Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara

Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara
Harga mulai 5rb an. Gratis ongkir DKI Jakarta

The Host - Bab 30



Salah Sangka

“Mel?” Tanya Jared lagi. Harapan yang tak ingin dirasakannya mewarnai nada suaranya.
Napasku kembali tersangkut dalam isak tangis; kejutan susulan.
“Kau tahu itu untukmu, Mel. Kau tahu itu bukan untuk—nya. Kau tahu aku tidak menciumnya.”
Isak tangisku semakin keras. Aku mengerang. Mengapa aku tak bisa menutup mulut? Aku mencoba menahan napas.
“Seandainya kau ada di dalam sana, Mel…” Jared berhenti.
Melanie membenci  kata “seandainya”. Tangis meledak lewat paru-paruku, dan aku terengah-engah.
“Aku mencintaimu,” ujar Jared. “Bahkan seandainya kau tak ada di sana, seandainya kau tak bisa mendengarku. Aku mencintaimu.”
Aku kembali menahan napas, menggigit bibir sampai berdarah. Rasa sakit fisik itu tidak mengalihkan perhatianku, seberapa besar pun harapanku.
Di luar lubang hening, lalu di dalam gua juga, ketika aku berubah murung. Aku mendengarkan dengan seksama, hanya berkonsentrasi pada apa yang bisa kudengar. Aku tak mau berpikir. Tidak terdengar suara.
Aku menekuk dalam posisi paling mustahil. Kepalaku berada di titik terendah, sisi kanan wajahku menekan lantai batu yang kasar. Kedua bahuku miring di sekitar pinggiran kotak yang penyok, bahu kanan lebih tinggi daripada yang kiri. Pinggulku membentuk sudut berlawanan, betis kiriku menekan langit-langit. Bertempur melawan kotak-kotak meninggalkan memar di tubuhku. Bisa kurasakan memar-memar itu bermunculan. Aku tahu aku harus mencari cara untuk menjelaskan kepada Ian dan Jamie, bahwa akulah yang melakukan ini terhadap diriku sendiri. Tapi bagaimana caranya? Apa yang harus kukatakan? Bagaimana aku bisa menceritakan kepada mereka bahwa Jared menciumku sebagai ujian, seperti menyetrum tikus percobaan untuk mengamati reaksinya?
Dan berapa lama aku harus mempertahankan posisi ini? Aku tak ingin menciptakan suara apa pun, tapi rasanya tulang punggungku bakal patah dalam hitungan menit. Rasa sakit itu semakin tak tertahankan setiap detiknya. Aku takkan bisa menanggungkannya dalam kebisuan untuk waktu yang lama. Erangan sudah naik di dalam tenggorokanku.
Melanie tidak mengatakan apa-apa kepadaku. Diam-diam ia mencoba mengatasi kelegaan dan kemarahannya sendiri. Jared telah berbicara dengannya, akhirnya mengakui keberadaannya. Jared telah menyatakan cintanya. Tapi Jared menciumku. Melanie sedang mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa tak ada alasan untuk merasa terluka, sedang mencoba mempercayai semua alasan kuat mengapa bukan seperti ini rasanya. Ia mencoba, tapi gagal. Aku bisa mendengar semua ini, tapi Melanie mengarahkannya pada diri sendiri. Ia tidak bicara denganku—di dalam pengertian kekanak-kanakan dan sempit frasa itu. Aku diabaikan.
Kurasakan munculnya kemarahan yang tak kukenal terhadap Melanie. Berbeda dengan dulu, ketika aku merasa takut padanya dan berharap ia terhapus dari benakku. Tidak. Kini aku juga merasa dikhianati. Bagaimana mungkin ia bisa marah kepadaku atas apa yang terjadi? Apakah itu masuk akal? Bagaimana mungkin aku yang bersalah karena telah jatuh cinta akibat ingatan-ingatan yang dipaksakannya kepadaku, lalu ditumbangkan tubuh liar ini? Aku peduli terhadap penderitaan Melanie, tapi rasa sakitku tak berarti apa-apa baginya. Ia menikmatinya. Dasar manusia keji.
Air mata yang jatuh lebih lemah daripada air mataku sebelumnya, mengalir di pipiku dalam kebisuan. Sikap bermusuhan Melanie terhadapku bergolak di benakku.
Dengan segera rasa sakit di punggungku yang memar dan terpilin tak tertahankan lagi. Cukup sudah.
“Ugh,” erangku, seraya mendorong batu dan karton ketika mundur.
Aku tak peduli lagi terhadap suara yang kuciptakan. Aku hanya ingin keluar. Aku bersumpah kepada diri sendiri, ambang lubang terkutuk ini takkan pernah kulewati lagi—langkahi dulu mayatku. Secara harfiah.
Lebih sulit untuk mendesak keluar daripada menyelinap masuk. Aku menggeliat dan meliuk-liuk sampai seakan-akan aku membuat segalanya semakin buruk. Tubuhku terlipat membentuk simpul tak beraturan. Aku mulai menangis lagi, seperti anak kecil, takut takkan pernah bisa bebas.
Melanie mendesah. Sangkutkan kakimu di mulut lubang dan tarik dirimu keluar, sarannya.
Aku mengabaikannya, berjuang menyelinapkan tubuhku di pojok yang sangat runcing. Ujungnya menusukku tepat di bawah rusuk.
Jangan picik, gerutunya.
Mengejutkan, karena kau bisa berkata seperti itu.
Aku tahu. Melanie bimbang, lalu menyerah. Oke, maaf. Sungguh. Dengar, aku manusia. Terkadang sulit untuk bersikap adil. Kami tidak selalu merasakan hal yang benar, melakukan hal yang benar.
Kebencian itu masih di sana, tapi ia mencoba memaafkan dan melupakan bahwa aku baru saja bermesraan dengan cinta sejatinya—setidaknya itulah yang ada dalam benaknya.
Kukaitkan kakiku di sekitar pinggiran lubang dan kusentakkan tubuhku. Lututku menghantam lantai, dan aku menggunakan posisi itu untuk melepaskan rusukku dari tonjolan. Setelah itu lebih mudah untuk mengeluarkan kakiku yang sebelah lagi dan kembali menyentakkan tubuh. Akhirnya kedua tanganku menemukan lantai, dan aku mendesakkan tubuhku. Kakiku keluar lebih dulu, lalu aku terjatuh ke kasur hijau tua. Sejenak aku berbaring di sana, tertelungkup, bernapas. Aku yakin saat ini Jared sudah lama pergi, tapi aku tidak langsung memastikannya. Aku hanya menarik dan mengembuskan napas, sampai merasa siap untuk mengangkat kepala.
Aku sendirian. Kucoba untuk tetap merasa lega dan melupakan kesedihan akibat kenyataan ini. Lebih baik sendirian. Lebih tidak memalukan.
Aku meringkuk di kasur. Kutekankan wajahku pada kain apak itu. Aku tidak mengantuk, tapi lelah. Beban akibat penolakan Jared begitu berat, membuatku kelelahan. Aku memejamkan mata dan mencoba memikirkan hal-hal yang takkan membuat mataku kembali basah. Apa saja kecuali pandangan terkejut di wajah Jared ketika melepaskan diri dariku…
Apa yang sedang dilakukan Jamie? Apakah ia tahu aku ada di sini, atau apakah ia sedang mencariku? Ian pasti sudah lama terlelap, ia tampak sangat lelah. Apakah Kyle akan segera bangun? Apakah ia bakal datang mencariku? Di mana Jeb? Aku belum berjumpa dengannya seharian. Apakah Doc benar-benar mabuk sampai tak sadarkan diri? Itu tampaknya mustahil…
Aku terjaga perlahan-lahan, dibangunkan perutku yang keroncongan. Aku berbaring diam beberapa menit, mencoba mengorientasikan diri. Ini siang atau malam? Berapa lama aku tidur sendirian di sini?
Tapi perutku tak mau diabaikan untuk waktu lama. Aku berguling, berlutut. Agaknya aku tidur cukup lama, sehingga merasa selapar ini. Aku telah melewatkan satu atau dua kali waktu makan.
Kupertimbangkan untuk menyantap sesuatu dari tumpukan bekal di dalam lubang. Bagaimanapun aku sudah merusak nyaris semuanya, dan mungkin menghancurkan bebeapa di antaranya. Tapi tindakan itu hanya akan membuatku merasa lebih bersalah, karena hendak mengambil lebih banyak lagi. Aku akan pergi mencari beberapa potong roti di dapur.
Aku merasa sedikit terluka, selain semua luka besar itu, karena telah berada di sini begitu lama dan tak seorang pun datang mencariku. Betapa sia-sia sikapku. Mengapa orang harus peduli terhadap apa yang terjadi padaku? Lalu aku merasa lega dan puas ketika mendapati Jamie duduk di ambang lubang menuju kebun besar, memunggungi dunia manusia di belakangnya. Tak salah lagi, ia pasti sedang menungguku.
Mataku berkilat-kilat gembira, begitu juga mata Jamie. Ia bangkit berdiri, wajahnya menunjukkan kelegaan.
“Kau baik-baik saja,” kata Jamie. Dan kuharap ia benar. Ia mulai mengoceh. “Maksudku, kurasa Jared tidak berbohong. Menurut dia, kau ingin sendirian. Dan Jeb bilang aku tidak boleh menengokmu, dan harus tetap di tempat, agar dia bisa melihat aku tidak menyelinap kembali ke sana. Tapi walaupun menurutku kau tidak terluka atau apa pun, berat bagiku untuk tidak mengetahui dengan pasti. Kau tahu, kan?”
“Aku baik-baik saja,” kataku. Tapi kuulurkan kedua lenganku, mencari penghiburan. Jamie memeluk pinggangku, dan aku terkejut karena kepalanya bisa bersandar di bahuku ketika kami berdiri.
“Matamu merah,” bisiknya. “Apakah Jared jahat padamu?”
“Tidak.” Bagaimanapun, orang tidak akan dengan sengaja bertindak kejam terhadap tikus laboratorium—mereka hanya berusaha memperoleh informasi.
“Apa pun yang kaukatakan kepada Jared, kurasa dia sekarang memercayai kita. Maksudku soal Mel. Bagaimana perasaan Mel?”
“Mel gembira soal itu.”
Jamie mengangguk senang, “Bagaimana denganmu?”
Aku bimbang, mencari jawaban berdasarkan fakta. “Mengucapkan kebenaran lebih mudah bagiku daripada mencoba menyembunyikannya.”
Pengelakanku tampaknya menjawab pertanyaan Jamie dengan cukup memuaskan.
Di belakangnya cahaya di kebun berwarna merah pudar. Matahari sudah terbenam di padang gurun.
“Aku lapar,” kataku, melepaskan diri dari pelukan Jamie.
“Aku tahu. Aku menyimpan makanan lezat untukmu.”
Aku mendesah. “Roti saja sudah cukup.”
“Sudahlah, Wanda. Kata Ian, kau terlalu mengorbankan kepentinganmu sendiri.”
Aku nyengir.
“Kurasa Ian ada benarnya,” gumam Jamie. “Bahkan seandainya kami semua menginginkanmu di sini, kau tidak akan menjadi bagian dari kami sampai kau sendiri memutuskan begitu.”
“Aku tak pernah bisa menjadi bagian dari kalian. Dan tak seorang pun benar-benar menginginkanku di sini, Jamie.”
“Aku menginginkannya.”
Aku tidak menentangnya, tapi Jamie keliru. Ia tidak berbohong; ia meyakini apa yang diucapkannya. Tapi yang benar-benar diinginkan Jamie adalah Melanie. Ia tidak memisahkan kami, seperti yang seharusnya ia lakukan.
Trudy dan Heidi sedang memanggang roti di dapur, sambil makan apel segar berwarna hijau cerah. Mereka menggigit buah itu bergantian.
“Senang melihatmu, Wanda,” ujar Trudy tulus. Ia menutup mulut ketika bicara, karena masih mengunyah gigitan apel terakhir. Heidi mengangguk member salam, giginya terbenam dalam apel. Jamie mencoba menyikutku diam-diam – untuk menunjukkan bahw orang-orang ini menginginkanku.  Ia tidak menganggap tindakan mereka sebagai sopan santun biasa.
“Kau menyimpan makanan untuknya?” Tanya Jamie bersemangat.
“Yep,” jawab Trudy. Ia membungkuk di samping oven, lalu kembali dengan nampan logam di tangan. “Kuhangatkan. Mungkin sekarang sudah keras dan tidak enak, tapi masih lebih baik daripada hidangan biasa.”
Di atas nampan ada potongan daging merah yang agak besar. Mulutku mulai meneteskan liur, walaupun jatah yang diberikan untukku itu kutolak.
“Terlalu banyak.”
“Kami harus menghabiskan semua makanan segar di hari pertama,” desak Jamie. “Semua makan sampai kekenyangan—sudah tradisi.”
“Kau perlu protein,” imbuh Trudy. “Kita sudah terlalu lama menyantap makanan gua. Aku heran mengapa tak seorang pun kondisinya kurang sehat.”
Aku menyantap proteinku, sementara Jamie mengawasi seperti burung elang ketika setiap suapan berpindah dari nampan ke mulutku. Aku menghabiskan semua untuk menyenangkan Jamie, walaupun makan begitu banyak akan membuat perutku sakit.
Dapur mulai terisi kembali ketika aku menghabiskan makanan. Beberapa orang memegang apel di tangan—semua berbagi dengan yang lain. Mata-mata penasaran meneliti sisi wajahku yang cedera.
“Mengapa semua orang kemari?” gumamku kepada Jamie. Di luar gelap, jam makan sudal lama lewat.
Sejenak Jamie memandangku dengan tatapan kosong. “Untuk mendengarmu mengajar.” Nada suaranya mengimbuhkan kata tentu saja.
“Kau bergurau?”
“Sudah kubilang, tak ada yang berubah.”
Aku menatap ke sekeliling ruang sempit itu. Tidak penuh. Tidak ada Doc malam ini, dan tak ada satu pun dari para penjarah yang baru pulang. Dan ini berarti tak ada Paige. Tak ada Jeb, tak ada Ian, tak ada Walter. Beberapa orang lainnya juga tidak ada: Travis, Carol, Ruth Ann. Tapi ini lebih daripada yang kukira, seandainya aku mengira semua orang akan mempertimbangkan untuk menjalankan rutinitas normal setelah hari yang begitu tidak normal.
“Bisakah kita kembali pada Lumba-lumba, pembahasan terakhir kita?” Tanya Wes, menyela evaluasiku atas ruangan itu. Bisa kulihat ia lebih berinisiatif membuka percakapan, bukannya benar-benar tertarik dengan hubungan kekerabatan di planet asing.
Semua memandangku penuh harap. Tampaknya kehidupan tidak berubah sebanyak yang kuperkirakan.
Aku mengambil nampan roti dari tangan Heidi, lalu berbalik untuk menyorongkannya ke dalam oven batu. Aku mulai bicara dengan posisi memunggungi.
“Jadi… um… hmm… pasangan kakek-nenek ketiga… Secara tradisional mereka melayani komunitas, sesuai dengan pemahaman mereka. Di Bumi mereka bisa disebut pencari nafkah, orang-orang yang meninggalkan rumah dan membawa pulang makanan serta minuman. Sebagian besar petani. Mereka mengolah sesuatu yang menyerupai tanaman, yang mereka ambil getahnya…”
Dan kehidupan pun berlanjut.
Jamie mencoba membujukku agar tidak tidur di koridor gudang, tapi usahanya hanya setengah hati. Tak ada tempat lain untukku. Dengan sikap keras kepala seperti biasa, ia berkeras tidur bersamaku. Kubayangkan Jared pasti tidak suka. Tapi karena aku tidak melihat Jared malam itu atau hari berikutnya, aku tidak bisa membuktikan teoriku.
Mengerjakan tugas-tugasku seperti biasa terasa canggung dengan kepulangan keenam penjarah. Rasanya sama persis seperti saat Jeb pertama kali memaksaku bergabung dengan komunitasnya. Tatapan-tatapan bermusuhan, kebisuan-kebisuan marah. Tapi ini lebih menyulitkan mereka daripada aku. Aku sudah terbiasa. Sebaliknya mereka sama sekali tidak terbiasa dengan cara semua orang lain memperlakukanku. Ketika aku membantu memanen jagung, misalnya. Lily tersenyum dan berterima kasih kepadaku atas keranjang yang baru saja kubawakan, dan mata Andy melotot melihatnya. Atau ketika aku sednag menunggu kolam mandi bersama Trudy dan Heidi, lalu Heidi memain-mainkan rambutku. Belakangan rambutku yang sudah panjang selalu menutupi mata, dan aku berencana mengguntingnya. Heidi mencoba mencari gaya yang cocok untukku. Ia membolak-balik helaian-helaian rambutku. Brandt dan Aaron—Aaron lelaki tertua yang pergi dalam penjarahan panjang itu, aku sama sekali tak ingat pernah melihatnya sebelumnya—muncul dan melihat kami di sana. Trudy menertawakan gaya konyol yang sedang berusaha diciptakan Heidi di atas kepalaku, dan wajah kedua lelaki itu sedikit memucat, lalu mereka berjalan diam-diam melewati kami.
Tentu saja hal-hal kecil seperti itu tak ada artinya. Kini Kyle menjelajahi ruang-ruang gua. Dan walaupun ia pasti sudah diperintahkan untuk tidak menggangguku, dari ekspresinya jelas terlihat bahwa larangan ini menjijikan baginya. Aku selalu bersama-sama dengan yang lain ketika berjumpa dengannya, dan aku bertanya-tanya apakah itu satu-satunya alasan Kyle tidak melakukan apa-apa, selain memelototiku dan tanpa sadar mengepalkan jari-jari tangannya yang tebal. Ini mengembalikan semua kepanikanku selama minggu-minggu pertama di sini dulu, menghindari area-area bersama—seandainya tidak memperhatikan hal yang lebih penting daripada tatapan mengerikan Kyle di malam kedua.
Dapur kembali terisi. Aku tak yakin seberapa banyak orang yang tertarik pada cerita-ceritaku, dan seberapa banyak yang tertarik pada cokelat-cokelat batangan yang dibagikan Jeb. Aku menolak bagianku, lalu menjelaskan kepada Jamie yang menggerutu bahwa aku tidak bisa bicara dan menelan pada saat bersamaan. Aku curiga ia akan menyimpankan cokelat itu untukku, bersikap keras kepala seperti biasa. Ian sudah kembali di kursi panasnya seperti biasa, di samping perapian. Andy ada di sana—matanya waspada—di samping Paige. Tak seorang pun dari penjarah-penjarah lainnya, termasuk Jared tentu saja, hadir. Doc tak ada di sana, dan aku bertanya-tanya apakah ia masih mabuk atau mungkin pusing. Dan sekali lagi, Walter tidak ada.
Geoffrey, suami Trudy, mengajukan pertanyaan kepadaku untuk pertama kali malam ini. Aku senang, walaupun berusaha untuk tidak menunjukkannya, karena tampaknya ia telah bergabung dengan kelompok manusia yang menoleransi kehadiranku. Tapi sayang sekali aku tak bisa menjawab pertanyaan dengan baik. Pertanyaan-pertanyaannya serupa dengan pertanyaan-pertanyaan Doc.
“Aku tidak begitu tahu mengenai Penyembuhan setelah… setelah aku tiba di sini untuk pertama kali. Aku belum pernah sakit. Yang kutahu hanyalah, kami tidak akan memilih sebuah planet jika tidak bisa mempertahankan tubuh inang-inangnya dengan sempurna. Tak ada yang tak bisa disembuhkan, mulai dari luka sederhana, patah tulang, sampai penyakit. Kini usia tua adalah satu-satunya penyebab kematian. Bahkan tubuh manusia sehat pun hanya dirancang untuk bertahan hidup selama itu. Dan kurasa juga terjadi kecelakaan-kecelakaan, walaupun tidak begitu sering menimpa jiwa. Kami berhati-hati.”
“Manusia bersenjata tidak bisa disebut kecelakaan,” gumam seseorang. Aku sedang memindahkan roti-roti panas; aku tidak melihat siapa yang bicara, dan tidak mengenali suaranya.
“Ya, itu benar,” ujarku setuju.
“Kalau begitu, kau tahu apa yang mereka gunakan untuk mengobati penyakit?” desak Geoffrey. “Apa yang ada di dalam obat-obatan mereka?”
Aku menggeleng. “Maaf, aku tak tahu. Itu tidak menarik perhatianku, ketika dulu aku punya akses terhadap informasinya. Kurasa aku telah menyepelekannya. Aku selalu bisa mendapat kesehatan yang baik di setiap planet yang pernah kutinggali.”
Pipi merah Geoffrey semakin membara. Ia menunduk, bibirnya terkatup marah. Apakah perkataanku menyinggungnya?
Heath, yang duduk di samping Geoffrey, menepuk-nepuk lengannya. Seluruh ruangan langsung hening.
“Uh—tentang para Hering…,” ujar Ian. Kata-katanya dipaksakan, sengaja mengubah pokok pembicaraan. “Aku tidak tahu apakah bagian yang ini terlewatkan olehku, tapi seingatku kau tak pernah menjelaskan tentang ‘kejahatan’ mereka?”
Ini bukanlah sesuatu yang pernah kujelaskan, tapi aku sangat yakin Ian tidak benar-benar tertarik—ini hanya pertanyaan pertama yang terlintas di dalam pikirannya.
Kelas informalku berakhir lebih awal daripada biasa. Hanya ada sedikit pertanyaan, dan sebagian besar diajukan Jamie serta Ian. Pertanyaan-pertanyaan Geoffrey membuat yang lain sibuk berpikir.
“Well, besok kita harus bangun lebih awal, untuk mencabuti batang-batang…,” ujar Jeb, setelah muncul keheningan yang canggung lagi. Ia menjadikan kata-katanya sebagai perintah pembubaran. Orang-orang bangkit berdiri, menggeliat, bicara dengan suara rendah yang kedengarannya tidak terlalu santai.
“Apa yang tadi kukatakan?” bisikku kepada Ian.
“Tak ada. Mereka sibuk memikirkan mortalitas.” Ia mendesah.
Otak manusiaku langsung melakukan salah satu lompatan pemahaman yang disebut intuisi.
“Mana Walter?” desakku, masih berbisik.                                                              
Ian kembali mendesah. “Dia di bagian selatan. Dia… tidak sehat.”
“Mengapa tak ada yang memberitahuku?”
“Semua… menyulitkanmu belakangan ini, jadi…”
Aku menggeleng tidak sabar mendengar pertimbangan ini. “Apa yang salah dengannya?”
Kini  Jamie berada di sampingku. DIraihnya tanganku.
“Beberapa tulang Walter yang sangat rapuh patah,” ujarnya berbisik. “Doc yakin itu kanker—stadium akhir, katanya.”
“Agaknya Walt sudah lama merahasiakan sakitnya,” imbuh Ian muram.
Aku mengernyit. “Dan tak ada yang bisa dilakukan? Sama sekali tak ada?”
Ian menggeleng, tetap memandangku dengan mata cemerlangnya. “Bagi kami tak ada. Kalaupun kami tidak terperangkap di sini, takkan ada pertolongan untuknya sekarang. Kami belum bisa menyembuhkan penyakit itu.”
Aku menggigit bibir, agar saran yang ingin kulontarkan tidak keluar. Tentu saja tak ada yang bisa dilakukan untuk Walter. Semua manusia ini lebih suka mati perlahan-lahan secara menyakitkan daripada menukar benak demi kesembuhan tubuh. Aku bisa memahaminya… sekarang.
“Walter menanyakanmu,” lanjut Ian. “Well, terkadang dia menyebut namamu. Sulit untuk mengetahui maksudnya—Doc membuatnya tetap mabuk untuk mengurangi rasa sakit.”
“Doc merasa sangat tidak enak karena telah menggunakan begitu banyak alcohol untuk dirinya sendiri,” imbuh Jamie. “Saat yang sulit, untuk semua.”
“Bisakah aku menengoknya?” tanyaku. “Atau apakah itu akan membuat yang lain tidak senang?”
Ian memberengut, lalu mendengus. “Bukankah tidak pantas bagi mereka jika mempersoalkan hal seperti itu?” Ia menggeleng, “Tapi siapa peduli, bukan? Jika itu keinginan terakhir Walt…”
“Benar,” ujarku setuju. Kata terakhir membuat mataku perih. “Jika Walter ingin berjumpa denganku, kurasa aku tak peduli apa yang dipikirkan orang lain, atau apakah mereka akan marah.”
“Jangan khawatir soal itu—aku takkan membiarkan siapa pun mengganggumu.” Bibir pucat Ian mengatup membentuk garis tipis.
Aku merasa cemas, seakan ingin menengok jam. Waktu sudah tidak begitu berarti lagi buatku, tapi mendadak aku merasakan beban tenggat waktu. “Apakah  sudah terlambat untuk menengok Walter malam ini? Apakah dia akan terganggu?”
“Walter tidak tidur pada jam-jam biasa. Kita bisa pergi menengoknya.”
Aku langsung mulai berjalan, seraya menyeret Jamie Karenna ia masih mencengkeram tanganku. Perasaan mengenai berlalunya waktu, mengenai akhir dan ketamatan, menggerakkanku maju. Tapi Ian berhasil mengejarku dengan langkah-langkah panjangnya.
Di dalam ruang gua dengan kebun yang disinari cahaya bulan, kami berpapasan dengan orang-orang lain yang sebagian besar tidak memedulikan kami. Aku sudah terlalu sering ditemani Jamie dan Ian, sehingga mereka tidak curiga, walaupun kami tidak menuju terowongan-terowongan yang biasa.
Satu-satunya perkecualian adalah Kyle. Ia terpaku ketika melihat adiknya di sampingku. Matanya berkilat-kilat melihat tangan Jamie dalam genggamanku, lalu bibirnya membentuk seringai.
Ian menegakkan bahu ketika mencerna reaksi kakaknya—bibirnya mengerut menirukan mulut Kyle—dan dengan sengaja ia meraih tanganku yang lain. Kyle mengeluarkan suara seakan hendak muntah, lalu berbalik memunggungi kami.
Ketika kami berada di dalam kegelapan terowongan panjang selatan, kucoba untuk membebaskan tangan. Tapi Ian mencengkeramnya semakin erat.
“Kuharap kau tidak membuat Kyle semakin marah,” gumamku.
“Kyle keliru. Keliru adalah kebiasaannya. Dibandingkan semua orang lainnya, dia perlu waktu lebih lama untuk menyadari kekeliruannya. Tapi itu tidak berarti kita harus membiarkannya.”
“Dia membuatku ngeri,” bisikku mengakui.  “Aku tidak ingin dia mendapat lebih banyak alasan untuk membenciku.”
Ian dan Jamie meremas tanganku bersamaan. Mereka bicara serentak.
“Jangan takut,” ujar Jamie.
“Jeb sudah menyatakan pendapatnya dengan sangat jelas,” ujar Ian.
“Apa maksudmu?” tanyaku kepada Ian.
“Jika Kyle tidak bisa menerima peraturan-peraturan Jeb, maka dia tak lagi diterima di sini.”
“Tapi itu keliru. Tempat Kyle di sini.”
Ian menggerutu. “Dia tetap tinggal… jadi yang harus dia lakukan hanyalah belajar mengatasinya.”
Kami tidak bicara lagi. Aku merasa bersalah—tampaknya itu keadaan emosi yang permanen di sini. Perasaan bersalah, takut, dan patah hati. Mengapa aku kemari?
Karena, walaupun cukup aneh, tempatmu memang di sini, bisik Melanie. Ia sangat menyadari kehangatan tangan Ian dan Jamie yang menggenggam tanganku. Di mana lagi kau pernah mengalami ini?
Tidak di mana pun, ujarku mengakui, dan aku hanya merasa semakin tertekan. Tapi ini bukan berarti tempatku di sini. Lain halnya denganmu.
Kita adalah satu kesatuan, Wanda.
Seakan aku perlu diingatkan saja…
Aku sedikit terkejut karena bisa mendengar Melanie dengan sangat jelas. Dua hari terakhir ini ia diam saja, menunggu, cemas, berharap untuk berjumpa lagi dengan Jared. Tentu saja aku juga sibuk memikirkan hal yang sama.
Mungkin Jared bersama Walter. Mungkin selama ini ia ada di sana, pikir Melanie penuh harap.
Itu bukan alasan kepergian kita mengengok Walter.
Tidak. Tentu saja tidak. Nada suara Melanie penuh penyesalan, tapi kusadari Walter jauh lebih berarti bagiku daripada baginya. Tentu saja Melanie sedih karena Walter sekarat, tapi ia sudah pasrah menerima semua itu sejak awal. Sebaliknya, aku tidak bisa membuat diriku pasrah menerimanya, bahkan sekarang. Walter temanku, bukan teman Melanie. Akulah yang pernah dibela oleh Walter.
Ketika mendekati bagian rumah sakit, kami disambut salah satu cahaya biru suram itu. (Kini aku tahu lentera-lentera itu bertenaga matahari, dan seharian ditinggalkan di pojok – pojok bermatahari agar terisi tenaga.) Kami bergerak nyaris tanpa suara, dan sama-sama memperlambat langkah tanpa harus membahasnya lebih dulu.
Aku benci ruangan ini. Dalam kegelapan, dengan bayang-bayang aneh yang diciptakan kilau suram, tampaknya tempat ini semakin mengerikan saja. Tercium aroma baru—ruangan ini berbau pembusukan lambat, alcohol menyengat, dan cairan empedu.
Dua di antara dipannya terisi. Kaki Doc terjulur melewati pinggiran salah satu dipan; kukenali dengkur pelannya. Di dipan lain Walter mengamati kedatangan kami. Ia tampak sangat pucat dan tak berdaya.
“Kau bisa dikunjungki, Walt?” bisik Ian, ketika mata Walter beralih ke arahnya.
“Ungh,” erang Walter, bibirnya menggantung di wajah lemahnya dan kulitnya berkilau basah dalam cahaya suram.
“Kau perlu sesuatu?” gumamku. Kubebaskan kedua tanganku—yang bergerak-gerak tak berdaya di udara di antara aku dan Walter.
Mata Walter bergulir pelan meneliti kegelapan. Aku melangkah lebih dekat.
“Ada yang bisa kami lakukan untukmu? Apa saja?”
Mata Walter berkelana sampai menemukan wajahku. Dengan cepat sepasang mata itu memusatkan pandangan menembus keadaan mabuk dan nyeri.
“Akhirnya,” ujarnya terperangah. Napasnya tersengal. “Aku tahu kau akan datang jika aku menunggu cukup lama. Oh, Gladys, banyak sekali yang harus kuceritakan kepadamu.”

0 comments:

Post a Comment

Jual Nugget dan Sosis Sayur

Jual Nugget dan Sosis Sayur
Pemesanan via email : lwati111@gmail.com

The Host - Bab 30



Salah Sangka

“Mel?” Tanya Jared lagi. Harapan yang tak ingin dirasakannya mewarnai nada suaranya.
Napasku kembali tersangkut dalam isak tangis; kejutan susulan.
“Kau tahu itu untukmu, Mel. Kau tahu itu bukan untuk—nya. Kau tahu aku tidak menciumnya.”
Isak tangisku semakin keras. Aku mengerang. Mengapa aku tak bisa menutup mulut? Aku mencoba menahan napas.
“Seandainya kau ada di dalam sana, Mel…” Jared berhenti.
Melanie membenci  kata “seandainya”. Tangis meledak lewat paru-paruku, dan aku terengah-engah.
“Aku mencintaimu,” ujar Jared. “Bahkan seandainya kau tak ada di sana, seandainya kau tak bisa mendengarku. Aku mencintaimu.”
Aku kembali menahan napas, menggigit bibir sampai berdarah. Rasa sakit fisik itu tidak mengalihkan perhatianku, seberapa besar pun harapanku.
Di luar lubang hening, lalu di dalam gua juga, ketika aku berubah murung. Aku mendengarkan dengan seksama, hanya berkonsentrasi pada apa yang bisa kudengar. Aku tak mau berpikir. Tidak terdengar suara.
Aku menekuk dalam posisi paling mustahil. Kepalaku berada di titik terendah, sisi kanan wajahku menekan lantai batu yang kasar. Kedua bahuku miring di sekitar pinggiran kotak yang penyok, bahu kanan lebih tinggi daripada yang kiri. Pinggulku membentuk sudut berlawanan, betis kiriku menekan langit-langit. Bertempur melawan kotak-kotak meninggalkan memar di tubuhku. Bisa kurasakan memar-memar itu bermunculan. Aku tahu aku harus mencari cara untuk menjelaskan kepada Ian dan Jamie, bahwa akulah yang melakukan ini terhadap diriku sendiri. Tapi bagaimana caranya? Apa yang harus kukatakan? Bagaimana aku bisa menceritakan kepada mereka bahwa Jared menciumku sebagai ujian, seperti menyetrum tikus percobaan untuk mengamati reaksinya?
Dan berapa lama aku harus mempertahankan posisi ini? Aku tak ingin menciptakan suara apa pun, tapi rasanya tulang punggungku bakal patah dalam hitungan menit. Rasa sakit itu semakin tak tertahankan setiap detiknya. Aku takkan bisa menanggungkannya dalam kebisuan untuk waktu yang lama. Erangan sudah naik di dalam tenggorokanku.
Melanie tidak mengatakan apa-apa kepadaku. Diam-diam ia mencoba mengatasi kelegaan dan kemarahannya sendiri. Jared telah berbicara dengannya, akhirnya mengakui keberadaannya. Jared telah menyatakan cintanya. Tapi Jared menciumku. Melanie sedang mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa tak ada alasan untuk merasa terluka, sedang mencoba mempercayai semua alasan kuat mengapa bukan seperti ini rasanya. Ia mencoba, tapi gagal. Aku bisa mendengar semua ini, tapi Melanie mengarahkannya pada diri sendiri. Ia tidak bicara denganku—di dalam pengertian kekanak-kanakan dan sempit frasa itu. Aku diabaikan.
Kurasakan munculnya kemarahan yang tak kukenal terhadap Melanie. Berbeda dengan dulu, ketika aku merasa takut padanya dan berharap ia terhapus dari benakku. Tidak. Kini aku juga merasa dikhianati. Bagaimana mungkin ia bisa marah kepadaku atas apa yang terjadi? Apakah itu masuk akal? Bagaimana mungkin aku yang bersalah karena telah jatuh cinta akibat ingatan-ingatan yang dipaksakannya kepadaku, lalu ditumbangkan tubuh liar ini? Aku peduli terhadap penderitaan Melanie, tapi rasa sakitku tak berarti apa-apa baginya. Ia menikmatinya. Dasar manusia keji.
Air mata yang jatuh lebih lemah daripada air mataku sebelumnya, mengalir di pipiku dalam kebisuan. Sikap bermusuhan Melanie terhadapku bergolak di benakku.
Dengan segera rasa sakit di punggungku yang memar dan terpilin tak tertahankan lagi. Cukup sudah.
“Ugh,” erangku, seraya mendorong batu dan karton ketika mundur.
Aku tak peduli lagi terhadap suara yang kuciptakan. Aku hanya ingin keluar. Aku bersumpah kepada diri sendiri, ambang lubang terkutuk ini takkan pernah kulewati lagi—langkahi dulu mayatku. Secara harfiah.
Lebih sulit untuk mendesak keluar daripada menyelinap masuk. Aku menggeliat dan meliuk-liuk sampai seakan-akan aku membuat segalanya semakin buruk. Tubuhku terlipat membentuk simpul tak beraturan. Aku mulai menangis lagi, seperti anak kecil, takut takkan pernah bisa bebas.
Melanie mendesah. Sangkutkan kakimu di mulut lubang dan tarik dirimu keluar, sarannya.
Aku mengabaikannya, berjuang menyelinapkan tubuhku di pojok yang sangat runcing. Ujungnya menusukku tepat di bawah rusuk.
Jangan picik, gerutunya.
Mengejutkan, karena kau bisa berkata seperti itu.
Aku tahu. Melanie bimbang, lalu menyerah. Oke, maaf. Sungguh. Dengar, aku manusia. Terkadang sulit untuk bersikap adil. Kami tidak selalu merasakan hal yang benar, melakukan hal yang benar.
Kebencian itu masih di sana, tapi ia mencoba memaafkan dan melupakan bahwa aku baru saja bermesraan dengan cinta sejatinya—setidaknya itulah yang ada dalam benaknya.
Kukaitkan kakiku di sekitar pinggiran lubang dan kusentakkan tubuhku. Lututku menghantam lantai, dan aku menggunakan posisi itu untuk melepaskan rusukku dari tonjolan. Setelah itu lebih mudah untuk mengeluarkan kakiku yang sebelah lagi dan kembali menyentakkan tubuh. Akhirnya kedua tanganku menemukan lantai, dan aku mendesakkan tubuhku. Kakiku keluar lebih dulu, lalu aku terjatuh ke kasur hijau tua. Sejenak aku berbaring di sana, tertelungkup, bernapas. Aku yakin saat ini Jared sudah lama pergi, tapi aku tidak langsung memastikannya. Aku hanya menarik dan mengembuskan napas, sampai merasa siap untuk mengangkat kepala.
Aku sendirian. Kucoba untuk tetap merasa lega dan melupakan kesedihan akibat kenyataan ini. Lebih baik sendirian. Lebih tidak memalukan.
Aku meringkuk di kasur. Kutekankan wajahku pada kain apak itu. Aku tidak mengantuk, tapi lelah. Beban akibat penolakan Jared begitu berat, membuatku kelelahan. Aku memejamkan mata dan mencoba memikirkan hal-hal yang takkan membuat mataku kembali basah. Apa saja kecuali pandangan terkejut di wajah Jared ketika melepaskan diri dariku…
Apa yang sedang dilakukan Jamie? Apakah ia tahu aku ada di sini, atau apakah ia sedang mencariku? Ian pasti sudah lama terlelap, ia tampak sangat lelah. Apakah Kyle akan segera bangun? Apakah ia bakal datang mencariku? Di mana Jeb? Aku belum berjumpa dengannya seharian. Apakah Doc benar-benar mabuk sampai tak sadarkan diri? Itu tampaknya mustahil…
Aku terjaga perlahan-lahan, dibangunkan perutku yang keroncongan. Aku berbaring diam beberapa menit, mencoba mengorientasikan diri. Ini siang atau malam? Berapa lama aku tidur sendirian di sini?
Tapi perutku tak mau diabaikan untuk waktu lama. Aku berguling, berlutut. Agaknya aku tidur cukup lama, sehingga merasa selapar ini. Aku telah melewatkan satu atau dua kali waktu makan.
Kupertimbangkan untuk menyantap sesuatu dari tumpukan bekal di dalam lubang. Bagaimanapun aku sudah merusak nyaris semuanya, dan mungkin menghancurkan bebeapa di antaranya. Tapi tindakan itu hanya akan membuatku merasa lebih bersalah, karena hendak mengambil lebih banyak lagi. Aku akan pergi mencari beberapa potong roti di dapur.
Aku merasa sedikit terluka, selain semua luka besar itu, karena telah berada di sini begitu lama dan tak seorang pun datang mencariku. Betapa sia-sia sikapku. Mengapa orang harus peduli terhadap apa yang terjadi padaku? Lalu aku merasa lega dan puas ketika mendapati Jamie duduk di ambang lubang menuju kebun besar, memunggungi dunia manusia di belakangnya. Tak salah lagi, ia pasti sedang menungguku.
Mataku berkilat-kilat gembira, begitu juga mata Jamie. Ia bangkit berdiri, wajahnya menunjukkan kelegaan.
“Kau baik-baik saja,” kata Jamie. Dan kuharap ia benar. Ia mulai mengoceh. “Maksudku, kurasa Jared tidak berbohong. Menurut dia, kau ingin sendirian. Dan Jeb bilang aku tidak boleh menengokmu, dan harus tetap di tempat, agar dia bisa melihat aku tidak menyelinap kembali ke sana. Tapi walaupun menurutku kau tidak terluka atau apa pun, berat bagiku untuk tidak mengetahui dengan pasti. Kau tahu, kan?”
“Aku baik-baik saja,” kataku. Tapi kuulurkan kedua lenganku, mencari penghiburan. Jamie memeluk pinggangku, dan aku terkejut karena kepalanya bisa bersandar di bahuku ketika kami berdiri.
“Matamu merah,” bisiknya. “Apakah Jared jahat padamu?”
“Tidak.” Bagaimanapun, orang tidak akan dengan sengaja bertindak kejam terhadap tikus laboratorium—mereka hanya berusaha memperoleh informasi.
“Apa pun yang kaukatakan kepada Jared, kurasa dia sekarang memercayai kita. Maksudku soal Mel. Bagaimana perasaan Mel?”
“Mel gembira soal itu.”
Jamie mengangguk senang, “Bagaimana denganmu?”
Aku bimbang, mencari jawaban berdasarkan fakta. “Mengucapkan kebenaran lebih mudah bagiku daripada mencoba menyembunyikannya.”
Pengelakanku tampaknya menjawab pertanyaan Jamie dengan cukup memuaskan.
Di belakangnya cahaya di kebun berwarna merah pudar. Matahari sudah terbenam di padang gurun.
“Aku lapar,” kataku, melepaskan diri dari pelukan Jamie.
“Aku tahu. Aku menyimpan makanan lezat untukmu.”
Aku mendesah. “Roti saja sudah cukup.”
“Sudahlah, Wanda. Kata Ian, kau terlalu mengorbankan kepentinganmu sendiri.”
Aku nyengir.
“Kurasa Ian ada benarnya,” gumam Jamie. “Bahkan seandainya kami semua menginginkanmu di sini, kau tidak akan menjadi bagian dari kami sampai kau sendiri memutuskan begitu.”
“Aku tak pernah bisa menjadi bagian dari kalian. Dan tak seorang pun benar-benar menginginkanku di sini, Jamie.”
“Aku menginginkannya.”
Aku tidak menentangnya, tapi Jamie keliru. Ia tidak berbohong; ia meyakini apa yang diucapkannya. Tapi yang benar-benar diinginkan Jamie adalah Melanie. Ia tidak memisahkan kami, seperti yang seharusnya ia lakukan.
Trudy dan Heidi sedang memanggang roti di dapur, sambil makan apel segar berwarna hijau cerah. Mereka menggigit buah itu bergantian.
“Senang melihatmu, Wanda,” ujar Trudy tulus. Ia menutup mulut ketika bicara, karena masih mengunyah gigitan apel terakhir. Heidi mengangguk member salam, giginya terbenam dalam apel. Jamie mencoba menyikutku diam-diam – untuk menunjukkan bahw orang-orang ini menginginkanku.  Ia tidak menganggap tindakan mereka sebagai sopan santun biasa.
“Kau menyimpan makanan untuknya?” Tanya Jamie bersemangat.
“Yep,” jawab Trudy. Ia membungkuk di samping oven, lalu kembali dengan nampan logam di tangan. “Kuhangatkan. Mungkin sekarang sudah keras dan tidak enak, tapi masih lebih baik daripada hidangan biasa.”
Di atas nampan ada potongan daging merah yang agak besar. Mulutku mulai meneteskan liur, walaupun jatah yang diberikan untukku itu kutolak.
“Terlalu banyak.”
“Kami harus menghabiskan semua makanan segar di hari pertama,” desak Jamie. “Semua makan sampai kekenyangan—sudah tradisi.”
“Kau perlu protein,” imbuh Trudy. “Kita sudah terlalu lama menyantap makanan gua. Aku heran mengapa tak seorang pun kondisinya kurang sehat.”
Aku menyantap proteinku, sementara Jamie mengawasi seperti burung elang ketika setiap suapan berpindah dari nampan ke mulutku. Aku menghabiskan semua untuk menyenangkan Jamie, walaupun makan begitu banyak akan membuat perutku sakit.
Dapur mulai terisi kembali ketika aku menghabiskan makanan. Beberapa orang memegang apel di tangan—semua berbagi dengan yang lain. Mata-mata penasaran meneliti sisi wajahku yang cedera.
“Mengapa semua orang kemari?” gumamku kepada Jamie. Di luar gelap, jam makan sudal lama lewat.
Sejenak Jamie memandangku dengan tatapan kosong. “Untuk mendengarmu mengajar.” Nada suaranya mengimbuhkan kata tentu saja.
“Kau bergurau?”
“Sudah kubilang, tak ada yang berubah.”
Aku menatap ke sekeliling ruang sempit itu. Tidak penuh. Tidak ada Doc malam ini, dan tak ada satu pun dari para penjarah yang baru pulang. Dan ini berarti tak ada Paige. Tak ada Jeb, tak ada Ian, tak ada Walter. Beberapa orang lainnya juga tidak ada: Travis, Carol, Ruth Ann. Tapi ini lebih daripada yang kukira, seandainya aku mengira semua orang akan mempertimbangkan untuk menjalankan rutinitas normal setelah hari yang begitu tidak normal.
“Bisakah kita kembali pada Lumba-lumba, pembahasan terakhir kita?” Tanya Wes, menyela evaluasiku atas ruangan itu. Bisa kulihat ia lebih berinisiatif membuka percakapan, bukannya benar-benar tertarik dengan hubungan kekerabatan di planet asing.
Semua memandangku penuh harap. Tampaknya kehidupan tidak berubah sebanyak yang kuperkirakan.
Aku mengambil nampan roti dari tangan Heidi, lalu berbalik untuk menyorongkannya ke dalam oven batu. Aku mulai bicara dengan posisi memunggungi.
“Jadi… um… hmm… pasangan kakek-nenek ketiga… Secara tradisional mereka melayani komunitas, sesuai dengan pemahaman mereka. Di Bumi mereka bisa disebut pencari nafkah, orang-orang yang meninggalkan rumah dan membawa pulang makanan serta minuman. Sebagian besar petani. Mereka mengolah sesuatu yang menyerupai tanaman, yang mereka ambil getahnya…”
Dan kehidupan pun berlanjut.
Jamie mencoba membujukku agar tidak tidur di koridor gudang, tapi usahanya hanya setengah hati. Tak ada tempat lain untukku. Dengan sikap keras kepala seperti biasa, ia berkeras tidur bersamaku. Kubayangkan Jared pasti tidak suka. Tapi karena aku tidak melihat Jared malam itu atau hari berikutnya, aku tidak bisa membuktikan teoriku.
Mengerjakan tugas-tugasku seperti biasa terasa canggung dengan kepulangan keenam penjarah. Rasanya sama persis seperti saat Jeb pertama kali memaksaku bergabung dengan komunitasnya. Tatapan-tatapan bermusuhan, kebisuan-kebisuan marah. Tapi ini lebih menyulitkan mereka daripada aku. Aku sudah terbiasa. Sebaliknya mereka sama sekali tidak terbiasa dengan cara semua orang lain memperlakukanku. Ketika aku membantu memanen jagung, misalnya. Lily tersenyum dan berterima kasih kepadaku atas keranjang yang baru saja kubawakan, dan mata Andy melotot melihatnya. Atau ketika aku sednag menunggu kolam mandi bersama Trudy dan Heidi, lalu Heidi memain-mainkan rambutku. Belakangan rambutku yang sudah panjang selalu menutupi mata, dan aku berencana mengguntingnya. Heidi mencoba mencari gaya yang cocok untukku. Ia membolak-balik helaian-helaian rambutku. Brandt dan Aaron—Aaron lelaki tertua yang pergi dalam penjarahan panjang itu, aku sama sekali tak ingat pernah melihatnya sebelumnya—muncul dan melihat kami di sana. Trudy menertawakan gaya konyol yang sedang berusaha diciptakan Heidi di atas kepalaku, dan wajah kedua lelaki itu sedikit memucat, lalu mereka berjalan diam-diam melewati kami.
Tentu saja hal-hal kecil seperti itu tak ada artinya. Kini Kyle menjelajahi ruang-ruang gua. Dan walaupun ia pasti sudah diperintahkan untuk tidak menggangguku, dari ekspresinya jelas terlihat bahwa larangan ini menjijikan baginya. Aku selalu bersama-sama dengan yang lain ketika berjumpa dengannya, dan aku bertanya-tanya apakah itu satu-satunya alasan Kyle tidak melakukan apa-apa, selain memelototiku dan tanpa sadar mengepalkan jari-jari tangannya yang tebal. Ini mengembalikan semua kepanikanku selama minggu-minggu pertama di sini dulu, menghindari area-area bersama—seandainya tidak memperhatikan hal yang lebih penting daripada tatapan mengerikan Kyle di malam kedua.
Dapur kembali terisi. Aku tak yakin seberapa banyak orang yang tertarik pada cerita-ceritaku, dan seberapa banyak yang tertarik pada cokelat-cokelat batangan yang dibagikan Jeb. Aku menolak bagianku, lalu menjelaskan kepada Jamie yang menggerutu bahwa aku tidak bisa bicara dan menelan pada saat bersamaan. Aku curiga ia akan menyimpankan cokelat itu untukku, bersikap keras kepala seperti biasa. Ian sudah kembali di kursi panasnya seperti biasa, di samping perapian. Andy ada di sana—matanya waspada—di samping Paige. Tak seorang pun dari penjarah-penjarah lainnya, termasuk Jared tentu saja, hadir. Doc tak ada di sana, dan aku bertanya-tanya apakah ia masih mabuk atau mungkin pusing. Dan sekali lagi, Walter tidak ada.
Geoffrey, suami Trudy, mengajukan pertanyaan kepadaku untuk pertama kali malam ini. Aku senang, walaupun berusaha untuk tidak menunjukkannya, karena tampaknya ia telah bergabung dengan kelompok manusia yang menoleransi kehadiranku. Tapi sayang sekali aku tak bisa menjawab pertanyaan dengan baik. Pertanyaan-pertanyaannya serupa dengan pertanyaan-pertanyaan Doc.
“Aku tidak begitu tahu mengenai Penyembuhan setelah… setelah aku tiba di sini untuk pertama kali. Aku belum pernah sakit. Yang kutahu hanyalah, kami tidak akan memilih sebuah planet jika tidak bisa mempertahankan tubuh inang-inangnya dengan sempurna. Tak ada yang tak bisa disembuhkan, mulai dari luka sederhana, patah tulang, sampai penyakit. Kini usia tua adalah satu-satunya penyebab kematian. Bahkan tubuh manusia sehat pun hanya dirancang untuk bertahan hidup selama itu. Dan kurasa juga terjadi kecelakaan-kecelakaan, walaupun tidak begitu sering menimpa jiwa. Kami berhati-hati.”
“Manusia bersenjata tidak bisa disebut kecelakaan,” gumam seseorang. Aku sedang memindahkan roti-roti panas; aku tidak melihat siapa yang bicara, dan tidak mengenali suaranya.
“Ya, itu benar,” ujarku setuju.
“Kalau begitu, kau tahu apa yang mereka gunakan untuk mengobati penyakit?” desak Geoffrey. “Apa yang ada di dalam obat-obatan mereka?”
Aku menggeleng. “Maaf, aku tak tahu. Itu tidak menarik perhatianku, ketika dulu aku punya akses terhadap informasinya. Kurasa aku telah menyepelekannya. Aku selalu bisa mendapat kesehatan yang baik di setiap planet yang pernah kutinggali.”
Pipi merah Geoffrey semakin membara. Ia menunduk, bibirnya terkatup marah. Apakah perkataanku menyinggungnya?
Heath, yang duduk di samping Geoffrey, menepuk-nepuk lengannya. Seluruh ruangan langsung hening.
“Uh—tentang para Hering…,” ujar Ian. Kata-katanya dipaksakan, sengaja mengubah pokok pembicaraan. “Aku tidak tahu apakah bagian yang ini terlewatkan olehku, tapi seingatku kau tak pernah menjelaskan tentang ‘kejahatan’ mereka?”
Ini bukanlah sesuatu yang pernah kujelaskan, tapi aku sangat yakin Ian tidak benar-benar tertarik—ini hanya pertanyaan pertama yang terlintas di dalam pikirannya.
Kelas informalku berakhir lebih awal daripada biasa. Hanya ada sedikit pertanyaan, dan sebagian besar diajukan Jamie serta Ian. Pertanyaan-pertanyaan Geoffrey membuat yang lain sibuk berpikir.
“Well, besok kita harus bangun lebih awal, untuk mencabuti batang-batang…,” ujar Jeb, setelah muncul keheningan yang canggung lagi. Ia menjadikan kata-katanya sebagai perintah pembubaran. Orang-orang bangkit berdiri, menggeliat, bicara dengan suara rendah yang kedengarannya tidak terlalu santai.
“Apa yang tadi kukatakan?” bisikku kepada Ian.
“Tak ada. Mereka sibuk memikirkan mortalitas.” Ia mendesah.
Otak manusiaku langsung melakukan salah satu lompatan pemahaman yang disebut intuisi.
“Mana Walter?” desakku, masih berbisik.                                                              
Ian kembali mendesah. “Dia di bagian selatan. Dia… tidak sehat.”
“Mengapa tak ada yang memberitahuku?”
“Semua… menyulitkanmu belakangan ini, jadi…”
Aku menggeleng tidak sabar mendengar pertimbangan ini. “Apa yang salah dengannya?”
Kini  Jamie berada di sampingku. DIraihnya tanganku.
“Beberapa tulang Walter yang sangat rapuh patah,” ujarnya berbisik. “Doc yakin itu kanker—stadium akhir, katanya.”
“Agaknya Walt sudah lama merahasiakan sakitnya,” imbuh Ian muram.
Aku mengernyit. “Dan tak ada yang bisa dilakukan? Sama sekali tak ada?”
Ian menggeleng, tetap memandangku dengan mata cemerlangnya. “Bagi kami tak ada. Kalaupun kami tidak terperangkap di sini, takkan ada pertolongan untuknya sekarang. Kami belum bisa menyembuhkan penyakit itu.”
Aku menggigit bibir, agar saran yang ingin kulontarkan tidak keluar. Tentu saja tak ada yang bisa dilakukan untuk Walter. Semua manusia ini lebih suka mati perlahan-lahan secara menyakitkan daripada menukar benak demi kesembuhan tubuh. Aku bisa memahaminya… sekarang.
“Walter menanyakanmu,” lanjut Ian. “Well, terkadang dia menyebut namamu. Sulit untuk mengetahui maksudnya—Doc membuatnya tetap mabuk untuk mengurangi rasa sakit.”
“Doc merasa sangat tidak enak karena telah menggunakan begitu banyak alcohol untuk dirinya sendiri,” imbuh Jamie. “Saat yang sulit, untuk semua.”
“Bisakah aku menengoknya?” tanyaku. “Atau apakah itu akan membuat yang lain tidak senang?”
Ian memberengut, lalu mendengus. “Bukankah tidak pantas bagi mereka jika mempersoalkan hal seperti itu?” Ia menggeleng, “Tapi siapa peduli, bukan? Jika itu keinginan terakhir Walt…”
“Benar,” ujarku setuju. Kata terakhir membuat mataku perih. “Jika Walter ingin berjumpa denganku, kurasa aku tak peduli apa yang dipikirkan orang lain, atau apakah mereka akan marah.”
“Jangan khawatir soal itu—aku takkan membiarkan siapa pun mengganggumu.” Bibir pucat Ian mengatup membentuk garis tipis.
Aku merasa cemas, seakan ingin menengok jam. Waktu sudah tidak begitu berarti lagi buatku, tapi mendadak aku merasakan beban tenggat waktu. “Apakah  sudah terlambat untuk menengok Walter malam ini? Apakah dia akan terganggu?”
“Walter tidak tidur pada jam-jam biasa. Kita bisa pergi menengoknya.”
Aku langsung mulai berjalan, seraya menyeret Jamie Karenna ia masih mencengkeram tanganku. Perasaan mengenai berlalunya waktu, mengenai akhir dan ketamatan, menggerakkanku maju. Tapi Ian berhasil mengejarku dengan langkah-langkah panjangnya.
Di dalam ruang gua dengan kebun yang disinari cahaya bulan, kami berpapasan dengan orang-orang lain yang sebagian besar tidak memedulikan kami. Aku sudah terlalu sering ditemani Jamie dan Ian, sehingga mereka tidak curiga, walaupun kami tidak menuju terowongan-terowongan yang biasa.
Satu-satunya perkecualian adalah Kyle. Ia terpaku ketika melihat adiknya di sampingku. Matanya berkilat-kilat melihat tangan Jamie dalam genggamanku, lalu bibirnya membentuk seringai.
Ian menegakkan bahu ketika mencerna reaksi kakaknya—bibirnya mengerut menirukan mulut Kyle—dan dengan sengaja ia meraih tanganku yang lain. Kyle mengeluarkan suara seakan hendak muntah, lalu berbalik memunggungi kami.
Ketika kami berada di dalam kegelapan terowongan panjang selatan, kucoba untuk membebaskan tangan. Tapi Ian mencengkeramnya semakin erat.
“Kuharap kau tidak membuat Kyle semakin marah,” gumamku.
“Kyle keliru. Keliru adalah kebiasaannya. Dibandingkan semua orang lainnya, dia perlu waktu lebih lama untuk menyadari kekeliruannya. Tapi itu tidak berarti kita harus membiarkannya.”
“Dia membuatku ngeri,” bisikku mengakui.  “Aku tidak ingin dia mendapat lebih banyak alasan untuk membenciku.”
Ian dan Jamie meremas tanganku bersamaan. Mereka bicara serentak.
“Jangan takut,” ujar Jamie.
“Jeb sudah menyatakan pendapatnya dengan sangat jelas,” ujar Ian.
“Apa maksudmu?” tanyaku kepada Ian.
“Jika Kyle tidak bisa menerima peraturan-peraturan Jeb, maka dia tak lagi diterima di sini.”
“Tapi itu keliru. Tempat Kyle di sini.”
Ian menggerutu. “Dia tetap tinggal… jadi yang harus dia lakukan hanyalah belajar mengatasinya.”
Kami tidak bicara lagi. Aku merasa bersalah—tampaknya itu keadaan emosi yang permanen di sini. Perasaan bersalah, takut, dan patah hati. Mengapa aku kemari?
Karena, walaupun cukup aneh, tempatmu memang di sini, bisik Melanie. Ia sangat menyadari kehangatan tangan Ian dan Jamie yang menggenggam tanganku. Di mana lagi kau pernah mengalami ini?
Tidak di mana pun, ujarku mengakui, dan aku hanya merasa semakin tertekan. Tapi ini bukan berarti tempatku di sini. Lain halnya denganmu.
Kita adalah satu kesatuan, Wanda.
Seakan aku perlu diingatkan saja…
Aku sedikit terkejut karena bisa mendengar Melanie dengan sangat jelas. Dua hari terakhir ini ia diam saja, menunggu, cemas, berharap untuk berjumpa lagi dengan Jared. Tentu saja aku juga sibuk memikirkan hal yang sama.
Mungkin Jared bersama Walter. Mungkin selama ini ia ada di sana, pikir Melanie penuh harap.
Itu bukan alasan kepergian kita mengengok Walter.
Tidak. Tentu saja tidak. Nada suara Melanie penuh penyesalan, tapi kusadari Walter jauh lebih berarti bagiku daripada baginya. Tentu saja Melanie sedih karena Walter sekarat, tapi ia sudah pasrah menerima semua itu sejak awal. Sebaliknya, aku tidak bisa membuat diriku pasrah menerimanya, bahkan sekarang. Walter temanku, bukan teman Melanie. Akulah yang pernah dibela oleh Walter.
Ketika mendekati bagian rumah sakit, kami disambut salah satu cahaya biru suram itu. (Kini aku tahu lentera-lentera itu bertenaga matahari, dan seharian ditinggalkan di pojok – pojok bermatahari agar terisi tenaga.) Kami bergerak nyaris tanpa suara, dan sama-sama memperlambat langkah tanpa harus membahasnya lebih dulu.
Aku benci ruangan ini. Dalam kegelapan, dengan bayang-bayang aneh yang diciptakan kilau suram, tampaknya tempat ini semakin mengerikan saja. Tercium aroma baru—ruangan ini berbau pembusukan lambat, alcohol menyengat, dan cairan empedu.
Dua di antara dipannya terisi. Kaki Doc terjulur melewati pinggiran salah satu dipan; kukenali dengkur pelannya. Di dipan lain Walter mengamati kedatangan kami. Ia tampak sangat pucat dan tak berdaya.
“Kau bisa dikunjungki, Walt?” bisik Ian, ketika mata Walter beralih ke arahnya.
“Ungh,” erang Walter, bibirnya menggantung di wajah lemahnya dan kulitnya berkilau basah dalam cahaya suram.
“Kau perlu sesuatu?” gumamku. Kubebaskan kedua tanganku—yang bergerak-gerak tak berdaya di udara di antara aku dan Walter.
Mata Walter bergulir pelan meneliti kegelapan. Aku melangkah lebih dekat.
“Ada yang bisa kami lakukan untukmu? Apa saja?”
Mata Walter berkelana sampai menemukan wajahku. Dengan cepat sepasang mata itu memusatkan pandangan menembus keadaan mabuk dan nyeri.
“Akhirnya,” ujarnya terperangah. Napasnya tersengal. “Aku tahu kau akan datang jika aku menunggu cukup lama. Oh, Gladys, banyak sekali yang harus kuceritakan kepadamu.”

0 comments on "The Host - Bab 30"

Post a Comment