Rasanya membingungkan ketika terbangun di dalam kegelapan total. Pada bulan-bulan terakhir aku terbiasa melihat matahari yang mengatakan hari sudah pagi. Pertama-tama aku mengira hari masih malam, tapi perasaan menyengat di wajahku dan rasa nyeri di punggungku mengingatkanku di mana aku berada.
Di sampingku, aku bisa mendengar suara napas pelan teratur. Tidak membuatku takut, karena itu suara yang paling kukenal di sini. Aku tidak terkejut melihat Jamie menyelinap kembali untuk tidur di sampingku semalam.
Mungkin perubahan pada napaskulah yang membangunkannya, atau mungkin itu hanya karena jadwal kami telah selaras. Tapi beberapa detik setelah aku terbangun, Jamie sedikit menghela napas terkejut.
"Wanda?" bisiknya.
"Aku di sini."
Ia menghela napas lega.
"Gelap sekali di sini," ujarnya.
"Ya."
"Menurutmu sudah waktunya sarapan?"
"Aku tak tahu."
"Aku lapar. Ayo, kita lihat."
Aku tidak menjawab.
Jamie mengartikan kebisuanku dengan benar, karena ia tertegun.
"Kau tidak perlu bersembunyi di sini, Wanda," ujarnya sungguh-sungguh, setelah sejenak menungguku bicara. "Semalam aku bicara dengan Jared. Dia akan berhenti mengganggumu--dia berjanji."
Aku nyaris tersenyum. Menggangguku.
"Maukah kau pergi bersamaku?" desak Jamie. Tangannya menemukan tanganku.
"Kau benar-benar ingin aku melakukan itu?" tanyaku pelan.
"Ya. Semuanya akan sama seperti sebelumnya."
Mel? Apakah ini yang terbaik?
Aku tak tahu. Melanie bingung. Ia tahu dirinya tak bisa bersikap objektif; ia ingin berjumpa dengan Jared.
Kau tahu, itu sinting.
Tidak sesinting kenyataan bahwa kau ingin bertemu dengannya juga.
"Baiklah, Jamie," ujarku setuju. "Tapi jangan sedih kalau keadaan tidak sama seperti sebelumnya, oke? Kalau segalanya jadi buruk... Well, jangan terkejut."
"Semua akan baik-baik saja. Nanti kaulihat sendiri."
Kubiarkan Jamie menuntunku keluar dari kegelapan dengan menarik tanganku yang masih digenggamnya. Aku menguatkan diri ketika kami memasuki ruang gua dengan kebun besar itu. Aku tak bisa memastikan reaksi semua orang terhadapku hari ini. Siapa yang tahu, perkataan apa yang terucap ketika aku tidur?
Tapi kebun kosong, walaupun matahari bersinar cera di langit pagi. Cahaya matahari memantul dari ratusan cermin, sejenak membutakanku.
Jamie tidak tertarik pada ruang gua kosong itu. Matanya memandang wajahku, dan ia menghela napas tajam lewat sela-sela gigi ketika cahaya menyentuh pipiku.
"Oh," ujar Jamie terkejut. "Kau baik-baik saja? Apakah rasanya sakit sekali?"
Kusentuh ringan wajahku. Kulitnya terasa kasar--kotoran yang mengeras dalam darah. Rasanya berdenyut-denyut ketika tersapu jari.
"Tidak apa-apa," bisikku. Ruang gua kosong itu membuatku cemas--aku tak ingin bicara terlalu keras. "Di mana semua orang?"
Jamie mengangkat bahu, tatapannya masih tegang ketika meneliti wajahku. "Sibuk, kurasa," Ia tidak merendahkan suaranya.
Ini mengingatkanku pada kejadian semalam, pada rahasia yang tak mau diceritakannya kepadaku. Alisku bertaut.
Menurutmu apa yang tidak diceritakannya kepada kita?
Kita sama-sama tak tahu, Wanda.
Kau manusia. Bukankah kau seharusnya punya intuisi atau semacam itu?
Intuisi? Intuisiku mengatakan kita tidak mengenal tempat ini sebaik yang kita sangka, ujar Melanie.
Kami merenungkan ucapan penuh ancaman itu.
Rasanya nyaris melegakan ketika aku mendengar suara-suara normal di waktu makan yang berasal dari koridor dapur. Tak ada orang tertentu yang ingin kujumpai--tentu saja selain kerinduan sinting untuk bertemu Jared. Tapi terowongan-terowongan yang sepi, ditambah pengetahuan bahwa ada sesuatu yang dirahasiakan dariku, membuatku gelisah.
Dapurnya bahkan tidak terisi setengahnya---itu hal yang aneh di pagi seperti ini. Tapi itu nyaris tidak kuperhatikan, karena aroma dari oven batu mengalahkan semua pikiran lain.
"Oooh," erang Jamie. "Telur!"
Jamie menarikku lebih cepat, dan aku sama sekali tidak keberatan mengikutinya. Kami bergegas, perut keroncongan, menuju meja di dekat oven. Di sana Lucina, sang ibu, berdiri dengan sendok sayur plastik di tangan. Biasanya sarapan bisa diambil sendiri, tapi biasanya sarapan hanya terdiri atas roti bulat keras.
Lucina hanya memandang Jamie ketika bicara, "Satu jam yang lalu rasanya lebih enak."
"Sekarang pun tetap enak," jawab Jamie antusias. "Semua sudah makan?"
"Hampir semua. Kurasa mereka membawa nampan mereka ke tempat Doc, dan yang lain..." Lucina berhenti, mataknya melirikku untuk pertama kali. Jamie melirikku juga. Aku tidak memahami ekspresi Lucina. Ekspresi itu menghilang begitu cepat, digantikan sesuatu yang lain ketika ia meneliti bekas-bekas luka baru di wajahku.
"Berapa banyak yang tersisa?" tanya Jamie. Kini kegairahannya terdengar sedikit dipaksakan.
Lucina berbalik lalu membungkuk, menarik panci logam dari batu-batu panas di bagian bawah oven dengan sendok sayur. "Berapa banyak yang kauinginkan, Jamie? Ada banyak," ujarnya tanpa berbalik.
"Anggap saja aku Kyle," kata jamie sambil tertawa.
"Seukuran porsi Kyle kalau begitu," ujar Lucina. Tapi ketika ia tersenyum, matanya tampak muram.
Lucina mengisi satu mangkuk sup dengan telur orak-arik, berdiri, lalu menyerahkannya kepada Jamie.
Lucina kembali melirikku, dan kupahami apa arti pandangan ini.
"Ayo, duduk di sana, Jamie," kataku, menariknya pergi dari meja.
Jamie menatap takjub. "Kau tidak mau ini?"
"Tidak. Aku--" aku hendak mengatakan "baik-baik saja," tapi perutku yang keroncongan membangkang.
"Wanda?" Jamie memandangku, lalu ganti menatap Lucina yang bersedekap.
"Aku makan roti saja," gumamku, mencoba menarik Jamie pergi.
"Tidak. Lucina, apa masalahnya?" Jamie memandang Lucina penuh harap. Lucina tidak bergerak. "Kalau kau sudah selesai bertugas, aku akan menggantikanmu," saran Jamie. matanya menyipit dan mulutnya membentuk garis tegas.
Lucina mengangkat bahu, lalu meletakkan sendok sayur di meja batu. Ia berjalan pergi perlahan-lahan, tanpa memandangku lagi.
"Jamie," gumamku, berbisik cepat. "Makanan ini bukan untukku. Jared dan yang lain tidak mempertaruhkan nyawa supaya aku bisa makan telur untuk sarapan. Roti tidak apa-apa."
"Jangan tolol, Wanda," ujar Jamie. "Kau tinggal di sini sekarang, sama seperti kami semua. Tak seorang pun keberatan ketika kau mencucikan pakaian atau memanggangkan roti mereka. Lagi pula telur-telur ini tidak tahan lama. Kalau tidak kausantap, telur-telur ini akan terbuang."
Kurasakan semua mata di dalam ruangan menatap punggungku.
"Mungkin itu lebih baik untuk sebagian mereka ," ujarku lebih pelan. Tak seorang pun, kecuali Jamie, yang bisa mendengarnya.
"Biar saja," gerutu Jamie. Ia melompati meja dan mengisi satu mangkuk lagi dengan telur, lalu menyorongkannya kepadaku. "Kau harus menghabiskannya," ujarnya tegas.
Kupandang mangkuk itu. Air liurku menetes. Kudorong telur itu menjauh beberapa senti dariku, lalu bersedekap.
Jamie memberengut. "Baiklah," ujarnya. Lalu ia mendorong mangkuknya sendiri. "Kau tidak makan. Aku tidak makan." Perutnya bergemuruh keras. Ia bersedekap.
Kami bertatapan selama dua menit yang terasa lama, perut sama-sama keroncongan ketika kami mencium aroma telur. Sesekali Jamie melirik mangkuknya. Itulah yang membuatku mengalah--melihat hasrat di matanya.
"Baiklah," ujarku. Kuselipkan mangkuk itu ke tangan Jamie, lalu mengambil mangkukku. Ia baru menyentuh makanannya setelah aku mulai menyuap. Kutahan eranganku ketika rasa telur memenuhi lidah. Aku tahu telur dingin itu bukan makanan terbaik yang pernah kurasakan, tapi seperti itulah rasanya. Tubuh ini hidup untuk saat ini.
Jamie mengalami reaksi yang sama. Ia menjejalkan telur itu ke mulut begitu cepat hingga sepertinya tak punya waktu untuk bernapas. Aku mengawasinya untuk memastikan ia tidak tersedak.
Aku makan lebih pelan, berharap bisa meyakinkan Jamie untuk menyantap sebagian jatahku setelah ia selesai.
Ketika perselisihan kecil kami berakhir dan perutku kenyang, barulah aku memperhatikan atmosfer di dapur. Dengan kegembiraan mendapat telur untuk sarapan setelah berbulan-bulan mendapat asupan itu-itu saja, aku mengharapkan semacam perasaan gembira. Tapi suasana muram dan semua percakapan dilakukan berbisik-bisik. Apakah ini reaksi atas kejadian semalam? Kuteliti ruangan, mencoba mengerti.
Orang-orang memang memandangiku, ada beberapa di sana-sini, tapi bukan hanya mereka yang berbisik-bisik serius. Yang lain sama sekali tidak menggubrisku. Lagi pula kelihatannya tak seorang pun tampak marah, atau merasa bersalah, atau tegang, atau segala emosi lainnya yang kuharapkan.
Tidak, mereka sedih. Keputusasaan terukir di setiap wajah di dalam ruangan ini.
Sharon orang terakhir yang kuamati. Ia makan di pojok, sendirian seperti biasa. Ia begitu tenang ketika menyantap sarapan dengan gerakan mekanis, sehingga pertama-tama kau tidak melihat air mata membasahi wajahnya. Air mata itu berjatuhan ke dalam makanannya. Tapi ia tetap makan, seakan tidak memperhatikan sama sekali.
"Apakah terjadi sesuatu pada Doc?" bisikku kepada Jamie. Mendadak aku merasa takut. Aku ingin tahu apakah aku bersikap paranoid--mungkin ini tak ada hubungannya denganku. Kesedihan di dalam ruangan sepertinya merupakan bagian drama lain manusia yang tidak menyertakanku. Inikah yang menyibukkan semua orang? Apakah telah terjadi kecelakaan?
Jamie memandang Sharon, lalu menghela napas sebelum menjawab. "Tidak, Doc baik-baik saja."
"Aunt Maggie? Apakah dia terluka?"
Jamie menggeleng.
"Di mana Walter?" desakku, masih berbisik. Kecemasan menggerogotiku ketika aku memikirkan hal buruk menimpa salah seorang temanku di sini, bahkan mereka yang membenciku.
"Aku tidak tahu. Aku yakin dia baik-baik saja."
Kini kusadari Jamie sama sedihnya seperti semua orang lainnya di sini.
"Ada apa, Jamie? Mengapa kau sedih?"
Jamie menunduk memandangi telurnya. Kini ia sengaja makan pelan-pelan, dan tidak menjawabku.
Ia menghabiskan makanannya tanpa bicara. Kucoba memberikan telurku kepadanya, tapi ia melotot begitu mengerikan sehingga aku mengambil makanan itu kembali dan menghabiskannya.
Kami meletakkan mangkuk kami di dalam ember plastik besar tempat piring kotor. Isinya begitu penuh, sehingga kuambil ember itu dari meja. Aku tak yakin apa yang terjadi di gua hari ini, tapi mestinya mencuci piring adalah pekerjaan aman.
Jamie mengikuti di samping, matanya waspada. Aku tidak menyukainya. Aku takkan membiarkan Jamie bertindak seperti pengawal pribadi, seandainya itu diperlukan. Tapi kemudian, ketika kami berjalan mengitari pinggiran ladang besar itu, pengawal pribadi tetapku menemukanku, jadi tak ada gunanya lagi melarang Jamie.
Tubuh Ian kotor. Debu cokelat muda menutupinya dari kepala sampai kaki, warnanya lebih gelap di tempat-tempat basah oleh keringat. Galur-galur cokelat yang menodai wajahnya tidak menutupi kelelahan di sana. Aku tidak terkejut melihat ia sama sedihnya seperti yang lain. Tapi debunya membuatku penasaran. Bukan debu hitam keungunan yang ada di gua. Pagi ini Ian berada di luar.
"Ini dia," gumam Ian, ketika melihat kami. Ia berjalan cepat, kedua kaki panjangnya menempuh jarak dengan langkah-langkah gelisah. Ketika sudah menyusul kami, ia tidak memperlambat langkah, tapi menggamit sikuku dan menuntunku bergegas, "Ayo, bersembunyi di sini sejenak."
Ian menarikku ke dalam mulut terowongan sempit yang menuju ke ladang timur--di sana jagungnya hampir siap dipanen. Ia tidak menuntunku jauh, hanya ke dalam kegelapan, agar kami tidak terlihat dari ruang besar itu. Kurasakan Jamie menyentuh ringan tanganku yang bebas.
Setelah setengah menit suara-suara pelan menggema dari ruang gua besar itu. Suara-suara itu tidak bersemangat--muram, sama tertekannya seperti semua wajah yang kuamati pagi ini. Suara - suara itu bergerak melewati kami, di dekat celah tempat kami bersembunyi. Tangan Ian menegang di sikuku, jemarinya menekan tempat lunak di atas tulangku. Kukenali suara Jared dan Kyle. Melanie berubah tegang di luar kendaliku, lagi pula kendaliku memang lemah. Kami ingin melihat wajah Jared. Untunglah Ian menahan kami.
"...tidak tahu mengapa kita membiarkannya terus berusaha. Jika sudah berakhir, maka sudah berakhir," ujar Jared.
"Dia benar-benar mengira bisa berhasil kali ini. Dia begitu yakin... Oh, well. Semua ini layak dilakukan kalau suatu hari nanti dia mendapatkan jawabannya," kata Kyle tidak setuju.
"Kalau," dengus Jared. "Kurasa kita beruntung menemukan brendi itu. Doc pasti bakal menghabiskan seluruhnya malam ini, jika melihat kecepatannya minum."
"Dia akan segera tak sadarkan diri," ujar Kyle, suaranya mulai menghilang di kejauhan. "Kuharap Sharon akan..." Lalu aku tak bisa mendengar mereka lagi.
Ian menunggu sampai suara-suara itu menghilang seluruhnya, lalu menunggu beberapa menit lagi, sebelum akhirnya melepaskan lenganku.
"Jared sudah berjanji," gumam Jamie kepadanya.
"Ya, tapi Kyle tidak," jawab Ian.
Mereka kembali memasuki cahaya. Aku mengikuti perlahan-lahan di belakang mereka, tak yakin apa yang kurasakan.
Untuk pertama kali Ian mengamati apa yang kubawa. "Tidak ada cuci piring sekarang," katanya. "Beri mereka kesempatan untuk bersih-bersih dan melanjutkan kehidupan."
Aku hendak bertanya mengapa Ian begitu kotor. Tapi mungkin, seperti Jamie, ia akan menolak untuk menjawab. Aku berbalik menatap terowongan yang menuju sungai-sungai, berspekulasi.
Ia mengeluarkan suara marah--ia baru saja melihat wajahku.
Ian mengangkat tangan, seakan hendak mengangkat daguku, tapi aku menjauh dan ia menjatuhkan tangannya.
"Itu membuatku mual," ujarnya. Suaranya benar-benar terdengar mual. "Dan yang lebih parah lagi, aku tahu seandainya ikut pergi menjarah, mungkin akulah yang bakal melakukannya..."
Aku menggeleng. "Tidak apa-apa, Ian."
"Aku tidak setuju dengan itu," gumamnya. Lalu ia bicara kepada Jamie. "Mungkin kau harus pergi ke sekolah. Lebih baik kita membuat segalanya kembali normal secepat mungkin."
Jamie mengerang. "Hari ini Sharon akan seperti mimpi buruk."
Ian nyengir. "Waktunya untuk berkorban demi tim, Nak. Aku tidak iri padamu."
Jamie mendesah, menendang debu. "Jaga Wanda".
"Pasti."
Jamie berlalu, melirik ke belakang setiap beberapa menit, sampai ia menghilang ke dalam terowongan lain.
"Ayo, berikan kepadaku," ujar Ian, menarik ember berisi piring-piring dari tanganku, sebelum aku bisa bereaksi.
"Tidak terlalu berat untukku," kataku.
Ian nyengir. "Aku merasa tolol berdiri di sini dengan tangan kosong, sementara kau menyeret-nyeret ini. Anggap saja kesopanan. Ayo--ayo kita pergi bersantai di suatu tempat terpencil sampai semuanya beres."
Kata-katanya membuatku cemas, dan aku mengikutinya tanpa bicara. Mengapa harus bersikap sopan padaku?
Ian berjalan terus sampai ke ladang jagung. Ia melangkah di bagian rendah pematang, di antara batang-batang tanaman. Aku mengikuti di belakangnya sampai ia berhenti di suatu tempat di tengah ladang. Ia meletakkan ember berisi piring-piring itu, lalu duduk di tanah.
"Well, ini tempat terpencil," ujarku, seraya duduk bersila di tanah di sampingnya. "Tapi bukankah kita seharusnya bekerja?"
"Kau bekerja terlalu keras, Wanda. Hanya kau yang tidak pernah mengambil hari libur."
"Lebih baik daripada menganggur," gumamku.
"Semua orang libur hari ini, jadi sebaiknya kau libur juga."
Aku memandang Ian penasaran. Cahaya dari cermin-cermin memantulkan bayang-bayang ganda pada batang-batang tanaman jagung yang bersilangan di wajahnya seperti loreng zebra. Di balik garis-garis dan kotoran itu, wajah pucat Ian tampak lelah.
"Kau tampak seperti habis bekerja."
Matanya menegang. "Tapi sekarang aku beristirahat."
"Jamie tidak mau menceritakan apa yang terjadi," gumamku.
"Ya. Aku juga." Ian mendesah. "Lagi pula, kau pasti tak suka mendengarnya."
Aku menatap tanah, memandang tanah cokelat dan ungu gelap sementara perutku terpilin dan terkocok. Aku tak bisa memikirkan hal yang lebih buruk daripada tidak tahu, tapi mungkin itu hanya karena aku tidak punya imajinasi.
"Rasanya tidak adil, "ujar Ian setelah terdiam sejenak," karena aku tidak mau menjawab pertanyaanmu, tapi apakah kau keberatan jika aku yang bertanya?"
Kusambut upayanya mengalihkan perhatian. "Silahkan."
Ian tidak langsung bicara, jadi aku mendongak untuk mengetahui alasan keraguannya. Ia menunduk, memandangi kotoran di punggung tangannya.
"Aku tahu kau bukan pembohong. Kini aku tahu itu," ujarnya pelan. "Aku akan percaya, apa pun jawabanmu."
Aku kembali menunggu, sementara Ian terus menatap kotoran di kulitnya.
"Sebelumnya aku tidak mempercayai cerita Jeb, tapi dia dan Doc sangat yakin... Wanda?" tanyanya, mencongak memandangku. "Apakah dia masih di dalam sana bersamamu? Gadis yang tubuhnya kaupakai?"
Ini bukan lagi rahasia--Jamie dan Jeb mengetahui kebenarannya. Ini juga bukan rahasia yang benar-benar penting. Bagaimanapun, aku percaya Ian takkan mengoceh kepada siapa pun yang hendak membunuhku karenanya. "Ya," jawabku. "Melanie masih ada di sini."
Ian mengangguk pelan. "Bagaimana rasanya? Bagimu? Baginya?"
"Membuat... frustasi, bagi kami berdua. Mulanya aku bersedia menyerahkan apa saja agar dia menghilang seperti seharusnya. Tapi kini aku... aku sudah terbiasa dengannya." Aku tersenyum masam. "Terkadang menyenangkan mempunyai teman. Ini lebih sulit bagi Melanie. Dalam banyak hal dia seperti tawanan. Terkurung di dalam kepalaku. Tapi dia lebih suka ditawan daripada menghilang."
"Aku tidak tahu ada pilihan semacam itu."
"Awalnya tidak ada. Perlawanan dimulai ketika bangsamu menyadari apa yang terjadi. Sepertinya itulah kuncinya--mengetahui apa yang bakal terjadi. Manusia yang diambil secara mendadak tidak memberikan perlawanan."
"Jadi, seandainya aku tertangkap?"
Kuamati ekspresi garang Ian--api di dalam mata cemerlangnya.
"Kurasa kau takkan menghilang. Tapi segalanya sudah berubah. Kini jika menangkap manusia dewasa, mereka tidak akan menawarkannya sebagai inang. Terlalu banyak masalah." Aku kembali tersenyum sedikit. "Masalah-masalah seperti yang kualami. Menjadi lembek, bersimpati terhadap inangku, kehilangan arah..."
Ian merenungkannya untuk waktu lama, sesekali memandang wajahku, sesekali memandangi batang-batang tanaman jagung, sesekali tidak memandang apa-apa.
"Lalu apa yang akan mereka lakukan padaku seandainya mereka menangkapku sekarang?" tanyanya akhirnya.
"Kurasa mereka masih akan melakukan penyisipan. Mencoba memperoleh informasi. Mungkin mereka akan menyisipkan Pencari di dalam tubuhmu.
Ian bergidik.
"Tapi mereka takkan menggunakanmu sebagai inang. Tak peduli apakah mereka memperoleh informasi atau tidak, kau akan dibuang." Sulit mnegucapkan kata itu. Gagasan itu membuatku mual. Ini aneh, karena biasanya segala sesuatu yang berhubungan dengan manusialah yang membuatku mual. Tapi aku tak pernah memandang situasinya dari perspektif tubuh ini; tak ada planet yang memaksaku melakukan hal itu. Tubuh yang tidak berfungsi dengan baik akan segera dibuang, tanpa rasa sakit, karena tubuh itu sudah tidak berguna, sebagaimana halnya mobil mogok. Apa gunanya menyimpannya? Ada juga kondisi-kondisi benak yang membuat tubuh tak bisa digunakan: ketergantungan mental yang membahayakan, keinginan jahat, hal-hal yang tak bisa disembuhkan dan membuat tubuh tak aman bagi yang lan. Atau tentu saja benak dengan kemauan yang terlalu kuat untuk dienyahkan. Penyimpangan yang hanya terjadi di planet ini.
Sebelumnya aku tak pernahh menyadari salahnya menganggap roh yang tak terkalahkan sebagai kecacatan. Tapi kini hal itu tampak jelas bagiku, ketika memandang mata Ian.
"Dan seandainya mereka menangkapmu?" tanyanya.
"Seaindainya mereka menyadari sapa diriku... seandainya ada yang masih mencariku..." Aku membayangkan Pencari-ku, lalu bergidik. "Mereka akan mengeluarkanku dan menyisipkanku di dalam inang lain--seseorang yang masih muda, yang mudah dikendalikan. Mereka akan berharap aku bisa kembali menjadi diriku. Mungkin mereka akan mengirimku ke luar planet--menyingkirkanku dari pengaruh-pengaruh jahat."
"Apakah kau akan kembali menjadi dirimu?"
Aku membalas tatapan Ian. "Aku adalah aku. Aku belum menyerahkan diri kepada Melanie. Perasaanku akan sama seperti yang kini kurasakan, bahkan ketika aku menjadi Beruang atau Bunga."
"Mereka tidak akan membuangmu?"
"Sama sekali tidak. Bangsa kami tidak mengenal hukuman mati. Atau hukuman apa pun. Sungguh. Apa pun yang mereka lakukan, itu adalah untuk menyelamatkanku. Dulu aku selalu menganggap cara lain memang tak diperlukan, tapi kini aku memiliki diriku sendiri sebagai bukti untuk menentang teori itu. Mungkin membuangku adalah tindakan benar. Aku pengkhianat, bukan?"
Ian mengerutkan bibir. "Kurasa lebih tepat disebut ekspatriat. Kau belum mengkhianati mereka; kau hanya meninggalkan masyarakat mereka."
Kami kembali terdiam. Aku ingin mempercayai kebenaran perkataan Ian. Aku merenungkan kata ekspatriat, mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa aku tidak lebih buruk daripada itu.
Ian mengembuskan napas cukup keras sehingga aku terlompat. "Kalau Doc sudah sadar, kita akan memintanya memeriksa wajahmu." Ia mengulurkan tangan dan meletakkannya di daguku. Kali ini aku tidak menarik diri. Ia memalingkan kepalaku sehingga bisa meneliti luka itu.
"Tidak perlu. Aku yakin penampilan lukanya lebih buruk daripada yang sebenarnya."
"Kuharap begitu--kelihatannya mengerikan." Ian mendesah.
"Kurasa kita sudah cukup lama bersembunyi. Pasti Kyle sudah besih dan tak sadarkan diri. Perlu bantuan mencuci piring?"
Ian tidak membiarkanku mencuci piring di sungai kecil seperti yang biasa kulakukan. Ia bersikeras kami pergi ke kamar mandi gelap, karena di sana aku tak terlihat. Aku menggosok piring di ujung dangkal kolam gelap, sementara Ian membersihkan kotoran yang tertinggal di tubuhnya akibat pekerjaan misteriusnya. Lalu ia membantuku dengan mangkuk-mangkuk kotor terakhir.
Ketika kami sudah selesai, ia mendampingiku kembali ke dapur, yang mulai dipenuhi kerumunan orang yang makan siang. Ada lebih banyak hidangan makanan segar: iris-irisan roti putih empuk, keju cheddar berbau tajam, lingkaran-lingkaran sosis bologna merah dadu menggiurkan. Orang - orang menyantap dengan lahap, walaupun keputusasaan masih tampak pada bahu-bahu yang merosot, pada tidak adanya senyuman atau tawa.
Jamie menungguku di meja kami yang biasa. Dua tumpuk roti lapis tergeletak di hadapannya, tapi ia tidak makan. Lengannya terlipat. Ian mengamati ekspresi Jamie dengan penasaran, tapi ia pergi mengambil makanan tanpa bertanya.
Aku memutar bola mata melihat kekeraskepalaan Jamie, lalu mulai makan. Begitu aku mengunyah, Jamie langsung makan. Ian kembali dengan cepat, dan kami makan sambil membisu. Hidangannya sangat lezat, sehingga sulit membayangkan perlu mengobrol--atau melakukan apa pun yang bisa mengosongkan mulut kami.
Aku berhenti ketika sudah menambah satu kali, tapi Jamie dan Ian makan sampai mengerang kesakitan. Ian seolah hendak pingsan. Matanya berjuang untuk tetap terbuka.
"Kembalilah ke sekolah, Nak," ujarnya kepada Jamie.
Jamie mengamati Ian. "Mungkin aku harus mengambil alih..."
"Pergilah ke sekolah," ujarku cepat-cepat. Aku ingin Jamie berada dalam jarak aman dariku hari ini.
"Sampai jumpa lagi, oke? Jangan mengkhawatirkan... apa pun."
"Pasti." Satu kata bohong tidak bakal ketahuan. Atau mungkin aku hanya kembali bersikap sarkastis.
Setelah Jamie pergi, aku berbalik kepada Ian yang mengantuk. "Pergilah beristirahat. Aku akan baik-baik saja—aku akan tidur di suatu tempat yang tidak mencolok. Di tengah ladang jagung atau semacamnya.”
“Di mana kau tidur semalam?” Tanya Ian. Matanya tampak tajam di bawah kelopaknya yang setengah tertutup.
“Mengapa?”
“Sekarang aku bisa tidur di sana, dan kau bisa tampak tidak mencolok di sampingku.”
Kami hanya bergumam, dan kini nyaris berbisik. Tak seorang pun memperhatikan.
“Kau tak bisa mengawasiku setiap detik.”
“Berani bertaruh?”
Aku mengangkat bahu, menyerah. “Aku kembali ke… ke lubang. Tempat aku dulu ditawan.”
Ian mengernyit; ia tidak menyukainya. Tapi ia bangkit berdiri dan menuntunku kembali ke koridor gudang. Plaza utama kembali sibuk, dipenuhi orang yang bergerak di sekitar kebun. Semuanya muram, mata mereka memandang kaki.
Ketika kami sendirian di terowongan hitam itu, aku mencoba membantah Ian lagi.
“Ian, apa gunanya ini? Bukankah Jamie akan semakin terluka jika aku hidup lebih lama? Akhirnya akan lebih baik baginya jika—“
“Jangan berpikir seperti itu, Wanda. Kami bukan binatang. Kematianmu bukan hal yang tak terhindarkan.”
“Kurasa kau memang bukan binatang,” ujarku pelan.
“Terima kasih, walaupun aku tidak memaksudkannya sebagai tuduhan. Aku takkan menyalahkanmu, seandainya kau beranggapan seperti itu.”
Itulah akhir percakapan kami; saat itu kami sama-sama melihat cahaya biru pucat yang memantul samar dari sekitar belokan berikutnya di dalam terowongan.
“Sst,” bisik Ian. “Tunggu di sini.”
Ian mendorong bahuku dengan lembut, mencoba menahanku agar tetap berada di tempatku berdiri. Lalu ia melangkah maju, tanpa berusaha menyembunyikan suara langkahnya. Ia menghilang di belokan.
“Jared?” Kudengar Ian berkata, pura-pura terkejut.
Jantungku terasa berat; sensasinya lebih cenderung nyeri daripada takut.
“Aku tahu mahluk itu bersamamu,” jawab Jared. Ia meninggikan suara, sehingga siapa pun yang berada di antara tempat ini dan plaza utama akan mendengarnya. “Keluarlah, keluarlah, di mana pun kau berada,” panggilnya. Suaranya dingin dan mengejek.