan meletakkannya di daguku. Kali ini aku tidak menarik diri. Ia memalingkan kepalaku sehingga bisa meneliti luka itu.
"Tidak perlu. Aku yakin penampilan lukanya lebih buruk daripada yang sebenarnya."
"Kuharap begitu--kelihatannya mengerikan." Ian mendesah.
"Kurasa kita sudah cukup lama bersembunyi. Pasti Kyle sudah besih dan tak sadarkan diri. Perlu bantuan mencuci piring?"
Ian tidak membiarkanku mencuci piring di sungai kecil seperti yang biasa kulakukan. Ia bersikeras kami pergi ke kamar mandi gelap, karena di sana aku tak terlihat. Aku menggosok piring di ujung dangkal kolam gelap, sementara Ian membersihkan kotoran yang tertinggal di tubuhnya akibat pekerjaan misteriusnya. Lalu ia membantuku dengan mangkuk-mangkuk kotor terakhir.
Ketika kami sudah selesai, ia mendampingiku kembali ke dapur, yang mulai dipenuhi kerumunan orang yang makan siang. Ada lebih banyak hidangan makanan segar: iris-irisan roti putih empuk, keju cheddar berbau tajam, lingkaran-lingkaran sosis bologna merah dadu menggiurkan. Orang - orang menyantap dengan lahap, walaupun keputusasaan masih tampak pada bahu-bahu yang merosot, pada tidak adanya senyuman atau tawa.
Jamie menungguku di meja kami yang biasa. Dua tumpuk roti lapis tergeletak di hadapannya, tapi ia tidak makan. Lengannya terlipat. Ian mengamati ekspresi Jamie dengan penasaran, tapi ia pergi mengambil makanan tanpa bertanya.
Aku memutar bola mata melihat kekeraskepalaan Jamie, lalu mulai makan. Begitu aku mengunyah, Jamie langsung makan. Ian kembali dengan cepat, dan kami makan sambil membisu. Hidangannya sangat lezat, sehingga sulit membayangkan perlu mengobrol--atau melakukan apa pun yang bisa mengosongkan mulut kami.
Aku berhenti ketika sudah menambah satu kali, tapi Jamie dan Ian makan sampai mengerang kesakitan. Ian seolah hendak pingsan. Matanya berjuang untuk tetap terbuka.
"Kembalilah ke sekolah, Nak," ujarnya kepada Jamie.
Jamie mengamati Ian. "Mungkin aku harus mengambil alih..."
"Pergilah ke sekolah," ujarku cepat-cepat. Aku ingin Jamie berada dalam jarak aman dariku hari ini.
"Sampai jumpa lagi, oke? Jangan mengkhawatirkan... apa pun."
"Pasti." Satu kata bohong tidak bakal ketahuan. Atau mungkin aku hanya kembali bersikap sarkastis.
Setelah Jamie pergi, aku berbalik kepada Ian yang mengantuk. "Pergilah beristirahat. Aku akan baik-baik saja—aku akan tidur di suatu tempat yang tidak mencolok. Di tengah ladang jagung atau semacamnya.”
“Di mana kau tidur semalam?” Tanya Ian. Matanya tampak tajam di bawah kelopaknya yang setengah tertutup.
“Mengapa?”
“Sekarang aku bisa tidur di sana, dan kau bisa tampak tidak mencolok di sampingku.”
Kami hanya bergumam, dan kini nyaris berbisik. Tak seorang pun memperhatikan.
“Kau tak bisa mengawasiku setiap detik.”
“Berani bertaruh?”
Aku mengangkat bahu, menyerah. “Aku kembali ke… ke lubang. Tempat aku dulu ditawan.”
Ian mengernyit; ia tidak menyukainya. Tapi ia bangkit berdiri dan menuntunku kembali ke koridor gudang. Plaza utama kembali sibuk, dipenuhi orang yang bergerak di sekitar kebun. Semuanya muram, mata mereka memandang kaki.
Ketika kami sendirian di terowongan hitam itu, aku mencoba membantah Ian lagi.
“Ian, apa gunanya ini? Bukankah Jamie akan semakin terluka jika aku hidup lebih lama? Akhirnya akan lebih baik baginya jika—“
“Jangan berpikir seperti itu, Wanda. Kami bukan binatang. Kematianmu bukan hal yang tak terhindarkan.”
“Kurasa kau memang bukan binatang,” ujarku pelan.
“Terima kasih, walaupun aku tidak memaksudkannya sebagai tuduhan. Aku takkan menyalahkanmu, seandainya kau beranggapan seperti itu.”


Itulah akhir percakapan kami; saat itu kami sama-sama melihat cahaya biru pucat yang memantul samar dari sekitar belokan berikutnya di dalam terowongan.
“Sst,” bisik Ian. “Tunggu di sini.”
Ian mendorong bahuku dengan lembut, mencoba menahanku agar tetap berada di tempatku berdiri. Lalu ia melangkah maju, tanpa berusaha menyembunyikan suara langkahnya. Ia menghilang di belokan.
“Jared?” Kudengar Ian berkata, pura-pura terkejut.
Jantungku terasa berat; sensasinya lebih cenderung nyeri daripada takut.
“Aku tahu mahluk itu bersamamu,” jawab Jared. Ia meninggikan suara, sehingga siapa pun yang berada di antara tempat ini dan plaza utama akan mendengarnya. “Keluarlah, keluarlah, di mana pun kau berada,” panggilnya. Suaranya dingin dan mengejek.




The Host-Bab 27

0 comments


Bimbang


Aku meraba-raba jalanku untuk kembali ke lubang penjara. Sudah berminggu-minggu berlalu sejak aku menyusuri koridor yang satu ini. AKu belum pernah kembali sejak pagi setelah Jared pergi dan Jeb membebaskank. Bagiku sepertinya di sinilah tempat tinggalku, selama aku masih hidup dan Jared berada di dalam gua.
Kini tak ada cahaya suram menyambutku. Aku cukup yakin hampir tiba di sana--belokan-belokannya belum begitu kukenal. Kubiarkan tangan kiriku meraba-raba dinding serendah mungkin, mencari-cari lubang itu sambil merayap maju. Aku belum memutuskan untuk merangkak kembali ke dalam lubang sempit itu, tapi setidaknya lubang itu memberiku titik referensi, memberitahukan bahwa aku berada di tempatku seharusnya.
Ternyata aku tak bisa menghuni selku.
Tepat ketika jari-jariku mengusap pinggiran kasar di bagian atas lubang, kakiku menabrak penghalang dan aku tersandung, jatuh berlutut. Kuulurkan tangan untuk menopang tubuh, tapi keduanya mendarat dengan bunyi berderak dan berkeretak, memecahkan sesuatu yang bukan batu dan seharusnya tak ada di sini.
Suara itu mengejutkanku. Benda tak terduga itu membuatku takut. Mungkin aku salah belok dan sama sekali tidak berada di dekat lubang. Mungkin aku berada di tempat tinggal seseorang. Kuingat-ingat perjalanan terakhirku, bertanya-tanya bagaimana aku bisa begitu bingung. Sementara itu aku menunggu semacam reaksi atas jatuhku yang berisik. Aku diam tak bergerak di dalam kegelapan.
Tak ada apa-apa--tak ada reaksi, tak ada suara. Yang ada hanya kegelapan, kepengapan, dan kelembapan seperti biasa. Keadaan sangat hening, sehingga aku tahu aku pasti sendirian.
Dengan hati-hati, seraya berusaha mengeluarkan sesedikit mungkin suara, kuteliti keadaan sekelilingku.
Tanganku terperangkap di dalam sesuatu. Aku menarik agar benda itu terlepas, lalu meraba kontur yang terasa seperti kotak karton-kotak karton dengan lembaran plastik tipis berkeresak di atasnya yang telah ditembus kedua tanganku. Aku meraba-raba ke dalam kotak dan menemukan selapis plastik keresek lagi--bentuk-bentuk persegi empat kecil yang menciptakan banyak suara ketika kupegang. Cepat-cepat aku mundur, takut menarik perhatian.
Aku ingat tadi merasa telah menemukan bagian atas lubang. Aku meraba-raba sebelah kiriku, dan menemukan lebih banyak tumpukan kotak karton. Ak berusaha mencari bagian atas tumpukan, dan harus berdiri untuk bisa melakukannya. Tumpukannya setinggi kepala. Aku meraba-raba sampai menemukan dinding, lalu menemukan lubang, persis di tempat yang kuduga sebagai letaknya. Aku mencoba memanjat masuk, memastikan itu benar-benar tempat yang sama--sedetik saja berada di lantai melengkung itu, dan aku bakal tahu pasti--tapi aku tidak bisa masuk lebih jauh ke lubang. Bagian dalamnya juga disesaki kotak.
Karena terhalang aku menjelajah dengan dua tangan, bergerak kembali ke lorong. Kusadari aku tak bisa pergi lebih jauh menyusuri lorong. Bagian itu juga penuh kotak karton misterius.
Ketika aku meraba-raba sepanjang lantai, mencoba untuk mengerti, kutemukan sesuatu yang berbeda. Ada kain kasar seperti goni--karung berisi sesuatu yang berat, yang bergeser dengan suara berdesis pelan ketika kusikut. Kuremas-remas karung itu dengan dua tangan. Suara berdesis pelan itu lebih tidak membuatku takut dibandingkan keresek plastik. Suara ini sepertinya tak memungkinkan orang lain menyadari kehadiranku.
Mendadak semua jadi jelas. Baunyalah yang menjelaskan semua itu. Ketika materi mirip pasir di dalam karung itu kumain-mainkan, aku mencium bau yang kukenal. Mengingatkanku pada dapur kosongku di San Diego, pada lemari rendah di bagian kiri tempat cuci piring. Di dalam benak bisa kulihat dengan sangat jelas karung beras, cangkir pengukur plastik yang kugunakan untuk mengeluarkan beras, serta barisan-barisan makanan kaleng di belakangnya.
Setelah kusadari bahwa aku menyentuh sekarung beras, aku mengerti. Ternyata aku berada di tempat yang benar. Bukankah Jeb pernah bilang mereka menggunakan tempat ini sebagai gudang? Dan bukankah Jared baru saja kembali dari penjarahan panjangnya? Kini semua barang--yang dicuri para penjarah itu selama berminggu-minggu kepergian mereka--diletakkan di tempat terpencil ini sampai saatnya digunakan.
Banyak pikiran berkelebat serentak di benakku.
Pertama, kusadari aku dikelilingi makanan. Bukan hanya roti kasar dan sup bawang encer, melainkan makanan. Di suatu tempat di antara tumpukan ini mungkin ada selai kacang. Biskuit chocolate chip. Keripik ketnag. Cheetos.
Bahkan ketika aku membayangkan menemukan makanan-makanan itu, membayangkan mencicipinya lagi, merasa kenyang untuk pertama kali sejak meninggalkan peradaban, aku merasa bersalah karena memikirkannya. Jared tidak mempertaruhkan nyawa dan menghabiskan berminggu-minggu dengan bersembunyi dan mencuri untuk memberiku makan. Makanan ini untuk orang-orang lain.
Aku juga khawatir kemungkinan ini belum seluruh hasil curian. Bagaimana jika mereka punya lebih banyak kotak yang harus disimpan? Apakah orang yang membawa kotak-kotak itu nanti Jared dan Kyle? Sama sekali tidak diperlukan imajinasi untuk membayangkan adegan yang bakal terjadi seandainya mereka menemukanku di sini.
Tapi bukankah itu alasanku berada di sini? Bukankah itu alasan aku perlu sendirian untuk memikirkannya?
Aku bersandar di dinding. Karung beras itu menjadi bantal yang lumayan. Kupejamkan mata--walaupun itu tak diperlukan di dalam kegelapan sehitam tinta ini--dan siap berkonsultasi.
Oke, Mel. Sekarang bagaimana?
Aku senang mendapati Melanie masih terbangun dan siaga. Perlawanan mendatangkan kekuatannya. Ia hanya menghilang ketika segalanya berjalan baik.
Prioritas, ujar Melanie memutuskan. Apa yang terpenting bagi kita? Tetap hidup? Atau Jamie?
Ia tahu jawabannya. Jamie, jawabku menegaskan, seraya mendesah keras. Suara napasku berbisik kembali dari dinding-dinding hitam.
Setuju. Kita mungkin bisa bertahan untuk sementara waktu, seandainya kita membiarkan Jeb dan Ian melindungi kita. Akankah itu membantu Jamie?
Mungkin. Apakah ia lebih terluka kalau kita menyerah begitu saja? Atau kalau kita membiarkan hal ini berlarut-larut, hanya untuk berakhir dengan buruk, hal yang tampaknya tak terhindarkan?
Melanie tidak suka itu. Aku bisa merasakannya berpikir keras, mencari alternatif-alternatif.
Mencoba kabur, saranku.
Mustahil, Melanie memutuskan. Lagi pula, apa yang akan kita lakukan di luar sana? Apa yang bisa kita katakan kepada mereka?
Kami sama-sama membayangkannya--bagaimana aku bisa menjelaskan ketidakhadiranku selama berbulan-bulan? Aku bisa berbohong, mengarang semacam cerita alternatif, atau mengatakan tidak ingat. Tapi aku membayangkan wajah skeptis Pencari, dengan mata menonjolnya yang bekilat-kilat curiga, dan aku tahu usaha-usaha cerobohku untuk berdalih bakal gagal.
Mereka akan mengira aku mengambil alih, ujar Melani setuju. Lalu mereka akan mengeluarkanmu dan memasukkan Pencari.
Aku menggeliat, seakan posisi baru di lantai batu bisa menjauhkanku dari gagasan itu, dan aku bergidik. Lalu kuikuti pikiran itu sampai kepada kesimpulannya. Pencari akan memberitahu mereka tentang tempat ini, dan para Pencari akan datang.
Kengerian melanda kami.
Benar, lanjutku. Jadi, mustahil untuk kabur.
Benar, bisik Melanie. Emosi membuat pikirannya tidak stabil.
Jadi keputusannya adalah ... cepat atau lambat. Mana yang lebih tidak melukai Jamie?
Tampaknya selama memusatkan diri pada hal-hal praktis, setidaknya aku bisa menjaga pembahasan dari sisiku agar tetap resmi dan tanpa perasaan. Melanie mencoba meniru usahaku.
Aku tidak yakin. Di satu sisi semakin lama kita bertiga bersama-sama, secara logis akan semakin berat--perpisahan itu bagi Jamie. Tapi sekali lagi, kalau kita tidak melawan, seandainya kita menyerah begitu saja... Jamie tidak bakal senang. Ia akan merasa kita mengkhianatinya.
Jadi... cepat. Tapi kita harus berusaha sebaik mungkin agar tidak mati?
Melawan habis-habisan, tegas Melanie muram.
Melawan. Hebat. Aku mencoba membayangkannya--menghadapi kekerasan dengan kekerasan. Mengangkat tangan untuk memukul seseorang. Aku bisa membentuk kata-kata itu, tapi tidak bisa membayangkannya.
Kau bisa melakukannya, Melanie menguatkan. Aku akan membantumu.
Terima kasih, tapi tidak. Pasti ada cara lain.
Aku tidak memahamimu, Wanda. Kau telah meninggalkan spesiesmu, kau siap mati demi adikku, kau jatuh cinta kepada lelaki yang kucintai dan hendak membunuh kita, tapi kau tak mau melepaskan kebiasaan-kebiasaan yang sungguh tidak praktis di sini.
Aku adalah aku, Mel. Aku tidak bisa mengubahnya, walaupun segala hal lainnya mungkin berubah. Kau mempertahankan dirimu. Biarkan aku melakukan hal yang sama.
Tapi kalau kita mau--
Melanie hendak melanjutkan perdebatannya denganku, tapi kami terganggu. Suara langkah terseret, sepatu di atas batu, menggema dari suatu tempat di koridor.
Aku terpaku--segenap fungsi tubuhku berhenti, kecuali jantung yang bahkan berdenyut terputus-putus--dan mendengarkan. Aku tidak bisa berharap cukup lama bahwa suara itu hanya khayalanku. Dalam hitungan detik aku bisa mendengar lebih banyak langkah kaki yang perlahan-lahan menghampiriku.
Melanie tetap tenang, sedangkan aku menyerah pada kepanikan.
Berdirilah, perintah melanie.
Mengapa?
Kau tidak mau melawan, tapi kau bisa lari. Kau harus berusaha melakukan sesuatu--demi Jamie.
Aku bernapas lagi, menjaga napasku tetap pelan dan pendek. Perlahan-lahan aku bergerak maju, sampai bediri di atas tumit. Adrenalin mengalir melalui otot-ototku yang bergelenyar dan melentur dibuatnya. Aku bisa lari lebih cepat daripada sebagian besar orang yang mencoba menangkapku, tapi aku harus lari ke mana?
"Wanda?" terdengar bisikan pelan seseorang. "Wanda? Kau di sini? Ini aku."
Suaranya pecah, dan aku mengenalinya.
"Jamie!" seruku parau. "Apa yang kaulakukan? Sudah kubilang aku perlu sendirian."
Kelegaan jelas terdengar di dalam suaranya, yang kini lebih keras daripada bisikan. "Semua mencarimu. Well, kau tahulah. Trudy, Lily, dan Wess--semua orang yang itu. Tapi kami tak bisa membiarkan siapa pun tahu apa yang sedang kami lakukan. Tak seorang pun boleh tahu kau menghilang. Jeb kembali membawa senapannya. Ian bersama Doc. Jika Doc sudah punya waktu, dia akan bicara dengan Jared dan Kyle. Semua orang mendengarkan perkataan Doc. Jadi kau tidak perlu bersembunyi. Semua orang sibuk, dan mungkin kau lelah..."
Sambil menjelaskan, Jamie terus bergerak maju sampai jemarinya menemukan lenganku, lalu tanganku.
"Aku tidak benar-benar bersembunyi, Jamie. Sudah kubilang, aku harus berpikir."
"Kau bisa berpikir bersama Jeb di sana, bukan?"
"Kau mau aku pergi ke mana? Kembali ke kamar Jared? Inilah tempatku seharusnya."
"Tidak lagi." Nada keras kepala yang kukenal muncul di dalam suaranya.
"Mengapa semua orang begitu sibuk?" tanyaku, mengalihkan perhatiannya. "Doc sedang apa?"
Usahaku tidak berhasil; Jamie tidak menjawab.
Setelah semenit kebisuan, kusentuh pipinya. "Dengar, kau harus bersama Jeb. Katakan pada yang lain untuk berhenti mencariku. Aku akan tetap di sini untuk sementara waktu."
"Kau tidak boleh tidur di sini."
"Aku sudah pernah melakukannya."
Kurasakan kepala jamie menggeleng di tanganku.
"Setidaknya aku akan mengambil kasur-kasur dan bantal."
"Aku hanya perlu satu."
"Aku tidak akan tidur dengan Jared selama dia masih begitu menjengkelkan."
Aku menggeram di dalam hati. "Kalau begitu kau akan tidur bersama Jeb dan dengkurannya. Tempatmu adalah bersama mereka, bukan aku."
"Tempatku adalah di mana pun yang kuinginkan."
Ancaman Kyle akan menemukanku di sini sangat memberati benakku. Tapi membantah hanya akan membuat Jamie merasa bertanggung jawab untuk melindungiku.
"Baiklah, tapi kau harus minta izin kepada Jeb."
"Nanti. Aku tidak akan mengganggu Jeb malam ini."
"Apa yang dilakukan Jeb?"
Jamie tidak menjawab. Saat itulah kusadari ia tadi juga sengaja tidak menjawab pertanyaanku. Ada sesuatu yang tak ingn diceritakannya kepadaku. Mungkin yang lain juga sibuk berusaha menemukanku. Mungkin kepulangan Jared telah mengembalikan mereka pada pendapat mereka semula tentangku. Tampaknya memang seperti itu di dapur tadi, ketika mereka menunduk dan melirikku diam-diam dengan pandangan bersalah.
"Ada apa, Jamie?" desakku.
"Tidak boleh kukatakan kepadamu," gumamnya. "Dan aku memang takkan bilang." Jamie memeluk pinggangku erat-erat, wajahnya ditekankan ke bahuku. "Semua akan baik-baik saja," janjinya parau.
Aku menepuk-nepuk punggung Jamie dan menelusurkan jemariku pada rambut acak-acakannya. "Oke," ujarku, menyetujui kebisuannya. Bagaimanapun aku juga punya rahasia-rahasia, bukan? "Jangan khawatir, Jamie. Apa pun itu, segalanya akan selesai dengan sangat baik. Kau akan baik-baik saja." Ketika mengucapkannya, aku sangat berharap itu benar.
"Aku tidak tahu harus berharap apa," bisiknya.
Aku menatap kegelapan tanpa memandang apa pun--mencoba memahami apa yang tak ingin dikatakan Jamie--dan mataku menangkap kilau samar di ujung jauh lorong. Suram, tapi jelas terlihat di dalam gua hitam.
"Sst," desahku. "Ada orang. Cepat, sembunyilah di balik kotak."
Kepala Jamie langsung mendongak ke arah cahaya kuning yang semakin terang itu. Aku menunggu suara langkah yang menyertainya, tapi tidak mendengar apa-apa.
"Aku tidak akan bersembunyi," bisik Jamie. "Pergilah ke belakangku, Wanda."
"Tidak!"
"Jamie!" seru Jared. "Aku tahu kau di belakang sana!"
Kedua kakiku terasa hampa, membeku. Mengapa harus Jared? Akan jauh lebih mudah bagi Jamie, seandainya Kyle yang membunuhku.
"Pergi!" sahut Jamie lantang.
Cahaya kuning itu mendekat secepat kilat, dan berubah jadi lingkaran di dinding yang jauh.
Jared melangkah dari pojok, senter di tangannya bergerak-gerak menyapu lantai batu. Ia sudah bersih, mengenakan kemeja merah pudah yang kukenal--pakaian itu tergantung di kamar yang kutempati berminggu-minggu, sehingga sangat kukenal. Wajah Jared juga kukenal--ekspresinya sama persis dengan ketika aku pertama kali muncul di sini.
Cahaya senter menimpa wajahku dan membutakanku. Aku tahu cahaya itu memantul dengan cemerlang dari warna perak di balik mataku, karena kurasakan Jamie terlompat--hanya sedikit terkejut, lalu ia memelukku lebih erat daripada sebelumnya.
"Menyingkirlah darinya!" raung Jared.
"Diam!" sergah Jamie. "Kau tidak mengenalnya! Jangan ganggu dia!"
Jamie menggayutiku, sementara aku mencoba melepaskan kedua tangannya.
Jared menerjang seperti banteng mengamuk. Ia mencengkeram punggung kemeja Jamie dengan sebelah tangan dan menariknya dariku. Lalu diguncang-guncangnya Jamie seraya berteriak.
"Kau tolol! Tidakkah kaulihat bagaimana dia memanfaatkanmu?"
Secara insting kusorongkan tubuhku ke ruang sempit di antara mereka. Seperti kuharapkan, gerakanku membuat Jared melepaskan Jamie. Aku tidak menginginkan atau memerlukan terjadinya hal lain--betapa aroma Jared  yang kukenal menerpa seluruh indraku, betapa kontur dadanya terasa di kedua tanganku.
"Jangan ganggu Jamie," ujarku. Kali ini aku berharap bisa jadi lebih seperti yang diinginkan Melanie--kedua tanganku tampak keras dan suaraku lantang.
Jared menangkap kedua pergelangan tanganku dengan sebelah tangan, lalu melemparku ke dinding. Dampaknya mengejutkanku, membuatku tak bisa bernapas. Tubuhku memantul dari dinding batu ke lantai, lalu kembali mendarat di atas kotak-kotak itu, menciptakan suara berdebum gemersik ketika merobek lebih banyak cellophane.
Kepalaku berdenyut-denyut. Aku tergeletak dengan posisi tertekuk janggal di atas kotak-kotak itu, dan sejenak kulihat cahaya-cahaya aneh berseliweran di depan mataku.
"Pengecut!" teriak Jamie kepada Jared. "Dia tidak akan melukaimu, bahkan untuk menyelamatkan dirinya sendiri! Mengapa kau tidak bisa membiarkannya saja?"
Aku mendengar kotak-kotak bergeser, dan merasakan sepasang tangan Jamie di lenganku. "Wanda? Kau baik-baik saja, Wanda?"
"Ya." Aku mendesah, mengabaikan denyut-denyut di kepalaku. Aku bisa melihat wajah khawatir Jamie melayang-layang di atas tubuhku dalam kilau senter yang agaknya telah dijatuhkan Jared.
"Sekarang kau harus pergi, Jamie," bisikku. "Lari."
Jamie menggeleng kuat-kuat.
"Menjauhlah dari mahluk itu!" sergah Jared.
Aku menyaksikan ketika Jared mencengkeram bahu Jamie dan menarik anak itu dari posisi jongkoknya. Kotak-kotak yang tersenggol menjatuhiku seperti longsoran salju kecil. Aku berguling menjauh, menutupi kepala dengan kedua lengan. Sebuah kotak berat menimpa tubuhku, tepat di antara tulang belikatku, dan aku berteriak kesakitan.
"Berhentilah menyakitinya!" teriak Jamie.
Terdengar suara berderak keras, dan helaan napas terkejut seseorang.
Aku berjuang melepaskan diri dari bawah kotak berat, lalu bangkit dengan bertumpu pada kedua sikuku. Kepalaku pening.
Jared menutupi hidungnya dengan sebelah tangan, sesuatu yang gelap mengalir ke bibirnya. Matanya membelalak terkejut. Jamie berdiri di hadapannya dengan kedua tangan terkepal dan wajah menyeringai marah.
Ketika Jared menatapnya terkejut, ekspresi Jamie perlahan-lahan luruh, digantikan ekspresi terluka--perasaan terluka dan terkhianati yang begitu mendalam, mengalahkan ekspresi Jared ketika berada di dapur tadi.
"Kau bukan lelaki yang kukenal," bisik Jamie. Ia memandang Jared seakan Jared sangat jauh, seakan ada dinding di antara mereka dan Jamie benar-benar terisolasi di tempatnya.
Mata Jamie berkaca-kaca, dan ia berpaling, merasa malu menunjukkan kelemahannya di depan Jared. Dengan gerakan tersentak-sentak cepat, ia berjalan pergi.
Kita sudah berusaha, pikir Melanie sedih. Jantungnya nyeri memikirkan anak itu, walaupun ia sangat menginginkan tatapanku kembali kepada Jared. Kuberi Melanie apa yang ia inginkan.
Jared tidak memandangku. Ia menatap kegelapan tempat Jamie menghilang. Tangannya masih menutupi hidung.
"Aw, sialan!" serunya tiba-tiba. "Jamie!" kembalilah ke sini!"
Tak ada jawaban.
Jared melirikku dengan tatapan dingin--aku terenyak, walaupun sepertinya kemarahannya telah memudar. Lalu ia membungkuk mengambil senter dan bergegas mengejar Jamie, menendang kotak yang menghalangi jalannya.
"Maaf, oke? Jangan menangis, Nak!" Dengan marah Jared meneriakkan lebih banyak permintaan maaf. Ia berbelok dan meninggalkanku terbaring dalam kegelapan.
Untuk waku lama kau hanya bisa mencoba bernapas. Aku berkonsentrasi pada udara yang mengalir masuk, lalu keluar, lalu masuk. Setelah merasa telah menguasai gerakan itu, aku berusaha bangkit dari lantai. Perlu beberapa detik untuk mengingat bagaimana cara menggerakkan kakiku. Dan, bahkan setelah itu pun, sepasang kakiku masih gemetaran dan nyaris roboh, sehingga aku kembali duduk bersandar pada dinding, memerosotkan tubuh sampai menemukan bantal berasku. Aku duduk lunglai di sana, menilai keadaanku.
Tak ada yang patah--kecuali mungkin hidung Jared. Aku menggeleng pelan. Jamie dan Jared tak boleh berkelahi. Aku menyebabkan begitu banyak kekacauan dan ketidakbahagiaan bagi mereka. Aku mendesah dan kembali menilai keadaanku. Ada bagian sangat nyeri di tengah punggungku, dan satu sisi wajahku terasa kasar serta lembab di bagian yang menabrak dinding. Rasanya menyengat ketika kusentuh, dan meninggalkan cairan hangat di jari-jariku. Tapi itulah bagian terburuk. Semua memar dan lecet lainnya tidak parah.
Ketika menyadari hal itu, secara tak terduga diriku dikuasai kelegaan.
Aku masih hidup. Jared mendapat peluang untuk membunuhku, tapi belum melakukannya. Jadi, kerusakan apa pun yang kutimbulkan pada hubungan mereka, mungkin itu amsih bisa diperbaiki.
Hari yang panjang. Harinya sudah panjang, bahkan sebelum Jared dan yang lain muncul. Dan itu rasanya seperti sudah ribuan tahun yang lalu. Kupejamkan mata, dan aku terlelap di atas beras.